• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan pesan yang disampaikan dalam film yang ingin disampaikan kepada. membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Kekuatan pesan yang disampaikan dalam film yang ingin disampaikan kepada. membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya."

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Film merupakan bentuk komunikasi antara komunikator dan komunikan. Kekuatan pesan yang disampaikan dalam film yang ingin disampaikan kepada penonton bertujuan untuk memproduksi makna. Kekuatan dan kemampuan film menjangkau berbagai segmen sosial membuat film kerap mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan muatan pesan dibaliknya.

Antonio Gramsci (Eriyanto, 2012: 103) membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Hal ini disebut oleh Gramsci sebagai Hegemoni.

Media merupakan saluran budaya untuk mengungkapkan pengalaman, sosok, kejadian, praktik, secara wacana sosial. Gaya pakaian, penampilan, dan

(2)

artefak-2 artefak terkini, dan tanda-tanda hal kontemporer lainnya, semuanya menyambung atau merajut penonton ke dalam teks-teks sinematis (Kellner, 2010: 143).

Dalam hal ini film merupakan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan (Latief dan Utud, 2013: 83).

Film yang kerap kita anggap hanya sebagai media hiburan, justru menjadi sarana pengukuhan posisi suatu kelompok dominan, sebut saja dalam hal ini adalah Amerika. Tanpa disadari narasi yang dihadirkan dalam sebuah film memiliki unsur-unsur hegemoni melalui berbagai simbol yang ditampilkan.

Setiap film memiliki sebuah narasi. Narasi adalah apa yang biasanya kita maksud dengan cerita panjang, meskipun kita akan menggunakan cerita dalam cara yang sedikit berbeda. Biasanya, narasi dimulai dengan satu situasi, serangkaian perubahan terjadi sesuai dengan pola sebab dan akibat, pada akhirnya, serangkaian situasi baru membawa tentang akhir narasi. Kita dapat terlibat dengan sebuah cerita tergantung bagaimana kita memahami tentang pola perubahan dan stabilitas, sebab dan akibat, waktu dan ruang (Bordwell dan Thompson, 2008: 75).

Baik narasi fiksi (novel, puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik) atau narasi fakta seperti berita, mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat. Narasi berperan dalam membentuk apa yang dipandang benar dan apa yang dipandang salah, apa yang boleh dan tidak boleh (Eriyanto, 2013: 221).

(3)

3 Narasi mengikat dan memperkuat ideologi (keyakinan dan kepercayaan) yang ada dalam masyarakat. Lewat cerita, karakter dan peristiwa, anggota masyarakat diperkenalkan apa yang baik dan apa yang buruk. Cerita-cerita tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, sehingga menjadi panduan bagi anggota masyarakat dalam berperilaku dan bersikap (Eriyanto, 2013: 221).

Douglas Kellner menyatakan bahwa ideologi hegemonik menunjukkan bagaimana berbagai pandangan tertentu dalam beragam teks budaya media mereproduksi berbagai ideologi politis yang ada dalam pergulatan politik masa kini, seperti ketika beberapa film yang menyuarakan berbagai pandangan konservatif maupun liberal, sedangkan yang lain menyuarakan yang radikal. Kellner juga berpendapat bahwa ideologi mengandung beragam wacana dan sosok, gagasan dan citra, pendirian teoritis dan bentuk simbolis. Ideologi film disampaikan melalui berbagai citra, sosok, adegan, kode umum, serta kisahnya secara keseluruhan. (Kellner, 2010: 81).

Proses hegemoni bekerja melalui cara yang halus. Dalam hal ini, sebuah narasi dalam produksinya dapat membuat yang tampak sebagai sesuatu kebenaran dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan (Eriyanto, 2012: 105).

Ketika medan politik Indonesia era 1950-an mengalami pergeseran yang ditandai dengan semakin menguatnya pengaruh politik komunis dan nasionalis dalam payung Nasakom (nasionalisme, komunisme, dan agama) pun budaya

(4)

4 bangsa dalam jagat film Indonesia juga mengalami orientasi. Wacana budaya bangsa kemudian diarahkan sebagai bentuk perjuangan untuk menolak film-film impor, terutama dari Hollywood yang dianggap representasi imperalisme Amerika dalam hal kebudayaan. Kondisi tersebut melahirkan institusi-institusi diskursif atau aparatus hegemonik yang bergerak dalam formasi diskursif demi mendukung semangat konfrontasi yang dilakukan rejim terhadap kekuatan budaya asing, yang pada akhirnya memperkuat kuasa hegemonik dengan menggunakan film sebagai komponennya.

Masa Orde Baru merupakan zaman yang dipenuhi dengan paradoks dalam bidang perfilman. Di satu sisi, sebagai konsekuensi kebijakan percepatan pertumbuhan ekonomi, pemerintah membuka keran bagi masuknya film-film impor yang mendatangkan pajak pemasukan. Namun, di sisi lain, pemerintah berusaha mendorong tumbuhnya industri perfilman nasional yang tetap berorientasi pada budaya bangsa demi mewujudkan stabilitas nasional demi tercapainya cita-cita pembangunan nasional. Sekali lagi, persoalan film sebagai representasi budaya bangsa, bercampur-baur dengan kuasa-hegemonik rejim yang diwarnai pula dengan tindakan-tindakan represif.

Tidak dapat disangkal, produksi film Hollywood Amerika merajai perfilman di dunia. Sedemikian besar dan kuatnya Hollywood, sehingga realitas Hollywood (produk-produknya, ikon-ikonnya) begitu lekat dalam keseharian sebagian kelompok masyarakat konsumen di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia (Sasono, 2011: 17).

(5)

5 Akar penyebab dominasi Amerika dan kebertahanan Hollywood tersebut karena peran penting manajemen strategis film Amerika. Manajemen strategis yang efektif itu bisa terbaca dari langkah-langkah para Studio Besar (Major Studios) untuk membentuk lingkungan bisnis film dunia demi keuntungan komersial mereka, melalui eksploitasi berbagai peluang macro-environmental

yang muncul ke permukaan, seperti: (1) yang dilakukan para Studio Besar Hollywood dengan segera mengisi kekosongan pasar akibat Perang Dunia ke-2 yang membuat industry film Eropa terhambat dan terhenti berproduksi. (2) Hollywood selalu berada di garda depan menginvestasi dan memanfaatkan teknologi untuk mendukung strategi penjualan mereka, seperti: teknologi suara,

technicolors, proses layar lebar (wide screen), menjual film ke televisi, lalu ke video rumahan. (3) Studio-studio Besar menumbuhkan kota Los Angeles sebagai klaster bagi industry film, agar mereka memiliki keunggulan kompetitif, (4) periode produksi film gila-gilaan dalam hal jumlah, pada 1910-an dan 1920-an (Sasono, 2011: 23).

Masuknya film-film impor dari Hollywood memberikan konsekuensi semakin populernya film-film asing bagi penonton Indonesia, dari kelas cineplex, bioskop kelas bawah, hingga layar tancap. Dampak dari kondisi tersebut adalah masuknya pengaruh-pengaruh budaya asing yang banyak dikatakan mengusung adegan kekerasan, dan seksualitas ke dalam budaya bangsa yang selalu dicitrakan sopan, agamis, toleran, dan sebagainya.

(6)

6 Karl G. Heider dalam bukunya Indonesian Cinema, National Culture on Screen (1991: 42-46) mencatat beberapa genre film yang berkembang semasa Orde baru, yakni: (1) genre perjuangan, mengetengahkan cerita tentang perjuangan bersenjata para pejuang dalam melawan penjajah Jepang maupun Belanda; (2) genre sentimentil, berupa film-film drama yang mengangkat problem kehidupan keluarga atau remaja ibu kota; (3) genre horor, ceritanya berasal dari cerita-cerita mistis dan gaib yang berkembang dalam masyarakat, dengan artis terkenalnya Suzzana; (4) genre lain, seperti komedi, film ekspedisi, musikal, dan anak-anak.

Dalam genre ini, film-film Indonesia banyak diwarnai dengan ‘keluarga metropolis’ dan kehidupan remaja dengan kehidupan glamor dan modern ibukota dan bisa dianggap menawarkan nilai-nilai budaya nasional dalam bingkai modernitas.

Ironisnya, nilai-nilai ideal dari aturan-aturan yang ada ternyata banyak dilanggar sendiri oleh ‘para sineas pesanan’ pemegang modal yang sekedar ingin memperoleh keuntungan dengan memenuhi tanggung jawab aturan impor film yang mensyaratkan perusahaan importir membuat film demi menggairahkan industri perfilman. Akibatnya, pada era 1990-an film Indonesia dipenuhi dengan

booming film bergenre ‘sek-kesek ala metropolis’ yang banyak mengeksploitasi perempuan.

Salah satu film yang mengandung unsur hegemoni Amerika adalah film

(7)

7

perfilman.pnri.go.id), sejarah berdirinya Warkop DKI atau Warkop Prambors awalnya dibentuk oleh Nanu, Rudy Badil, Dono, Kasino dan Indro. Warkop Prambors mengawali penampilan mereka dalam film pada 1979. Sejak Mana Tahan (1979) hingga Maju Kena Mundur Kena (1983), mereka telah menyelesaikan sepuluh film khas Warkop Prambors. Artinya, film-film komedi yang diolah untuk dan dimainkan oleh Warkop Prambors.

Film-film Warkop Prambors rata-rata sukses secara komersial. Peluncuran film Warkop adalah melalui bioskop. Pertunjukkan film di bioskop menjadi kunci sukses utama sebuah film. Pertunjukkan film di bioskop merupakan factor utama dalam pemasaran film karena dari pertunjukkan di bioskop inilah ditentukan masa hidup sebuah film pada umumnya (Sasono, 2011: 275).

Selain itu, larisnya film-film Warkop Prambors, menurut Arwah Setiawan (Ketua Lembaga Humor Indonesia) adalah berkat reputasi mereka sebagai pelawak panggung. Di panggung Warkop Prambors dikenal sebagai pelawak intelek, lawakannya punya relevansi sosial. Meskipun dalam film tidak kelihatan intelek kalangan bawah menerima humor mereka. Demikian pula kalangan menengah yang merasa sreg menonton film Warkop Prambors, karena terlanjur menerima image intelek.

Dalam film-film Warkop sendiri sering memasukan unsur-unsur budaya barat di dalamnya. Seperti musik-musik pengiring yang memakai instrumen lagu barat seperti Pink Panther, dan minuman keras.

(8)

8 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang dijelaskan pada latar belakang, dalam penelitian ini rumusan masalah dijabarkan dalam dua pertanyaan, yaitu:

1. Bagaimana hegemoni Amerika dalam simbol-simbol naratif dalam film Warkop?

2. Apa makna simbol-simbol naratif yang dibentuk oleh hegemoni Amerika dalam film Warkop?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengetahui bentuk hegemoni Amerika dalam simbol-simbol naratif dalam film Warkop.

2. Menjelaskan makna simbol-simbol naratif yang dibentuk oleh hegemoni Amerika dalam film Warkop.

(9)

9 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademik

1.4.1.1 Manfaat Teoritis

 Untuk memberikan kontribusi terhadap teori naratif dan teori semiotika dengan melihat bagaimana bentuk hegemoni Amerika dalam film Warkop.

1.4.2 Manfaat Praktis

 Memberikan signifikansi berupa pengetahuan untuk memahami

medium film bukan hanya sebagai media hiburan, namun film juga dapat menjadi medium untuk membentuk hegemoni.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini sedikit berbeda dengan data pada tabel 4.1 tentang laju pertumbuhan PDRB di Kabupaten Wajo yang mana dari tabel tersebut ada satu sektor lapangan usaha yang

Atas hal tersebut Mahkamah Agung memutuskan bahwa eks Narapidana dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan menghapus Pasal 4 ayat (3) pada Peraturan

Mengingat keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, penelitian ini dibatasi pada permasalahan bagaimanakah persepsi dosen terhadap kegiatan kemahasiswaan yang meliputi

Dari hasil wawancara dengan Kepala Bagian Humas, diketahui bahwa rujukan pelayanan kesehatan JKN dari fasilitas kesehatan tingkat I ke RSUD Tgk Abdullah Syafii Kabupaten

02 Jumlah Model Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian Bioindustri 79 model 03 Jumlah Teknologi yang Didiseminasikan ke Pengguna 164 teknologi 04 Jumlah Rekomendasi

Franco Modigliani, Michael G Ferry, 2003, Foundations of Financial Market and Institution, New Jersey, Printice Hall Inc, hlm 76.. 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan

Tingkat kebugaran jasmani tidak dilihat dari sehat atau tidaknya fisik seseorang saat itu ataupun apakah orang tersebut mudah terserang penyakit atau tidak dalam

Sistem ini tidak memerlukan  bendungan, namun langsung terpasang di lautan lepas, gaya dorong dihasilkan dari pegerakan energi kinetik arus laut, dikarenakan