• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. alam diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. alam diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pemanfaatan sumber daya alam merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat bahwa pemanfaatan sumber daya alam diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) yang berbunyi, “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pasal ini pun kemudian selalu menjadi salah satu landasan dalam berbagai peraturan perundang-undangan tentang sumber daya alam.

Pemanfaatan sumber daya alam untuk mencapai kesejahteraan masyarakat di Indonesia secara tersirat juga tertuang dalam tujuan bernegara.1 Tujuan negara Indonesia tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:

[...] melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial [...]2

Selain dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, amanah untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan baik untuk mencapai tujuan bernegara juga terdapat dalam konsideran menimbang huruf

1 Moh. Mahfud M.D., 2011, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Press,

Jakarta, hlm. 17.

2 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2010, Undang-Undang Dasar Negara

(2)

2 a TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yakni:

a. bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;

Inti yang sama juga terdapat pada konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yakni:

a. bahwa didalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;

Dari kedua konsideran diatas terlihat bahwa konsep yang digunakan dalam pemanfaatan sumber daya alam adalah pertama adanya pemahaman bahwa sumber daya alam yang terkandung di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam lainnya adalah pemberian atau karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan baik dan adil sebagai bentuk syukur serta bertujuan untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur. Ketiga, bentuk pemanfaatan tersebut melalui sebuah hak yang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 disebut sebagai Hak Menguasai Negara (sering disebut sebagai HMN).

Konsep hak menguasai negara ini kemudian dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yakni:

(3)

3 (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.

Kemudian pada perkembangannya, hadir Mahkamah Konstitusi yang memberikan penafsiran terhadap HMN pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Konsep penguasaan dalam Pasal tersebut ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 002/PUU-I/2003, yang berbunyi:

[...] pengertian ”dikuasai negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh Negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber sumber kekayaan yang dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUDNRI 1945 memberikan mandat kepada negara untuk melakukan fungsinya dalam mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) oleh Negara [...]3

Putusan tersebut menegaskan bahwa frasa “dikuasai oleh negara” membawa konsekuensi adanya lima kewajiban oleh negara, yakni mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad).

Proses untuk mencapai tujuan bernegara poin kedua, yakni untuk memajukan kesejahteraan umum, Indonesia masih berkutat pada pengelolaan sumber daya alamnya walau kini terutama pasca reformasi terdapat pandangan dan semangat

3Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 perihal Pengujian Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 15 Desember 2004.

(4)

4 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusianya pula. Hal ini dapat dimaklumi mengingat Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang potensial terutama dalam bidang kehutanan, minyak dan gas (migas), dan mineral dan batubara (minerba) sebagaimana dalam peta berikut:

Gambar 1. Peta Sebaran Migas, Hutan, dan Minerba Tahun 2013

Sumber: Dokumen Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), 2014.

Tercatat potensi sumber daya pertambangan mineral dan batubara tersebar di 437 lokasi di Indonesia bagian barat dan timur, seperti tembaga dan emas di Papua, emas di Nusa Tenggara, nikel di Sulawesi, bauksit dan batu bara di Kalimantan dan mineral lainnya yang tersebar di berbagai tempat.4 Bahan galian tersebut meliputi emas, perak, tembaga, minyak, dan gas bumi serta batubara. Kekayaan sumber daya ini, apabila dikelola dengan baik, dapat memberikan kontribusi ekonomi dan sosial bagi masyarakat Indonesia.

4 Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara di Indonesia, Rineka

(5)

5 Lima kewenangan untuk menjalankan hak menguasai negara sebagaimana terdapat pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, menunjukkan bahwa bagaimana sumber daya alam itu dikelola sangat berkaitan erat dengan kewenangan yang ada baik pada pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Kelima kewenangan negara untuk melaksanakan fungsi dalam penguasaan sumber daya alam tersebut, selain dijalankan oleh pemerintah pusat, juga dijalankan oleh pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. Bahkan dalam kondisi tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga dilibatkan dalam pelaksanaan kewenangan negara dalam sektor sumber daya mineral.5 Semangat desentralisasi tersebut salah satunya kini dapat dilihat dalam Pasal 3 huruf 3 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan pengelolaan mineral dan batu bara adalah meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.6

Namun, jauh sebelum adanya UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menganut sistem perizinan, Indonesia pernah mengalami pengaturan dibawah kolonial Pemerintahan Belanda serta menggunakan sistem konsesi yang banyak merugikan Indonesia. Selain itu, kewenangan dan pembagian urusan pemerintahan di bidang pertambangan minerba pun berbeda-beda pada setiap periode keberlakuannya. Dinamika pembagian kewenangan tersebut tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan mendapat

5Maria S.W. Sumardjono, et al., 2011, Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta, hlm. 211.

(6)

6 pengaruh dari dinamika undang-undang pemerintahan daerah serta dinamika kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada tiap periode keberlakuannya.

Apabila dilihat dari aspek historis, pada dasarnya hukum yang mengatur tentang perizinan pertambangan di Indonesia merupakan kelanjutan dari hukum pertambangan yang berlaku sebelum kemerdekaan. Pola pikir ini dapat ditelusuri dalam peraturan pertambangan di Indonesia pertama kali berasal dari warisan zaman penjajahan Belanda, yakni Indische Mijnwet (Staatsblad 1899 No. 214) yang diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Kemudian di tahun 1906 regulasi tersebut ditambah dan diubah dengan Mijnordonantie (ordinansi pertambangan) Tahun 1906.7 Peraturan perundang-undangan tersebut menyatakan bahwa pemerintah mengatur perizinan perminyakan dan pertambangan bahan galian logam, batubara, batu permata dan beberapa bahan galian penting. Bahan galian yang dianggap kurang penting seperti gamping, pasir, dan lempung, perizinannya diatur oleh para penguasa setempat, seperti residen atau pejabat yang diberi wewenang.8 Pada saat itu, undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku adalah Decentralisatie Wet 1903 dan kemudian diperbaharui dengan

Desentralisatie Wet 1922. Pada saat keberlakuan Desentralisatie Wet 1922

dimungkinkan dibentuk provinsi otonom yang kemudian dibagi menjadi

Regentschap (kabupaten) dan Stadsgemeente (kotamadya) yang otonom serta

terdapat pula daerah yang mempunyai otonomi asli yakni persekutuan masyarakat

7Otong Rosadi, 2012, Pertambangan dan Kehutanan dalam Perspektif Cita Hukum Pancasila,

Thafa Media, Yogyakarta, hlm. 30.

8 Sutaryo Sigit, 2004, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia, Penerbit

Yayasan Minergy Informasi Indonesia, Jakarta, hlm. 99-100, dalam Tri Hayati, 2011, Perizinan

Pertambangan di Era Reformasi Pemerintahan Daerah Studi Tentang Perizinan Pertambangan Timah di Pulau Bangka, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 9.

(7)

7 asli Indonesia seperti desa, huta, kuria, marga ataupun nagari yang dibiarkan oleh pemerintah kolonial untuk mempunyai alat dan mengatur kepentingannya sendiri.9

Kegiatan usaha pertambangan ini diteruskan hingga masa pendudukan Jepang yang tetap dilanjutkan Jepang untuk melancarkan mesin perangnya. Selain itu, Jepang juga membuka tambang-tambang baru. Usaha pertambangan yang dilakukan oleh Jepang hanya berdasarkan perhitungan ekonomi tanpa suatu dasar kebijakan pengaturan yang jelas.10 Sistem ini masih langgeng berlaku hingga adanya regulasi pertama di Indonesia yang mengatur tentang pertambangan minerba yakni Perppu No. 37 tahun 1960.11

Setelah 15 tahun merdeka, terdapat banyak aspirasi yang menginginkan perubahan atas Indische Mijnwet hingga kemudian terbentuklah Perppu No. 37 Tahun 1960 tentang Pertambangan yang kemudian menjadi Undang-Undang, yakni Undang-Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 yang berlaku pada tanggal 14 Oktober Tahun 1960.12 Undang – Undang tersebut mencabut Indische Mijnwet karena ruh peraturannya dianggap tidak sesuai dengan karakteristik negara Indonesia dan kepentingan nasional di bidang pertambangan. Sesuai pada Pasal 3 ayat (1), undang-undang ini mengelompokkan bahan galian menjadi tiga golongan yakni (a) golongan bahan galian yang strategis, (b) bahan galian vital, dan (c) bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b. Aturan ini menegaskan bahwa bahan galian strategis hanya dapat diusahakan oleh Negara atau oleh Negara bersama-sama Daerah. Sedangkan bahan galian vital dapat diusahakan oleh Negara atau daerah

9 Otong Rosadi, Op.Cit., hlm. 147-148.

10 Departemen Pertambangan dan Energi, 40 Tahun Peranan Pertambangan Dan Energi

1945-1985, hlm. 101, dalam Otong Rosadi, Op.Cit., hlm. 32.

11 Berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 peraturan-peraturan tentang usaha di bidang

pertambangan yang ada dinyatakan tetap berlaku termasuk diantaranya Indische Mijnwet.

(8)

8 dan badan atau perseorangan swasta yang memenuhi persyaratan dalam UU No. 37 Prp tahun 1960.13 Terakhir, bahan galian yang tidak termasuk ke dalam golongan strategis maupun vital, diatur oleh Pemerintah Daerah tingkat I dimana bahan galian tersebut di dapat.

Apabila melihat pengaturan dalam UU No. 37 Prp Tahun 1960 diatas khususnya pada pembagian kewenangan di bidang kegiatan usaha pertambangan, mendapat pengaruh dari pola pembagian dalam UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membagi Wilayah Republik Indonesia dalam daerah besar dan kecil yakni Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II, dan Daerah Tingkat III.14 Susunan ini kemudian diperbaharui dalam UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membagi daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam tiga tingkatan yakni Propinsi dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah tingkat II, dan Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.15 Walaupun tidak disebutkan secara rinci, UU No. 18 Tahun 1965 membuka pintu luas untuk mencapai desentralisasi yang dilakukan secara berangsung-angsur dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.16 Hal ini tidak menutup kemungkinan termasuk penyerahan kewenangan pengelolaan sumber daya alam termasuk pertambangan mineral dan batubara. Namun sayangnya, undang-undang ini tidak dapat diberlakukan dengan baik lantaran adanya peristiwa politik G30/S PKI yang terjadi hanya berselang 29 hari setelah UU disahkan.

13 Pasal 5 ayat (1) UU No. 37 Prp Tahun 1960 14 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1957.

15 Pasal 2 ayat (1) UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. 16 Penjelasan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

(9)

9 Kemudian, diundangkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang menjadi salah satu pendorong diundangkannya UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Klasifikasi bahan galian tidak berbeda dari undang-undang sebelumnya. Namun terdapat perbedaan kewenangan pengaturan yang cukup mencolok, dimana bahan galian strategis dan vital dilakukan oleh Menteri dan bahan galian golongan C dilakukan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I.17 Swasta (asing) pun diperkenankan untuk melakukan penambangan bahan galian strategis dengan pendapat dan pertimbangan Menteri.18 Pengaturan yang permisif tersebut menjadi sebab pertama banyaknya pengusaha asing yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi dibidang pertambangan minerba sejak UU diundangkan hingga sekarang. Alasan pemberlakuan UU No. 11 Tahun 1967 adalah undang-undang sebelumnya tidak lagi dapat memenuhi tuntutan masyarakat yang ingin berusaha dalam bidang pertambangan. Salah satunya juga disebabkan karena perkembangan politik dan pembaruan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan antara lain sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No XXIII/MPRS/1966.19

Kedua UU yang disahkan pada tahun 1967 yakni UU PMA dan UU No. 11 Tahun 1967 memang menjadi kran pembuka datangnya investor asing dan swasta guna mendongkrak perekonomian Indonesia.20 Walaupun secara tegas dalam Pasal 1 UU No. 11 Tahun 1967 menyebutkan bahwa “penguasan bahan galian dan dipergunakan oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” yang mana

17 Pasal 4 UU No. 11 Tahun 1967. 18 Pasal 7 UU No. 11 Tahun 1967.

19 Dasar Menimbang (konsideran) UU No. 11 Tahun 1967. 20 Konsideran menimbang dalam UU No. 11 Tahun 1967.

(10)

10 ketentuan ini didasarkan pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 194521. Namun pada implementasinya ketentuan HMN pada undang-undang ini tidak berorientasi pada prinsip-prinsip HMN Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 dan UUPA, melainkan semata untuk mendorong pertumbuhan saja.

Selain itu, walaupun secara normatif memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengusahakan kegiatan pertambangan, pada implementasinya ketentuan pemberian izin melalui Kuasa Pertambangan bersifat sentralistik. Hal ini juga dipengaruhi oleh politik hukum pemerintahan daerah pada awal era orde baru yang kemudian dituangkan dalam UU No. 5 Tahun 1974. Sistem sentralistik ini walau bertujuan menciptakan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan kegiatan bernegara, namun disisi lain menimbulkan banyak dampak diantaranya pertama, tidak sesuai dengan semangat dalam Pasal 18 UUD 1945 dan kedua, berimplikasi pada masyarakat terutama masyarakat pemilik hak atas tanah yang diatas tanah miliknya dilakukan usaha pertambangan serta masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat. Setelah 42 tahun kemudian, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan diganti dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diberlakukan pada tanggal 12 Januari 2009 dan diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2009 No. 2009 dan Tambahan Lembaran Negara No. 4959.22

UU No. 11 Tahun 1967 cukup langgeng berlaku, sebab dianggap sebagai landasan legal yang cukup kondusif bagi penanaman modal. Namun beberapa tahun terakhir, dengan bebagai faktor perubahan yang cukup dramatis seperti tuntutan

21 Otong Rosadi, Op.Cit., hlm. 44 22 Gatot Supramono, Op.Cit.., hlm. 5.

(11)

11 untuk melaksanakan desentralisasi dan derasnya laju globalisasi, dianggap tidak lagi efektif. Beberapa penyebabnya antara lain: 23

a. Globalisasi dalam industri pertambangan;

b. Harga komoditi yang tidak sejalan dengan laju inflasi;

c. Banyaknya tambang yang kini beroperasi akan segera ditutup, kegiatan penyelidikan umum/eksplorasi di Indonesia hampir terhenti dan investasi eksplorasi umumnya berpaling ke negara Latin.

Penggantian UU tentang Pertambangan Mineral dan Batubara tersebut membawa konsekuensi sistem pengelolaan pertambangan di Indonesia menjadi bersifat pluralistik. Hal ini disebabkan pada saat pemberlakuan UU No. 4 Tahun 2009, ada beberapa Kontrak Karya yang masih dalam tahun berjalan atau bahkan baru ditandatangani sebelum pemberlakuan UU yang baru. Akibatnya, terdapat aneka ragam kontrak dan izin pertambangan yang berlaku saat ini. Ada beberapa kontrak yang masih berlaku yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan ada juga sistem izin yang diberlakukan atas dasar ketentuan yang baru yakni dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Selain itu, UU No. 4 Tahun 2009 memberikan angin segar untuk desentralisasi. UU ini memberikan kewenangan penguasaan kegiatan usaha pertambangan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah daerah yang dimaksud adalah pemerintah daerah provinsi serta pemerintah daerah kabupaten/kota.24 UU ini sejalan dengan sistem desentralisasi yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimana UU tersebut tidak lagi menerapkan sistem sentralistik sebagaimana dalam UU No. 5 Tahun 1974,

23 Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya

Mineral, 2004, Naskah Akademik Undang-Undang No. 4 Tahun 2009, Jakarta, hlm. 33.

(12)

12 melainkan menerapkan otonomi yang seluas-luasnya. Namun dalam perkembangannya, UU No. 32 Tahun 2004 digantikan oleh UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang walaupun memiliki prinsip yang sama yakni otonomi seluas-luasnya, UU No. 23 Tahun 2014 ini mengambil alih beberapa kewenangan yang berada di tangan pemerintah daerah kabupaten/kota untuk kembali ke pusat atau ada sebagian yang diserahkan kepada pemerintah daerah provinsi.25 Adanya perubahan terbaru ini tentu membawa sejumlah implikasi terhadap pengaturan kegiatan usaha pertambangan di Indonesia.

Eksplanasi singkat menunjukkan bahwa hal ini perlu dikaji lebih lanjut sebab dalam tiap perubahan dan dinamika pengaturan tentu terdapat pola-pola tertentu dan menimbulkan implikasi. Adanya perubahan seharusnya tetap berpegang pada tujuan bernegara yakni yang salah satunya adalah untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, dinamika pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perizinan pertambangan mineral dan batubara menarik untuk diteliti sebab

pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting bagi keberlangsungan pembangunan dan kesejahteraan rakyat, begitu pula ketepatan wewenang penguasaan yang berada di pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana dinamika pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pertambangan mineral dan batubara?

(13)

13 2. Bagaimana implikasi atas perizinan pertambangan mineral dan batubara di

Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Menganalisis dinamika pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam perizinan pertambangan mineral dan batubara.

2. Menganalisis dan mengkaji implikasi atas perizinan pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

D. Keaslian Penelitian

Penelitian berjudul Dinamika Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara sepanjang pengetahuan peneliti belum pernah diteliti oleh

pihak lain. Beberapa penelitian sebelumnya yang mengkaji tentang hukum pertambangan mineral dan batubara diantaranya adalah:

Tabel 1. Daftar Judul Penelitian Sebelumnya

No Judul Nama Tahun

1

Penegakan Hukum Ketentuan Pidana Pasal 158 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Terhadap Kegiatan Pertambangan Tanpa Izin di Kabupaten Muaro Jambi

Sri Rahayu dan Dheny

Wahyudhi

2009

2 Penegakan Hukum Lingkungan Di Bidang Pertambangan

Franky Butar

Butar 2010

3

Pengawasan Sebagai Instrumen Penegakan Hukum Pada Pengelolaan Usaha Pertambangan dan Mineral dan Batubara

Fenty U.

Puluhulawa 2011

4

Politik Hukum Pertambangan Indonesia Dan Pengaruhnya Pada Pengelolaan Lingkungan Hidup

Martha

(14)

14 Di Era Otonomi Daerah

5

Upaya Penegakan Hukum Terhadap Pertambangan Batubara Tanpa Izin di Kota Samarinda

Niken

Gustantuia S 2011

6

Penerapan Hukum Berbasis Hukum Progresif Pada Pertambangan Batu Bara Di Kalimantan Selatan

Akhmad

Sukris Sarmadi 2012

7

Pelaksanaan Pemberian Izin

Pertambangan Batu Bara Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten

Dharmasraya Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Dan Pengusahaan Energi Di Kabupaten Dharmasraya

Eko Noris 2012

8

Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Batubara Melalui Lelang: Usaha Menekan Jual Beli Izin Usaha Pertambangan Batubara

Foni

Vebrilioni 2012

9 Karakteristik Kontrak Jasa

Pertambangan Mineral dan Batubara Hadi Mulyo U 2012 10

Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Hartati (Jurnal Universitas Diponegoro) 2012 11

Kajian Teoritis Kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Penetapan Wilayah Pertambangan (Studi Terhadap Putusan MK No. 10/PUU-X/2012) Iin Suhartini (E-Journal Universitas Mulawarman) 2013 12

Hak Atas Tanah Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Mineral Dan Batubara

Hayatul Ismi

2014

13

Kewenangan Pemerintah Daerah DalamPengelolaan Izin Usaha

Pertambangan Di Kabupaten Minahasa Utara

Ida Ayu Eling

P.S 2015

Sejauh ini dari beberapa artikel jurnal dan hasil penelitian yang kerap dibahas adalah mengenai perizinan dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara (empiris) dan mengenai kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan pertambangan minerba. Namun, penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dapat dikatakan bahwa kebaruan atas penelitian ini masih terjaga. Atas dasar itulah

(15)

15 kemudian penulis tergerak untuk meneliti Dinamika Pembagian Kewenangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara mengingat persoalan pengelolaan minerba

masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup besar. Dengan demikian, orisinalitas penelitian yang penulis ajukan dapat dipertanggungjawabkan.

E. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa manfaat dan memperkaya bagi khasanah keilmuan di Indonesia, khususnya dalam kemajuan di bidang hukum tata negara dan hukum pertambangan minerba untuk menuju penegakan hukum yang berkeadilan.

b. Manfaat Praktik Ketatanegaraan

Penelitian ini diharapkan mampu menggugah kesadaran akan kompleksitas problematika tentang dinamika hubungan pusat dan daerah terkait pengelolaan minerba berikut implikasinya serta kemudian dapat mempertimbangkan kebijakan yang telah dan akan diambil ke depan.

Gambar

Gambar 1. Peta Sebaran Migas, Hutan, dan Minerba Tahun 2013
Tabel 1. Daftar Judul Penelitian Sebelumnya

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 butir (30) menyebutkan bahwa upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan

Penelitian tentang “Perlindungan Hukum Terhadap Benda Cagar Budaya Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (Studi Kasus : Pencurian

pemeriksaan termasuk pada kepemilikan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (izin PPLH) atau persetujuan teknis disesuaikan dengan kewajiban dari

Dalam ketentuan Pasal 4l ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2OO4 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal 7l ayat (71 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Berkaitan dengan persoalan pola kerjasama, terdapat perbedaan pengaturan yang sangat mendasar antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Spesifikasi penelitian dalam tesis ini yang digunakan adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat deskriptif, yaitu dengan memaparkan hasil dari penelitian tentang bagaimana ketentuan

Pengertian saksi menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah “Orang yang dapat memberikan keterangan