• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abad ke 18 merupakan abad pencerahan bagi Prancis dan negara-negara Eropa lain yang mengalami kemajuan, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. Kemajuan tersebut dibuktikan oleh lahirnya sanggar-sanggar praktik ilmu fisika dan meningkatnya pendidikan ilmu pengetahuan di sekolah-sekolah menengah di Prancis (Carpentier, 2011:240). Kemajuan ilmu pengetahuan di Prancis merupakan salah satu bukti bahwa manusia mempunyai peranan penting dalam kehidupan. Dengan akal pikiran yang dimilikinya, manusia mampu membangun kehidupan menjadi lebih baik. Akan tetapi, pada abad ke 20 keadaan mulai berubah. Perubahan tersebut ditandai oleh kekalahan Prancis pada peristiwa perang dunia II. Jumlah korban yang meninggal akibat perang tidak sedikit. Hal tersebut menimbulkan trauma dan menyadarkan masyarakat Prancis bahwa kehidupan merupakan hal yang sia-sia. Manusia yang sebelumnya dianggap berperan penting dalam kehidupan, pada akhirnya hanya disia-siakan dan diperlakukan seperti binatang. Kesia-siaan tersebut menghadapkan masyarakat Prancis pada kehidupan yang absurd.

Secara filosofis, absurd merupakan hal yang nonsense, sia-sia, atau tidak bermakna. Istilah absurditas dipopulerkan oleh seorang filosof dan penulis Prancis, Albert Camus, dalam sebuah essai yang berjudul Le Myth de Sisyphe (1942). Menurut

(2)

2 Albert Camus, absurditas lahir dari pertentangan antara kesadaran manusia dan kenyataan alam yang paling dalam (Camus: 1942:44). Di dalam kenyataan alam terdapat hal yang bersifat matematis. Hal tersebut adalah takdir kematian yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari oleh manusia. Semua manusia yang hidup di dunia pasti akan mati. Akan tetapi, manusia tidak menyadari takdir tersebut. Ketidaksadaran manusia terhadap takdir kematian disebabkan oleh rutinitas yang dijalani manusia setiap hari. Rutinitas membuat manusia berpikir bahwa mereka hidup abadi. Akan tetapi, pada kenyataannya kehidupan manusia pasti akan berakhir. Pertentangan tersebutlah yang menimbulkan absurditas. Kesadaran manusia akan muncul ketika manusia merasa jenuh terhadap rutinitasnya. Manusia yang sadar terhadap takdir kematian akan berpikir bahwa kehidupan merupakan hal yang absurd atau sia-sia (Camus, 1942:30).

Pengertian absurditas mulai berkembang dalam dunia drama pada tahun 1950. Drama absurd melahirkan beberapa tokoh seperti Arthur Adamov (1950-1970), Eugène Ionesco (1950-1994), Samuel Beckett (1952-1989) dan lain-lain (Esslin, 1978:59). Di antara tokoh-tokoh tersebut, Samuel Beckett merupakan tokoh yang paling berpengaruh dalam perkembangan drama absurd. Hal tersebut dibuktikan melalui beberapa naskah drama Beckett yang sukses dipentaskan dan mendapat sambutan dari berbagai negara. Kesuksesan lain dibuktikan melalui beberapa penghargaan yang diraih oleh Beckett. Penghargaan tersebut antara lain: le Prix

(3)

3 International des Éditeurs (1961), le Prix de la Jeune Critique (1965), dan le Prix Nobel de Littérature (1969) (Janvier, 1969:28-30).

Samuel Barclay Beckett adalah seorang penulis asal Irlandia yang lahir pada tanggal 13 April 1906. Pada usia 21 tahun, Beckett mendapat kesempatan untuk mempelajari kesusastraan Prancis dan Italia di Trinity College. Tahun 1928, Beckett terpilih menjadi dosen bahasa Inggris di l’École Normale Supérieure, Paris. Di kota tersebut Becket memulai karir sebagai seorang penulis (Dejean, 1971:100). Beckett menulis karya-karyanya dengan menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Prancis dan Inggris (Bair, 1978:539). Salah satu karya Beckett yang ditulis dengan menggunakan dua bahasa adalah naskah Oh Les Beaux Jours (1963).

Dalam bahasa Indonesia, Oh Les Beaux Jours berarti hari-hari yang indah. Naskah Oh Les Beaux Jours (1963) sukses dipentaskan di berbagai kota besar seperti Venise, New York, dan Paris (Janvier, 1969:28). Naskah drama tersebut bercerita tentang kehidupan absurd yang dilalui oleh sepasang suami istri bernama Willie dan Winnie. Akan tetapi, makna kehidupan absurd dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) disampaikan secara tidak langsung, yaitu melalui tanda-tanda bermakna ambigu. Hal tersebut membuat drama absurd menjadi sulit dipahami sehingga menimbulkan kerancuan makna dalam karya sastra.

(4)

4 1.2 Permasalahan

Di dalam karya sastra terdapat dua struktur pemahaman. Struktur pertama adalah memahami bagian-bagian dalam karya sastra, seperti alur cerita, tokoh, dan sebagainya. Struktur kedua adalah penafsiran makna secara total dan optimal yang terdapat dalam karya sastra (Teeuw, 1984:124). Dalam bahasa Prancis, struktur pertama dikenal dengan istilah structure de surface (struktur permukaan) sedangkan struktur kedua dikenal dengan istilah structure profonde (struktur dalam).

Secara structure de surface, naskah drama Oh Les Beaux Jours (1963) mudah dipahami. Akan tetapi, secara structure profonde makna naskah tersebut belum tersampaikan dengan jelas. Makna absurditas dalam naskah disampaikan melalui tanda-tanda bermakna ambigu. Makna ambigu berarti bermakna lebih dari satu sehingga menimbulkan kerancuan makna dalam karya sastra (Pradopo, 1995:149). Oleh karena itu, tanda-tanda bermakna ambigu dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) penting untuk diteliti.

1.3 Rumusan Masalah

Pengertian mengenai makna ambigu telah dijelaskan melalui identifikasi permasalahan. Penjelasan tersebut membentuk beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut antara lain:

1. Tanda-tanda bermakna ambigu dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963).

(5)

5 2. Nasib dan perjuangan manusia dalam menghadapi absurditas

kehidupan yang tercermin dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963).

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini memiliki beberapa tujuan. Tujuan utama penelitian ini adalah dapat menjelaskan tanda-tanda ambigu yang terdapat di dalam naskah dengan pendekatan semiotik. Tujuan kedua adalah mengungkap nasib dan perjuangan manusia dalam menghadapi absurditas kehidupan yang tercermin dalam naskah tersebut.

Tujuan lain penelitian ini adalah untuk memberikan apresiasi terhadap salah satu karya besar Beckett, yaitu naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Naskah drama merupakan salah satu jenis karya sastra yang tidak kalah menarik untuk diteliti dibandingkan dengan jenis karya sastra lainnya. Perlu diketahui bahwa penelitian ini tidak meneliti drama sebagai seni pertunjukkan, melainkan sebagai teks sastra.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sebagai sastrawan yang memberi pengaruh besar terhadap perkembangan drama absurd, karya-karya Beckett telah banyak dibahas dalam berbagai penelitian. Salah satunya adalah naskah drama Beckett yang berjudul En Attendant Godot (1953). Naskah tersebut pernah diteliti oleh Retno Ratih Damayanti dalam sebuah skripsi yang berjudul Absurditas dan Implikasi Bentuk Dalam Lakon En Attendant Godot (2003). Penelitian tersebut menjelaskan unsur dasar absurditas yang terdapat

(6)

6 dalam dialog antar tokoh melalui pendekatan struktural. Menurut Damayanti, keadaan absurd yang tertuang dalam En Attendant Godot (1953) tidak hanya dijabarkan dalam wacana filosofis. Akan tetapi juga dijabarkan dalam wacana komunikasi. Melalui penelitian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa absurditas terjadi karena kehidupan manusia tidak pernah berubah. Keadaan tersebut menuntut manusia untuk terus berjuang melakukan sesuatu dalam mencapai tujuan. Menunggu tokoh bernama Godot merupakan usaha yang dilakukan tokoh di dalam naskah tersebut. Godot dipercaya akan memberikan harapan dan perubahan bagi kehidupan tokoh-tokoh lainnya.

Penelitian lain berupa disertasi yang disusun oleh C. Soebakdi Soemanto. Disertasi tersebut berjudul Makna Kehadiran Lakon Waiting For Godot Karya Samuel Beckett di Amerika dan Indonesia: Suatu Studi Banding (2001). Dalam disertasinya, Soemanto mendeskripsikan wujud teks dramatik Waiting For Godot, sertamembandingkan bentuk tanggapan yang diperoleh selama mementaskan naskah drama tersebut di berbagai negara, yaitu di Amerika, Prancis, dan Indonesia. Masing-masing negara mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam menerima bentuk seni pertunjukkan baru. Di Amerika, keberadaan naskah tersebut dapat diterima karena memiliki unsur kelucuan yang sama seperti tokoh Charlie Chaplin. Di Indonesia, ide-ide naskah tersebut dapat diterima karena memiliki unsur yang sama dengan seni rakyat Indonesia. Kesenian Indonesia biasanya ditampilkan secara spontan di depan penonton, sama halnya dengan naskah drama absurd.

(7)

7 Karya Beckett lain yang menjadi objek penelitian adalah Comédie et Actes Divers (1972). Penelitian tersebut disusun oleh Priyo Noor Hasnanto dan diberi judul Tinjauan Psikologis Kumpulan Naskah Drama Comédie Et Actes Divers (2010). Dalam penelitiannya, Hasnanto menjelaskan bahwa karakteristik dan sifat seseorang dalam kehidupan sosial dapat dideskripsikan melalui tokoh-tokoh dalam kumpulan naskah drama Beckett tersebut.

Karya berikutnya adalah naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Naskah tersebut pernah diteliti oleh Deborah James dalam sebuah studi pustaka yang berjudul The National Arts Programmes For Student Audiences 2008-2009 season (2008). Studi pustaka ini membahas biografi Beckett, sinopsis, dan struktur pertunjukan drama Oh Les Beaux Jours (1963). Struktur pertunjukan tersebut terdiri dari penataan panggung, kostum dan bloking pemain yang akan dipersembahkan di hadapan penonton. Studi pustaka tersebut juga menjelaskan mengenai makna tokoh-tokoh dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Akan tetapi, makna tokoh-tokoh tersebut belum selesai dijelaskan karena tidak terdapat bukti-bukti yang mendukung. Hal tersebut dapat menimbulkan kerancuan dan kekeliruan makna sehingga perlu dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian ini.

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa penelitian khusus mengenai ambiguitas makna dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) belum pernah dilakukan oleh orang lain. Tanda-tanda ambigu dan kehidupan absurd dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) merupakan

(8)

8 permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut akan dibahas dengan menggunakan teori semiotika Riffaterrian.

1.6 Landasan Teori

Sastra merupakan komunikasi yang istimewa dibandingkan dengan tindak komunikasi lain. Keistimewaan tersebut terletak pada tanda-tanda dalam karya sastra yang mengandung simbol tertentu. Memahami sastra sebagai suatu tanda dikenal dengan istilah gejala semiotik (Teeuw, 1984:43). Salah satu teori semiotik yang digunakan untuk mengungkap tanda-tanda dalam karya sastra adalah teori semiotika Riffaterrian.

Tanda-tanda ambigu dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963) akan diteliti menggunakan teori semiotika Riffaterrian. Teori tersebut digunakan untuk mengungkap makna dalam karya sastra, terutama makna dalam puisi. Drama absurd memiliki karakter yang serupa dengan puisi. Kedua jenis karya sastra tersebut menekankan unsur puitis dalam menyampaikan makna. Unsur puitis dalam drama absurd membuka secara perlahan makna cerita menjadi lebih dalam (Esslin, 1978:66). Oleh karena itu, teori Riffaterre merupakan teori yang cocok untuk mengungkap tanda-tanda ambigu dalam naskah drama Oh Les Beaux Jours (1963). Berikut merupakan penjelasan mengenai teori semiotika Riffaterrian.

(9)

9 1.6.1 Teori Semiotika Riffaterrian

Teori Riffaterre terdiri dari empat prinsip. Pertama, ketidaklangsungan ekspresi. Kedua, pembacaan heuristik dan hermeneutik. Ketiga, matriks, model dan varian. Keempat, teks hipogram. Prinsip-prinsip tersebut akan dijelaskan sebagai berikut.

1.6.1.1 Ketidaklangsungan Ekspresi

Menurut Riffaterre (1978:2), makna dalam karya sastra sulit dipahami karena terdapat ketidaklangsungan ekspresi. Ketidaklangsungan ekspresi dalam karya sastra disebabkan oleh tiga faktor. Ketiga faktor tersebut antara lain:

1. Penggantian Arti (Displacing Of Meaning)

Penggantian arti merupakan ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh penggunaan kiasan atau metafora dalam karya sastra. Metafora adalah bahasa kiasan yang digunakan untuk mengumpamakan suatu hal tanpa menggunakan kata pembanding. Penggunaan metafora didasarkan pada persamaan antara pengumpama dengan yang diumpamakan.

2. Penyimpangan Arti (Distorting Of Meaning)

Penyimpangan arti adalah ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh kontradiksi. Kontradiksi merupakan makna yang saling bertentangan di dalam karya sastra. Makna yang saling bertentangan merupakan faktor yang paling sering menimbulkan ambiguitas makna dalam kalimat.

(10)

10 3. Penciptaan Arti (Creating Of Meaning)

Penciptaan arti adalah ketidaklangsungan ekspresi yang disebabkan oleh penggunaan makna baru. Makna baru merupakan makna yang memiliki arti di dalam karya sastra, akan tetapi tidak memiliki arti dalam ilmu ketatabahasaan atau linguistik. Di dalam puisi, makna baru ditimbulkan oleh pembaitan, enjambement, rima, tipografi, dan homologues.

Pembaitan adalah pengaturan baris-baris pada puisi. Enjambement adalah pemenggalan kata pada baris yang berbeda. Rima adalah pengaturan bunyi pada puisi. Tipografi adalah penyusunan kata-kata dalam baris-baris sajak. Homologues adalah bentuk kata yang sama pada baris-baris yang sejajar. Biasanya homologues terdapat dalam pantun. Dalam naskah drama absurd, makna baru ditimbulkan oleh makna yang secara sekilas tidak saling berhubungan dengan makna sebenarnya. Proses penciptaan arti dalam naskah drama absurd akan dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian ini.

1.6.1.2 Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Untuk memahami suatu karya sastra, perlu dilakukan dua tahap pembacaan. Kedua tahap tersebut adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik merupakan pembacaan yang dilakukan berdasarkan struktur bahasa yaitu berdasarkan interpretasi tingkat pertama (Riffaterre, 1978:5). Pembacaan heuristik menghasilkan pemahaman secara structure de surface, yaitu pemahaman awal pada

(11)

11 alur cerita dan bagian-bagian naskah. Oleh karena itu, pembacaan heuristik perlu dilakukan agar alur cerita dalam karya sastra dapat diungkapkan dengan jelas. Setelah melakukan pembacaan heuristik, maka tahap selanjutnya adalah melakukan pembacaan hermeneutik.

Pembacaan hermeneutik merupakan pembacaan yang ditafsirkan berdasarkan interpretasi tingkat kedua (Riffaterre, 1978:5). Pada pembacaan hermeneutik terdapat proses decoding dan peninjauan kembali terhadap pemahaman pertama. Dengan demikian, pembacaan hermeneutik dapat mengungkap makna yang terdapat dalam karya sastra.

1.6.1.3 Matriks, Model, dan Varian

Makna karya sastra dapat terbentuk dari hasil transformasi matriks (Riffaterre, 1978:19-21). Matriks merupakan sebuah hipotesis dari karya sastra. Oleh karena itu, matriks tidak tertulis dalam karya sastra. Hal yang tertulis di dalam karya sastra adalah hasil ekspresi matriks, yaitu model. Model dapat berupa kata puitis atau kiasan dalam karya sastra. Model kemudian ditransformasikan menjadi varian-varian yang berupa bagian-bagian cerita dalam teks sastra.

1.6.1.4 Hipogram

Dalam teorinya, Riffaterre (1978:23) membagi hipogram menjadi dua jenis. Pertama, hipogram potensial. Kedua, hipogram aktual. Hipogram potensial adalah matriks suatu karya sastra, sedangkan hipogram aktual merupakan teks yang menjadi

(12)

12 latar belakang terbentuknya teks baru. Hipogram aktual dapat berupa sejarah, essai atau karya sastra lain yang sudah ada sebelumnya.

Suatu karya sastra merupakan sebuah respon atau tanggapan dari teks lain. Teks tersebut merupakan teks yang melatarbelakangi terbentuknya suatu karya sastra. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra tidak dapat lepas dari teks yang melatarbelakanginya.

1.6.2 Teori Absurditas

Secara umum, absurd adalah hal yang tidak masuk akal atau hal yang mustahil (Alwi, 2007:3). Akan tetapi, secara filosofis, absurd adalah hal yang nonsense, sia-sia atau tidak bermakna. Menurut Albert Camus (1942:44), absurditas terjadi karena adanya pertentangan antara kesadaran manusia dan kenyataan alam yang tidak masuk akal.

L’homme se trouve devant l’irrationnel. Il sent en lui son désir de bonheur et de raison. L’absurde naît de cette confrontation entre l’appel humain et le silence déraisonnable du monde. (Camus, 1942:44)

Manusia berada di depan hal yang tidak masuk akal. Ia merasakan di dalam dirinya keinginan mengenai kebahagiaan dan rasional. Absurd lahir dari pertentangan antara kesadaran manusia dan hal yang tidak masuk akal di dunia (Camus, 1942:44)

Di dalam kenyataan alam terdapat kode matematis yang mengatur nasib kehidupan manusia. Kode matematis tersebut adalah takdir kematian yang pasti terjadi dan tidak dapat dihindari oleh manusia. Semua manusia yang hidup di dunia

(13)

13 pasti akan mati. Akan tetapi, manusia tidak pernah menyadari takdir tersebut. Kepastian mengenai takdir kematian akan menimbulkan kesia-siaan dalam hidup.

De ce coprs inerte où une gifle ne marquée plus, l’âme a disparu. Ce côté élémentaire et definitive de l’aventure fait le contenu du sentiment absurd. Sous l’éclairage mortel de cette destinée, l’inutilité apparaît. Aucune morale, ni aucun effort ne sont a priori jusifiables devant les sanglantes mathématiques qui ordonnent notre condition. (Camus, 1942:30)

Dari tubuh yang kaku ini dimana sebuah tamparan tidak lagi terasa, jiwa telah tiada. Sisi mendasar dan kepastian dari kejadian ini membentuk perasaan absurd. Di bawah kejelasan mematikan dari takdir ini, kesia-siaan muncul. Tanpa moral, juga tanpa usaha yang menjadi prioritas yang benar di depan kekerasan matematis yang mengatur kondisi kita. (Camus, 1942:30)

Kesia-siaan membuat kehidupan manusia menjadi hancur. Hal tersebut menghadapkan manusia pada dua pilihan. Pertama, mengakhiri hidup dengan jalan bunuh diri. Kedua, menyusun kehidupan kembali.

La suite, c’est le retour inconscient dans la chaîne, ou c’est l’éveil definitive. Au bout de l’éveil vient, avec le temps, la consequence : suicide ou rétablissement. (Camus, 1942:27)

Selanjutnya, ini adalah kembalinya ketidaksadaran dalam rutinitas, atau ini adalah kebangkitan yang pasti. Di ujung kebangkitan yang datang, dengan waktu, konsekuensinya : bunuh diri atau menyusun kembali. (Camus, 1942:27)

Menyusun kehidupan kembali adalah pilihan yang lebih tepat karena bunuh diri menunjukkan perbuatan yang tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan. Dalam proses penyusunan kehidupan kembali, manusia memiliki tiga konsekuensi. Pertama, melakukan pemberontakan terhadap tatanan sosial. Kedua, menekankan kebebasan berekspresi dalam menyusun kehidupan. Ketiga, menuruti gairah hidup.

(14)

14 Je tire ainsi de l’absurde trois consequences qui sont ma révolte, ma liberté et ma passion. Par le seul jeu de la conscience, je transforme en règle de vie ce qui était invitation à la mort – et je refuse le suicide. (Camus, 1942:89)

Demikian, kusimpulkan dari absurditas tiga konsekuensi yang merupakan pemberontakanku, kebebasanku dan gairahku. Hanya dengan kesadaran ini, ku transformasikan dalam aturan hidup yang merujuk pada kematian – dan aku menolak jalan bunuh diri. (Camus, 1942:89)

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, melakukan pembacaan heuristik pada naskah Oh Les Beaux Jours (1963) untuk mengetahui keseluruhan alur cerita. Kedua, melakukan pembacaan hermeneutik untuk mengungkap makna tanda yang terkandung di dalam naskah. Melalui proses pembacaan hermeneutik, akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaklangsungan ekspresi dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Setelah melakukan kedua tahap pembacaan dan mengungkap ketidaklangsungan ekspresi, maka tahap berikutnya adalah mencari matriks, model dan varian naskah tersebut. Melalui matriks, model dan varian, makna yang didapatkan akan menjadi lebih rinci. Tahap terakhir adalah menguraikan teks hipogram naskah Oh Les Beaux Jours (1963) untuk mendapatkan makna yang lebih tepat.

1.8 Sistematika Penyajian

Penelitian ini tersusun dari tiga bab. Bab I pendahuluan, berisi latar belakang penelitian, permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II berisi analisis,

(15)

15 yaitu pembahasan mengenai tanda-tanda ambigu dan absurditas dalam naskah Oh Les Beaux Jours (1963). Pembahasan akan diuraikan dengan menggunakan teori semiotika Riffaterrian. Bab III berisi kesimpulan, yaitu hasil analisis naskah drama Oh Les Beaux Jours (1963).

Referensi

Dokumen terkait

Dareah aliran Sungai Progo merupakan daerah penanaman hijauan ternak yang menjadi faktor predisposisi kejadian fasciolosis melalui adanya metaserkaria yang menempel pada

Atas dasar audit yng dilaksanakan terhadap laporan keuangan historis suatu entitas, auditor menyatakan suatu  pendapat mengenai apakah laporan keungan tersebut menyajikan

5edangkan penguraian tulang disebut as%r(si, ter+adi secara bersamaan dengan  pembentukan tulang. !enyerapan tulang ter+adi karena akti8itas sel-sel yang disebut

*#67# Mengecek nomor pemanggil yg dialihkan ketika ponsel Anda sedang sibuk (Jika Anda mengaktifkan call Divert/pengalihan

Dari deskripsi data kualitatif di atas, subjek dengan kemampuan tinggi maupun rendah pada dasarnya memiliki kemampuan dalam menggunakan definisi, aksioma, dan

Apabila Angka Kematian Bayi atau Index Mortality Rate (IMR) di suatu wilayah tinggi menunjukkan bahwa status kesehatan tersebut rendah.Hasil pelaporan yang disampaikan

Berdasarkan uraian diatas, dilakukan penelitian tentang pengaruh konsentrasi carbomer 940 yang dikombinasi dengan CMC Na sebagai matriks terhadap sifat fisik dan profil

Alat penambah daya Black & Decker Anda telah dirancang untuk mengisi daya baterai Black & Decker dari tipe yang disertakan dengan perkakas ini8.