• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI ANAK DI SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI ANAK DI SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI ANAK DI

SEKOLAH DENGAN PRESTASI BELAJAR

Laily Safura dan Sri Supriyantini

P. S. Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Intisari

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada siswa kelas 1 SMP Gajah Mada Medan. Selain itu juga, untuk mengetahui apakah ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar berdasarkan jenis kelamin dan usia subjek penelitian. Penelitian ini didasarkan pada 7 karakteristik penyesuaian diri yang dikemukakan oleh Schneiders (1964). Penelitian ini menggunakan subjek yang berjumlah 55 orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala penyesuaian diri anak di sekolah dan dokumentasi berupa nilai rata-rata rapor di kelas 1. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar dengan rxy = 0.405; p = 0.01. Berdasarkan analisis lebih lanjut, terdapat hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek laki-laki dan ada hubungan positif yang sangat signifikan pada subjek yang berusia 13 tahun. Kemudian juga diketahui bahwa tidak ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek perempuan dan subjek yang berusia 12, 14, dan 15 tahun.

Kata kunci: Penyesuaian diri, Prestasi belajar, Usia, Jenis kelamin.

Abstract

The purpose of this study is to know whether there is a positive correlation between student adjustment at school and academic achievement in the first year at Gajah Mada Junior High School, Medan. Moreover this study is also like to know whether there is a positive correlation between children adjustment at school and academic achievement according to student’s sex and age. This research based on Schneider’s seven characteristics of adjustment.

The subject in this research are 55 students. Measurement instrument which were use in this research were children adjustment at school scale and documentation in the form of school grade’s mean in the first year.

The result shows that there is significant positive correlation between student’s adjustment at school and academic achievement (rxy = 0,405; p = 0,01). Based on further analysis, there is significant positive correlation between children adjustment at school and academic achievement in male subjects and very significant correlation between children adjustment at school and academic achievement in 13 years old subjects. Furthermore, the result shows no positive correlation between children adjustment at school and academic achievement in female, 12, 14 and 15 years old students.

(2)

PENDAHULUAN

Setiap manusia di manapun berada selalu melakukan kegiatan belajar. Seorang siswa yang ingin mencapai cita-citanya tentu harus belajar dengan giat, bukan hanya di sekolah saja, tetapi juga harus belajar di rumah, dalam masyarakat, lembaga-lembaga pendidikan ekstra di luar sekolah, berupa kursus, les privat, bimbingan studi dan sebagainya (Dalyono, 1997).

Proses belajar adalah hal yang paling vital dalam setiap usaha pendidikan, sehingga tanpa belajar sesungguhnya tidak ada pendidikan. Belajar merupakan kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap pe-

nyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan (Syah, 1995). Menurut Dalyono (1999) belajar adalah suatu usaha atau kegiatan yang bertujuan mengadakan perubahan di dalam diri seseorang, mencakup perubahan tingkah laku, sikap, kebiasaan, ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sebagainya. Perubahan yang terjadi dalam proses belajar tersebut adalah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan (Syah, 1995).

Dalam hal ini pendidikan pada hakikatnya adalah mengembangkan potensi secara menyeluruh, yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan berbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh manusia itu sendiri. Untuk mengetahui apakah hal ini telah tercapai perlu adanya penilaian (Supriadi, 1995). Hasil penilaian belajar tersebut disebut juga dengan prestasi belajar (Chaplin, 1997). Abdurrahman (1999) mengatakan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Jadi prestasi belajar adalah hasil yang dicapai dari apa yang sudah dikerjakan atau apa yang sudah diusahakan sesudah belajar.

Setiap siswa diharapkan dapat mencapai prestasi belajar yang memuaskan, namun pada kenyataannya banyak siswa yang memiliki prestasi belajar yang tidak memuaskan atau rendah. Hal ini terlihat pada para siswa kelas 1 SMP Gajah Mada Medan. Dari data yang diperoleh pada dokumentasi hasil belajar tahun ajaran 2004/2005, pada siswa kelas 1 di SMP

tersebut terdapat 43,33 % siswa memiliki prestasi belajar yang rendah, 18,33 % berprestasi belajar sedang dan 38,33 % memiliki prestasi belajar yang tinggi.

Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa antara lain adalah faktor penyesuaian diri. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah proses kecakapan mental dan tingkah laku seseorang dalam menghadapi tuntutan-tuntutan baik dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungannya. Achyar (2001) juga menambahkan penyesuaian diri dapat meningkatkan efek positif terhadap prestasi belajar siswa.

Penyesuaian diri berlangsung secara terus-menerus antara memuaskan kebutuhan diri sendiri dengan tuntutan lingkungan, termasuk tuntutan orang lain secara kelompok maupun masyarakat. Menyesuaikan diri berarti mengubah dengan cara yang tepat untuk memenuhi syarat tertentu (Sukadji, 2000). Penyesuaian diri juga merupakan salah satu persyaratan bagi terciptanya kesehatan jiwa atau mental individu (Mu’tadin, 2005).

Seorang individu tidak dilahirkan dalam keadaan sudah mampu menyesuaikan diri atau tidak mampu menyesuaikan diri (Hartono & Sunarto, 2002). Banyak individu yang menderita dan merasa tidak mampu mencapai kebahagiaan dalam hidupnya, karena ketidakmampuannya dalam menyesuaikan diri baik dalam kehidupan keluarga, sekolah, pekerjaan dan dalam masyarakat pada umumnya (Mu’tadin, 2005). Permasalahan penyesuaian diri di sekolah dapat timbul ketika anak mulai memasuki jenjang sekolah yang baru, seperti sekolah lanjutan pertama (Hartono & Sunarto, 2002).

Pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) siswa berada pada tahap perkembangan remaja, tepatnya remaja awal yaitu yang berusia 12 sampai 15 tahun (Monks, 1999). Pada masa ini tugas perkembangan yang tersulit bagi siswa adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial (Hurlock, 1980). Dalam penyesuaian sosial ini dituntut pula kemampuan individu untuk mengikuti perubahan tersebut atau yang disebut juga dengan penyesuaian pribadi (Mappiare, 1982).

(3)

Menurut Bernard (dalam Mappiare, 1982) terdapat tiga masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri di sekolah, yaitu penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya (peer group), penyesuaian diri dengan para guru, dan penyesuaian diri dalam hubungan dengan orang tua, guru dan murid.

Pertama, penyesuaian diri dengan kelompok teman sebaya muncul akibat adanya keinginan bergaul dengan teman sebaya.. Remaja sering dihadapkan pada persoalan penerimaan atau penolakan teman sebaya terhadap kehadirannya dalam pergaulan. Pada pihak remaja penolakan dari teman sebaya merupakan hal yang sangat mengecewakan. Menurut Hurlock (1980) bahwa penyesuaian diri dengan teman sebaya merupakan hal utama yang dihadapi remaja. Disamping menyesuaikan diri dengan sesama jenis, remaja juga harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada.

Kedua, penyesuaian diri dengan para guru. Kebutuhan ini timbul karena dalam perkembangannya remaja ingin melepaskan diri dari keterikatan dengan orang tua, ingin mendapatkan orang dewasa lain yang dapat dijadikannya sahabat dan sebagai pembimbing. Bagi remaja berhubungan dengan guru (terutama konselor), sangat penting karena mereka dapat bergaul secara harmonis dan matang.

Ketidakmampuan remaja menyesuaikan diri dan mendapatkan sesuatu keuntungan lebih banyak dari para konselor dan gurunya akan menjadikannya kecewa, karena remaja tersebut tidak dapat merealisasikan dorongan-dorongannya untuk menunjukkan kedewasaan bergaul dengan orang-orang dewasa.

Ketiga, penyesuaian diri dalam hubungan dengan orang tua, guru, dan murid. Kebutuhan ini dilatar belakangi antara lain, remaja ingin berkembang tanpa bergantung pada orang tua, ingin diakui sebagai individu yang mempunyai hak-hak sendiri, dan orang yang mampu memecahkan persoalannya sendiri. Orang tua di mata remaja merupakan orang yang membuat rintangan besar untuk mendapatkan pengakuan dan kemerdekaan. Remaja tidak menginsafi sepenuhnya tentang

adanya kebutuhan bantuan dari orang tuanya. Secara obyektif, guru dan konselor di sekolah berada pada posisi yang strategis untuk memberikan bantuan kepada remaja. Besar kemungkinannya konselor dan guru merupakan orang dewasa yang dikenal remaja secara akrab. Peranan konselor dan guru berada pada posisi yang berpengaruh, di mana guru atau konselor seringkali mengadakan pertemuan-pertemuan dengan orang tua sehubungan dengan persoalan-persoalan remaja di sekolah. Remaja sering merasa curiga terhadap keakraban konselor dengan gurunya. Dalam keadaan seperti itu, remaja perlu mengetahui dalam hal-hal apa saja yang dibicarakan guru/konselor dan orang tua mereka, sehingga ia dapat menyesuaikan diri terhadap hubungan-hubungan tersebut.

Menurut Hawkins & Berndt (dalam Santrock, 2002) peralihan dari SD ke SLTP disebutnya dengan top-dog phenomenon, di mana terjadi pergerakan dari posisi teratas (di Sekolah Dasar, mereka adalah murid-murid yang paling tua, paling besar, dan siswa yang paling berkuasa di sekolah) ke posisi terendah (di sekolah lanjutan atau Sekolah Menengah Pertama, menjadi murid-murid yang paling muda, paling kecil, dan paling lemah di

sekolah). Hal tersebut seringkali

menimbulkan masalah bagi banyak siswa yang kurang dapat menyesuaikan diri dengan situasi baru.

Hartono & Sunarto (2002) menambahkan bahwa bagi siswa yang baru memasuki sekolah lanjutan mungkin akan mengalami kesulitan dalam membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan ekstra kurikuler, dan sebagainya. Mereka juga mungkin akan mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru-guru, teman-teman, dan mata pelajarannya. Sebagai akibat antara lain adalah prestasi belajar siswa menjadi menurun dibanding dengan prestasi di sekolah sebelumnya

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan pihak sekolah SMP Gajah Mada serta berdasarkan nilai rapor siswa kelas I SMP Gajah Mada diketahui bahwa sebagian besar

(4)

nilai rata-rata siswa kelas I masih belum memuaskan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyesuaian diri sangat diperlukan bagi siswa dalam menjalani seluruh aktivitasnya di sekolah dan penyesuaian diri ini akan berpengaruh terhadap prestasi belajarnya.

Dari uraian di atas peneliti merasa tertarik untuk meneliti hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada siswa kelas 1 SMP Gajah Mada Medan.

METODE PENELITIAN Subyek

Penelitian ini merupakan penelitian populasi, di mana populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas 1 SMP Gajah Mada Medan dengan jumlah 55 orang.

Alat Ukur

Dalam upaya untuk mengungkap hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada siswa, maka digunakan:

1. Skala Penyesuaian Diri

Untuk mengetahui apakah siswa memiliki penyesuian diri yang positif atau negatif, digunakan Skala Penyesuaian diri yang disusun berdasarkan tujuh aspek yang dikemukakan oleh Schneiders (1964) mengenai karakteristik penyesuaian diri yang positif, yaitu: (1). Tidak terdapat emosionalitas yang berlebihan (absence of

excessive emotionality); (2). Tidak terdapat

mekanisme psikologis (absence of

psychological mechanisms); (3). Tidak

terdapat perasaan frustrasi pribadi (absence of

the sense of personal frustration); (4).

Pertimbangan rasional dan pengarahan diri (rational deliberation and self direction); (5). Kemampuan untuk belajar (ability to learn); (6). Pemanfaatan Pengalaman (utilization of

past experience); dan (7). Sikap-sikap yang

realistis dan objektif (realistic and objective

attitude).

2. Rapor Siswa

Alat yang digunakan untuk mengetahui prestasi belajar adalah nilai rata-rata rapor semester 1 dan

2 siswa kelas 1 SMP Gajah Mada .

HASIL PENELITIAN 1. Hasil Utama

Hasil yang diperoleh menunjukkan koefisien korelasi sebesar rxy = 0.405 dengan nilai ρ = 0.01. Ini berarti ada hubungan positif dan signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada siswa kelas 1 SMP Gajah Mada, Medan. Variabel penyesuaian diri memberi sumbangan terhadap variabel prestasi belajar sebesar 17 % (r2xy = 0.17). Hal ini menunjukkan bahwa masih ada 83 % variabel lain yang berperan terhadap pembentukan prestasi belajar.

2. Hasil Tambahan

a. Hubungan Penyesuaian Diri Anak di Sekolah dengan Prestasi Belajar Berdasarkan Jenis Kelamin

Pada siswa laki-laki ditemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar (rxy = 0.599; ρ = 0.00), sedangkan pada siswa perempuan tidak ada hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar (rxy = 0.119; ρ = 0.278).

b. Hubungan Antara Penyesuaian Diri Anak di Sekolah dengan Prestasi Belajar Berdasarkan Usia

Dari data yang diperoleh untuk melihat hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar berdasarkan usia didapatkan hasil bahwa subjek yang berusia 12 tahun menunjukkan korelasi sebesar rxy = 0.394 dengan ρ = 0.220, yang berarti tidak ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek yang berusia 12 tahun. Pada subjek yang berusia 13 tahun diperoleh rxy = 0.463 dengan ρ = 0.003, yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri anak di

(5)

sekolah dengan prestasi belajar pada subjek yang berusia 13 tahun.. Pada subjek yang berusia 14 tahun diperoleh rxy = 0.471 dengan ρ = 0.085, yang berarti tidak ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek yang berusia 14 tahun. Sementara pada subjek yang berusia 15 tahun diperoleh rxy = -0.586 dengan ρ = 0.207, yang berarti tidak ada hubungan positif antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek yang berusia 15 tahun.

DISKUSI

Hasil utama penelitian ini memperlihatkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri siswa di sekolah dengan prestasi belajar pada siswa kelas 1 SMP Gajah Mada, Medan. Ini berarti bahwa semakin baik penyesuaian diri akan diikuti pula dengan semakin tingginya prestasi belajar.

Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tallent (1978) yang menyatakan bahwa penyesuaian diri akan meningkatkan prestasi belajar. Pendapat ini juga didukung dengan hasil penelitian yang dilakukan Achyar (2001) yang mengatakan bahwa penyesuaian diri berkorelasi dengan prestasi belajar, di mana penyesuaian diri dapat meningkatkan efek positif terhadap prestasi belajar siswa.

Hartono & Sunarto (2002) mengatakan bahwa bagi siswa yang baru memasuki sekolah lanjutan, seperti SMP mungkin akan mengalami kesulitan dalam membagi waktu belajar, yakni adanya pertentangan antara belajar dan keinginan untuk ikut aktif dalam kegiatan sosial, kegiatan ekstra kurikuler, dan sebagainya. Mereka juga mungkin akan mengalami permasalahan penyesuaian diri dengan guru-guru, teman-teman, dan mata pelajarannya.

Di kelas satu SLTP siswa terutama mengalami perubahan dari metode pendidikan SD ke SLTP, di mana di SD siswa lebih banyak diajar atau diampu oleh satu guru kelas yang mengajarkan hampir pada seluruh mata pelajaran, sedangkan di SLTP untuk setiap bidang studi atau mata pelajaran diajarkan oleh guru yang berbeda (Sukadji,

2000). Peralihan dari SD ke SLTP ini disebut dengan top-dog phenomenon, di mana terjadi peralihan dari posisi teratas pada saat siswa berada di kelas enam SD ke posisi terbawah pada saat berada di kelas 1 SMP (Hawkins & Berndt, dalam Santrock, 2002. Akibatnya antara lain adalah prestasi belajar siswa menjadi menurun dibanding dengan prestasi di sekolah sebelumnya (Hartono & Sunarto, 2002).

Pada penelitian ini, peneliti juga mencoba melihat hubungan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar berdasarkan jenis kelamin dan usia. Pembahasan berdasarkan jenis kelamin menunjukkan ada hubungan positif yang signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek laki-laki. Sementara hasil yang ditunjukkan pada siswa perempuan menunjukkan tidak ada hubungan positif.

Kenyataan ini dapat dijelaskan melalui keterangan yang dikemukakan oleh Hadiyono dan Kahn (1987) yang menyatakan bahwa ada perbedaan antara penyesuaian diri anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki-laki-laki mempunyai penyesuaian diri yang lebih baik dibandingkan anak perempuan, di mana anak perempuan mempunyai unsur-unsur yang kurang mendukung penyesuaian dirinya. Tentang hubungannya dengan prestasi belajar Hurlock (1980) mengatakan bahwa remaja perempuan lebih menginginkan menjadi popular di antara teman-teman sebaya dan menghindari kesan bahwa ia pandai, sedangkan remaja laki-laki lebih mengutamakan prestasi belajar dibandingkan popularitas.

Hasil analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara penyesuaian diri anak di sekolah dengan prestasi belajar pada subjek yang berusia 13 tahun, sedangkan pada usia 12, 14, dan 15 tahun tidak menunjukkan hubungan yang positif.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada usia remaja awal, penyesuaian diri individu belum stabil. Pada waktu yang sama ketika remaja sedang mencari otonomi dari orang tua mereka dan orang lain, mereka juga sedang

(6)

mencari penyesuaian untuk dapat diterima oleh kelompok mereka (Djiwandono, 2002).

Untuk menjelaskan mengapa hanya usia 13 tahun yang mempunyai hubungan positif, diasumsikan bahwa hal ini disebabkan karena jumlah subjek yang berusia 13 tahun lebih banyak dibandingkan dengan usia-usia lain.

Dalam penelitian selanjutnya penulis menyarankan agar: mengontrol faktor-faktor lain yang diperkirakan mempengaruhi prestasi belajar siswa, seperti inteligensi, minat, dan motivasi, menggunakan subjek penelitian yang lebih banyak, memperluas objek studi (tidak saja kelas 1 SMp, tetapi juga untuk tingkat SMA dan PT) dan sebaiknya meng-gunakan jumlah sampel yang merata baik dari segi jenis kelamin maupun usia agar mendapatkan hasil yang benar-benar menunjukkan perbedaan yang berarti.

Di pihak lain, orang tua dan guru dapat membantu meningkatkan penyesuaian diri anak/ siswa dengan memberikan perhatian kepada anak/ siswa, sehingga diharapkan prestasi belajarnya menjadi lebih baik, terutama bagi anak/siswa laki-laki.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M., (1999).Pendidikan bagi

anak berkesulitan belajar. Jakarta: Rineka

Cipta.

Achyar.,(2001).Anak berbakat (Gifted

Learnes).[on-line].http:www.depdiknas.go.id/ Pppg_ tertulis/08-2001/Anak_ berbakat.

Chaplin, J.P., (1997). Kamus lengkap

psikologi (terjemahan Dr. Kartini

Kartono). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Dalyono, M., (1997). Psikologi pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Djiwandono, S.E.W., (2002). Psikologi

pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Hadiyono, J.E.P & Kahn, M.W., (1987).

Perbedaan kepribadian dan persamaan jenis kelamin pada mahasiswa Amerika

dan Indonesia. Jurnal Psikologi Th.XV, 1,

20-24.

Hartono, A.B., & Sunarto, H., (2002).

Perkembangan peserta didik, Jakarta:

Rineka Cipta.

Hurlock, E.B., (1999). Psikologi

perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (edisi

kelima). Jakarta: Erlangga.

Mappiare,A., (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Monks dkk., (1998). Psikologi

perkembangan: pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gajah

Mada University Press.

Mu’tadin, Z., (2005). Penyesuaian diri

remaja. [on-line].

http:www.e-psikologi.com/remaja/ 160802.

Santrock, J.W., (2002). Life-span

development: perkembangan masa hidup.

Jakarta: Erlangga.

Schneiders,A.A., (1964). Personal adjustment

and mental health. New York: Holt

Renehart and Winston.

Sukadji,S., (2000). Psikologi pendidikan dan

psikologi sekolah. Depok: Lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi.

Sukadji,S. (2000). Psikologi paedagogi. Depok: Bagian Psikologi Pendidikan. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Supriadi, D., (1993). Kreativitas kebudayaan

dan perkembangan ilmu teknologi.

Bandung: CV. Alfabeta.

Syah, M., (1995). Psikologi pendidikan: suatu

pendekatan baru. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Tallent, N., (1978). Psychological adjustment

understanding one self and others. New

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan prestasi belajar anak sekolah dasar di Desa Grenggeng Kecamatan Karanganyar

Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas hidup ibu dan prestasi belajar anak usia 6-12 tahun di SDN Rejodani Sariharjo

dengan prestasi belajar kognitif pada anak usia 10-12 tahun sedangkan terdapat hubungan yang bermakna antara Peak Expiratory Flow Rate dengan prestasi belajar

Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa kebugaran mempunyai hubungan yang positif dengan prestasi akademik anak sekolah dan nilai OR

koping orangtua anak tunagrahita usia sekolah (6-12 tahun) di Yayasan Dharma Asih Sekolah Luar Biasa (SLB) Hasil analisis hubungan antara pekerjaan dengan koping

Penelitian ini sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan bahwa kebugaran mempunyai hubungan yang positif dengan prestasi akademik anak sekolah dan nilai OR

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi pendek (stunting) dengan prestasi anak sekolah dasar di daerah kumuh di Kotamadya Jakarta

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan gizi energi, karbohidrat, protein, dan lemak dan stunting dengan prestasi akademik pada anak usia sekolah dasar di