• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kepulauan dan memiliki

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kepulauan dan memiliki"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari kepulauan dan memiliki beragama etnik yang hidup berkembang dengan tradisi dan keyakinannya masing-masing. Beragam etnik ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya di Provinsi Sumatera Utara. Kota Medan adalah salah kota metropolitan dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di Indonesia (BPS, 2009). Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat sehingga Kota Medan merupakan salah satu kota multikultural di Indonesia. Berdasarkan data BPS pada tahun 2000, etnis-etnis yang ada di kota Medan adalah etnis-etnis Jawa, Batak, Tionghoa, Minangkabau, Melayu, Aceh, Sunda, dan sejumlah etnis-etnis lain yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Oleh karenanya, budaya masyarakat yang ada juga sangat pluralis yang berdampak pada beragamnya nilai – nilai budaya tersebut. Masing-masing etnik yang ada tentu memiliki kebiasaan, karakteristik, nilai-nilai, serta sikap yang membedakannya dengan budaya lain dan budaya tersebut akan dipertahanakan oleh setiap individu dalam kelompok tersebut. Menurut Herskovits (1963) kebudayaan merupakan sesuatu yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain.

(2)

Budaya di dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting karena menjadi alat perekat di dalam suatu komunitas,oleh sebab itu setiap negara memerlukan kebudayaan (Harrison and Huntington2000). Namun pada umumnya individu tidak menyadari secara nyata bahwa budaya dapat mengatur dan membentuk kepribadian dan perilakunya. Ketika individu dipisahkan dari budayanya, baik secara fisik maupun psikis, serta menghadapi kondisi yang berbeda atau bertolak belakang dengan gambaran dan asumsi yang dipercaya sebelumnya,maka pada saat itulah individu menjadi sepenuhnya sadar akan sistem kontrol dari budayanya yang selama ini tersembunyi (Gudykunst dan Kim, 2003).

Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik,adat istiadat,bahasa,perkakas,pakaian,bangunan, dan karya seni. (E.B. Tylor 1871). Keberagaman budaya ini dapat menjadi modal sekaligus potensi yang memiliki dua sisi. Keragaman budaya daerah menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun kondisi keberagaman budaya ini juga membawa dampak negatif yaitu sebagai sumber pemicu disintegrasi sosial jika mengedepankan kepentingan-kepentingan kelompoknya dan mengabaikan kelompok lain (Elly M. Setiadi & Usman Kolip 2010)

Masalah antar budaya sering sekali muncul karena komunikasi dan pemahaman antara kelompok budaya yang satu dengan yang lain tidak terjalin dengan baik. Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri. Konflik-konflik

(3)

yang selama ini terjadi di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya keragaman identitas etnis, agama, dan ras yang masing-masing memiliki nilai-nilai dan keistimewaannya masing-masing. Dan masing-masing individu maupun kelompok budaya tersebut akan saling mempertahankan kebudayaannya masing-masing,karena budaya merupakan ciri khas dari masyarakat itu sendiri. ( Tilaar 2004)

Chen (1997) mengatakan bahwa untuk bisa tetap hidup berdampingan dengan keberagaman budaya yang ada dibutuhkan kemampuan untuk mengembangkan emosi dalam memahami dan mengapresiasi perbedaan budaya sehingga kita dapat memunculkan prilaku yang efektif dalam komunikasi antar budaya sebagai "Intericultural Sensitivity". Dalam studinya Chen (1997) juga mengidentifikasi komponen dasar Intercultural Sensitivity sebagai harga diri (rasa nilai diri), self-monitoring, berpikiran terbuka, empati,keterlibatan interaksi dan akhirnya tidak menghakimi.

Menurut Gudykunst dan Kim ( 1992) , Intercultural Sensitivity merupakan sebuah keberhasilan integrasi proses afektif dan kognitif yang dapat membantu untuk mencapai orientasi sosial yang memungkinkan mereka untuk memahami perasaan dan juga perilaku orang lain seperti mereka sendiri.

Menurut Hart Dan Burks (1972) & Carlson, dan Eadie (1980) sensitivitas sebagai pola pikir yang diterapkan seseorang dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang sensitif harus mampu menerima kompleksitas pribadi, untuk menghindari kekakuan komunikasi, harus berinteraksi secara sadar, untuk menghargai ide-ide yang dipertukarkan, dan

(4)

memiliki toleransi. Elemen-elemen ini tampaknya tertanam dalam dimensi kognitif, afektif, dan perilaku interaksi antarbudaya.

Bhawuk dan Brislin (1992) menunjukkan, Intercultural Sensitivity merupakan reaksi individu untuk orang-orang dari budaya lain, yang dapat menentukan kemampuan kesuksesan seseorang untuk berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik . Definisi diatas menunjukkan bahwa Intercultural Sensitivity adalah konsep yang dinamis. Dimana orang-orang yang memiliki Intercultural

Sensitivity harus memiliki keinginan memotivasi diri untuk memahami,

menghargai, dan menerima perbedaan di antara budaya, dan menghasilkan hasil yang positif dari interaksi antar budaya.

Memupuk sikap dan perilaku yang mampu menghargai, memahami, dan peka terhadap potensi kemajemukan, pluralitas bangsa, dalam bidang etnik, agama, dan budaya yang ada tersebut tentu harus dimulai sejak dini sehingga suatu ajaran, doktrin, atau nilai tersebut diwujudkan dalam sikap dan perilaku,dimana dalam hal ini pendidikan akan memiliki peranan penting. Karena menurut Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997, didalam proses pendidikanlah kesadaran, toleransi, pemahaman dan pengetahuan tentang perbedaan dan persamaan antar budaya yang berkaitan dengan konsep, nilai,keyakinan dan sikap ini akan diajarkan,dipelajari,diarahkan dan diwujudkan.

Pendidikan pada hakekatnya menjadi proses pembelajaran untuk memberikan bekal pada para siswa dalam kehidupan di lingkungan sosial yang nyata. Pendidikan juga tidak hanya mengacu pada materi, penegetahuan, tetapi juga lingkungan sosial yang nyata. Inilah realitas social yang harus dihadapi dunia pendidikan dimana sekolah menjadi agen sosialisasi untuk mengenal dunia

(5)

sosialnya. Menurut Paulo Freire, (Effendi, A.,2012) pendidikan bukan “menara gading” yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan yang mampu memahami dan menghadapi dunia sosial yang sebenarnya.

Di Indonesia terdapat sekolah pendidikan formal yang berbasis heterogen (multikultural) dan berbasis homogen (monocultural). Sekolah multicultural ini sesungguhnya adalah sekolah yang bertujuan untuk memfasilitasi peserta dalam mengenal gagasan multikulturalisme dan pengalaman multiculturalisme yang dialami secara nyata di lingkungan sekolah. Wacana multiculturalisme dewasa ini sangat penting bagi negar-negara berkembang dan maju, termasuk salah satunya Indonesia yang merupakan negara yang memiliki berbagai macam karakteristik identitas seperti agama, sosial, budaya, dan bahasa (Chaeruman & Ruslan 2011)

Multikulturalisme dipahami sebagai konsep yang berkaitan dengan aspek sosial, politik,ekonomi, dan budaya. Aspek-aspek tersebut memberikan relasi baru dalam mewujudkanmasyarakat yang harmonis dan terintegrasi. Secara sederhana, multikulturalismedidefinisikan sebagai suatu pemahaman dalam peningkatan yang mencakup, keyakinan, keberagamaan, kebersamaan dalamperbedaaan yang sederajat, kesukubangsaan, kebersamaan perolehan pendidikan, dsb didalam diri manusia itu sendiri. Setiap orang harus menganggap multikultural itu sebagai bagian dari kehidupan yang nyata,dimana setiap orang hidup di tengah-tengah orang lain, sebagaimana orang lain hidup ditengah-tengah orang banyak (Ridwan, 2002:87)

(6)

Dalam perspektif keragaman budaya, system pendidikan nasional harus memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga Negara. Oleh karena itu, dalam penerimaan peserta didik, tidak dibenarkan adanya pembedaan atas jenis kelamin, agama, ras, latar belakang sosial, dan tingkat ekonomi. Perluasan istilah konsep “ satu system pengajaran nasional” menjadi “satu system pendidikan nasional” dalam UU Sistem Pendidikan Nasional memungkinkan pemberian perhatian terhadap unsure pendidikan yang berhubungan dengan kepribadian manusia. Pada gilirannya, hal tersebut diharapkan dapat mewujudkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bertaqwa, memilihara kemanusiaan, dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

Menurut Anwar Effendi (2008) Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multicultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk mau memahami dan menghargai keberagaman yang ada. Dengan pengembangan system pendidikan multikultural diharapkan mampu menjadi salah satu metode yang efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multicultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.

Menurut Fay (1996) multikulturalisme sebagai suatu ideologi yang akan mengakui dan menerima perbedaan menjadi kesederajatan baik secara kebudayaan individumaupun secara kolektivitas. Dengan demikian mulitikulturalisme dapat mewujudkanmasyarakat yang rukun dan menjunjung nilai-nilai kesederajatan. Itulah sebabnya dalam konteks pendidikan,

(7)

multikulturalisme sangat penting diajarkan di sekolah. Hal ini berkenaan dengan Indonesia sebagai bangsa yang besar yang terdiri darikeanekaragaman masyarakat dan budaya. Kemajemukan itu harus di internalisasi dalammuatan pendidikan yang menekankan pada aspek kesederajatan dalam pemenuhan hakhakbagi warga negara, sehingga benturan-benturan sosial.

Menurut James A. Banks pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui danmenilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup,pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu,kelompok maupun negara.

Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yangmelibatkan lebih dari satu budaya yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik,dan lain-lain. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran,toleransi, pemahaman dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan cultural danjuga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan kosep, nilai, dankeyakinan serta sikap (Lawrence J. Saha, 1997).

Namun pada kenyataannya kita lihat pada sekarang ini, multikulturalisme yang seharusnya menekankan untuk bertoleransi, memahami dan mempertimbangkanperbedaan yang ada baik itu dari etnis, kepercayaan serta sikap ternyatakerap menimbulkan konflik baik dari segi etnis,kepercayaan maupun sikap antar individu.Melalui pendidikan (multikultural), kesadaran akan nilai multikultur dapat dikembangkan. Pendidikan multikulturalisme menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan berbasis

(8)

pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat. Khususnya yang ada pada siswa seperti: keragaman etnis, budaya, bahasa ,agama, status sosial, gender,umur dan ras(Tilaar 2004)

Penanaman wawasan multikulturalisme dapat diawali dengan kesadaran akan pentingnya nilai kebersamaan, menanamkan sikap toleransi, serta menjunjung tinggi demokrasi dan pemahaman makna budaya perdamaian. Pendidikan dengan basis multikultural akan sangat membantu orang untuk mengerti, memahami, serta menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan yang harus dihargai dan dihormati sehingga tumbuh pemahaman akan relativitas nilai budaya (Ekstrand, L.H. dalam Saha, Lawrence J. 1997.)

Sayangnya, sejak orde baru Indonesia juga cenderung masih menggunakan sistem “monokultural”. Sebagai contoh, lahirnya sekolah favorit-nonfavorit dan sekolah negeri-swasta. Pembentukan karakteristik dalam dunia pendidikan tersebut justru cenderung menjauh dari konsep multikulturalisme. Begitu juga maraknya sekolah-sekolah berbasis homogen (monokultural seperti etnis dan keagamaan) (Aris Saefulloh. 2009.)

Menurut Grendi Hendrastomo (2012) Sekolah berbasis pendidikan homogen ditandai dengan kesamaan karakteristik peserta didik baik secara persamaan ekonomi,golongan,agama,maupun etnisitas.Aris Saefulloh (2009) juga menambahkan bahwa sekolah negeri atau swasta yang berbasis Islam menjadi identik bagi sekolah kaum pribumi. Sedangkan sekolah-sekolah yang berbasis Kristen menjadi identik dengan sekolah bagi anak-anak keturunan China. Kondisi dan realitas ini melahirkan segregasi yang membentuk sikap eksklusivisme dan dapat melahirkan sikap anti toleran terhadap kemajemukan. Pada sekolah yang

(9)

berbasis homogen (monokultural) akan cenderung memiliki budaya yang sama didalam lingkungan sekolah. Hal ini tentu akan menciptakan budaya yang homogen di lingkungan sekolah dan para siswa dan siswi yang ada di sekolah tersebut. (Aris Saefulloh. 2009.)

Homogenitas pendidikan kemudian diartikan sebagai keseragaman, harmonisasi yang “dipaksakan”, kesamaan, kesebandingan, sesuatu hal yang dibuat sama dan seragam dalam dunia pendidikan, termasuk didalamnya kesamaan status sosial, kesamaan agama, hingga etnis para peserta didiknya. Homogenitas disini sama artinya dengan diskriminasi terhadap siswa yang berbeda dalam hal status sosial, agama atau etnis.

Pendidikan homogen (monokultural) juga cenderung mengabaikan keunikan dan pluralitas,sehingga memasung pertumbuhan pribadi yang kritis dan kreatif. (Abdul Munir Mulkhan Guru Besar IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam artikel Pendidikan Monokultural VS Pendidikan Multikultural)

Berdasarkan uraian diatas, pendidikan yang berbasis multikultural contohnya sekolah umum negeri atau swasta yang memiliki karakteristik murid tanpa membedakan agama,suku,dan ras atau golongan tertentu,akan membangun kesadaran pentingnya nilai kebersamaan, menanamkan sikap toleransi,mengerti, memahami, serta menerima perbedaan yang harus dihargai dan dihormati.

Sementara bagaimana dengan yang homogen? sekolah yang berbasis pendidikan homogen (monokultural) contohnya sekolah yang memiliki karakteristik murid dengan agama atau suku dan ras tertentu yang akan cenderung menjauh dari konsep multikulturalismedan dapat melahirkan sikap anti toleran

(10)

terhadap kemajemukan yang ada diantara budaya di Indonesia khususnya kota Medan.

Berdasarkan hal ini peneliti ingin melihat bagaimana perbedaan

Intercultural Sensitivity pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan

sekolah yang heterogen (multikultural) yang ada di kota medan?

B. Perumusan masalah

Dari latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

“Apakah terdapat perbedaan Intercultural Sensitivitysiswa pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah yang heterogen (multikultural) di kota Medan”

C. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah ada perbedaan Intercultural

Sensitivity para siswa pada sekolah yang homogen (monokultural) dengan sekolah

heterogen (multicultural) di kota medan.

D. Manfaaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembangan ilmu psikologi dan dapat menambah pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Sosial, juga dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber informasi dan pemicu bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut berkaitan dengan topik.

(11)

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

Untuk mengetahui perbedaan Intercultural Sensitivity antara siswa pada SMA yang homogen (monokultural) dengan SMA yang heterogen (multikultural) di kota Medan.

Menjadi evaluasi sejauh mana pendidikan mendukung keragaman budaya melalui perbedaanIntercultural Sensitivity yang ada pada siswa SMA yang homogen (monokultural) dan heterogen (multikultural) di kota Medan.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang yang mendasari penelitian ini, rumusan masalahnya, tujuan diadakannya penelitian, manfaat penelitian dari segi teoritis dan praktis, serta sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bagian ini berisikan tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Adapun teori-teori yang dimuat adalah teori mengenai

(12)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi identifikasi variabel yang diuji dalam penelitian, defenisi operasionalnya, populasi dan sampel yang akan diteliti, metode yang digunakan dalam pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, serta metode dalam menganalisis hasil data penelitian.

BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.

(13)

PARADIGMA BERFIKIR

Gambar 1. Paradigma Berfikir

Budaya Indonesia

Sekolah

heterogen

Sekolah

Sekolah

homogen

Intercultural Sensitivity

Masyarakat Multicultural

Gambar

Gambar 1. Paradigma Berfikir

Referensi

Dokumen terkait

Karena pengaturan hukum administrasi Negara mencakup tataran yang begitu luas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa (penyelenggaraan administrasi Negara, penyelenggaraan

Secara yuridis perumusan pengertian akta otentik tersebut dinyatakan oleh ketentuan dalam Pasal 165 HIR/RBG, sebagai berikut: ”Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat oleh

Dalam beberapa tahun terakhir, Nagarey yang merupakan toko furniture bekerja bersama sejumlah desainer dan pengusaha dari Skandinavia. Produk Skandinavia banyak

institusi pendidikan dan lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan pelayanan kesehatan rujukan dan khusus.. RENSTRA-SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten Blitar Tahun

Kunci pas berfungsi untuk membuka/memasang baut/mur yang tidak terlalu kuat momen pengencangannya dan juga untuk melepas baut yang sudah dikendorkan dengan kunci

Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat ini menggunakan metode sebagai berikut. Pertama adalah metode presentasi. Metode presentasi digunakan untuk menjelaskan berbagai macam

Tujuan pelaksanaan tugas akhir ini adalah untuk mencari Standar Deviasi dan Standar Error dari empat manometer uji dengan data yang diperoleh dari perhitungan secara

Setelah melihat video tutorial tentang membuat kreasi bentuk robot dari sayur-sayuran, anak mampu membuat kreasi bentuk robot dari sayur-sayuran dengan rapi (SN 3.15-4.15.9).