• Tidak ada hasil yang ditemukan

Orientasi Nilai Budaya Dalam Kautamaning Laku Persaudaraan Setia Hati Terate oleh: Herman Pamuji 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Orientasi Nilai Budaya Dalam Kautamaning Laku Persaudaraan Setia Hati Terate oleh: Herman Pamuji 1"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Orientasi Nilai Budaya Dalam Kautamaning Laku Persaudaraan Setia Hati Terate

oleh: Herman Pamuji1

ABSTRAKSI

Dewasa ini pemberitaan tentang kerusuhan antar anggota perguruan pencak silat di kota Madiun sering menghiasi media massa, baik di tingkat local maupun nasional. Salah satu perguruan yang sering mendapat pemberitaan negative adalah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Sulit dipercaya memang, PSHT yang memiliki reputasi historis dan menjadi kebanggan moral masyarakat Madiun justru sering dituduh menjadi biang keladi kerusuhan tersebut. Hal ini patut menjadi keprihatinan kita semua. Ada apakah dengan PSHT? Sistem nilai apakah yang menjadi orientasi nilai budaya PSHT?

Skripsi ini mencoba mengangkat persoalan tersebut terutama untuk memahami bagaimanakah orientasi nilai budaya yang terkandung dalam system nilai PSHT tersebut. Pertanyaan ini sangat penting diajukan karena dengan memahami orientasi nilai budaya yang mereka anut pada gilirannya dapat memberikan gambaran konseptual mengenai nilai-nilai hakiki yang menjadi landasan perilaku PSHT tersebut. Sistem nilai yang menjadi landasan acuan perilaku PSHT sesungguhnya tercermin di dalam 12 butir Kautamaning Laku (pedoman perilaku utama), yang selalu diajarkan melalui olah rasa kepada seluruh anggota perguruan. Oleh karena itu untuk memahami system nilai tersebut dipergunakanlah teori Orientasi Nilai Budaya yang dikemukakan oleh Kluckhon guna menganalisis nilai-nilai hakiki yang terkandung dalam 12 butir Kautamaning Laku tersebut. Dengan menerapkan teori Kluckhon dapat dipahami nilai-nilai hakiki ketuhanan, kemanusian, kemasyarakatan, kekaryaan dan keharmonisan yang menjadi cirri khas aspek-aspek system nilai yang selalu diajarkan dan dianut oleh PSHT tersebut. Dalam konteks

1

Mahasiswa Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. NPM 0806353923

(2)

ungkapan bahasa Jawa, orientasi nilai budaya perguruan PSHT tercermin dalam motto memayu hayuning bawono, sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.

Kata Kunci:

Orientasi Nilai Budaya, Persaudaraan Setia Hati Terate, PSHT, Madiun, kautamaning laku, olah rasa, memayu hayuning bawono

Pendahuluan

Kebudayaan Indonesia atau yang dahulu terkenal dengan nama Nusantara atau Nuswantara dalam bahasa Jawa, memiliki ciri khas tersendiri yang mewakili serta membentuk jati diri, dari masing-masing masyarakat pembentuk Kebudayaan Indonesia. Kebudayaan tersebut hingga sekarang terus mengalami perkembangan, menyesuaikan dengan perkembangan zaman, walaupun tetap tidak melupakan pondasi awal kebudayaan tersebut.

Kebudayaan yang terdapat di seluruh permukaan bumi adalah hasil budidaya manusia. Kebudayaan tersebut muncul karena manusia saling berinteraksi. Interaksi antar manusia tersebut lalu membentuk suatu komunitas sosial. Dari komunitas sosial tersebut lalu terciptalah berbagai pola tindakan yang akhirnya membentuk suatu kebudayaan.

Kebudayaan menurut Koentjaraningrat berasal dari kata buddhayah sebagai kata jadian dari kata buddhi (Sansekerta) yang berarti ‘akal’ (Koentjaraningrat, 1974: 80). Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:149) sendiri disebutkan bahwa: “budaya“ adalah pikiran, akal budi, adat-istiadat. Sedang “kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian dan adat-istiadat.

Lebih lanjut lagi, Prof Koentjaraningrat mengemukakan bahwa kebudayaan memiliki makna “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan proses belajar.”

Setiap daerah, wilayah, maupun masyarakat mempunyai kebudayaan yang beragam dan mempunyai ciri khas yang menunjukkan identitasnya, tak terkecuali Madiun. Seperti halnya kota yang lainnya, Madiun memiliki ciri khas yang tidak

(3)

akan ditemui di wilayah lainnya. Madiun adalah sebuah kota kecil yang ada di ujung barat Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar orang mungkin tidak familiar atau mengetahui kota kecil ini, kecuali sepenggal sejarah kelam ketika tahun 1948, di mana kala itu Madiun menjadi bazis pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Musso terhadap Republik Indonesia pimpinan Soekarno yang baru saja berdiri.

Kondisi Madiun, saat ini banyak dihiasi pemberitaan adanya bentrokan antar perguruan pencak silat yang ada di Madiun, yang melibatkan salah satunya adalah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Madiun semakin terstigma negatif dan citra perguruan pencak silat tersebut menjadi buruk di mata masyarakat. Padahal di dalam website resmi Persaudaraan Setia Hati Terate, diterangkan bahwa setiap warga atau siswanya diajarkan tentang kautamaning laku. Berikut ini adalah dua belas kautamaning laku yang diajarkan oleh Persaudaraan Setia Hati Terate tersebut;

1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran. 2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.

3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama.

4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.

5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma.

6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.

7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.

8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi. 9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.

10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani.

(4)

12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

Rumusan Masalah

Madiun sesungguhnya adalah sebuah wilayah yang punya potensi dalam bidang seni bela diri, yang bisa mengembangkannya sebagai suatu local wisdom atau kearifan lokal masyarakat Madiun, dan bukannya justru sebagai faktor destruktif Madiun. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimanakah orientasi nilai budaya yang terdapat dalam kedua belas butir kautamaning laku dalam olah rasa Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Madiun tersebut.

Tujuan Penelitian dan Kontribusi terhadap Masyarakat

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut untuk dapat mengetahui orientasi nilai budaya yang terdapat dalam ajaran kautamaning laku dalam olah rasa Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Madiun, mengetahui ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kautamaning laku tersebut, serta mengetahui landasan dasar dari kautamaning laku Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Sehingga penelitian ini diharapkan mampu menemukan sebuah solusi tepat tentang perilaku sebagian warga atau anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang sering bentrok dengan elemen lainnya. Masyarakat pun diharapkan dengan membaca tulisan ini, mampu menilai keberadaan Persaudaraan Setia Hati Terate bukan sebagai organisasi yang pembawa kekakcauan, namun sejatinya mengajarkan anggotanya untuk memayu hayuning bawono, sura dira jayaningrat lebur dening pangestuti, yaitu ikut memelihara perdamaian dunia.

Sejarah Persaudaraan Setia Hati Terate

Pada tahun 1903, Ki Ngabei Soero Diwirdjo, putra sulung Ki Ngabei Soeromihardjo, seorang mantri di Desa Ngimbang Kabupaten Jombang, mendirikan Sedulur Tunggal Kecer (STK) di Desa Tambak Gringsing, Surabaya. Ki Ngabei Soero Diwirdjo juga merupakan saudara sepupu RAA Soeronegoro, bupati Kediri pada saat itu.

Pada tahun 1915, Ki Ngabei Soero Diwirdjo pindah ke Madiun, yang kemudian pada tahun 1917, Ki Ngabei Soero Diwirdjo mengubah nama STK

(5)

menjadi PERSAUDARAAN SETIA HATI dan sejak saat itu nama STK dilarang digunakan lagi. Di tahun ini pula, Ki Hadjar Hardjo Oetomo yang kemudian hari akan menjadi pendiri Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) masuk dan dikecer sebagai saudara Setia Hati.

Pada tahun 1922, Ki Hadjar Hardjo Oetomo masuk Sarekat Islam (SI). Di tahun ini juga terjadi perbedaan pendapat antara Ki Hardjo Oetomo dengan Ki Ngabei Soero Diwirdjo, lalu Ki Hardjo Oetomo minta izin untuk mendirikan SH di Desa Pilang Bango, Madiun. Ki Ngabei Soero Diwirdjo mengizinkan, asal tidak menggunakan nama Setia Hati, untuk membedakan. Maka berdirilah Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC).

Pada tahun 1942, berdasarkan usul Bapak Suratno Soreng Pati nama Setia Hati Pencak Sport Club (SH PSC) diubah menjadi SH TERATE, yang disusul pada tahun 1948, terwujudlah pengorganisasian PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE (PSHT) Madiun. Maka resmilah PSHT menjadi organisasi yang modern dan memiliki AD/ART organisasi.

Filosofi dari PSHT yaitu bahwa Persaudaraan Setia Hati Terate adalah cara hidup, jalan hidup. Unsur olahraga hanya aspek kecil, salah satu dari banyak elemen penting dalam ajaran PSHT. Dengan pendekatan yang lebih luas, maka dapat disebut bahwa Persaudaraan Setia Hati Terate bukanlah olahraga bela diri, tetapi seni bela diri.

Persaudaraan Setia Hati Terate didirikan dengan lima prinsip dasar:2 1. Persaudaraan

2. Olah Raga 3. Bela Diri 4. Seni Budaya

5. Kerohanian ke-SH-an yang merupakan wujud pengembangan spiritual

Lima prinsip dasar PSHT di atas, menjelaskan berbagai konsep yang tercermin dalam lambang dari PSHT itu sendiri. Hal tersebut

2

Termaktub dalam AD/ART Persaudaraan Setia Hati Terate Bab X tentang Kegiatan Pasal 36 tentang Pelajaran

(6)

merupakan bagian untuk mewujudkan filosofi dari Persaudaraan Setia Hati Terate.

Tulisan “Persaudaraan”, yang dapat diterjemahkan untuk mengungkapkan visi bahwa semua orang adalah saudara dan saudari. "Saudara" yang diterjemahkan baik sebagai "saudara" dan "adik", Ini berarti saling menghormati, solidaritas dan kerjasama. Persaudaraan yang tanpa memandang budaya, ras, keyakinan, dan afiliasi politik.

Tulisan “Setia Hati”. Hal ini dapat diterjemahkan sebagai "hati yang setia". Ini menyiratkan bahwa seseorang harus selalu menuruti hati nurani sendiri (perasaan emosional) dalam semua keputusan hidup. Emosi-emosi ini, bagaimanapun, harus selaras dengan kognisi rasional seseorang.

Gambar “Hati” digambarkan dalam lambang. Sinar yang berasal dari hati ini adalah representasi simbolis dari konsep persaudaraan, yaitu yang satu mengirimkan pikiran-pikiran baik atau perasaan kepada orang lain. Border warna merah di sekitar hati adalah simbol pertahanan diri. Putih melambangkan cinta yang lahir dari hati dan kebersihan batin.

Gambar “Terate”. Terate adalah bunga air seperti bakung. Bunga terate tersebut melambangkan mampu menyelesaikan, bertahan, dan mampu untuk beradaptasi. Bunga ini dapat berkembang dalam segala kondisi. Dalam kondisi kering dan basah. Hal tersebut diisyaratkan agar anggota PSHT mampu beradaptasi dan mengatasi keadaan yang sulit. Dan seperti bunga terate sendiri, meskipun mendapat pengaruh negatif dari lingkungan, anggota PSHT mampu mempertahankan kebersihan batinnya. Bunga terate dapat mekar di lumpur, tetapi tetap mampu mempertahankan keindahan dan kemurniannya.

Sebuah garis merah vertikal ditemukan di sisi kiri lambang, diapit pada setiap sisi menjadi garis putih. Ini adalah penggambaran jalan yang lurus, serta melambangkan pertumbuhan mental dan spiritual, di mana setiap anggota PSHT harus mempunyai cita-cita. Selama proses inisiasi ke Gelar Pertama, calon anggota harus bersumpah untuk mengikuti jalan ini dan harus berperilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku.

Gambar Senjata. Sejumlah senjata yang berwarna kuning digambarkan pada lambang PSHT di atas. Ini melambangkan bahwa seseorang harus mengikuti

(7)

penempaan fisik terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya mencapai penempaan rohani atau spiritual. Senjata-senjata yang digunakan dalam Pencak Silat adalah kombinasi senjata adat dan mereka dibawa ke Indonesia dari seluruh benua Asia. Sejumlah senjata ini awalnya alat yang digunakan untuk bekerja.

Orientasi Nilai Budaya Dalam Kautamaning Laku Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Madiun

Clyde Kluckhohn mendefinisikan nilai sebagai sebuah konsepsi, eksplisit atau implisit, menjadi ciri khusus seseorang atau sekelompok orang, mengenai hal-hal yang diinginkan yang mempengaruhi pemilihan dari berbagai cara-cara, alat-alat, tujuan-tujuan perbuatan yang tersedia. Orientasi nilai budaya adalah konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal-hal yang diingini dan tak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan antar orang dengan lingkungan dan sesama manusia.

Orientasi nilai budaya ini sangatlah bersifat umum karena mencakup ruang lingkup yang luas. Sama halnya dengan masalah dasar yang terdapat pada kehidupan manusia. Kluckhohn (1984:435) menyatakan bahwa tiap masalah dasar dalam hidup manusia yang ada dalam tiap-tiap kebudayaan pasti mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, ia membuat suatu kerangka teori yang dapat dipakai para ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam orientasi nilai budaya semua kebudayaan di dunia. Menurut C.Kluckhohn, kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi orientasi nilai budaya adalah :

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia.

2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia.

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu.

4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya. Kelima orientasi nilai budaya di atas akan dikaitkan dengan nilai-nilai yang ditanamkan dalam kedua belas butir kautamaning laku dalam olah rasa yang dijalankan oleh Persaudaraan Setia Hati Terate, dalam membentuk karakter atau

(8)

jati diri seorang pendekar Setia Hati Terate. Sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh penulis, yaitu agar penulis dan masyarakat umum dapat mengetahui bahwa sebenarnya di dalam Persaudaraan Setia Hati Terate terdapat pendidikan olah rasa, dalam menciptakan masyarakat yang damai, yaitu masyarakat yang memayu hayuning bawana.

Dari kedua belas butir kautamaning laku yang diajarkan dalam olah rasa Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Madiun, yaitu;

1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran. (Orang yang senantiasa mengamalkan ilmu yang berdasarkan perintah agama, niscaya akan mendapatkan kasih sayang Tuhan).

2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran. (Manusia yang mengupayakan atau mewujudkan kebahagiaan untuk sesama manusia, maka akan mendapatkan petunjuk dari Tuhan)

3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama. (Ketahuilah perkara atau ilmu ghaib, akan tetapi jangan lupa belajar ilmu agama, karena (dua ilmu) itu adalah komponen hidup yang utama).

4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapuranira. (Selalu waspada atau teliti dan memiliki jiwa pemaaf).

5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma. (Berbuat baiklah kepada sesama makhluk Tuhan, dan berilah kebahagiaan sesama manusia).

6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran. (Jangan punya anggapan merasa benar sendiri, merasa buruk dan merasa bersalah. Pasrahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Mulia, karena apabila kamu merasa paling benar dan baik, maka akan diberi adzab atau hukuman dari Tuhan).

7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya. (Tenangkanlah dirimu, tentramkanlah pikiranmu, jangan bernafsu melahap semua yang

(9)

ada, dan selalu waspada atau hati-hati dalam setiap tindakan atau perbuatan).

8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi. (Selalu ingatlah Tuhan Pencipta Alam Raya, siang dan malam).

9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala. (Bertapalah seperti api. Artinya selalu teguh atau kuat apabila mendengar perkataan yang buruk).

10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani. (Bertapalah menghindari air. Artinya jangan sembarang mengikuti aliran air, yaitu menuruti semua perkataan orang lain, tanpa bertanya baik dan benarnya).

11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe. (Bertapalah di dalam lubang atau liang. Artinya mau memendam perasaan atau egonya, jangan sampai hanya memperlihatkan kebaikan diri sendiri saja. (Jangan egois).

12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik. (Berjihad fi sabilillah. Artinya di dalam hatimu sendiri ada perang Baratayudha, yaitu perang antara hati yang buruk melawan hati yang baik).

Maka orientasi nilai budaya yang terdapat di dalamnya adalah sebagai berikut: 1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia, yaitu bahwa hidup di dunia

ini buruk, dan akan menjadi baik apabila melakukan usaha atau ikhtiar. Usaha yang bisa dilakukan adalah senantiasa mengingat Tuhan dan setia kepada hatinya sendiri (setia hati), setelah berperang batin antara nafsu baik dan nafsu yang buruk.

2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia, yaitu bahwa karya manusia itu menciptakan kedudukan atau kehormatan manusia, namun bukan kedudukan di mata manusia, akan tetapi di mata Tuhan. Karya yang menciptakan kedudukan atau kehormatan manusia di mata Tuhan adalah dengan mengamalkan perintah Tuhan serta mau menolong atau membahagiakan orang lain. Selain menciptakan kedudukan, karya manusia juga menambah karya dari manusia itu sendiri. Contoh karyanya

(10)

adalah mengenal dan menguasai ilmu agama dan ilmu gaib, yang merupakan komponen utama dalam hidup.

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu, yaitu bahwa waktu sangatlah penting, sehingga Persaudaraan Setia Hati Terate memikirkan tentang masa kini dan juga masa yang akan datang. Kedua belas poin kautamaning laku tersebut, secara tersirat menampilkan pentingnya waktu.

4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yaitu bahwa manusia harus mampu menjaga hubungan yang selaras dengan alam, yaitu dengan menjaga kelestarian alam sekitar dan bukannya justru merusaknya. Dengan berbuat baik kepada alam dengan menjaga kelestariannya, maka tentunya manusia akan mendapatkan manfaat dari kelestarian alam semesta.

5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya, yaitu bahwa manusia memiliki orientasi kolateral atau horizontal yang memiliki rasa ketergantungan kepada sesama manusia serta memiliki jiwa kebersamaan. Selain orientasi horizontal, hubungan manusia dengan sesamanya juga berorientasi individu, di mana manusia menilai tinggi atas usaha atau kemampuan yang ada dalam dirinya. Orientasi horizontal yang diajarkan dalam kautamaning laku adalah tidak berlaku egois, merasa paling benar atau lebih tinggi daripada orang lain, berjiwa pemaaf atas kesalahan orang lain, serta mau menolong orang lain. Sedangkan orientasi individualisme yang diajarkan dalam kautamaning laku adalah senantiasa setia kepada hatinya serta kuat dalam berprinsip atau tidak gampang terpengaruh perkataan atau pemikiran orang lain.

Dari kelima masalah yang dipaparkan oleh Kluckhohn di atas, yang menjadi landasan dasar manusia yang diajarkan dalam Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) adalah orientasi nilai hakikat dari hidup manusia. Karena diajarkan oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), bahwa hidup manusia harus senantiasa dilandasi ketuhanan dan setia kepada hatinya sendiri (setia hati). Bagaimana manusia berkarya, bagaimana manusia memperlakukan waktu, bagaimana manusia memperlakukan alam sekitar, serta bagaimana manusia

(11)

berhubungan dengan sesamanya, keempatnya tidak akan lepas dari landasan hidup ketuhanan dan setia hati.

Penutup

Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) Madiun, sebagai sebuah organisasi besar, sejatinya memiliki sebuah konsep orientasi nilai budaya yang telah penulis paparkan di atas. Orientasi nilai tersebut, mencakup tentang hakikat hidup manusia, hakikat karya, hakikat manusia dengan waktu, hakikat manusia dengan alam sekitar, serta hakikat manusia dengan sesamanya. Semuanya terangkum dalam kautamaning laku yang berjumlah dua belas butir tersebut.

Dari kedua belas butir kautamaning laku seorang warga atau anggota Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), yang dipandang dari kelima hakikat yang telah diungkapkan oleh Kluckhohn, maka yang menjadi landasan dasar manusia dalam ajaran kautamaning laku Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) adalah orientasi nilai hakikat dari hidup manusia. Karena diajarkan oleh Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT), bahwa hidup manusia harus senantiasa dilandasi ketuhanan dan setia kepada hatinya sendiri (setia hati). Bagaimana manusia berkarya, bagaimana manusia memperlakukan waktu, bagaimana manusia memperlakukan alam sekitar, serta bagaimana manusia berhubungan dengan sesamanya, keempatnya tidak akan lepas dari landasan hidup ketuhanan dan setia hati. Manusia harus senantiasa “eling” atau ingat kepada Tuhan serta “eling” kepada kata hatinya sendiri. “Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.” dan “Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik.”

Dengan kembali memperhatikan ajaran kautamaning laku yang ada dalam olah rasa di atas, sejatinya mampu membentuk karakter seorang pendekar Setia Hati Terate (SHT) yang sejati, di mana hidupnya berdasarkan Tuhan dan senantiasa setia kepada hatinya sendiri (setia hati), sehingga mampu mewujudkan memayu hayuning bawana, sura dira jayaningrat, lebur dening pangestuti.

Daftar Pustaka

Hadiwijono, Dr. Harun. 1983. Konsepsi Manusia Dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Sinar Harapan

(12)

Harris, Marvin. 1999. Theories of Culture in Postmodern Times. New York: Altamira Press.

Jong, Dr. S. de. 1976. Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Kanisius KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Koentjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. ______________. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

______________. 1985. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat

______________. 1985. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia

______________. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru ______________. 1990. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI Press ______________. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta Manan, Imran. 1989. Antropologi Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Melalatoa, Dr. M. Junus. 1997. Sistem Budaya Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dan PT Pamator Mulder, Niels. 1996. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan

Negoro, Suryo S. 2000. Kejawen: Laku Menghayati Hidup Sejati. Surakarta: CV Buana Raya

Pelly, Usman. 1994. Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Poerwodarminto, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia (Jakarta): J.B. Wolters’ Uitgervers-Maatschappij n.v. Groningen

_____________________. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

(13)

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Refika Aditama Suparlan, Parsudi, 1981/82, “Kebudayaan, Masyarakat, dan Agama: Agama

sebagai Sasaran Penelitian Antropologi” Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (Indonesian Journal of Cultural Studies), Juni jilid X nomor 1. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta:

Kanisius

Utorodewo, Felicia N, dkk. 2008. Bahasa Indonesia: Sebuah Pengantar Penulisan Ilmiah. Depok: 2008

Van Baal, 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga decade 1970). Jakarta: PT Gramedia

Winardi, Prof.Dr. J., SE. 2003. Teori Organisasi dan Pengorganisasian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Sumber Internet

http://www.shterate.com (situs resmi Persaudaraan Setia Hati Terate) yang diakses November 2012

Referensi

Dokumen terkait

Status hara P total sedang pada lahan sawah di Desa Hilibadalu Kecamatan Sogaeadu Kabupaten Nias juga kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya pembakaran jerami

Hasil penelitian adalah: (1) Persepsi masyarakat Kecamatan Panga Kabupaten Aceh Jaya terhadap dampak penambangan batu akik khususnya terhadap lingkungan adalah

Dinas Tenaga Kerja dalam menunjang kemampuan teknis dan operasional serta memeberikan pelayanan langsung kepada masyarakat industri dan masyarakat umum dalam bidang

Peraturan Daerah Khusus Bernuansa Agama dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Selain itu, bimbel SMART merupakan sarana bagi prodi untuk mengetahui sejauhmana tingkat kepuasan pengguna (steakholders) terhadap output/produk (mahasiswa/lulusan)

Biomassa limbah pertanian yang terdiri atas limbah industri minyak kayu putih, batang jagung, bonggol jagung, batang tembakau, jerami padi, kedelai, ampas tebu, tandan kosong

Pembelajaran al-Qawaid al-Sharfiyah perlu menyesuaikan dengan siklus otak dimana pembelajaran yang dilakukan pagi akan lebih fresh ketimbang siang hari, kemudian sistem

Permasalahan pertama adalah bahwa terkait demi memenuhi kuota, mayoritas kandidat wanita yang maju dalam pemilu tidak memiliki latar belakang yang sesuai dan bahwa wanita