• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepercayaan, hari perayaan, upacara adat, adat-istiadat, dan tradisi lain yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kepercayaan, hari perayaan, upacara adat, adat-istiadat, dan tradisi lain yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia terkenal dengan keragaman budaya, keragaman tersebut antara lain berupa norma masyarakat, bahasa, teknologi, mata pencaharian, agama dan kepercayaan, hari perayaan, upacara adat, adat-istiadat, dan tradisi lain yang semuanya merupakan hasil dari cipta, karya, dan karsa manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang sering berinteraksi satu sama lain, melakukan suatu kebiasaan yang kemudian dikembangkan dan menjadi tradisi atau budaya yang turun-temurun. Hubungan erat antara manusia dengan kebudayaan adalah satu hal yang tidak bisa dipisahkan, dimanapun manusia hidup dan menetap maka di situlah manusia menjalani aktivitas kehidupan sesuai dengan kebudayaan, adat, maupun norma yang ada. Keragaman budaya dari setiap daerah disebabkan oleh kondisi masyarakat, dan kondisi geografis yang membuat masyarakat harus menyesuaikan hidup dengan alam sekitar.

Perkembangan zaman yang terjadi telah merubah segala tatanan sosial-budaya dalam masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi yang masuk ke Indonesia diharapkan dapat memberi pengaruh yang positif terhadap kebudayaan, karena kebudayaan merupakan jembatan yang menghubungkan manusia dengan manusia yang lain. Perkembangan teknologi yang semakin modern mengharuskan suatu kelompok masyarakat melakukan adaptasi baru, dan pembaharuan tersebut tidak harus merubah adat-istiadat yang telah dilestarikan secara turun-temurun. Manusia dengan akalnya dapat menemukan hal-hal baru baik berupa ilmu

(2)

2

pengetahuan, adat-istiadat, norma, dan hal baru lainnya. Kemampuan intelektual yang dimiliki manusia dapat menghasilkan karya dan menciptakan dunia baru yang dijadikan suatu budaya baru. Perpaduan antara hati dan pikiran, agama dan akal akan melahirkan sikap mental yang baik. Sikap mental manusia merupakan bagian dari kebudayaan yang berfungsi sebagai pengarah dan pendorong kelakuan manusia dengan didukung oleh pedoman yang nyata berupa norma-norma, hukum dan aturan (Koentjaraningrat, 1995:387).

Beberapa hasil karya manusia yang tercipta merupakan hal yang paling mudah untuk dinikmati, dari beberapa hasil karya manusia ada yang berupa hasil karya yang bisa dilihat seperti tarian, upacara adat, lukisan, pahatan, dan lainnya, ada pula yang hanya disebarkan melalui cerita seperti mitos, cerita rakyat, dan lainnya. Hasil karya manusia ada pula yang tidak bisa dilihat dan tidak bisa pula dipegang, tetapi hanya bisa dialami dan diselenggarakan sebagai pranata. Hasil karya yang tidak tampak seperti sopan-santun, aturan lalu lintas, upacara pernikahan, disiplin militer dan lainnya (Kusumohamidjojo, 2009:143).

Hasil karya manusia yang berbentuk ada banyak, tetapi lebih banyak hasil karya manusia yang tidak berbentuk. Keanekaragam budaya yang merupakan hasil karya manusia dan mendarah daging dalam kehidupan manusia seperti yang terdapat dalam masyarakat di pulau Jawa, masyarakat Jawa pada umumnya masih menerapkan beberapa tradisi yang telah dipercaya secara turun-temurun. Kebudayaan Jawa dalam penelitian ini merupakan salah satu tradisi yang benuansa Islam, yaitu tradisi kenduri atau kenduren (bahasa jawa) atau selamatan yang hingga saat ini masih dipertahankan dan dilaksanakan.

(3)

3

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat yang religius, perilaku kesehariannya banyak dipengaruhi oleh alam pikiran yang bersifat spiritual. Kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa ada beberapa yang memiliki hubungan khusus dengan alam, hubungan masyarakat dengan alam sekitar mempengaruhi pola dalam kehidupan sehari-hari. Upacara yang bersifat tradisional merupakan salah satu bentuk tradisi yang masih dilaksanakan hingga saat ini, peran upacara sendiri selalu mengingatkan manusia berkenaan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan masyarakat. Upacara adat yang ada sejak zaman nenek moyang masih dilestarikan hingga sampai sekarang, masih diakui dan dilaksanakan dengan baik walaupun banyak pula yang melakukan dengan cara yang telah berbeda dari sebelumnya karena pengaruh zaman.

Kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya masih memiliki kepercayaan yang kuat dengan dunia mistik, yang kemudian banyak memunculkan mitos-mitos yang hingga saat ini masih dipercaya sebagai kejadian yang pernah terjadi dan merupakan hal yang nyata. Kepercayaan dalam masyarakat Jawa memiliki banyak bentuk dan beraneka ragam, baik berbentuk ritual maupun hal lain yang bersifat spiritual (Pamungkas, 2008:1).

Tradisi yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat Jawa yang hingga kini masih dilestarikan dan digunakan sebagai salah satu media penyebaran Islam disebut dengan tradisi kenduri atau Slamatan. Tradisi kenduri merupakan suatu bentuk perkumpulan bersama yang dihadiri lebih dari dua orang guna untuk memanjatkan do’a. Do’a yang dipanjatkan bertujuan untuk meminta keselamatan atau rasa syukur atas apa yang telah dilimpahkan kepada manusia tersebut.

(4)

4

Kenduri dihadiri oleh sanak dan keluarga terdekat, tetangga, rekan kerja, dan ada yang percaya pula bahwa arwah setempat, nenek moyang dan dewa-dewi ikut dalam acara tersebut (Geertz, 1981:13).

Tradisi kenduri yang biasa dilakukan orang Jawa merupakan fenomena yang tidak dapat dilepaskan dengan akar sejarah kepercayaan-kepercayaan yang pernah dianut oleh orang Jawa itu sendiri, karena kenduri sudah mendarah daging hingga sekarang. Masyarakat Jawa melaksanakan tradisi kenduri dimaksudkan untuk memperoleh keselamatan. Tradisi kenduri pada mulanya bersumber dari kepercayaan animisme-dinamisme (Herusatoto, 2005:25). Kepercayaan atas roh nenek moyang tersebut sampai detik ini tidak dapat dihilangkan begitu saja, bahkan sebagian masyarakat yang telah modern sekalipun masih tetap melaksanakan tradisi kenduri, karena telah terpaku di hatinya bahwa kenduri merupakan ritual yang harus dilakukan demi terhindar dari segala balak.

Perkembangan zaman membawa konsekuensi bagi perubahan sosial begitu juga dengan tradisi dan budaya yang sedikit-demi sedikit mengalami perubahan, salah satunya adalah tradisi kenduri yang juga mengalami pergeseran. Pegeseran tersebut berada pada pemahaman masyarakat terhadap nilai atau makna yang ada dan sesuai dengan tatanan kehidupan manusia, karena pemahaman yang telah berbeda maka wujud tradisi yang dilakukan pun juga berbeda. Pengalaman baru, teknologi baru membuat manusia melakukan penyesuaian cara hidup dan kebiasaan yang baru bahkan lebih praktis.

Tradisi kenduri dilaksanakan dengan membuat tumpeng, lengkap dengan ingkung, serundeng, apem, pura, pisang dan lainnya, semua ubarampe tersebut

(5)

5

diletakkan di tengah-tengah kumpulan para tamu undangan yang sedang membaca do’a yang dipimpin oleh seorang modin. Berkat dalam kenduri lazimnya berisi nasi, lauk yang harus ada serundeng, apem, pura, ketan dan peyek teri. Semua hal tersebut wajib ada dalam sebuah berkatan kenduri pada model kuno. Menu sajian tersebut nantinya akan disedekahkan kepada tamu undangan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas rahmat dan berkah yang didapat (Irawan, 2014:4).

Perkembangan teknologi dan zaman menimbulkan beberapa kelompok masyarakat tidak lagi menghiraukan makna yang terkandung dari sesaji-sesaji yang harus disediakan. Beberapa masyarakat lebih memilih kepraktisan dengan mengganti makanan-makanan menjadi bahan mentah atau sembako. Tradisi kenduri dengan sesaji saat ini hanyalah lebih pada sekedar melestarikan budaya Jawa yang telah ada sejak lama, karena kebanyakan orang yang masih melakukan kenduri tetapi tidak tahu arti atau makna dalam prosesi yang dilakukan.

Kenduri merupakan salah satu tradisi budaya Jawa yang masih dipegang teguh sebagian masyarakat, namun banyak pula yang belum mengerti tentang makna dari tradisi tersebut. Pendekatan secara filsafati khususnya di bidang filsafat nilai, diperlukan untuk dapat memahami tradisi kenduri lebih mendalam dan menyeluruh. Pemahaman makna yang menyeluruh sangat diperlukan agar masyarakat yang melaksanakan kenduri dapat menyerap dan menghayati tradisi kenduri dalam setiap menu sajiannya (Anies, 2009:150).

Tradisi kenduri sangat bersangkutan dengan sejarahnya, karena tradisi tersebut memiliki banyak nilai-nilai filosofis. Tradisi kenduri dalam perkembangannya juga mengalami beberapa perubahan, dimana diantaranya telah

(6)

6

terjadi perubahan sajian tumpeng yang merupakan simbol dalam tradisi kenduri. Pembahasan dalam Penelitian ini menggunakan teori aksiologi Max Scheler untuk menguak fenomena-fenomena serta makna dalam tradisi kenduri guna untuk menghindari kesalahan tafsir tentang tradisi kenduri, selain itu juga untuk meminimalisir akan sangkaan buruk terhadap suatu tradisi yang sudah turun-temurun dan tetap melestarikan kenduri sesuai dengan ciri khas yang menempel dalam tradisi kenduri. Pemikiran tentang nilai Max Scheler di dalamnya terdapat beberapa teori di antaranya tentang fenomenologi, permasalahan nilai, hierarki nilai, dan hubungan nilai dalam kehidupan manusia. Tingkatan yang teratas dalam hierarki nilai adalah nilai religius yang memiliki reaksi khusus terhadap keyakinan, pemujaan, dan penyembahan (Frondizi, 2001:139).

1. Rumusan masalah

a. Apa yang dimaksud dengan tradisi kenduri? b. Bagaimana teori aksiologi Max Scheler?

c. Apa makna tradisi kenduri ditinjau dalam dimensi aksiologi Max Scheler?

2. Keaslian penelitian

Fokus kajian dalam penelitian ini adalah mengenai tradisi kenduri yang di dalamnya banyak memiliki makna dan struktur nilai yang sesuai dengan kebiasaan kehidupan sehari-hari. Tradisi kenduri dalam penelitian ini akan dianalisis dengan objek formal filsafat nilai, yaitu menggunakan teori nilai Max Scheler, Sejauh pengamatan dan

(7)

7

penelusuran peneliti mengenai karya ilmiah di lingkungan Filsafat, terdapat satu laporan penelitian tentang tumpeng yang merupakan salah satu sajian dalam tradisi kenduri. Penelitian tersebut ditinjau melalui filsafat nilai Ernest Cassirer. Penelitian tersebut membahas tentang tumpeng sebagai simbol dalam kehidupan manusia. Beberapa penelitian yang ditemukan mengenai tradisi kenduri antara lain:

a. Koento Wibisono, Ali Mudhofir, Subari, 1986, judul laporan penelitian: “Sistem Ajaran Filsafat Nilai Yang Terkandung dalam Upacara Kenduri/Sajian Tumpeng”. Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Laporan penelitian tersebut membahas tentang makna dan hakikat tumpeng (sajian dalam kenduri) sebagai sebuah simbolisasi dalam menjalani kehidupan dengan tinjauan pemikiran Ernest Cassirer. b. Nur Daryanto, Nim 99212695, 2006, dalam judul skripsi: “Pesan

Dakwah dalam Tradisi Kenduri di Padukuhan VIII Desa Pleret Panjatan Kulon Progo”. Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

c. Bambang Irawan, Nim 10411066, 2014, dalam skripsi: “Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Tauhid Melalui Menu Sajian Tradisi Kenduri di Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta”. Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

(8)

8

Peneliti sadar telah ada penelitian sebelumnya mengenai tradisi kenduri, penelitian tersebut dilakukan oleh Koento Wibisono, Ali Mudhofir, dan Subari. Penelitian tersebut membahas tentang makna dan hakikat tumpeng sebagai sajian khas dalam tradisi kenduri, mitonan, dan tradisi Jawa lainnya dimana tumpeng merupakan simbolisasi dalam kehidupan masyarakat dan menggunakan teori Ernest Cassirer. Penelitian tersebut berbeda dengan penelitian dalam pembahasan ini, dalam pembahasan kali ini peneliti mencoba menggali dimensi aksiologi Max Scheler yang terdapat dalam tradisi kenduri.

3. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat:

a. Bagi pengembangan ilmu bidang sosial budaya. Peneliti berharap munculnya kontribusi pemikiran-pemikiran yang tertuang dalam buku terutama dalam bidang religi dan budaya, karena masih minimnya referensi yang menulis tentang tradisi dan kesenian yang bernuansa Islami secara spesifik.

b. Bagi pengembangan filsafat, dalam bidang aksiologi Max Scheler untuk bisa menjadi salah satu kontribusi dalam pengembangan Ilmu filsafat, yang membahas persoalan religi dan budaya utamanya dan permasalahan filsafat manusia dari sisi tatanan nilai. Tradisi kenduri memiliki beberapa cerminan tentang kehidupan yang tidak lepas dari manusia dan aturan moral yang berlaku.

(9)

9

c. Bagi masyarakat dan bangsa, peneliti mengharap bisa mengapresiasikan pemikiran kepada para pembaca untuk tidak hanya melestarikan tradisi yang ada, namun juga menghayati hakikat dari tradisi tersebut dengan tidak merubah sesuatu yang telah menjadi ciri khas dari tradisi tersebut.

B. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan pengertian tradisi kenduri.

2. Menjelaskan tentang teori pemikiran aksiologi Max Scheler.

3. Menganalisis tradisi kenduri dalam dimensi aksiologi Max Scheler.

C. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan merupakan sesuatu yang sudah melekat dalam kehidupan manusia, cepat atau lambat suatu kebudayaan selalu mengalami perkembangan seiring dengan perjalanan waktu. Kebudayaan dalam perkembangannya mewadahi seluruh perilaku dan karya yang telah dihasilkan manusia. Kehidupan dalam suatu kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaan, sebab kebudayaan ada karena adanya masyarakat pendukungnya (Syamsudin, 1985:1). Beberapa diantara wujud dari kebudayaan dapat berupa upacara yang merupakan bentuk dari salah satu adat-istiadat yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan manusia baik itu aspek sosial, budaya, ekonomi dan lain sebagainya. Pelaksanaan suatu upacara maupun tradisi selalu dibayangkan sebagai sesuatu yang khidmat dan merasa sebagai hal yang bersifat magis dan disertai dengan berbagai perasaan serta perlengkapan yang bersifat simbolis.

(10)

10

Adat-istiadat sebagai suatu proses dialektik sosial dan juga kreativitas alami yang berasal dari manusia tidak harus dieliminasi, dibasmi ataupun dianggap musuh yang membahayakan, melainkan dipandang sebagai patner dan elemen yang perlu diadopsi secara selektif dan proposional. Budaya bukan merupakan perangkat metodologis otonom atau berdiri sendiri yang berfungsi mencetuskan hukum-hukum baru, tetapi merupakan ornamen yang berguna untuk melegitimasi hukum syari’at (Sholikhin, 2010:25).

Laporan penelitian yang dilakukan oleh Koento Wibisono dkk, menyatakan bahwa upacara selamatan atau biasa disebut dengan syukuran merupakan suatu wujud dari kebudayaan yang mengandung nilai-nilai, disamping itu juga merupakan suatu kegiatan berpola yang berasal dari manusia yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya tersebut dijadikan sebagai hasil karya manusia. Adat-istiadat yang sudah ada dalam kehidupan manusia tentunya tidak bisa dipisahkan dari segi sosial budaya masyarakat. Kebudayaan mengandung nilai yang tidak jauh dari norma masyarakat, oleh karena itu setiap yang menyangkut nilai dalam kehidupan sosial budaya dapat menimbulkan akibat positif dan negatif (Wibisono, dkk, 1986:1-2).

Skripsi yang ditulis oleh Nur Daryanto yang berjudul, “Pesan Dakwah dalam Tradisi Kenduri di Padukuhan VIII Desa Pleret Panjatan Kulon Progo” menyatakan bahwa salah satu dari budaya yang bernafaskan Islam yaitu tradisi Kenduri atau biasa disebut dengan selamatan. Tradisi kenduri dilihat secara nyata tidak ada dalam ajaran Islam, tetapi tradisi kenduri ini sangat erat hubungannya dengan dakwah Islam. Tradisi kenduri melibatkan banyak orang dan dipimpin

(11)

11

oleh seorang tokoh agama Islam yang membacakan doa dan ayat suci Al Quran. Kenduri dalam logat bahasa Jawa disebut dengan kenduren dan ada pula beberapa masyarakat yang menyebutkan sebagai slametan atau selamatan. Tradisi kenduri masih tetap dilestarikan dan dilakukan. Pelaksanaan kenduri di masing-masing daerah berbeda-beda, sebagian melakukan upacara kenduri hanya untuk upacara kematian, ada pula yang melakukannya menjelang acara pernikahan, aqiqoh, sunatan, membangun rumah, dan lainnya (Daryanto, 2006:5-6).

Masyarakat Jawa melaksanakan suatu ritual sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Tuhan, dalam suatu kegiatan ritual terdapat bentuk-bentuk simbol yang memiliki kandungan makna yang bersangkutan dalam kehidupan. Simbol-simbol dalam ritual merupakan wujud pengejawantahan dari penghayatan serta pemaknaan terkait realitas yang tidak terjangkau menjadi lebih dekat, dan merasakan kehadiran Allah dan selalu terlibat dalam suatu kegiatan ritual. Simbol dari ritual dipahami sebagai perwujudan bahwa manusia merupakan “tajalli” atau bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Tuhan (Sholikhin, 2010:49).

Tradisi selamatan dilakukan untuk menghindari hal-hal yang buruk, dengan maksud agar masyarakat bebas dari segala gangguan dan marabahaya. Tradisi kenduri yang sering dilakukan di wilayah Parangtritis misalnya, sering diisi doa-doa untuk memohon rahmat kepada Tuhan agar masyarakat bebas dari gangguan apa pun. Selamatan juga dimanfaatkan untuk menunjang aspek kehidupan lain yang relevan, seperti hadirnya wisata budaya spiritual. Pembangunan paket-paket wisata spiritual melalui kenduri dimungkinkan akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan (Bratawidjaja, 1993:21).

(12)

12

Suwardi (2008) menulis artikel berjudul “Lampah Sekar di Desa Parangtritis kecamatan Kretek: sebuah potret desa budaya dan paket wisata spiritual Kejawen”, menyatakan bahwa tradisi kenduri sulit ditinggalkan karena memiliki fungsi kultural: (1) untuk mewariskan tradisi leluhur, agar tidak kesiku (mendapatkan marabahaya) dan (2) untuk menjaga keseimbangan, keselarasan, kebahagiaan, dan keselamatan (slamet, tanpa gangguan apapun) hidup, yaitu kondisi aman tenteram tanpa gangguan makhluk lain atau alam sekitar. Masyarakat mewujudkan permohonan dan harapan tersebut melalui media bakti jaladri (larungan), setelah menjalankan kenduri kemudian diakhiri dengan pertunjukan wayang spiritual. Kenduri bagi masyarakat Parangtritis selain memiliki fungsi kultural juga mempunyai fungsi sosial yaitu: (1) untuk menjaga keutuhan dan keselamatan anggota komunitas, (2) untuk ngumumi orang sebagai anggota komunitas agar tidak dikatakan orang aneh, (3) sebagai wahana kontrol sosial dan sekaligus kontrol diri, khususnya bagi tuan rumah, karena banyak sedikitnya peserta yang hadir merupakan bahan introspeksi diri apakah ada cacat sosial dalam dirinya atau tidak, (4) untuk menunjukkan status sosial masyarakat, dan (5) mewujudkan sebuah paket wisata yang berbasis lokal.

D. Landasan Teori

Filsafat nilai atau aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki tentang hakikat nilai yang ditinjau dari sudut pandang bidang kefilsafatan. Nilai lebih sering digunakan untuk menunjuk suatu kata yang abstrak. Kehidupan manusia selalu terdapat beberapa macam benda dan alat maupun kebudayaan yang bersangkutan selalu dengan nilai, misalnya dalam masalah etika yang

(13)

13

bersangkutan dengan kebenaran, estetika yang berkaitan dengan keindahan, agama yang berkaitan dengan masalah rohani dan jiwa, ekonomi, dan epistemologi yang berkaitan dengan masalah kebenaran (Kattsoff, 2004:319).

Nilai merupakan suatu hal yang berkaitan dengan hal baik dan buruk. Nilai merupakan harkat, yaitu kualitas suatu hal yang membuat sesuatu itu bisa disukai, diinginkan, berguna, atau dapat menjadi suatu objek yang memiliki kepentingan. Nilai merupakan sesuatu yang penting, dianggap baik dan dihargai tinggi, harus diterapkan, dicapai, bila perlu juga harus diapresiasikan. Nilai juga dijelaskan dengan keistimewaan, apa yang dihargai, diberi nilai tinggi, dilihat sebagai suatu kebaikan atau keburukan (Kusumohamidjojo, 2009:150).

Objek mengandung nilai manakala perhatian tertanam di atasnya, suatu perhatian dapat menyimpan suatu nilai tertentu pada objek, menurut R.B Perry (dalam Ananta): “Objek perhatian yang manakala yang eo ipso tersimpan di dalam nilai, apapun wujud objek itu, manakala suatu perhatian apapun wujudnya tercakup di dalamnya”. Nilai sebagai sifat yang diperoleh sesuatu atas adanya objek perhatian, Perry mengungkapkan: ”Suatu hal (benda apapun wujudnya, memiliki nilai atau bernilai dalam artinya yang asli dan umum, manakala objek merupakan sasaran perhatian, tidak soal perhatian apa yang mungkin ada atau sesuatu yang merupakan sasaran perhatian ipso facti adalah bernilai” (Frondizi, 2001:62).

Max Scheler menyatakan bahwa nilai tidak tergantung pada tujuan namun nilai juga tidak berlaku tanpa tujuan, nilai melekat dalam sasaran dari kecenderungan sebagai dasar. Nilai merupakan dasar bagi sasaran, nilai

(14)

14

merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda dan benda sendiri adalah sesuatu yang bernilai, nilai sebagai kualitas yang independen berbeda dengan benda (Frondizi, 2001:112-115).

Nilai memiliki hukum sendiri dan bersifat apriori, hukum tersebutlah yang menentukan hierarki nilai yang bersifat objektif. Nilai sebagaimana dalam sifatnya yang objektif hadir pada intuisi atau timbul suatu hakikat nilai dari benda tersebut, demikian juga hierarki nilai hadir pada suatu tindakan khusus, di mana oleh Scheler disebut dengan tindakan preferensi (Wahana, 2004:42).

Hierarki nilai Scheler terdiri dari beberapa tingkatan nilai, tingkat lebih tinggi dan mengarah kepada tingkatan lebih rendah dan bersifat apriori. Nilai memiliki kedudukan lebih tinggi atau lebih rendah di antara nilai satu dengan yang lain. Nilai bisa menjadi lebih tinggi tingkatannya dipahami dalam suatu tindakan pemahaman khusus terhadap nilai, yaitu tindakan preferensi yang merupakan suatu pemahaman akan tingkat tinggi dan rendahnya suatu nilai. Tindakan preferensi bersifat apriori, terjadi di antara nilai-nilai itu sendiri yang memiliki tingkatan berbeda dan terlepas dari pengalaman yang mengandung nilai. Preferensi yang apriori selalu menyangkup keseluruhan hal-hal yang bernilai. Tingkatan suatu nilai diberikan bukan mendahului tindakan preferensi, melainkan diberikan pada saat tindakan preferensi tersebut berlangsung, yaitu dengan membandingkan antara nilai satu dengan nilai yang lain. Salah satu ciri khas yang hakiki dari nilai ialah penampakan dalam urutan hierarki atau struktur nilai, yang mengakibatkan suatu nilai bisa lebih tinggi dari nilai yang lain. Scheler mengungkapkan empat bagian nilainya bukan merupakan sebuah kelompok,

(15)

15

tetapi merupakan sebuah tingkatan. Tingkatan yang paling dasar ialah nilai kesenangan. Tingkatan ini berkaitan dengan fungsi dari perasaan indrawi, yang banyak orang lebih memilih dan mengharapkan suatu kesenangan daripada ketidaksenangan.

Kedua ialah nilai vitalitas atau kehidupan, yang terdiri dari rasa kehidupan, hal yang istimewa, kesejahteraan. Nilai ini banyak menghadirkan perasaan yang tidak tergantung dan tidak pula direduksi pada tingkat lebih tinggi atau pun tingkat yang lebih rendah. Ketiga ialah nilai spiritual yaitu nilai yang tidak tergantung pada seluruh lingkungan badan dan lingkungan sekitar. Tingkatan Hierarki nilai Max Scheler yang tertinggi ialah nilai religius, dalam nilai religius atau kesucian ini tidak tergantung dengan perbedaan waktu dan perbedaan orang yang membawanya. Keterkaitan hati sangat berperan untuk lebih mendekatkan diri kepada yang absolut dan menimbulkan rasa terberkati (Wahana, 2004:59-62).

Nilai merupakan sesuatu yang dituju oleh perasaan yang mewujudkan emosi yang bersifat a priori, nilai bukan idea atau cita, melainkan sesuatu yang bersifat konkret yang hanya dapat dialami dengan jiwa yang bergetar dengan emosi. Pengalaman nilai berbeda dengan pengalaman secara umum dalam hal mendengar, melihat, mencium dan lainnya. Akal tidak dapat melihat nilai sebab nilai tampil saat ada rasa yang diarahkan kepada objek (Hadiwijono, :145).

E. Metode Penelitian 1. Jenis dan model penelitian

Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library research), data diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan tradisi kenduri

(16)

16

yang di dalam tradisi kenduri terdapat beberapa cerminan tentang kehidupan sehari-hari. Penelitian ini juga akan mengungkap beberapa permasalahan mendasar terkait tradisi kenduri (Kaelan, 2005:89-90).

2. Bahan atau materi penelitian a. Sumber Primer

Data primer merupakan bahan atau materi penelitian yang berdasarkan data kepustakaan, berikut merupakan beberapa sumber yang menjadi bahan data primer:

1) Madchan Anies. 2009. Tahlil dan Kenduri, tradisi santri dan kyai. Yogyakarta: Pustaka pesantren.

2) Muhammad Idrus Ramli. 2011. Benarkah Tahlilan dan Kenduri Haram?. Surabaya: Khalista.

3) K.H. Muhamad Sholikhin. 2010. Ritual dan Tradisi Islam Jawa. Jakarta: NARASI

b. Bahan Sekunder

Pustaka sekunder yang berkaitan dengan filsafat nilai, yaitu:

1) Paulus Wahana. 2004. Nilai Etika Aksiologi Max Scheler. Yogyakarta: Kanisius.

2) Risieri Frondizi. 1887. What is Value? Diterjemahkan oleh Cuk Ananta Wijaya. 2001. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

3) Menggunakan jurnal, skripsi, artikel, dan bahan-bahan lain yang berkaitan dengan tradisi kenduri dan filsafat nilai.

(17)

17 3. Jalannya penelitian

Penelitian dibuat dengan beberapa tahapan sebagaimana yang tertulis dalam buku (Kaelan, 2005:201-102) sebagai berikut:

a. Tahap persiapan diawali dengan menentukan kategori data yang diperlukan dan bersangkutan dengan tema pembahasan sebagai sumber penelitian. Data yang didapatkan kemudian dipilah-pilah berdasarkan kesesuaian dengan tradisi kenduri dan teori aksiologi Max Scheler.

b. Pengolahan data, yaitu mengolah data yang telah dikumpulkan, kemudian diuraikan permasalahan yang terkait dengan tradisi kenduri dan teori aksiologi Max Scheler. Data kemudian dideskripsikan dan diuraikan secara sistematis, dan diberi analisis, sebelum proses analisis data terlebih dahulu mendeskripsikan tentang tema dengan sistematis yang kemudian tema tersebut dianalisis.

c. Tahap penyusunan data ke dalam bentuk laporan penelitian dan penyimpulan data secara kritis.

4. Analisis data

Proses analisis data penelitian menggunakan metode analisis yang tertera dalam buku metodologi penelitian filsafat (Bakker, Achmad Charis Zubair, 1990: 41-54)

a. Deskripsi, yaitu mendeskripsikan tentang tradisi kenduri dan teori pemikiran aksiologis Max Scheler.

(18)

18

b. Kesinambungan historis, yaitu menguraikan historisitas tentang perkembangan kenduri dan permasalahan yang muncul.

c. Interpretasi, memahami dan menafsirkan serta memberi evaluasi kritis dalam tradisi kenduri dan teori aksiologi Max Scheler.

d. Refleksi kritis, yaitu merefleksikan tradisi kenduri ke dalam norma dan kehidupan sehari-hari melalui perspektif hierarki aksiologis Max Scheler berdasarkan data yang sudah diperoleh dan disajikan dengan refleksi yang berbeda.

F. Hasil yang Telah Dicapai

Hasil yang dicapai dalam penelitian filsafat ini mengacu pada rumusan masalah:

a. Mengungkap persoalan yang muncul di masa sekarang terkait tradisi kenduri.

b. Mendeskripsikan tentang pengertian aksiologi dan teori aksiologi Max Scheler.

c. Menganalisis makna dalam tradisi kenduri dengan sudut pandang teori nilai atau aksiologi Max Scheler, analisis ini diharapkan dapat memberi pengetahuan kepada masyarakat, bahwa pelaksanaan tradisi kenduri seharusnya disertai dengan pemaknaan dan penghayatan bukan sekedar mengedepankan sisi praktis saja.

(19)

19

G. Sistematika Penulisan

Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, manfaat, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, hasil yang dicapai, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan objek formal, yang membahas tentang teori filsafat nilai Max Scheler, pembahasannya mengenai pengertian nilai, sejarah kehidupan Max Scheler, pemikiran Max Scheler tentang nilai yang meliputi: Fenomenologi, hierarki nilai, hakikat nilai, dan peranan nilai dalam kehidupan.

Bab ketiga merupakan objek material yaitu tentang tradisi Kenduri, yang pembahasanya akan mengulas tentang pengertian tradisi kenduri, beberapa sajian dalam tradisi kenduri, jenis-jenis tradisi kenduri, dan perkembangan tradisi kenduri masa kini.

Bab keempat merupakan analisis teori aksiologi Max Scheler terhadap tradisi kenduri, serta pengaplikasiannya dengan dicocokkan dalam norma kehidupan masyarakat sehari-hari.

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu ini semua bisa mempermudah saya untuk membangun komunikasi politik di masyarakat desa lobuk karena kalau tidak begini sulit membangun hubungan

Peserta didik menerapkan metode ilmiah untuk mengajukan gagasan penyelesaian masalah gerak dalam kehidupan sehari-hari, yang berkaitan dengan konsep energi, usaha (kerja), dan

3.3 Mendeskripsikan dan manyatakan relasi dan fungsi dengan menggunakan berbagai representasi (kata-kata, tabel, grafik, diagram, dan persamaan) 4.3 Menyelesaikan masalah

1) Membentangkan tali sepanjang 50 meter di daerah tepi air. Lalu di buat jalur dari tepi air ke arah waduk dan berakhir pada bagian yang tidak ada sebaran

Bagi masyarakat, jika pencatatan kelahiran dan kematian bisa dilakukan dengan baik dan terhubung secara online, semua penduduk DKI Jakarta akan memperoleh kemudahan untuk

Oleh karena itu harus ada perubahan (inovasi) mengenai kinerja guru, sehingga upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hasil belajar siswa MA Al-Fadilah dapat

Adapun salah satu langkah dekonstruksi Derrida adalah mengidentifikasi hieraarki oposisi dalam teks, maksudnya menentukan pemaknaan yang dianggap istimewa dalam

Dalam penelitian ini akan dikembangkan, pertama model dan metode penyelesaian dari sistem rantai pasok dua tahap untuk produk yang menurun berdasarkan waktu dengan