• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur Mula-Mula adalah tempat pertama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur Mula-Mula adalah tempat pertama"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Desa Hutaurat dan Hutabalian

Berdasarkan cerita leluhur, Sianjur Mula-Mula adalah tempat pertama sekali leluhur Suku Batak Toba bermukim. Sejarah si Raja Batak merupakan leluhur pada Suku Batak Toba. Alasan mengapa saya membahas si Raja Batak adalah karena si raja Batak pertama kali sekali bermukim di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), kecamatan Sianjur Mula-mula.

Adapun kawasan Hutaurat adalah kawasan dusun 1 (Batu-batu, Lingkungan Kode; Siattar-attar; dan Parhobon), dusun 2 (Hutalobu, Lumban Ganda dan Simanampang), sedangkan Hutabalian adalah dusun 3 (Balian Galung, Banjar, dan Bagas Limbong). Sebenarnya ada 3 cerita yang membahas tentang sejarah berdirinya Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), akan tetapi masyarakat memilih sejarah berdirinya Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) dengan membahas cerita tentang si Raja Batak. Dengan demikian, cerita inilah yang paling dipercayai oleh masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), dan cerita inilah yang membuat ada nama desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula).

Sejarah si Raja Batak ini, menurut tokoh bius (bius adalah pada zaman dahulu di sebut sebagai kepala desa atau kepala kampung, sedangkan pada zaman sekarang disebut kepala adat atau tokoh masyarakat) Buhit Sagala (umur 55 tahun) yang sekarang dianggap tokoh bius di Hutaurat dan Hutabalian dan

(2)

keturunan Bius Tahe Sagala (umur 63 tahun) tokoh adat Batak yang berada di Jakarta, mengatakan bahwa:

Sejarah si Raja Batak itu sangat panjang. Secara detail (keseluruhan) menceritakannya bisa sampai berbulan-bulan, dan kalau dituliskan bisa sampai puluhan buku tebal yang dihasilkan. Secara singkat, sejarah si Raja Batak dapat dijelaskan dalam skema garis keturunan berikut ini :

RAJA ODAP-ODAP / SIBORU DEAK PARUJAR

RAJA IHAT / SIBORU ITAM

PATUNDAL BEGU AJULAPAS / R.MIOK-MIOK

RAJA ENGBANUA / (istri nya tak diketahui)

R. UJUNG R. JAU R.BONAGIG-BONAGIG

R. TANTAN DEBATA

RAJA BATAK

(3)

Guru Tatea Bulan adalah leluhur dari marga Sagala yang berada di kawasan Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, di mana Guru Tatea Bulan ini memiliki anak sepuluh (10). Anak Guru Tatea Bulan memiliki anak yang masing-masing kembar sepasang (laki-laki dan perempuan, dimana masing-masing-masing-masing memiliki kemampuan dan keahlian). Mereka tinggal di ”Simanampang” salah satu nama lokasi di Hutaurat. Pada cerita sejarah ini, perempuan tidak terlalu diceritakan, karena garis keturunan berasal dari laki-laki.

Mereka adalah :

 Raja buneleng atau dikenal dengan nama raja uti atau raja bias-bias kembar dengan Biding laut yang pergi ke laut pantai selatan, Jawa.  Saribu Raja kembar dengan Si Boro Pareme.

 Limbong Mulana kembar dengan Si Pinta Haomason.  Sagala Raja kembar dengan Si Anting Sabungan.

 Silau Raja atau Malau Raja kembar dengan Natinjo Nabolon “Banci”. Sejarah Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) ini berawal dari Sagala Raja, karena Raja Buneleng yang dikenal ilmunya paling sakti. Pewaris harta kekayaan keluarga yang paling banyak seharusnya jatuh ke tangan anak sulung (pertama). Akan tetapi, dia tiba-tiba menghilang dan keberadaannya sampai saat ini tidak begitu jelas. Saribu Raja yang seharusnya menggantikan Raja Buneleng untuk mengelola harta keluarga, dia mengawini saudara kembarnya sendiri.

Oleh karena itu, dirinya diusir oleh Limbong Mulana dan Sagala Raja. Limbong Mulana dikabarkan memilih tinggal di tanah yang lain (masih di tanah

(4)

Sagala). Akibatnya, tanah yang ditempati menjadi milik Sagala Raja (rumah keluarga beserta tanahnya), karena saudara-saudaranya lebih memilih tinggal di daerah lain dan mereka merasa sudah betah hidup di perantauan mereka.

Sagala Raja dikabarkan mempunyai dua istri, akan tetapi masyarakat setempat tidak jelas mengetahui siapa saja istri-istri dari Sagala Raja. Sagala Raja dulunya dikabarkan susah untuk memiliki keturunan. oleh karena itu, dia memilih untuk menikah lagi. Anak pertamanya lahir dari istri kedua, yang bernama “Hutaruar” (yang artinya adalah anak dari istri kedua yang diambil dari luar), anak kedua lahir dari istri pertama, anak tersebut bernama “Hutabagas” (yang artinya hádala masih di “Bagas” atau masih dalam perut ibunya). Masyarakat tidak mengetahui dengan jelas umur berapa “Hutaruar” ketika “Hutabagas” dilahirkan.

Menurut kedua sumber ini, yaitu ”Buhit Sagala” (Bius atau Raja adat atau Raja kampung) dan Tahe Sagala (tokoh adat Batak di Jakarta yang juga keturunan Bius di Sianjur Mula-Mula) mengatakan bahwa, sebelum ”Hutabagas” dilahirkan (ketika masih di dalam kandungan). Nama anak ketiga sudah diberikan, yaitu ”hutaurat” (yang artinya adalah masih diurat nadi ayahnya). Hal ini dilakukan, karena Sagala Raja yang juga salah seorang yang mempunyai ilmu mistik atau meramal yang tinggi, sudah meramalkan anak laki-lakinya kelak hanya 3 orang saja.

Singkat cerita, ketiga anak dari Sagala Raja sudah besar, terjadi perebutan tanah oleh anak pertama dan kedua. Sebenarnya rumah dan tanah, menurut adat diberikan kepada anak pertama dari istri pertama, akan tetapi ”Hutabagas”

(5)

mengalah sama abangnya ”Hutaruar”. Sehingga, sebagian besar tanah keluarganya diberikan kepada ”Hutaruar”.

Akan tetapi, karena kelakuan buruk dari ”Hutaruar” yang suka berjudi dan menjual tanah sebagai taruhannya dengan diam-diam, ”Hutabagas” membeli (Balian Galung, Banjar dan Bagas Limbong) tanah keluarganya sendiri yang diwakili oleh orang lain untuk membeli tanah keluarganya dari abangnya ”Hutaruar”. Akhirnya, tanah tersebut menjadi milik ”Hutabagas”. Sedangkan ”Hutaruar” karena tingkah laku buruknya dia di usir dari kampung tersebut ”Simanampang”.

Adapun ”Hutaurat”, setelah menikah dia memilih tinggal di Simanampang lalu dia pernah pindah ke Simaibang dekat Hutabagas tapi hanya sebentar, kemudian dia kembali menetap di tanah abangnya ”Hutabagas”, yaitu ”Hutalobu”. Secara singkat, dia meminta pembagian tanah kepada abangnya. Lalu ”Hutabagas” memberikan syarat kepada adiknya. ”Hutaurat” yaitu apabila dia berhasil mengusir ”Burung pemakan manusia” yang bertempat di sekitar sumber mata air ”Sungai Bintangor”, maka dia akan memberikan tanahnya seperti: Si Batu-batu, Lumban Gambir, Siatar-atar, Parhobon, Hutalobu, Lumban Ganda, dan Simanampang, yang akan menjadi milik ”Hutaurat”.

”Hutabagas” melakukan perjanjian tersebut dengan alasan, karena burung tersebut sudah banyak memakan korban manusia. Singkat cerita, ”Hutaurat” berhasil membunuh burung tersebut atas bantuan ”Guru Natinanda/Guru yang dikenal”, yaitu Guru Tahandangan dan si Boro. Setelah berhasil, ”Hutabagas” menepati janjinya, lalu dia pindah dari ”Simanampang” ke Balian Galung yang

(6)

berada didekat sungai ”Bintangor”, karena pada zaman dahulu sumber mata air sangat penting. Makanya dia tidak mau melepaskan tanah yang memiliki sumber mata air kepada adiknya. Tanah tersebut adalah (Balian Galung, Banjar, dan Bagas Limbong).

Akhirnya, keturunan mereka hidup ditanah masing-masing yang sesuai dengan perjanjian yang mereka buat. Adapun nama ”Hutaurat” dan ”Hutabagas” diberikan oleh keturunan mereka ”yang bermarga Sagala”. Tujuannya untuk menghormati nama leluhur mereka. Desa Hutabagas adalah tanah si Hutabagas yang berada di dekat ”Simanampang”. Adapun ”Hutabalian” dinamakan karena tanah tersebut di beli dari ”Hutaruar” dan nama itu diambil dari nama salah satu anak laki-laki Hutabagas yaitu ”Hutabalian”.

2.2. Letak Lokasi dan Iklim Desa Hutaurat dan Hutabalian

Penelitian ini dilakukan di desa Hutaurat dan Hutabalian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Kabupaten Samosir memiliki luas wilayah 2.547,15 km². Letak geografis Kabupaten Samosir adalah 2°LU 24’LU - 2°LU 45’

Kabupaten Samosir memiliki beberapa kecamatan di antaranya adalah; Kecamatan Harian, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Onan Runggu, Kecamatan Palipi, Kecamatan Pangururan, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kecamatan Simanindo, dan Kecamatan Sitio-tio. Kecamatan Sianjur Mula-Mula ini memiliki luas wilayah 140,24 km². Letak Kecamatan Sianjur Mula-Mula adalah 2°LU 30’LU - 2°LU 45’

(7)

99°BT 45’ permukaan laut.

Kecamatan Sianjur Mula-Mula juga memiliki beberapa kampung di dalamnya. Salah satunya adalah Hutaurat dan Hutabalian. Hutaurat dan Hutabalian merupakan desa yang digabungkan menjadi satu desa (dapat disebut dengan nama desa Sianjur Mula-Mula), yang disebabkan karena jumlah penduduk per KK (Kepala Keluarga) Hutaurat belum mencapai 100 KK begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, desa tersebut digabungkan menjadi satu desa dan juga satu kepala desa.

Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) terdiri dari beberapa dusun, antara lain:

DUSUN 1 = LUMBAN GAMBIR SIATTAR-ATTAR PARHOBON SIBATU-BATU SITABO-TABO SOK-SOK DUSUN 2 = HUTALOBU LUMBAN GANDA SIMANAMPANG DUSUN 3 = BALIAN GALUNG

BANJAR

(8)

Pembagian dusun Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), yaitu dusun 1 dan dusun 2 termasuk nama desa Hutaurat, sedangkan dusun 3 termasuk nama desa Hutabalian. Secara geografis Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) berbatasan dengan dengan desa-desa disekitarnya yaitu • Sebelah Utara berbatasan dengan Limbong atau Pangururan.

• Sebelah Timur berbatasan dengan Gunung Pucuk Buhit.

• Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Boho atau Desa Tanjung Bunga dekat Kawasan hutan Dairi.

• Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Ginolat dan Hutabagas

Hutaurat dan Hutabalian adalah satu desa yang disebut dengan desa Sianjur Mula-Mula, yang berada di kawasan Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten Samosir. Adapun sejarahnya mengapa dinamakan desa Sianjur Mula-Mula sama dengan nama kecamatannya adalah karena Hutaurat dulu adalah kampung asal mula orang Batak pertama (kampung pertama si Raja Batak). Mengapa “Sagala”?, karena “Sagala” adalah cucu si Raja Batak dari Ompu Guru Tatea Bulan. Mengapa ”Hutaurat dan Hutabalian”?, karena nama itu diambil dari nama-nama anak “Sagala”. Hutabagas adalah nama anak yang ke-2 dari istri pertama, sedangkan Hutaurat adalah nama anak yang ke-3 dari istri yang pertama, sedangkan anak pertama bernama Hutaruar dari istri kedua.

Pemberian nama desa ”Hutabalian” oleh keturunannya diberikan berdasarkan sejarah, yaitu ”Hutabalian” diberikan karena ”Hutabagas” membeli tanah tersebut (Balian Galung, Banjar, dan Bagas Limbong) dari ”Hutaruar”, lalu menamainya dengan nama salah satu nama anak laki-lakinya. Sedangkan

(9)

”Hutaurat”, karena desa tersebut diberikan kepada ”Hutaurat” oleh ”Hutabagas.” Pemberian nama ini dibuat pada tahun 1930. Sedangkan penyatuan kedua desa atau daerah menjadi desa Sianjur Mula-Mula yaitu sekitar tahun 1957.

Kondisi jalan dari simpang Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) menuju ke rumah-rumah penduduk jalannya belum diaspal, tetapi saat masuk ke dalam desa jalannya sudah diaspal. Jalan menuju dari simpang desa ke dalam desa sangat berliku-liku dan harus hati-hati, karena di pinggir jalan terdapat batu besar, jurang, pohon – pohon besar dan berlubang (tidak terlalu dalam).

Iklim adalah keadaan cuaca pada suatu tempat yang relatif luas dalam waktu yang cukup lama. Iklim pada suatu tempat berbeda-beda, tergantung pada letak lintangnya. Daerah Hutaurat dan Hutabalian memiliki iklim tropis, berhawa sejuk, angin kencang pada malam hari dan dingin pada malam hari. Desa ini memiliki musim hujan, musim kemarau dan angin kencang. Musim hujan terjadi pada bulan 5–8 dan bulan 1–4, angin kencang terjadi pada bulan 5 dan, sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan 5–10.

2.3. Pola Pemukiman

Jika dilihat dari bentuk rumah, pola pemukiman di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) dapat dikategorikan menjadi tiga kategori yaitu tipe rumah sederhana, tipe rumah setengah permanen, dan tipe rumah permanen.

Rumah tipe sederhana, pada dasarnya tidak jauh berbeda dari rumah tipe sangat sederhana, perbedaannya dapat dilihat dari bahan-bahan kayu dan papan

(10)

yang dipakai. Rumah tipe sederhana ini pada umumnya terbuat dari bahan kayu dan papan dari kualitas sedang, sedangkan atapnya umumnya telah memakai bahan dari seng, namun lantai rumah ada yang memakai bahan dari papan (memiliki kolong) dan juga terbuat dari lantai semen.

Rumah tipe setengah sederhana, ditandai dengan sepertiga badan rumah bagian bawah terbuat dari bahan semen dan dua pertiga badan rumah bagian atas terbuat dari bahab papan yang baik, sedangkan atap rumah pada umumnya telah memakai bahan dari seng.

Sedangkan, Rumah tipe permanen, dindingnya telah terbuat dari semen yang dicat dengan warna hiaju, putih, dan lain-lain, memakai pintu, memiliki ruang tamu, beberapa ruang untuk kamar tidur, ruang dapur sekaligus ruang makan, sudah memiliki aliran listrik dan atap rumah terbuat dari bahan seng.

Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah satu desa yang dikelilingi perbukitan dan terletak di bawah kaki gunung Pucuk Buhit. Pola pemukiman penduduk adalah mengelompok. Rumah penduduk setempat memiliki pintu depan yang saling berhadap-hadapan dengan rumah penduduk setempat yang lainnya dan memiliki halaman yang luas. Adapun beberapa rumah yang tidak “mengelompok” adalah rumah yang rata-rata baru dibangun. Alasan rumah penduduk yang saling berhadapan dengan rumah lain adalah karena rumah penduduk setempat harus mengikuti arah gunung Pucuk Buhit dan Sumber Mata Air (aliran sungai).

Rumah penduduk yang menghadap ke arah gunung Pucuk Buhit, maksudnya adalah masyarakat setempat dapat meraih cita-cita yang lebih tinggi

(11)

atau setinggi-tingginya. Sedangkan rumah penduduk yang mengahap ke arah sumber mata air (aliran sungai), maksudnya adalah rezeki yang diperoleh masyarakat setempat dapat mengalir seperti aliran air sungai atau rezeki yang diperoleh akan semakin bertambah banyak.

Halaman rumah penduduk setempat berfungsi sebagai tempat pesta. Apabila ada pesta pernikahan atau pesta adat, biasanya dibuat tenda dan tikar di halaman untuk tempat duduk para tamu undangan dan kerabat lainnya. Adapun batas kampung ditandai dengan pohon bambu, jika tidak ada ini dapat dibuat bentuknya seperti jembatan kecil dipinggir jalan. Adapun bambu ditanam di perbatasan kampung adalah karena selain berfungsi sebagai pembatas kampung, juga sebagai penahan angin yang kencang supaya rumah-rumah penduduk setempat tidak cepat roboh (hancur) dan diterbangkan oleh angin.

Bambu pada zaman dahulu berfungsi sebagai senjata bagi penduduk setempat, apabila penduduk kampung sebelah menyerang mereka dapat menggunakan alat tersebut. Sedangkan jembatan kecil dibangun di perbatasan kampung berfungsi juga sebagai tempat duduk bagi orang luar (orang kota yang kesasar), supaya mengetahui bahwa tempat duduk yang terbuat dari batu bata, pasir dan semen yang seperti jembatan kecil itulah yang menjadi perbatasan antara dua kampung.

Biasanya, ladang mereka berada di belakang, di samping kiri ataupun kanan rumah. Parit-parit yang dibangun juga berfungsi sebagai pembatas antar kampung (di belakang rumah). Rumah-rumah penduduk banyak juga yang tidak memiliki kamar mandi dan tempat buang kotoran. Bagi penduduk setempat yang

(12)

tidak memiliki kamar mandi, biasanya mereka pergi ke tempat pancuran, kolam, dan sungai. Kegiatan yang dapat dilakukan di tempat tersebut adalah mandi, mencuci pakaian, mencuci piring dan membuang kotoran.

Adapun aliran pembuangannya dapat dialirkan melalui parit-parit menuju persawahan.. Pancuran ini tidak jauh letaknya dari setiap kampung. Biasanya, setiap kampung memiliki pancuran atau tempat permandian umum masing-masing. Adapun sungai Bintangor memang airnya bersih, akan tetapi penduduk menggunakannya sebagai tempat untuk memandikan ternak, seperti: kerbau, kuda lembu, dan lain-lain.

2.4. Kependudukan

2.4.1. Jumlah dan Komposisi Penduduk

Penduduk merupakan modal dasar pembangunan suatu daerah, maka peranan penduduk pada suatu daerah sangat penting juga sebagai tenaga kerja dalam pembangunan sebab salah satu prinsip berdirinya suatu negara haruslah ada penduduk atau rakyat. Jika penduduk tidak ada, maka negara pun tidak akan terbentuk dan sumber daya yang tersedia tidak akan berfungsi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Sekretaris Desa, penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) yang masih menetap atau tinggal di “Hutaurat” dan “Hutabalian” saat ini mencapai 622 orang. Suku bangsa di desa ini adalah mayoritas suku Batak Toba. Dalam kehidupan seharí-hari, penduduk desa ini masih memegang penuh sifat kekeluargaan, seperti: saling menyapa, saling mengenal antara satu sama lain. Hal ini dapat dibuktikan dari acara-acara adat

(13)

yang saling menghadiri walaupun dalam dusun yang berbeda. Selain itu didukung oleh pertalian darah diantara sesama penduduk sehingga sifat gotong royong dan saling bersahabat masih kuat pada penduduk yang tinggal di desa Hutaurat dan Hutabalian.

2.4.2. Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur

Dalam mengembangkan kemajuan daerah, distribusi penduduk sering digunakan menjadi pedoman seperti dalam melaksanakan kebijakan pemerintah dalam pendidikan, penyediaan lapangan pekerjaan serta kebijakan PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.4.2: Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur No Umur Jumlah ( orang ) ( % )

1 0 – 10 Tahun 100 16,08

2 11 – 20 Tahun 135 21,70

3 21 – 30 Tahun 163 26,21

4 31 tahun ke atas 224 36,01

Jumlah 622 100

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”)

2.4.3. Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin.

(14)

orang. sedangkan jumlah jenis kelamin laki- laki 327 orang. Sehingga dapat dibuat kesimpulan bahwa di daerah ini penduduk paling banyak adalah penduduk berjenis kelamin laki-laki. Perbedaan tersebut hanya berselisih 32 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.4.3: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin No. Jenis kelamin Jumlah ( orang ) ( % )

1 Laki – laki 327 52,57

2 Perempuan 295 47,43

Total 622 100

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”).

2.4.4. Distribusi Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa.

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah mayoritas suku Batak Toba, maka dengan sendirinya bahasa seharí-hari masyarakat adalah bahasa Batak Toba. Ada juga masyarakat setempat menggunakan bahasa Indonesia, yang mana bahasa ini dapat mereka gunakan pada saat saudara dari keluarga bapak dan ibu datang berkunjung ke desa ini.

Adapun suku luar, seperti: “suku Jawa” yang menikah dengan salah satu warga masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian, kebanyakan dari mereka tinggal di kota, seperti: Jakarta, Medan, Bandung, dan lain-lain. Biasanya “wanita” dari suku luar dijadikan menjadi satu marga dengan ibu pengantin laki-laki (pemberian marga kepada orang luar, dimana syarat untuk menjadi satu kelompok atau satu identitas)

(15)

Penduduk yang berjumlah 148 KK, dimana mereka (suku luar yang sudah diberi marga) yang menetap atau tinggal di Hutaurat dan di Hutabalian ada 3 orang saja. Satu orang tinggal di Balian Galung (suku Jawa menjadi boru Sagala), ada juga yang tinggal di Simanampang (menurut masyarakat setempat, dia berasal dari suku Bugis menjadi boru Sihotang), dan satu lagi tinggal di Banjar (suku Madura menjadi boru Situkkir).

2.4.5. Distribusi Penduduk Berdasarkan Kepercayaan atau Agama

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula), menganut agama yang berbeda yaitu: agama Kristen Protestan dan Katolik. Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) yang menganut agama Kristen Protestan, yaitu 147 Kepala Keluarga (KK), sedangkan selebihnya menganut agama Katolik yaitu 1 Kepala Keluarga (KK).

Penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) terdapat ± 50 KK menjadi warga jemaat Gereja HKBP dan 80 KK menjadi warga jemaat di 2 Gereja GKPI yang berbeda, 1 KK beragama Katolik, dan lainnya adalah menjadi warga jemaat Gereja Pentakosta.

Tetapi walaupun beragama Kristen tidak semuanya penganut Kristen yang setia pada ajaran agama yang dianutnya. Mereka masih mempunyai kepercayaan pada peninggalan leluhur mereka. Kepercayaan Batak Toba yang masih mereka anut adalah kepercayaan kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa) yang mempunyai banua ginjang (dunia atas), banua tonga (dunia tengah), dan banua toru (dunia bawah).

(16)

Sebagai wujud pancarannya adalah Debata Natolu, Debata Batara Guru yaitu sesuatu yang ada adalah karena kebijakannya (hahomian) yang disimbolkan dengan warna hitam. Debata Sorisohaliapan yaitu kesucian (habonaran) yang disimbolkan dengan warna putih. Debata Balabulan yaitu kekuatan (hagogoon) yang disimbolkan dengan warna merah.

Menurut pandangan mereka, bahwa orang tua yang sudah meninggal dalam kesucian mempunyai roh yang disebut dengan Sahala. Manusia yang sudah meninggal dalam keadaan suci dan banyak membantu serta berjasa dalam kehidupan manusia, terutama dalam pengobatan dan kesaktian disebut Sombaon. Sombaon dapat hadir di dunia dalam suatu simbol, di mana ada kerja sama dan partisipasi manusia dengan illahi (sombaon) melalui upacara atau kurban. Walaupun simbol itu dianggap sebagai perwujudan yang nyata dari illahi, namun simbol itu bukanlah illahi, tetapi bekerja melalui dunia yang diciptakannya.

2.4.6. Distribusi Penduduk Berdasarkan Pendidikan.

Tingkat pendidikan di desa ini telah mengikuti kebijakan pemerintah wajib belajar sembilan tahun. Hampir seluruh masyarakat Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) telah mengecap pendidikan. Tingkat pendidikan di desa ini dapat dilihat pada tabel berikut :

(17)

Tabel 2.4.6: Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan: Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk di

Hutaurat Jumlah Penduduk di Hutabalian Tamat SD 12 5 Tamat SLTP 55 40 Tamat SLTA 150 100

Diploma dan Sarjana 40 25

Jumlah 257 170

(Sumber : Sekretaris Desa “Hutaurat” dan “Hutabalian”).

Berdasarkan tabel di atas, maka penduduk yang menetap di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) pada umumnya adalah tamatan SLTA. Sebenarnya, penduduk asli di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) atau penduduk Perantauan adalah mayoritas tamatan Diploma dan Sarjana. Akan tetapi, penduduk perantauan memilih untuk tidak menetap atau tinggal di desa tersebut. Bila warga perantauan juga dihitung jumlahnya, mayoritas penduduk asli Hutaurat dan Hutabalian tamatan Diploma dan Sarjana.

Sekolah SLTP dan SLTA berada di luar desa ini atau jauh dari tempat mereka tinggal. Siswa dan siswi harus berjalan jauh dan mendaki bukit untuk dapat berangkat ke sekolah. Beberapa siswa-siswi pergi ke sekolah ada yang menggunakan sepeda motor, meskipun mereka juga tahu bahwa keadaan jalan yang akan dijalani tidak memungkinkan atau tidak semulus jalan raya yang berada di kota.

(18)

2.4.7. Distribusi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian.

Mata pencaharian adalah kegiatan pokok untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pada umumnya mata pencaharian yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian adalah bertani, berladang, dan berdagang. Adapun orang-orang pendatang pada umumnya bekerja sebagai tukang bangunan, guru, bidan, dll. Menurut Kepala Desa, penduduk Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah mayoritas memiliki tanah 75% (40% mengerjai sawahnya sendiri dan 35 % menyewa petani upahan), 20% petani upahan (memiliki tanah tapi tidak punya modal dan ada juga sebagian tidak memiliki tanah), dan 5% memilih untuk membuka warung kopi dan kedai, juga pekerjaan lain seperti guru, PNS, tukang bangunan, dan lain-lain.

2.5. Sarana dan Prasarana 2.5.1. Sarana Pendidikan

Ketersediaan sarana pendidikan tidak boleh diabaikan dalam satu daerah tertentu, karena akan menjadi indikasi terhadap maju tidaknya daerah tersebut sesuai dengan koalitas sumber daya manusia yang diperoleh oleh pendidikan tadi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.5.1: Sarana Pendidikan

No Sarana Pendidikan jumlah

1. Gedung SD 1 unit

Jumlah 1 unit

(19)

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa sarana pendidikan yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) hanya ada 1 (satu) gedung sekolah, yaitu SD Negeri 173786 Sagala, Kecamatan Sianjur Mula-mula, Kabupaten. Samosir. Adapun sekolah SMP Negeri dan SMA Negeri Sianjur Mula-mula, berada di atas (arah menuju ke Limbong), di dekat Batu Hobon dan Tugu si raja Batak. Menuju ke sana harus berjalan jauh dan mendaki bukit, apabila berjalan kaki. Kira-kira 40 menit, bila menggunakan sepeda motor hanya 10 menit saja, kalau angkutan umum tidak ada. Sedangkan untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi, anak-anak mereka bisa melanjutkannya ke kota-kota besar, seperti: Pematangsiantar, Medan, Yogyakarta, namun secara umum adalah di kota Medan.

2.5.2. Sarana Ibadah

Setiap agama memiliki sarana ibadah masing-masing, tetapi agama yang ada di desa Hutaurat dan Hutabalian ádalah Katolik dan Kristen Protestan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.5.2: Sarana Ibadah

No Sarana ibadah Jumlah

1. Gereja GKPI 2 unit

2. Gereja HKBP 1 unit

Jumlah 3 unit

(20)

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah tempat Ibadah ada 3. yaitu  2 Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI), yaitu 1 bangunan di dekat Batu Batu (dusun1; Hutaurat), dan 1 bangunan lagi berada di pinggir jalan arah ke Bagas Limbong (dusun 3; Hutabalian).

 1 Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berada di pinggir jalan arah ke Balian galung (dusun 3; Hutabalian).

Rumah ibadah yang dimiliki desa ini sudah cukup memadai dari segi bangunan dan fasilitas yang tersedia di dalamnya, seperti: bangunan gereja yang sudah terbuat dari semen beton dan berlantai keramik dan berukuran sedang, edangkan fasilitas, seperti: kursi, organ, dan sebagainya sudah tersedia. Penduduk yang beragama Katolik harus beribadah ke desa lain yang memiliki gereja sesuai dengan apa yang dianutnya.

2.5.3. Sarana Pemerintahan

Adapun sarana pemerintahan di Hutaurat dan Hutabalian adalah : Kepala Desa : Pardingotan Sagala.

Sekretaris Desa : J. Sihotang. Perangkat Desa (kaur) ada 3, yaitu :

1. Kaur Pemerintahan : Janner Sagala. 2. Kaur Pembangunan : Sihol Sagala.

3. Kaur Kemasyarakatan : Parlindungan Sagala. Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) ada 5, yaitu

(21)

2. Oloan Sagala.

3. Manganar Sigalingging. 4. Robinson Sagala. 5. Jahunta Sagala. Kepala Dusun :

Dusun 1 : Poldiner Sagala.

Dusun 2 : Kesman Sagala.

Dusun 3 : Josmen Sagala.

2.5.4. Sarana Transportasi dan Jalan

Alat transportasi, seperti becak dan mobil angkot tidak ada di desa Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula). Masyarakat yang ada di desa ini tidak khawatir atau resah untuk keluar dari desa ini, yang mana masyarakatnya dapat menggunakan sepeda motor miliknya sendiri. Ada juga anak-anak sekolah berjalan kaki ke sekolah dengan cara mendaki gunung (bagi masyarakat yang tidak memiliki sepeda motor).

Adapun PSN dan SAMPRI adalah mobil angkutan umum menuju kota, misalnya: Medan, Sidikalang, Berastagi, dan lain-lain. Sedangkan ke Pangururan (Onan atau Pajak besar hanya ada sekali seminggu yaitu setiap hari Rabu). Ada juga mobil angkutan KOPJ berwarna biru yang setiap hari Rabu pagi datang ke Hutaurat dan Hutabalian. Ada juga mobil Truk yang datang ke Hutaurat dan Hutabalian, yang digunakan untuk mengangkut barang bangunan dari Pangururan atau dari kota lain. Barang bangunan (seperti; pasir, batu, dan sebagainya) yang

(22)

berasal dari dalam truk tersebut, biasanya mereka gunakan untuk membangun rumah ataupun untuk membangun jembatan yang berasal dari proyek pemerintah (biayanya dibayar oleh pemerintah dan yang membangun adalah penduduk setempat)

Jalan dari simpang Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) ke dalam desa belum diaspal dan sangat memprihatinkan. Bagian badan jalan terdapat lubang yang tidak terlalu dalam dan juga di pinggir jalan terdapat batu-batu besar yang tidak menentu tempatnya atau tidak beraturan tempatnya.

2.5.5. Sarana Kesehatan Masyarakat

Sarana kesehatan masyarakat di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah Polindes yang dikelola oleh Bidan E. Friska Naibaho. Sebelumnya, bertempat di Siattar-attar (dusun 1; Hutaurat), dan sekarang pindah ke Banjar (dusun 3; Hutabalian). Ada juga pengobatan tradisional (dukun patah) yang berada di Simanampang (dusun 2; Hutaurat). Apabila penduduk setempat sakit parah yang tidak sanggup diobati di polindes, maka polindes langsung membawanya ke puskesmas yang berada di Pangururan, dari sana akan di rujuk ke rumah sakit Pangururan atau rumah sakit besar yang berada di kota, misalnya di rumah sakit Adam Malik Medan.

2.5.6. Sarana Informasi dan Komunikasi

Sarana Informasi dan Komunikasi yang berada di Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah Warung Telephone (WARTEL) yang berada di

(23)

rumah kepala desa, koran yang berada di warung kopi (seperti : Sinar Indonesia Baru, Analisa, dll), handphone, komputer atau leptop dan radio.

Adapun koran dapat di peroleh dari PSN atau SAMPRI (pemilik warung kopi meminta pertolongan kepada supir untuk membelikannya di tengah jalan). Terkadang pemilik kopi atau penduduk pergi ke Pangururan untuk membeli koran atau majalah tentang pertanian dengan menaiki sepeda motor. Lama perjalanan dari Hutaurat dan Hutabalian (desa Sianjur Mula-Mula) adalah ± 1 jam dan mereka menggunakan sepeda motor untuk menuju ke Pangururan.

Penduduk rata-rata menggunakan Handphone (HP) untuk berkomunikasi dengan keluarganya yang berada di luar kota. Penduduk juga menggunakan radio sebagai alat untuk mendengarkan musik dan berita. Biasanya siarannya berasal dari radio yang berada di Sidikalang atau Pangururan. Penduduk setempat sudah menggunakan parabola dan alat digital untuk dapat menonton siaran televisi dari luar kota maupun dalam negeri, tanpa alat ini televisi tidak dapat menerima siaran televisi dari manapun. Oleh sebab itu, penduduk setempat menjadi tidak ketinggalan berita dan informasi.

Beberapa rumah penduduk setempat ada yang menggunakan komputer dan laptop. Jaringan Telekomunikasi yang sangat cepat di dapat di Hutaurat dan Hutabalian adalah jaringan Telkomsel seperti SIMPATI, AS, dan FLEKSI. Dibandingkan dengan jaringan INDOSAT, XL, dan lain-lain sangat susah untuk didapatkan, kecuali kita harus berada di tempat tinggi baru bisa dapat sinyalnya. Warung Internet juga tidak ada di desa ini. Adapun yang memakai Internet itu hanya pribadi saja, tetapi merek Telkomsel.

(24)

2.5.7. Sarana Olahraga, Kesenian dan Rekreasi

Sarana Olahraga tidak terdapat di desa ini. Hanya kebiasaan-kebiasaan orang-orang di desa ini mendaki gunung, berenang di sungai, main sepak bola, dan lari. Adapun bidang kesenian didesa ini adalah : “Menottor”.

“Menottor” adalah menari tarian “Tor-tor” (tarian Batak Toba), dimana sekali setahun ada perlombaan “Tor-tor” yang diselenggarakan antara desa, apabila menang akan diikutsertakan di kecamatan dan seterusnya. Bupati dan bidang dinas pariwisata dan kebudayaan yang telah menyelenggarakannya. Biasanya para kepala desa sangat berambisius untuk menang, karena dapat mengangkat citra desanya di hadapan desa-desa lain. Oleh karena itu, pemuda-pemudi yang mengikuti perlombaan ini ditangani oleh kepala desanya langsung untuk dilatih. Biasanya perlombaan ini diadakan pada bulan November.

Rekreasi di desa ini adalah rumah si Raja Batak dan Aek Bintatar. Biasanya orang kota dan turis yang datang ke tempat ini. Adapun Batu Hobon dan Tugu si Raja Batak ada di perbatasan antara Sianjur Mula-Mula dan Limbong.

Rumah si Raja Batak adalah rumah pertama sekali si Raja Batak membangun rumahnya di Hutaurat (pertama sekali kampung berdiri). Adapun Aek Bintatar adalah Sumber Mata Air yang di buat dengan menggunakan ilmu-ilmu mistik, dimana terdapat pohon beringin yang kerdil setinggi tongkat dan ada ular besar penjaganya. Akan tetapi, pohon beringin sudah dimatikan dengan sengaja oleh masyarakat, karena dianggap di sana banyak sekali bersarang ular yang membuat masyarakat setempat menjadi terganggu. Penduduk tidak seorang pun yang pernah melihat langsung ular penjaga Aek Bintatar tersebut, akan tetapi

(25)

ada seorang dukun yang dipanggil pada saat mematikan pohon beringin tersebut melihat mata ular penjaga yang besar itu secara langsung dari lobang sumber mata air Aek Bintatar.

Gambar 1 : Aek Bintatar 2.5.8. Sarana Umum

Sarana Umum seperti listrik baru dibangun sekitar tahun 1990. Cara pembayarannya, ada seseorang yang datang untuk mengutip ke setiap rumah di desa tersebut. Pembayarannya berdasarkan pemakaian perbulan ditambah ongkos sebesar Rp 4500,00 untuk ke Pangururan pada setiap rumah. Adapun sumber mata air (yang terdapat di pancuran, kamar mandi, dan tempat permandian umum lainnya) dibangun pada tahun 2005 oleh masyarakat. Sumber airnya berasal dari Puncak Gunung Pucuk Buhit, dan tidak ada pungutan atau biaya (gratis) untuk air tersebut.

2.6. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba menarik garis keturunan dari pihak ayah atau pihak laki-laki yang dinamakan dengan prinsip patrilineal. Suatu kelompok adat

(26)

dan kelompok kekerabatan besar adalah marga. Kelompok kekerabatan yang terkecil disebut dengan ripe. Istilah ripe dapat juga dipakai untuk menyebut keluarga luas patrilineal. Saompu dapat disebut klen, istilah ini dipakai juga untuk menyebut kerabat yang terikat dalam satu nenek moyang (Lubis, 1999:112).

Berdasarkan prinsip keturunan masyarakat Batak Toba yang berarti garis keturunan etnis adalah dari keturunan laki-laki. Keturunan laki-laki yang memegang peranan penting dalam kelanjutan generasi. Berarti apabila seseorang tidak mempunyai keturunan laki-laki, maka dianggap silsilah marga dari ayah tidak dapat dilanjutkan atau hilang. Silsilah yang dapat berlanjut lagi, sama halnya bahwa seseorang itu tidak akan pernah diingat atau diperhitungkan lagi dalam silsilah keluarga.

Hubungan kekerabatan yang timbul sebagai akibat dari penarikan garis keturunan patrilineal mempunyai nilai yang sangat penting. Pada urutan generasi setiap ayah yang mempunyai keturunan laki-laki menjadi bukti nyata dalam silsilah kelompok patrilinealnya. Seorang ayah mempunyai dua atau lebih kelompok keturunan yang masing-masing mempunyai identitas sendiri. Apabila mereka berkumpul maka akan menyebut ayah jadi ompu parsadaan. Ompu berarti adalah kakek, moyang laki-laki; sedangkan sada adalah satu, jadi merupakan titik temu mereka. Mereka yang berasal dari nenek moyang yang satu (nasompu) dari generasi ke generasi akan menjadi satu marga. Marga merupakan suatu pertanda bahwa orang yang menggunakannya masih mempunyai kekerabatan atau percaya

(27)

bahwa mereka adalah keturunan dari seseorang kakek menurut garis patrilineal (Bruner dalam Lubis, 1999:112).

Prinsip patrilineal, masyarakat Batak Toba mengartikannya bahwa laki-laki mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam menurunkan silsilah dan keturunan keluarga laki-lakilah yang dapat menurunkan marga bagi keturunannya. Setiap anak yang dilahirkan baik laki-laki maupun perempuan selalu mencantumkan marga ayahnya.

Masyarakat Batak Toba menurut ketentuan dalam kebudayaannya harus selalu memelihara kepribadiaan dan rasa kekeluargaan harus terpupuk. Hal tersebut dilakukan bukan saja terhadap keluarga dekat, tetapi juga terhadap keluarga jauh yang semarga. Nama panggilan terhadap seseorang adalah nama marganya dan bukan nama pribadinya. Apabila sesama orang Batak bertemu, maka yang pertama ditanya adalah nama marganya, dan bukan nama pribadinya atau tempat tinggalnya. Dengan mengetahui marganya, maka akan mengikuti proses penelusuran silsilah untuk mengetahui hubungan kekerabatan di antara mereka.

Proses penelusuran silsilah disebut dengan martutur atau martorombo, dengan martutur maka mengetahui kedudukan masing-masing dan hal-hal yang tabu dapat dihindarkan. Masyarakat Batak Toba mempunyai sebuah ungkapan di dalam hal martutur, yaitu: “Uji jolo tinitip sanggar, asa binalu huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto partuturan.” Artinya adalah “Untuk membuat sangkar haruslah terlebih dahulu dibuat bermarga, untuk mengetahui hubungan

(28)

keluarga haruslah terlebih dahulu menanyakan marganya.” Dengan demikian, orang yang saling berkenalan itu dapat mengetahui apakah dia mempunyai hubungan keluarga satu sama lainnya, sehingga dapat ditentukan kedudukan dalam hubungan tersebut.

Selain hubungan marga secara garis keturunan antara marga-marga juga mempunyai hubungan lain fungsional. Marga mempunyai fungsi terhadap marga lain yang terjadi akibat perkawinan. Hubungan fungsional ini mengakibatkan adanya penggolongan marga di dalam kaitannya dengan marga lain yang menimbulkan suatu sistem kekerabatan dan masyarakat Batak Toba yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti “Tiga Tungku” (Dalihan artinya tungku, Na artinya yang, dan Tolu artinya tiga), yang dalam arti bahasa Indonesia disebut Tungku yang Tiga. Adanya tiga kelompok kekerabatan yaitu : dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Dongan sabutuha adalah teman satu kampung, Hula-hula adalah marga pemberi gadis, dan boru adalah anak perempuan dari keluarga laki-laki.

Adapun pengertian dari Dalihan Na Tolu adalah : Masyarakat Batak Toba di pandang sebagai sebuah kuali (balanga) sedang Dalihan Na Tolu adalah tiga batu tungku yang mendukung kuali tersebut, sehingga padanya terdapat keseimbangan. Setiap tungku harus menjaga dan memelihara keseimbangan dari pada kuali agar tetap berdiri kokoh. Untuk dapat mencapai keseimbangan itu, ketiganya harus bekerja sama dan saling tolong-menolong.

(29)

Dalam masyarakat Batak Toba kuali (belanga) melambangkan wadah dan tempat bagi anggota-anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan-kegiatan bersama, misalnya pesta dan upacara-upacara bersama. Sedangkan masing-masing tungku melambangkan dongan sabutuha, hula-hula, dan boru. Oleh karena itu, Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba dapat didefinisikan sebagai struktur kemasyarakatan atas dasar hubungan kekerabatan yang menjadi landasan dari semua kegiatan, khususnya kegiatan yang bertalian dengan adat.

Gambar

Tabel 2.4.2: Distribusi Penduduk Berdasarkan Umur  No  Umur  Jumlah ( orang )   ( % )
Tabel 2.4.3: Distribusi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin  No.  Jenis kelamin  Jumlah ( orang )   ( % )
Tabel 2.4.6: Distribusi Penduduk berdasarkan Pendidikan:
Tabel 2.5.1: Sarana Pendidikan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahun 1997 terjadi kebakaran lahan perkebunan karet masyarakat yang ikut dalam Proyek TCSDP seluas 76 hektar dengan jumlah petani sebanyak 38 kepala keluarga pada 4 desa

Sedangkan Desa Cibodas merupakan salah satu desa di Kecamatan Lembang yang potensi pertaniaannya cukup besar dimana sektor pertanian menjadi mata pencaharian utama sebagian

Kepala Desa sebagai pemimpin organisasi Pemerintah Desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara

Karena Buol mempunyai nama Desa Umu yang terletak di sebelah Timur dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Gorontalo, Kemudian Buol juga mempunya nama desa Lakuan yang

Setelah mengalami transformasi, desa Silaban disempurnakan lagi menjadi 2 (dua) desa yaitu desa Dolok Margu dan desa Siponjot, yang digunakan sebagai nama untuk mengindentifikasi

Gang kecil yang memisahkan rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya, digunakan penduduk sebagai jalan menuju rumah - rumah penduduk yang ada di Desa Lau Rakit.. Jumlah

1) Yang dapat diterima menjadi anggota GAPOKTAN Ngudi Rajarjo II adalah mereka yang tercatat sebagai penduduk Desa Pagerwojo, Kecamatan Limbangan, dibuktikan dengan KTP

yang tetap melanjutkan aktivitas menganyam eceng gondok sampai saat ini adalah Desa Huta Namora, sementara pengrajin dari desa lainnya tidak melanjutkan aktivitas