• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUHU TUBUH SAPI NEONATUS Friesian Holstein YANG DIBERI KOLOSTRUM DAN DITANTANG DENGAN Escherichia coli ZAHROTUN NURI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUHU TUBUH SAPI NEONATUS Friesian Holstein YANG DIBERI KOLOSTRUM DAN DITANTANG DENGAN Escherichia coli ZAHROTUN NURI"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

SUHU TUBUH SAPI NEONATUS Friesian Holstein YANG

DIBERI KOLOSTRUM DAN DITANTANG DENGAN

Escherichia coli

ZAHROTUN NURI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Suhu Sapi Neonatus Friesian Holstein yang Diberi Kolostrum dan Ditantang dengan Escherichia coli adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi berasal dari kutipan karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 17 januari 2010

Zahrotun Nuri Nrp: B04051465

(3)

Sebuah karya kecil ananda persembahkan

untuk Bapak dan Ibu yang dengan sabar

menuntun langkah- langkah

dalam kehidupan ananda

Mengasihi ananda tanpa ada batasnya

Mencintai ananda tanpa ada hentinya

Bapak, ibu terimakasih atas

Curahan doa tiada henti

Limpahan kasih sayang

Cucuran keringat

Kado kecil untuk mereka yang tiada henti terjaga dikala malam

Kado kecil untuk mereka yang tiada putus melantunkan doa disetiap sujudnya

Kado kecil untuk mereka yang tiada henti menguntai doa disetiap langkahku

Semoga goresan kecil ini dapat

sedikit mengurangi beban dipundak

membingkai senyuman di wajah

penawar dari segala coban

bapak dan ibu

(4)

ABSTRAK

Zahrotun Nuri. Suhu Tubuh Sapi Neonatus Friesian Holstein yang Diberi Kolostrum dari Induk yang Ditantang dengan Escherichia Coli. Dibimbing oleh

Drh. Retno Wulansari.MSi, Phd dan Dr.Drh Anita Esfandiari. MSi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati suhu tubuh sapi neonatus Friesian Holstein yang diberi kolostrum dari induk yang divaksin dengan E. coli polivalen dan ditantang dengan E. coli K-99. Sebanyak enam ekor sapi FH neonatus digunakan dalam penelitian ini. Segera setelah hewan lahir dilakukan pemeriksaan klinis menyeluruh. Lima ekor sapi neonatus diberi kolostrum (Asp1-Asp5) dan satu ekor lainnya (Asp) diberi susu sapi (sebagai kontrol). Kolostrum dan susu sapi diberikan sesegera mungkin setelah anak sapi lahir (sekitar 1-2 jam setelah lahir). Kolostrum/susu diberikan sebanyak 10%/Kg BB. Kolostrum/susu diberikan 2 kali sehari selama tiga hari. Setelah itu, semua anak sapi diberi susu sapi sebanyak 2 kali sehari. Uji tantang dilakukan pada semua anak sapi saat berumur 12 jam. Uji tantang dilakukan dengan menggunakan bakteri hidup E. coli K-99 sebanyak 5x1010 Colony Forming Unit (CFU), peroral dengan menggunakan syringe. Hasil pengamatan menunjukan peningkatan suhu tubuh yang lebih rendah pada pedet yang diberi kolostrum dibandingkan dengan pedet yang diberi susu sapi.

(5)

ABSTRACT

The aimed of this research is to know body temperature of calves after challenges whith Escherichia Coli K-99 which given colostrum from vaccinated mother with polyvalent E. coli. In this research were used six neonates calves of Friesian Holstein. Immediately after they born, were done physical examination. Five calves were given colostrums (Asp1-Asp5) and another one(Asp) were given milk. Colostrum and milk were given as soon as possible after birth (1-2 hours of birth), 10%/kg body weight, 2 times/days for 3 days. After that, all neonates calves, were given milk 2 times/day. Challenge test was performed to all of the calves at 12 hours after birth, using live bacteria E. coli K-99, 5x1010 Colony Forming Unit (CFU) peroral. The result of this research demonstrated that calves which were given colostrums didn’t showed significant body temperature increased than calves were given milk.

(6)

SUHU TUBUH SAPI NEONATUS Friesian Holstein YANG

DIBERI KOLOSTRUM DAN DITANTANG DENGAN

Escherichia coli

ZAHROTUN NURI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(7)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir : Suhu Tubuh Sapi Neonatus Friesian Holstein yang Diberi Kolostrum dan Ditantang

Escherichia coli Bentuk Tugas Akhir : Penelitian Nama Mahasiswa : Zahrotun Nuri

NIM : B04051465

Disetujui

Drh. Retno Wulansari. MSi, PhD Dr. drh.Anita Esfandiari. MSi Pembimbing I Pembimbing II Diketahui Wakil Dekan Dr. Nastiti Kusumorini NIP:1962 1205 1987 03 2 001 Tanggal Lulus : ...

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah S.W.T untuk setiap petunjuk dan kemudahan yang senantiasa diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak, Ibu, Neng Ria, Neng Nina, Mas Dollik, Mas Puput, Akbar serta keluarga Malang atas doa dan kasih sayangnya.

2. Drh. Retno Wulansari. MSi, PhD dan Dr.drh Anita Esfandiari. MSi sebagai Dosen Pembimbing.

3. Dr.drh Upik Kesumawati sebagai Dosen Pembimbing Akademik.

4. Beta, Sarah, Eva, Cehip, Desna, Data, Acil, Nonok, Dilla, Rina, Riza dan Echi terimakasih atas semangat, dukungan, kebahagian dan persahabatan. 5. Ali, Fera, Dinar dan Mizwar selaku teman sepenelitian terima kasih atas

kerjasamanya

6. Pak Kamidi, Pak Kos, Pak Jajat, Pak Suryono terimakasih atas bantuan selama ini

7. Tema-teman Goblet 42

8. Kru-Subang (Mbak Candra, Mbak Lilis, Kak Bayu, dll) 9. Semua pihak yang turut membantu

Penulis Menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan bagi penulis dan pembaca.

Bogor, Januari 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Malang 9 Febuari 1986, dari pasangan Matlubur Rifaq dan Anirorch. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara.

Penulis telah menyelesaikan pendidikan formal di SMAN 01 Tumpang pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tercatat sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam forum Keluarga besar AREMA sebagai bendahara umum (2007-2008) dan pernah menjadi bendahara Himpunan Minat Profesi Ruminansia (2008-2009) serta menjadi Badan Penasehat Himpunan Profesi Ruminansia (2009-sekarang).

(10)

DAFTAR TABEL ………...………...iV DAFTAR GAMBAR ……….…V I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ………1 1.2. Tujuan ……….2 1.3. Manfaat ………...2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Escherichia coli ……….………...……..3

2.2. Kolostrum ……….……… ……….…...5

2.3. Sapi Friesian Holstein ………….………..…...……….9

2.4. Kekebalan Pasif ……….………..………11

2.5. Suhu Tubuh ……….………..…………..12

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Percobaan ...15

3.2. Alat dan Bahan ...15

3.2.1. Hewan Coba ...15

3.2.2 Bahan dan Alat ...15

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Pemberian kolostrum/Susu ...15

3.3.2. Uji Tantang ...16

3.3.3. Pemeriksaan Suhu Tubuh ...16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...17

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...23

(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Kandungan imunoglobulin dalam kolostrum dan susu sapi ...6

2. Konsentrasi imunoglobulin (mg/100ml) kolostrum pada beberapa spesies hewan ...7

3. Perbandingan komposisi kolostrum dan susu pada sapi dan babi ...8 4. Produksi susu dan kadar lemak berbagai bangsa sapi ...10

(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Escherichia coli ...3 2. Sapi Friesian Holstein ...10 3. Perubahan suhu tubuh pada sapi neonatus yang diuji tantang dengan E. coli

(13)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sapi perah merupakan ternak yang sangat potensial dalam menghasilkan susu sebagai salah satu sumber protein hewani. Berbagai masalah sering dihadapi dalam pengembangan populasi ternak sapi, salah satunya adalah kolibasilosis. Kolibasilosis sering menyerang anak sapi dengan gejala klinis utama berupa diare profus, yang mengakibatkan banyak kehilangan cairan tubuh. Jika kehilangan cairan tubuh melebihi 15% dari berat badan maka akan terjadi kematian. Kerugian akibat kematian anak sapi yang terserang kolibasilosis dapat berdampak besar terhadap dunia peternakan (Husnawati 2002).

Kolibasilosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Escherichia coli (E. coli) dan banyak menyerang anak sapi dengan umur kurang dari satu bulan. Infeksi oleh bakteri ini sering dihubungkan dengan berbagai kejadian penyakit seperti infeksi pada umbilikus, infeksi persendian, mastitis, sistisis, servisitis dan metritis. Dilaporkan bahwa tingkat kematian pada anak sapi mencapai 25-30%, pada anak kuda mencapai 25%, dan pada anak babi mencapai 50%. Infeksi E. coli pada anak sapi dapat menimbulkan kematian 65-85% dengan prevalensi kejadian diare 20-31%. Tingginya kematian pedet dapat berdampak pada kerugian ekonomi bagi peternak diberbagai tingkat (Supar 2001).

Escherichia coli merupakan salah satu bakteri yang dapat menyebabkan diare pada pedet yang dapat berakibat fatal. Escherichia coli sering dihubungkan dengan diare berat pada anak babi dan sapi (Todar 2008)

Antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan kasus diare akibat kolibasilosis pada anak sapi kurang memberikan hasil yang menggembirakan, dan kasus diare di lapang masih tetap tinggi. Escherichia coli pada anak sapi menunjukkan resistensi terhadap antibiotik yang digunakan di lapangan. Hal ini menunjukan bahwa antibiotik kurang efektif digunakan untuk pengobatan dan pengendalian kasus kolibasilosis di lapangan (Supar 1988).

(14)

2

Tingginya angka kematian akibat kolibasilosis mengharuskan peternak lebih waspada terhadap gejala klinis yang muncul. Deteksi lebih awal terhadap infeksi E. coli dapat mengurangi risiko kematian. Salah satu gejala klinis yang dapat diamati selain diare adalah peningkatan suhu tubuh.

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengamati suhu tubuh sapi neonatus Friesian Holstein yang diberi kolostrum dari induk yang divaksin dengan E. coli polivalen dan ditantang dengan E. coli K-99.

1.3. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang suhu tubuh sapi neonatus Friesian Holstein yang diberi kolostrum dari induk yang divaksin dengan E. coli polivalen dan ditantang dengan E. coli K-99.

(15)

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Escherichia coli

Escherichia coli ( E. Coli) adalah organisme kelompok Gram negatif (Jawetz 1968). Bakteri ini pertama kali diisolasi oleh Esheric dari feses pada tahun 1885 dan disebut sebagai Bacterium coli commune. Escherichia coli adalah bakteri yang secara normal berada dalam tubuh manusia. Menurut Todar (2007), E. coli diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Bacteria Filum : Proteobacteri

Kelas : Gamma Proteobacter Ordo : Enterobacteria Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Spesies : Escherichia coli

Gambar 1. Escherichia coli (Todar 2008)

(16)

4

Morfologi E. coli berbentuk batang, lurus, berukuran 1.1-1.5 x 2.0-0.6 μm (Jakson and Cockcroft 2002), dapat berpasangan atau berbentuk tunggal, bergerak dengan menggunakan fimbriae (Gambar1) (Merchant and Parker 1961). Tumbuh baik pada pH 7 dan dapat rusak pada suhu 60 oC selama 30 menit (Temadja 1978), beberapa sel dapat hidup pada pembekuan selama 6 bulan (Jakson and Cockcroft 2002).

Escherichia coli menghasilkan zat antara lain asam, gas, laktosa, fruktosa, galaktosa, maltosa, arabinosa, xylase, rhaminose dan manitol.Beberapa strain E. coli dapat memfermentasi karbohidrat dan menghasilkan gas. Gas yang terbentuk selama fermentasi terdiri dari CO2 dan hidrogen, dimana rasio dari dua zat ini sebanding serta tidak dihasilkan H2S selama fermentasi (Merchant and Parker 1961).

Bakteri E. coli dapat menghasilkan endotoksin dalam saluran pencernaan. Endotoksin dalam saluran pencernaan akan meningkatkan sekresi elektrolit dan cairan ke dalam lumen usus sehingga terjadi ketidakseimbangan larutan elektrolit dan menyebabkan dehidrasi (Suharyono 1985). Infeksi E. coli dapat mengakibatkan terbentuknya koloni pada lapisan epitel yang diperantarai pilus, sehingga menyebabkan E. coli dapat melekatkan diri pada permukaan epitel dan memproduksi toksin (Lay dan Hastowo 2000).

Escherichia coli adalah bakteri yang mudah tumbuh dalam berbagai media di laboratorium. Biakan berbentuk granul halus pada media padat dan pada biakan yang lebih tua akan berubah menjadi kasar. Koloni E. coli akan berubah warna menjadi merah pada media Mac Conkey. Sedangkan pada media cair pertumbuhan akan ditunjukkan oleh adanya kekeruhan pada bagian dasar tabung (Nevade et al. 2000).

Bakteri E. coli dapat digolongkan menjadi dua kelompok berdasarkan pada penyakit yang ditimbulkan, yaitu E. coli yang bersifat oportunistik dan enteropatogenik.Berdasarkan zat spesifik yang ditemukan pada permukaan bakteri, maka E. coli dibagi menjadi H antigen pada flagel, O antigen pada somatik dan K pada kapsel. Determinan antigen O terletak pada bagian polisakarida, sedangkan antigen K merupakan protein dan polisakarida, dan

(17)

5

antigen H mengandung protein. Dewasa ini telah ditemukan sekitar 200 O antigen pada E. coli. Akumulasi E. coli enterotoksigenik pada usus halus tergantung pada pili (Jay 1996).

Galur enterotoksin dapat menghasilkan dua macam toksin yaitu toksin yang tahan panas dan yang tidak tahan panas. Toksin yang tidak tahan panas memiliki kemampuan menggertak adenilsiklase untuk mengubah ATP (adenosine triphosphate) menjadi cAMP (cyclic adenosine monophosphate) sehingga terjadi pengeluaran Cl- dan penghambatan Na+. Toksin yang tidak tahan panas memiliki sifat mudah dirusak pada suhu 600C selama 30 menit, daya kerja yang lambat dan bersifat antigenik. Sifat toksin yang tahan panas adalah tahan terhadap suhu 121 0

C selama 15 menit dan memiliki waktu serta daya kerja yang cepat dan singkat (Jay 1996).

2.2. Kolostrum

Sapi memiliki kekebalan yang sangat rendah pada saat pertama kali lahir. Hal ini dikarenakan sifat plasenta yang impermeabel terhadap protein kolostrum (Tizard 2000). Tipe plasenta ruminansia adalah syndesmochorial dimana epitel korion tidak berkontak langsung dengan jaringan uterus (Sevendsen and Carter 1993). Tipe uterus yang demikian menyebabkan antibodi maternal tidak dapat melalui plasenta. Untuk meningkatkan kekebalan pada sapi yang baru lahir, harus diberikan kolostrum (Andrews 2002).

Menurut Tizard (2000), kolostrum adalah sekresi kelenjar ambing yang terkumpul selama beberapa minggu terakhir masa kebuntingan, dikeluarkan dari aliran darah dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron. Sedangkan menurut Hodek and Haven (1985), kolostrum adalah susu yang pertama kali disekresikan setelah partus dengan kadar protein yang tinggi. Kolostrum mengandung beberapa macam imunoglobulin (Ig), antara lain IgG, IgM, dan IgA.

Konsentrasi IgG akan menurun sebanyak 50% pada 2 hari setelah induk sapi melahirkan. Jenis sapi Jersey dan Holstein memiliki konsentrasi IgG yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis sapi perah lainnya (Kebreak 2004).

(18)

6

Kolostrum merupakan sumber energi bagi hewan yang baru lahir. Hewan membutuhkan kolostrum sebesar 8-10% atau lebih dari total berat tubuhnya. Kemampuan penyerapan kolostrum pada anak bergantung pada kemampuan dari pedet untuk mengabsorbsi volume kolostrum yang diminum, kandungan imunoglobulin dalam kolostrum, dan manajemen pemeliharaan pedet. Kemampuan pedet dalam menyerap imunoglobulin secara maksimal terjadi pada 6-8 jam setelah lahir dan akan menurun atau tidak dapat menyerap sama sekali pada 24-36 jam setelah lahir ( Andrews 2002).

Kolostrum mengandung banyak zat nutrisi diantaranya kalsium, magnesium, phospor, dan kolin. Konsentrasi zat ini sangat tinggi dalam kolostrum dibandingkan dengan susu sapi. Kandungan vitamin A dalam kolostrum hampir sepuluh kali dan vitamin D tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (Andrews 2002). Jumlah kolostrum yang diproduksi induk dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya hewan terlalu muda dikawinkan, kondisi induk yang kurang baik akibat malnutrisi, gangguan pada ambing induk serta infeksi cacing pada induk yang sedang laktasi (Andrews 2002). Perbandingan kandungan masing-masing jenis Ig dalam kolostrum dan susu sapi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1. Kandungan imunoglobulin dalam kolostrum dan susu sapi

(Sumber: Tizard 2000)

Kandungan IgG dalam kolostrum sapi lebih tinggi bila dibandingkan dengan kolostrum manusia. Kolostrum manusia memiliki konsentrasi IgG 2% sedangkan sapi 86% (Colostrum Center 2008). Kandungan imunoglobulin dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan susu sapi (Tabel 1). Menurut Tizard (2000), pada hewan domestik konsentrasi IgG dalam kolostrum berkisar 65-90%

Imunoglobulin Kolostrum (mg/100ml) Susu Biasa(mg/100 ml)

IgA 100-700 10-50

IgM 300-1300 10-20

(19)

7

dari total antibodi, sedangkan konsentrasi IgA dan Ig lainnya cenderung sedikit tetapi merupakan komponen yang nyata.

Kolostrum harus segera diberikan tidak lebih dari 24 jam setelah kelahiran (Husnawati 2002). Hal ini bertujuan agar sapi yang baru lahir dapat melawan mikroorganisme pada lingkungan yang baru (Tizard 2000). Kolostrum yang diberikan pada sapi yang baru lahir akan memberikan perlindungan pada anak sapi hingga anak sapi mampu membentuk kekebalan sendiri (Colville and Joanna 2002). Perbandingan komposisi kolostrum dengan susu sapi diantra spesies hewan dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3.

Tabel 2. Konsentrasi imunoglobulin (mg/100ml) kolostrum pada beberapa spesies hewan

Hewan IgA IgM IgG

Kuda 500 – 1500 100 – 350 1500 – 5000 Sapi 100 – 700 300 – 1300 3400 – 8000 Domba 100 – 700 400 – 1200 4000 – 6000 Babi 950 – 1050 250 – 320 3000 - 7000 Anjing 5500 – 2200 14 – 57 120 - 300 (Sumber: Tizard 2000)

Darah mamalia mengandung 5 kelas imunoglobulin yaitu IgM, IgG, IgA, IgD dan IgE. Imunoglobulin M dibentuk paling awal pada respon primer. Fungsi IgM adalah mencegah gerakan mikroorganisme patogen dan memudahkan fagositosis. Imunoglobulin M banyak terdapat di dalam sekresi susu, sekresi usus, paru-paru domba dan sapi. Konsentrasi IgM dalam serum mencapai 10%. Imunoglobulin M memiliki waktu paruh 5 hari dalam peredaran darah dan memiliki berat molekul 970 Kd (Soejoedono et al. 2007) .

(20)

8

Tabel 3. Perbandingan komposisi kolostrum dan susu pada sapi dan babi Kolostrum

Sapi

Susu Sapi Kolostrum Babi Susu Babi Natrium (mg) 60 50 75 30 Kalium (mg) 150 150 125 90 Kalsium (mg) 170 120 50 240 Magnesium(mg) 15 10 - -

Vitamin A (i. u.) 700 120 200 120

Vitamin D (i. u.) 4 3 - 4

Vitamin E (mg) 2 0,4 - -

Thiamin (Ug) 60 30 100 65

Riboflavin (Ug) 500 170 165 400

VitaminB6 (Ug) 50 50 10 40

(Sumber: Sevendsen and Carter 1993)

Imunoglobulin G merupakan komponen utama imunoglobulin dalam serum, dimana konsentrasi mencapai 75% dari semua kelas imunoglobulin dalam serum. Imunoglobulin G memiliki struktur monomer dan berat molekul 146 Kd. Imunoglobulin G berperan dalam respon sekunder. Imunoglobulin G pada ruminansia dibagi menjadi 2 kelas yaitu IgG1 dan IgG2. Imunoglobulin G1 dikeluarkan dari kolostrum dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan dengan IgG2. Imunoglobulin G2 (IgG2)berfungsi sebagai opsonisasi bakteri dan fagositosis (Soejoedono et al. 2007). Fungsi IgG1 adalah memudahkan makrofag untuk mefagosit bakteri yang telah diopsonisasi (Cunningham 2002).

Imunoglobulin A merupakan imunoglobulin yang memiliki dua bentuk yaitu sirkulatori dan sekretori. Jumlah IgA ditemukan sedikit dalam serum tetapi melimpah jumlahnya dalam cairan sekresi saluran cerna, saluran pernafasan, saluran kemih, ludah dan air susu. Fungsi IgA adalah mencegah terjadinya kontak antara virus atau toksin pada sel target. Konsentrasi IgA dalam serum darah adalah 15-20% dan memiliki struktur berupa monomer atau dimer (Soejoedono et al. 2007).

(21)

9

Imunoglobulin D adalah imunoglobulin yang ditemukan dengan konsentrasi rendah dalam sirkulasi. Imunoglobulin D memiliki fungsi sebagai reseptor pada aktivasi sel B. Imunoglobulin D dibagi menjadi dua sub kelas yaitu IgD1 dan IgD2 (Soejoedono et al. 2007).

Imunoglobulin E merupakan imunoglobulin dengan konsentrasi yang rendah dalam serum dan meningkat saat terjadi reaksi alergi. Imunoglobulin E ditemukan pada permukaan sel mast, basofil, eosinofil, makrofag dan trombosit. Fungsi dari imunoglobulin ini adalah sebagai imunitas terhadap infeksi cacing (Soejoedono et al. 2007).

2.3. Sapi Friesian Holstein

Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari propinsi Belanda Utara dan propinsi Friesland Barat. Beberapa bangsa sapi perah yang dikenal dari Amerika Serikat adalah Friesian Holstien dan Holstein, sedangkan di Eropa sapi perah lebih banyak dikenal dengan nama Friesian. Friesian Holstein adalah jenis sapi perah yang paling banyak digunakan dalam industri susu. Hal ini dikarenakan sapi ini memiliki produksi susu yang paling tinggi bila dibandingkan dengan jenis sapi perah lainnya (Sudono et al. 2003).

Friesian Holstein merupakan jenis sapi yang termasuk bangsa sapi besar, dimana berat sapi betina dapat mencapai 650 kg, jantan 1000 kg dan yang baru lahir sekitar 43 kg (Ginting and Sitepu 1989). Sapi FH memiliki ciri–ciri yaitu bulu pada umumnya berwarna hitam putih dengan batas–batas yang jelas dan kadang–kadang berwarna merah putih (Gambar 2) (Sudono et al. 2003), pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang, mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (French 1996).

(22)

10

Gambar 2. Sapi Friesian Holstein

Produksi susu FH akan meningkat sampai induk sapi mencapai umur 6-8 tahun, setelah itu produksi menurun. Umur 24 bulan dapat menghasilkan susu sebanyak 70-75%, 3 tahun 80-85% dan 92-98% umur 4-5 tahun dari seluruh pemerahan pada (French 1996; Sudono et al. 2003). Sapi FH memiliki produksi susu tinggi dengan kadar lemak rendah bila dibandingkan dengan sapi perah dari bangsa lain (Tabel 4).

Tabel 4. Produksi susu dan kadar lemak berbagai bangsa sapi Bangsa Produksi Susu

(kg/Thn) % Lemak Ayrshire 500 4 Brown Swiss 500-5000 4 Guernsy 400 4,7 FH 5750 3,7 Jersey 400 5

(23)

11

2.4. Kekebalan Pasif

Kekebalan adalah kemampuan tubuh untuk menahan infeksi, meniadakan kerja infeksi dan faktor virulensi lainnya (Soejoedono et al. 2007). Antibodi dari induk dapat diturunkan kepada anaknya melalui plasenta dan kolostrum. Imunoglobulin G, IgA, IgE pada jenis primata dan manusia dapat diturunkan langsung melalui plasenta, sedangkan pada ruminansia, IgG tidak bisa diturunkan langsung dari induk melalui plasenta, tetapi harus melalui kolostrum. Hal ini yang disebut sebagai transfer imun pasif, dimana hewan mendapat antibodi melalui pemberian kolostrum. Imun pasif memiliki peran yang penting yaitu mencegah septisemia, bakteremia dan viremia (Tizard 2000).

Pemindahan antibodi dari induk ke fetus ditentukan oleh sifat penghalang dari plasenta. Manusia memiliki plasenta dengan jenis hemokorial, dimana darah induk dapat langsung berkontak dengan trofoblas sehingga memungkinkan IgG dapat diturunkan pada fetus melalui plasenta. Kondisi ini berbeda dengan bangsa ruminasia dimana memiliki tipe plasenta syndesmochorial, yaitu epitel korion berkontak langsung dengan jaringan uterine sehingga antibodi tidak dapat diturunkan melalui plasenta tetapi harus melalui kolostrum (Tizard 2000). Antibodi yang diwariskan induk pada anaknya berfungsi menjaga agar anak terhindar dari infeksi pada masa awal kehidupan (Andrews 2002).

Pedet baru lahir tidak memiliki kandungan antibodi dalam darahnya sampai pedet menerima kolostrum. Dalam kolostrum terdapat globulin yang dapat masuk ke dalam pembuluh darah secara langsung dalam waktu kurang dari 24 jam. Laktoglobulin dalam kolostrum ditangkap oleh epitel usus halus melalui proses pinositosis dan pembuluh limfe, setelah itu menuju ke sirkulasi darah (Roy 1980).

Kolostrum yang diabsorbsi oleh hewan muda langsung masuk ke dalam saluran usus. Antibodi dalam kolostrum langsung masuk ke dalam saluran pencernaan tanpa melalui proses pemecahan. Hal ini dikarenakan pada hewan yang baru lahir tingkat aktivitas proteolitik dalam saluran cerna pada hewan yang baru lahir masih rendah (Imron 2009).

(24)

12

Hewan yang tidak menyusu biasanya memiliki konsentrasi imunoglobulin yang rendah. Penyerapan yang baik dari imunoglobulin kolostrum akan mengakibatkan kadar imunoglobulin dalam serum mendekati konsentrasi hewan dewasa (Tizard 2000).

2.5. Suhu Tubuh

Berdasarkan suhu tubuh, hewan dibedakan menjadi dua kelompok yaitu hewan berdarah dingin (poikilotermik) dan berdarah panas (homeotermia). Hewan berdarah dingin dapat menyesuaikan suhu tubuh dengan lingkungan, sedangkan hewan berdarah panas dapat mempertahankan suhu tubuh konstan terhadap perubahan lingkungan. Sapi termasuk dalam kelompok hewan berdarah panas. Suhu normal sapi dewasa 380C-390C sedangkan suhu sapi neonatus 38,60 C-39,80C (Kelly 1982). Secara umum suhu tubuh hewan baru lahir lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa, hal ini dikarenakan tingginya aktivitas metabolisme pada hewan yang baru lahir (Hodek and Haven 1985).

Suhu tubuh hewan sehat akan turun pada pagi hari dan mengalami peningkatan pada siang hari. Suhu tubuh pada siang hari 0,8 0C lebih tinggi dibandingkan dengan malam hari. Suhu tubuh dapat mengalami peningkatan dan penurunan. Peningkatan suhu tubuh terjadi akibat peningkatan produksi panas, misalnya karena kelelahan, reabsorbsi panas yang tinggi, udara lembab, obesitas, bulu lebat dan panjang, dan setelah bekerja (Phillis 1976).

Pada saat pusat suhu tubuh menerima informasi bahwa tubuh terlalu panas atau dingin, maka pusat suhu tubuh akan memberikan respon dengan cara menurunkan atau meningkatkan suhu. Mekanisme penurunan suhu ketika tubuh terlalu panas adalah dengan cara berkeringat, vasodilatasi dan penurunan pembentukan panas. Sedangkan untuk meningkatkan suhu tubuh adalah dengan cara vasokonstriksi, Piloereksi dan peningkatan pembentukan panas (Guyton and Hall 1997).

Suhu tubuh diatur dengan cara menyeimbangkan antara produksi dan kehilangan panas (termoregulator). Bila laju pembentukan lebih besar dari pembuangan panas, maka akan meningkatkan suhu tubuh. Sebaliknya bila

(25)

13

pembentukan lebih rendah dari pembuangan panas maka akan menurunkan suhu tubuh (Guyton and Hall 1997).

Sebagian besar produksi panas dihasilkan oleh organ dalam seperti hati, otak, jantung dan otot rangka selama aktivitas. Setelah itu panas yang diproduksi oleh organ akan dihantarkan ke jaringan kulit dan panas akan dilepas ke lingkungan. Penghantaran panas ke kulit dilakukan oleh darah, kemudian saraf simpatik akan memberikan respon terhadap perubahan tubuh dan lingkungan (Guyton and Hall 1997).

Demam atau pireksia adalah peningkatan suhu tubuh sebesar 10C diatas normal akibat adanya penyakit (Lorenz and Cornelius 1987; Guyton and Hall 1997). Pada keadaan tertentu hewan dapat mengalami hiperpireksia (hipertermia). Hiperpireksia terjadi apabila suhu tubuh mencapai 40,5 0C / 105 0F. Pada keadaan tertentu kadang–kadang suhu turun dibawah normal dan akan naik beberapa hari kemudian (Lorenz and Cornelius 1987 ).

Demam dapat dibagi menjadi 3 stadium yaitu inkrementi, fastigium, dan dekrementi. Stadium inkrementi adalah stadium dimana terjadi peningkatan suhu tubuh, sedangkan pada stadium fastigium terjadi ketika suhu tubuh mencapai puncak dan keadaan dimana suhu tubuh turun disebut dengan stadium dekrementi. Keadaan dimana terjadi penurunan suhu tubuh secara cepat disebut dengan crisis sedangkan penurunan suhu tubuh secara lambat disebut dengan lytis (Kelly 1982). Penyebab demam dapat digolongkan menjadi dua yaitu agen spesifik dan non spesifik. Agen spesifik diantaranya virus, bakteri, protozoa dan fungi, sedangkan agen non spesifik adalah protein dan zat yang dapat merusak jaringan. Bahan–bahan ini dapat mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Efek peningkatan suhu adalah pendarahan lokal dan degenerasi sel parenkim pada seluruh tubuh (Guyton and Hall 1997).

Pirogen adalah senyawa yang merangsang peningkatan suhu tubuh. Pirogen dibedakan menjadi pirogen eksogen dan endogen. Pirogen eksogen terdiri atas toksin dan lipopolisakarida dari sel bakteri. Sedangkan pirogen endogen adalah interleukin-1 (IL-1), tumor factor nekrosis (TNF), interleukin-6 (IL- 6) dan interferon (Lorenz and Cornelius 1987 ). Demam terjadi ketika agen infeksius

(26)

14

seperti bakteri masuk ke dalam tubuh inang yang sehat sebagai pirogen eksogen. Setelah itu sistem imun mulai bekerja menyingkirkan bakteri tersebut. Penyingkiran bakteri oleh sistem imun akan menghasilkan pirogen endogen. Pirogen endogen masuk ke dalam pembuluh darah dan menuju hipotalamus. Kehadiran pirogen endogenus dapat merangsang peningkatan set point suhu tubuh pada hipotalamus dan menekan neuron yang sensitif terhadap panas (Guyton and Hall 1997).

Termoregulator tubuh terletak di hipotalamus, sedangkan sensor suhu tubuh terletak pada seluruh tubuh terutama pada kulit, abdomen dan hipotalamus. Demam pada sapi dibedakan menjadi empat tipe, yaitu febris sederhana (peningkatan suhu dan tetap tinggi dalam beberapa hari dimana variasi peningkatan dan penurunan kurang dari 10C), febris kontinyu (seperi febris sederhana tetapi waktu terjadinya lebih lama), febris remitten (kenaikan suhu dalam waktu sebentar dan terulang dalam waktu yang singkat) dan febris atipikal (suhu tubuh naik turun tidak berpola) (Kelly 1982).

(27)

15

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian berlangsung antara bulan April sampai dengan September 2008. Penelitian dilakukan di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Hewan Coba

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah enam ekor sapi FH neonatus sehat secara klinis. Selama penelitian sapi neonatus dipelihara di Kandang Hewan Laboratorium Ruminansia Besar FKH IPB.

3.2.2. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan selama penelitian adalah bakteri E. coli- K-99, kolostrum dari induk sapi yang divaksin E. coli polivalen, susu sapi, syringe, dan termometer.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pemberian Kolostrum / Susu

Sebanyak enam ekor sapi FH neonatus digunakan dalam penelitian ini. Segera setelah hewan lahir dilakukan pemeriksaan klinis menyeluruh. Lima ekor sapi neonatus diberi kolostrum (Asp1-Asp5) dan satu ekor lainnya (Asp) diberi susu sapi (sebagai kontrol). Kolostrum dan susu sapi diberikan sesegera mungkin setelah anak sapi lahir (sekitar 1-2 jam setelah lahir). Kolostrum/susu diberikan sebanyak 10%/Kg BB. Kolostrum/susu diberikan 2 kali sehari selama tiga hari. Setelah itu, semua anak sapi diberi susu sapi sebanyak 2 kali sehari.

(28)

16

3.3.2. Uji Tantang

Uji tantang dilakukan pada semua anak sapi saat berumur 12 jam. Uji tantang dilakukan dengan menggunakan bakteri hidup E. coli K-99 sebanyak 5x1010 Colony Forming Unit (CFU), peroral dengan menggunakan syringe.

3.3.3. Pemeriksaan Suhu Tubuh

Pengukuran suhu tubuh dilakukan menggunakan termometer per-rektal selama 2-3 menit. Pengukuran dilakukan sebelum anak sapi diuji tantang, kemudian pada 12, 24 dan 72 jam setelah uji tantang.

(29)

17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapatkan gambaran suhu tubuh pada semua sapi neonatus percobaan. Gambaran suhu tubuh pada semua sapi neonatus percobaan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Gambar 3.

Tabel 4. Suhu tubuh sapi neonatus yang ditantang dengan E. coli Perlakuan 0 jam (°C) 12 jam (°C) 24 jam (°C) 72 jam (°C) Asp 39 39.2 40.2 39.7 Asp1 38.8 39 39 39.4 Asp2 38.4 39 39.3 38.8 Asp3 38.6 38.8 38.9 38.8 Asp4 38.3 38.1 38.8 38.8 Asp5 38.6 38.6 39 38.8 Keterangan

Asp

: sapi neonatus dengan pemberian susu sapi Asp1-5 : sapi neonatus dengan pemberian kolostrum

Dua belas jam setelah uji tantang terjadi peningkatan suhu tubuh pada semua anak sapi percobaan (Tabel 4). Adanya bakteri yang masuk akibat uji tantang menyebabkan terjadinya peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh merupakan respon terhadap adanya inflamasi akibat adanya bakteri atau aktivitas dari bakteri (Guyton and Hall 1997; Kelly 1982). Peradangan biasanya akan ditandai dengan terjadinya vasodilatasi, peningkatan permeabilitas membran, peningkatan suhu tubuh dan migrasi granulosit serta monosit ke dalam jaringan. Peradangan ini akan memberikan efek pembentukan pembatas pada daerah yang mengalami inflamasi terhadap daerah yang tidak menggalami inflamasi, yang bertujuan agar bakteri tidak menyebar ke bagian tubuh yang lain (Guyton and Hall 1997).

(30)

18

Tabbu (2000) melaporkan bahwa antigen yang masuk ke dalam tubuh hewan yang sehat akan merangsang sistem pertahanan tubuh untuk membentuk antibodi. Selama proses ini berlangsung hewan akan mengalami peningkatan suhu tubuh dan mengalami stres. Stres terjadi akibat antigen yang masuk bereplikasi sehingga mengundang sel kebal dan infiltrasi sel radang yang berakibat inflamasi sehinggga suhu tubuh meningkat (Soejodono et al. 2007).

37

37.5

38

38.5

39

39.5

40

40.5

0

12

24

72

Asp

Asp1

Asp2

Asp3

Asp4

Asp5

Gambar 3. Perubahan suhu tubuh pada sapi neonatus yang diuji tantang dengan E. coli K-99

Peningkatan suhu tubuh yang terjadi pada sapi neonatus yang ditantang E. coli merupakan respon tubuh terhadap meningkatnya set point suhu dari sapi neonatus. Set point suhu adalah tingkat suhu kritis pada hipotalamus yang dimiliki oleh hewan. Menurut Tizard (2000), peningkatan suhu tubuh merupakan adaptasi hewan terhadap adanya infeksi yang terjadi di dalam tubuh. Peningkatan suhu

(31)

19

tubuh ini melibatkan leukosit, khususnya netrofil. Adanya keterlibatan leukosit akan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.

Pada penelitian ini, peningkatan suhu tubuh pada sapi neonatus 12 jam setelah uji tantang ternyata diikuti juga dengan peningkatan jumlah total sel darah putih dalam sirkulasi darah. Peningkatan jumlah total sel darah putih lebih cepat terjadi pada sapi neonatus yang diberi kolostrum (Bachri 2010). Hasil penelitian Lamotte and Ebehart (1976) diacu dalam Esfandiari (2005) melaporkan bahwa jumlah total leukosit dan aktifitas fagositosis lebih tinggi pada sapi neonatus yang diberi kolostrum bila dibandingkan dengan sapi neonatus yang diberi susu.

Peningkatan suhu tubuh pada seluruh sapi neonatus terus berlangsung dan mencapai puncaknya pada 24 jam setelah uji tantang. Namun demikian, peningkatan suhu tubuh pada sapi neonatus yang diberi kolostrum masih dalam kisaran normal. Tidak demikian halnya dengan suhu tubuh pada sapi neonatus yang diberi susu, dimana suhu tubuh meningkat hingga mencapai 40.2°C.

Hasil penelitian ini sesuai dengan laporan Colvilles and Joanna (2002), dimana tubuh hewan neonatus yang diberi kolostrum akan segera berespon dengan cepat dengan cara meningkatkan suhu tubuhnya pada saat mendapat serangan antigen. Pada penelitian ini, kolostrum yang diberikan pada sapi neonatus berasal dari induk yang telah divaksin E. coli. Dengan demikian kolostrum mengandung imunoglobulin yang telah memiliki spesifitas terhadap E. coli.

Reaksi awal ketika terjadi infeksi adalah timbulnya reaksi imun dari tubuh, berupa datangnya netrofil dan makrofag di lokasi terjadinya infeksi. Netrofil merupakan garis pertahanan pertama, sedangkan makrofag merupakan garis depan pertahanan seluler terhadap invasi jasad renik. Netrofil dapat membunuh bakteri karena sifatnya dapat hidup secaraanaerob (Zukesti 2003; Guyton and Hall 1997). Netrofil merupakan bagian terbesar dari semua jenis leukosit pada manusia dan karnivora, tetapi hanya 20-30% dari jumlah total leukosit pada ruminansia (Tizard 2000). Netrofil bergerak menginvasi target. Gerakan netrofil dirangsang oleh bahan yang dihasilkan pada reaksi inflamasi. Adanya bakteri yang masuk ke

(32)

20

dalam peredaran darah dan mengalir sampai hipotalamus akan merangsang pembentukan netrofil yang lebih banyak (Guyton and Hall 1997).

Menurut Soejodono et al. (2007), agen penyakit yang bereplikasi dapat mengakibatkan stres sehingga mengundang sel imun dan infiltrasi sel radang yang berakibat inflamasi sehingga terjadi peningkatan suhu tubuh. Sel radang akan melepaskan sitokinin. Ada tiga jenis sitokinin yang penting dalam reaksi peradangan, yaitu IL-1, IL-6 dan TNF. Interleukin-1 dan IL-6 memiliki efek dapat meningkatkan suhu tubuh.

Mekanisme pertama yang merangsang pembentukan panas tubuh adalah ketika pirogen eksogen yaitu dinding bakteri yang terbuat dari lipopolisakarida masuk ke dalam tubuh, E. coli yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan inflamasi pada sel-sel tubuh (Guyton and Hall 1997). Kehadiran sel pertahanan tubuh pada lokasi inflamasi akan merangsang keluarnya pirogen endogen dan prostaglandin ke dalam sirkulasi darah. Pirogen endogen yang dihasilkan akan berjalan menuju hipotalamus yang disebut Organa Vasculosum of The Lamina Terminals (OVLT) (Cunningham 2002). Pirogen endogen bekerja pada sel endotel untuk memproduksi tambahan prostaglandin dan arakhidonat. Senyawa tersebut akan menghambat neuron yang sensitif terhadap panas dan menyebabkan set point suhu naik. Suhu tubuh akan mencapai set point suhu yang baru pada saat set point suhu naik (Tizard 2000).

Bakteri E. coli adalah jenis bakteri Gram negatif, dimana bakteri ini sangat tahan terhadap enzim pencernaan. Bakteri ini dapat memproduksi toksin yang dapat meningkatkan suhu tubuh (Kelly 1982). Bakteri ini akan dikenali oleh tubuh sebagai benda asing dan akan ditangkap oleh sistem kekebalan tubuh yaitu netrofil. Netrofil merupakan sel darah putih yang bertugas sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan benda asing khususnya bakteri dan virus (Akers dan Denbow 2008). Netrofil menghancurkan bakteri yang masuk melalui proses fagositosis. Tubuh akan melakukan pertahanan, lokasi dimana terjadi pertahanan tubuh akan menyebabkan inflamasi. Tanda utama inflamasi yang bisa dilihat adalah adanya bengkak, kemerahan, rasa sakit dan demam (Tizard 2000). Kemerahan dan panas atau peningkatan suhu tubuh diakibatkan oleh adanya

(33)

21

tambahan aliran darah ke dalam pembuluh darah dan ekstravasasi dari plasma yang mengakibatkan bengkak dan rasa sakit (Tizard 2000).

Peningkatan suhu akan berakibat pada terjadinya peningkatan aliran pada pembuluh darah. Hal ini berfungsi untuk meningkatkan pengiriman antibodi pada lokasi antigen. Selain itu peningkatan aliran darah akan meningkatkan permeabilitas dari pembuluh darah dan menyebabkan antibodi merembes keluar pembuluh dalam konsentrasi tinggi (Tizard 2000).

Pada saat E. coli masuk ke dalam jaringan, maka bakteri ini akan berkembang dalam jaringan dan darah, lalu akan difagosit oleh netrofil dan makrofag. Sel ini mencerna antigen dan pada akhirnya akan mengeluarkan IL-1 atau yang biasa disebut sebagai pirogen endogen. Pirogen endogen ini yang dapat merangsang peningkatan suhu tubuh (Lorenz and Cornelius 1987).

Tujuh puluh dua jam (72 jam) setelah uji tantang, empat ekor sapi neonatus yang diberi kolostrum mengalami penurunan suhu tubuh, namun satu ekor (Asp1) mengalami peningkatan suhu tubuh sebesar 0.40C. Hal ini dikarenakan setiap individu memiliki sistem kekebalan berbeda. Menurut Guyton and Hall (1997), bila faktor penyebab peningkatan suhu tubuh dihilangkan, maka set point suhu pengaturan hipotalamus akan turun menjadi lebih rendah dan akan memungkinkan kembali ke titik normal. Pada stadium ini hewan menggalami stadium dekrementi.

Suhu tubuh akan diturunkan melalui mekanisme vasodilatasi, berkeringat dan penurunan pembentukan panas. Vasodilatasi merupakan mekanisme untuk menurunkan metabolisme tubuh dan peningkatan pengeluaran panas (Guyton and Hall 1997). Penurunan suhu tubuh merupakan mekanisme yang menyertai setelah terjadinya peningkatan suhu tubuh. Kejadian dimulai ketika hewan terpapar oleh benda asing, maka tubuh akan berespon dengan menghambat pengeluaran panas melalui vasokonstrisi, piloereksi dan peningkatan pembentukan panas. Kondisi ini akan meningkatkan suhu tubuh, dimana peningkatan ini akan dipertahankan sampai mencapai set point suhu, setelah itu akan terjadi pengeluaran panas melalui vasodilatasi (Phillis 1976).

(34)

22

Penurunan suhu tubuh merupakan peristiwa yang menunjukkan adanya proses homeostasis tubuh yang bertujuan mengembalikan suhu tubuh ke arah normal. Saat terjadi penurunan suhu, maka tubuh akan merespon dengan mekanisme homeostasis yang membantu produksi panas melalui mekanisme umpan balik negatif agar dapat meningkatkan suhu tubuh kearah normal (Widodo 2008).

Pada penelitian ini, penurunan suhu tubuh pada sapi neonatus yang diberi kolostrum diikuti juga dengan penurunan jumlah total sel darah putih dalam sirkulasi darah. Penurunan sel darah putih terjadi pada 24-72 jam setelah uji tantang (Bachri 2010). Hal ini dikarenakan sistem pertahanan spesifik dalam tubuh telah menggantikan sistem pertahanan non spesifik dalam tubuh. Penurunan jumlah leukosit dipengaruhi oleh penurunan jumlah netrofil yang bersirkulasi dalam darah karena fungsi netrofil telah meningkat, sehingga jumlah netrofil yang bersirkulasi menurun.

(35)

23

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari pengamatan yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa kolostrum memiliki peranan yang penting bagi anak sapi yang baru lahir untuk menghadapi agen infeksius. Hal ini terlihat dari peningkatan suhu tubuh yang lebih rendah pada sapi neonatus yang diberi kolostrum dibandingkan dengan sapi neonatus yang hanya diberi susu sapi.

5.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah hewan coba yang lebih banyak.

(36)

24

DAFTAR PUSTAKA

Akers MR and Denbow MD. 2008. Anatomy & Physiology of Domestic Animal.Australia: Blackwell.

Andrews HA. 2002. The Health of Dairy Cattle.Victoria ,Australia: Blackwell Bachri DP. 2010. Sel Darah Putih Sapi Neonatus Friesian Holstein yang Diberi

Kolostrum dan Ditantang dengan Escherichia coli. [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Colvilles T and Joanna MB. 2002. Clinical Anatomy & Physiology for Veterinary Technicians. USA: Mosby.

[colostrum Center]. 2008. Reliable information About Colostrum and Human Health.http://colostrumscenter.org/induced html. [3 September 2009]. Cunningham JG. 2002. Veterinary Physiology. Third Edition. London: Saunders

Company.

Esfandiari A. 2005. Studi Kinerja Kesehatan Kambing Peranakan Etawa (PE) Neonatal Setelah Pemberian Berbagai Sedian Kolostrum. Desertasi. Magister Sains Pascasarjana IPB.

Frandson RD. 1992. Anatomy and Physiologi of Farm Animal 4rd Edition. Diterjemahkan oleh Srigadon.Yogyakarta: Gajah Mada Universiyt Press.

French MH. 1996. European Breeds of Cattle Food and Agriculture. Rome: United Nations.

Ginting N dan Sitepu P. 1989. Teknik Beternak Sapi Perah di Indonesia. Bogor. Guyton AC and Hall JE. 1997. Fisiologi Kedokteran. Edisi ke- 9. Irawati

Setiawan Editor. Jakarta: Penerbit buku kedoteran. EGC. Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiologi.

Hodek VD and Haven VD. 1985. Susu dan Cara – Cara Penggumpulan Susu. Malang: Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang.

Husnawati. 2002. Penerapan Pengendalian Mutu Pada Pengolahan Susu UHT di PT Prima Jaya. [Laporan PKL]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Kedokteran Hewan, Program Studi Higiene Makanan.

(37)

25

Imron M. 2009. Penanganan Ternak Pedet.

http://betcipelang.info/content/view/65/86/ [28 Juli 2009].

Jakson P and Cockcroft P. 2002. Clinical Examination of Farm Animals. lowa: Blackwell.

James B and David H. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi Keempat. Gadjah Mada University: Yogyakarta.

Jawetz E. 1968. Review of Medical Microbiology. Los Altos, Calivornia: Lange Medical Publications.

Jay JM. 1996. Modern Food Microbiology. Edisi ke-5. New York: Champma da hall.

Kebreak EN. 2004. Dairying:Using Science to Meet Consumer Needs. Trumpton: University press.

Kelly WR. 1982. Veterinary Clinical Diagnosis. Second Edition.london: Baillihere Tindall.

Lay BW dan Hastowo S. 2000. Mikrobiologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Lorenz MD and Cornelius ML. 1987. Small Animal Medical Diagnosis. London:

J.B Lippincott Company.

Mercahant A and Packer RA. 1961. Veterinary Bacteriology and Virology. Six Edition. Lowa, USA: Lowa State University Press.

Nevade RB, Bhalera DPO, Jagadish S, Samad A and Keskar DV. 2000. Neonatal Calf Diarrhoea: Serotyping of E. coli Isolates. Indian Vet. J. 77:815-816 Th 2000.

Phillis JW. 1976. Veterinary Physiology. London: Pitman Press. Roy JHB.1980. The Calf . Fourth Edition. Boston: Butter worts.

Sevendsen P and Carter MA. 1993. An Introduction to Animal Physiology. Diterjemahkan oleh Tim Program Pasca Sarjana. Malang: Universitas Brawijaya Malang Program Pasca Sarjana.

Soejodono, Retno D, I Wayan TW, Sri M, Okti NP. 2007. Imunologi Dalam Sketsa Cara Mudah dan Menarik Belajar immunologi. Bogor: Departemen IPHK FKH IPB.

Sudono ARF, Rosdiana dan Setiawan BS. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Depok: Agromedia Pustaka.

(38)

26

Suharyono. 1985. Diare Akut. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Supar, R.G Hirst and B.E Patten. 1988. Studies on the Epidemiology of Neonatal

Colibacillosis in Food Producing Animals in Indonesia. Proceedings of the First National seminar on Veterinary Epidemiology. Yogyakarta, Indonesia: 103-132.

Supar. 2001. Pemberdayaan Plasma Nutfah Mikroba Veteriner Dalam Pengembangan Peternakan: Harapan Vaklsin Escerrechia Coli Enterotoksigenik, Enteropatogenik dan Verotoksigenik Isolate Local Untuk Pengendalian Kolibasilosis Neonatal pada Anak Sapi dan Babi. Wartazoa 11:36-43.

Tabbu CR. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Yogyakarta : Kanisius.

Temadja T. 1978. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jakarta: Direktorat Jendral Peternakan.

Tizard IR. 2000. Immunology. Six Edition.Texas: College of Veterinary Medicine.

Todar K. 2007. Todar Online Bacteriology.

http://www.textbookofbacteriology.net/e.coli_4.html. [24 September 2009]

Todar K .2008.Todars online

TexbooBacteriology.www.Texbookofbacteriology.net/e.coli html.

Widodo GC. 2008. Kontrol Persyarafan Terhadap Suhu Tubuh.

www.abdulkadirsalam.com/index2php?option=com_content&do_pdf=1 7id=109. [4 September 2009].

Zukesti E. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Antiinflamasi Alergik Dalam Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. http//Library.usu.ac.id/down load/fk/histology-zukesti 2.pdf [2 september 2009].

Gambar

Gambar 1. Escherichia coli                                                 (Todar 2008)
Tabel 3. Perbandingan komposisi kolostrum dan susu pada sapi dan babi  Kolostrum
Gambar 2. Sapi Friesian Holstein
Tabel 4. Suhu tubuh sapi neonatus yang ditantang dengan E. coli   Perlakuan  0 jam  (°C)  12 jam (°C)  24 jam (°C)  72 jam (°C)  Asp  39  39.2  40.2  39.7  Asp1  38.8  39  39  39.4  Asp2  38.4  39  39.3  38.8  Asp3  38.6  38.8  38.9  38.8  Asp4  38.3  38.1
+2

Referensi

Dokumen terkait

Cluster Random Sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes untuk prestasi belajar kognitif dan kemampuan analisis dan metode angket untuk prestasi belajar

Dalam pengembangan ilmu, Ikhwan mengambil beberapa mazhab dan aliran dalam Islam disamping juga mereka mengambil ilmu dari agama Nasrani dan Watsani antara

Physics artinya fisika yang merupakan salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sedangkan card yang berarti kartu. Jadi, physics card merupakan media

Penyusunan seri Buku Saku Status Merkuri pada Sektor Pertambangan Emas Skala Kecil di Indonesia ini merupakan kali pertama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku

Prototype Pengembangan Sistem Informasi Koperasi Simpan (Dani Anggoro) | 40 Anggota dan staf koperasi login ke website koperasi, memilih laporan yang diinginkan,

Salah satu penyebab pitting korosi terjadi diakbatkan karena kesalahan pemilihan elektroda, elektroda yang memiliki tensile strangth lebih besar dari pada tensile strangeth

dengan TG-DTA tersebut, dapat diketahui pengaruh konsentrasi NaCl terhadap perubahan berat total, titik lebur dan fenomena yang terjadi selama proses pemanasan / peleburan garam

Beberapa penelitian terdahulu tentang fraud diamond telah dilakukan, salah satunya penelitian yang dilakukan oleh Annisya, dkk (2016) yang bertujuan untuk