• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL. PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL. PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI GEN PADA Escherichia coli HAMDAYANTY"

Copied!
70
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL

Sugarcane streak mosaic virus

MENGGUNAKAN ANTIGEN

PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI

GEN PADA

Escherichia coli

HAMDAYANTY

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coliadalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2016 Hamdayanty NIM A352130051

(4)
(5)

RINGKASAN

HAMDAYANTY. Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli. Dibimbing oleh TRI ASMIRA DAMAYANTI dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT.

Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) adalah salah satu virus penting penyebab gejala mosaik bergaris pada tanaman tebu di Indonesia saat ini. Penyakit SCSMV dapat menyebar dengan cepat karena dapat menular secara mekanis melalui pisau potong saat penyiapan atau pemanenan bagal dan bersifat tular bagal. Antiserum komersial untuk mendeteksi dan memonitor perkembangan SCSMV di lapangan belum tersedia. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu bebas virus. Penelitian ini bertujuan memproduksi antiserum poliklonal menggunakan antigen protein selubung SCSMV (CP-SCSMV) hasil ekspresi gen pada bakteri Escherichia coli.

Gen CP-SCSMV diamplifikasi dengan RT-PCR menggunakan primer spesifik gen CP yang memiliki ujung situs enzim restriksi BamHI dan HindIII, kemudian amplikon dikloning pada vektor kloning pTZ57R/T dan dikonfirmasi melalui koloni PCR, isolasi plasmid, dan perunutan DNA. CP-SCSMV selanjutnya disubkloning ke vektor ekspresi pET-28a pada situs enzim restriksi BamHI dan HindIII membentuk rekombinan pET-SCSMV dan ditransformasi pada 2 strain bakteri ekspresi yaitu E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Optimasi ekspresi protein dilakukan terhadap konsentrasi IPTG (0.25, 0.50, 0.75, dan 1.0 mM), suhu inkubasi (25, 30, dan 37 ºC), dan waktu panen setelah diinduksi IPTG (3, 6, 9, 12, dan 18 jam). Protein hasil ekspresi selanjutnya dipurifikasi dan digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV pada kelinci strain New Zealand. Antiserum yang dihasilkan selanjutnya diuji sensitivitas dan selektivitasnya dalam mendeteksi SCSMV dengan 3 metode deteksi serologi yaitu AGPT, I-ELISA, dan DBIA.

Gen CP-SCSMV berhasil diamplifikasi dengan primer spesifik CP-SCSMV. Gen CP-SCSMV berukuran 855 pb dan mengode 285 asam amino. Homologi nukleotida dan asam amino diantara 3 klon CP-SCSMV masing-masing mencapai 99.7% dan 100%. CP-SCSMV memiliki homologi sikuen nukleotida dan asam amino tertinggi masing-masing dengan isolat Indonesia (97.3%) dan Cina (98.9%). CP-SCSMV berhasil disubkloning pada vektor ekspresi dan terekspresi pada fraksi pelet (insoluble) bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS. Analisis SDS-PAGE menunjukkan pita protein yang berhasil terekspresi berukuran ±35.4 kDa yang merupakan fusi antara protein vektor ekspresi dan CP-SCSMV. Ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 25 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25 mM dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG pada E. coli BL21(DE3) sedangkan pada E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS, ekspresi gen CP-SCSMV optimal didapatkan pada suhu inkubasi 30 oC dengan konsentrasi IPTG 0.25 mM IPTG, dan dipanen 9 jam setelah induksi IPTG. Ekspresi gen protein rekombinan CP-SCSMV pada E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dipengaruhi oleh faktor suhu dan waktu inkubasi. Peningkatan konsentrasi IPTG dan waktu

(6)

inkubasi tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan ekspresi gen CP-SCSMV.

Antiserum yang dihasilkan dari 2 ekor kelinci adalah ±72.5 mL. Antiserum SCSMV tidak dapat mendeteksi SCSMV dengan metode AGPT. Sensitivitas antiserum pada metode I-ELISA mencapai pengenceran antiserum 1:1000 dan pengenceran antigen 1:100. Uji serologi dengan metode DBIA lebih sensitif dibandingkan dengan deteksi I-ELISA yang ditunjukkan dengan sensitivitas antiserum yang mencapai 1:10 000. Antiserum poliklonal SCSMV yang diproduksi juga menunjukkan selektivitas yang cukup baik yang ditandai dengan tidak terdeteksinya SCMV pada metode I-ELISA.

Antiserum SCSMV hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk deteksi SCSMV secara serologi untuk memonitor perkembangan SCSMV di lapangan. Antiserum SCSMV ini juga dapat digunakan untuk deteksi awal SCSMV, khususnya pada kebun induk tebu sehingga diharapakan dapat memberi peran yang cukup besar dalam penyediaan bagal tebu bebas virus. Hal ini diharapkan dapat mencegah penyebaran SCSMV yang lebih luas. Pengembangan metode produksi antiserum dengan mengunakan protein rekombinan hasil ekspresi pada E. coli memberi peluang yang besar dalam produksi antiserum dalam jumlah yang besar dan kualitas yang baik.

(7)

SUMMARY

HAMDAYANTY. Production of Sugarcane streak mosaic virus Polyclonal Antiserum Using Recombinant Coat Protein Antigen Expressed in Escherichia coli. Supervised by TRI ASMIRA DAMAYANTI and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT

Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) is one of an important virus causing streak mosaic disease in sugarcane. The virus spreads rapidly since it is easily transmitted mechanically through cutting knives during preparation of planting materials or harvesting and it’s a sett-borne virus. Antiserum for routine detection and to monitor the disease development in the field is not available yet commercially. An effort to produce antiserum is necessary to detect SCSMV especially to provide virus-free setts. The research was conducted to produce SCSMV polyclonal antiserum using expressed of SCSMV coat protein (SCSMV-CP) gene in Escherichia coli as antigen.

SCSMV-CP gene was amplified by RT-PCR using specific primers for CP gene with BamHI and HindIII restriction enzyme sites at the end of primers, followed by cloning the amplicon into pTZ57R/T and confirmation the insert by PCR colony, plasmid isolation, and DNA sequencing. Subsequently, the SCSMV-CP was subcloned into pET-28a vector expression in the BamHI and HindIII restriction site and the plasmid was transformed into two expression bacteria, i.e. E. coli BL21(DE3) and Rosetta-gami(DE3)pLysS. The concentration of IPTG (0.25, 0.50, 0.75, and 1.0 mM), incubation temperature (25, 30, and 37 ºC), and bacterial harvesting time (3, 6, 9, 12, and 18 h) after IPTG induction were optimized to find the best condition for protein expression. Expressed protein is purified and used as antigene to produce polyclonal antiserum of SCSMV on New Zealand rabbits. Sensitivity and selectivity of recombinant antiserum to detect SCSMV were examined for serological test such as AGPT, I-ELISA, and DBIA.

CP gene was succesfully amplified by specific primer for SCSMV-CP. The SCSMV-CP sized 855 bp and encoded 285 amino acids. The homology of nucleotide and amino acid sequences among three of pTZ-SCSMV-CP clones are 99.7% and 100%. It showed the highest nucleotide and amino acid homology with isolate from Indonesia (97.3%) and China (98.9%), respectively. SCSMV-CP was successfully subcloned into vector expression and expressed in insoluble fraction in both bacterial host. Optimal protein expression of SCSMV-CP recombinant was obtained at temperature 25 oC with IPTG concentration 0.25 mM and harvested at 9 h after IPTG induction in E. coli BL21(DE3), while at temperature 30 oC with IPTG concentration 0.25 mM and harvested 9 h after IPTG induction in E. coli Rosetta(DE3)pLysS. SDS-PAGE analysis showed that SCSMV-CP recombinant expressed as a fusion of vector and SCSMV-CP protein with size ±35.4 kDa. The optimal condition to express the SCSMV-CP recombinant gene in E. coli BL21(DE3) and E. coli Rosetta-gami(DE3)pLysS was affected by the incubation temperature and bacterial harvesting time. Increasing of IPTG concentration and bacterial harvesting time are not always give positive correlation with expression of CP-SCSMV gene.

(8)

The total volume of antiserum obtained from 2 immunized rabbits were ±72.5 mL. Antiserum of SCSMV unable to detect SCSMV by AGPT method. Sensitivity of antiserum SCSMV by I-ELISA is up to 1:1000 of antiserum dilution and 1:100 of antigen dilution. Detection of SCSMV by DBIA showed more sensitive than I-ELISA with antiserum dilution up to 1:10 000. Antiserum of SCSMV reacted negatively against SCMV antigen in I-ELISA method, indicating the selectivity of SCSMV antiserum.

Antiserum resulted from this study can be used to detect SCSMV with serological test and monitor the disease development in the field. Antiserum SCSMV also can be used to provide a virus-free setts with early detection, especially in mother seed sugarcane plantation. It is expected can prevent the spreading of SCSMV. Development method for production of antiserum using recombinant protein which is expressed in E. coli provide a great opportunities to get an abundant antiserum with good quality.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Fitopatologi

PRODUKSI ANTISERUM POLIKLONAL

Sugarcane streak mosaic virus

MENGGUNAKAN ANTIGEN

PROTEIN SELUBUNG REKOMBINAN HASIL EKSPRESI

GEN PADA

Escherichia coli

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(12)

/

(13)
(14)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat, hidayah, karunia, dan kemudahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul “Produksi Antiserum Poliklonal Sugarcane streak mosaic virus Menggunakan Antigen Protein Selubung Rekombinan Hasil Ekspresi Gen pada Escherichia coli”. Tesis ini disusun sebagai keseluruhan rangkaian penelitian yang telah dilaksanakan pada September 2014 sampai Maret 2016 guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan magister pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr selaku pembimbing pertama atas segala bentuk bimbingan, motivasi, ilmu, pengalaman, kesabaran, dan dukungan moral yang diberikan kepada penulis dari awal penulisan hingga saat ini. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc selaku pembimbing kedua yang telah sabar membimbing, memberikan masukan, dukungan, dan perbaikan-perbaikan dalam rangka kelancaran penyelesaian studi. Ucapan terima kasih pula kepada Dr Ir Giyanto MSi selaku dosen penguji luar komisi atas masukan dan wawasan yang diberikan untuk penyempurnaan penyusunan tesis. Secara khusus penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada orang tua penulis Bapak M Yusuf SE MM dan Ibu Wahida SPd, atas segala pengertian, dorongan, semangat, dan doa yang tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

Ucapan terima kasih kepada Dr Ir Tri Puji Priyatno MSc atas kesediaannya memberikan masukan untuk pengoptimalan ekspresi gen dalam penelitian ini. Terima kasih kepada Prof Dr drh Retno D Soedjoedono MS, Dr drh Okti Nadia Putri MSi, dan staf laboratorium Imunologi Veteriner FKH IPB atas bimbingan dan bantuannya dalam produksi antiserum. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) atas Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) yang telah membiayai pendidikan magister tahun 2013-2015 dan Australian Centre for International Agricultural Research (ACIAR) yang telah membiayai sebagian besar penelitian ini.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan penelitian Erniawati, Syaiful Khoiri, dan Rita Kurniawati atas masukan dan bantuan yang diberikan dalam rangka kelancaran penelitan. Terima kasih kepada Sari Nurulita, Rizki Khaerunnisa, Prabawati HP, Susanti Mugi L, dan seluruh anggota Laboratorium Virologi Tumbuhan atas masukan, semangat, bantuan, dan kebersamaan yang diberikan kepada penulis selama menjalankan penelitian di laboratorium. Terima kasih kepada keluarga besar Fitopatologi, terkhusus teman-teman Fitopatologi 2013, dan teman-teman-teman-teman yang senantiasa memberikan bantuan, dukungan, dan masukan dalam penulisan tesis ini.

Akhir kata penulis berharap agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa yang akan datang.

Bogor, Agustus 2016 Hamdayanty

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvi

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan 3 Manfaat 3 Hipotesis 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Syarat Tumbuh Tanaman Tebu 3

Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) 4

Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan 6

Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli 7

Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal 7 Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan 8

3 BAHAN DAN METODE 10

Tempat dan Waktu 10

Metode Penelitian 10

Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR 10

Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli 11

Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T 11

Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi 15

Produksi Antiserum SCSMV 16

Pengujian Antiserum SCSMV 17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Amplifikasi Gen CP-SCSMV dan Kloning CP-SCSMV pada pTZ57R/T 19

Subkloning Gen CP- SCSMV pada pET-28a 21

Ekspresi Gen CP-SCSMV Rekombinan pada Bakteri Ekspresi 23

Produksi Antiserum SCSMV 26

Penggunaan Antiserum Rekombinan SCSMV dalam Deteksi Serologi 27

Pembahasan Umum 30

5 SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN 39

(16)

DAFTAR TABEL

1 Komposisi gel SDS-PAGE 15

2 Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2 dengan CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari Gen-

Bank 20

3 Tingkat ekspresi protein rekombinan CP-SCSMV pada bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS pada suhu, konsentrasi IPTG, dan waktu inkubasi setelah pemberian IPTG yang berbeda 24 4 Nilai absorbansi ELISA (NAE) hasil I-ELISA menggunakan serum yang

diperoleh dari waktu pengambilan darah yang berbeda 27 5 Sensitivitas antiserum rekombinan poliklonal SCSMV dalam I-ELISA

pada berbagai tingkat pengenceran antigen SCSMV 28 6 Selektivitas antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCMV 29

DAFTAR GAMBAR

1 Organisasi genom SCSMV 5

2 Vektor kloning pTZ57R/T 12

3 Vektor ekspresi pET-28a (Novagen 1998) 14

4 Visualisasi hasil amplifikasi gen CP-SCSMV 19

5 Konfirmasi transforman hasil TA-kloning 20

6 Visualisasi 8 klon DNA hasil PCR koloni pET-SCSMV 21 7 Ekspektasi fusi protein pET-28a ( ) dan CP-SCSMV ( ) 22 8 Protein rekombinan pET-SCSMV hasil purifikasi dari E. coli BL21

(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS 25

9 Uji sensitivitas dan selektivitas antiserum SCSMV dengan deteksi

serologi DBIA 30

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil transformasi pTZ-SCSMV pada E. coli strain JM107 yang

ditumbuhkan pada media LBA-Ampisilin 41

2 Restriksi 5 klon pTZ-SCSMV dengan BamHI dan HindIII yang meng-hasilkan 2 pita DNA yaitu pita DNA berukuran ±850 pb yang merupa- kan ukuran CP-SCSMV dan ±2886 pb yang merupakan ukuran

pTZ57R/T 41

3 Runutan basa nukleotida CP-SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat

CP-SCSMV pada GenBank 42

4 Runutan asam amino SCSMV hasil kloning dan beberapa isolat

CP-SCSMV pada GenBank 45

5 Susunan asam nukleat pTZ-SCSMV yang benar dan CP-SCSMV yang

memiliki orientasi terbalik 47

6 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli

BL21(DE3) dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi IPTG berbeda 48 7 Analisis SDS-PAGE hasil ekspresi protein CP-SCSMV pada E. coli

Rosetta-gami(DE3)pLysS dengan suhu, waktu panen, dan konsentrasi

IPTG berbeda 49

8 Reaksi antiserum poliklonal SCSMV terhadap antigen SCSMV pada

metode AGPT 50

9 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat

pengenceran antigen dengan metode I-ELISA (Ulangan 1) 50 10 Uji sensitivitas antiserum poliklonal SCSMV pada berbagai tingkat

(18)
(19)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) merupakan virus yang menyebabkan mosaik bergaris (streak mosaic) pada tebu. SCSMV termasuk dalam famili Potyviridae, genus Susmovirus (Xu et al. 2010), dan memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV pertama kali dilaporkan oleh Hall et al. (1998) menginfeksi klon tebu asal Pakistan dan selanjutnya dilaporkan telah menginfeksi tanaman tebu di India, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Cina (Hema et al. 1999, Chatenet et al. 2005), dan Indonesia (Damayanti dan Putra 2011).

SCSMV merupakan virus yang relatif baru di Indonesia yang dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial, terutama klon PS 864, di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada tahun 2007. Klon PS 864 merupakan klon unggulan yang banyak dikembangkan oleh petani dan pabrik gula karena anakan banyak, serempak, rendemen gula tinggi, dan tahan terhadap infeksi Sugarcane mosaic virus (SCMV) (Damayanti et al. 2011). Munculnya penyakit mosaik bergaris oleh SCSMV yang mampu menginfeksi klon PS 864 merupakan masalah baru yang dapat menurunkan produktivitas tebu di Indonesia. Penurunan hasil produksi brangkasan tebu dan rendemen gula pada tingkat insidensi penyakit SCSMV 50% berturut-turut berkisar 16 – 17% dan 19 – 21% (Asnawi 2009). Tingginya penurunan hasil produksi gula akibat infeksi SCSMV pada tebu menjadi salah satu kendala dalam mewujudkan program peningkatan produksi gula untuk mencapai swasembada gula konsumsi pada tahun 2009.

Infeksi SCSMV menyebar sangat cepat karena SCSMV bersifat tular bagal, penularannya difasilitasi melalui pisau potong yang digunakan saat penyiapan bagal sebelum tanam atau saat panen (Damayanti dan Putra 2011). Upaya pengendalian virus tular bahan perbanyakan seperti SCSMV ini ialah dengan menanam bagal bebas virus. Oleh karena itu, sistem deteksi yang mudah dan akurat tinggi diperlukan untuk deteksi rutin dalam penyediaan bagal tebu yang sehat.

Salah satu metode untuk mendeteksi virus dalam jumlah sampel tanaman yang banyak dan hasil yang akurat adalah menggunakan uji serologi. Uji serologi yang dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi virus antara lain mass spectrometry analyses, double-difusion test, dot blot immunoblotting assay (DBIA), tissue-blot immunoblotting assay (TBIA), western blotting, agarose gel precipitation test (AGPT), dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) (Wilson 2014). Keberhasilan dan ketelitian uji serologi sangat tergantung pada ketersediaan antiserum dengan kualitas yang baik (Kumari et al. 2006). Belum tersedianya antiserum spesifik SCSMV secara komersial menjadi salah satu kendala deteksi SCSMV secara serologi. Usaha penyediaan antiserum akan sangat bermanfaat dalam mendeteksi SCSMV secara serologi khususnya untuk penyediaan bagal tebu bebas virus dan monitoring penyakit di lapangan.

Langkah awal dalam penyediaan antiserum adalah mendapatkan siapan virus yang akan digunakan sebagai antigen dalam produksi antiserum. Siapan virus yang dipurifikasi dari tanaman terinfeksi untuk digunakan sebagai antigen dapat menghasilkan antiserum yang bersifat tidak spesifik sehingga dapat terjadi reaksi

(20)

silang dengan protein tanaman inang saat digunakan untuk deteksi (Li et al. 1998). Kemajuan teknologi di bidang biologi molekuler telah menyediakan metode penyediaan antigen melalui ekspresi suatu gen tertentu yang disisipkan dalam plasmid vektor ekspresi pada Escherichia coli. Metode penyiapan antigen untuk produksi antiserum melalui teknik tersebut telah berhasil dilaporkan untuk beberapa virus diantaranya Sugarcane streak mosaic virus (Hema et al. 2003), Grapevine leafroll virus 2 (Ling et al. 2007), Chrysanthemum virus B (Singh et al. 2011), Blackeye cowpea mosaic virus (Koohapitagtam dan Nualsri 2013), Potato virus X dan Potato leaf roll virus (Abdel-Salam 2013). Keunggulan penyediaan antigen dengan metode ini antara lain tersedianya antigen dalam jumlah yang mencukupi setiap saat apabila diperlukan untuk produksi antiserum (Cotillon et al. 2005), dan cocok untuk penyediaan antigen dari virus yang memiliki konsentrasi yang rendah dalam jaringan tanaman, virus yang menginfeksi jaringan tanaman yang keras, dan distribusinya terbatas dalam jaringan tanaman (floem-limited) (Ling et al. 2007).

Berdasarkan pertimbangan keunggulan di atas maka perlu diupayakan produksi antigen SCSMV dengan memanfaatkan teknologi ekspresi gen pada bakteri ekspresi yang selanjutnya digunakan untuk produksi antiserum. Hingga tahun 2016, belum terdapat laporan mengenai pemanfaatan metode ekspresi gen untuk penyiapan antigen virus tanaman dalam rangka produksi antiserum di Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan metode ekspresi gen perlu dikembangkan untuk menyediakan antiserum yang mencukupi yang sangat diperlukan untuk mewujudkan pendeteksian SCSMV yang cepat dan akurat sehingga diharapkan dapat mengurangi penyebaran SCSMV khususnya melalui bagal tebu terinfeksi virus.

Perumusan Masalah

Penyebaran SCSMV yang cepat pada perkebunan tebu di Indonesia disebabkan oleh penggunaan bahan perbanyakan vegetatif tebu yang berasal dari tanaman induk yang terinfeksi SCSMV. Salah satu upaya mencegah penyebaran SCSMV adalah dengan menggunakan bahan perbanyakan tebu yang bebas virus. Metode deteksi yang cepat dan akurat diperlukan untuk menentukan tanaman induk tebu yang bebas SCSMV, khususnya untuk mendeteksi SCSMV dalam jumlah sampel yang banyak. Deteksi serologi merupakan teknik yang dapat memenuhi kriteria tersebut. Antiserum merupakan perangkat penting yang dibutuhkan dalam aplikasi deteksi serologi sehingga ketersediaan antiserum sangat diperlukan untuk mendeteksi SCSMV. Antigen SCSMV dengan konsentrasi yang tinggi dan spesifik diperlukan untuk produksi antiserum dengan kualitas yang baik. Kloning CP-SCSMV pada plasmid vektor ekspresi dan ekspresi gen CP-CP-SCSMV pada bakteri ekspresi E. coli menjanjikan tersedianya antigen dalam jumlah yang cukup untuk produksi antiserum yang spesifik SCSMV.

(21)

Tujuan

1. Melakukan konstruksi dan memperoleh klon rekombinan CP-SCSMV.

2. Memproduksi protein rekombinan CP-SCSMV melalui teknologi ekspresi gen pada bakteri ekspresi.

3. Memproduksi antiserum poliklonal CP-SCSMV dengan antigen hasil ekspresi gen CP-SCSMV.

4. Mendapatkan titer antiserum yang optimal dalam mendeteksi SCSMV melalui metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA

Manfaat

Antiserum CP-SCSMV yang diperoleh dari penelitian ini dapat dimanfaatkan dalam deteksi rutin SCSMV secara serologi pada bahan perbanyakan vegetatif bagal dan sampel lapangan untuk pemantauan distribusi SCSMV

Hipotesis

1. Gen CP-SCSMV dapat disisipkan pada plasmid vektor ekspresi sehingga diperoleh plasmid rekombinan CP-SCSMV.

2. Gen CP-SCSMV dapat diekspresikan pada bakteri ekspresi sehingga diperoleh protein rekombinan CP-SCSMV.

3. Protein rekombinan CP-SCSMV dapat digunakan sebagai antigen untuk produksi antiserum poliklonal SCSMV.

4. Salah satu titer antiserum poliklonal SCSMV yang diuji merupakan titer antiserum yang optimal untuk mendeteksi SCSMV pada masing-masing metode serologi yang digunakan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Syarat Tumbuh Tanaman Tebu

Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam famili Gramineae atau Poaceae yaitu jenis rumput-rumputan tahunan dengan tinggi sekitar 2-4 m dan diameter 5 cm. Persyaratan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman tebu adalah hujan yang merata hingga tanaman berumur 8 bulan. Kebutuhan ini berkurang sampai menjelang panen. Tanaman tebu tumbuh baik pada daerah beriklim panas dan lembab. Kelembaban yang baik untuk pertumbuhan tebu > 70% dan suhu udara berkisar antara 28-34 oC. Ketinggian tempat yang baik untuk pertumbuhan tebu adalah 5-500 m dpl. Suhu udara yang tinggi diikuti dengan kelembaban tanah dan udara yang juga tinggi merupakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan vegetatif tanaman (Moore dan Bootha 2014).

Tebu dapat tumbuh pada ketinggian 0-1300 m di Indonesia. Tanaman tebu sangat toleran pada kisaran kemasaman tanah (pH) 5-8. Jika pH tanah kurang dari

(22)

4.5 maka kemasaman tanah menjadi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Pemberian kapur pada tanah mineral masam dapat meningkatkan produksi tebu. Hasil tebu akan optimum apabila ketersediaan hara makro primer (N, P, K), hara makro sekunder (Ca, Mg, S), dan hara mikro (Si, Cu, Zn) dalam tanah lebih tinggi dari batas kritisnya (James 2004).

Tanaman tebu dapat diperbanyak dengan biji, stek batang, atau stek ujung. Perbanyakan biji biasanya dilakukan pada usaha pemuliaan tanaman. Secara komersil perbanyakan tanaman tebu dilakukan secara vegetatif, yaitu dalam bentuk bagal. Rata-rata setiap 1 ha kebun bibit tebu di Jawa dapat memenuhi kebutuhan 8 ha kebun tebu giling, sedangkan 1 ha kebun bibit tebu di luar Jawa hanya dapat memenuhi kebutuhan 6 ha kebun tebu giling (Direktorat benih 2008). Tanaman tebu dapat dipanen dalam waktu kurang lebih 1 tahun (James 2004).

Secara ekonomi tebu merupakan tanaman yang penting, karena merupakan bahan baku utama pembuatan gula pasir. Selain itu industri furfural, dextran, dan alkohol juga sangat tergantung pada tanaman ini. Produk samping industri gula dapat dikembangkan menjadi bahan nutrisi pakan ternak, bahan makanan, pembuatan kertas dan sebagai sumber energi bahan bakar (Moore dan Bootha 2014).

Salah satu faktor pembatas produksi gula adalah infeksi penyakit pada tanaman tebu. Penyakit yang dapat menginfeksi tanaman tebu diantaranya karat (Puccinia kuehnii dan P. melanocephala), akar merah (Colletotrichum falcatum), bercak coklat (Cercospora koepkei dan Helminthosporium sacchari), bercak cincin (Leptosphaeria sacchari), dan layu (Cephalosporium sacchari) (Sathe et al. 2009). Penyakit yang disebabkan oleh patogen dari kelompok virus yang menyerang tanaman tebu adalah Sugarcane mosaic virus (SCMV), Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV) (Rao et al. 2006), dan Sugarcane yellow leaf virus (SCYLV) (Viswanathan et al. 2008).

Bioekologi Sugarcane streak mosaic virus (SCSMV)

SCSMV pertama kali ditemukan oleh Hall et al. (1998) dari tanaman tebu asal Pakistan yang diekspor ke USA. Selanjutnya virus tersebut dilaporkan oleh Hema et al. (1999) telah menginfeksi tebu di India. Chatenet et al. (2005) melaporkan bahwa beberapa sampel tanaman tebu yang berasal dari Bangladesh, India, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam positif terinfeksi SCSMV. Pada tahun 2011, SCSMV telah menginfeksi pertanaman tebu di Cina yang diketahui berasal dari asesi bahan perbanyakan tebu yang diimpor India. Di luar Asia, SCSMV juga telah dilaporkan menginfeksi koleksi bahan perbanyakan tebu di Colombia (Cardona et al. 2006).

SCSMV tergolong virus baru di Indonesia yang pertama kali dilaporkan pada tanaman tebu di Jawa tahun 2007 di 59 kebun tebu dengan intensitas serangan 0-62%. Gejala mosaik yang mirip dengan mosaik bergaris ditemukan di Jawa Tengah (PG Mojo dan Sragi), Yogyakarta (PG Madukismo), dan Jawa Timur (PG Tulangan dan Kebon Agung). SCSMV dilaporkan menginfeksi klon-klon tebu komersial dan dominan menginfeksi klon PS 864. Klon PS 864 saat ini merupakan klon unggulan yang banyak dikembangkan oleh para petani dan pabrik gula karena anakannya banyak dan rendemennya tinggi (Damayanti dan Putra 2011).

(23)

Nama Sugarcane streak mosaic virus pertama kali diperkenalkan oleh Hall et al. pada tahun 1998 dan dikelompokkan dalam famili Potyviridae. SCSMV memiliki hubungan kekerabatan molekuler yang sangat dekat dengan Triticum mosaic virus (King et al. 2012). SCSMV memiliki partikel berbentuk filamen lentur berukuran 890 x 15 nm. Asam nukleat SCSMV berupa single-sranded RNA (RNA utas tunggal), positive sense, berukuran ±10 kb, dan dienkapsidasi oleh protein selubung dengan berat molekul 40 kDa (Hema et al. 1999; Hema et al. 2003; Damayanti dan Putra 2011).

Genom SCSMV mengodekan poliprotein yang tersusun atas 3131 asam amino dan ditranslasi membentuk 10 protein utama yaitu P1, HC-Pro, P3, 6K1, CI, 6K2, VPg, NIa-Pro, NIb, dan CP (Xu et al. 2010, Li et al. 2011). Organisasi genom SCSMV dalam RNA untuk produksi protein adalah P1 (1–361 nt), HC-Pro (362– 831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt), CI (1211–1866 nt), 6K2 (1867– 1914 nt); VPg (1915–2112 nt), NIa-Pro (2113–2348 nt), NIb (2349–2850 nt), dan CP (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013) (Gambar 1). Thermal inactivation point (TIP) yaitu suhu yang dapat menginaktifkan virus berkisar 55-60 oC (Damayanti et a.l 2010), dilution end point (DEP) atau titik batas pengenceran SCSMV untuk dapat menimbulkan penyakit adalah 10-4 – 10-5, longevity in vitro (LIV) atau ketahanan in vitro virus yaitu waktu virus selama dalam cairan perasan masih bersifat infeksius adalah 1-2 hari pada suhu ruang dan 8-9 hari pada suhu 4 oC (Hema et al. 1999). P1 HC-Pro P3 6 K 1 CI 6 K 2 VPg NIa-Pro Nib CP

Gambar 1 Organisasi genom SCSMV. P1 (1–361 nt), helper component proteinase (HC-Pro) (362–831 nt), P3 (832–1161 nt), 6K1 (1162–1210 nt), cytoplasmic inclution (CI) (1211–1866 nt), 6K2 (1867–1914 nt); virus protein genome (VPg) (1915–2112 nt), nuclear inclusion a protease (NIa-Pro) (2113–2348 nt), nuclear inclusion b (NIb) (2349–2850 nt), dan coat protein (CP) (2851–3131 nt) (Prameswari et al. 2013)

Gejala khas infeksi SCSMV mirip dengan yang disebabkan oleh Sugarcane mosaic virus (SCMV) yaitu adanya pola yang teratur antara hijau muda atau kekuningan dan hijau normal pada helai daun (Damayanti dan Putra 2011). Gejala SCSMV berupa mosaik bergaris dan pada beberapa infeksi yang parah menyebabkan warna pucat pada daun, garis-garis mosaik kekuningan pada daun, dan daun tampak lebih transparan di bawah sinar matahari dibandingkan dengan daun yang sehat (Prabowo et al. 2014).

SCSMV dapat ditularkan secara mekanis dan vegetatif melalui bagal tebu yang telah terinfeksi. Penularan melalui bahan vegetatif tebu ini menjadi penting karena perbanyakan tebu sebagian besar menggunakan benih dari bagal vegetatif. Penularan melalui pisau potong saat perbanyakan benih sebelum tanam atau saat panen dapat menjadi sangat efisien dalam menyebarkan SCSMV. Selain tanaman tebu, SCSMV dapat menginfeksi beberapa tanaman lain dari famili Poaceae yaitu sorgum, jagung, dan Dactyloctenium aegypticum. Sampai saat ini belum ada

(24)

laporan mengenai serangga vektor yang dapat menularkan SCSMV (Damayanti dan Putra 2011).

Prinsip Dasar Pembuatan DNA Rekombinan

DNA rekombinan adalah suatu DNA hasil rekayasa yang berasal dari satu sumber atau lebih yang tergabung ke dalam satu molekul rekombinan (Barnum 2005). Teknik penggabungan molekul DNA tersebut dikenal sebagai teknik DNA rekombinan. DNA rekombinan merupakan gabungan antara DNA vektor yang merupakan molekul DNA yang dapat mereplikasi diri dan DNA asing yang berupa gen target suatu makhluk hidup. Vektor tersebut berfungsi sebagai pembawa DNA asing yang berasal dari suatu organisme untuk dipindahkan ke dalam organisme lain. Gen yang terkandung pada DNA rekombinan di dalam organisme resipien diharapkan dapat diekspresikan untuk menghasilkan protein (Muladno 2010).

Teknologi DNA rekombinan, juga disebut gene cloning, adalah suatu istilah yang mencakup sejumlah protokol percobaan yang bertujuan mentransfer informasi genetik (DNA) dari suatu organisme ke organisme yang lain. Pada prinsipnya kloning adalah proses penggandaan jumlah DNA rekombinan melalui proses pengembangbiakan sel bakteri. Pembentukan DNA rekombinan secara umum mengikuti prosedur sebagai berikut: (1) DNA target (DNA asing, DNA insert, DNA klon) dari organisme donor diekstrak, dipotong secara enzimatik, kemudian disambung dengan plasmid atau DNA vektor (cloning vector) untuk membentuk suatu bentuk baru yang disebut molekul DNA rekombinan (rDNA), (2) DNA rekombinan tersebut ditransfer ke dalam sel inang. Proses introduksi DNA rekombinan ke dalam suatu sel inang atau bakteri disebut transformasi. Sel yang digunakan dalam proses transformasi ini biasanya disebut dengan sel kompeten, (3) sel-sel bakteri tersebut dikultur dan diseleksi atau dimurnikan, kemudian diisolasi, (4) sel-sel bakteri inang yang telah dimurnikan dan diisolasi, siap dikultur atau dikembangbiakkan untuk memproduksi protein spesifik yang dikode oleh DNA klon yang terkandung dalam DNA rekombinan (Glick et al. 2009).

DNA vektor memiliki karakter substansial diantaranya titik awal replikasi, sisi penyisipan fragmen DNA asing, penanda genetik untuk seleksi bakteri rekombinan yang mengandung plasmid dengan DNA asing, dan sinyal transkripsi dan translasi (Yuwono et al. 2005). Salah satu DNA vektor yang dapat digunakan dalam kloning adalah pTZ57R/T. Vektor pTZ57R/T memiliki kelebihan timin (T) yang menggantung di ujung terbuka plasmid (T-overhang) sehingga dapat digunakan untuk menempel pada produk PCR yang memiliki kelebihan adenin (A) pada ujungnya. Plasmid pTZ57R/T juga termasuk plasmid high copy number yang cocok untuk menyimpan gen insert dalam suatu inang (Thermo Scientific 2012).

Pembuatan DNA rekombinan membutuhkan bantuan dua macam enzim untuk vektor yang tidak memiliki T-overhang, yaitu enzim endonuklease (restriction enzyme) yang berperan sebagai pemotong molekul DNA dan enzim ligase yang berfungsi untuk menggabungkan molekul-molekul DNA yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Muladno 2010, Barnum 2005). Enzim restriksi ini memotong kedua molekul DNA tersebut pada lokasi yang sama dengan membentuk potongan sticky end (ujung lengket) atau blunt end (ujung tumpul). Selanjutnya enzim ligase DNA menggabungkan kedua molekul DNA tersebut dengan ikatan kovalen menjadi satu molekul DNA rekombinan (Muladno 2010).

(25)

Mekanisme Ekspresi Gen pada Escherichia coli

Ekspresi gen merupakan suatu proses transkripsi materi genetik (DNA) di dalam sel menjadi RNA dan selanjutnya ditranslasi menjadi protein yang spesifik (Madigan et al. 2009). Bakteri yang banyak digunakan pada ekspresi gen untuk produksi protein adalah E. coli. Hal ini disebabkan pertumbuhan E. coli yang cepat, pengulturan yang mudah, stabil dalam laboratorium, dapat mengekspresikan protein asing, dan dapat menoleransi protein asing yang diekspresikan. Pertumbuhan E. coli yang cepat menjadi salah satu hal yang penting produksi protein yang maksimal (Lodge et al. 2007).

Gen-gen pada E. coli yang bertanggung jawab dalam ekspresi gen, pada umumnya diorganisasikan dalam struktur operon. Suatu operon adalah organisasi beberapa gen struktural yang ekspresinya dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Sebagai contoh adalah operon lac yaitu operon yang mengendalikan kemampuan metabolisme laktosa pada bakteri E. coli. Dalam operon lac terdapat tiga macam gen struktural yang mengode gen protein yang berbeda. Gen struktural ini akan ditranskripsi bersama-sama menjadi satu untuaian mRNA. Proses transkripsi dikendalikan oleh satu promotor yang sama. Aktivitas promotor akan diatur oleh gen represor (lacI) yang mengode protein represor. Operator adalah bagian integral dalam promotor lac yang merupakan tempat pelekatan molekul protein represor (Yuwono 2005). Konsep ini dikembangkan dalam DNA rekombinan dengan menyisipkan DNA target pada bagian downstream promotor yang selanjutnya akan akan ditranslasi menjadi protein.

Ekspresi gen dalam sel prokariot seperti E. coli diinduksi dengan isopropyl-s-D-thiogalactopyranoside (IPTG). IPTG akan berikatan dengan protein represor sehingga tidak terjadi interaksi antara protein represor dengan operator. Hal ini mengakibatkan RNA polimerase dapat berikatan dengan promoter yang selanjutnya dapat memulai transkripsi dan translasi protein yang diinginkan. Jika tidak terdapat suatu induser (IPTG) maka protein represor akan berikatan dengan operator dan mencegah RNA polimerase untuk dapat mentranskripsi gen asing sehingga tidak dapat ditranslasi menjadi suatu protein rekombinan (Snustad dan Simmons 2011).

Karakteristik dan Metode Pembuatan Antibodi Poliklonal

Antibodi poliklonal adalah antibodi yang dapat diperoleh dari hasil hiperimunisasi. Hiperimunisasi merupakan imunisasi yang dilakukan secara sengaja terhadap hewan dengan suatu antigen spesifik. Hewan yang sering digunakan untuk produksi antibodi poliklonal antara lain, ayam, domba, marmot, hamster, kuda, tikus, dan kambing. Pemilihan hewan harus berdasarkan pada: 1) jumlah antibodi yang dibutuhkan, 2) hubungan antara donor antigen dan resipien penghasil antibodi (secara umum hubungan filogenetik yang lebih jauh, mempunyai potensi yang lebih baik untuk respon antibodi titer tinggi), 3) karakteristik penting antibodi yang akan dibuat. Beberapa manfaat antibodi poliklonal antara lain: 1) antibodi poliklonal mampu mengenali banyak epitop, sehingga antibodi poliklonal lebih toleran terhadap perubahan kecil di alam, 2) antibodi poliklonal dapat dihasilkan pada berbagai spesies, antara lain kelinci, domba, kambing, dan ayam, 3) antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan

(26)

ketika antigen alami pada spesies tak teruji tidak diketahui. Antibodi terdiri dari unit dasar yang disebut imunoglobulin (Burry 2010).

Imunisasi dapat dilakukan dengan mengemulsikan antigen dengan adjuvan. Salah satunya adalah Freund’s adjuvan yang terdiri atas adjuvan Freund lengkap (Freund adjuvant complete, FAC) dan adjuvan Freund tidak lengkap (Freund adjuvant incomplete, FAI). FAC adalah pengemulsi air-dalam-minyak yang mengandung surfaktan mannide monoleate dan ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum yang memiliki sisi aktif muramil dipeptida (nacetyl-muramyl-L-alanyl-D-isoglutamin). Muramil dipeptida berperan untuk merangsang fungsi makrofag dan respon antibodi yang kuat dalam waktu lama. Adjuvan ini memiliki tingkat toksisitas yang tinggi dan sebagian besar hanya diberikan untuk satu kali penyuntikan. Rute penyuntikan terbaik melalui subkutan atau intradermal. FAI tidak mengandung ekstrak Mycobacterium tuberculosis dan M. butyricum sehingga efektifitas dalam merangsang pembentukan antibodi lebih rendah dibandingkan dengan FAC, namun FAI memiliki tingkat toksisitas yang lebih rendah. Kombinasi penggunaan kedua adjuvan tersebut dapat memberikan produksi antibodi yang optimal (Pohanka 2009).

Imunoglobulin (Ig) merupakan grup penyusun antibodi yang secara umum memiliki dua karakteristik yaitu kimia dan biologi (Black 2005). Imunoglobulin secara kimia memiliki struktur berupa rantai polipeptida (dua rantai ringan dan dua rantai berat). Secara biologi, produksi imunoglobulin distimulasi oleh antigen dan memiliki reaksi yang spesifik. Imunoglobulin dapat dikelompokkan berdasarkan sifat-sifat dasarnya berupa derajat kelarutan dalam larutan garam, muatan elektrostatik, berat molekul, dan struktur antigeniknya. Terdapat lima golongan imunoglobulin yaitu Ig M, Ig G, Ig A, Ig E dan Ig D. Diantara lima golongan imunoglobulin tersebut, Ig G merupakan imunoglobulin yang umum digunakan dalam produksi bahan biologis untuk imunodiagnostik. Hal tersebut dikarenakan Ig G memiliki persentase jumlah paling banyak yaitu 70-75% di dalam serum normal dibandingkan dengan Ig M (antibodi pertama yang muncul dalam respon primer), Ig A, Ig E, dan Ig D. Ig G memiliki struktur monomer dengan berat molekul 146.000 dalton serta merupakan antibodi utama dari respon imun sekunder (Guyton dan Hall 2007).

Secara struktural, Ig G memiliki empat rantai polipeptida yang terbagi atas dua rantai berat identik serta dua rantai ringan. Rantai berat dan rantai ringan polipeptida dihubungkan oleh ikatan disulfida yang terdapat pada bagian engsel (hinge region). Masing-masing rantai berat dan ringan dari Ig G memiliki bagian konstan atau tetap dan bagian yang dapat berubah atau variabel. Variabel (v) atau bagian yang dapat berubah pada struktur Ig G memiliki fungsi khusus untuk melekat pada antigen, sedangkan bagian tetap atau konstan menentukan sifat biologis Ig G dan beberapa faktor seperti penyebaran Ig G dalam jaringan, pelekatan Ig G pada struktur spesifik jaringan, pelekatan pada kompleks komplemen, kemudahan Ig G dalam melewati membran, dan beberapa sifat biologis Ig G yang lain (Guyton dan Hall 2007).

Penerapan Uji Serologi untuk Deteksi Virus Tumbuhan

Uji serologi dengan memanfaatkan reaksi antigen dan antibodi mempunyai banyak kegunaan, diantaranya untuk mengidentifikasi virus penyebab penyakit

(27)

tumbuhan, mengukur konsentrasi virus dalam jaringan tumbuhan, mendeteksi virus tumbuhan dalam tubuh serangga vektor, dan mengetahui hubungan kekerabatan antar virus (Agrios 2005). Metode deteksi dan identifikasi virus secara serologi yang banyak diaplikasikan diantaranya adalah agarose gel precipitation test (AGPT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), dan dot blot immunoblotting assay (DBIA).

Agarose gel precipitation test (AGPT) merupakan metode deteksi yang termasuk deteksi konvensional namun masih banyak digunakan sampai saat ini. AGPT merupakan teknik imunopresipitasi dan banyak dipakai untuk mengukur titer antigen atau antibodi. Prinsip pengujian ini adalah pergerakan molekul antibodi dan antigen melalui pori agarosa yang diletakkan mendatar pada tempat-tempat dengan jarak yang beraturan dan saling berdifusi sehingga terjadi hubungan tarik menarik antara molekul-molekul tersebut dalam agarosa. Setelah sampai pada lokasi tertentu, kedua molekul-molekul tersebut akan saling bertemu dan reaksi antara antigen dengan antibodi ini ditunjukkan oleh terbentuknya garis presipitasi berupa garis putih yang tampak pada tempat gelap (Hull 2014).

Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) merupakan salah satu teknik deteksi serologi yang saat ini banyak digunakan untuk mendeteksi virus dan patogen tanaman lainnya (Agrios 2005). Prinsip dari teknik ini adalah terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang teradsorpsi ke sumur plat mikrotiter yang terbuat dari bahan polistirena. Keunggulan deteksi serologi dengan ELISA untuk virus tumbuhan di antaranya virus dapat terdeteksi walaupun dalam konsentrasi yang rendah (1-10 ng mL-1), antibodi yang digunakan sangat sedikit, metode ini dapat digunakan untuk deteksi virus dalam skala besar, dan hasil deteksi dapat diukur secara kuantitatif (Djikstra dan De Jager 1998).

Pada umumnya ELISA dapat dibagi menjadi 2 yaitu direct double antibody sandwich ELISA (DAS-ELISA) dan indirect ELISA (I-ELISA). Perbedaan utama DAS ELISA dan I-ELISA terletak pada urutan peletakan antigen (sampel virus). Pada metode DAS-ELISA, antigen diletakkan setelah antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antigen. DAS-ELISA memerlukan antibodi sekunder yang spesifik untuk antigen yang dideteksi. Pada metode I-ELISA, antigen diletakkan terlebih dahulu kemudian antibodi primer. Antibodi sekunder diletakkan setelah antibodi primer. Hasil deteksi dikatakan positif apabila terjadi perubahan warna menjadi kuning pada sumuran plat mikrotiter setelah pemberian enzim substrat. DAS-ELISA sangat dianjurkan untuk deteksi virus skala besar, namun penggunaannya dalam program indexing memiliki masalah karena spesifikasinya yang tinggi. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan I-ELISA karena hubungan serologi antara virus lebih stabil (Burns 2010).

Dot blot immunobinding assay (DBIA). DBIA merupakan uji serologi yang memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi dan prosedur yang sangat sederhana. Antibodi dan sampel tanaman yang diuji diblot pada kertas membran nitroselulosa. DBIA dilakukan pada kertas membran yang ukurannya dapat disesuaikan dengan jumlah sampel yang ada. Perubahan menjadi warna ungu pada kertas membran menunjukkan hasil deteksi positif yang berarti terjadi ikatan yang spesifik antara antibodi dan sampel tanaman yang diuji (Sumi et al. 2009). Dalam pengerjaannya, teknik DBIA sangat mudah dan cepat dalam mendeteksi virus, selain itu sampel yang sudah diblot pada kertas membran dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang (Chang et al. 2010).

(28)

3 BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB; Laboratorium Imunologi Veteriner Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Unit Pengelola Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB mulai September 2014 hingga Maret 2016.

Metode Penelitian Amplifikasi SCSMV dengan Teknik RT-PCR

Ekstraksi RNA total. Isolat SCSMV asal Pasuruan diperoleh dari koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, Fakultas Pertanian, IPB. RNA total diisolasi dari 0.1 g daun terinfeksi SCSMV dengan metode Cethyl Trimethyl Ammonium Bromide (CTAB) (Doyle dan Doyle 1990). Sebanyak 1 g daun tebu yang menunjukkan gejala infeksi SCSMV digerus dengan nitrogen cair pada mortar steril, setelah itu ditambahkan 500 μL bufer ekstraksi. Hasil gerusan dimasukan ke dalam tabung mikro 2 mL dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit. Pada masa inkubasi, tabung dibolak-balik setiap 10 menit untuk membantu proses lisis. Sebanyak 500 μL fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1) ditambahkan dan disentrifugasi dengan kecepatan 12 000 rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL dan ditambahkan kloroform:isoamil alkohol (24:1) sebanyak 1x volume supernatan dan disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan etanol 70 % sebanyak 1x volume supernatan. Tabung mikro disentrifugasi dengan kecepatan 13 000 rpm selama 5 menit. RNA total dikeringanginkan dan dilarutkan dalam 50 μL bufer TE.

Sintesis cDNA. RNA hasil ekstraksi disintesis menjadi cDNA berdasarkan metode Damayanti et al. (2010). Premiks untuk sintesis cDNA dicampurkan pada tabung mikro yang terdiri atas 2.5 µL RNA total yang berfungsi sebagai cetakan, 1 µL 10 µM 3’-primer oligo d(T)20, 0.5 µL 10 mM dNTP (deoksi ribonukleotida

triphosphat), dan air bebas nuklease ditambahkan hingga konsentrasi campuran 7 µL. Premiks didenaturasi selama 5 menit pada suhu 65 °C dan selanjutnya didinginkan pada es. Pada premiks selanjutnya ditambahkan 2 µL 5x RT bufer, 0.5 µL RNAse Inhibitor (40 U µL-1) (Ribolock, Thermo Scientific), 1 µL 50 mM DTT (dithiothreitol), dan 0.5 µL MMuLV (200 U µL-1) (Revertaid, Thermo Scientific), diinkubasi selama 1 jam pada suhu 42 °C dan selama 5 menit pada suhu 95 °C untuk inaktivasi enzim.

PCR. Amplifikasi dilakukan dengan total volume premiks PCR sebanyak 25 μL yang terdiri atas 1 µL cDNA, 1 µL 10 µM primer forward, 1 µL 10 µM primer reverse, 12.5 µL Go Taq Green (Thermo Scientific), dan 9.5 µL air bebas nuklease. Primer forward SCSMV-BamF4 (5’-AAGGATCCGGAGAGCAAGGAACACA-3’) dan primer reverse SCSMV-HindR3 (5’-TATAAGCTTTCAGTGCTGGGCG CG-3’) (Damayanti 2014, komunikasi pribadi) yang masing-masing disisipi situs

(29)

restriksi BamHI dan HindIII (garis bawah) digunakan untuk mengamplifikasi gen CP-SCSMV. Amplifikasi dilakukan berdasarkan metode Damayanti et al. (2010) menggunakan program predenaturasi pada 94 oC selama 5 menit dan dilanjutkan dengan program amplifikasi yang terdiri atas 35 siklus dengan tahapan denaturasi pada suhu 94 oC selama 30 detik, penempelan primer pada suhu 47 oC selama 1

menit, dan pemanjangan DNA pada suhu 72 oC selama 2 menit. PCR diakhiri dengan tahapan ekstensi pada suhu 72 oC selama 30 menit. Waktu ekstensi selama 30 menit bertujuan memperpanjang poly-(A) pada ujung amplikon sehingga memperbesar peluang menempelnya amplikon pada vektor TA pada tahap kloning.

Visualisasi hasil PCR. Hasil PCR dielektroforesis pada gel agarosa 1% dalam 0.5x TBE. Sebanyak 5 μL penanda DNA 1 kb (Thermo Scientific) dan 5 μL DNA hasil PCR masing-masing dimasukkan ke dalam sumur gel dan dielektroforesis selama 50 menit pada tegangan 50 V. Gel selanjutnya direndam pada 0.1% etidium bromida selama 15 menit dan air steril selama 5 menit. Gel kemudian divisualisasi di bawah UV transluminator.

Persiapan Sel Kompeten Escherichia coli

Sel kompeten merupakan sel bakteri yang digunakan dalam proses transformasi plasmid pada tahapan kloning (E. coli JM107) dan subkloning (E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS). Pembuatan sel kompeten dilakukan berdasarkan metode Sambrook dan Russel (2001). Ketiga strain E. coli masing-masing dikultur dalam 5 mL media LB dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 oC. Sebanyak 300 μL hasil kultur ditambahkan ke dalam 60 mL media luria bertani (LB) dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm pada suhu 37 oC hingga nilai OD

600 = 0.2-0.25. Hasil kultur

kedua kemudian dipindahkan ke tabung mikro sebanyak 2 mL dan disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC. Supernatan dibuang dan pelet bakteri yang terbentuk diresuspensi dengan menggunakan 1 mL 50 mM CaCl2 dan diinkubasi di dalam wadah berisi es selama 30 menit. Setelah diinkubasi,

bakteri disentrifugasi dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit pada suhu 4 oC. Pelet diresuspensi dengan 50 mM CaCl2 20% gliserol sebanyak 50 µL. Suspensi

tersebut disimpan di dalam lemari es suhu -80 oC untuk digunakan dalam proses transformasi.

Kloning Gen CP-SCSMV pada pTZ57R/T

Kloning merupakan teknik untuk menggabungkan molekul-molekul DNA secara in vitro sehingga diperoleh molekul DNA rekombinan sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum, tahapan kloning adalah ligasi, transformasi, dan konfirmasi transforman.

Ligasi. Ligasi merupakan proses penyambungan antara DNA vektor dan DNA sisipan dengan bantuan T4 DNA ligase. Vektor kloning yang digunakan adalah pTZ57R/T yang memiliki T-overhang (Gambar 2). Ligasi dilakukan mengikuti protokol InsTAclone PCR Cloning Kit, pembuat ligase dan plasmid pTZ57R/T (Thermo Scientific). Reaksi ligasi terdiri atas 3 µL DNA hasil amplifikasi PCR, 1 µL DNA vektor pTZ57R/T (55 ng μL-1), 2 μL 5x bufer ligasi,

1 μL T4 DNA ligase (5 U μL-1), dan ditambahkan ddH

2O sampai mencapai volume

akhir 10 μL. Premiks ligasi kemudian diinkubasi pada suhu 4 oC selama 16 jam. Hasil ligasi pTZ57R/T dan CP-SCSMV selanjutnya disebut pTZ-SCSMV.

(30)

Gambar 2 Vektor kloning pTZ57R/T. a. Peta vektor kloning pTZ57R/T yang mengandung beberapa situs restriksi. b. Sisi penyisipan hasil PCR dan sikuen pada daerah multiple cloning site (MCS) pTZ57R/T (Thermo Scientific 2012)

Transformasi. Plasmid pTZ-SCSMV selanjutnya ditransformasi ke E. coli JM107 kompeten dengan metode perlakuan kejut panas (heat shock) berdasarkan Sambrook dan Russel (2001). Transformasi dilakukan dengan mencampur 2.5 μL plasmid rekombinan hasil ligasi dengan 50 μL sel kompeten dan diinkubasi selama 15-30 menit pada es. Selanjutnya dilakukan perlakuan kejut panas pada suhu 42 °C selama 45-60 detik dan segera diinkubasi pada es selama 2 menit. Sebanyak 500 μL medium SOC (2% tripton, 0.5% yeast extract, 10 mM NaCl, 2.5 mM KCl, 10 mM MgCl2, 10 mM MgSO4, 20 mM glukosa) ditambahkan pada bakteri dan

diinkubasi bergoyang 150 rpm selama 1 jam pada suhu 37 °C. Bakteri disentrifugasi pada kecepatan 4000 rpm selama 3 menit. Sebanyak 400 μL supernatan dibuang dan pelet dihomogenisasi dengan LB yang tersisa. E. coli JM107 yang ditransformasi pTZ-SCSMV ditumbuhkan dalam media LB agar yang mengandung ampisilin 50 μg mL-1 (LBA-ampisilin).

(a)

(31)

Konfirmasi Transforman. Konfirmasi transfoman dilakukan untuk menentukan koloni bakteri yang membawa plasmid rekombinan pTZ-SCSMV dengan teknik PCR koloni, isolasi plasmid, restriksi plasmid, dan perunutan basa nukleotida plasmid pTZ-SCSMV.

a. PCR Koloni

PCR koloni dilakukan dengan menggunakan sepasang primer yang digunakan saat amplifikasi awal gen CP-SCSMV dengan campuran reaksi sebagai berikut: 12.5 μL Go Taq Green, 1 μL 10 mM primer BamF4, 1 μL 10 mM primer HindR3, dan ddH2O ditambahkan hingga volume 25 μL. Selanjutnya koloni bakteri

diambil dengan ujung tip dan dilarutkan pada larutan PCR koloni di atas. Replika dibuat untuk keperluan lebih lanjut dengan menggores ujung tip yang mengandung koloni bakteri pada LBA-ampisilin. Program amplifikasi PCR koloni dilakukan sesuai dengan program PCR saat amplifikasi DNA CP-SCSMV. Koloni yang diduga membawa plasmid rekombinan pTZ-SCSMV menghasilkan pita DNA berukuran ±850 pb.

b. Isolasi DNA Plasmid Rekombinan

Koloni bakteri yang diduga membawa plasmid pTZ-SCSMV diisolasi plasmidnya menggunakan Plasmid Miniprep Kit sesuai dengan prosedur yang direkomendasikan pembuatnya (Thermo Scientific). Satu koloni bakteri diinokulasi ke dalam 3 mL LBA-ampisilin dan diinkubasi bergoyang dengan kecepatan 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 °C. Kultur bakteri selanjutnya dipindahkan ke tabung mikro 1.5 mL dan disentrifugasi pada 8000 rpm selama 2 menit. Sentrifugasi dilakukan 2 kali untuk 3 mL kultur bakteri. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang, ditambahkan 250 µL resuspension solution yang mengandung 1% RNAse, dan divorteks hingga homogen. Pada larutan ditambahkan 250 μL lysis solution dan tabung dibolak-balik secara hati-hati sebanyak 6 kali. Langkah selanjutnya adalah penambahan 350 μL neutralization solution dan tabung dibolak-balik secara hati-hati sebanyak 6 kali. Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke column lalu disentrifugasi kembali pada 13 000 rpm selama 2 menit. Cairan pada collection tube dibuang, lalu ditambahkan 500 μL wash solution ke column dan disentrifugasi pada 13 000 rpm selama 2 menit. Tahapan ini diulang sebanyak 2 kali. Cairan pada collection tube dibuang, kemudian column disentrifugasi kembali dengan keadaan kosong pada 13 000 rpm selama 2 menit. Column dipindahkan ke dalam tabung mikro 1.5 mL dan dielusi dengan 50 μL bufer elusi. Tabung didiamkan selama 2 menit pada suhu kamar dan disentrifugasi pada 13 000 rpm selama 3 menit. DNA hasil isolasi plasmid disimpan pada suhu -20 °C sampai DNA tersebut siap untuk digunakan.

c. Perunutan Basa Nukleotida pTZ-SCSMV

Plasmid pTZ57R/T yang menunjukkan hasil positif pada koloni PCR dan isolasi DNA plasmid rekombinan dikirim untuk perunutan basa nukleotida ke First Base, Malaysia menggunakan M13/pUC sequencing primer (-20) (5’-GTAAAACGACGGCCAGT-3’) dan M13/pUC reverse sequencing primer (-26) (5’-CAGGAAACAGCTATGAC-3’). Perunutan nukleotida plasmid pTZ-SCSMV dimaksudkan untuk menentukan klon yang akan digunakan pada tahapan selanjutnya dengan memastikan bahwa pada plasmid telah tersisipi gen CP-SCSMV dan memastikan sikuen gen CP-CP-SCSMV yang akan digunakan. Hasil perunutan nukleotida juga digunakan untuk analisis kesejajaran dengan sikuen nukleotida CP-SCSMV yang telah dideposit pada GenBank menggunakan program

(32)

Basic Local Alignment Search Tools (BLAST). Analisis tingkat homologi sikuen nukleotida dan asam amino diperoleh dengan program Clustalw multiple alignment dan sequences identity matrix menggunakan perangkat lunak Bioedit versi 7.05. Klon CP-SCSMV yang utuh; tidak ditemukan delesi atau mutasi titik dalam gen CP-SCSMV, dipilih untuk digunakan pada tahap subkloning ke vektor ekspresi pET-28a.

Subkloning Gen CP- SCSMV pada pET-28a

Tahapan subkloning secara garis besar sama dengan tahapan kloning yaitu ligasi, transformasi, dan konfirmasi transforman. Vektor ekspresi yang digunakan pada tahapan subkloning adalah pET-28a (Novagen) (Gambar 3). Sebelum ligasi dilakukan restriksi pada vektor ekspresi pET-28a dan plasmid pTZ-SCSMV masing-masing menggunakan BamHI dan HindIII. Campuran restriksi terdiri atas 18 μL plasmid pTZ-SCSMV atau pET-28a, 6 μL enzim BamHI (10 U μL-1), 3 μL enzim HindIII (10 U μL-1), 6 μL 10x bufer BamHI, dan ditambahkan air bebas

nuklease hingga volume 60 μL. Suspensi restriksi ditingkatkan menjadi 6 kali reaksi untuk mengoptimalkan jumlah DNA yang diperoleh. Campuran restriksi diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC dan dielektroforesis pada 1% gel agarosa selama 50 menit dengan tegangan 50 V. Hasil elektroforesis divisualisasikan dengan UV transluminator. DNA pada gel agarosa yang sesuai dengan ukuran CP–SCSMV dan pET-28a masing-masing dipotong dan diekstraksi menggunakan Gel/PCR DNA fragment extraction kit sesuai dengan yang direkomendasikan pembuatnya (Genaid).

Gambar 3 Vektor ekspresi pET-28a (Novagen 1998). Tanda panah tebal ( ) menunjukkan daerah multiple cloning site (MCS), Kan: resisten terhadap antibiotik kanamisin, ori: titik awal replikasi plasmid.

(33)

Ligasi dilakukan dengan mencampurkan 3 μL CP-SCSMV hasil ekstraksi, 1 μL pET-28a hasil ekstraksi, 1 μL enzim T4 DNA ligase, 2 μL 5x bufer ligasi, dan 3 μL ddH2O. Ligasi dilakukan pada suhu 4 oC selama 16 jam dan menghasilkan

pET-28a yang tersisipi gen CP-SCSMV (pET-SCSMV). Hasil ligasi selanjutnya ditransformasi dengan metode kejut panas (heat shock) ke E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS dan ditumbuhkan pada media LB agar yang mengandung kanamisin 25 µg mL-1 (kanamisin). Koloni yang tumbuh pada media LBA-kanamisin selanjutnya di PCR koloni dengan menggunakan primer SCSMV-BamF4 dan SCSMV-HindR3. Koloni bakteri yang positif mengandung CP-SCSMV yang ditandai dengan teramplifikasinya DNA berukuran ±850 pb selanjutnya digunakan untuk ekspresi gen CP-SCSMV. Analisis asam amino yang terbentuk dari fusi protein pET-SCSMV dilakukan menggunakan Server Expasy Proteomic.

Ekspresi Gen CP-SCSMV pada Bakteri Ekspresi

Optimasi Ekspresi Gen CP-SCSMV. Bakteri E. coli BL21(DE3) dan Rosetta-gami(DE3)pLysS yang positif membawa plasmid rekombinan pET-SCSMV masing-masing diinokulasi ke dalam 3 mL media cair LB-kanamisin. Biakan diinkubasi bergoyang pada 150 rpm selama 16 jam pada suhu 37 oC. Setelah inkubasi, sebanyak 1% biakan bakteri diinokulasi ke media cair LB-kanamisin dan diinkubasi pada suhu 37 oC pada shaker incubator dengan kecepatan 150 rpm hingga mencapai OD600 = 0.5-0.7.

Optimasi kultur ekspresi dilakukan terhadap 3 faktor yaitu konsentrasi IPTG (0.25, 0.5, 0.75, 1 mM), suhu inkubasi (25, 30, 37 oC), dan waktu panen bakteri (3, 6, 9, 12, 18 jam) setelah diinduksi IPTG. Sebanyak 3 μL bakteri dipeletkan dengan disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit.

Analisis SDS-PAGE. Analisis SDS-PAGE dilakukan untuk mengetahui kondisi optimum ekspresi CP-SCSMV berdasarkan ketebalan pita protein sesuai berat molekul fusi protein CP-SCSMV dan vektor pET-28a. SDS-PAGE dilakukan berdasarkan prosedur Laemmli (1970) dengan menggunakan Vertical Gel Electrophoresis System model V-16-2. Pada SDS-PAGE digunakan 2 jenis gel yaitu separating gel dan stacking gel (Tabel 1). Separating gel 12.5% dimasukkan pada cetakan gel. Setelah separating gel membeku maka stacking gel 4% dituang di atas separating gel yang sudah membeku dan stacking gel ditunggu sampai membeku. Setelah stacking gel membeku, gel dipindahkan ke dalam alat elektroforesis.

Tabel 1 Komposisi gel SDS-PAGE (Sambrook dan Russel 2001)

Bahan Separating gel 12.5%

(μL) Stacking Gel (μL) H2O 12 000 7200 Tris HCl 1.5 M SDS 0.4% pH 8.8 9 000 - Tris HCl 0.5 M SDS 0.4% pH 6.8 - 3000 Akrilamid 30% 15 000 1800 TEMED (tetramethylethylenediamine) 20 20 Amonium persulfat 10% 170 45

(34)

Penyiapan sampel dilakukan dengan meruspensikan pelet bakteri dengan bufer lisis pH 8.0 (50 mM NaH2PO4, 300 mM NaCl, 10 mM imidazol) dan

diinkubasi bergoyang pada kecepatan 150 rpm selama 30 menit. Sampel disentrifugasi pada kecepatan 12 000 rpm selama 5 menit dan dipisahkan antara pelet bakteri (insoluble) dan supernatan (soluble). Fraksi insoluble dilarutkan dengan 500 μL bufer sampel (62.5 mM Tris-HCl pH 6.8, 2% SDS, 0.002 % bromophenol blue, 5% β-merkaptoetanol, 10% gliserol), dan fraksi soluble dicampur dengan 1x bufer sampel. Fraksi insoluble, soluble, dan penanda protein unstained (Thermo Scientific) didenaturasi pada suhu 95 oC selama 10 menit, didinginkan pada es, dan dimasukkan pada sumuran gel. Elektroforesis dilakukan menggunakan Bio-Rad power pac 300 selama 4 jam pada tegangan 150 V.

Pewarnaan gel dilakukan menggunakan PageBlueTM Protein Staining Solution (Thermo Scientific). Tahap awal dilakukan dengan meletakkan gel pada wadah dan ditambah 100 ml akuades steril. Gel dipanaskan di microwave selama 1 menit. Gel selanjutnya diagitasi selama 4 menit dan akuades sisa pencucian dibuang. Tahap ini diulang sebanyak 3x. Sebanyak 20 mL PageBlueTM Protein Staining Solution selanjutnya dituang pada wadah gel dan di-microwave selama 30 detik. Gel diagitasi selama 30 menit. Setelah itu gel dicuci kembali dengan akuades steril hingga pita protein tampak jelas.

Purifikasi Protein CP-SCSMV. Protein hasil ekspresi yang paling baik dipurifikasi untuk digunakan sebagai antigen. Purifikasi protein CP-SCSMV dilakukan pada kondisi denaturing menggunakan nickel nitrilotriacetic acid (Ni-NTA) spin column dengan metode yang direkomendasikan pembuatnya (Qiagen). Sebanyak 5 mL sel bakteri dicairkan selama 15 menit dan dilisiskan dengan 700 μL bufer B-7M urea (7 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, pH 8) dan ditambahkan

dengan 15 U benzonase®nuclease, kemudian sel diinkubasi dengan agitasi selama 15 menit pada suhu ruang. Suspensi bakteri disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 30 menit pada suhu ruang dan supernatan diambil untuk analisis SDS-PAGE. Ni-NTA spin column diekuilibrasi dengan 600 μL bufer B-7M urea dan disentrifugasi pada kecepatan 2900 rpm selama 2 menit. Sebanyak 600 μL supernatan hasil lisis dimasukkan pada Ni-NTA spin column yang telah diekuilibrasi dan disentrifugasi pada kecepatan 1600 rpm selama 5 menit. Cairan yang melewati column diambil untuk analisis SDS-PAGE. Sebanyak 600 μL bufer C (8 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, pH 6.3) dimasukkan pada Ni-NTA

spin column untuk proses pencucian dan disentrifugasi pada 2900 rpm selama 2 menit. Pencucian ini dilakukan sebanyak dua kali. Protein pada column kemudian dielusi masing-masing dengan menggunakan 2 jenis bufer elusi yaitu bufer E (8 M urea, 0.1 M NaH2PO4, 0.01 Tris HCl, pH 4.5) dan bufer elusi dengan penambahan

500 mM imidazol (bufer C dengan 500 mM imidazol). Elusi dilakukan dengan menambahkan 200 μL bufer elusi pada column dan disentrifugasi pada 2900 rpm selama 2 menit sehingga diperoleh protein SCSMV.

Produksi Antiserum SCSMV

Tahapan umum dalam produksi antiserum adalah perlakuan imunisasi, pengumpulan darah, dan pengumpulan serum.

Imunisasi. Dua ekor kelinci betina strain New Zealand diimunisasi dengan antigen CP-SCSMV masing-masing dengan dosis antigen 150 μg/ekor. Imunisasi dilakukan sebanyak 4 kali dengan selang waktu 3 minggu. Antigen pada imunisasi

(35)

pertama ditambah adjuvan Freund lengkap (Freund’s complete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Antigen pada imunisasi kedua dan ketiga ditambah adjuvan Freund tak lengkap (Freund’s incomplete adjuvant) dengan perbandingan 1:1. Imunisasi dengan adjuvan disuntikkan pada subkutan yaitu area bawah kulit pada lapisan lemak. Imunisasi keempat dilakukan tanpa menggunakan adjuvan dan disuntikkan pada daerah intravena yaitu pada pembuluh vena auricularis pada telinga kelinci.

Pengambilan Darah. Darah kelinci diambil sebanyak 1.5-2 mL melalui pembuluh vena auricularis dengan menggunakan disposable syringe 3 mL. Pengambilan darah dilakukan setiap dua minggu setelah imunisasi untuk mengecek titer antiserum. Pengambilan akhir darah kelinci dilakukan seminggu setelah imunisasi keempat yaitu pada saat titer antiserum SCSMV telah tinggi pada serum darah.

Pengumpulan Serum. Darah yang diambil dari kedua kelinci, diinkubasi pada suhu ruang hingga darah membeku dan serum darah telah terbentuk. Serum darah disentrifugasi pada kecepatan 2000 rpm selama 10 menit, dipisahkan, dan disimpan pada suhu 20 oC

Purifikasi Antiserum. Serum yang dihasilkan dimurnikan menggunakan metode presipitasi dengan amonium sulfat jenuh menurut Hampton et al. (1990). Amonium sulfat ditambahkan pada serum hingga konsentrasi akhir 40% dan diinkubasi selama 18 jam pada suhu 4 oC. Campuran serum disentrifugasi pada kecepatan 3800 rpm selama 30 menit sehingga terbentuk supernatan dan presipitat. Presipitat selanjutnya diresuspensi pada PBS 0.01M sebanyak 0.4x volume awal serum. Campuran serum kemudian didialisis dalam PBS 0.01M pH 7.0 sebanyak 100x volume serum pada suhu 4 oC dengan 3 kali penggantian PBS setiap 6 jam.

Konsentrasi protein dalam serum yang menunjukkan konsentrasi antiserum dapat diketahui dengan mengukur nilai absorbansi pada panjang gelombang 280 nm. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan nanodrop.

Pengujian Antiserum SCSMV

Antiserum yang dihasilkan diuji dengan metode serologi AGPT, I-ELISA, dan DBIA.

Agarose Gel Precipitation Test (AGPT). Reaksi antigen-antibodi pada AGPT dilakukan pada media 1% gel agarosa (Sigma, USA). Gel dibuat dengan melarutkan 0.1 g agarosa, 0.01 g natrium azida dalam 5 mL phosphate bufer saline (PBS) pH 7.2 dan 5 mL akuabides yang dipanaskan dalam microwave selama 1 menit. Agarosa cair tersebut kemudian dituangkan di atas kaca preparat setebal sekitar 2 mm dan dibiarkan pada suhu ruang sampai memadat. Setelah gel agarosa memadat, selanjutnya dibuat lubang-lubang pada gel agarosa tersebut dengan menggunakan cetakan (puncher) yang terdiri atas tujuh lubang berbentuk heksagonal. Suspensi antigen disiapkan dengan menggerus 0.1 gram daun tebu yang positif terserang SCSMV dalam 1x PBS dengan perbandingan 1:10 (b/v). Antigen berupa protein CP-SCSMV murni hasil purifikasi juga digunakan sebagai pembanding. Masing-masing antigen dan antiserum dimasukkan ke dalam lubang pada gel agarosa sebanyak 25 μL dan. Gel agarosa tersebut kemudian diinkubasi selama 24−48 jam pada tempat yang lembab dan suhu ruang. Pengamatan terhadap terbentuknya garis presipitasi reaksi antigen-antibodi pada media gel agarosa diamati setiap hari dan didokumentasikan.

Gambar

Gambar  2  Vektor  kloning  pTZ57R/T.  a.  Peta  vektor  kloning  pTZ57R/T  yang  mengandung beberapa situs restriksi
Gambar 3   Vektor ekspresi pET-28a (Novagen 1998). Tanda panah tebal (          )  menunjukkan  daerah  multiple  cloning  site  (MCS),  Kan:  resisten  terhadap antibiotik kanamisin, ori: titik awal replikasi plasmid
Tabel 2  Homologi sikuen nukleotida dan asam amino CP-SCSMV_Klon_2 dengan  CP-SCSMV hasil kloning lainnya dan CP-SCSMV dari GenBank
Gambar 7   Ekspektasi fusi protein pET-28a (   ) dan CP-SCSMV (   ) yang akan  terekspresi  dari kodon metionin  (ATG) situs  NcoI  pada pET-28a dan  berlanjut hingga kodon stop (TGA) yang terdapat pada akhir sikuen  CP-SCSMV  (*)  (a);  susunan  nukleotid
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini meliputi hasil jadi blus ditinjau dari bentuk, volume dan jatuhnya gills, dan pengaruh ketebalan kain terhadap hasil jadi blus gills on hip dengan

!ebagian spesies nyamuk dari genus "no genus "nopheles dan pheles dan Cule# yang bersiat Cule# yang bersiat $ooilik berperan $ooilik berperan dalam penularan

Pada manajemen proyek dalam pengertian di atas, kegiatan-kegiatan yang dilakukan beraneka ragam, mulai dari perencanaan program, survey, penelitian, study kelayakan,

Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi dinamika eksistensi sunnah yang berakar pada problem utama yang dihadapi ummat Islam pada abad modern yakni “pergulatan otoritas

a) Bahan inti kedap air dianggap homogen dan mempunyai kadar pori yang konstan. Hal ini akan berpengaruh terhadap penggunaan nilai kadar pori dan hydraulic conductivity pada

Sesuai dengan berbagai penelitian sebelumnya mengenai otonomi perempuan dalam pemilihan pasangan hidup berdasarkan status sosial ekonominya, dimana semakin tinggi status

Saat orang tua memahami dengan baik bagaimana perkembangan anak-anak mereka dan mengawal tugas-tugas perkembangan secara tepat maka anak akan menampilkan perilaku

Seluruh dosen dan staf di Program Studi Teknik Geologi, terima kasih atas semua ilmu, tugas, dan pengetahuan yang telah diberikan, serta bimbingan dan dukungan yang sangat