• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi hal yang lazim ditemukan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Baik itu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menjadi hal yang lazim ditemukan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Baik itu"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Maraknya kekerasan yang terjadi di berbagai belahan dunia seolah menjadi hal yang lazim ditemukan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Baik itu dalam skala kecil maupun besar, kekerasan tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia. Bahkan bagi sebagian kelompok, kekerasan telah mengakar menjadi budaya (culture of violence). Kekerasan direkonstruksi sebagai bentuk penyelesaian (Schmidt, 2001:7), sehingga dapat dikatakan bahwa kekerasan yang terjadi adalah sebagai bentuk dialektika manusia terhadap lingkungannya.

Kekerasan dalam segala macam bentuknya terwujud dalam berbagai dimensi kehidupan. Baik dimensi biologis, psikologis, ekonomis, sosial, politis bahkan agama (Poerwandari, 2013:272). Kenyataan tersebut kemudian menimbulkan beragam pertanyaan-pertanyaan penting terkait dengan kemungkinan-kemungkinan menghapus kekerasan dari muka bumi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kekerasan sebagai (n) 1 perihal (yang bersifat, berciri) keras; 2 perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain; 3 paksaan (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:677). Membaca definisi di atas, pada poin kedua telah dipertegas bahwa kekerasan terjadi sebagai konsekuensi atas pertemuan dua subjek, yang dalam pertemuan tersebut selalu melibatkan manusia. Tentu tidak dapat dibayangkan

(2)

bagaimana kekerasan terjadi tanpa adanya manusia sebagai makhluk yang bereksistensi. Berdasarkan pengandaian tersebut dapat dilihat bahwa upaya menyusun strategi menanggulangi terjadinya kekerasan akan menjadi pekerjaan yang rumit bagi para ilmuwan, mengingat bahwa manusia selain sebagai makhluk individu juga merupakan makhluk sosial yang masing-masing memiliki eksistensinya sebagai yang otonom.

Menanggapi persoalan demikian muncullah pertanyaan di mana kontribusi ilmu dan filsafat. Menentukan bagaimana kerangka kekerasan dipahami, dapat ditarik benang merah bahwa persoalan kekerasan sebetulnya adalah persoalan eksistensi. Kesalahan dalam memahami kekerasan merupakan kegagalan memahami eksistensi manusia. Untuk itu dalam melihat setiap persoalan, filsafat kembali menitikberatkan pembahasannya pada manusia, khususnya dalam pokok bahasan eksistensialisme. Manusia dijadikan tolok ukur yang final dalam eksistensialisme. Berdasarkan pengandaian tersebut lantas dapat diajukan pokok soal bahwa segala persoalan kehidupan dapat ditelusuri akarnya dari titik keberadaan manusia.

Adalah Sartre yang secara lantang menyebut dirinya seorang eksistensialis dalam kajian eksistensialisme menyatakan bahwa cara berada manusia pour soi (ada untuk dirinya) selalu bersifat ko-eksistensial atau ada-bersama (Driyarkara, 1978:83). Bentuk hubungan ko-eksistensial Sartre adalah relasi subjek-objek antara manusia dengan manusia lain ketika seseorang selalu memandang orang lain sebagai objek bagi yang lain pula.

(3)

Hal tersebut berkaitan erat dengan pandangannya tentang kesadaran manusia. Ciri khas kesadaran manusia adalah menidak atau menafikan yang lain. Setiap kali ada pertemuan dengan kesadaran atau kesadaran-kesadaran lain, kegiatan menidak itu selalu berlangsung. Artinya, setiap kesadaran mempertahankan subjektivitas dan dunianya sendiri. Kesadaran-ku juga bertindak demikian terhadap kesadaran yang lain. Namun, kesadaran yang lain juga bertindak dengan cara yang sama terhadap kesadaran-ku. Dengan demikian setiap pertemuan antara kesadaran-kesadaran merupakan suatu dialektika antara subjek dan objek. Pada proses dialektika tersebut yang satu berusaha mengobjekkan yang lain dan sebaliknya juga yang lain berusaha untuk mengobjekkan yang satu (Lanur, 2011:74-75).

Memahami konsep Sartre tentang hubungan ko-eksistensi diperlukan sebuah pemaknaan baru. Teori tersebut seharusnya dapat digunakan untuk menjawab persoalan dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan pengandaian eksistensialisme bahwa manusia adalah ukuran segala hal. Selain itu, teori tersebut juga harus dipahami sebagai kerangka pikir yang dapat digunakan dalam menjelaskan pokok soal kemanusiaan, termasuk pokok soal akar kekerasan. Dengan kerangka pikir tersebut penting kiranya bagi penulis mengungkap akar kekerasan melalui pendekatan konsep ko-eksistensi dalam eksistensialisme, yang dalam pemahaman ini menggunakan pemahaman eksistensialisme Sartre.

Pendekatan tersebut diharapkan akan melengkapi telaah-telaah tentang kekerasan yang sebelumnya dilakukan hanya pada tataran praktis. Pendekatan teoritis yang mendasar penting untuk mengetahui akar kekerasan, dan kemudian

(4)

menentukan strategi penanggulangannya, yang mana hal tersebut menjadi tanggung jawab ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, antropologi dan sebagainya.

Berdasar pada beberapa problem tersebut kemudian peneliti tertarik untuk mengkaji tentang akar kekerasan. Dengan sebuah pendekatan baru yaitu melalui manusia sebagai eksistensi yang juga ko-eksisten menurut pemikiran J.P. Sartre.

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:

a. Apa konsep eksistensialisme Jean-Paul Sartre tentang hubungan ko-eksistensi manusia?

b. Apa hakikat kekerasan?

c. Bagaimana implikasi konsep hubungan ko-eksistensi Jean-Paul Sartre bagi munculnya kekerasan pada manusia?

2. Keaslian Penelitian

Setelah melakukan beberapa penelitian, penulis belum menemukan penelitian yang membahas mengenai asal-usul kekerasan yang dilihat dari sudut ko-eksistensi manusia dalam eksistensialisme Sartre. Akan tetapi, setidaknya terdapat beberapa penelitian yang memiliki kemiripan dalam upaya melakukan telaah filosofis tentang kekerasan. Berikut beberapa penelitian terkait:

a. Skripsi tahun 1998 berjudul Kekerasan Dalam Konsep Karl Marx karya Firadus Zamany Fakultas Filsafat UGM. Penelitian yang dilakukan oleh Firdaus Zamany ini adalah usaha reinterpretasi terhadap teks-teks karya

(5)

Marx dalam menganalisis tentang apa, mengapa dan bagaimana kekerasan itu terjadi. Secara inheren dalam konsep sejarah Karl Marx ditemukan bahwa kekerasan merupakan sebuah fenomena yang niscaya terjadi dalam konteks ruang dan waktu proses sejarah. Kekerasan merupakan kenyataan sejarah dari hubungan-hubungan kontradiksi kelas dimana kontradiksi menjadidaya dorong perubahan sosial yang dapat bersifat ‘halus’ maupun ‘keras’.

b. Skripsi tahun 2005 berjudul Kekerasan Massa Dalam Perspektif Filsafat Eksistensialisme Gabriel Marcel karya Rynaldi Darmawan, Fakultas Filsafat UGM. Telaah yang dilakukan Rynaldi adalah dengan menggunakan konsep relasi antar subjek Gabriel Marcel dalam melakukan analisis penyebab kekerasan massa. Kekerasan terjadi akibat kegagalan dalam memahami cara ber-adanya manusia. Bahwa esse (ada) menurut Marcel selalu bersifat co-esse, ada untuk yang lain. Subjek dipahami tidak sebagai yang terpisah sebagaimana ‘aku’ dan ‘dia’, tetapi sebagai sebuah kesatuan menjadi ‘kita’.

c. Skripsi tahun 2009 berjudul Pandangan Teori Agresi Sigmund Freud dalam Menelaah Akar Kekerasan Massal (tinjauan Filsafat manusia) karya Arif Saputro, Fakultas Filsafat UGM. Penelitian ini merupakan suatu upaya untuk memahami dan mengungkap bagaimana seorang individu dapat memiliki tingkat agresivitas yang bersifat destruktif. Serta bagaimana sifat agresif tersebut dapat terakumulasi sehingga terjadi kekerasan massal. Kekerasan terbagi dalam tiga gejala yaitu

(6)

Crowd, Mob, dan Riot. Kekerasan missal terjadi ketika organisasi social deviant dan masyarakat mengalami overlapping moress sehingga menimbulkan konflik sosial.

d. Buku tahun 2010 berjudul Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi, karya Haryatmoko Gramedia. Penelitian tersebut berusaha mencari akar kekerasan yang terjadi dalam kehidupan manusia secara komunal dengan cara membongkar dominasi kekuasaan yang menyelubungi setiap tindak kekerasan.

e. Skripsi tahun 2015 berjudul Terorisme di Indonesia dalam Perspektif Jean-Paul Sartre karya Achmad Fazlurrahman, Fakultas Filsafat UGM. Karya tersebut menununjukkan bahwa terorisme merupakan kesimpulan yang prematur dari refleksi kesadaran pelaku teror sebagai akibat dari absurditas dunia pengalaman. Sehingga terorisme justru tampil sebagai negasi dari kehidupan dan harapan manusia. Penelitian ini berusaha melakukan analisis terkait dengan akar penyebab persoalan terorisme di Indonesia sekaligus melakukan evaluasi pemikiran Sartre dan menemukan maksud terdalam persoalan terorisme dari sudut pandang keberadaan manusia.

Sekian dari penelitian yang telah disebutkan di atas, secara umum menyoroti soal kekerasan hanya dalam sebuah konteks peristiwa, yang kemudian direfleksikan secara filosofis. Hanya pada penelitian yang dilakukan oleh Arif Saputro dan Firdaus Zamany yang membahas kekerasan secara genealogis.

(7)

Kekerasan belum disoroti dari sisi diri manusia sebagai eksistensi yang juga berko-eksistensi dengan manusia.

3. Manfaat Penulisan

Manfaat yang diharapakan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagi ilmu pengetahuan, peneliti berharap penelitian ini mampu memberikan kontribusi posistif bagi perkembangan disiplin-disiplin ilmu kemanusiaan. Baik yang terkait secara langsung maupun tidak dengan pembahasan soal manusia dan kekerasan. Misal, psikologi yang banyak bergelut dengan pokok soal strategi menyelamatkan psikis korban-korban kekerasan. Sosiologi, yang banyak membahas soal hubungan sosial manusia.

b. Bagi filsafat, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran untuk studi-studi filsafat manusia, khususnya tentang tema eksistensialisme.

c. Bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang bagaimana kekerasan antara manusia ataupun masyarakat dapat terjadi. Tentu dengan gambaran tersebut, selanjutnya dapat ditentukan strategi penanggulangan kekerasan secara lebih tepat.

(8)

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dari dilaksanakannya penelitian adalah menjawab pertanyaan yang telah dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu:

1. Menganalisis konsep kunci tentang hubungan ko-eksistensi manusia menurut eksistensialisme J.P.Sartre.

2. Memahami apa hakikat kekerasan sebagai persoalan kemanusiaan. 3. Mengetahui implikasi konsep hubungan ko-eksistensi J.P. Sartre bagi

munculnya kekerasan pada manusia.

C. Tinjauan Pustaka

Perihal kekerasan telah lama menjadi sorotan banyak ilmuwan dari berbagai bidang ilmu. Telaah mengenai kekerasan sering menimbulkan kerancuan karena istilah kekerasan secara bersamaan dipahami sebagai sinonim dari agresi. Untuk membatasi penelitian ini agar tidak meluas maka digunakan istilah kekerasan. Apa yang tercakup dalam istilah kekerasan? Pemahaman umum bahwa kekerasan menyangkut segala tindakan fisik yang bersifat agresif: pemukulan, menghancurkan rumah orang lain, membunuh orang lain, melukai baik dengan senjata maupun tangan kosong.

Kekerasan sebenarnya tidak hanya bernuansa fisik, ketika fisik diserang jiwa pun sebenarnya mengalami kekerasan. Penghayatan psikis seseorang dapat juga mengalami kekerasan (Poerwandari, 2004:10). Dari keterangan tersebut dapat ditarik pemahaman bahwa perihal kekerasan selalu dapat didekati melalui pemahaman interaksi manusia (eksistensi kesadaran) dengan manusia yang lain.

(9)

Istilah kekerasan digunakan dalam alur pemahaman bahwa cakupan kekerasan lebih luas daripada argresi, agresi sangat mungkin ada dalam tindakan kekerasan (Poerwandari, 2004:11). Namun konteks dari agresi lebih menekankan pada dorongan yang adaptif secara biologis untuk pertahanan diri (Erich Fromm, 2001: xii). Berikut akan diuraikan telaah yang telah dilakukan para peneliti maupun filsuf terdahulu tentang kekerasan.

Para ilmuwan dalam kajian disiplin ilmu biologi memahami kekerasan sebagai konsekuensi dari manusia untuk survival of the fittest. Menurut teori Darwin manusia dalam proses evolusi harus mengalami seleksi alam untuk mempertahankan keberlangsungan hidup jenisnya (Peursen, 1991:199). Berdasarkan kerangka pemahaman seleksi alam tersebut, kemudian timbullah persaingan antara individu untuk mempertahankan hidup (Struggle of the life). Lebih lanjut dalam persaingan tersebut dapat terjadi kekerasan sehingga individu yang paling kuat yang akan menang (Glinka, 1985:40).

Argumentasi Darwin kemudian dilanjutkan oleh Konrad Lorenz, dengan suatu pendekatan empirik, melalui sebuah buku hasil penelitianya: On Agression. Konrad Lorenz seorang ahli di bidang perilaku binatang, menggunakan hasil pengamatannya tentang perilaku burung dan ikan untuk dibawa pada konteks pemahaman akan manusia. Hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari pemahaman awal evolusi Darwinian bahwa manusia adalah satu spesies dengan hewan – mamalia- yang berhasil mencapai perkembangan jenis lebih tinggi.

Menurut Lorenz, perilaku manusia yang agresif dan menimbulkan kekerasan, ditimbulkan oleh insting bawaan yang telah terprogram secara

(10)

filogenetik. Insting tersebut berusaha mencari konteks yang tepat untuk pelampiasan. Akhirnya kekerasan dipahami sebagi khas perilaku manusia (Erich Fromm, 2001: xvi-xvii).

Sementara itu dalam kajian sosial, umumnya kekerasan dipahami dalam konteks kejadian dan struktur masyarakat (sosiologi, kriminologi). Telaah umumnya dilakukan secara objektif untuk mengetahui siapa pelaku kekerasan, siapa korban, bagaimana karakteristik masing-masing kasus. Telaah objektif dilakukan dalam bingkai di luar pemahaman individu. Misalnya bagaimana pemukiman miskin dalam suatu kota mendorong terjadinya kekerasan.

Sementara dari kajian politik kekerasan dilihat sebagai bentuk tak terhindarkan dari konskuensi konflik, dalam pertarungan antar kelompok untuk merebut dominasi kekuasaan. Adanya hasrat untuk lebih unggul terhadap yang lain (Haryatmoko, 2020:50). Power dianggap sebagai sesuatu yang memicu kekerasan. Power atau kekuasaan pada hakikatnya terbagi tidak merata, ketidak merataan tersebutlah yang menimbulkan ketimpangan, hingga akhirnya terjadi kekerasan (Turner, 2012:131).

Kemudian jika melihat bagaimana kekerasan dipahami secara filosofis, ada bebarapa pandangan. Misal Marxisme memandang kekerasan sebagai konskuensi dari sebuah gerakan revolusi pembebasan masyarakat tanpa kelas, sebuah perkembangan yang akan menyudahi kekerasan dengan kekerasan dan berakhir di dalam bentuk masyarakat komunis (Campbell, 1994:134).

Erich Fromm dengan menggunakan pendekatan pembedaan insting dan karakter, atau dorongan yang berakar dari kebutuhan fisiologis, dan hasrat

(11)

manusia yang berasal dari karakternya. Mengungkapkan bahwa kekerasan merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan eksistensial manusia. Kebutuhan eksistensial yang dikendalikan oleh dorongan insting sebagai jawaban atas kebutuhan fisiologis manusia, juga oleh hasrat sebagai bentuk eksistensi pribadinya (Fromm, 2001:xx-xxi).

Beberapa telaah mengenai kekerasan yang telah diuraikan, perlu diajukan pendekatan yang mempersoalkan kekerasan dari sudut diri manusia sendiri. Singkatnya pembahasan kekerasan yang dilakukan manusia bagaimana jika dilihat dari eksistensi manusia. Bagaimana kekerasan dikaitkan dengan kesadaran dan eksistensi? Bagaimana manusia sebagai pelaku kekerasan melihat orang lain sebagai subjek lain, di luar eksistensinya. Pokok soal tersebut kemudian mengharuskan telaah dari sudut filsafat eksistensialisme. Aliran filsafat J.P. Sartre yang membahas eksistensi manusia dengan keniscayaan ko-eksistensinya.

Eksistensi manusia menurut Sartre dipahami dengan pembedaan, ada untuk diri dan ada dalam diri. Ada dalam diri, adalah sebuah cara bereksistensi yang tertutup. Sebuah keniscayaan eksistensial yang sudah ada sejak awal. Jenis ini adalah adanya benda-benda yang begitu saja. Jadi dapat dikatakan bahwa dia ada, lain tidak, misal adanya benda-benda.

Ada dalam diri tidak membutuhkan keterangan dari yang lain. Sementara ada untuk diri, menunjuk cara ber-adanya manusia, yaitu pada kesadaran manusia, yang sifatnya melebar dengan kesadaran yang berada diluar dirinya. Berdasarkan pengandaian kesadaran berada tersebutlah baru muncul adanya subjek-objek (Siswanto, 1998:141). Menurut kerangka eksistensialisme Sartre tersebut

(12)

kemudian persoalan kekerasan yang dibahas dalam penelitian ini akan berusaha dipahami, dengan berpijak pada hakikat kesadaran eksistensi yang melebar (ko-eksistensi: subjek-objek).

D. Landasan Teori

Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala-galanya dengan berpangkalan pada eksistensi. Menurut asal kata eks berarti keluar dan sistensi berarti menempatkan, berdiri. Atau dapat dikatakan juga bahwa yang dimaksud dengan eksistensi adalah cara manusia berada di dunia ini. Cara itu hanya khusus bagi manusia, jadi yang bereksistensi itu hanya manusia (Driyarkara, 1978:55).

Sebagai sebuah aliran filsafat yang pokok pembahasannya bertolak dari manusia sebagai satu-satunya makhluk yang dapat ber-ada. Jejak eksistensialisme dapat ditelusuri mulai dari karya-karya Soren Kiekergard, Albert Camus, Sartre, Heidegger, dan Merleau Ponty. Akan tetapi dari nama-nama filsuf tersebut, yang menyebut dirinya sebagai seorang eksistensialis hanyalah. J.P Sartre. Nama Sartre penting dalam pembahasan eksistensialisme, karena melalui Sartrelah eksistensialisme mendapatkan orientasi sebagai filsafat praktis. Pada Sartrelah eksistensialisme benar-benar mempunyai daya pikat yang mampu mempengaruhi orang banyak, tidak terbatas pada filsuf dan para akademisi saja (Ito, 2011:190).

Eksistensialisme Sartre berkembang dilandasi dengan bantuan fenomenologi yang dirintis oleh Husserl. Dari fenomenologi kemudian keberadaan manusia di dunia berusaha diungkap aspek batiniahnya (Delfgaauw,

(13)

1988:140). Fenomenologi pada Husserl yang berakhir dengan reduksi eidetik bagi Sartre kurang radikal, karena harus kembali pada soal kesadaran sebagai titik awal dan akhir pengalaman. Eksistensialisme Sartre ditopang oleh pengandaian bahwa cara berfikir fenomenologi Husserl harus diradikalkan hingga taraf eksistensi manusia. (Ito, 2011:194).

Menurut Sartre, seorang eksistensialis adalah orang yang percaya dan bertindak berdasarkan dalil berikut, yang berlaku untuk semua umat manusia yaitu ‘eksistensi mendahului esensi’. Akan tetapi sebelum itu perlu dibahas mengenai pandangan sebaliknya ‘esensi mendahului eksistensi’. Esensi berarti hakikat dari suatu hal, definisi dari suatu hal, ide mengenai suatu hal, sifat dasar atau kodrat, fungsi, dan program. Artinya bahwa dalam benda buatan manusia esensi benar-benar mendahului eksistensi (Palmer, 2007:21).

Jika eksistensi dipahami selalu mendahului esensi, filsafat ini harus diterapkan dalam hidup supaya menjadi jelas kebenarannya (Sartre, 2002:111), begitulah seruan Sartre. Pemahaman tersebut membuat eksistensialisme menjadi sebuah filsafat yang mempunyai orientasi praktis. Tentu orientasi praktis yang dimaksud dalam hal menentukan pedoman eksistensi manusia, sikap yang harus diambil, penyadaran tentang kebebasan manusia, juga tentang bagaimana seharusnya ko-eksistensi, hubungan antar manuia dijalin sesuai dengan pandangan eksitensialisme.

Eksistensialisme Sartre hendak menjadikan manusia sebagai satu-satunya tolok ukur segala persoalan. Manusia sebagai subjek, yang kemudian menegaskan keberadaannya. Konsekuensi pemahaman ini tentu bahwa pada akhirnya segala

(14)

permasalahan yang timbul dalam kehidupan manusia, dapat dicari asal-usulnya dari diri manusia itu sendiri, termasuk dengan soal kekerasan.

Untuk mengungkap konsep ko-eksistensi manusia dalam pandangan eksistensialisme Sartre, terlebih dahulu perlu dijelaskan beberapa term yang menjadi landasan ontologi eksistensialisme. Penjelasan tersebut penting karena dengan penjelasan dasar ontologi eksistensialisme Sartre, dapat didapat gambaran tentang konsep manusianya, yang kemudian menentukan konsep hubungan antar manusia ko-eksistensi.

Menurut buku yang ditulis Sartre “Being and Nothingness”, dapat dilihat landasan ontologi Sartre dalam membangun filsafat yang menggunakan metode fenomenologi. Akan tetapi dengan dasar-dasar yang sama dalam metode tersebut, Sartre mendapatkan kesimpulan yang cukup berbeda dari Husserl maupun Heidegger sebagai guru fenomenologinya.

Sebagai landasan ontologinya, Sartre pertama menyuguhkan konsep l’étre-en-soi, apa itu l’étre-en-soi? secara arti, l’étre-en-soi berarti being-in-itself atau berada dalam dirinya sendiri. L’étre-en-soi menunjuk suatu cara bereksistensi yang tertutup, apa yang ada sepenuhnya identik dengan dirinya sendiri. Ia bersifat tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, dan tanpa gerak sedikitpun untuk keluar dari dirinya. Di situ tidak terdapatsubjek-objek, sama sekali tidak mempunyai relasi. Oleh Sartre L’étre-en-soi disebut ‘ada yang tidak berkesadaran’. Boleh dikatakan ada jenis ini adalah adanya benda-benda, yang berada begitu saja (Siswanto, 1998 :40).

(15)

L’étre-pour-soi atau ‘ada untuk diri’ menunjuk cara beradanya manusia yaitu pada kesadaran manusia; sifatnya melebar (extensif) dengan dunia kesadaran dan sifat kesadaran yang berada di luar diri sesuatu atau seseorang. Dalam kesadaran barulah muncul adanya subjek dan objek. Ada yang sadar menjadi subjek, tetapi dia juga dapat menjadi objek. Jadi seolah-olah di situ ada keduaannya; subjek berhadapan dengan objek. Yang berupa subjek adalah ‘pengada yang sadar’. Yang berupa objek ialah dia sendiri, sekedar disadari. (Siswanto, 1998:141).

Ko-eksistensi, atau hubungan antar manusia sebagai sama-sama eksistensi, dalam kacamata Sartre berbentuk relasi subjek-objek yang saling meniadakan. Kesadaran ada untuk diri, selalu bertentangan dengan kesadaran yang sama yang dimiliki subjek lain. Dalam pertentangan tersebutlah tiap-tiap manusia berusaha saling mengobjekkan. Saling meniadakan yang lain. “Thus it is true that at least one of the modalities of the Other’s presence to me is ‘object-ness’(Sartre, 1992:340). “Others is hell”, begitulah kata Sartre, orang lain adalah neraka. Pada pemahman tersebutlah segala persoalan dalam kehidupan bersama manusia, timbul, termasuk juga kekerasan yang kemudian dalam penelitian ini hendak dilihat asal-usulnya melalui eksistensialisme Sartre.

E. Metode Penelitian 1. Materi Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah riset yang berbasis pada studi kepustakaan yang diambil dari beberapa studi yang terkait dengan materi penelitian. Pustaka yang dugunakan yaitu:

(16)

a. Pustaka Primer:

Data primer yaitu data yang digunakan sebagai rujukan utama dalam penelitian, data primer dalam peneilitian ini adalah yang membahas tentang pemikiran eksistensialisme Sartre, dan tentang kekerasan. Literatur yang menjadi sumber primer dalam penelitian ini antara lain:

1) Sartre, Jean-Paul, 1956, Being and Nothingness, New York, Philosophical Library.

2) Sartre, Jean-Paul, 2002, Eksistensialism and Humanism, terj. Yudhi Murtanto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

3) Poerwandari, Kristi, 2004, Mengungkap Selubung Kekerasan, Eja Insani, Bandung.

4) Santoso, Thomas, 2002, Teori-Teori Kekerasan, Ghalia Indonesia, Jakarta.

5) Schmidt, Bettina E.& Schoder, Ingo W, 2001, Anthropology of Violence and Conflict, Routledge, London.

b. Data Sekunder

Selain buku-buku tersebut, sumber pustaka sekunder dalam penelitian ini adalah data pendukung yang diperoleh dari studi-studi terdahulu. Pemilihan data sekunder tetap didasarkan pada keterkaitan dengan objek formal tentang eksistensialisme Sartre, khususnya pembahasan tentang ko-eksistensi. Juga objek material khususnya pembahasan tentang kekerasan. Data tersebut berupa buku, artikel ataupun tulisan-tulisan lain sebagai bahan pendukung yang berhubungan dengan tema penelitian ini.

(17)

2. Prosedur Jalannya Penelitian

Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian penulis akan menganalisisnya menggunakan objek formal.

Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut:

a. Inventarisir data: mengumpulkan data yang berkaitan dengan penelitian tentang asal-usul kekerasan, juga tentang hubungan ko-eksistensi manusia dalam eksistensialisme Sartre, baik berupa buku, jurnal, dan artikel terkait untuk dikaji lebih dalam.

b. Klasifikasi data: memilah data yang telah diperoleh menjadi data primer dan data sekunder. Pemisahan dan klasifikasi dilakukan pada sumber seperti buku, jurnal, dan artikel yang memiliki keterkaitan dengan objek formal dan objek material penelitian. Data primer digunakan sebagai acuan utama, sementara data sekunder sebagai penunjang jalannya penelitian.

c. Analisis data: dengan melakukan analisis terhadap data yang diperoleh dengan metode yang dipilih untuk melakukan penelitian. Data yang dianalisis mencakup data primer dan data sekunder tentang masalah yang terkait dengan tema penelitian ini.

d. Penyusunan hasil: merupakan penulisan yang akan dilakukan secara sistematis dan koreksi terhadap penelitian.

(18)

3. Analisis Penelitian

Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan menggunakan model penelitian deduktif dengan menggunakan metode hermeneutika-filosofis (Bakker, 1990: 41-50) , dengan unsur metodisnya berupa: inventarisasi, deskripsi, analisis dan interpretasi:

a. Inventarisasi, mengumpulkan bahan pertimbangan historis yang dapat ditemukan dalam kepustakaan tentang konsep kekerasan dan eksistensialisme

b. Deskripsi, data yang terkait dengan kekerasan dipaparkan seakurat mungkin sehingga memperoleh pemahaman yang cukup jelas.

c. Analisis, penulis melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas makna yang terkandung dalam istilah atau konsep-konsep serta permasalahan yang timbul terkait objek kajian kekerasan dan eksistensialisme

d. Interpretasi, semua bahan dari data yang sudah ada kemudian dianalisis dan dipahami untuk menemukan arti dan makna sejelas mungkin. Langkah ini dimaksudkan untuk menafsirkan secara filosofis tentang konsep eksistensialisme dalam memandang fenomena kekerasan.

F. Hasil yang Dicapai

Hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mampu memperoleh jawaban dari persoalan yang telah disampaikan dalam rumusan masalah, yaitu:

1. Mengungkapkan konsep tentang hubungan ko-eksistensi manusia menurut eksistensialisme J.P Sartre.

(19)

2. Memahami apa hakikat kekerasan.

3. Mendapatkan gambaran dan pemahaman tentang Implikasi konsep hubungan ko-eksistensiSartre bagi munculnya kekerasan pada manusia.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan disusun dalam lima bab sebagai berikut:

1. BAB I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian yang digunakan, hasil yang dicapai, dan sistematika penulisan.

2. BAB II berisi tentang pembahasan hubungan ko-eksitensi manusia dalam eksistensialisme sartre. Pembahasan akan disusun berdasarkan point-point sebagai upaya kajian sistematis.

3. BAB III memuat pembahasan tentang hakikat kekerasan. Meliputi a) Pembahasan kekerasan dalam pandangan ilmu-ilmu b) Ruang lingkup dan batasan konsep tentang kekerasan dan c) kekerasan sebagai problem filsafat manusia

4. BAB IV berisi tentang analisis mengenai implikasi gagasan ko-eksistensi manusia menurut sartre bagi terciptanya kekerasan.

Referensi

Dokumen terkait

1216 SMA Islam Terpadu Al Kafi Cigedug Kab... 1287 SMA Bina Bhakti

6 Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan tentang pemeriksaan mikroskopik getah paru pada kasus tenggelam dengan tujuan mengetahui masih bermanfaat

1915/LS-BJ/2018 Pembayaran belanja perjalanan Dinas dalam daerah bulan Maret dan April 2018, Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) Puskesmas Ngraho, pada Dinas Kesehatan

Berapakah % yield dan konsentrasi biodiesel yang dihasilkan dari sintesis biodiesel dengan substrat minyak jelantah melalui rute non-alkohol dengan biokatalis Candida rugosa

Emboli cairan amnion merupakan komplikasi yang serius (angka kematian > 80%) tetapi jarang terjadi (1:50.000 kelahiran) pada persalinan dan periode pascapartum;

Kecurigaan tergadap ARDS bils didapatkan sesak napas yang berat disertai dengan infiltrat yang luas pada paru yang terjadi secara akut sementara tidak terdapat

Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti selama 12 hari, kendala yang dihadapi guru dalam mengembangkan perilaku bertanggung jawab pada anak, secara internal anak

kata “wizdom” dan “wissenscaft”, yang erat hubungannya dengan “widya”. Karena itu, “wiskunde” sebenarnya harus diterjemahkan sebagai “ilmu tentang belajar”