• Tidak ada hasil yang ditemukan

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA Studi Kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Studi Kasus: Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Propinsi Papua

Editor : Widayatun

Desain isi : Puji Hartana

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang Diterbitkan oleh COREMAP-LIPI.

Widayatun, I.G.P. Antariksa, Haning Romdiati

Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang Indonesia/ Widayatun, I.G.P. Antariksa, Haning Romdiati. – Jakarta: COREMAP, 2002

xix, 109 hlm, 22 cm

Seri Penelitian COREMAP-LIPI No. 5/2002 ISSN 1412-7245

1. Terumbu Karang 2. Pengelolaan 3. Degradasi I. Judul II. COREMAP-LIPI

(3)

1 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA

Ringkasan

Dalam rangka mempersiapkan Program COREMAP tahap II Pemerintah Daerah Propinsi Papua telah menetapkan Distrik Waigeo Utara sebagai lokasi intervensi. Studi ini dilakukan di salah satu desa yang ada di Distrik Waigeo Utara, yaitu Kampung Meosbekwan. Pemilihan lokasi studi ini didasarkan pada berbagai pertimbangan, diantaranya adalah adanya ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya laut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Tujuan dari studi ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pesisir berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Hasil studi ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Di samping itu, studi ini juga diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam menyusun indikator keberhasilan program COREMAP.

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam mengumpulkan data. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui sensus terhadap seluruh rumah tangga yang ada di Kampung Meosbekwan. Data sensus yang dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner ini terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah data menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Kategori ke dua merupakan data individu yang diperoleh dari salah satu anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Informasi yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah mengenai pengetahuan dan sikap responden tentang ekosistem terumbu karang. Sementara itu data kualitatif diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti observasi, wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD (wawancara terfokus) dan kaji bersama (jisam).

Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal. Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuestioner.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Kampung Meosbekwan merupakan salah satu dari lima kampung yang ada di Kepulauan Ayau yang terletak di Lautan Pasifik yang dapat digolongkan sebagai daerah terpencil. Dari ibukota Kabupaten Sorong maupun dari ibukota Distrik Waigeo Utara belum ada jalur transportasi laut yang secara rutin melayani pelayaran ke Kepulauan Ayau. Untuk keperluan trasportasi masing-masing kampung memiliki kapal yang dikelola

(4)

oleh masyarakat dan pengurus gereja. Kampung Meosbekwan mempunyai kapal yang oleh masyarakat setempat dikenal dengan ‘body besar’ berkekuatan mesin 40 PK. Waktu tempuh dari Kepulauan Ayau ke ibukota Kabupaten sekitar 8-9 jam dan ke Ibukota Distrik Waigeo Utara sekitar 4 jam. Pada musim ombak besar kapal tersebut tidak bisa berlayar ke Ibu Kota Distrik atau kota kabupaten. Penduduk telah terbiasa menghadapi kesulitan alam dan keterpencilan daerahnya. Dalam menyiasati keterbatasan sarana transportasi dan keterpencilan tersebut penduduk biasanya membeli keperluan hidup sehari-hari seperti beras, sagu, sabun, minyak tanah untuk keperluan hidup sampai tiga bulan atau sampai musim ombak besar berakhir.

Potensi sumber daya laut yang ada di wilayah perairan pulau Meosbekwan adalah gugusan terumbu karang yang lokasinya dekat dengan garis pantai (sekitar 2 mil). Gugusan terumbu karang ini mengelilingi pulau kecil yang luasnya hanya sekitar 1,2 Km2. Dengan adanya gugusan terumbu karang ini, wilayah perairan Meosbekwan kaya akan berbagai jenis ikan karang seperti napoleon dan kerapu. Selain ikan karang, di perairan wilayah ini juga kaya akan berbagai jenis ikan permukaan seperti cakalang, tenggiri dan tongkol. Eksploitasi secara intensif ikan napoleon dan kerapu dimulai pada tahun 1994, yaitu sejak beroperasinya pedagang pengumpul di daerah ini. Hasil dari penangkapan ikan napoleon dan kerapu ini merupakan sumber pendapatan utama nelayan. Hasil produksi ikan napoleon dan kerapu untuk seluruh Kepulauan Ayau (terdiri dari lima kampung) sekitar 3 ton per bulan. Sebelum tahun 1994 penghasilan nelayan tergantung dari penjualan ikan kering dan hasil laut lainnya seperti pia, lola, teripang dan lobster. Selain potensi sumber daya laut, kampung ini tidak mempunyai sumber daya alam lain di darat yang bisa dikelola. Semua kebutuhan pokok seperti bahan makan sagu dan beras harus didatangkan dari ibukota distrik atau ibukota kabupaten.

Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang bermigrasi ke wilayah Kepulauan Ayau sejak akhir abad 19. Hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan, hanya ada beberapa orang yang bukan nelayan. Mereka adalah dua orang guru SD dan satu perawat. Tingkat pendidikan penduduk relatif rendah. Sekitar 93 persen penduduk berusia 6 tahun ke atas berpendidikan SD ke bawah. Jenis ketrampilan berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut adalah ketrampilan membudidayakan rumput laut yang diperkenalkan pada tahun 1999.

Sementara itu dilihat dari segi pendapatannya menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga (70 persen) mempunyai pendapatan antara Rp 200.000,- sampai dengan Rp 600.000,- per bulan. Jumlah pendapatan tersebut kelihatannya cukup besar, namun secara riil pendapatan tersebut sangat rendah karena harga berbagai kebutuhan sehari-hari dan keperluan lain seperti bahan bangunan perumahan sangat mahal. Berbagai kebutuhan sehari-hari tersebut harus dibeli di ibukota distrik (Kabare) atau ibukota kabupaten (Sorong).

Sumber pendapatan utama rumah tangga sepenuhnya berasal dari pemanfaatan sumber daya laut, yaitu dari hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu serta hasil budidaya rumput laut dan berbagai biota lain seperti gurita dan cacing. Hasil penjualan ikan napoleon dan kerapu ini meskipun secara proporsi mempunyai kontribusi besar terhadap pendapatan rumah tangga, akan tetapi tidak bisa secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hal tersebut dikarenakan pada musim ombak besar dua jenis ikan ini tidak bisa dieksploitasi oleh nelayan yang hanya menggunakan peralatan sederhana. Dalam cuaca buruk tersebut para nelayan hanya mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri, pencarian napoleon dan kerapu untuk sementara

(5)

3 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA dihentikan. Sementara itu meskipun kecil kontribusinya terhadap pendapatan rumah tangga, hasil budidaya rumput laut yang mulai diperkenalkan pada tahun 1999 dapat secara kontinyu memberikan sumbangan terhadap pendapatan rumah tangga. Hasil panen rumput laut dapat dinikmati oleh nelayan hampir setiap bulan.

Selain pendapatan dan tingkat pendidikan, rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat Kampung Meosbekwan juga dapat dilihat dari aset rumah tangga yang dimiliki, mencakup sarana produksi dan non-produksi serta kondisi perumahan dan sanitasi lingkungan. Secara umum aset produksi yang digunakan dalam memanfaatkan sumber daya laut yang dimiliki masyarakat Kampung Meosbekwan tergolong sangat sederhana. Hampir semua rumah tangga hanya menggunakan perahu semang (perahu tanpa motor) untuk melaut. Perahu motor hanya dimiliki oleh empat rumah tangga. Sementara itu kepemilikan aset non-produksi, terutama barang elektronik (radio) relatif sedikit. Diantara 35 rumah tangga yang ada hanya sekitar 12 rumah tangga (sepertiga) yang memiliki radio. Kepemilikan benda bernilai sosial tinggi menurut masyarakat seperti piring antik dan gelang (saraka) relatif tinggi. Dari 35 rumah tangga sekitar 45 persen mempunyai benda bernilai sosial tinggi tersebut. Mengenai kondisi perumahan penduduk dapat digambarkan bahwa sebagian besar rumah terbuat dari kayu, dindingnya terbuat dari papan atau daun rumbia sedangkan atapnya hampir semua memakai daun rumbia, hanya sebagian kecil yang memakai seng. Sedangkan lantainya umumnya dibuat dari semen tipis dengan permukaan kasar.

Studi ini berhasil mengidentifikasi adanya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di perairan Kepulauan Ayau pada umumnya dan perairan Kampung Meosbekwan pada khususnya. Dampak dari adanya degradasi tersebut telah mulai dirasakan oleh nelayan setempat. Para nelayan sudah mulai sulit untuk mendapatkan jenis-jenis ikan karang (napoleon dan kerapu) yang menjadi komoditi utama nelayan. Penyebab kerusakan tersebut diantaranya adalah penggunaan bom dan potas oleh nelayan luar untuk menangkap ikan-ikan permukaan. Di samping itu, penggunaan akar bore (akar tuba) dengan target tangkapan ikan napoleon oleh nelayan setempat yang sudah berlangsung selama lima tahun terakhir diperkirakan juga turut andil terhadap terjadinya kerusakan terumbu karang. Meskipun belum ada penelitian yang membuktikan adanya kerusakan yang ditimbulkan oleh penggunaan akar bore, tetapi ditengarai racun dari akar ini akan mencemari terumbu karang dan akhirnya juga dapat menurunkan kualitas terumbu karang.

Secara resmi telah ada larangan mengenai penggunaan bahan peledak, racun dan akar tuba (akar bore) berupa surat edaran Camat Waigeo Utara yang disebarluaskan di seluruh kampung nelayan. Meskipun telah ada larangan, akan tetapi nelayan setempat sebagian besar masih menggunakan akar tersebut. Di kalangan nelayan masih ada perdebatan mengenai penggunaan akar bore untuk menangkap ikan Napoleon. Sebagian masyarakat mengatakan bahwa akar bore tersebut tidak merusak terumbu karang. Akan tetapi ada pula yang berpendapat bahwa akar bore juga berpotensi untuk merusak terumbu karang karena terbukti ikan-ikan menjadi pingsan bila terkena racun tersebut.

Penangkapan ikan napoleon dan kerapu hidup dimulai sejak tahun 1994. Dalam eksploitasi ikan napoleon ini diperlakukan sistim pola kemitraan. Nelayan sebagai plasma yang mempunyai ijin penangkapan, sedangkan perusahaan pengumpul sebagai inti memiliki ijin pengumpulan. Di samping itu, perusahaan inti mempunyai kewajiban untuk melakukan budidaya. Ada empat perusahaan (pedagang pengumpul) yang

(6)

beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau, termasuk didalamnya satu pedagang yang ada di Kampung Meosbekwan.

Ditemukan berbagai permasalahan yang menyangkut implementasi dari pola kemitraan ini. Permasalahan tersebut antara lain adalah harga jual yang masih banyak ditentukan oleh pengusaha (pedagang pengumpul). Nelayan tidak mempunyai posisi tawar untuk menentukan harga jual. Pola kemitraan yang diharapkan dapat saling menguntungkan kedua belah pihak, yaitu antara inti (pengusaha pengumpul) dan nelayan setempat sebagai plasma, belum dapat tercapai karena keuntungan besar masih dinikmati oleh pengusaha.

Dari hasil studi ini dapat diambil beberapa pembelajaran (lessons learned), diantaranya:

1. Aspek Ekonomi:

Ø Perlunya membangun transportasi laut ke Kepulauan Ayau untuk membuka keterisoliran daerah ini dengan mengoperasikan kembali pelayaran perintis yang pernah ada pada tahun 1997. Dengan dibukanya transportasi ini akan memudahkan masyarakat mendapatkan akses terhadap fasilitas sosial dan ekonomi, seperti pasar, pendidikan dan kesehatan. Di samping itu, dengan adanya pelayaran perintis akan menurunkan biaya hidup yang dirasakan cukup tinggi oleh masyarakat.

Ø Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan ataupun ketrampilan yang relevan, seperti ketrampilan penanganan paska panen (pembuatan ikan kering) Ø Mendukung dan menggalakkan budidaya rumput laut dan memberikan bantuan

pemasaran.

2. Aspek Sosial:

Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat lokal terhadap pentingnya pengelolaan dan pelestarian ekosistem terumbu karang.

Ø Peningkatan kesadaran dan partisipasi nelayan pendatang yang sering melakukan pengeboman di wilayah Kepulauan Ayau mengenai pentingnya pengelolaan dan rehabilitasi ekosistem terumbu karang.

Ø Untuk mengatasi kerusakan terumbu karang yang kemungkinan timbul akibat pencemaran racun dari akar bore yang digunakan untuk menangkap ikan napoleon oleh nelayan lokal, tidak cukup hanya dengan membuat peraturan tentang pelarangan penggunaan bahan tersebut. Pelarangan tersebut tidak akan efektif karena masyarakat tetap akan melanggar, meskipun diantara mereka ada yang telah sadar bahwa racun akar bore tersebut kemungkinan juga bisa merusak terumbu karang. Pelanggaran tersebut dilakukan karena mereka tidak mempunyai alternatif bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menangkap ikan napoleon yang tidak mempunyai efek merusak terumbu karang. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu studi laboratorium untuk mencari alternatif bahan yang aman dan tidak merusak lingkungan yang dapat dipakai untuk memudahkan menangkap ikan napoleon. Ø Dalam upaya mengatasi perdebatan mengenai akibat yang ditimbulkan oleh

penggunaan racun akar bore terhadap terumbu karang dan ekosistemnya perlu dilakukan studi yang secara cermat meneliti efek dari racun akar bore ini terhadap kerusakan terumbu karang.

(7)

5 DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA 3. Aspek Kebijakan, Hukum dan Perundang-undangan

Ø Dalam rangka membendung terjadinya degradasi sumber daya laut, khususnya terumbu karang di wilayah perairan Kepulauan Ayau yang disebabkan oleh penggunaan bahan peledak dan potas oleh nelayan luar perlu lebih meningkatkan pengawasan. Mengingat wilayah perairan Kepulauan Ayau yang cukup luas serta berhadapan dengan laut lepas maka pengawasan yang paling efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh penduduk setempat. Pengawasan yang selama ini telah dilakukan oleh nelayan setempat perlu didukung dengan memberikan fasilitas peralatan yang memadai. Peralatan yang dimiliki oleh nelayan setempat masih sangat sederhana, yaitu perahu layar atau perahu motor dengan mesin kecil. Selain pengawasan perlu pula usaha-usaha untuk meningkatkan kesadaran para nelayan dari luar yang selama ini selalu menggunakan berbagai alat tangkap yang merusak lingkungan (bom dan potas).

Ø Kegiatan pedagang pengumpul yang selama ini bertindak sebagai inti dalam pola kemitraan eksploitasi ikan napoleon dan kerapu perlu dimonitor. Pola kemitraan ini kalau berjalan dengan baik akan membantu nelayan dan saling memberikan keuntungan kepada inti dan plasma. Akan tetapi implementasi di lapangan masih ditemui berbagai permasalahan yang mengakibatkan nelayan ada di pihak yang sangat dirugikan.

(8)

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan yang memiliki 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis pantai terpanjang di dunia, kurang lebih 81.000 km dan 63 persen wilayahnya merupakan perairan, Indonesia telah menjadi pusat keanekaragaman hayati dunia. Salah satu keanekaragaman hayati tersebut adalah terumbu karang. Luas sebaran terumbu karang di Indonesia diperkirakan sekitar 75.000 kilometer persegi atau sekitar 14 persen dari sebaran terumbu karang dunia.

Telah diketahui bahwa terumbu karang memberi peranan penting secara ekologis untuk kelangsungan sumber daya lautnya dan ekosistem lainnya yang terasosiasi di dalamnya. Ekosistem terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang berada di laut dengan keanekaragaman jenis yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada ekosistem ini dijumpai bermacam -macam jenis hewan laut yang mencari makan dan hidup di ekosistem ini.

Selain hutan bakau dan padang lamun, terumbu karang juga merupakan ekosistem yang penting di daerah pesisir. Secara alami ekosistem terumbu karang melindungi pantai dari pengikisan arus laut (abrasi) dan hempasan ombak yang kuat. Dalam kondisi normal, gelombang air dan energi gelombang akan sampai ke pantai. Dengan adanya karang, gelombang tersebut akan memecah dan teredam sehingga ketika gelombang sampai ke pantai energi yang dikeluarkan semakin kecil.

Manfaat terumbu karang tidak hanya berhubungan dengan keberadaan laut tempat ekosistem tersebut tinggal, tetapi juga mempunyai fungsi lain seperti sebagai penunjang produksi perikanan, sumber makanan maupun industri. Dalam hal ini terumbu karang dapat diidentifikasikan sebagai salah satu komponen utama yang sangat penting sebagai penunjang berbagai aspek dari kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan berkelanjutan. Terumbu karang sebagai sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan manusia seperti batu karang dan pasir sebagai bahan bangunan, karang hitam sebagai perhiasan. Selain itu, karena keindahannya terumbu karang juga menjadi sumber devisa bagi negara. Saat ini wisata bahari Indones ia tengah berkembang pesat dan terumbu karang merupakan salah satu aset utamanya.

Bagaimana kondisi terumbu karang di Indonesia? Dalam sepuluh tahun terakhir ini kondisi terumbu karang Indonesia mengalami penurunan sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan karena adanya berbagai tekanan. Menurut studi yang dilakukan oleh LIPI (1995) sekitar 40 persen terumbu karang Di Indonesia ada dalam status buruk, sedangkan yang kondisinya sangat bagus tinggal 6 persen, selebihnya masuk dalam kategori sedang dan cukup.

Beberapa penyebab utama rusaknya terumbu karang tersebut lebih dikarenakan oleh ulah manusia, seperti penangkapan ikan dan biota terumbu karang lain secara terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan dan penggunaan racun dan bahan peledak untuk menangkap sumber daya terumbu karang. Selain itu, kerusakan ekosistem terumbu karang juga disebabkan oleh pembangunan di daerah pesisir yang

(9)

8

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

tak terkendali. Penebangan hutan dan tumbuhan di sepanjang bantalan sungai mengakibatkan pelumpuran di daerah terumbu karang dan akan mematikan terumbu karang.

Dalam menanggapi masalah kerusakan terumbu karang pemerintah Indonesia telah meluncurkan suatu program pengelolaan yang dinamakan COREMAP (Coral Reef Rehabilitation and Management Program) yang bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan usaha pengelolaan serta rehabilitasi terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan COREMAP pada dasarnya mengacu pada prinsip partisipasi aktif masyarakat (pengelolaan berbasis masyarakat). Sistim pengelolaan yang diharapkan adalah sistim terpadu yang perumusan dan perencanaanya dilaksanakan dengan pendekatan dari bawah berdasarkan aspirasi masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat.

Mengingat masyarakat di sekitar kawasan terumbu karang merupakan kalangan yang paling berkepentingan dalam pemanfaatannya dan kalangan ini pula yang akan menerima akibat yang timbul dari kondisi baik maupun buruknya ekosistem ini, maka salah satu kegiatan COREMAP akan difokuskan pada masyarakat lokal. Kegiatan tersebut diantaranya adalah membangun dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan peranan penting terumbu karang sebagai tempat hidup aneka binatang dan tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk dikonsumsi, bahan baku industri maupun sebagai komoditi perdagangan dunia. Selain itu, kegiatan COREMAP yang lain adalah melakukan pengembangan berbagai pendapatan alternatif sehingga tekanan terhadap ekosistem terumbu karang akan berkurang.

Dalam rangka menunjang seluruh kegiatan COREMAP, utamanya dalam merancang program dan jenis intervensi yang cocok untuk masyarakat diperlukan berbagai data berkaitan dengan potensi sumber daya laut; kondisi sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kerusakan terumbu karang, seperti teknologi yang dipakai dalam pemanfaatan (ekploitasi) sumber daya laut dan stakeholders yang terkait dengan eksploitasi tersebut. Selain itu, diperlukan pula data berkaitan dengan adanya permasalahan-permasalahan yang muncul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya laut, aspirasi masyarakat dan kendala-kendala yang dihadapi.

Propinsi Papua telah menentukan wilayah Distrik Waigeo Utara sebagai salah satu lokasi intervensi program COREMAP tahap II. Wilayah Distrik Waigeo Utara mempunyai wilayah daratan yang cukup luas yang meliputi sebagian daratan bagian utara Pulau Waigeo dan beberapa pulau yang terletak di Kepulauan Ayau. Sementara itu wilayah lautannya juga cukup luas meliputi sebagian perairan pantai Timur Pulau Waigeo dan perairan di sekitar Kepulauan Ayau yang menghadap lautan pasifik. Wilayah Kepulauan Ayau memiliki hamparan terumbu karang yang sangat luas dan berbagai biota karang serta ikan. Di perairan ini ditemukan diatas 200 jenis ikan dan sekitar 122 jenis terumbu karang. Selain itu, di kepulauan ini dijumpai pantai berpasir putih (sandy beach) yang merupakan habitat peneluran berbagai jenis penyu (Mckinnon dan Artha, 1981; Salm dan Halim 1984; Farid dan Suryadi, 2001).

Kepulauan Ayau terdiri dari em pat pulau berpenghuni yaitu Rutum, Reni, Runi dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong. Pada empat pulau yang berpenghuni tersebut terdapat empat desa, salah satunya adalah Kampung Meosbekwan yang dijadikan lokasi penelitian aspek sosial terumbu karang.

(10)

1.2. Tujuan

Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang untuk dipakai sebagai masukan-masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Data dasar tersebut dimaksudkan untuk memberikan perspektif sosial dan sosial agenda agar program COREMAP dapat berjalan secara baik untuk kelestarian terumbu karang dan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.

Secara khusus, studi ini bertujuan untuk:

1. Menggambarkan kondisi sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya di wilayah Kampung Meosbekwan termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, tehnologi yang dipakai, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya.

2. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut yang mengancam kelestarian terumbu karang maupun yang berpotensi untuk mengelola. Di samping itu, mengantisipasi potensi konflik kepentingan antar sesama stakeholders sebagai akibat adanya usaha konservasi dan pengelolaan terumbu karang.

3. Mendeskripsikan kondisi sumber daya manusia Kampung Meosbekwan dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat antara lain dari keberadaan aset rumah tangga, kondisi perumahan, pendapatan dan pengeluaran, tabungan, dan hutang.

4. Memberikan masukan –masukan pada para pengambil kebijakan dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP.

5. Memberikan masukan untuk membuat indikator- indikator yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk membandingkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat sebelum dan sesudah intervensi program COREMAP.

1.3. Metodologi

1.3.1. Pemilihan Lokasi

Walaupun penduduk Distrik Waigeo yang tinggal di daratan mempunyai akses yang cukup besar pada wilayah perairan yang kaya akan sumber daya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya serta berbagai biota yang hidup di dalamnya tetapi masyarakatnya tidak menggantungkan hidupnya pada sumber daya laut ini. Mata pencaharian penduduk yang utama adalah petani (pekebun) yang mengolah tanaman keras seperti sagu, kelapa dan berbagai tanaman sela di dalamnya. Penduduk Distrik Waigeo yang benar-benar menggantungkan hidupnya pada kekayaan sumber daya laut, termasuk didalamnya terumbu karang dan ekosistemnya adalah mereka yang tinggal di wilayah Kepulauan Ayau yang tersebar di empat pulau yaitu Pulau Reni, Rutum, Runi dan Pulau Meosbekwan.

Wilayah perairan sekitar Kepulauan Ayau merupakan wilayah perairan yang mempunyai lokasi terumbu karang yang luas. Wilayah perairan ini telah lama dijadikan

fishing ground’ oleh beberapa perusahaan penangkapan ikan karena dikenal sebagai

daerah yang kaya akan sumber daya laut, khususnya ikan-ikan karang. Hampir semua penduduk yang menempati pulau-pulau yang ada di wilayah ini sangat tergantung pada

(11)

10

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

pemanfaatan sumber daya laut. Sumber daya alam lainnya, seperti pertanian sangat kecil kontribusinya terhadap pendapatan penduduk. Semua penduduk kampung-kampung ini bekerja sebagai nelayan. Hanya ada beberapa orang mempunyai profesi tertentu seperti guru dan tenaga kesehatan.

Mengingat wilayah terumbu karang di perairan ini yang cukup luas dan perlu dilestarikan guna dimanfaatkan secara optimal oleh penduduk maka adanya program COREMAP diharapkan akan dapat memelihara kondisi terumbu karang di wilayah ini agar dapat digunakan secara lestari oleh masyarakat setempat. Dari lima kampung yang ada di Kepulauan Ayau, yaitu Kampung Rutum, Reni, Dorehkar, Yankawir dan Meosbekwan, telah dipilih tiga kampung sebagai lokasi penelitian. Kampung Meosbekwan merupakan salah satu dari tiga lokasi penelitian aspek sosial terumbu karang yang dilakukan di wilayah Kepulauan Ayau. Kampung ini merupakan satu-satunya kampung yang tidak mempunyai sumber daya alam, selain sumber daya laut. Kehidupan masyarakat kampung ini sangat tergantung sepenuhnya pada pemanfaatan sumber daya laut.

1.3.2. Pengumpulan data

Studi ini menggunakan dua pendekatan dalam mengumpulkan data. Pertama, data yang dikumpulkan melalui sensus dan survai; dan kedua data kualitatif yang diperoleh melalui berbagai tehnik pengumpulan data kualitatif seperti observasi, wawancara mendalam, fokus group discussion/ FGD (wawancara terfokus) dan kaji bersama (jisam).

Data sensus dan survai ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Data yang diperoleh melalui kuesioner terdiri dari dua kategori. Kategori pertama adalah data menyangkut keadaan rumah tangga yang meliputi karakteristik demografi anggota rumah tangga dan keadaan ekonomi rumah tangga. Data mengenai karakteristik demografi anggota rumah tangga terdiri antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan anggota rumah tangga. Sementara data tentang kondisi ekonomi rumah tangga meliputi data pendapatan, pengeluaran, tabungan dan data mengenai kepemilikan aset rumah tangga seperti alat produksi perikanan dan perumahan. Kategori ke dua merupakan data individu yang diperoleh dari salah satu anggota rumah tangga berumur 15 tahun ke atas yang dipilih secara acak. Informasi yang dikumpulkan dalam data individu ini adalah mengenai pengetahuan dan sikap responden tentang terumbu karang.

Kampung Meosbekwan merupakan kampung dengan jumlah rumah tangga yang sedikit. Pemerintah kampung belum mempunyai data tentang jumlah rumah tangga yang pasti. Informasi awal yang bisa didapat adalah bahwa jumlah rumah tangga sekitar 40. Oleh karena jumlah rumah tangga yang sangat kecil tersebut kemudian diputuskan untuk melakukan sensus seluruh rumah tangga. Dari hasil sensus tersebut berhasil dikumpulkan data dari 35 rumah tangga. Ada dua rumah tangga yang tidak berada di tempat pada saat penelitian dilakukan. Sampai penelitian ini berakhir ke dua rumah tangga tersebut belum kembali ke kampung.

Pengumpulan data sensus dibantu oleh dua tenaga lokal yang keduanya berprofesi sebagai guru. Penduduk Kampung Meosbekwan semuanya adalah Suku Biak yang mempunyai dialek yang hanya dapat dimengerti oleh penduduk lokal. Mempertimbangkan keadaan tersebut maka pemanfaatan tenaga lokal dalam

(12)

melakukan sensus ini diharapkan dapat memperlancar komunikasi dan memudahkan dalam menyampaikan pertanyaan yang ada dalam kuesioner.

Pengumpulan data kualitatif dilakukan sendiri oleh peneliti dengan menggunakan berbagai tehnik, seperti wawancara mendalam, FGD dan jisam. Wawancara mendalam dilakukan terhadap berbagai informan seperti nelayan, pedagang pengumpul, ibu-ibu nelayan, pemuka masyarakat seperti perangkat desa, guru, pendeta dan tokoh masyarakat lainnya. Sementara itu jisam dilakukan terhadap beberapa orang yang dapat mewakili berbagai kelompok seperti tokoh agama, nelayan, guru dan ibu-ibu nelayan. Wawancara mendalam, jisam dan FGD dilakukan dengan menggunakan pedoman (guide line) yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Pengumpulan data kualitatif ini dimaksudkan untuk menggali lebih dalam mengenai berbagai aspek menyangkut kondisi kehidupan masyarakat Kampung Meosbekwan dan kaitannya dengan pemanfaatan sumber daya laut, khususnya terumbu karang. Selain itu, data kualitatif ini juga untuk melengkapi dan menggali lebih dalam lagi berbagai informasi yang telah didapatkan melalui survai.

Dalam melakukan pengumpulan data, baik data kualitatitatif maupun kuantitatif (survai) tidak ditemui kendala yang cukup berarti. Luas Kampung Meosbekwan hanya sekitar 1,2 hektar dengan jumlah rumah tangga sekitar 38 memudahkan pewawancara untuk melakukan tugasnya mendatangi rumah-rumah responden. Di samping itu, karena masyarakat di kampung ini merupakan komunitas kecil di area yang juga sangat kecil maka hampir semua penduduk mengenal satu dengan yang lain. Sebelum wawancara terhadap rumah tangga yang akan disensus dimulai, perangkat kampung terlebih dahulu menyebarluaskan informasi tentang kedatangan tim peneliti dan maksud diadakannya penelitian melalui ‘microphone’ gereja. Dengan disebarluaskannya informasi tersebut maka setiap rumah tangga telah mengetahui bahwa rumahnya akan didatangi oleh guru yang akan membantu melakukan wawancara. Penyebarluasan informas i tersebut sangat membantu jalannya wawancara. Setiap warga yang didatangi telah siap dan tidak ada kecurigaan tentang maksud kedatangan pewawancara.

Wawancara umumnya dilakukan pada malam hari, karena pada siang hari para laki-laki dewasa warga pergi melaut dan warga perempuan dewasa mengerjakan pekerjaan di area budidaya rumput yang dimiliki oleh setiap rumah tangga. Dalam melakukan wawancara, pewawancara terpaksa membawa lampu petromak untuk lampu penerangan. Hal tersebut dikarenakan kampung ini belum ada penerangan listrik, untuk penerangan warga menggunakan lampu minyak tanah. Dengan hanya menggunakan lampu minyak agak sulit untuk menuliskan jawaban-jawaban pada lembar kuesioner.

1.3.3. Analisa data

Data yang diperoleh melalui kuesioner dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan tabulasi silang untuk melihat hubungan antara variabel-variabel yang diteliti. Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara mendalam, FGD dan Jisam dianalisa dengan tehnik content analysis. Dari berbagai informasi yang diperoleh dari informan dideskripsikan sesuai dengan isu yang ada dan digunakan untuk menjelaskan dan memberikan nuansa pada temuan-temuan yang penting.

(13)

12

Studi Kasus : Kampung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

1.4. Organisasi Penulisan

Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menerangkan latar belakang diadakannya studi, tujuan dan metodologi yang dipakai dalam penelitian. Gambaran tentang profil lokasi penelitian disajikan pada Bab II. Bab ini antara lain menguraikan tentang keadaan geografis, kondisi sumber daya alam, kondisi kependudukan, pendidikan dan mata pencaharian penduduk serta sarana dan prasarana sosial yang tersedia di desa.

Bab III dari buku ini berisi uraian mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber daya laut yang dilakukan oleh mas yarakat sekitar dan berbagai pihak yang terkait di dalamnya. Di dalam bab ini akan dikupas tentang pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pengelolaan sumber daya laut, termasuk didalamnya pengetahuan tentang wilayah pengelolaan dan teknologinya. Uraian mengenai berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistemnya yang ada di lokasi penelitian juga disajikan dalam bab ini.

Besarnya produksi sumber daya laut dan rantai pemasaran serta pihak-pihak yang terkait dengan pemasaran akan disajikan pada Bab IV. Sementara itu Bab V akan secara khusus mendiskripsikan potret tingkat kesejahteraan masyarakat. Aspek yang akan dilihat dalam rangka memotret tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain adalah pendapatan, pengeluaran, tabungan dan pemilikan aset rumah tangga.

Bab VI dari buku ini akan mengupas masalah degradasi sumber daya laut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Uraian mengenai bagaimana kondisi sumber daya laut yang ada di lokasi penelitian akan disajikan pada bagian pertama dari Bab ini. Bagian selanjutnya akan berisi uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya degradasi sumber daya laut. Faktor-faktor tersebut akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor internal dan eksternal. Buku ini ditutup dengan diskusi dan kesimpulan yang akan disajikan pada Bab VII.

(14)

Bab II

Profil Kampung Meosbekwan

2.1. Keadaan Geografis

Kepulauan Ayau merupakan bagian dari gugusan Kepulauan Raja Ampat yang secara adminstrasi masuk dalam wilayah Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong. Kepulauan ini terletak di Samodra Pasifik dan terdiri dari empat pulau yang berpenghuni yaitu pulau Runi, Rutum, Reni dan Meosbekwan dan beberapa pulau kosong, antara lain: Meos Mandum, Kanober, Abidon, Meos Ros, Kafot, Pulau Dua, Padarnker, Abris dan Pulau Tukan. Secara administratif ke empat pulau yang berpenghuni tersebut terbagi dalam empat kampung yaitu kampung Rutum, Reni, Yankawir, Dorehkar dan Kampung Meosbekwan. Nama Kampung Meosbekwan dalam bahasa lokal mempunyai arti pulau panjang (Meos: pulau; Bekwan: panjang). Pulau ini panjangnya sekitar 1200 meter dengan lebar hanya sekitar 100 meter (Lihat Peta 1).

Topografi pulau ini datar dengan pantai yang berpasir putih. Jenis tanahnya berpasir dan tumbuhan yang bisa hidup hanya pohon kelapa, sukun dan beberapa pohon perindang lainnya. Dengan kondisi pulau yang sangat landai dan tidak ada karang penghalang yang bisa menahan badai maka pulau ini relatif beresiko tinggi apabila terjadi tsunami. Bentuk pantai yang sangat landai dan sedikitnya pohon penghalang juga menyebabkan pantai Timur pulau ini yang menghadap langsung dengan Samodra Pasifik mudah terkikis.Tanda-tanda abrasi laut sudah mulai terlihat di sepanjang pantai Timur ini.

Pulau Meosbekwan pada khususnya dan Kepulauan Ayau pada umumnya terletak di garis khatulistiwa sehingga daerah ini merupakan daerah tropis dengan suhu udara yang sangat panas dengan curah hujan jang cukup tinggi. Iklim daerah ini dipengaruhi oleh angin Barat (dalam bahasa lokal Wamres) yang terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Maret. Pada bulan Oktober sampai dengan Maret ombak besar, disertai dengan hujan badai. Angin kencang dan ombak besar akan mencapai puncaknya pada bulan Desember sampai dengan Januari. Sementara angin selatan

(Wambraw) terjadi pada bulan Agustus selama satu bulan. Angin Timur (Wamrem) yang

cukup kencang bertiup pada bulan April sampai dengan Juni. Pada bulan-bulan ini hasil ikan akan sedikit karena nelayan jarang melaut. Demikian pula pada musim utara (Wamsios) hasil ikan juga tidak banyak karena angin bertiup kencang. Musim ikan, khususnya ikan kerapu terjadi bulan September dan Februari, dimana pada bulan ini bertiup angin Barat Laut (Wam Barek).

(15)

14 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua P. Ros P. Tukan P. Meosbekwan P. Abidon P. Rutum P. Reni P. Apop P. Kafot P. Padarnker P. Meosmandum P. Abris P. Dorekhar Samudera Pasifik P. Dua Peta 1

KEPULAUAN AYAU

(16)

2.2. Kondisi Sumber Daya Alam

Luas Kampung Meosbekwan hanya sekitar 120.000 meter persegi atau sekitar 1,2 hektar. Dengan kondisi tanah berpasir maka tidak ada potensi sumber daya alam lain selain sumber daya laut yang bisa dikembangkan di kampung ini. Tumbuhan produktif yang bisa berkembang baik hanya pohon kelapa dan sukun. Hasil dari tanaman kelapa dan sukun umumnya hanya dikonsumsi oleh penduduk setempat, tidak pernah dipasarkan ke luar kampung (kota distrik atau ke kota kabupaten). Sulitnya transportasi yang menyebabkan penduduk tidak memasarkan kelapa dan sukun ke Sorong. Perjalanan dari pulau ini ke Sorong memerlukan waktu perjalanan sekitar delapan sampai sembilan jam. Di samping itu, secara ekonomis tidak menguntungkan karena harganya murah sedangkan ongkos angkut ke kota relatif mahal.

Tidak adanya sumber daya alam selain sumber daya laut yang bisa dikembangkan maka untuk keperluan kebutuhan primer, khususnya bahan pangan seperti sagu dan beras harus didatangkan dari pulau besar (Pulau Waigeo) atau dari daratan pulau Irian (Sorong). Beberapa keluarga yang tinggal di kampung ini mempunyai kebun sagu di pulau besar (Pulau Waigeo). Pada musim tertentu mereka tinggal beberapa hari di Waigeo Utara untuk menokok sagu (membuat sagu) sampai berminggu-minggu.

Hampir semua jenis ikan karang dan udang batu (lobster) termasuk dalam potensi sumber daya laut yang ada di daerah ini. Daerah ini kaya akan jenis ikan karang, khususnya jenis ikan kerapu (indaf) dan napoleon (in maming) dan ikan kakap. Jenis sumber daya laut selain ikan karang antara lain adalah ikan samandar (baronang), ikan pari dan ikan ekor kuning yang merupakan jenis -jenis ikan permukaan. Selain jenis ikan karang, potensi sumber daya laut lainnya yang berpotensi untuk lebih dikembangkan adalah rumput laut. Rumput laut mulai dibudidayakan di kampung ini pada tahun 1999. Hampir semua rumah tangga di kampung ini mengusahakan budidaya rumput laut. Setiap rumah tangga rata-rata mempunyai 10 tali dengan panjang tali sekitar 40 meter. Produksi rumput laut kering di kampung ini sekitar satu ton per bulan dan dipasarkan ke Sorong setiap bulannya.

Sumber air bersih adalah sumur gali dengan kedalaman antara 3-5 meter. Meskipun merupakan daerah pesisir, air tanah tidak terasa asin, mengindikasikan tidak adanya intrusi air laut. Hampir setiap rumah tangga di kampung ini mempunyai sumur sebagai sumber air bersih untuk memasak, cuci dan mandi.

2.3. Kependudukan

Jumlah dan komposisi penduduk

Berdasarkan data sensus penduduk Kampung Meosbekwan, dari 35 rumah tangga yang terdiri dari 176 orang tampak dengan jelas adanya kecenderungan bahwa persentase penduduk semakin kecil pada usia yang semakin tua, meskipun terjadi distorsi pada kelompok usia 35-39 dan 45-49 tahun (Tabel 2.1). Keadaan ini mengindikasikan bahwa penduduk di Kampung Meosbekwan termasuk pada kelompok struktur muda. Penduduk pada usia produktif utama (30-44 tahun) hanya sekitar seperlima dari jumlah anggota rumah tangga yang terkena sampel. Mereka yang berada pada kelompok usia sekolah, khususnya usia wajib belajar 9 tahun (7-15 tahun) sebanyak 24,4 persen. Proporsi yang cukup tinggi (bahkan merupakan angka tertinggi menurut kelompok umur) juga ditunjukkan oleh mereka pada usia balita, yaitu hampir mencapai seperlima dari jumlah responden. Keadaan ini mengindikasikan bahwa angka

(17)

16 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

kelahiran masih cukup tinggi. Perkiraan ini juga didukung oleh data mengenai rata-rata jumlah anggota rumah tangga yang mencapai 5,1 orang per rumah tangga, atau melebihi anjuran program keluarga berencana yang hanya 4 orang per keluarga.

Angka beban ketergantungan yang merupakan jumlah anak-anak (0-14 tahun) dan penduduk usia tua (65 tahun+) menunjukkan angka yang tinggi (63,0 persen). Angka ini menggambarkan beban penduduk usia produktif masih sangat berat, karena setiap 100 orang dewasa harus menanggung sebsanyak 63 anak-anak dan orang tua.

Tabel 2.1:

Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan, 2001

Kelompok umur

Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan

0–4 16,9 9,2 13,1 5–9 12,4 14,9 13,6 10-14 14,6 9,2 11,9 15-19 10,1 14,9 12,5 20-24 9,0 13,8 11,4 25-29 9,0 9,2 6,3 30-34 5,6 6,9 6,3 35-39 5,6 12,6 9,1 40-44 6,7 1,1 4,0 45-49 5,6 6,9 6,3 50+ 4,5 1,1 2,8 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 89 87 176

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001

Rasio jenis kelamin adalah 102,3 yang berarti terdapat 102 laki-laki setiap 100 perempuan. Secara umum tidak terdapat perbedaan mencolok antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan cukup besar antara laki-laki dan perempuan terlihat pada kelompok umur 0-4 tahun, dimana persentase laki-laki hampir mencapai dua kali lipat dari angka untuk perempuan. Walaupun proporsinya kecil, penduduk laki-laki pada kelompok usia 50 + jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan. Suatu kondisi yang jarang terjadi, karena dalam demografi, dikenal secara umum bahwa pada saat usia tua, jumlah perempuan umumnya lebih tinggi daripada laki-laki.

Perbandingan penduduk laki-laki dan perempuan pada usia sekolah menunjukkan bahwa persentase penduduk perempuan pada usia sekolah pendidikan dasar lebih tinggi daripada laki-laki. Data menunjukkan, proporsi penduduk laki-laki usia sekolah SD (7-12 tahun) sebesar 72,0 persen, lebih rendah dari pada proporsi perempuan (83,3 persen). Keadaan sebaliknya terjadi pada kelompok usia lanjutan pertama (13-15 tahun), yaitu persentase perempuan lebih rendah (18,7 persen) daripada laki-laki (28 persen). Tingginya proporsi perempuan pada usia sekolah SD, pada kenyataannya juga diikuti dengan tingginya persentase anak perempuan usia sekolah yang sedang mengikuti pendidikan formal (lihat Tabel 2.2.).

Dari hasil survei juga diketahui komposisi penduduk menurut besar anggota rumah tangga. Rata-rata anggota rumah tangga masih termasuk besar, yaitu 5,1 orang per rumah tangga, sebagaimana dikemukakan di atas. Kebanyakan penduduk memiliki

(18)

anggota rumah tangga antara 4-5 orang (45,8 persen). Jumlah anggota rumah tangga terendah adalah dua orang, sedang yang tertinggi delapan orang. Proporsi rumah tangga dengan jumlah ART delapan orang mencapai 14,3 persen. Keadaan ini menggambarkan bahwa rumah tangga Di Kampung Meosbekwan masih tergolong pada keluarga besar. Sebagai daerah pesisir dengan tumpuan kehidupan sebagai nelayan, kebutuhan tenaga kerja keluarga mungkin menjadi salah satu faktor penyebab untuk memiliki keluarga besar.

Pendidikan

Informasi/data tentang pendidikan penduduk merupakan salah satu data/informasi dasar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan intervensi program. Data pendidikan yang diuraikan dalam bagian ini adalah tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Pendidikan dapat dipakai untuk mengukur tingkat pengetahuan masyarakat/penduduk di suatu daerah. Telah diketahui secara umum bahwa kondisi pendidikan di daerah-daerah yang belum berkembang pada umumnya masih belum baik. Keadaan sama juga ditemui di daerah penelitian, yaitu misalnya ditunjukkan oleh hasil survei dimana mayoritas penduduk yang tercakup dalam sampel hanya berpendidikan SD kebawah, dan hanya sekitar 8 persen yang memiliki pendidikan tamat sekolah lanjutan (Tabel 2.2.).

Tabel 2.2.

Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan 2001

Tingkat pendidikan Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan

Tdk. Sekolah 4,1 2,64 3,3 Tdk. Tamat SD 34,2 6,8 40,7 SD 47,9 48,1 48,0 SLTP 6,8 1,3 4,0 SLTA+ 6,8 1,3 4,0 Jumlah 100,0 100,0 100,0 N 73 77 150

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001

Dilihat tingkat pendidikan penduduk menurut jenis kelamin, tampak adanya kesenjangan dalam pencapaian pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun proporsinya kecil, tampak pada Tabel 2.2 bahwa penduduk laki-laki memiliki pendidikan lebih tinggi daripada perempuan. Pada tingkat pendidikan lanjutan (SLTP dan SLTA), proporsi laki-laki mencapai kira-kira lima kali lipat dibandingkan dengan proporsi perempuan. Sebaliknya, pada tingkat pendidikan tidak/belum tamat SD, proporsi perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pada tingkat pendidikan belum/tidak sekolah, proporsi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Termasuk penduduk dengan tingkat pendidikan tidak/belum tamat SD adalah mereka yang pada saat ini masih sekolah.

(19)

18 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

Tabel 2.3

Penduduk Berstatus Sekolah Berdasarkan Usia Sekolah dan Jenis Kelamin, Kampung Meosbekwan, 2001

Usia sekolah Laki-laki Perempuan Laki+Perempuan

7-12 72,7 73.7 73,2

13-15 18,2 15,8 17,1

16-18 9,1 10,5 9,7

Jumlah 100,0 100,0 100,0

N 22 19 41

Sumber: Survei Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang, COREMAP-LIPI, 2001 Tabulasi silang antara umur dan status kegiatan ekonomi menunjukkan bahwa diantara penduduk yang pada saat survei memiliki kegiatan sekolah (41 orang atau 32,7 persen dari seluruh penduduk), sebanyak 73,2 persen masih berada pada tingkat pendidikan sekolah dasar (Tabel 2.3). Semakin tinggi jenjang pendidikan, persentase penduduk semakin menurun. Tidak terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecuali mereka pada usia pendidikan lanjutan pertama, dimana persentase penduduk laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Keadaan ini mungkin dapat menggambarkan bahwa tidak terjadi kesenjangan partisipasi sekolah antara anak laki-laki dan perempuan.

Pencapaian tingkat pendidikan dan partisipasi sekolah yang masih rendah tersebut tampaknya dipengaruhi oleh faktor keterbatasan fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan yang ada di kampung Meosbekwan hanya sampai tingkat SD. Sedangkan sekolah untuk tingkat SLTP ada di kampung Dorehkar yang baru dibuka pada tahun 1998. Sebelum tahun 1998, untuk melanjutkan pendidikan sampai tingkat SLTP harus ke Kabare (Ibukota Distrik) atau ke Sorong.

Di samping itu, penduduk yang telah berhasil menc apai pendidikan tingkat SLTA keatas umumnya sudah keluar menetap di luar kampung. Mereka tersebar di kota Distrik, kabupaten bahkan di berbagai kota besar di Indonesia Timur. Seorang informan mengatakan sedikitnya telah ada tiga sarjana yang berasal dari kampung ini yang sekarang bekerja sebagai dosen di Manado. Sementara yang bekerja di Kota Sorong cukup banyak dan mereka ini tetap membantu penduduk kampung dalam hal peningkatan pendidikan penduduk. Mereka yang telah berhasil mencapai pendidikan tinggi dan bekerja di Sorong umumnya bersedia menampung anak-anak dari kampung Meosbekwan yang sedang menempuh pendidikan di tingkat SLTP atau SLTA.

Dari wawancara mendalam dengan beberapa informan dapat diketahui bahwa motivasi orang tua untuk melanjutkan pendidikan anak-anaknya cukup besar. Meskipun fasilitas pendidikan sangat minim, tetapi motivasi untuk meningkatkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi cukup besar. Orang tua umumnya mengirim anak-anak mereka ke Kota Sorong untuk menempuh pendidikan lebih tinggi. Di kota Sorong mereka tinggal dengan famili atau kerabat dengan cuma-cuma dan orang tua cukup mengirim biaya sekolah dan ongkos untuk membeli peralatan sekolah. Untuk biaya makan dan keperluan sehari-hari mereka ditanggung oleh keluarga yang menampungnya. Sampai sekarang ini sudah banyak sarjana yang umumnya bekerja di berbagai kota besar di Indonesia Timur yang berasal dari Kampung Meosbekwan.

Selain pendidikan formal, ada berbagai jenis ketrampilan yang telah diperkenalkan kepada masyarakat kampung ini, diantaranya adalah ketrampilan membudidayakan rumput laut. Ketrampilan ini pada awalnya diperkenalkan oleh sebuah

(20)

perusahaan CV Paksina pada tahun 1999. Perusahaan ini memperkenalkan budidaya rumput laut di seluruh kepulauan Ayau yang meliputi kampung Meosbekwan, Yankawir, Dorehkhar, Rutum dan Reni. Pihak perusahaan menyediakan bibit dan tali secara cuma-cuma tetapi penduduk diharuskan menjual hasil panennya ke perusahaan tersebut selama dua tahun berturut-turut. Pengenalan budidaya rumput laut ini diikuti pula dengan pengenalan ketrampilan membuat kue dan minuman yang bahan bakunya dari rumput laut. Ketrampilan yang sampai sekarang masih dikembangkan oleh penduduk adalah ketrampilan menanam rumput laut, sedangkan ketrampilan membuat kue dan minuman jarang dipraktekkan oleh masyarakat karena sulitnya pemasaran, sementara untuk penduduk lokal kurang ada permintaan. Kursus ketrampilan budidaya rumput laut ini kemudian dilanjutkan lagi oleh Fakultas Perikanan Universitas Manokwari pada tahun 1999.

Agama

Semua penduduk Kampung Meosbekwan memeluk agama Kristen Protestan. Agama Kristen masuk ke kampung ini pada tahun 1934 yang diperkenalkan oleh seorang pendeta bernama Mirino. Gereja pertama dibangun pada tahun 1945 yang kemudian terus direnovasi. Gereja yang ada sekarang merupakan bangunan baru yang dibangun secara gotong royong oleh penduduk. Untuk keperluan pembiayaan pembangunan gereja tersebut penduduk menerapkan sasi gereja untuk hasil laut berupa lola. Hasil penjualan lola tersebut dikumpulkan dan dipakai untuk membeli bahan bangunan, sedangkan tenaga pembangunannya dilakukan sendiri oleh penduduk secara bergotong royong.

Mata Pencaharian

Informasi tentang mata pencaharian penduduk merupakan asupan penting terhadap intervensi program yang berkaitan dengan income generating. Temuan penelitian memperlihatkan bahwa sub sektor perikanan merupakan sektor andalan bagi penduduk di Kampung Meosbekwan. Sumber daya laut merupakan sumber mata pencaharian pokok bagi mayoritas penduduk. Sensus rumah tangga menemukan, hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan. Dari 93 anggota rumah tangga yang bekerja, sebesar 95,7 persen bekerja dengan status sebagai nelayan keluarga, selebihnya bekerja sebagai pegawai negeri yang terdiri dari tiga orang guru dan seorang tenaga perawat.

Pekerjaan nelayan di Kampung Meosbekwan umumnya dalam skala usaha keluarga. Kegiatan memancing ikan yang dalam istilah lokal ‘mencari’ umumnya dilakukan sendiri oleh kepala keluarga atau anggota rumah tangga laki-laki yang telah remaja dan dewasa. Sementara itu, aktifitas berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut lainnya adalah usaha budidaya rumput laut yang juga hanya melibatkan anggota rumah tangga. Pekerjaan nelayan ini tidak tergantung musim, artinya walupun musim ombak mereka tetap ‘mencari’, walaupun hasil perolehannya kadang-kadang hanya untuk konsumsi sendiri. Sementara itu, usaha budidaya rumput laut, tidak mengenal musim dan bisa diusahakan sepanjang tahun.

Pekerjaan sebagai nelayan bukan hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga perempuan. Diantara penduduk dengan mata pencaharian sebagai nelayan, persentase penduduk perempuan sedikit lebih tinggi (51,7 persen) dibandingkan laki-laki (48,3 persen). Terdapat pembagian kerja yang jelas antara laki-laki dan perempuan dalam

(21)

20 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

mengeks ploitasi jenis sumber daya laut. Para perempuan umumnya ‘mencari’ jenis-jenis SDL seperti gurita, cacing laut dan lola, sementara itu penangkapan jenis sumberdaya laut lain seperti ikan dan lobster dilakukan oleh laki-laki. Dibandingkan dengan jenis sumber daya laut lainnya, penangkapan gurita, cacing laut dan lola relatif kurang memerlukan tenaga yang besar karena SDL tersebut tingkat mobilitasnya rendah, tidak sebagaimana layaknya ikan. Di samping itu, daerah tangkapan gurita, cacing laut dan lola umumnya diperairan dekat pantai. Menangkap cacing laut dan lola dilakukan pada saat air surut (meti). Di samping ‘mencari’ gurita, cacing laut dan lola, perempuan juga bekerja sebagai pengelola utama budidaya rumput laut. Usaha budidaya rumput laut ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab perempuan, anggota keluarga lainnya seperti, suami dan anak sifatnya hanya membantu.

Dikaitkan dengan status dalam keluarga juga menunjukkan bahwa persentase tertinggi dari pekerjaan sebagai nelayan keluarga adalah mereka yang berstatus sebagai isteri (36,0 persen), sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penduduk berstatus kepala rumah tangga (34,8 persen). Selebihnya adalah mereka dengan status anak menantu (22,5 persen) dan hanya 6,7 persen yang merupakan keluarga lain. Keadaan ini menggambarkan bahwa pekerjaan nelayan pada umumnya dilakukan oleh keluarga sendiri. Hal ini juga terlihat dari data mengenai rata-rata anggota rumah tangga yang bekerja, yaitu sebesar 2,6 orang per rumah tangga.

Data sama memperlihatkan, kebanyakan rumah tangga memiliki anggota rumah tangga yang bekerja sebanyak 2 orang (57,1 persen), sedang yang memiliki ART bekerja 3 orang kira-kira mencapai seperlima dari keseluruhan rumah tangga (35 rumah tangga). Hanya 5,7 persen rumah tangga yang hanya mempunyai satu ART yang bekerja. Angka hampir sama ditunjukkan oleh rumah tangga yang memiliki ART bekerja 5 orang (5,7 persen). Sisanya adalah mereka yang memiliki ART bekerja 4 orang (8,6 persen) dan 6 orang (2,9 persen yang merupakan proporsi terendah). Temuan ini merefleksikan bahwa pekerja keluarga berperan besar dalam pekerjaan nelayan di daerah penelitian yang masih termasuk pada kategori nelayan tradisional.

Kesehatan

Sekitar akhir tahun 1980an sampai dengan pertengahan tahun 1990an penyakit lepra pernah berjangkit di kampung ini. Untuk mengatasinya pihak dinas kesehatan menempatkan seorang mantri khusus lepra yang sampai sekarang masih bertugas di kampung ini walaupun sudah tidak ada warga yang mengidap penyakit lepra. Penyakit lain yang umum diderita oleh penduduk, seperti halnya penduduk Papua pada umumnya adalah penyakit malaria. Di samping itu, penyakit Ispa (saluran pernapasan atas) dan penyakit yang berhubungan dengan pencernaan makanan juga sering diderita oleh penduduk. Menurut informasi dari petugas kesehatan kasus-kasus sakit telinga karena menyelam juga relatif besar. Meskipun kasusnya cukup besar tetapi oleh penduduk dianggap hal yang biasa dan dianggap sebagai resiko orang bekerja.

Mengenai pola makan, dari pengamatan dan wawancara mendalam diketahui bahwa penduduk cukup mengkonsumsi ikan segar. Hal ini tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan nelayan di daerah lain yang cenderung mengkonsumsi ikan dengan kualitas yang kurang baik karena kualitas yang baik dijual. Penduduk kampung ini umumnya mengkonsumsi ikan segar yang berkualitas. Ikan tersebut umumnya dimasak kuah atau dibakar. Jenis ikan yang dikonsumsi adalah ikan-ikan karang seperti baronang, ikan ekor kuning, ikan pari. Penduduk jarang yang mengkonsumsi ikan asin atau ikan-ikan yang kurang baik kualitasnya. Hal tersebut dikarenakan jenis ikan yang

(22)

laku dan dijual oleh para nelayan adalah hanya ikan napoleon dan ikan karapu. Seluruh hasil tangkapan di luar ikan Napoleon dan Kerapu, dikonsumsi atau dibagi-bagikan pada tetangga.

Konsumsi ikan di kalangan penduduk cukup tinggi, hampir setiap kali makan memakai ikan, bahkan jumlah ikannya dapat dikatakan lebih banyak dari sagu atau nasinya. Karena komunitas mereka cukup kecil rasa gotong royong diantara mereka cukup tinggi. Apabila ada keluarga nelayan yang berhalangan (baik karena sakit atau ada keperluan sehingga mereka tidak bisa mendapatkan ikan tetanggaya akan memberi sekedar untuk makan. Bagi keluarga yang kepala keluarganya bukan nelayan, seperti guru dan petugas kesehatan akan mendapat ikan secara cuma-cuma dari penduduk yang secara bergantian memberinya. Ikan yang dikonsumsi adalah segala jenis ikan karang dan ikan permukaan lainnya, kecuali ikan napoleon yang harganya cukup mahal. Sebelum penduduk mengetahui bahwa harga ikan napoleon mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi penduduk juga terbiasa mengkonsumsinya sebagaimana halnya ikan-ikan lainnya. Sekitar tahaun 1994-1995, penduduk mengetahui bahwa harga ikan tersebut mahal dan banyak permintaan dari pengusaha yang menampung hasil tangkapan. Oleh karena itu, penduduk tidak mengkonsumsinya lagi dan mulai menjualnya pada penampung yang sudah mulai beroperasi di wilayah Kepulauan Ayau pada tahun 1995.

Penduduk jarang mengkonsumsi sayur karena sayuran tidak bisa tumbuh di kampung ini. Penduduk baru bisa menikmati sayur apabila mereka pergi ke pulau Runi (ke Kampung Dorehkhar atau Yan Kawir) meminta sayuran kepada kerabat atau famili yang tinggal di kampung tersebut.

Mobilitas Penduduk

Semua penduduk kampung Meosbekwan adalah Suku Biak dari marga Burdam yang berasal dari Biak Numfor. Nenek moyang mereka telah bermigrasi dari Biak Numfor ke Kepulauan Raja Ampat sejak kira-kira pertengahan abad 19. Menurut tradisi suku Biak perjalanan jauh merupakan prestasi sosial dan prestise tersendiri. Budaya mengarungi samudera luas adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekosistensi kehidupan mereka. Hal ini tercermin dari ungkapan mereka ‘favis ia fa sinan inggo

besya si babores we sub bondi in sa indo sna snonsnon ro kabasa si do’ yang

terjemahan bebasnya berarti pada masa silam orang-orang tua kami senantiasa melakukan perjalanan nun jauh ke seberang lautan supaya mereka memperoleh pengakuan status sosial yang tinggi dan penghargaan di kalangan orang banyak (Mambraku, 1996).

Migrasi orang Biak ke Kepulauan Raja Ampat umumnya dilakukan untuk mencari penghidupan baru. Karena kehidupan mereka di tempat asal berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut maka di tempat yang baru aktifitas penghidupan yang dipilih juga berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut. Oleh karena itu umumnya mereka memilih tempat di pulau – pulau kecil atau di daratan Pulau Waigeo dan tinggal di daerah pantai.

Migrasi orang Biak Ke Kepulauan Raja Ampat dilakukan secara bergelombang. Paling sedikit ada empat gelombang dimana masing-masing gelombang terdiri dari kelompok marga yang berbeda-beda. Gelombang pertama adalah kelompok yang datang ke Kepulauan Raja Ampat dan bermukim di bagian Selatan daerah Waigeo. Mereka ini umumnya dari marga Mambrasar, Dimara, Mambraku, Suyai, Rumwaropen. Kelompok pertama ini dikenal dengan kelompok ‘Betew’. Gelombang ke dua, masuk ke

(23)

22 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

Kepulauan Raja Ampat melalui ujung timur Waigeo, kemudian menyeberang ke selatan dan menetap di pulau Batanta. Marga yang datang pada gelombang ke dua ini diantaranya adalah Dimora, Soor, Rumbewas, Kapisa, Saleo dan Kabes dan kemudian oleh orang Biak dikenal sebagai ‘Kafdarun’.

Kelompok ‘Wardo’ dan ‘Usba’ adalah kelompok yang datang pada gelombang ke tiga. Kelompok ‘Wardo’ bermukim di daratan utara pulau Waigeo, seperti di daerah Puper, Bonni, Asokweri, Rauki dan Kapadiri. Sementara itu, kelompok ‘Usba’ mendiami pulau-pulau di Waigeo Utara, termasuk diantaranya di Kepulauan Ayau yang bermukim di Meosbekwan, Dorekhar, Yenkawir, Rutum dan Reni. Marga yang bermukim disini antara lain Mayor, Paraibo, Sanadi, Umpes, Mambrisau, Rumbewas, Wanma dan Burdam yang bermukim di Meosbekwan.

Marga Burdam yang sekarang masih tinggal di kampung ini merupakan generasi ke empat dari nenek moyang mereka. Keret Burdam yang tinggal di Meosbekwan terdiri dari lima sub marga yaitu Burdam Sanumbu atau Warwe, Marau, Wakre dan Aom. Sub marga Sanumbu atau Warwe adalah merupakan kelompok pertama yang datang ke Meosbekwan yang kemudian disusul berturut-turut oleh Marau, Wakre dan Aom.

Kelompok yang datang dari daerah Samber dan Numfor datang pada gelombang ke empat dan bermukim di di daerah Salawati dan Pulau Batanta bagian Utara. Kelompok yang bermukim di Salawati berasal dari daerah Samber sehingga dikenal sebagai ‘Samber’. Marga yang masuk dalam kelompok ini antara lain adalah Bukorpioper, Mampioper, Sanadi, Mambrasar, Mabraku, Rumaseb dan Wospakrik. Sementara yang menetap di daerah Salawati dikenal sebagai kelompok “Numfor Doreh’. Meskipun semua orang Biak yang sekarang menetap di Kepulauan Raja Ampat merupakan pendatang yang bermigrasi secara bergelombang mereka memperoleh legitimasi dan pengakuan untuk hidup berdampingan dengan kolektifitas etnis asli. Bahkan bahasa Biak telah menjadi bahasa komunikasi (lingua franka) antara orang Biak dan etnis asli. Mereka juga menganggap dirinya sebagai orang lokal bukan pendatang (Mambraku, 1996).

Penduduk Meosbekwan yang telah berpendidikan umumnya telah bermigrasi ke luar kampung. Keterbatasan lapangan pekerjaan membuat mereka harus pergi meninggalkan kampung guna mencari penghidupan. Penduduk yang sekarang tinggal umumnya adalah para orang tua dan anak-anak usia sekolah SD serta balita.

2.4. Sarana dan prasarana sosial dan ekonomi

Jarak Kampung Meosbekwan dengan ibukota Distrik Waigeo Utara (Kabare) dapat ditempuh sekitar tiga sampai empat jam menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK. Sementara itu jarak kampung ini dengan ibukota Kabupaten Sorong sekitar 130 mil laut dan memerlukan waktu sekitar delapan sampai dengan sembilan jam perjalanan dengan menggunakan kapal motor berkekuatan 40 PK.

Sarana transportasi dari kampung ke ibukota distrik maupun ke ibukota kabupaten sangat minim. Pada saat ini tidak ada angkutan laut yang secara reguler melayani penduduk untuk pergi ke ibukota distrik maupun ibukota kabupaten. Karena kelangkaan sarana transportasi tersebut penduduk secara turun temurun mengusahakan kapal angkutan secara bersama-sama. Sejak jaman nenek moyang, penduduk telah mempunyai kebiasaan gotong royong mengusahakan kapal angkutan untuk seluruh warga kampung. Kapal tersebut digunakan untuk transportasi ke ibukota distrik atau kabupaten dalam rangka menjual hasil laut maupun belanja kebutuhan

(24)

sehari-hari seperti beras dan sagu. Sebelum bisa mengusahakan kapal motor, penduduk menggunakan kapal layar untuk pergi ke ibukota distrik dan kabupaten. Dengan menggunakan kapal layar untuk pergi ke Kabare memerlukan waktu sedikitnya satu hari, sedangkan untuk ke Sorong memerlukan waktu paling sedikit sehari semalam. Pada tahun 1984 penduduk mulai dapat mengusahakan kapal motor secara bersama-sama. Sejak saat itu penduduk menggunakan kapal motor untuk transportasi ke ibukota distrik maupun ibukota kabupaten.

Antara tahun 1990 sampai dengan 1999 ada kapal perintis yang dimiliki oleh perusahaan swasta yang sempat beroperasi melayani pengangkutan penumpang dan barang ke Sorong. Pada saat itu masyarakat kampung merasa sangat terbantu dengan beroperasinya kapal perintis tersebut, meskipun pelayaran hanya diadakan dua kali dalam satu bulan. Dengan beroperasinya kapal perintis tersebut penduduk bisa menjual hasil laut secara rutin ke Sorong dengan ongkos yang relatif lebih murah. Ongkos untuk sekali jalan ke Sorong hanya dikenakan biaya sebesar Rp 7.000. Setelah kapal perintis tersebut tidak beroperasi lagi penduduk kembali lagi secara bergotong royong mengusahakan kapal yang dapat memuat sekitar 20 orang dan 3 ton barang dengan mesin 40 PK. Paling sedikit sebulan sekali kapal tersebut digunakan oleh penduduk pergi ke Sorong baik untuk belanja maupun menjual hasil laut seperti ikan asin dan rumput laut. Sekali jalan tiap penumpang dibebani ongkos sebesar Rp 50.000 untuk mengganti ongkos bahan bakar dan perbaikan kapal.

Di Kepulauan Ayau pada umumnya dan Kampung Meosbekwan pada khususnya sampai saat ini belum tersedia fasilitas ekonomi seperti pasar atau tempat pelelangan ikan. Penduduk harus pergi ke ibukota distrik atau ibukota kabupaten untuk belanja kebutuhan sehari-hari sekaligus menjual hasil laut seperti ikan asin dan rumput laut. Sementara itu untuk menampung hasil produksi laut berupa ikan segar (ikan napoleon dan kerapu) telah ada perusahan pengumpul ikan yang menampung. Untuk Kampung Meosbekwan perusahaan pengumpul ini tergabung dalam PT Mariat Utama yang berkedudukan di Sorong yang mulai beroperasi tahun 1998. Selain di Meosbekwan, perusahaan ini juga mempunyai pangkalan lain di Rutum, Meosbekwan, Boni dan Pupper. Sebelum tahun 1998, nelayan memasarkan ikan napoleon dan kerapu ke pedagang pengumpul yang ada di Kampung Dorehkar.

Kampung ini belum mempunyai fasilitas penerangan listrik. Penduduk umumnya menggunakan lampu minyak sebagai alat penerangan rumah tangga. Pada acara-acara tertentu, terutama yang berkaitan dengan upacara keagamaan yang dilakukan pada malam hari pihak gereja mengoperasikan generator yang bisa menerangi sebagian lampu-lampu jalan kampung sekitar tempat upacara. Pada tahun 1991 pihak Puskopal yang pernah mempunyai izin usaha menangkap ikan di perairan wilayah kampung ini membantu generator untuk penerangan kampung. Generator ini hanya berfungsi sekitar satu tahun karena rusak dan penduduk kurang bisa memeliharanya. Di samping itu, sering pula tidak bisa beroperasi karena sulitnya mendapatkan bahan bakar.

Mengenai fasilitas pendidikan, sampai tahun 2001 sekolah yang ada adalah sekolah dasar yang didirikan pada tahun 1949. Sekolah Dasar ini adalah merupakan sekolah Yayasan Kristen-Protestan (Gereja Kristen Injili). Guru yang bertugas di sekolah ini ada dua orang, satu guru umum dan satu guru agama yang menetap di kampung ini. Rata-rata tiap kelas muridnya sekitar 7 sampai 10 orang. Untuk fasilitas pendidikan tingkat SLTP terdapat di kampung Dorehkhar yang baru didirikan pada tahun 1999. Kampung Dorehkhar terletak di pulau Runi, pulau terdekat dari Pulau Meos Bekwan. Perjalanan ke pulau Runi memerlukan waktu sekitar 1 jam dengan menggunakan kapal berkekuatan sekitar 15 PK. Umumnya anak-anak yang melanjutkan ke jenjang

(25)

24 Studi Kasus : Kam pung Meosbekwan, Distrik Waigeo Utara, Kabupaten Sorong, Papua

pendidikan tingkat SLTP tinggal di Kampung Dorehkhar dengan menumpang pada famili atau kenalan orang tuanya. Sebelum tahun 1999 penduduk yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTP harus pergi ke ibukota Distrik (Kabare) atau di kota Sorong). Sementara itu fasilitas pendidikan tingkat SLTA yang terdekat terdapat di Distrik Waigeo Selatan di kepulauan Raja Ampat. Namun demikian penduduk umumnya melanjutkan pendidikan tingkat SLTAnya ke kota Sorong karena sama-sama harus pergi dari kampung dan transportasi ke Sorong lebih mudah dibandingkan ke Waigeo Selatan.

Fasilitas pelayanan kesehatan yang ada adalah seorang mantri kesehatan. Mantri kesehatan ini pada awalnya bertugas sebagai tenaga kesehatan khusus untuk menangani pemberantasan penyakit lepra pada tahun 1994. Meskipun penyakit lepra sudah dinyatakan tidak ada di kampung tersebut karena sampai sekarang belum ada tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan maka mantri tersebut masih memberikan pelayanan kesehatan umum kepada masyarakat. Pada awal tahun 2000 telah ditempatkan satu bidan desa, tetapi karena sangat terpencil bidan tersebut hanya bertahan satu bulan saja dan kemudian pindah ke Kota Sorong.

Meskipun telah ada satu mantri yang bersedia memberikan pelayanan kesehatan, namun masyarakat belum memanfaatkannya secara optimal. Alasan mereka kurang memanfaatkan pelayanan yang diberikan mantri karena menganggap bahwa mantri tersebut bukan yang secara resmi ditugaskan dan dahulunya hanya menangani masalah penyakit lepra. Penduduk cenderung untuk menggunakan obat-obatan tradisional dari daun-daunan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita. Di samping menggunakan obat-obatan tradisional penduduk juga mengatasi segala macam penyakit dengan bantuan doa.

2.5. Kelembagaan Sosial, Ekonomi dan Budaya

Kelembagaan sosial yang menonjol di Kampung Meosbekwan adalah organisasi gereja. Bagi penduduk di Kampung Meosbekwan, gereja mempunya peranan yang sangat dominan, bukan hanya kegiatan yang menyangkut keagamaan, tetapi juga dalam aspek lain yang berhubungan dengan aspek sosial dan ekonomi. Sementara itu kelembagaan yang umumnya ada di setiap kampung seperti Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) kegiatannya belum bisa berjalan dengan semestinya. Setelah ada perubahan dari LKMD ke Badan Perwakilan Desa (BPD), sampai pertengahan tahun 2001 lembaga ini belum terbentuk.

Agama Kristen pertama kali masuk ke Kampung Meosbekwan pada tahun 1934. Menurut seorang narasumber, misionaris yang datang ke Kampung Meosbekwan adalah marga Mirino yang berasal dari Yenkawir. Gereja yang di kawasan kepulauan Ayau merupakan bagian dari Gereja Kristen Injili (GKI) yang berpusat di Jayapura dan dibawah binaan (klasis) GKI Sorong. Sampai saat ini tidak ada pendeta atau pun guru jemaat yang khusus melayani jemaat di Kampung Meosbekwan.

Struktur organisasi gereja di Kampung Meosbekwan disesuaikan dengan pengelompokan masyarakat. Setiap kelompok marga mempunyai seorang perwakilan yang dipilih oleh anggotanya untuk menjadi majelis. Kemudian diantara majelis tersebut dipilih seorang yang diangkat sebagai ketua majelis yang berperan sebagai pemimpin ibadah minggu.

Untuk pembinaan, anggota jemaat dibagi ke dalam empat kelompok persekutuan, Persekutuan Kaum Bapa (PKB), Persekutuan Wanita (PW), Persekutuan Angkatan Muda (PAM) dan Persekutuan Anak dan Remaja (PAR). Kegiatan rutin dari

(26)

masing-masing kelompok ini adalah melakukan ibadah setiap minggu sore dan latihan paduan suara. Tempat ibadah sore adalah di rumah anggotanya secara bergiliran. Selain mengurusi kegiatan yang berhubungan dengan masalah keagamaan, kelompok persekutuan juga mempunyai fungsi ekonomi. Masing-masing anggota kelompok, termasuk anak-anak mempunyai kewajiban untuk membayar iuran setiap bulannya. Iuran anggota PW sebesar Rp 20.000 per tahun, anggota PKB sebesar Rp 30.000 dan iuran PAR sebesar Rp 15.000. Iuran tersebut digunakan untuk kegiatan organisasi dan kepentingan anggotanya, termasuk bila ada yang kekurangan uang, dapat meminjam ke organisasi tanpa dipungut bunga.

Jemaat gereja Meosbekwan memiliki sebuah perahu besar (bodi besar) yang dikelola bersama-sama. Perahu ini biasanya dipergunakan oleh penduduk untuk pergi ke Sorong dan ke Kabare dengan menggunakan motor yang dimiliki oleh kelompok marga. Untuk ke Sorong setiap orang di pungut bayaran Rp. 80.000 pp sebagai pengganti bahan bakar. Tradisi memiliki kapal secara bersama-sama ini telah ada sejak jaman nenek moyang. Body besar dibuat dengan cara bergotong-royong.

Masyarakat Kampung Meosbekwan mengenal suatu sistem untuk mengelola sumber daya alam yang dikenal dengan nama ‘sasi’ atau dalam bahasa lokal disebut ‘kabus’. Penetapan dan penggunaan ‘sasi’ seperti sama dengan masyarakat di Maluku. ‘Sasi’ diterapkan dengan tujuan agar pemanfaatan potensi alam dapat berkelanjutan. ‘Sasi’ merupakan aturan dan strategi sosial untuk mengelola lingkungan secara efektif, guna memastikan:

1. Kesempatan yang adil dan sama bagi masyarakat lokal untuk mendapatkan hasil dan manfaat dari kawasan laut dan darat yang dijaga,

2. Kesinambungan pengelolaan sumber daya alam yang tersedia,

3. Kesempatan yang sama bagi masyarakat lokal untuk memperoleh manfaat tambahan dari biota laut yang ada ( Mayalibit, 1994).

Dalam ‘sasi’ dikenal istilah buka dan tutup ‘sasi’. Tutup ‘sasi’ adalah pelarangan mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’ selama kurun waktu tertentu. Buka sasi adalah masa untuk mengambil/mengeksploitasi sumber daya yang di ‘sasi’ secara bersama-sama. Hasil ini biasanya digunakan untuk keperluan bersama.

Sumber daya darat yang sering di sasi adalah kopra, sedangkan untuk sumber daya laut adalah lola dan lobster. Ada dua macam sasi, yaitu ‘sasi’ adat dan ‘sasi’ gereja. ‘Sasi’ adat adalah sasi yang dibuat oleh kelompok adat, sedangkan sasi gereja adalah ‘sasi’ yang di sahkan oleh gereja. Menurut seorang nara sumber, sekarang ini ‘sasi’ adat sudah tidak di pergunakan lagi, karena tidak ada sangsi yang mengikat. Sekarang lebih sering digunakan sasi gereja. Hal ini disebabkan ‘sasi’ gereja lebih efektif. Bila menggunakan ‘sasi’ gereja orang-orang lebih mentaatinya, sedangkan ‘sasi’ adat kurang ditaati.

Selain lembaga gereja, masyarakat juga mempunyai kelompok adat yang anggotanya berdasarkan kelompok marga yang dikenal dengan sebutan ‘keret’. Setiap ‘keret’ mempunyai seorang ketua, biasanya orang yang dianggap tua atau yang dituakan di kelompok tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, data tentang hasil belajar fisika dianalisis menggunakan statistik deskriptif dan statistic inferensial karena dalam penelitian ini untuk mengetahui untuk

Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah Sebelumnya kalian telah mempelajari grafik fungsi kuadrat. Daerah grafik fungsi kuadrat berupa

MAHASISWA DALAM PENGISIAN KRS HARUS MENGISI KELAS SUPAYA NAMANYA TERCANTUM DALAM DAFTAR ABSEN KULIAH MAUPUN DAFTAR ABSEN

Aset pajak tangguhan diakui untuk semua perbedaan temporer yang dapat dikurangkan dan akumulasi rugi fiskal yang belum digunakan, sepanjang besar kemungkinan beda temporer yang

Tata kerja kelompok ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari aturan besar kelompok SHK Lestari Muara Tiga sebagai acuan atau landasan pelaksanaan kerja kelompok dalam

Penelitian aplikasi search engine berbasis semantic web menggunakan algoritma Rabin Karp pada tanaman di Indonesia ini memberikan kemudahan untuk penggunanya, yaitu dengan

PT Sierad Produce Tbk (SIPD) sepanjang 2011 lalu membukukan penu- runan laba bersih hingga 64% mencapai Rp.22 miliar dibandingkan periode yang sama 2010 sebesar 61 miliar..

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014