• Tidak ada hasil yang ditemukan

nd h HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ! KEKUASAAN KEHAKIMAN, MAHKAMAH AGUNG PERADILAN UMUM TENTANG UMAH AGUNG RI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "nd h HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ! KEKUASAAN KEHAKIMAN, MAHKAMAH AGUNG PERADILAN UMUM TENTANG UMAH AGUNG RI"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

HIMPUNAN

PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN,

MAHKAMAH AGUNG

PERADILAN UMUM

UMAH AGUNG RI

!

347.002

6

nd

h

Dicetak ulang oleh:

KORPRI Mahkamah Agung

(2)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970 TENTANG

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 ten­ tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha­ kiman (Lembaran Negara tahun 1964 No. 107) tidak merupakan pelaksanaan mumi dari pasal 24 Undang-undang Dasar 1945, karena memuat keten­ tuan-ketentuan yang bertentangan dengan Undang- undang Dasar 1945;

b. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara tahun 1964 No. 107) telah dinya­ takan tidak berlaku dengan Undang-undang No. 6 tahun 1969 tetapi saat tidak berlakunya Undang- undang tersebut ditetapkan pada saat Undang- undang yang menggantikannya mulai berlaku;

c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas perlu ditetapkan Undang-undang baru mengenai Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;

(3)

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen­ tara No. X/MPRS/1966 pasal 2 dan pasal 3;

3. Undang-undang No. 6 tahun 1969;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong. M e m u t u s k a n :

Pertama :

Mencabut : Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Kedua :

M enetapkan: Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2.

(1) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.

(2) Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4)

Pasal 3.

(1) Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.

(2) Peradilan Negara meneterapkan dan menegakkan hukum dan ke­ adilan yang berdasarkan Pancasila.

Pasal 4.

(1) Peradilan dilakukan ’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN KE­ TUHANAN YANG MAHA ESA” .

(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. (3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain

di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal tersebut dalam Undang-undang Dasar.

Pasal 5.

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.

(2) Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari ke­ adilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 6.

(1) Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan Pengadilan se­ lain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-undang. (2) Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Penga­

dilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat ber­ tanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Pasal 7.

Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh

(5)

kekua-saan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-undang.

Pasal 8.

Setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/ atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 9.

(1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak me­ nuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana.

(3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang- undang.

B A B II.

BADAN-BADAN PERADILAN DAN AZAS-AZASNYA. Pasal 10.

(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam ling­ kungan:

a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer;

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.

(3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung.

(6)

(4)

AJfrU'

Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan Undang-undang.

Pasal 11.

(1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan.

(2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuang­ an tersendiri.

Pasal 12.

Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan seper­ ti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang ter­ sendiri.

Pasal 13.

Badan-badan Peradilan khusus di samping Badan-badan Peradilan yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-undang.

Pasal 14.

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan menga­ dilinya.

(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 15.

(1) Semua Pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang- kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang me­ nentukan lain.

(2) Di antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim anggota sidang.

(3) Sidang dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugas­ kan melakukan pekeijaan Panitera.

(7)

(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum, kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.

Pasal 16.

Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadir­ nya tertuduh, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.

Pasal 17.

(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, ke­ cuali apabila Undang-undang menentukan lain.

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batal­ nya putusan menurut hukum.

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia. ( Pa s a l 18.J

Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 19.

Atas semua putusan Pengadilan tingkat pertama, yang tidak me­ rupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh fihak-fihak yang bersangkutan, kecuali apabila Undang-undang me­ nentukan lain.

Pasal 20.

Atas putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat diminta­ kan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh fihak yang berkepentingan yang diatur dalam Undang-undang.

Pasal 21.

Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah mem­ peroleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kem­ bali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh fihak-fihak yang berkepentingan.

(8)

Pasal 22.

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

(1) Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal ter­ tentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan Pengadilan ditanda-tangani oleh Ketua serta Hakim- hakim yang memutus dan Panitera yang ikut serta bersidang. (3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan

berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditanda-tangani oleh Ketua dan Panitera.

Pasal 24.

Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib saling mem­ beri bantuan yang diminta.

B A B III.

HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA. Pasal 25.

Semua Pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lain­ nya apabila diminta.

(1) Mahkamah Agung berwe: nenyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan per­ undang-undangan yang lebih tinggi.

(9)

(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.

Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

B A B IV.

HAKIM DAN KEWAJIBANNYA.

Pasal 27.

(1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, meng­ ikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masya­ rakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari ter­ tuduh.

Pasal 28.

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang mengadili perkaranya.

Hak ingkar ialah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang Hakim yang akan mengadili perkaranya.

Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh Pengdilan,

(2) Apabila seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah sampai sederajat ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Penasehat Hukum atau Panitera dalam sua- tu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.

(3) Begitu pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Jaksa atau Panitera masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semenda dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu.

(10)

Pasal 29.

Sebelum melakukan jabatannya, Hakim, Panitera Pengganti dan Jurusi t a untuk masing-masing lingkungan peradilan harus bersumpah atau beijanji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:

’’Saya bersumpah/ menerangkan dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan mene­ rima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian” .

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideo­ logi Negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indo­ nesia” .

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­ kan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda- bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Ha- kim/Panitera/Panitera Pengganti/Juru sita yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan.” .

B A B V.

KEDUDUKAN PEJABAT PERADILAN (PENGADILAN). Pasal 30.

Syarat-syarat untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai Hakim dan tata-cara pengangkatannya dan pemberhentiannya ditentu­ kan dengan Undang-undang.

Pasal 31.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.

Pasal 32.

Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan tersendiri.

(11)

B A B VI.

PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN. Pasal 33.

(1) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh Jaksa.

(2) Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1) oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut de­ ngan Undang-undang.

(3) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.

(4) Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya peri­ kemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.

Pasal 34.

Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peratur­ an perundang-undangan.

B A B VII.

B A N T U A N H U K U M Pasal 35.

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

Pasal 36.

Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat di­ lakukannya penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasehat Hukum.

Pasal 37.

Dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas, Penasehat Hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.

Pasal 38.

Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 35, 36 dan 37 tersebut di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

(12)

BAB vm.

P E N U T U P .

Pasal 39.

Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Peme­ rintah.

Pasal 40.

Semua peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertentangan dengan Undang- undang ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 41.

Undang-undang ini dinamakan UNDANG-UNDANG KEKUASA­ A N KEHAKIMAN.

Pasal 42.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di,Jakarta, pada tanggal 17 Desember 1970 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

t.t.d.

SOEHARTO. JENDERAL TNI.

1 1 d.

AL AMS J AH MAY. JENDERAL TNI. Diundangkan di Jakarta, pada tanggal 17 Desember 1970 Sekretaris Negara Republik Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1970 NOMOR 74.

(13)

P E N J E L A S A N ATAS

UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970 TENTANG

KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.

I. U M U M .

1. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali ke­ pada Undang-undang Dasar, kepada jiwa proklamasi 17 Agus­ tus 1945.

Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dan ketentuan-ketentu­ an Undang-undang Dasar 1945 itu belum dilaksanakan secara mumi.

Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 dalam Penjelasannya secara tegas telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah ke­ kuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekua­ saan Pemerintah, akan tetapi ternyata dalam praktek dan pelaksanaannya telah menyimpang dari Undang-undang Da­ sar, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang No. 19 tahun 1964, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk dalam ’’beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam soal-soal Pengadilan” .

(V'S

ry -j-rj

Y

2. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis Permusya­ waratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 juncto No. XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama De­ wan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah mengadakan peninjauan Undang-undang No. 19 tahun 1964 dengan Undang-undang No. 6 tahun 1969 pasal 2 lampiran III nomor urut 3 yang menghendaki adanya Undang-undang untuk menggantikannya.

3. Dengan dicabutnya Undang-undang No. 19 tahun 1964 ter­ sebut di atas teqadilah suatu kekosongan, yang akan meng­ hambat jalannya peradilan pada umumnya.

(14)

Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang- undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­ hakiman yang baru sebagai penggantinya.

Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi kekosongan tersebut di atas harus pula menjaga pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945.

Untuk itu perlulah dalam Undang-undang tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, di­ usahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubung­ an peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan Un­ dang-undang Dasar 1945 supaya pelaksanaannya nanti dapat sesuai dengan Pancasila.

Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada Badan-badan Peradilan dengan ketentuan bahwa Undang- undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta azas-azas peradilan serta pedo­ man bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ma­ sing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.

4. Undang-undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya tidak memberikan keterangan mengenai arti Kekuasaan Kehakiman secara tuntas (”uit-puttend” ). Namun ketentuan-ketentuan dalam pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 be­ serta Penjelasannya antara lain mencantumkan: ’’Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang” dan ’’Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang-undang” .

Maka yang dituju dengan ’’Kekuasaan Kehakiman” dalam pasal 2 4 Undang-undang Dasar 1945 ialah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna m e­ negakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

(15)

%XI

if:

Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Badan-badan Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tu­ gas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Penjelasan Un­ dang-undang Dasar ’’Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka” .

Dalam Undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan- ketentuan pokok, yang memberi perlindungan hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan, sesuai dengan jiwa Undang- undang Dasar 1945.

Untuk menjamin terlaksananya maksud tersebut sampai men­ dapat hasil yang diharapkan perlu adanya penegak hukum dan keadilan selaku badan pelaksana, yang melakukan tugas­ nya seadil-adilnya dan tidak memihak. Untuk menjaga, su­ paya keadilan dijalankan seobyektif-obyektifnya dimuat da­ lam Undang-undang ini antaralain beberapa peraturan yang menentukan:

a. diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan dalam si­ dang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang menentu­ kan lain;

b. diwajibkannya kepada Hakim yang masih terikat dalam hubungan kekeluargaan tertentu dengan tertuduh, Ke­ tua, Hakim Anggota lainnya, Jaksa atau Panitera dalam suatu perkara tertentu untuk mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu;

c. pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama semenjak seseorang dikenakan penangkapan dan atau penahanan;

d. diadakannya kemungkinan untuk mengganti kerugian serta rehabilitasi seseorang yang ditahan, dituntut atau­ pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.

(16)

6. Pada hakekatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut baik/buruknya tergantung dari pada manusia-manu­ sia pelaksananya, in casu para Hakim, maka untuk itu perlu­ lah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Po­ kok Kekuasaan Kehakiman ini dicantumkan syarat-syarat yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim yaitu jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari

pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.

Untuk memperoleh Hakim seperti tersebut di atas perlu ada kerja sama serta konsultasi antara Mahkamah Agung dan Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pember­ hentian, pfemindahan, kenaikan pangkat ataupun tindakan/ hukuman administratif terhadap Hakim-hakim Pengadilan Umum, sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan, pemberhentian dan lain-lainnya.

Dengan demikian, khususnya dalam soal-soal kepegawaian yang bersangkutan dengan Hakim yang dilakukan oleh Pe­ merintah, Mahkamah Agung tidak akan ditinggalkan, bahkan akan didengar dan diikut-sertakan.

Kerja-sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan-per­ timbangan ataupun saran-saran yang dapat diberikan oleh kedua badan tersebut setidak-tidaknya dapat mengurangi kemungkinan timbulnya subjektivisme, apabila soal-soal yang berhubungan dengan kepegawaian Hakim ditentukan dan dilakukan secara eksklusip oleh satu badan dalam soal- soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain.

Jaminan tersebut di atas kurang sempurna apabila tidak disertai dengan adanya peraturan-peraturan yang menjamin kukuhnya kedudukan para Hakim, untuk mana Undang- undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk mengatur kedudukan, pangkat dan gaji para Hakim dengan peraturan yang tersendiri yang lebih menjamin bahwa Hakim tidak akan dipengaruhi baik materiil maupun karena jabatan. Se­ dangkan sebagai syarat bathiniyah kepada para Hakim dalam menjalankan keadilan oleh Undang-undang ini diletakkan suatu pertanggunganjawab, yang lebih berat dan mendalam

(17)

dengan menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpali jabatannya dia tidak hanya bertanggung-jawab kepada hu­

kum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga ber­ tanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan, bahwa peradilan dilakukan ’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

7. Penegasan bahwa peradilan adalah Peradilan Negara, dimak­ sudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapraja atau Per­ adilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu ke­ pada Peradilan-peradilan Negara.

Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan meng­ integrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuh­ nya bahwa perkembangan dari penetrapan hukum tidak ter­ tulis itu akan berjalan secara wajar.

8. Ketentuan bahwa ’’PERADILAN DILAKUKAN DENGAN SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN” tetap harus dipegang teguh yang tercermin dalam Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang me­ muat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuk­ tian yang jauh lebih sederhana.

9. Peradilan dilaksanakan oleh Majelis yang terdiri dari seku­ rang-kurangnya tiga orang Hakim.

Mengingat bahwa Negara Republik Indonesia memiliki wila­ yah yang sangat luas dan sulitnya alat-alat pengangkutan, maka bagi daerah-daerah yang terpencil di mana terdapat ke­ kurangan Hakim, perlu dibuka kemungkinan untuk melaku­ kan penyimpangan dari ketentuan tersebut di atas.

10. Agar Pengadilan benar-benar menjalankan keadilan demi me­ menuhi hasrat dari para pencari keadilan, maka di samping

(18)

kemungkinan untuk m em ohon pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi, dibuka pula kemungkinan untuk m emo­ hon peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

/ j \ \ Peninjauan kembali ini dilakukan apabila terdapat fakta-fakta atau keadaan-keadaan yang pada waktu mengadili dahulu be- _______lum diketahui.

n . PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pe­ ngertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebe­ basan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-undang.

Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila - t , ;' dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar l ’ /’ serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara N yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya men­

cerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Pasal 2.

(1) Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada Ba­ dan-badan Peradilan mengandung pengertian di dalam­ nya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan jurisdiksi voluntair.

(2) Cukup jelas.

Pasal 3.

(1) Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping Peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-per­ adilan yang dilakukan oleh bukan Badan Peradilan Ne­ gara.

(19)

Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar per­ damaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperboleh­ kan.

(2) Cukup jelas. Pasal 4.

(1) ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan pasal 29 Undang-undang Dasar yang berbunyi:

1. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa;

2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Rumusan ini berlaku untuk semua Pengadilan da­ lam semua lingkungan peradilan.

(2) Peradilan harus memenuhi harapan dari para pencari keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat, tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemerik­ saan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebab­ kan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang- kadang harus dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari ke­ adilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mung­ kin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua de­ ngan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.

(3) Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya, yakni memberikan keputusan yang semata-mata ber­ dasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau penga­ ruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan yang seadil-adilnya.

(20)

Ini semua menjamin hak-hak azasi manusia yang mendapat­ kan perlindungan dalam Negara berdasarkan Pancasila.

Pasal 9.

Pengertian rehabilitasi dalam Undang-undang ini adalah pe­ mulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh Pengadilan.

Pasal 10.

(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkung­ an peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan m eliputi Badan- badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara m e­ rupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara- perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat ter­ tentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata, maupun perkara pidana.

Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differen- siasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misal­ nya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhusus­ an berupa Pengadilan Lalu-Lintas, Pengadilan Anak- anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan Undang-undang.

(2) Cukup jelas.

(3) Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi semua lingkungan peradilan.

(4) Pengawasan tertinggi terhadap Pengadilan dalam semua lingkungan peradilan ditetapkan dalam Undang-undang tersendiri.

Ratio untuk menentukan ini, karena adanya aspek- aspek khusus dari masing-masing lingkungan peradilan Pasal 5 sampai dengan pasal 8.

(21)

baik dalam bidang persoalan maupun dalam bidang me­ ngenai orang-orangnya baik dalam hukum materiil mau­ pun formil, yang diterapkannya. Kesemuanya itu perlu mendapatkan perhatian dari masing-masing Undang- undang yang berlaku.

Pasal 11.

(1) Cukup jelas.

(2) Hal demikian berarti bahwa organisasi, administrasi dan keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan ke­ uangan Departemental, walaupun demikian penentuan organisasi, administrasi dan keuangan Sekretariat Mah­ kamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan bahan-bahan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung. Pasal 12 dan pasal 13.

Cukup jelas. Pasal 14.

(1) Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum ter­ tulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk me­ mutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijak­ sana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara. (2) Cukup jelas.

Pasal 15.

(1) Sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum ad. 9. (2) Cukup jelas.

(3) Cukup jelas. (4) Cukup jelas.

Pasal 16 sampai dengan pasal 20. Cukup jelas.

(22)

Pasal 21.

Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap pu­ tusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara perdata diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, ter­ masuk di dalamnya juga para ahli-waris dari pihak-pihak yang berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan dalam Hukum Acara.

Pasal 22.

Kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara- perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota ABRI bersama-sama non ABRI, pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian ataupun penyimpangan dari ketentuan, bahwa seorang semestinya dihadapkan di depan Pengadilan­ nya masing-masing.

Justru karena hal ini merupakan suatu kekecualian, maka kewenangan Pengadilan Umum ini terbatas pada bentuk- bentuk pensertaan dalam suatu delik, seperti dimaksudkan oleh pasal-pasal 55, 56 K.U.H.P.

Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakim­ an untuk menetapkan Pengadilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut. Pensertaan pada suatu delik militer yang m um i oleh seorang bukan militer dan perkara pensertaan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ia­ lah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demi­ kian. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan Hakim adalah dari Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum.

Dalam hal ini kepentingan dari justiciabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang ber­ sidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum

(23)

ekse-tionil ataupun hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan seorang sipil orang-orang mi­ liter tidak ditarik dari pengadilannya.

Pasal 23 dan pasal 24. Cukup jelas. Pasal 25.

Dengan Lembaga Negara dimaksudkan semua Lembaga Ke­ negaraan baik di Pusat maupun di Daerah.

Pasal 26.

Pasal ini mengatur tentang hak menguji dari Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak untuk menguji peraturan yang lebih rendah dari Undang-undang mengenai sah tidak­ nya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ke­ tentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak mengujinya berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil putusan suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah dari Undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Mah­ kamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan ter­ sebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum; oleh karena itu pencabutan peraturan ini segera harus dilakukan oleh instansi yang bersangkutan. Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hak menguji Undang-undang dan per­ aturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar sebagai fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah Agung.

Oleh karena Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya hak menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharus­ nya merupakan ketentuan Konstitutionil.

(24)

Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh Mahkamah Agung.

Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-undang Dasar 1945 dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengatur­ nya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti bahwa Undang-undang ini (Undang-undang tentang K etentu­ an-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.

Hanya Undang-undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) da­ pat memberikan ketentuan.

Pasal 27.

(1) Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan per­ alihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.

Untuk itu ia harus teijun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan dan mampu m enyelam i perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyara­ kat.

(2) Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.

Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitung­ kan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil- adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun te­ tangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

Pasal 28.

(25)

Pasal 29.

Pada waktu pengambilan sumpah/janji lazimnya dipakai kata- kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing yaitu misal­ nya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata ’’Demi Allah” dan untuk agama Kristen/Katholik diakhiri de­ ngan kata-kata ’’Semoga Tuhan menolong saya” .

Pasal 30.

Cukup jelas. Pasal 31.

Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya. Pasal 32.

Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugas­ nya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung jawabnya.

Pasal 33.

(1) Cukup jelas.

(2) Untuk mendapatkan jaminan bahwa putusan tersebut dilaksanakan sebagaimana mestinya, Ketua Pengadilan yang bersangkutan mengawasi pelaksanaan putusan ter­ sebut. (3) Cukup jelas. (4) Cukup jelas. Pasal 34. Cukup jelas. Pasal 35.

Merupakan suatu azas yang penting bahwa seorang yang ter­ kena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan 26

(26)

hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlin­ dungan sewajarnya.

Perlu diingat juga ketentuan dalam pasal 8, di mana seorang tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putus­ an Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Karena pentingnya maka supaya diadakan Undang-undang tersendiri tentang bantuan hukum.

Pasal 36.

Sesuai dengan sila Perikemanusiaan maka seorang tertuduh harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai ma­ nusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah.

Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau penasehat hukumnya terutama sejak ia ditang- kap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan sendirinya tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai de­ ngan penyidikan.

Untuk itu Penyidik dan penuntut umum dapat melakukan pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ke­ tentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.

Pasal 37.

Cukup jelas.

Pasal 38.

Cukup jelas.

Pasal 39.

Berdasarkan Undang-undang No. 1 Drt. Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, su­ sunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil pasal 1 ayat (2) oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilaku­ kan penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja, di seluruh Bali, Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan,

(27)

Jambi dan Maluku. Dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja dan Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Barat dihapus pula Pengadilan Adat/Swapraja di Irian Barat.

Peraturan Presiden tersebut dengan Undang-undang No. 5 tahun 1969 telah ditetapkan menjadi Undang-undang.

Dalam pasal 1 dicantumkan, bahwa pelaksanaan penghapus­ annya diserahkan kepada Keputusan Bersama Gubernur Ke­ pala Daerah dan Ketua Pengadilan Tinggi Propinsi Irian Barat.

Sebagai pelaksanaan telah dikeluarkan Keputusan Bersama Gubernur Kepala Daerah Propinsi Irian Barat dan Ketua Pe­ ngadilan Tinggi Jayapura No. ll/G IB /1970 tentang

Pelak-Ncl 11 /IV /1970

sanaan Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di daerah tertentu di Propinsi Irian Barat.

Dalam pasal 1 ayat (1) untuk tahap pertama telah dihapus Pengadilan Adat/Swapraja sebagai berikut:

Pengadilan Swapraja Jayapura, Lembah Balim, Nabiro, Biak, Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Fak-Fak, Kaimana, Serui, Bokondini.

Pengadilan Adat di Merauke, Tanah Merah, Mindiptana. Pasal 40 sampai dengan pasal 42.

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2951.

(28)
(29)
(30)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985

TENTANG MAHKAMAH AGUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;

b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya untuk menegak­ kan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum y a n g . mampu memberikan pengayoman

kepada masyarakat;

c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan ten­ tang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang selama ini masih didasarkan pada Undang-undang Nom or 13 Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;

d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nom or 6 Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun

(31)

Mengingat :

1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang- undang yang menggantikannya mulai berlaku;

e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan undang-undang yang mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara yang berlaku bagi Mahkamah Agung;

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pa­ sal 25 Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repu­ blik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedu­ dukan dan Hubungan Tata Keija Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara;

3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tam­ bahan Lembaran Negara Nomor 2951);

Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Menetapkan :

MEMUTUSKAN :

UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH AGUNG.

BAB I

KETENTUAN UMUM Bagian Pertama Kedudukan Mahkamah Agung

Pasal 1

Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimak­ sudkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978.

(32)

Pasal 2

Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Ling­ kungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Bagian Kedua Tempat Kedudukan

Pasal 3

Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indo­ nesia.

BAB II

SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG Bagian Pertama

U m u m

Pasal 4

Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.

Pasal 5

(1) Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua,'seorang Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua Muda.

(2) Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.

Bagian Kedua

Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung

Pasal 6

(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan Kehakiman.

(2) Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 7

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

(33)

a. warganegara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, da­ sar negara, dan ideologi nasional, kepada Proklamasi 17 Agus­ tus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban amanat penderitaan rakyat;

d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan sese­ orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam ’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI” atau organisasi terlarang lainnya;

e. berijazah sarjana hukum atau saijana lain dan mempunyai keahlian di bidang hukum ;

f. berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun;

g. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Tingkat Banding;

h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

(2) Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk meng­ angkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang- kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum.

Pasal 8

(1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. (2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di­

ajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pen­ dapat Mahkamah Agung dan Pemerintah.

(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara diantara Hakim Agung yang diusulkan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(34)

(5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing- masing 2 (dua) orang calon.

Pasal 9

(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung wajib mengucapkan sum­ pah atau janji menurut Agama atau Kepercayaannya yang ber­ bunyi sebagai berikut:

’’Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk m emperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberi­ kan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga” . ’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu janji atau pemberian” .

’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang- undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia” .

’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­ kan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim anggota Mahkamah Agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan” .

(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung meng­ ucapkan sumpah atau janji dihadapan Presiden selaku Kepala Negara.

(3) Hakim Anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 10

(35)

a. pelaksana putusan Mahkamah Agung;

b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;

c. penasihat hukum ; d. pengusaha.

(2) Kecuali larangan perangkapan jabatan lain yang telah diatur dalam undang-undang, maka jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung selain jabatan tersebut ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung karena:

a. permintaan sendiri;

b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.

(2) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Ne­ gara.

Pasal 12

(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan:

a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan; b. melakukan perbuatan tercela;

c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekeijaannya;

d. melanggar sumpah atau janji jabatan;

e. melanggar larangan yang dimaksud dalam Pasal 10.

(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan tersebut dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.

(36)

(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mah­ kamah Agung diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 13

(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung.

(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara yang dimaksud­ kan ayat (1 ) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal 12 ayat (2).

Pasal 14

(1) Apabila terhadap seorang Hakim Agung ada perintah penangkapan yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim Agung tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.

(2) Apabila seorang Hakim Agung dituntut di muka Pengadilan dalam perkara pidana seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan, maka ia dapat di­ berhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hor­ mat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian semen­ tara, serta hak-hak pejabat yang diberhentikan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

(1) Kedudukan protokol Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Ha­ kim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang-undang. (2) Hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,

dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang- undang.

Pasal 17

(37)

Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah

melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keaman­ an negara.

(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan tersebut ayat (1) huruf a dan huruf b selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.

Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipim­ pin oleh seorang Panitera dan dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Kepani­ teraan Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a. warga negara Indonesia;

b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; d. berijazah sarjana hukum;

e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 15 (lima belas) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

atau;

Bagian Ketiga Panitera Mahkamah Agung

Pasal 19

(38)

a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d ;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 7 (tujuh) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,

huruf b, huruf c, dan huruf d;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 5 (lima) tahun sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti Mahkamah Agung.

(4) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai beri­ kut: '

a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d ;

b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun se­ bagai Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.

Pasal 21

Panitera, Wakil Panitera Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 22

Sebelum memangku jabatannya Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 23

Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

(39)

Pasal 24

Sebelum memangku jabatannya Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Keempat

Sekretaris Jenderal-Mahkamah Agung Pasal 25

Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 26

Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Sekreta­ riat Jenderal Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 27

Panitera Mahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.

BAB III

KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG Pasal 28

(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memu­ tus:

a. permohonan kasasi;

b. sengketa tentang kewenangan mengadili;

c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas dalam Mahkamah Agung.

Pasal 29

(40)

Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Ling­ kungan Peradilan.

Pasal 30

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan

karena:

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan per- undang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Pasal 31

(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang- undang.

(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua per­ aturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari­ pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang- undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksa­ an dalam tingkat kasasi.

Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkut­ an.

Pasal 32

(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pe­ nyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.

(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugas­ nya.

(41)

(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari 'semua Lingkungan Peradilan.

(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan.

(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi ke­ bebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 33

(1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili:

a. antara Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang satu dengan Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;

b. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Peng­ adilan Tingkat Banding yang berlainan dari Lingkungan Peradilan yang sama;

c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan Peradilan yang sama atau antara Lingkungan Peradilan yang berlainan.

(2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku.

Pasal 34

Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan- alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini

(42)

Pasal 35

Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden se­ laku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi.

Pasal 36

Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Pena­ sihat Hukum dan Notaris.

Pasal 37

Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain.

Pasal 38

Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi­ kan petunjuk kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan da­ lam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-un­ dang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 39

Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang- undang.

BAB IV

HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH AGUNG

Bagian Pertama

U m u m

Pasal 4 0

(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-ku­ rangnya 3 (tiga) orang Hakim.

(43)

(2) Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 41

(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera pada Majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1).

(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur Mili­ ter, Terdakwa, Penasihat hukum, Tergugat atau Penggugat.

(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga antara Hakim Agung dan/atau Panitera Mahka­ mah Agung dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Ban­ ding, yang telah mengadili perakara yang sama.

(4) Jika seorang Hakim yang memutus perkara dalam tingkat per­ tama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung, maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang sama.

(5) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka putusan tersebut batal dan perkara tersebut wajib segera diadili ualng dengan susunan Majelis yang lain.

Pasal 42

(1) Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak lang­ sung.

(2) Dalam hal sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Hakim yang ber­ sangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri

(44)

maupun atas permintaan Penuntut Umum, Oditur Militer, Ter­ dakwa, Penasihat Hukum, Tergugat atau Penggugat.

(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai hal sebagaimana tersebut ayat (1), maka:

a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai pejabat yang berwenang menetapkan;

b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang berwenang menetapkannya adalah suatu panitia, yang terdiri dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan di antara Hakim Agung yang tertua dalam jabatan.

Bagian Kedua Pemeriksaan Kasasi

Paragraf 1 Umum

Pasal 43

(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pem ohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

Pasal 4 4

(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat di­ ajukan oleh:

a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Peng­ adilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkung­ an Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;

b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat

(45)

Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.

(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung karena jabatan­ nya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara tersebut.

Pasal 45

(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata atau tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di Lingkung­ an Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf a.

(2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

(3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berperkara.

Paragraf 2 Peradilan Umum

Pasal 46

(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara ter­ tulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang di­ maksudkan diberitahukan kepada pemohon.

(2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berper­ kara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putus­ an.

(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat (1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kalian berdiskusi dengan teman kelompok tentang menentukan nama sudut, jenis sudut, dan cara mengukur sudut menggunakan busur derajat, maka kesimpulan dari

Menurut Mardalis (2004:58) teknik purposive yaitu pengambilan sampel pada pertimbangan dan tujuan tertentu yang dilakukan dengan sengaja Adapun pihak yang diwawancara

Papan Panjat ( Wall Climbing ) adalah sarana olah raga tebing buatan yang terdiri dari rangka baja. Dimana rangka tersebut terdiri dari besi siku yang dihubungkan

Apabila faktor-faktor lapangan diketahui dan akibat dari efek-efek tersebut dapat diaatasi, maka tentu saja pihak manajemen dapat mengatasi berbagai masalah yang

Pada kasus cerai gugat di atas pertimbangan Majelis Hakim menyatakan tidak sesuai dengan teori dalam hukum acara yang terdapat pada Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 tentang

AB, sebaiknya melakukan transaksi penjualan-pembelian dengan pengusaha kena pajak, pastikan bahwa setiap faktur pajak dapat dikreditkan, memanfaatkan fasilitas yang dibebaskan PPN

[r]

Adapun ade itu, ialah yang memperbaiki rakyat dan adapun rapang itu, ialah yang mengokohkan kerajaan, dan adapun wari’ itu, memperkuat kekeluargaan negara