• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. adalah pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. adalah pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sejarah pertanian telah mencatat bahwa pola pertanian masyarakat petani awal

adalah pertanian subsisten. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan sebatas

untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Mereka menanam berbagai jenis

biji-bijian antara lain padi, gandum, dan jagung, ataupun tanam-tanaman

sayur-sayuran. Bentuk pertanian yang ada saat itu masih sangat individual; kalau mau

dikatakan bersifat sosial, itu masih sangat sempit cakupannya, hanya dalam keluarga

(Soetemo, 1997 : 21).

Pada abad pertengahan, seni pertanian di dunia barat terbatas di dalam

perkebunan yang menghasilkan tanaman pangan, anggur dan obat-obatan dan identik

sekali dengan dinamika kehidupan membiara. Perkembangan kultur pertanian

kemudian ditandai dengan terbentuknya komunitas-komunitas kecil yang menyerupai

desa dalam bentuk dan struktur yang lebih sederhana. Bentuk pertaniannya masih

berupa sistem ladang. Masyarakatnya tidak bersifat menetap karena berpindah-pindah

mengikuti ladang yang baru, tempat dimana mereka memperoleh sumber

makanannya. Solidaritas muncul dalam bentuk kerjasama atau gotong-royong, tanah

menjadi milik bersama atau kelompok.

Perbedaan mencolok pertanian dengan sistem berpindah dan pertanian dengan

sistem menetap adalah adanya pembangunan irigasi yang mengarahkan kepada

(2)

luas tanah mengecil, muncul pembagian sistem tanah yang mengakibatkan perubahan

yang cukup penting dan memberikan implikasi yang cukup mendalam yaitu

berlangsungnya pergeseran kebutuhan keluarga petani. Pertanianpun bergeser dari

corak subsisten menjadi pembentukan usaha tani modern.

Usaha tani modern ditandai dengan penerapan-penerapan inovasi-inovasi baru

dalam teknologi pertanian dan munculnya sistem agribisnis yang ketat. Didalam

bidang usaha tani modern, revolusi hijau merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan.

Dari bidang ekonomi, revolusi hijau adalah modernisasi pertanian. Modernisasi

pertanian secara khusus dilakukan terhadap tanaman pangan saja. Modernisasi

pertanian dikenal karena hasil silang dan pemuliaan tanaman yang menghasilkan

bibit-bibit unggul dalam pertanian.

Bersamaan dengan itu, juga diperkenalkan teknologi mekanik seperti traktor

tangan dan penggilingan padi maupun teknologi lokal yang irit waktu dan tenaga. Hal

tersebut dibarengi oleh perubahan kelembagaan seperti sistem panen terbuka yang

digusur sistem tebasan, sistem tanam gotong royong yang diganti sistem borongan.

Berikut adalah proses perkembangan masyarakat pertanian yang ditinjau dari

(3)

Tabel 1.1.

Beberapa Strategi Pra-industrial

Strategi subsistensi Karakteristik pokok teknologi

Berburu dan meramu

Hortikultura sederhana

Hortikultura intensif

Agrarisme

Berburu binatang liar dengan menggunakan tombak, melempar lembing, busur dan panah, jaring dan perangkap meramu makanan dari tanaman liar dengan menggunakan tongkat penggalai menangkap ikan juga mungkin dilakukan, dan dalam lingkungan tertentu bisa merupakan aktifitas subsistensi yang penting. Pembagian kerja umumnya didasarkan atas usia dan jenis kelamin berburu umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki dan meramu dilakukan oleh perempuan. Kelompok nomadik yang terdiri dari 25-50 orang bertugas mencari persediaan makanan yang terdiri dari hasil tumbuh-tumbuhan dan hewan. Pemakaian tenaga kerja sangat rendah.

Perkebunan berskala kecil biasanya menerapkan teknik tebas-dan-bakar. Kaum lelaki mempersiapkan ladang tetapi penanaman dan panen umumnya dilakukan kaum perempuan. Ladang sering berpindah dan periode kosong umumnya panjang (20-30 tahun). Pemakaian tenaga kerja rendah.

Perkebunan berskala kecil biasanya menerapkan teknik tebas-dan-bakar, tetapi pemakaian tanah lebih sering dan intensif, periode kosong lebih pendek (5-10 tahun). Bisa juga menerapkan teknologi yang terdiri dari cangkul besi dan pembuatan sistem irigasi pemupukan tanah yang lebih intensif, Pemakaian tenaga kerja sedang. Pertanian intensif berskala besar, dengan bajak dan binatang penarik. Ladang dibersihkan sepenuhnya dari semua tumbuhan yang ditanami secara permanen dan semi permanen. Pemupukan intensif dilakukan untuk

(4)

Pastoralisme

mempertahankan kesuburan tanah, memerlukan tenaga kerja yang banyak tetapi dapat menghasilkan surplus ekonomi yang besar.

Menggantungkan hidup dengan menggembalakan ternak dilingkungan yang kering dan semi kering. Yang tidak begitu cocok untuk ditanami. Peternakan berpindah-pindah mengikuti musim dan nomadik. Beberapa perkebunan mungkin digarap, atau bahan makanan yang terdiri dari tumbuh-tumbuhan dapat diperoleh melalui perdagangan.

Sumber: Sanderson, 2003 : 103

Pemerintah telah ikut campur tangan dalam pengaturan harga minimum gabah

melalui pembelian beras, stok dan operasi pasar. Pemerintah juga memberikan

subsidi harga pada asupan pertanian dan menyelenggarakan kredit usaha tani

berbunga rendah dan beranggunan mudah. Semuanya itu merupakan revolusi hijau

dan perangkatnya yang membawa pengaruh perubahan pada para petani dengan

petani lain, alam, teknologi, pemerintah bahkan perusahaan-perusahaan besar baik

dalam maupun luar negeri (Wibowo dan Wahono, 2003 : 227-228).

Memang kebijakan modernisasi pertanian atau revolusi hijau berhasil

merubah pola tingkah laku ekonomi dari yang sederhana menjadi maju. Namun perlu

dicermati, kemajuan dalam berproduksi tidaklah sama arti dengan kemajuan dalam

hal usaha penyejahteraan. Sebabnya adalah kemajuan berproduksi bukan didorong

oleh semangat untuk menyejahterakan diri melainkan karena keterpaksaan ekonomi

dan atmosfir ketakutan dari pembuat kebijakan.

Perasaan takut tersebut membuat kehidupan petani semakin jauh dari

(5)

berhasil merubah kualitas hidup petani Indonesia secara keseluruhan. Lebih parahnya

lagi kebijakan tersebut membuat petani sangat tergantung kepada pihak yang

mempunyai akumulasi modal berlebih dan berimplikasi pada terbentuknya kelas

buruh tani dan majikan atau petani penyewa dan pemilik tanah dan pada gilirannya

petani dipaksa untuk masuk ke dalam jaringan jual-beli yang demikian kompleks.

Modernisasi pertanian atau revolusi hijau tersebut telah memberikan banyak

dampak negatif bagi para petani, salah satunya adalah petani semakin tersungkur

dalam kehidupannya. Usaha tani modern telah menggeser situasi kehidupan petani

dari keadaan yang merdeka untuk memanfaatkan hasil pertaniannya ke kondisi

dimana petani bergantung pada berbagai unsur yang berada diluar dirinya, seperti :

kondisi alam dan minimnya keterlibatan dalam pembuatan kebijakan pertanian.

Usaha tani modern telah membuka babak baru dimana buruh tani bergantung pada

majikannya, pemasaran produksi pertanian berada dibawah hukum permintaan dan

penawaran pasar, bahkan harga jual produk pertaniannya selalu terancam oleh

rekayasa praktek ekonomi makro (Soetomo, 1997 : 29).

Dalam konstelasi global, sejak pertanian sudah menjadi sebuah industri, maka

petani termasuk di Indonesia mulai dipaksa untuk menggunakan bibit, pupuk dan

pestisida dari perusahaan produsen. Tenaga penyuluh pertanian berdatangan. Mereka

dibekali dengan pengetahuan berbasis kepentingan perusahaan pengirim. Yang terjadi

kemudian adalah semakin tingginya ketergantungan petani terhadap perusahaan

pembuat pupuk dan pestisida, serta penyedia bibit tanaman yang membuat petani

tidak memiliki ketahanan dalam kelanjutannya berada pada jeratan kepentingan para

(6)

terus meningginya harga bibit tanaman, pupuk dan pestisida. Untuk kemudian

membuat petani berada dalam lingkaran kredit (uang ataupun produk pertanian) yang

berkelanjutan.

Contoh pola ketergantungan dapat dilihat ketika dilaksanakannya modernisasi

pertanian atau revolusi hijau di Indonesia. Ketika itu, para petani harus membayar

semua asupan kecuali tenaga sendiri. Petani tidak lagi dapat memobilisasi asupan

produksi sendiri. Asupan produksi yang berupa bibit unggul, pupuk buatan,

insektisida, pestisida, harus mereka beli dari toko-toko yang merupakan outlet dari

perusahaan besar. Kredit Usaha Tani sebagai modal untuk pembelian asupan harus

pula dibayarkan kembali oleh para petani. Bahkan tanah harus disewa oleh petani,

entah dengan sewa tahunan atau bagi hasil dengan para pemilik tanah. Di beberapa

tempat penggunaan air irigasi harus mereka bayar berupa dana tirta (untuk perbaikan

selokan dan upah bagi tenaga pengatur irigasi).

Dapat dilihat beberapa pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik

tanah, antara lain:

1. Dari segi penggunaan dan pemakaian tanah/lahan pertanian

2. Dari segi penggunaan dan pemakaian teknologi alat-alat pertanian dalam

rangka mengolah lahan pertanian.

3. Dari segi permodalan ; baik berupa uang, bibit, pupuk, dll.

Keadaan ketergantungan di antara petani dan pemilik tanah membuat kondisi

kemiskinan menjadi sangat sulit untuk dielakkan. Pada tahun 1998, terdapat 49,5 juta

jiwa penduduk miskin di Indonesia dan sekitar 60 % (29,7 juta jiwa) tinggal di

(7)

sekaligus diperkuat dengan laporan Harian Kompas pada tahun 2004 yang

menyatakan bahwa lebih dari 60 % penduduk di Indonesia tinggal di daerah

pedesaan. Desa sampai saat ini tetap menjadi kantong terbesar, utama dan pusat

kemiskinan.

Biro Pusat Statistik (Kompas, 2006) juga menyebutkan bahwa kantong

penyebab kemiskinan desa umumnya bersumber dari sektor pertanian yang

disebabkan, antara lain: Pertama. Ketimpangan kepemilikan lahan pertanian. Kedua.

Kesenjangan di sektor pertanian juga di sebabkan ketidakmerataan investasi. Ketiga.

Alokasi anggaran kredit yang terbatas juga menjadi penyebab daya injeksi sektor

pertanian di pedesaan melemah. Keempat. Kemiskinan erat kaitannya dengan tingkat

pendidikan pada masyarakat pedesaan. Kelima. Adanya disparitas tingkat pendidikan

antar kelompok masyarakat yang masih cukup tinggi antara penduduk kaya dan

penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan perempuan (segregasi jender) di

penduduk pedesaan. Keenam. Minim dan terbatasnya penerapan teknologi modern

dalam berbagai bentuk seperti intensitas pemakaian traktor, pupuk non-organik dan

luas lahan irigasi teknis.

Gambaran kehidupan petani penyewa di pedesaan dapat dengan jelas

teridentifikasi ketika digunakan beberapa indikator untuk melihatnya, seperti:

1. Less bargaining position (lemahnya posisi tawar) petani penyewa terhadap

akses kepemilikan tanah dan alat-alat produktif yang sangat sedikit yang pada

umumnya hampir dikuasai sepenuhnya oleh pemilik tanah dan pengusaha.

2. Kurangnya akses terhadap kepemilikan sandang, pangan dan hunian yang

(8)

3. Kualitas sumber daya manusia (SDM) akan pendidikan formal kurang

memadai, dan lainnya.

Gambaran kehidupan petani penyewa yang bergantung kepada pemilik tanah

inilah yang membuat timbulnya ketertarikan saya untuk meneliti. Keadaan pertanian

di Desa Rakut Besi menggambarkan pemilik tanah sangat menentukan berhasil

tidaknya kegiatan pertanian. Apabila melihat sebuah lingkaran tahapan pertanian

maka pemilik tanah hampir berpengaruh sepenuhnya. Diawali kegiatan menyewa,

menanam, merawat, panen sampai kepada menjual produk atau hasil pertanian, petani

penyewa tetap memiliki ketergantungan pada pemilik tanah. Dan pemilik tanah

mempunyai pengaruh yang kuat untuk mengintervensi petani penyewa.

Dalam observasi awal, di Desa Rakut Besi Kecamatan Pamatang Silima Huta

Kabupaten Simalungun ditemukan bahwa penduduk desa ini hampir seluruhnya

bermata pencaharian sebagai petani dimana petani di daerah ini berkonsentrasi pada

tanam-tanaman pangan (palawija). Kepemilikan tanah secara personal tidak diketahui

secara spesifik karena sebagian besar tanah merupakan warisan turun-temurun dari

orangtua. Desa ini secara geografis terletak pada dataran tinggi dengan tanah yang

subur dan merupakan sentra tanaman pangan (palawija). Dari observasi awal tersebut,

peneliti melihat bahwa petani penyewa hidupnya sangat sulit, miskin dan tidak

(9)

1.2. Perumusan Masalah

Dari pemaparan latar belakang diatas, yang menjadi perumusan masalah

penelitian ini, adalah:

1. Bagaimana pola kehidupan petani penyewa dan pemilik tanah di Desa Rakut

Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

2. Bagaimana pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik tanah di

Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pola kehidupan petani penyewa dan pemilik tanah di Desa

Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten Simalungun.

2. Untuk mengetahui pola ketergantungan petani penyewa terhadap pemilik

tanah di Desa Rakut Besi, Kecamatan Pamatang Silima Huta, Kabupaten

Simalungun.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sebuah kajian ilmiah yang penting

bagi masyarakat, akademisi, dan instansi terkait (baik pemerintah maupun

(10)

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini di harapkan berguna sebagai sumbangan pemikiran

dan masukan serta pertimbangan kepada para petani, pemilik tanah dan pembuat

kebijakan di bidang pertanian dan sebagai bahan komparatif dalam penelitian

yang sejenis di kemudian hari.

1.4.3. Manfaat Bagi Penulis

Penelitian ini diharapkan dapat mempertajam kemampuan peneliti dalam

mengungkap gejala-gejala sosial dan dalam menghadapi berbagai persoalan yang

ada dan timbul di tengah-tengah masyarakat.

1.5. Definisi Konsep 1.5.1. Pola

Pola adalah standardisasi, penggolongan, organisasi atau arah dari

perilaku (Soekanto, 1985 : 361). Pola dalam penelitian ini diarahkan pada

tindakan (action) yang berulang-ulang dan telah tertata yang dalam kesehariannya

dilakukan oleh petani penyewa dan pemilik tanah.

1.5.2. Ketergantungan

Ketergantungan adalah keadaan dimana kehidupan ekonomi suatu

kelompok tertentu dipengaruhi oleh perkembangan dan ekspansi dari kehidupan

ekonomi kelompok lain, dimana kelompok tertentu ini hanya berperan sebagai

penerima akibat saja.

Dalam penelitian ini, petani penyewa adalah pihak yang lebih rendah

(11)

lebih tinggi. Ketergantungan juga dapat dirumuskan sebagai suatu relasi sosial

dimana ada dua pihak yang berhubungan yang hubungannya tidak sejajar

(asimetris).

1.5.3. Pola Ketergantungan

Jadi pola ketergantungan adalah model atau bentuk ketergantungan antara

individu-individu, individu-kelompok atau kelompok-kelompok dalam berbagai

situasi tertentu. Di dalam pola ketergantungan ini terdapat norma, status dan

tujuan. Norma, status dan tujuan harus ada di masing-masing pihak. Pola

ketergantungan memiliki intensitas rendah, sedang dan kuat.

Adapun bentuk atau pola ketergantungan dalam penelitian ini adalah:

1. Dari segi kepentingan akan tanah/lahan

2. Dari segi penggunaan dan pemakaian teknologi alat-alat pertanian dalam

rangka mengolah lahan pertanian. Adapun alat-alat tersebut, meliputi:

Alat sederhana, seperti: cangkul, bajak manual, alat semprot manual dan

sebagainya.

Alat/mesin modern, seperti: traktor, mesin bajak, mesin semprot, mesin

potong rumput, truk, pick-up dan sebagainya.

3. Dari segi permodalan.

Ternyata pemilik tanah tidak hanya berkuasa dalam hal pemasaran

melainkan juga berkuasa terhadap modal. Dan dalam hal ini, petani sangat

dirugikan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan pemilik tanah, seperti :

peminjaman uang (modal), bibit, pupuk, pestisida, insektisida, dan

(12)

1.5.4. Petani Penyewa

Petani diartikan sebagai pencocok tanam pedesaan yang mencari nafkah

dan cara hidupnya dengan mengolah tanah, dimana kegiatan usahanya bersifat

mencari keuntungan. Sedangkan penyewa adalah orang yang menyewakan

barang atau benda miliknya kepada orang lain. Jadi petani penyewa adalah

petani yang menyewa tanah/lahan pertanian dari pemilik tanah. Petani tersebut

berkonsentrasi pada tanaman pangan (palawija).

Dalam penelitian ini, petani penyewa yang dimaksud adalah petani yang

mempunyai lahan terbatas, akses pemasaran yang terbatas, pemenuhan

kebutuhan hidup yang terbatas, tidak mempunyai kemampuan dan pengetahuan

yang memadai untuk berubah, tidak memiliki kecakapan terapan yang cukup

memadai untuk melindungi diri, tidak memiliki fasilitas gudang dan transportasi

untuk memanfaatkan fluktuasi harga, tidak mempunyai kekuatan tawar-menawar

untuk mempengaruhi harga produk mereka atau memperoleh harga yang adil

dari harga pasar.

1.5.5. Pemilik Tanah

Pemilik tanah adalah seseorang atau individu yang melakukan

usaha-usaha maksimasi (maksimal) keuntungan melalui kegiatan sewa-menyewa

tanah.

Dalam penelitian ini, pemilik tanah terkadang melakukan usaha

maksimasi keuntungan dengan melanggar norma-norma masyarakat yang

(13)

tanah bersedia menyewakan tanah kepada petani. Pemilik tanah juga

mempunyai peralatan pertanian yang modern dan bersedia menyewakannya.

Pemilik tanah juga mempunyai jaringan untuk akses pemasaran hasil pertanian.

Pemilik tanah juga mempunyai fasilitas lainnya dan bersedia menyewakannya,

seperti: bibit unggul, pupuk, pestisida, insektesida dan lain sebagainya

1.5.6. Pertanian

Pertanian dalam arti luas adalah semua kegiatan dalam usaha reproduksi

flora dan fauna yang dibagi dalam 5 sektor, yaitu pertanian rakyat, perkebunan,

peternakan, perikanan, dan kehutanan. Dan pertanian dalam arti sempit adalah

pertanian yang khususnya ditujukan terhadap pertanian rakyat.

Penggolongan pertanian menurut bidangnya ada 2 macam: pertanian

tanaman perkebunan (keras) dan pertanian tanaman pangan (palawija).

Pertanian tanaman perkebunan (keras), contoh: perkebunan kelapa sawit, teh,

karet dan tanaman menahun lainnya. Sedangkan pertanian tanaman pangan,

Referensi

Dokumen terkait

Untuk diagnosa ketiga adalah intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik dengan outcome yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam

Selanjutnya perubahan yang dirasakan jama’ah setelah mengikuti khalwat yaitu bisa mengendalikan amarah, rendah hati, empati, menghargai orang lain, berpikir positif,

Mayoritas subyek penelitian mengakui bahwa mereka mengkonsumsi bukan karena nilai kemanfaatan tetapi karena gaya hidup dan demi sebuah citra diri, dengan memakai

Hampir 32% responden pula mengatakan bahawa aktiviti-aktiviti yang dijalankan dalam projek ICT tersebut tidak sesuai dengan keperluan mereka, sementara 13% pula

Dengan demikian, strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu

Peserta konferensi perdana ini adalah guru-guru Matematika, Sains, dan bahasa Inggris SMA yang pernah mengikuti pelatihan pengayaan kurikulum, pedagogi pembelajaran, dan

Reaksi ini akan menghasilkan selulosa triasetat dengan kadar sebesar 43,5% sedangkan kadar asetil pada selulosa asetat yang dibutuhkan berkisar antara 37 – 40,5%