• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS AKHIR MATA KULIAH PRAGMATIK NILAI KESANTUNAN PADA TUTURAN DALAM NOVEL PERAHU KERTAS BERDASARKAN PRINSIP KESANTUNAN LEECH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS AKHIR MATA KULIAH PRAGMATIK NILAI KESANTUNAN PADA TUTURAN DALAM NOVEL PERAHU KERTAS BERDASARKAN PRINSIP KESANTUNAN LEECH"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS AKHIR MATA KULIAH PRAGMATIK

NILAI KESANTUNAN PADA TUTURAN DALAM NOVEL PERAHU

KERTAS BERDASARKAN PRINSIP KESANTUNAN LEECH

Oleh :

Niken Kusumaningtyas 2101413062

PBSI 2

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015

(2)

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Novel sebagai sebuah karya sastra ditulis untuk dinikmati pembacanya. Dalam cerpen, dapat dijumpai berbagai bentuk percakapan selain narasi, perian tokoh, latar, dan alur cerita. Walaupun hanya merupakan hasil rekayasa pengarang semata, percakapan antartokoh itu dapat benar-benar mewakili tindak tutur yang lazim dilakukan oleh para pemakai bahasa yang sesungguhnya untuk berkomunikasi dalam sebuah interaksi di kehidupan sehari-hari.

Dalam komunikasi, kesantunan merupakan aspek penting dalam kehidupan sehari-hari untuk menciptakan komunikasi yang baik di antara penutur dan lawan tutur dan menjaga hubungan sosial peserta tutur agar tetap harmonis. Menurut Grice (dalam Rustono, 1999:81) kesantunan dalam berkomunikasi itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur.

Konsep kesantunan banyak dikemukakan oleh para ahli, salah satunya adalah Leech (1983). Prinsip kesantunan menurut Leech didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu tidak lain adalah bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutup memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap Leech (dalam Rustono, 1999:65) mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal (maksim) beserta subbidalnya, yaitu 1) bidal ketimbangrasaan, 2) bidal kemurahhatian, 3) bidal keperkenaan, 4) bidal kerendahan, 5) bidal kesetujuan, dan 6) bidal kesimpatian. Karena pentingnya kesantunan dalam berkomunikasi, peneliti dalam hal ini akan mengangkat mengenai nilai kesantunan dialog tokoh yang tertulis dalam sebuah novel.

Novel yang dipilih sebagai objek dalam penelitian ini adalah salah satu novel penulis terkenal Indonesia, Dewi Lestari atau yang lebih dikenal dengan nama pena Dee, dengan judul novel Perahu Kertas yang diterbitkan pada tahun 2009 hingga diangkat ke layar lebar menjadi sebuah film pada tahun 2012 lalu. Seperti yang banyak orang tahu, Dee selalu sukses menuliskan setiap karyanya dengan gaya bahasa dan diksi yang dapat dibilang “apik”. Karena itulah, peneliti ini diberi judul Nilai Kesantunan Berdasarkan

(3)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah tindak tutur (dialog tokoh) yang muncul dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari jika dianalisis dengan maksim-maksim prinsip kesantunan? 2. Bagaimanakah nilai kesantunan tuturan (dialog tokoh) yang terdapat dalam novel

Perahu Kertas karya Dewi Lestari?

C. Tujuan

Tujuan penelitian ini menjawab rumusan masalah di atas. Tujuan yang ingin dicapai dinyatakan berikut ini.

1. Mendeskripsikan tindak tutur (dialog tokoh) sesuai dengan maksim-maksim prinsip kesantunan yang muncul dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari.

2. Mendeskripsikan nilai kesantunan tindak tutur (dialog tokoh) sesuai dengan maksim-maksim prinsip kesantunan yang muncul dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari.

D. Manfaat

Dengan adanya penelitian ini, diharapkan memberikan manfaat teoretis dan manfaat praktis.

 Manfaat teoretis

1. Memperkaya referensi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu bahasa yang berkenaan tentang prinsip kesopanan dari suatu ujaran.

2. Menambah wawasan pembaca dan peneliti tentang prinsip kesopanan yang digambarkan di dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari.

3. Hasil temuan penelitian ini diharapkan pula dapat menambah perbendaharaan penelitian dalam bidang pragmatik.

4. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca terutama sebagai acuan dalam penelitian mengenai prinsip kesopanan di dalam novel yang berhubungan dengan teori pragmatik.

 Manfaat praktis

1. Dapat dijadikan referensi untuk penelitian mengenai kajian prakmatik khususnya mengenai prinsip kesopanan.

(4)

BAB 2 KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pragmatik

Pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf yang bernama Charles Morris. Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini walaupun pada sekitar dua dasawarsa yang silam ilmu ini jarang atau hamper tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya linguis bahwa upaya menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik (wijana, 1996:4).

Definisi pragmatik yang paling tua dikemukakan oleh Moris (1938), menurut beliau, pragmatik adalah cabang semiotik yang memperlajari relasi tanda dan penafsirannya (Levisson 1983:1). Jadi, pragmatik merupakan bagian ilmu tanda atau semiotik. Kekhususan bidang ini adalah penafsiran atas tanda atau bahasa.

(5)

Batasan pragmatik yang menonjol baru dikemukakan oleh Leech (1983), dalam bukunya yang berjudul Principles of Pragmatics, ia mengemukakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai makna ujaran di dalam situasi-situasi tertentu. Leech (1983) juga menuliskan bahwa pragmatik adalah studi tentang makna di dalam hubungannya dengan situasi ujar. Tampak bahwa kedua batasan itu mengeksplisitkan makna, yang kemudian di dalam pragmatik itu disebut maksud. Selanjutnya, keberadaan maksud itu amat bergantung kepada situasi ujar (Rustono 1999:1).

Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dan penafsirannya yang berkaitan dengan konteks yang berorientasi pada tujuan atau maksud.

B. Tindak Tutur

Tindak tutur merupakan entitas yang bersifat sentral dalam pragmatik. Pentingnya dan sentralnya itu tampak di dalam peranannya bagi analisis topik pragmatik lain. Chaer dan Agustina (2010: 50) mendefinisikan tindak tutur sebagai gejala individual yang bersifat psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur ini lebih menitikberatkan pada makna atau arti tindak dalam suatu tuturan. Tindak tutur dapat berwujud suatu pertanyaan, perintah, maupun pernyataan.

Menurut Hymes (via Chaer, 2010:48) ada delapan komponen yang harus dipenuhi dalam peristiwa tindak tutur yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkai menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen tersebut adalah sebagai berikut.

1. S = Setting and scene

Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene

mengacu pada situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda.

2. P = Participants

Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bias pembicara

atau pendengar, penyapa atau pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). 3. E = Ends : purpose and goal

Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

(6)

Act sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran ini

berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan.

5. K = Key : tone or spirit of act

Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan:

dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh atau isyarat.

6. I = Instrumentalities

Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,

tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

7. N = Norm of interaction and interpretation

Norm of interaction and interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam

berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara.

8. G = Genre

Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah,

doa, dan sebagainya.

Alasan ditampilkannya istilah tindak tutur adalah bahwa di dalam mengucapkan suatu ekspresi, pembicara tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan mengucapkan ekspresi itu. Dalam pengucapan ekspresi itu ia juga ‘menindakkan’ sesuatu (Purwo 1990:19). Dengan mengacu kepada pendapat Austin (1962), Gunawan (1994:43) menyatakan bahwa mengujarkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang mengucapkan (mengujarkan) tuturan itu. Demikianlah, aktivitas mengujarkan atau menuturkan tuturan dengan maksud tertentu itu merupakan tindak tutur (speech act).

Atas dasar sejumlah kriteria, ada beberapa jenis tindak tutur, yaitu tindak tutur konstatif, performatif, lokusi, ilokusi, perlokusi, representatif, direktif, ekspresif atau evaluatif, komisif, deklarasi atau establisif atau isbati, langsung, tidak langsung, langsung harfiah, langsung tidak harfiah, tidak langsung harfiah, dan tidak langsung tidak harfiah (Rustono 1999:31).

(7)

Konsep kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli. Dasar pendapat para ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk kaidah, ada pula yang diformulasi di dalam bentuk strategi. Konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk kaidah membentuk prinsip kesantunan. Sementara itu, konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk strategi membentuk teori kesantunan. Jadi konsep kesantunan dimanifestasikan di dalam dua wujud, yaitu prinsip kesantunan dan teori kesantunan (Rustono, 1999:61).

Prinsip kesantunan (politeness principile) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifar sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice, 1991:308). Alasan dicetuskannya prinsip kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan mematuhi prinsip kerjasama. Di samping untuk menyampaikan amanat, kebutuhan (dan tugas) penutur adalah menjaga dan memelihara hubungan sosial penutur-pendengar (walaupun ada peristiwa-peristiwa tuturan tertentu yang tidak menuntut pemeliharaan hubungan itu).

Sedangkan mengenai konsep kesantunan, pandangan Lakolf (1972) dan Leech (1983) tentang konsep kesantunan dirumuskan di dalam prinsip kesantunan. Sementara itu, Fraser (1978) dan Brown dan Levinson (1978) merumuskan konsep kesantunannya itu dalam teori kesantunan. Yang menarik dari pendapat para ahli itu adalah bahwa teori atau prinsip kesantunan yang diajukannya di latarbelakangi oleh pelanggaran prinsip kerja sama Grice.

D. Prinsip Kesopanan Menurut Leech

Prinsip kesantunan Leech didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu tidak lain adalah bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutup memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap Leech (dalam Rustono, 1999:65) mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal (maksim) beserta subbidalnya sebagai berikut.

1) Maksim ketimbangrasaan (tact maxim) (a) Minimalkan kerugian orang lain. (b) Maksimalkan keuntungan orang lain. 2) Maksim kemurahhatian (generosity maxim)

(8)

(a) Minimalkan keuntungan diri sendiri. (b) Maksimalkan kerugian diri sendiri. 3) Maksim keperkenaan (approbation maxim)

(a) Minimalkan penjelekan kepada orang lain. (b) Maksimalkan perkenaan kepada orang lain. 4) Maksim kerendahhatian (modesty maxim)

(a) Minimalkan pujian kepada diri sendiri. (b) Maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri. 5) Maksim kesetujuan (agreement maxim)

(a) Minimalkan ketidaksetujuan diri sendiri dengan pihak lain. (b) Maksimalkan kesetujuan diri sendiri dengan pihak lain. 6) Maksim kesimpatian (sympathy maxim)

(a) Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan pihak lain. (b) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan pihak lain. Berikut uraian setiap maksim kesopanan itu.

1) Maksim ketimbangrasaan

Maksim ketimbangrasaan mengharuskan penutur untuk meminimalkan kerugian orang lain atau memaksimalkan keuntungan orang lain. Maksim ini dilaksanakan dengan bentuk tuturan impositif dan komisif. Tuturan impositif adalah bentuk tuturan yang digunakan untuk menyatakan perintah. Tuturan komisif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan janji, penawaran, dll. Berkaitan dengan itu, Leech (1993: 168) mencontohkan beberapa tuturan di bawah ini secara berurutan berdasarkan tingkat kesantunannya.

(20) Answer the phone. kurang santun

‘Angkat telepon’.

(21) I want you to answer the phone. ‘Saya ingin kamu angkat telepon?’ (22) Will you answer the phone?

‘Maukah Anda mengangkat telepon?’ (23) Can you answer the phone?

‘Dapatkah Anda mengangkat telepon?’ (24) Would you mind answering the phone?

‘Apakah Anda keberatan mengangkat telepon?’ (25) Could you possibly answer the phone?

‘Apa mungkin Anda mengangkat telepon?’ lebih santun

Keenam tuturan itu digunakan untuk memerintah mitra tutur mengangkat telepon. Namun, tuturan (25) memiliki kadar kesantunan tertinggi daripada kelima tuturan lainnya. Penutur telah meminimalkan kerugian orang lain dan memaksimalkan keuntungan orang lain melalui pemilihan tuturan tersebut.

(9)

2) Maksim Kemurahhatian

Maksim kemurahhatian mengharuskan penutur untuk meminimalkan keuntungan diri sendiri dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Maksim ini diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif. Sebagai ilustrasi atas pernyataan itu, Leech (1993: 210) memberikan contoh tuturan berikut.

(26) Could I borrow this electric drill? ‘Dapatkah saya pinjam bor listrik ini?’ (27) Could you lend me this electric drill?

‘Dapatkah kamu meminjamkan bor listrikmu kepada saya?’

Tuturan (26) lebih santun daripada tuturan (27). Tuturan (26) secara halus telah menghilangkan acuan pada kerugian mitra tutur dengan menggunakan kata saya daripada kata kamu. Hal itu disebabkan oleh berpusatnya maksim ini kepada konsep diri atau penutur.

3) Maksim Keperkenaan

Maksim keperkenaan mengharuskan penutur untuk meminimalkan kecaman terhadap orang lain, tetapi harus memaksimalkan pujian kepada orang lain itu. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Sebagai ilustrasi, Leech (1993: 212) memberikan contoh tuturan di bawah ini.

(28) What a marvellous meal you cooked. ‘Masakanmu enak sekali’.

(29) What an owful meal you cooked. ‘Masakanmu sama sekali tidak enak’.

Tuturan (28) dianggap lebih sopan daripada tuturan (29). Tuturan (28) mengungkapkan sebuah pujian, sedangkan tuturan (29) mengecam kepada mitra tuturnya. Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan melalui tuturan (30). Tuturan ini diungkapkan seorang istri kepada suaminya yang telah membantu untuk memasak.

(30) “Bapak memang tidak hanya pandai mengasuh anak-anak, tetapi juga pandai membantu ibu di dapur.”

4) Maksim Kerendahhatian

Maksim kerendahhatian mengharuskan penutur untuk meminimalkan pujian kepada dirinya, tetapi harus mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Seperti halnya maksim pujian, maksim ini juga diungkapkan dengan bentuk tuturan ekspresif dan asertif. Untuk itu, Leech (1993: 214) mencontohkan dengan tuturan berikut.

(31) Please accept this small as a token of our esteem.

(10)

Tuturan (31) sesuai dengan maksim ini karena penutur telah meminimalkan pujian atau kemurahan hati diri sendiri. Hal ini dapat dibandingkan dengan contoh dalam bahasa Indonesia berikut.

(32) “Maaf Pak, semoga Bapak sudi menerima kenang-kenangan yang tidak berharga dari kami semua yang merasa berhutang budi atas kebaikan Bapak membimbing kami selama ini.”

Tuturan (32) dituturkan seorang kepala desa kepada wakil dari rombongan penyuluh pertanian. Peristiwa itu terjadi saat rombongan penyuluh akan meninggalkan desa tempat mereka berpraktik.

5) Maksim Kesepakatan

Maksim kesepakan mengharuskan seseorang untuk memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain dan meminimalkan ketidaksepakatan dengan orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan asertif. Leech (1993: 217) memberikan contoh (33) sebagai ilustrasi maksim ini.

(33) A : It was an interesting exhibition, wasn’t it? ‘Pamerannya menarik, bukan?’

B : No, it was very uninteristing.

‘Tidak, pamerannya sangat tidak menarik’.

Jawaban (B) terasa kurang santun karena melanggar maksim kesepakatan yang menggariskan agar memaksimalkan kesepakatan dengan orang lain. Hal ini dapat dipertimbangkan dengan contoh berikut.

(34) A : “Ujiannya tadi sulit sekali, ya?” B : “Betul, kepalaku sampai pusing.”

Jawaban (B) telah mematuhi maksim ini dengan cara memaksimalkan kesepakatan dengan (A).

6) Maksim Kesimpatian

Maksim kesimpatian mengharuskan penutur dan mitra tutur memaksimalkan rasa simpati dan meminimalkan rasa antipati di antara mereka. Maksim ini diperlukan untuk mengungkapkan suatu kesantunan karena setiap orang perlu bersimpati terhadap prestasi yang dicapai atau musibah yang melanda orang lain. Maksim ini diungkapkan dengan bentuk tuturan asertif. Leech (1993: 219) mencontohkan ucapan selamat berikut untuk menunjukkan kepatuhan terhadap maksim simpati.

(35) I’m delighted to hear about your cat.

‘Saya senang sekali mendengar tentang kucingmu’.

Penutur mengucapkan selamat atas kemenangan kucing temannya yang menjuarai kontes kucing. Contoh dalam bahasa Indonesia dapat dipertimbangkan tuturan berikut.

(11)

(36) “Sabar dan tawakal, ya. Kami yakin pada ujian tahun depan kamu akan dapat menyusul kami.”

Tuturan (36) merupakan ucapan simpati dari penutur kepada salah seorang temannya yang gagal ujian masuk perguruan tinggi.

Secara umum, pendapat Leech di atas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Dalam bentuk negatif

Kurangilah tuturan-tuturan yang tidak santun atau gunakanlah sesedikit mungkin tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat yang tidak santun menjadi sesantun mungkin.

2. Dalam bentuk positif

Perbanyak atau gunakanlah sebanyak-banyaknya tuturan-tuturan yang mengungkapkan pendapat-pendapat yang santun. Baik dalam bentuk positif maupun negatif, tuturan-tuturan yang santun menguntungkan petutur, sedangkan tuturan-tuturan yang tidak santun merugikan penutur atau pihak ketiga (Yeni Mulyani Supriatin, 2007: 55). Hal ini sejalan dengan awal mula konsepnya bahwa kesantunan berbahasa lebih terpusat pada “lain” atau mitra tutur.

E. Hakikat Novel

Pengertian Novel

Salah satu jenis karya sastra berbentuk prosa narasi adalah novel selain roman dan cerita pendek. Secara etimologi, kata novel berasal dari bahasa Italia, novella yang secara harfiah berrati ’sebuah barang baru yang kecil’, dan kemudian diartikan sebagai ’cerita pendek dalam bentuk prosa’ (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 9). Kata ini kemudian diserap oleh bahasa Inggris menjadi

novel. Dari bahasa Inggris inilah, kata novel dalam bahasa Indonesia

dimunculkan. Rene Wellek dan Austin Warren (1977: 216) mengemukakan bahwa ”the novel is a picture of real life and manners, and of the time in which it is

written. And the romance, in lofty and elevated language, described what never happened nor is likely to happen” ‘novel adalah gambaran dari kehidupan dan

perilaku yang nyata, dari zaman saat novel itu ditulis. Romansa yang ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa yang pernah ditulis dan apa yang pernah terjadi’. Lebih lanjut, Melani Budianta, (ed.), 2002: 77) mengatakan bahwa karya sastra ini berbentuk sederetan kisah atau peristiwa.

(12)

Pengarang membangun kisahan ini melalui narasi panjang dengan didukung oleh unsur dari dalam novel ini yang lazim disebut unsur intrinsik, seperti alur, tokoh, latar, tema, dan amanat. Kisahan yang dibangun ini bersifat imajinatif semata. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa novel merupakan karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa tokoh. Diawali dari kemunculan suatu persoalan yang dialami tokoh hingga tahap penyelesaiannya.

Bahasa Novel

Sebuah novel umumnya dikembangkan dalam dua bentuk penuturan: narasi dan dialog (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 310). Kedua bentuk itu hadir secara bergantian sehingga cerita yang ditampilkan menjadi tidak bersifat monoton, terasa variatif, dan segar. Pengungkapan dengan gaya narasi memiliki pengertian semua pertuturan yang bukan bentuk percakapan yang sering dapat menyampaikan sesuatu secara lebih singkat dan langsung. Artinya, pengarang mengisahkan cerita secara langsung atau pengungkapannya bersifat menceritakan. Jika dilihat dari segi hubungan antara tokoh cerita dengan pembaca, komunikasi yang dilakukan menjadi bersifat taklangsung. Pembaca seolah takmendengar sendiri kata-kata dan percakapan antara para tokoh sebab percakapan itu telah ditaklangsungkan oleh pengarang.

Pengungkapan dalam bentuk dialog atau percakapan seolah-olah pengarang membiarkan pembaca untuk melihat dan mendengar sendiri kata-kata seorang tokoh, percakapan antartokoh, bagaimana wujud kata-katanya dan apa isi percakapannya. Gaya ini dapat memberikan kesan realistis, sungguh-sungguh dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang dituturkan dengan gaya narasi. Percakapan dalam novel baru akan efektif jika telah jelas konteks berlangsungnya sebuah pertuturan. Sebuah percakapan yang hadir dalam kalimatpertama sebuah novel tidak akan begitu saja dapat dipahami pembaca sebelum mereka mengetahui konteks situasinya. Dengan mengetahui konteks pertuturan, baik konteks lingual maupun konteks nonlingual, pembaca dapat mengetahui maksud sebuah tuturan seorang tokoh dalam novel (D. Edi Subroto dalam Dwi Purnanto (ed.), 2009: 80). Hal ini lebih dipertegas lagi dengan teori

(13)

tindak tutur yang menggarisbawahi bahwa orang yang bertutur tidak sekadar bertutur, tetapi juga melakukan tindakan.

BAB 3

METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan masyarakat tersebut melalui bahasanya, serta peristilahan” (Kirk dan Miller dalam T. Fatimah Djadjasudarma, 1993: 10). Secara khusus, penelitian ini berbentuk kualitatif deskriptif. Penelitian semata-mata hanya didasarkan pada penggunaan bahasa secara komunikatif. 2. Populasi dan Sampel

Sudaryanto (1990: 36) mendefinisikan populasi sebagai “jumlah keseluruhan pemakaian bahasa tertentu yang tidak diketahui batas-batasnya akibat dari banyaknya orang yang memakai (dari ribuan sampai jutaan), lamanya pemakaian (di sepanjang

(14)

hidup penutur-penuturnya), dan luasnya daerah serta lingkungan pemakaian”. Ringkasnya, populasi pemakaian bahasa sama dengan jumlah keseluruhan pemakaian bahasa, baik yang akan dipilih maupun tidak dipilih untuk dianalisis.

Populasi penelitian ini mencakup beberapa tuturan yang terdapat di dalam novel

Perahu Kertas. Sebagian tuturan yang diambil dari populasi merupakan sampel

penelitian. Pengambilan sampel dilakukan pada sumber data yang dianggap memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti. Sampel penelitian ini mencakup tuturan langsung yang berdiri tanda petik (“…..”) baik monolog maupun dialog. Data yang diperoleh merupakan data kualitatif.

3. Sumber Data

Data sebagai bahan penelitian bukan bahan mentah atau calon data, melainkan bahan jadi yang siap untuk dianalisis (Sudaryanto, 1990: 3). Data penelitian ini mencakup semua tuturan dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Data tersebut berwujud dialog maupun monolog yang ditandai munculnya tanda petik (“…..”) dari tokoh yang ada dalam novel. Dengan sumber data tertulis pada penelitian ini yang berwujud novel berjudul Perahu Kertas karya Dewi Lestari yang diterbitkan oleh penerbit PT Bentang Pustaka, Yogyakarta tahun 2009.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dengan menggunakan teknik simak, dan teknik catat. Penggunaan teknik simak dalam pengumpulan data disebabkan peneliti harus menyimak dan membaca tuturan berupa dialog tokoh pada novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari ini untuk mendapatkan data yang dapat mendukung penelitian ini. Sedangkan dengan teknik catat digunakan untuk mendukung teknik simak, peneliti mencatat data berupa dialog tokoh yang dapat dijadikan data pendukung penelitian ini dari hasil membaca (menyimak) novel yang dijadikan sumber data penelitian ini.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif, metode analisis deskriptif merupakan usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data, kemudian dilakukan analisis terhadap data tersebut (Winarno Surachman 1990:139). Penggunaan analisis deskriptif pada penelitian ini disebabkan

(15)

karena penerapan metode kualitatif pada penelitian ini dan data yang dikumpulkan berupa tuturan dialog tokoh (kata-kata) pada novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari. Laporan penelitian nantinya akan berisi kutipan-kutipan data dan pengolahan data untuk memberi gambaran penyajian laporan tersebut.

BAB 4 PEMBAHASAN

1. Analisis dialog berdasarkan Maksim prinsip kesantunan A. Maksim Ketimbangrasaan

(1a) “Minggu depan, pokoknya ngak mau tahu, lu harus udah sampai di Bandung. Mobil Eko udah gua suruh masuk bengkel dulu biar ngak mogok pas njemput lu ke stasiun. Habis itu kita langsung keliling buat belanja kebutuhan lu. Kamar lu udah gua sapu-sapu dari kemarin. Pokoknya tahu beres deh.’

(1b) “Tapi lu juga lebih rajin dari tiga pembantu gua dijadiin satu.”

Tuturan (1a) menunjukkan penuturnya meminimalkan biaya kepada pihak dan memaksimalkan keuntungan untuk pihak penutur (1b). Sebenarnya menurut maksim ketimbangrasaan prinsip kesopanan Leech, tuturan di atas memiliki ketimbangrasaan yang cukup tinggi, tetapi dari segi penggunaan bahasa dinilai kurang santun. Namun demikian, tuturan di atas memiliki konteks percakapan yang dilakukan oleh dua orang sahabat yang sudah terbiasa menggunakan bahasa nonformal.

(16)

(2a) “Semua salah Papa, Nan,” Adri mengucap lirih, “Papa yang nggak berusaha memahami kamu, berusaha mengurung kamu, dan nggak pernah member kamu kebebasan menjadi diri kamu sendiri. Sementara kamu…, kamu sudah berani mengorbankan impian kamu, demi bias kembali ke sini, mengurus keluarga ini.” (2b) “Selamanya, saya akan tetap melakukan hal yang sama. Dengan situasi Papa

waktu itu, pulang ke sini bukanlah pilihan bagi saya, buka juga pengorbanan,” sergah Keenan, “tapi sekarang, saya ingin kembali memilih.”

Adri tersenyum. “Di mata Papa, semua itu terbalik, Nan. Kamu nggak perlu memilih untuk melukis. Itulah diri kamu. Selamanya.”

Tuturan (2a) menunjukkan penuturnya meminimalkan biaya kepada pihak dan memaksimalkan keuntungan untuk pihak penutur (2b). Menurut maksim ketimbangrasaan prinsip kesopanan Leech, tuturan di atas memiliki ketimbangrasaan yang cukup tinggi, penggunaan bahasanya dengan konteks percakapan yang dilakukan antara anak kepada ayahnya (orang tua) di atas, dinilai sudah santun.

B. Maksim Kemurahhatian (1a) “Oma jadi masak?”

(1b) “Bruinebonen soep dan kaas brodje. Sesuai pesananmu. Oma kan tidak bisa lupa, vent. Oma selalu pegang janji.”

Tuturan di atas menunjukkan penutur (1b) memaksimalkan keuntungan untuk pihak penutur (1a), dengan begitu tuturan di atas dapat dinilai santun karena memiliki nilai maksim kemurahan hati yang positif (tinggi).

C. Maksim Keperkenaan

(1a) “Kapan mulai beres-beres, Gy? Buku-buku lu yang banyak banget itu dipaketin aja ke Bandung, ngak usah bawa sendiri. Bagasi mobilnya Eko kan kecil, nanti ngak bakal muat. Lu bawa baju-baju aja, ya? Tiket kereta api udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar terpaksa beli di calo. Sayang duit.”

(17)

Tuturan di atas menunjukkan penutur (1b) memuji pihak penutur (1a) dengan nilai kesantunan yang rendah, karena bahasa yang digunakan untuk memujinya dianggap kurang memiliki nilai positif.

(2a) “Nama kamu yang paling unik, ya.”

(2b) “Tepatnya, yang paling aneh,” Kugy tergelak, “kayaknya waktu itu orangtuaku habis bahan. Masih untung ngak jadi Karbol.”

(2a) “Tapi kamu yang paling cantik.”

Tuturan di atas menunjukkan penutur (2a) memuji pihak penutur (2b) dengan nilai kesantunan yang tinggi, karena bahasa yang digunakan untuk memujinya memiliki nilai positif.

D. Maksim Kerendahhatian

(1a)“Gimana sih, gua. Payah banget.”

(1b) Noni tiba-tiba tertawa. “Kok lu jadi marahin diri lu sendiri!”

(1a)“Iya, ya?” kugy ikut tertawa. “Supaya menghemat energy lu, Non. Kan lu udah capek bantuin gua. Udah capek ngurusin si Eko dan Fuad-nya yang ngadat melulu itu…”

Tuturan di atas menunjukkan penutur (1a) memaksimalkan penjelekan terhadap dirinya sendiri dengan bahasa yang negarif dan dinilai kurang baik (rendah).

(2a) “Jadi, cuma gara-gara penilaian satu galeri, dan sekelompok orang yang entah siapa, kamu mengorbankan semua mimpi kamu. Gitu?” Nada bicara Kugy kian meruncing.

(2b) “Wake up, Gy,” Keenan melengos, “Warsita bukan sekedar galeri. Dan orang-orang itu adalah kolektor lukisan yang berpengalaman. Kamu dan Eko bisa aja bilang lukisan saya bagus karena kalian teman-teman saya. Tapi orang-orang itu lebih tahu.”

Tuturan di atas menunjukkan penutur (2b) memaksimalkan penjelekan terhadap dirinya sendiri dengan bahasa yang dinilai masih positif (baik).

(18)

(1a) “Ma, aku bolos sehari, deh. Aku juga mau ke Bandung. Ketemu Mas Eko,” rengek Jeroen.

(1b) Sayang, ibunya tetap menggeleng. “Nggak bisa, Roen. Kamu harus sekolah.” Tuturan di atas menunjukkan penutur (1b) minimalkan kesetujuan antara dirinya dengan penutur (1a) dengan bahasa yang dinilai masih positif, karena konteks percakapannya terjadi antara ibu dan anak.

(2a) “Jadi… saya boleh-?”

(2b) “Kapan pun kamu siap, kamu bisa "berhenti,” Adri berkata lembut, “jangan khawatir tentang apa-apa. Papa pasti bisa cari jalan lain. Papa yakin.”

Tuturan di atas menunjukkan penutur (2b) maksimalkan kesetujuan antara dirinya dengan penutur (2a) dengan bahasa yang dinilai masih positif, karena konteks percakapannya terjadi antara ayah dan anak.

F. Maksim Kesimpatian

(1a) “Boleh tahu kapan kamu melukis?” (1b) “Waktu tahu saya lolos UMPTN.”

(1a) “Kamu…sebetulnya…terpaksa kuliah di sini, ya?” ucap Kugy hati-hati

Tuturan di atas, penutur (1a) dalam tuturannya yang terakhir maksimalkan menunjukkan simpati kepada penutur (1b) dengan bahasa yang dinilai masih baik (positif).

(2a) “Ah. Such a shame,” Wanda tersenyum tipis, “kamu sangat, sangat berbakat.” (2b) “Oh, ya?” Alis Keenan mengangkat. “Menurut kamu lukisan-lukisan ini cukup

layak masuk galeri?”

(2a) “Layak?” kali ini Wanda mendongak menatap Keenan, tegak halus, “harusnya kamu cari nafkah dari melukis.”

Tuturan di atas, penutur (2a) dalam tuturannya yang terakhir maksimalkan menunjukkan simpati kepada penutur (2b) dengan bahasa yang dinilai masih baik (positif).

(19)

BAB 5 PENUTUP

A. Simpulan

Prinsip kesantunan Leech didasarkan pada kaidah-kaidah. Kaidah-kaidah itu tidak lain adalah bidal-bidal atau pepatah yang berisi nasihat yang harus dipatuhi agar tuturan penutup memenuhi prinsip kesantunan. Secara lengkap Leech (dalam Rustono, 1999:65) mengemukakan prinsip kesantunan yang meliputi enam bidal (maksim) beserta subbidalnya sebagai berikut.

1) Maksim ketimbangrasaan (tact maxim) (a) Minimalkan kerugian orang lain. (b) Maksimalkan keuntungan orang lain. 2) Maksim kemurahhatian (generosity maxim)

(a) Minimalkan keuntungan diri sendiri. (b) Maksimalkan kerugian diri sendiri. 3) Maksim keperkenaan (approbation maxim)

(a) Minimalkan penjelekan kepada orang lain. (b) Maksimalkan perkenaan kepada orang lain. 4) Maksim kerendahhatian (modesty maxim)

(a) Minimalkan pujian kepada diri sendiri. (b) Maksimalkan penjelekan kepada diri sendiri. 5) Maksim kesetujuan (agreement maxim)

(a) Minimalkan ketidaksetujuan diri sendiri dengan pihak lain. (b) Maksimalkan kesetujuan diri sendiri dengan pihak lain. 6) Maksim kesimpatian (sympathy maxim)

(a) Minimalkan antipati antara diri sendiri dengan pihak lain. (b) Maksimalkan simpati antara diri sendiri dengan pihak lain

Analisis tindak tutur yang berwujud dialog tokoh pada novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari berdasarkan maksim-maksim prinsip kesantunan menurut Leech di atas menimbulkan nilai positif (kesantunan yang tinggi) dan nilai negatif (kesantunan

(20)

yang rendah), hal ini dikarenakan penggunaan bahasa yang digunakan tokoh dalam berdialog disesuaikan dengan konteks dan dengan siapa tokoh melakukan dialog tuturan dalam novel Perahu Kertas tersebut.

B. Saran

Penelitian mengenai nilai kesantunan pada tuturan dalam novel Perahu Kertas karya Dewi Lestari ini masih perlu ditindaklanjuti dengan penelitian-penelitian mengenai hal yang sama berikutnya, hal ini supaya apa yang masih kurang dan belum dianalisis secara mendalam pada penelitian ini mendapat tindak lanjut sehingga pembaca pada umumnya nanti akan mendapatkan informasi yang belum tersampaikan sebagai wawasan dan pengetahuan mengenai kajian pragmatik khusunya mengenai prinsip kesantunan yang penting untuk diterapkan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Karena dengan wawasan dan pengetahuan mengenai prinsip kesantunan, nantinya penutur dengan mitra tuturnya suatu bahasa (bahasa Indonesia) dapat bertutur yang baik baik dari segi estetis maupun moral dalam berbahasa.

(21)

Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press. Yule, George. 2006. Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Lestari, Dewi. 2009. Perahu Kertas. Yogyakarta: PT Bentang Pustaka

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan

Referensi

Dokumen terkait

‫املوضوع نفسه الذي يكمن وراء الشاعر لتأليف عمله واستخدامه مع نقطة معينة‪ .‬مث‬ ‫يعد الشاعر أكثر تعقيدا يف استخدام املوضوعات مع حبره حبيث

[r]

Memunculkan norma baru dan jaminan kepastian hukum sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI tahun 1945 terutama dalam hal penyelesaian sengketa

Perlu diketahui yang menjadi dasar untuk dilakukan analisa system dikarenakan adanya suatu masalah dalam sistem itu, untuk mencari kekurangan sistem ataupun kelebihan

Persamaan GAM yang memiliki tingkat akurasi tertinggi dalam menjelaskan variasi hookrate tuna mata besar pada musim timur di Samudra Hindia Selatan Jawa- Bali, merupakan kombinasi

PENGARUH GELOMBANG MIKRO TERHADAP BAHAN PANGAN : tidak ada pengaruh langsung pada mikroorganisme. waktu

Indonesia merupakan Negara yang banyak memliki catatan sejarah. Salah satu yang menjadi catatan sejarah Negara Indonesia adalah catatan penjajahan yang berlangsung