• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi YSI sebagai LSM perempuan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V PENUTUP. Penelitian ini berhasil mengidentifikasi YSI sebagai LSM perempuan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

179 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi YSI sebagai LSM perempuan berparadigma reformis yang berupaya memperbaiki kualitas hidup perempuan melalui intervensi pemberdayaan. YSI memandang persoalan perempuan sebatas terletak pada kurangnya kapasitas dan keterampilan individual sehingga tidak mampu berperan maksimal. Oleh karena itu, menurut YSI diperlukan intervensi pemberdayaan untuk merubah kondisi-kondisi yang merugikan perempuan serta memperbaiki kualitas dan kapasitas personalnya. Namun, tidak menutup kemungkinan paradigma YSI berubah.

Sebenarnya, YSI sendiri telah berevolusi dari LSM konformis yang cenderung karitatif (filantropi) menjadi reformis. Hal tersebut terjadi karena kesadaran YSI atas kekurangan dari paradigma dan metodologinya sehingga tergerak untuk merubahnya. Paradigma YSI berpengaruh pada program-program pemberdayaan yang diagendakan. Sejauh ini, YSI hanya berupaya memenuhi kebutuhan praktis gender. Agenda pemenuhan kebutuhan praktis gender tersebut setidaknya tampak dalam peranan YSI dalam pemberdayaan perempuan yakni sebagai fasilitator, pelatih dan pendidik, pemupuk modal dan penyelenggara proyek. YSI tidak bertujuan memperjuangkan isu kesetaraan gender karena adanya penilaian bahwa perempuan dan laki-laki sudah mempunyai peran masing-masing. Pandangan YSI sangat dipengaruhi oleh pemahaman patriarkhis dari nilai-nilai keagamaan dan kultural yang bias gender.

Dalam melaksanakan pemberdayaan, YSI banyak memperagakan karakteristik strategi mezzo. Strategi mezzo adalah strategi pemberdayaan pada sekelompok perempuan sebagai media dan sasaran intervensi yang ditempuh melalui pendidikan dan

(2)

180

pelatihan guna meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan serta sikap-sikap agar perempuan memiliki kemandirian dalam memecahkan masalah yang dihadapinya. Strategi pemberdayaan YSI tidak jauh berbeda dengan strategi yang digunakan LSM perempuan lainnya seperti Yasanti, YKF dan Suara Ibu Peduli (SIP). Kesamaan komponen strategi tersebut antara lain: pembentukan kelompok sebagai sasaran dan media intervensi, modal bergulir, sistem tanggung renteng dan pelatihan kewirausahaan.

Namun ada beberapa hal yang menarik dari Strategi YSI, yaitu diterapkannya praktik-praktik keagamaan sebagai instrumen dan pendekatan seperti pengajian, edukasi keagamaan, akad peminjaman modal, infaq, Ikrar anggota PRIMA dan fasilitator YSI. Adanya praktik-praktik keagamaan dalam proses pemberdayaan dipengaruhi oleh latar belakang aktifitas pengurus YSI dalam gerakan Tarbiyah yang memang gencar melakukan kajian keislaman dan dakwah. Oleh karena itu dapat dipahami jika praktik-praktik keagamaan tersebut diterapkan dalam proses pemberdayaan perempuan. Di sisi lain, YSI juga memiliki keterlibatan dengan partai PKS dan kedekatan hubungan dengan pemerintah. Kenyataan tersebut memberi peluang bagi YSI untuk dapat menciptakan transformasi sosial melalui perubahan sistemik dan struktural dengan cara lobbying dan advokasi. Meskipun pada kenyataannya ada nuansa politik dalam pemberdayaan oleh YSI, namun hal itu juga bermanfaat sebagai jalur strategis untuk perempuan.

Secara rinci, Strategi yang ditempuh YSI dalam pemberdayaan perempuan adalah sebagai berikut: pertama, memobilisasi perempuan ke dalam kelompok rembug (Sahabat PRIMA) agar terorganisir dan mudah menjalankan program. Kelompok juga berfungsi sebagai media pengembangan individu terutama untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan manajerial, menyelesaikan masalah bersama melalui dialog dan sharing informasi. Kedua, YSI menerapkan tiga teknik sekaligus yaitu, (1) Program edukasi

(3)

181

(PINTAR) yang berisi kegiatan Pendidikan, parenting, pelatihan (2) program ekonomi produktif (PRIMA), program utamanya adalah pinjaman modal disertai pelatihan dan motivasi kewirausahaan (3) program karitatif (PROSIBU), penyaluran dana sosial pada yang membutuhkan. Bentuknya adalah pembagian bantuan berupa uang dan sembako serta beasiswa pendidikan bagi anak dari keluarga miskin. Ketiga, tujuan pemberdayaan YSI adalah untuk mendorong kesadaran perempuan akan peran vitalnya dalam keluarga, meningkatkan kapasitas dan pengetahuan serta keterampilan perempuan, membentuk mental perempuan. Semua itu bertujuan untuk membentuk kemandirian perempuan.

Secara teoretis, pemberdayaan perempuan yang diupayakan YSI seharusnya mampu memenuhi hierarkis level pemberdayaan sebagaimana yang diungkapkan Longwe. Intervensi pemberdayaan dikatakan kurang sempurna jika hanya mampu memenuhi beberapa level saja karena hal itu merupakan serangkaian prasyarat keberdayaan perempuan. Pada kenyataannya, penelitian ini menemukan bahwa intervensi pemberdayaan YSI hanya sampai pada level konsientasi. Level partisipasi dan kontrol belum mampu terpenuhi karena masih terpengaruh pola pikir yang patriarkis.

Upaya pemberdayaan YSI sejauh ini pada beberapa level memberikan perubahan bagi perempuan sasaran. Pada level kesejahteraan, YSI berhasil meningkatkan pendapatan perempuan dari 500-600 per bulan menjadi 500-1 juta perbulan. Awalnya perempuan sasaran YSI memiliki pendapatan yang minim bahkan sebagian hanya menjadi ibu rumah tangga. Perempuan juga semakin sadar pentingnya pendidikan bagi dirinya dan anaknya sebagai generasi penerus untuk memperbaiki kualitas keluarga. Isu-isu kesehatan yang sebelumnya kurang diperhatikan perempuan sasaran kini mulai dipahami, khususnya terkait reproduksi.

(4)

182

Pada level akses, perempuan dapat menikmati beragam sumber daya produktif seperti informasi, pelatihan, edukasi, permodalan dan peluang untuk mengembangkan usaha. Pada level konsientasi, kesadaran kritis perempuan mulai terbentuk. Perempuan sasaran menjadi mengerti peran gendernya. Pemahaman bahwa perempuan hanya menjadi aktor di wilayah domestik mulai tersingkirkan. Perempuan sadar bahwa mereka memiliki potensi dan tanggung jawab yang sama dengan laki-laki. Namun, sejauh ini kesadaran kritis perempuan untuk mempertanyakan struktur dan sistem yang merugikan mereka belum terbentuk. YSI hanya mengarahkan perempuan untuk mandiri dalam memenuhi kebutuhan dan menjalankan perannya baik dalam keluarga maupun masyarakat. Sedangkan pada level partisipasi, perempuan sasaran hanya terlibat aktif dalam pertemuan rutin saja. Mereka kurang terlibat dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi program. Hal tersebut karena YSI sendiri tidak membuka ruang partisipasi bagi perempuan untuk terlibat di dalamnya.

Pada level kontrol, upaya pemberdayaan YSI kurang berhasil memenuhi level ini. Kurang terpenuhinya level kontrol sangat dipengaruhi oleh pola pikir YSI yang masih patriarkhal. Sejak awal YSI memang terkesan menjauhi isu kesetaraan gender. YSI hanya fokus pada peningkatan kapasitas personal perempuan. wajar jika dimensi “politis” dari pengambilan keputusan antara perempuan dan laki-laki kurang diperhatikan. Bahkan YSI cenderung mentradisikan perempuan agar selalu patuh pada suami. Semua keputusan perempuan harus berdasar pada izin dari suami..

B. Catatan Kritik

1. Quo Vadis Pemberdayaan Perempuan?

Upaya pemberdayaan perempuan yang dimotori YSI patut diapresiasi. Upaya tersebut setidaknya membantu menyelesaikan permasalahan perempuan di DIY.

(5)

183

Inisiatif pemberdayaan YSI diharapkan dapat ditularkan di seluruh lapisan masyarakat sebagai respon terhadap struktur dan sistem yang merugikan perempuan. Pada dasarnya kaum perempuan sendiri yang mengetahui permasalahan yang dihadapinya. Oleh karena itu, tentunya mereka dapat tergerak untuk merumuskan strategi dan solusi permasalahan secara mandiri. Dalam konteks inilah sebenarnya yang dimaksud pemberdayaan people oriented di mana masyarakat itu sendiri sebagai aktor utama.

Namun, jika melihat kecenderungan yang melekat pada YSI, harapan untuk tertularkannya virus pemberdayaan perempuan tampaknya sulit terwujud. YSI sendiri telah terkooptasi oleh kepentingan partai politik meskipun pada dasarnya mereka berniat mengabdikan diri untuk melayani masyarakat. Status YSI yang terlekat dalam parpol dapat memunculkan bias kepentingan antara murni pengabdian dan kepentingan politis. Program-program pemberdayaan YSI dapat dikatakan sebagai perpanjangan dari agenda politis parpol. Hal tersebut tidak dapat dipungkiri meskipun berusaha ditutupi. Dengan demikian, Peran YSI sebagai LSM menjadi dipertanyakan jika ia tidak otonom dan terlahir dari masyarakat.

Setelah mengetahui bahwa YSI sebagai LSM telah terkooptasi dalam partai politik, lantas bagaiman nasib pemberdayaan perempuan selanjutnya? Lebih dikerucutkan lagi, bagaimana nasib perempuan berikutnya? Sebenarnya telah muncul kesadaran pada kaum perempuan bahwa mereka memiliki potensi yang sejajar dengan kaum laki-laki. Namun, terdapat semacam sistem yang mengungkung perempuan sehingga area geraknya tidak begitu luas. Dalam kasus Sahabat PRIMA, mereka memiliki good will dan kemauan keras untuk berkembang, berkontribusi secara positif bagi keluarganya. Secara tidak langsung ini menjadi indikasi bahwa kaum perempuan sudah mendapat ruang berpartisipasi dan mengontrol kehidupannya meskipun dengan

(6)

184

sedikit kendala. Dalam kondisi demikian pun kaum perempuan tetap berusaha sekuat tenaga dengan cara memaksimalkan potensi, kapasitas dan jaringan sosial yang ada. Oleh karena itu butuh kepedulian dan dukungan.

LSM seharusnya menjadi harapan bagi pemberdayaan perempuan setelah upaya pemerintah terbukti kurang berhasil. Kecenderungan negara-negara di dunia yang mulai memperhatikan nasib perempuan tampaknya juga masih “setengah hati”. Program-program pemberdayaan perempuan pun hanya ditujukan untuk melancarkan pembangunan. Secara tidak disadari perempuan menjadi pihak yang tereksploitasi atas nama emansipasi. Euforia emansipasi telah dipolitisasi namun perempuan tidak sadar akan posisi dan nasib mereka. Dalam kondisi inilah seharusnya LSM menjadi agen penyadaran perempuan atas kondisi dan lingkungan yang merugikannya.

Keterlibatan YSI dalam politik praktis seharusnya dimanfaatkan sebagai strategi memperjuangkan nasib kaum perempuan, bukan sebagai pendulang suara untuk kepentingan politis. Jika hal tersebut tidak dirubah, maka lengkap sudah “penderitaan” kaum perempuan dalam segala aspek kehidupan. Dominasi dan subordinasi terhadap perempuan kian merajalela. YSI seharusnya tersadar bahwa mereka mewakili kepentingan perempuan, bukan partai politik yang penuh dengan kontestasi kekuatan bukan hanya antara laki-laki dan perempuan, melainkan sesama laki-laki ataupun antar perempuan. Jika YSI tidak segera melakukan reorientasi gerak dan tujuan pemberdayaannya, upaya pemberdayaanya tidak banyak membantu perempuan dan nasib perempuan justru semakin di “ujung tanduk”.

2. Mempertanyakan Level Analisis Pemberdayaan Longwe

Kerangka analisis pemberdayaan perempuan yang ditawarkan Longwe cukup membantu untuk menguji perencanaan, monitoring dan evaluasi serta untuk

(7)

185

mengetahui apakah suatu intervensi pemberdayaan bersifat transformatif. Kerangka analisis Longwe sebenarnya tidak jauh berbeda dari konsep Moser tentang kebutuhan praktis dan strategis gender. Bahkan dapat dikatakan Longwe berusaha melengkapi konsep Moser dengan menyusunnya dalam level analisis yang hierarkis. Longwe mencakup konsep kebutuhan praktis dan strategis gender sekaligus. Peningkatan level dari kebutuhan praktis menuju strategis gender tergantung dari sejauh mana intervensi pemberdayaan berusaha memberdayakan perempuan. Sebaliknya, kualitas intervensi pemberdayaan perempuan dapat dilihat dari tingkat level pemberdayaan yang dicapai.

Meskipun cukup memudahkan untuk mengevaluasi intervensi pemberdayaan, pada kenyataannya, penelitian ini menemukan beberapa fakta yang menunjukkan kekurangan level analisis Longwe. Beberapa literatur sebenarnya juga sudah menunjukkan kelemahan darinya. Temuan dari penelitian ini seakan menjadi bukti pendukung. Beberapa kelemahan level analisis Longwe sebagaimana yang ditunjukkan literatur antara lain (March dkk, 1999:100), (UNICEF, 1994):

a. Kerangka analisis Longwe tidak komplit

- Kerangka analisis Longwe bersifat statis tanpa memperhitungkan bagaimana perubahan kondisi dan situasi terjadi.

- Longwe hanya cenderung melihat relasi laki-laki dan perempuan dalam konteks kesetaraan dari pada mempermasalahkan sistem, hak, klaim dan tanggung jawab yang tercakup di dalamnya.

- Longwe tidak mempertimbangkan bentuk lain dari kesenjangan gender dan dapat menimbulkan kesalahpahaman dalam memandang permasalahan perempuan sebagai kelompok yang homogen.

(8)

186

- Longwe tidak mengkaji institusi dan organisasi yang terlibat dalam kesenjangan gender atau aktivitas pemberdayaan.

- Longwe juga tidak mengkaji aspek yang lebih makro.

- Kerangka Longwe terlalu menggeneralisasi permasalahan perempuan.

b. Adanya kesalahpahaman dalam memandang level analisis Longwe sebagai suatu proses yang linier. Banyak yang menganggap bahwa untuk mencapai level “kontrol”, suatu intevensi pemberdayaan harus memenuhi level-level sebelumnya. Padahal tidak demikian, intervensi pemberdayaan harus lebih mencakupkan level kesadaran dan partisipasi dalam level kontrol daripada kesejahteraan dan akses.

c. Hierarki level analisis tidak selalu berlaku dengan sumberdaya yang berbeda. Misalnya penguasaan terhadap rumah, sebagai sumberdaya , dianggap berada pada level kontrol dari pada sebagai akses misalnya tanah.

d. Level analisis yang hierarkis tidak dapat menunjukkan dampak yang berbeda

e. Lebih fokus pada perempuan dari pada relasi gender.

Penelitian ini menemukan beberapa data lapangan yang menunjukkan kelemahan dari level analisis Longwe. Pertama, Longwe kurang memperhatikan aspek makro yang melatar belakangi ketidaksetaraan gender. Dalam kasus perempuan sasaran pemberdayaan YSI, sebenarnya mereka memiliki kesadaran untuk memperjuangkan hak-haknya dan memenuhi tanggung jawabnya yang selama ini terhambat oleh sistem dan struktur yang merugikannya. Sebagai contoh, perempuan di Patukan dan Pundong I terhambat oleh mekanisme sistem yang patriarkhis. Mereka kurang mampu mengakses sumberdaya produktif karena lebih sistem yang lebih mengedapankan pihak laki-laki. Begitu juga dengan kebijakan dan program-program

(9)

187

pemerintah yang kurang dijangkau perempuan secara merata. Persoalan sistem dan struktur ini seharusnya juga menjadi perhatian karena hal tersebut lebih fundamental.

Kedua, level analisis pemberdayaan dari Longwe masih kurang konsisten. Longwe kurang menegaskan dasar kriteria apa yang menjadi indikator level “kontrol”. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki kontrol atas pendapatan dan alokasi dana namun kurang mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan akibat kultur dan nilai yang patriarkis. Ketiga, intervensi pemberdayaan YSI memiliki dampak yang berbeda pada beberapa level. Misalnya program edukasi mampu mendorong kesadaran kritis perempuan namun hal itu juga turut mempengaruhi partisipasinya dalam pengambilan keputusan di tingkat keluarga.

Keempat, Longwe kurang memperhatikan lembaga atau organisasi yang menjadi aktor intervensi pemberdayaan. Padahal penting sekali melihatnya karena mempengaruhi hasil dari intervensi. Dalam kasus ini, YSI, sebagai aktor pemberdayaan perempuan justru terkesan melestarikan nilai-nilai patriarkhis melalui keharusan meminta izin pada suami untuk mengikuti pertemuan rutin ataupun mengakses pinjaman modal. Hal tersebut dapat dilatarbelakangi oleh cara pandang YSI terhadap konsep kesetaraan gender. Mereka memandang bahwa laki-laki dan perempuan sudah memiliki kodrat masing-masing yang telah ditetapkan. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh paham keagamaannya yang kurang mengakomodir kesetaraan gender. Oleh karena itu, Program-program pemberdayaan YSI hanyak menekankan penguatan kapasitas personal perempuan agar berperan maksimal.

Kelima, Longwe kurang mempertimbangkan aspek nilai dan kultur yang melatar-belakangi terjadinya ketidak setaraan gender. Hal tersebut wajar karena Longwe sendiri kurang memperhatikan relasi gender dan bentuk lain dari ketidak

(10)

188

setaraan gender. Pada kenyataannya, kesenjangan gender masih dimaklumi karena konstruksi pemahaman yang patriarkis. Pihak laki-laki masih dianggap sebagai kepala rumah tangga, pencari penghidupan, pihak utama dalam pengambilan keputusan dan lain sebagainya. Hal tersebut dipengaruhi kultur dan nilai-nilai yang memang menghendaki demikian. Ditambah lagi program-program pemerintah juga masih bias gender. Laki-laki banyak mendapat kewenangan untuk mendapatkan dan mengikuti program-program produktif seperti pelatihan, permodalan, kewirausahaan, pengambilan keputusan di tingkat keluarga atau masyarakat. Oleh karena itu, sudah seharusnya mempertimbangkan konteks sosial, budaya dan lingkungan dalam memperhatikan relasi gender.

3. Limitasi dan Kendala-kendala Penelitian

Peneliti merasa perlu menyampaikan limitasi penelitian karena keterbatasan akibat permasalahan yang menghambat proses penelitian ini Kendala yang pertama adalah waktu penelitian. Meskipun penelitian ini dilakukan dalam durasi waktu yang relatif lama yakni rentang Oktober 2013 – Mei 2014 namun peneliti merasa sebenarnya butuh waktu yang lama lagi untuk mendalami subyek penelitian yang tersebar di beberapa daerah yang relatif berjauhan. Waktu pelaksanaan program yang berjeda juga menjadi kendala sendiri. Misalnya pelaksanaan program PINTAR dan PRIMA berjarak 3-4 bulan. Kondisi demikian memaksa peneliti untuk menunggu dan mengandalkan hasil wawancara serta dokumentasi terkait.

Peneliti juga harus menunggu waktu yang tepat untuk melakukan wawancara dengan beberapa staf yang menjadi pelopor YSI karena yang bersangkutan turut “bertarung” dalam pemilihan anggota legislatif. Pelopor YSI yang menjadi calon legislatif antara lain: Ibu Wahyu Tusi Wardani (divisi edukasi) yang menjadi calon

(11)

189

legislatif di tingkat Provinsi (DPRD DIY), Ibu Sumaryatin (direktur YSI) yang menjadi calon legislatif tingkat Kabupaten (DPRD Sleman). Kendala ini memaksa peneliti untuk menunggu hingga pemilihan legislatif selesai.

Kendala yang kedua adalah banyaknya kelompok partisipan dan lokasinya yang berjauhan. Peneliti memiliki keterbatasan untuk meneliti seluruh kelompok partisipan. Banyaknya kelompok partisipan juga membuat peneliti kebingungan untuk menentukan kelompok partisipan mana yang dipilih menjadi subyek penelitian. Untuk mengatasi kesulitan tersebut peneliti melakukan observasi awal ke beberapa kelompok partisipan yang menurut para fasilitatornya memiliki dinamika yang positif di banding dengan kelompok lainnya sehingga menarik peneliti untuk melihatnya secara langsung. Pada akhirnya, hasil dari studi pendahuluan dan wawancara membantu peneliti menentukan subyek penelitian dengan menemukan latar dan konteks masing-masing yang menarik dan perlu diteliti. Peneliti juga harus mengikuti kegiatan pemberdayaan di lokasi yang berbeda-beda dan berjauhan.

Kendala yang ketiga adalah berkaitan dengan dilema etik dalam proses pengambilan data. Peneliti merasa dilema untuk meminta data laporan dan dokumentasi yang tidak untuk dipublikasikan seperti laporan perkembangan internal YSI dan kelompok partisipan. Padahal laporan tersebut sangat dibutuhkan peneliti untuk memperkuat hasil penelitian. Peneliti menempuh langkah diplomasi untuk meyakinkan bahwa data hanya akan digunakan untuk kepentingan akademis. Namun langkah itu kurang berhasil dan tetap tidak diperbolehkan untuk mengakses laporan yang peneliti butuhkan. Untuk mengatasi hal itu akhirnya peneliti mencoba mencari data sendiri di lapangan dengan memodifikasi cara yang ditempuh YSI dalam evaluasi programnya yakni dengan kuesioner. Dalam hal ini peneliti hanya mengutip poin-poin apa saja yang

(12)

190

ditanyakan dalam kuesioner tersebut untuk kemudian untuk ditanyakan ulang pada subyek penelitian meskipun tidak keseluruhan. Beberapa kendala ini menjadi turut menciptakan limitasi penelitian yang perlu disampaikan sebagai pertanggung jawaban akademik peneliti terkait hasil penelitian ini.

4. Rekomendasi Penelitian

Terlepas dari adanya temuan yang menjadi refleksi dan kritik dari penelitian ini, ada beberapa rekomendasi yang dapat ditindak lanjuti untuk memperbaiki kualitas pemberdayaan perempuan. Rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Yayasan Sahabat Ibu sebagai LSM perempuan yang berupaya memberdayakan perempuan sudah seharusnya mengadakan kegiatan pemberdayaan yang lebih variatif secara kontinu agar kelompok sasaran mendapat input pemberdayaan yang memadai. Pendekatan pemberdayaan yang digunakan seharusnya lebih pada proses, bukan semata pendekatan tujuan apalagi project oriented.

2. Yayasan Sahabat Ibu harus meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM fasilitator. Selama ini hanya 5 orang fasilitator yang mengkoordinasikan 43 komunitas binaan YSI. Kurangnya jumlah fasilitator dapat menghambat kelancaran proses pemberdayaan. Kualitas SDM fasilitator juga perlu ditingkatkan agar proses pemberdayaan lebih optimal dan efektif.

3. Yayasan Sahabat Ibu harus bersikap lebih terbuka kepada kelompok sasaran dengan cara membuka ruang partisipasi selebar-lebarnya bagi Sahabat PRIMA dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program agar tujuan pemberdayaan lebih cepat tercapai. Dengan ruang partisipasi yang terbuka, kemandirian kelompok akan cepat terbentuk.

(13)

191

4. Yayasan Sahabat Ibu juga perlu menguatkan kapasitas dan manajemen organisasi agar pemberdayaan dapat berjalan secara lebih profesional.

5. YSI harus melakukan reorientasi gerakannya bukan hanya terkait metodologi dan strategi pemberdayaan, namun yang lebih fundamental adalah tujuan dari pemberdayaan itu sendiri mengingat ia telah terkooptasi kepentingan PKS. Seharusnya keterlibatan YSI dalam politik praktis menjadi strategi untuk memperjuangkan nasib perempuan bukan sebaliknya, dipolitisasi.

6. Bagi Pemerintah, Strategi pemberdayaan yang ditempuh Yayasan Sahabat Ibu relatif berjalan efektif. Pendampingan rutin mingguan perlu diadopsi dalam berbagai kebijakan dan program-program pemberdayaan perempuan. Pemerintah harus peka dan memperhatikan kepentingan perempuan dalam merumuskan segala kebijakan agar nasib perempuan dapat terjamin.

7. Untuk LSM perempuan lainnya, beberapa perbedaan strategi dan pendekatan pemberdayaan yang menjadi ciri khas Yayasan Sahabat Ibu patut direfleksikan untuk mencari formula yang baik dan tepat dalam pelaksanaan pemberdayaan perempuan.

8. Untuk para akademisi dan praktisi, setidaknya ada beberapa ruang penelitian berikutnya. Pertama, melihat peran vitalnya LSM dalam pemberdayaan perempuan, perlu dicarikan format dan strategi yang tepat untuk melakukan pemberdayaan perempuan secara efektif. Oleh karena itu perlu penelitian eksperimen terkait bagaimana model pemberdayaan perempuan efektif yang menjawab permasalahan perempuan. Kedua, penelitian ini menemukan adanya kecenderungan LSM terkooptasi oleh partai politik. Untuk itu, perlu penelitian lanjutan terkait bagaimana relasi, ideologi dan orientasi antara LSM dengan partai

(14)

192

politik tersebut dan apa pengaruh bagi keduanya. Ketiga, adanya internalisasi nilai keagamaan dalam kegiatan pemberdayaan sebagaimana yang dilakukan YSI perlu diteliti secara mendalam untuk menanyakan adakah pengaruh ideologi keagamaan dalam upaya pemberdayaan dan sejauh mana implikasi pendekatan keagamaan dalam pemberdayaan tersebut.

E. Penutup

Penelitian merupakan kerja akademis yang harus bisa dipertanggungjawabkan secara akademis pula. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk menyusun naskah ini sesuai kaidah akademis dan harus memberikan sumbangsih positif bagi masyarakat. Dengan berbagai kendala dan keterbatasan peneliti, penelitian ini dirasa jauh dari sempurna. Namun, setidaknya penelitian ini dapat memberi pemahaman baru, khususnya tentang LSM dan pemberdayaan perempuan. Semoga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan bermanfaat bagi semua pihak.

Referensi

Dokumen terkait

Balipost.com dan BeritaBali.com selaku portal media online lokal yang dipercaya mampu membawa informasi positif bagi masyarakat di Bali tentunya memberi peran penting dalam

Pengaturan jarak antar elemen dilakukan dengan menggeser elemen-elemen pada antena array dengan jarak pisah tertentu, sedangkan untuk memberikan perbedaan fasa eksitasi antar

Karena pukulan smash merupakan suatu teknik pukulan yang bertujuan untuk mematikan pertahanan lawan, dan juga pada saat bermain lawan sering melakukan kesalahan

Berton et al (2009) juga mengemukan jika persepsi terhadap barang mewah menjadi faktor penentu niat beli dari konsumen, dimana dibagi menjadi dua yaitu: persepsi

Analgetik non narkotik menimbulkan efek analgetik dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalisis biosintesis

Untuk mendapatkan respons steady state rangkaian terhadap eksitasi non-sinusoidal periodik ini diperlukan pemakaian deret Fourier, analisis fasor ac dan prinsip superposisi..

Diharapkan kepada seluruh masyarakat Kabupaten Berau dapat menerapkan Protokol Kesehatan menerapkan sebagaimana berikut:.. Tidak melakukan aktifitas di luar rumah jika

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari kedua variabel prediktor tersebut dicari seberapa besar kontribusinya sehingga diketahui bahwa kontribusi perhatian