• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Job Insecurity dan Komitmen Organisasi pada Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Job Insecurity dan Komitmen Organisasi pada Guru Honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Job Insecurity dan Komitmen Organisasi pada Guru

Honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok

Felisa Triska dan Iman Sukhirman Program Studi Sarjana, Fakultas Psikologi

Universitas Indonesia

felisa.triska@ui.ac.id ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara job insecurity dan komitmen organisasi pada guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif melalui skala sikap. Pengukuran Job Insecurity menggunakan alat ukur Job Insecurity Scale (Ashford, Lee & Bobko, 1989) yang diadaptasi oleh Maulana (2012) dan pengukuran komitmen organisasi menggunakan alat ukur organizational Commitment Questionnaire (Meyer & Allen, 1997) yang telah diadaptasi oleh Fathlistya (2008). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 105 orang guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bersifat negatif signifikan di antara kedua variabel tersebut, yang berarti penurunan job insecurity akan diikuti oleh peningkatan pada komitmen organisasi, dan berlaku sebaliknya. Kata kunci : Guru Honorer; Job Insecurity; Komitmen Organisasi

ABSTRACT

This research was conducted to find the relationship between job insecurity and organizational commitment among honorarium public elementary school teacher in Depok. This research used quantitative approach by collecting data through attitute scales. Job Insecurity was measured by Job Insecurity Scale (Ashford, Lee & Bobko, 1989), which had been adapted by Maulana (2012) and Organizational Commitment was measured by Organizational Commitmen Questionnaire (Meyer & Allen, 1997), which had been adapted by Fathlistya (2008). The participants of this research were 105 honorarium public elementary school teacher in Depok. The result showed that job insecurity had correlated significantly with organizational commitment and the relationship showed a negative effect, which meant that increasing in job insecurity would be followed by decreasing in organizational commitment and vice versa.

Keyword : Honorarium Teacher; Job Insecurity; Organizational Commitment

Pendahuluan

Dalam suatu organisasi, sumber daya manusia merupakan aset yang sangat penting dalam menunjang aktivitas organisasi, bahkan sering kali keberlangsungan suatu organisasi tersebut sangat tergantung dari sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Keberadaan karyawan atau pekerja juga dapat dianggap sebagai sumber daya yang paling penting bagi organisasi karena para karyawanlah yang dapat memanfaatkan dan menggerakkan sumber daya lain agar dapat bekerja secara optimal (Noe, Hollenbeck, Gerhart, & Wright, 2009). Bagi

(2)

organisasi, sumber daya manusia bukanlah semata-mata sebagai objek dari pencapaian tujuan organisasi, tetapi lebih penting dari hal tersebut, karyawan merupakan subjek atau pelaku yang menggerakkan organisasi dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.

Seringkali dalam upaya untuk melaksanakan tugasnya, para pekerja tidak dapat bekerja secara optimal karena merasa tidak aman dengan kondisi lingkungan pekerjaannya saat ini. Bentuk kondisi yang dapat memicu adanya perasaan tidak aman dalam perusahaan adalah ketika terjadinya perubahan kerja yang dramatis dalam kondisi kerja (Howard, dalam Sverke & Hellgren, 2002), misalnya seperti pengurangan tenaga kerja, pensiun dini, merger, dan restrukturisasi perusahaan (Bosman, Buitendach & Laba, 2005). Perubahan-perubahan ini menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran bagi para pekerja terutama berkaitan dengan kemungkinan mereka untuk kehilangan pekerjaan. Perasaan terancam untuk mempertahankan pekerjaan saat ini dapat disebut juga sebagai job insecurity.

Tidak jauh berbeda dengan organisasi pada umumnya, sekolah sebagai salah satu bentuk organisasi pendidikan yang memiliki fungsi untuk memberikan pendidikan dan pengajaran, juga memiliki sumber daya manusia yang menjalankan segala aktivitas yang terjadi di sekolah. Sumber daya manusia yang terdapat dalam sekolah adalah guru. Dalam sekolah sendiri terdapat dua jenis status kepegawaian pada guru, yakni guru yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) dan guru yang berstatus honorer. Dalam penelitian ini, yang akan dibahas lebih lanjut adalah mengenai guru honorer karena guru honorer ini dianggap memiliki kecenderungan yang besar untuk mempersepsikan adanya job insecurity. Adanya persepsi terhadap job insecurity atau rasa tidak aman yang dialami oleh guru honorer ini dapat dilihat dari dilakukannya demo oleh guru honorer di depan Balai Kota Depok yang menuntut kejelasan status mereka (Virdhani, 2013). Demo ini sendiri dilakukan karena dialog-dialog yang telah mereka upayakan sebelumnya selalu ditolak dan selalu dihalangi dengan birokrasi yang sulit (sekolahdasar.net).

Upaya para guru ini untuk melakukan demo untuk menuntuk kejelasan status ini sangat mungkin terjadi dikarenakan tidak adanya payung hukum yang jelas yang mengatur keberadaan guru honorer. Selain itu, para guru honorer ini juga memiliki masalah dalam hal keuangan, dimana menurut salah seorang guru honorer yang melakukan demo tersebut, tingkat penghasilan yang mereka terima hanyalah berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 saja, sedangkan jumlah itu masih sangat jauh dari nilai upah minimum kota (UMK) Depok yang telah mencapai Rp 2.000.000 (Virdhani, 2013). Selain itu, beliau juga menambahkan bahwa kondisi ini tidak adil mengingat mereka memiliki beban kerja yang

(3)

Demo yang dilakukan ini tidaklah membuat para guru mendapatkan kejelasan akan status dan masa depan mereka, mengenai apakah mereka akan mendapatkan kesempatan untuk diangkat menjadi PNS atau tidak. Para guru ini justru mendapatkan ancaman pemecatan dari pihak sekolah karena mengikuti demo (Purnama, 2013). Kesempatan para guru honorer untuk dapat mempertahankan pekerjaannya dari ancaman pemecatan ini juga cenderung kecil karena nasib para guru honorer ini berada di tangan Kepala Sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru SDN Sukamaju diketahui bahwa meskipun guru honorer dibutuhkan, guru honorer juga memiliki kecenderungan untuk tidak mendapatkan keamanan akan posisi mereka sebagai guru, mengingat nasib mereka berada di tangan Kepala Sekolah yang dapat memberhentikan pada guru honorer ketika sekolah tidak membutuhkan jasa mereka lagi. Hal ini dapat terjadi karena guru honorer dipekerjakan oleh Kepala Sekolah sedangkan guru PNS memiliki payung hukum yang jelas dalam Undang-Undang No 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian. Kemudahan akan pemutusan hubungan kerja secara sepihak terutama dari pihak sekolah ini berkaitan dengan tidak adanya status hukum yang jelas bagi para guru honorer, apalagi berdasarkan keterangan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Campurdarat, Maryudi mengatakan bahwa nasib para guru honorer sepenuhnya menjadi wewenang kepala sekolah karena kepala sekolahlah yang mempekerjakan para guru honorer tersebut (Suyanto, 2012).

Pemaparan-pemaparan di atas menunjukkan bahwa para guru honorer sedang menghadapi situasi-situasi yang tidak menentu yang dapat meningkatkan rasa tidak aman yang mereka miliki. Kondisi-kondisi job insecurity yang mereka alami ini tentunya akan memberikan dampak yang negatif baik bagi dirinya sendiri maupun organisasi. Bagi diri sendiri, pekerja dapat merasa menurunnya well-being yang mereka miliki dan juga kepuasan terhadap pekerjaan yang mereka jalani (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002). Selanjutnya, organisasi juga dapat ikut merasakan konsekuensi dari persepsi job insecurity tersebut, berupa perilaku yang negatif terhadap organisasi, menurunnya komitmen organisasi dan keinginan untuk bertahan, serta performa kerja yang buruk (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002).

Pada organisasi, para pekerja yang mempersepsikan adanya job insecurity ini cenderung memiliki komitmen organisasi yang rendah yang kemudian dapat berakibat pada penurunan performa kerja dan meningkatkan intensi untuk meninggalkan organisasi (Sverke, Hellgren, & Naswall, 2002). Hal yang lebih merugikan lagi yang dapat terjadi pada organisasi terutama apabila pekerja yang memutuskan berhenti adalah pekerja-pekerja yang memiliki kualitas yang baik. Menurut Meyer dan Allen (1997), orang-orang pertama kali memutuskan untuk meninggalkan organisasi adalah orang-orang yang memiliki kualitas terbaik. Kondisi

(4)

ini justru akan merugikan organisasi karena kepergian pekerja terbaiknya ini justru akan menghambat upaya pengembangan organisasi terutama karena pekerja yang memiliki komitmen yang tinggi akan memberikan dampak yang positif bagi organisasi dan cenderung memiliki performa kerja yang lebih baik dibandingkan pekerja yang memiliki komitmen organisasi yang rendah (Meyer & Allen, 1997).

Apabila hal-hal yang terjadi pada perusahaan ini juga terjadi pada sekolah-sekolah yang ada di Indonesia saat ini, maka tentunya kondisi ini akan sangat merugikan bagi perkembangan pendidikan di Indonesia, terutama pada tingkat sekolah dasar, dimana menurut Pelaksana Tugas (PLT) Kadisdik, Muhammad Nurdin, Depok masih membutuhkan 2.164 guru berstatus PNS lagi, agar dapat memenuhi kebutuhan seluruh guru SD di Kota Depok (Suherman, 2012). Kondisi kekurangan guru inilah yang selama ini berusaha ditutupi dengan mempekerjakan guru honorer (Napitupulu, 2012).

Peristiwa terjadinya pengunduran diri honorer secara besar-besaran memang belum terjadi hingga saat ini. Namun, indikasi adanya keinginan mereka untuk meninggalkan pekerjaan mereka sebagai guru honorer dapat terlihat dari pernyataan dua orang guru di Martapura yang telah bekerja sejak tahun 1984 (Hendra, 2012). Menurut pengakuan beliau, apabila memang tidak ada kejelasan lagi mengenai status mereka, terutama mengenai kemungkinan pengangkatan mereka sebagai PNS, mereka memilih untuk berhenti sebagai guru dan memutuskan untuk mencari pekerjaan lain (Hendra, 2012). Beliau menambahkan bahwa keinginan tersebut muncul karena mereka merasa semakin hari mereka semakin tidak dihargai (Hendra, 2012). Selain kasus di Martapura, di Balikpapan juga ditemukan seorang guru honorer yang akhirnya memutuskan untuk berhenti sebagai guru. Berhentinya guru ini dikarenakan beratnya beban keluarga yang harus ditanggung sedangkan sebagai guru honorer beliau tidak memiliki status yang jelas dan gaji yang minim, yang tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga (Balikpapanpos).

Hal yang menarik untuk diteliti dari fenomena guru honorer ini adalah ketika para guru honorer ini menghadapi situasi yang mengancam kepastian pekerjaan serta status mereka, ada guru-guru honorer yang memutuskan untuk berhenti dan mencari pekerjaan lain, namun tidak sedikit pula para guru honorer yang tetap memutuskan untuk bertahan di dalam organisasi. Meskipun rentan terhadap ketidakaman dalam bekerja, para guru honorer ini pun ternyata telah bertahan cukup lama. Pada demo yang dilakukan di Balai Kota Depok tersebut pun, terdapat guru honorer yang telah mengabdi selama 25 tahun (Virdhani, 2013). Keberadaan seseorang di dalam organisasi sendiri sangat berkaitan dengan komitmen

(5)

organisasi karena komitmen merupakan salah satu bentuk dedikasi terhadap tempat mereka bekerja (Jex & Britt, 2008).

Fenomena tetap bertahannya guru honorer di dalam sekolah meskipun mereka berada di tengah-tengah situasi yang mengancam menjadi hal yang menarik untuk dicermati, terutama berkaitan dengan bertahannya mereka di dalam sekolah dalam jangka waktu lama. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara persepsi job insecurity dengan komitmen organisasi, beserta dengan komponen-komponen dari komitmen organisasi tersebut.

Tinjauan Teoritis

Job Insecurity

Dalam penelitian ini akan digunakan pengertian job insecurity yang dikembangkan oleh Greenhalgh dan Rosenblatt (1984). Job insecurity didefinisikan Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) sebagai:

“perceived powerlessness to maintain desired continuity in threatened job situation” Definisi tersebut menyatakan bahwa job insecurity adalah persepsi ketidakberdayaan untuk mempertahankan keberlanjutan pekerjaan saat ini dalam situasi pekerjaan yang mengancam. Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menyebutkan bahwa terdapat dua dimensi utama dari job insecurity yakni severity of threat dan powerlessness. Kedua dimensi utama ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ashford, Lee, dan Bobko (1989) mengembangkan dimensi severity of threat menjadi empat komponen yang terdiri dari job feature importance, job feature likelihood, total job importance, total job likelihood dan tetap mempertahankan powerlessness. Komponen job feature importance ini dibutuhkan untuk mengetahui seberapa penting aspek-aspek pekerjaan yang ada merupakan hal yang dianggap penting oleh individu, selanjutnya komponen job feature likelihood merupakan pandangan individu mengenai seberapa mungkin individu akan kehilangan aspek-aspek pekerjaan yang dianggap penting. Pada komponen total job importance, individu mempersepsikan seberapa penting jabatan atau posisi yang dimilikinya saat ini, selanjutnya komponen total job likelihood merupakan kemungkinan-kemungkinan ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan yang dimilikinya saat ini. Komponen terakhir adalah powerlessness yang menunjukkan adanya ketidakberdayaan individu untuk melawan ancaman-ancaman yang dipersepsikan (Greenhalgh & Rosenblatt, 1984). Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menyatakan bahwa powerlessness merupakan

(6)

komponen yang paling penting

karena

powerlessness dapat memperburuk ancaman yang dialami individu.

Komitmen Organisasi

Dalam penelitian ini akan digunakan pengertian komitmen organisasi yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1991) yang menyatakan bahwa bahwa komitmen organisasi merupakan keterikatan karyawan pada organisasi yang didasari adanya keinginan, kebutuhan, dan kewajiban untuk bertahan pada organisasi. Meyer dan Allen (1991) menyebutkan tiga komponen dari komitmen organisasi yang dapat memengaruhi keputusan seseorang untuk tetap bertahan dalam organisasi atau tidak, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif. Komitmen afektif menunjukkan suatu keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan terhadap organisasi, dan keterlibatan dari karyawan dalam suatu organisasi. Karyawan dengan komitmen afektif yang kuat akan bertahan dalam organisasi karena mereka memang memiliki keinginan (want to) untuk melakukan hal tersebut. Komitmen kontinuans merupakan kesadaran akan adanya untung atau rugi yang akan diterima karyawan apabila ia memutuskan untuk meninggalkan organisasi. Karyawan yang bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini akan bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut. komitmen normatif merupakan suatu perasaan wajib yang dirasakan karyawan untuk tetap bekerja di dalam organisasi. Kondisi ini berarti bahwa karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) untuk bertahan di dalam organisasi.

Metode Penelitian

Berdasarkan cara pengumpuan data, penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif karena data yang diperoleh dalam penelitian ini diproses dengan metode statistik. Berdasarkan tujuan penelitian menurut Kumar (2005), penelitian ini termasuk kedalam tipe penelitian korelasional karena ingin melihat hubungan antara job insecurity dan komitmen organisasi. Berdasarkan nature of investigation, penelitian ini merupakan penelitian non-experimental karena penulis tidak melakukan manipulasi ataupun randomisasi terhadap variabel.

Penelitian ini ditujukan kepada guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok dan sampel penelitian ini adalah guru honorer yang bekerja di Sekolah Dasar Negeri yang tersebar di wilayah kota Depok dengan masa kerja minimal dua tahun. Sampel penelitian ini diambil dengan menggunakan desain non-probability sampling, lebih jelasnya lagi menggunakan

(7)

convenience sampling, yaitu berdasarkan kesediaan partisipan untuk mengisi kuesioner (Graveter & Forzano, 2009).

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala sikap yang terdiri dari Job Insecurity Scale (JIS) yang dikembangkan oleh Ashford, Lee, dan Bobko (1989) dan Organizational Commitmen Questionnaire (OCQ) yang dikembangkan oleh Meyer dan Allen (1997). Pengukuran variabel job insecurity pada penelitian ini menggunakan JIS yang telah diadaptasi oleh Maulana (2012). Alat ukur ini memiliki koefisien reliabilitas sebesar 0,819 dengan validitas komponennya yang berkisar antara 0,136 – 0,648. Pada penelitian kali ini dilakukan kembali uji coba alat ukur terhadap JIS yang telah diadaptasi oleh Maulana. Alat ukur yang diadaptasi oleh Maulana ini telah diuji reliabilitas dan validitasnya oleh Maulana (2012) pada dosen non-pns. Meskipun terdapat kemiripan pada karakteristik partisipan dalam penelitian ini, yakni sama-sama staf pengajar, tetap saja terdapat perbedaan karakteristik antara dosen dengan guru sekolah dasar. Oleh karena itu, uji coba alat ukur tetap dibutuhkan untuk menyesuaikan alat ukur dengan kelompok partisipan yang dituju. Hasil uji coba untuk penelitian ini menemukan reliabilitas alat ukur ini menjadi 0,878 dan validitas komponennya yang berkisar antara 0,106 – 0,488.

Alat ukur job insecurity scale ini memiliki lima komponen, yakni job feature importance (17 item), job feature likelihood (17 item), total job importance (10 item), total job likelihood (10 item), dan powerlessness (3 item). Skala yang digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Likert dengan enam skala. Kelima komponen ini membutuhkan jenis respon yang berbeda. Pada komponen job feature importance dan total job importance, jenis respon yang diberikan adalah Sangat Tidak Penting (STP), Tidak Penting (TP), Agak Tidak Penting (ATP), Agak Penting (AP), Penting (P), dan Sangat Penting (SP). Pemberian skor untuk item-item ini adalah 1 untuk STP, 2 untuk TP, dan seterusnya. Pada komponen job feature likelihood dan total job likelihood, jenis respon yang diberikan adalah Sangat Tidak Mungkin (STM), Tidak Mungkin (TM), Agak Tidak Mungkin (ATM), Agak Mungkin (AM), Mungkin (M), dan Sangat Mungkin (SM). Pemberian skor untuk item-item ini adalah 1 untuk STM, 2 untuk TM, dan seterusnya. Pada komponen powerlessness, jenis respon yang diberikan adalah Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Pemberian skor untuk item-item ini berbeda dengan komponen-komponen lainnya, dimana 6 untuk STS, 2 untuk TS, dan seterusnya.

Pengukuran variabel komitmen organisasi pada penelitian ini juga menggunakan alat ukur OCQ yang telah diadaptasi oleh Fathlistya (2008). Alat ukur ini OCQ pada penelitian ini memiliki reliabilitas komponen-komponennya yang berkisar antara 0,854 – 0,882 dan

(8)

validitas komponen yang berkisar antara 0,694 – 0,874. Alat ukur ini telah diuji reliabilitas dan validitasnya kepada pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Adanya perbedaan karakteristik partisipan tempat diuji cobanya alat ukur OCQ ini, membuat alat ukur ini perlu diuji coba lagi agar dapat diaplikasikan pada partisipan yang dituju. Hasil uji coba untuk penelitian ini menemukan reliabilitas alat ukur ini sebesar 0,904 dan validitas komponennya yang berkisar antara 0,211 – 0,694.

Alat ukur Organizational Commitment Questionnaire ini memiliki tiga komponen, yakni komitmen afektif (8 item), komitmen kontinuans (8 item), dan komitmen normatif (6 item). Skala yang digunakan dalam alat ukur ini adalah skala Likert dengan enam skala, dengan jenis respon yang diberikan adalah Sangat Tidak Setuju (STS), Tidak Setuju (TS), Agak Tidak Setuju (ATS), Agak Setuju (AS), Setuju (S), dan Sangat Setuju (SS). Alat ukur ini memiliki item favourable dan unfavourable. Pemberian skor untuk item-item favourable adalah 1 untuk STS, 2 untuk TS, dan seterusnya hingga 6 untuk SS. Pemberian skor untuk item unfavourable dilakukan secara terbalik (reverse score).

Pengolahan data pada penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik, antara lain teknik analisis statistik deskripsi yang digunakan untuk mengolah gambaran umum dari partisipan, yang dilakukan dengan menghitung mean, frekuensi, dan persentase data yang diperoleh; teknik pearson correlation digunakan untuk melihat hubungan antara job insecurity dan komitmen organisasi; teknik multiple regression digunakan untuk melihat besarnya sumbangan dari masing-masing komponen job insecurity terhadap komitmen organisasi dan komponen-komponen di dalamnya;teknik independent sample t-test digunakan untuk membandingkan mean dua kelompok, yaitu mean dua variabel terhadap kelompok jenis kelamin dan lama kerja; dan teknik one-way anova digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean lebih dari dua kelompok, yaitu mean pada kelompok berdasarkan usia, status pernikahan, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.

Hasil Penelitian

Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif signifikan antara job insecurity dan komitmen organisasi (r = -0,206, p<0,05, two-tails). Hasil korelasi ini menunjukkan hubungan yang negatif, dimana peningkatan pada job insecurity akan diikuti dengan penurunan pada komitmen organisasi para guru honorer, dan kondisi ini juga berlaku sebaliknya. Dengan koefisien korelasi sebesar r = -0,206, maka diperoleh r2 = 0,042, yang berarti bahwa 4,2% dari total varians komitmen organisasi dapat dijelaskan oleh job

(9)

insecurity. Sedangkan 95,8% varians lainnya dapat disebabkan oleh faktor-faktor lain. Selain itu, dilihat dari nilai koefisien korelasi dan nilai effect size yang diperoleh, hubungan antara job insecurity dan komitmen organisasi termasuk dalam korelasi yang kecil (small) ke menengah (medium) berdasarkan kriteria yang diungkapkan Cohen (dalam Gravetter & Wallnau, 2009). Sesuai dengan kriteria Cohen (dalam Gravetter & Wallnau, 2007), nilai r2 yang lebih kecil dari 0,01 memiliki pengaruh yang lemah dan nilai r2 sebesar 0,09 menunjukkan pengaruh yang sedang. Dengan kata lain, job insecurity dan komitmen organisasi pada guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok memiliki hubungan yang berada pada kategori antara kecil dan menengah dengan r2 = 0,042.

Tabel 1. Hubungan antara Job Insecurity dan Komitmen Organisasi pada guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok

Variabel r r2 Sig. (p)

Job insecurity dan komitmen

organisasi -0,206* 0,042 0,035

*Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed)

Tabel 2 menunjukkan bahwa dua dari lima komponen job insecurity, yakni komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan dan komponen ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan, memiliki sumbangan yang signifikan terhadap komitmen organisasi. Apabila dilihat lebih lanjut peran dari komponen job insecurity terhadap masing-masing komponen komitmen organisasi, maka dapat diketahui bahwa pada komitmen afektif, komponen job insecurity yang memiliki sumbangan yang signifikan adalah komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan, pentingnya keseluruhan pekerjaan, dan ketidakberdayaan. Selanjutnya pada komitmen kontinuans, komponen job insecurity yang memiliki sumbangan yang signifikan adalah komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan, ancaman terhadap aspek pekerjaan, dan ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan. Kemudian pada komitmen normatif, komponen job insecurity yang memiliki sumbangan yang signifikan adalah komponen ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan dan ketidakberdayaan.

(10)

Tabel 2. Sumbangan komponen job insecurity terhadap komitmen organisasi beserta komponennya

Komponen job insecurity

Komitmen

organisasi Komitmen afektif

Komitmen kontinuans

Komitmen normatif Beta (β) Sig. Beta (β) Sig. Beta (β) Sig. Beta (β) Sig. Pentingnya Aspek-Aspek Pekerjaan 0,315 0,003** 0,440 0,000** 0,278 0,007** 0,140 0,178 Ancaman terhadap Aspek Pekerjaan -0,165 0,073 -0,34 0,709 -0,232 0,012* -0,131 0,157 Pentingnya Keseluruhan Pekerjaan -0,62 0,582 -0,275 0,014* 0,57 0,606 -0,004 0,969 Ancaman terhadap Keseluruhan Pekerjaan -0,237 0,024* 0,000 0,996 -0,331 0,002** -0,230 0,031* Ketidakberdayaan -0,154 0,094 -0,182 0,046* 0,021 0,821 -0,272 0,004*

*Korelasi signifikan pada level 0,05 (2-tailed) **Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed)

Tabel 3 menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara mean skor job insecurity pada kelompok usia yang berbeda (p=0,962, p>0,05). Akan tetapi, pada variabel komitmen organisasi terdapat perbedaan mean yang signifikan pada kelompok usia yang berbeda, dimana kelompok usia 21-24 tahun memiliki mean skor yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok partisipan yang berusia lebih tua. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok partisipan yang berada pada usia 45-64 tahun memiliki komitmen organisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia lainnya (p=0,038, p<0,05).

Bila dilihat dari jenis kelamin, tidak terdapat perbedaan mean skor yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, baik pada job insecurity (p=0,900, p>0,05) maupun komitmen organisasi (p=0,892, p>0,05). Selain pada jenis kelamin, tingkat pendidikan juga tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara skor rata-rata partisipan, baik dengan job insecurity (p=0,066, p>0,05) maupun komitmen organisasi (p=0,629, p>0,05). Selanjutnya, bila dilihat berdasarkan status pernikahan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,463, p>0,05) antara partisipan yang memiliki status belum menikah, sudah menikah ataupun yang janda/duda. Hal yang berbeda ditemukan pada skor rata-rata komitmen organisasi, dimana terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,027, p<0,05) yang diperoleh partisipan yang belum menikah (M=99,63), sudah menikah (M=88,20), dan duda/janda (M=101,67).

Berdasarkan lama kerja di sekolah, ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor yang signifikan (p=0,146, p>0,05) pada job insecurity antara partisipan yang bekerja selama 2-10 tahun dengan partisipan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Meskipun

(11)

demikian, pada variabel komitmen organisasi justru ditemukan perbedaan yang signifikan (p=0,010, p<0,05) antara partisipan yang bekerja selama 2-10 tahun dengan partisipan yang telah bekerja lebih dari 10 tahun. Berdasarkan tingkat penghasilan, terdapat perbedaan yang signifikan pada skor rata-rata job insecurity (p=0,017, p<0,05), namun tidak terdapat perbedaan mean skor yang signifikan pada komitmen organisasi (p=0,134, p>0,05).

Tabel 3. Gambaran perbedaan mean masing-masing variabel berdasarkan karakteristik demografis

Karakteritik Demografis Job Insecurity Komitmen Organisasi

mean Sig. mean Sig.

Usia 21-24 3849,17 F = 0,039 p = 0,962 (p>0,05) 85,50 F = 3,388 p = 0,038* (p<0,05) 25-44 3777,54 97,70 45-64 3676,28 103,83 Jenis Kelamin Laki-Laki 3808,47 t = -1,26 p = 0,900 (p>0,05) 97,59 t = 1,36 p = 0,892 (p>0,05) Perempuan 3755,74 98,15 Pendidikan SMA/SMK/STM/SPG 4079,90 F = 2,143 p = 0,066 (p>0,05) 94,60 F = 0,649 p = 0,629 (p>0,05) D1/D1 PGSD 5359,50 84,00 D2/D2 PGSD 4169,40 102,00 D3 5514,50 92,00 S1 3570,57 98,64 S2 2872,00 99,00 Status Pernikahan Belum Menikah 4070,33 F = 0,776 p = 0,463 (p>0,05) 99,63 F = 3,752 p = 0,027* (p<0,05) Sudah Menikah 3684,02 88,20 Janda/Duda 4561,33 101,67 Lama Kerja 2-10 tahun 3905,81 t = 1,463 p = 0,146 (p>0,05) 95,60 t = -2,641 p = 0,010* (p<0,05) >10 tahun 3410,43 104,20 Penghasilan ≤ Rp 500.000 4352,09 F = 3,159 p = 0,017* (p<0,05) 99,39 F = 1,805 p = 0,134 (p>0,05) Rp 500.000 – Rp 1.000.000 3639,58 98,42 Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 3164,36 93,09 Rp 1.500.000 – Rp 2.000.000 5027,75 89,75 > Rp 2.000.000 684 131,00

*Korelasi signifikan pada level 0,01 (2-tailed)

Pembahasan

Ashford, Lee, dan Bobko (1989) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara job insecurity dengan komitmen organisasi, dimana ditemukan bahwa job insecurity memiliki hubungan dengan menurunnya komitmen terhadap organisasi. Penelitian lain yang dilakukan Sora, Caballer, dan Peiro (2010) serta Miana, Morales, Caballer, dan

(12)

Peiro (2011) yang juga menemukan bahwa job insecurity secara langsung dan negatif berhubungan secara signifikan dengan komitmen organisasi. Penelitian dari tokoh-tokoh tersebut mendukung hasil dari penelitian ini yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang bersifat negatif signifikan antara job insecurity dan komitmen organisasi pada guru honorer SDN di Depok.

Adanya penurunan komitmen organisasi pada guru honorer ini mungkin juga didasari pada adanya kontrak psikologis yang dilanggar oleh organisasi. Menurut Rousseau (dalam De Witte, 2005), kontrak psikologis merupakan perjanjian mutualisme yang dibentuk antara pekerja dan pemberi kerja. Dalam kontrak psikologis ini terjadi suatu “pertukaran” yang sangat krusial antara keamanan untuk pekerja dan loyalitas bagi pemberi kerja. Sverke, Hellgren, dan Naswall (2002 dalam De Witte, 2005) menyatakan bahwa pekerja akan menganggap telah terjadi pelanggaran kontrak psikologis ketika mereka mengalami atau mempersepsikan adanya job insecurity sehingga komitmen terhadap organisasi pun menjadi menurun. Penurunan komitmen ini juga dapat terjadi karena pekerja yang merasa tidak aman akan kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan dari organisasi sehingga kelekatan mereka terhadap organisasi juga dapat menurun (Ashford, Lee, & Bobko, 1989). Dalam kasus guru honorer ini dapat terlihat melalui adanya kecenderungan dari guru honorer yang merasakan adanya job insecurity memiliki komitmen organisasi yang cenderung rendah sehingga pada akhirnya mereka memiliki keinginan untuk meninggalkan organisasi, meskipun memang belum banyak terdengar adanya guru honorer yang berhenti massal.

Pada analisis antara hubungan job insecurity dengan komponen komitmen organisasi, ditemukan bahwa job insecurity memiliki korelasi yang negatif signifikan dengan komitmen normatif. Hal ini berarti semakin tinggi job insecurity dipersepsikan oleh guru honorer, semakin rendah komitmen normatif yang dimiliki. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bosman, Buitendach, dan Laba (2005) yang juga menemukan bahwa terdapat hubungan signifikan antara job insecurity dengan komitmen normatif. Bosman, Buitendach, dan Laba (2005) menyatakan bahwa pekerja yang mengalami job insecurity akan merasa lebih memiliki sedikit kewajiban untuk mematuhi peraturan-peraturan yang ada di dalam organisasi. Apabila dikaitkan dengan hasil regresi antara komponen job insecurity dengan komitmen normatif, dapat terlihat bahwa masalah ketidakberdayaan dan ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan merupakan hal yang paling mempengaruhi normatif. Hal mungkin saja dapat berarti bahwa ketidakberdayaan para guru dalam menghadapi hal-hal yang tidak diharapkan di lingkungan kerjanya ditambah lagi dengan ancaman yang ia rasakan

(13)

untuk terus mematuhi norma-norma yang ada di organisasi. Kondisi ini mungkin berkaitan dengan adanya pengakuan para guru yang melakukan demo di Balai Kota Depok (Virdhani, 2013) dimana para guru mungkin merasa tidak dihargai lagi dan justru mendapat ancaman pemecatan. Kondisi-kondisi inilah yang dapat kemudian dapat membuat para guru honorer menjadi kurang memiliki komitmen normatif, diaman mereka sudah merasa diperlakukan secara tidak benar oleh pihak sekolah.

Hasil yang berbeda ditemukan pada korelasi antara job insecurity dengan komitmen afektif. Pada penelitian Bosman, Buitendach, dan Laba (2005), diperoleh nilai korelasi yang signifikan antara job insecurity dengan komitmen organisasi. Akan tetapi, penelitian kali ini memperlihatkan hasil yang berbeda, dimana tidak terdapat korelasi hasil yang signifikan dari hubungan kedua variabel tersebut. Hal ini mungkin disebabkan oleh profesi guru yang memiliki nilai yang berbeda dengan profesi-profesi lainnya. Soebandono (2011) menyatakan bahwa karakteristik pengajar berbeda dengan karakteristik pegawai lainnya karena adanya peran rasa bangga, kepercayaan, rasa aman, dan nilai kerja pribadi dalam keterikatan tenaga kerja pengajar terhadap profesi mereka. Karakteristik pengajar inilah yang dinilai lebih berpengaruh terhadap komitmen afektif dari guru honorer dibandingkan dengan job insecurity yang dipersepsikan. Apalagi jika dikaitkan dengan hasil regresi antara komponen job insecurity dengan komitmen normatif, ditemukan bahwa komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan merupakan hal yang memberikan sumbangan paling besar terhadap komitmen afektif. Hal ini menunjukkan bahwa hal-hal yang diperoleh guru melalui pekerjaan tersebut merupakan hal yang sangat penting baginya sehingga sangat mungkin terlepas dari rasa tidak aman yang ia rasakan, kebanggaan terhadap apa yang ia jalani dan peroleh lebih mempengaruhi terbentuknya komitmen afektif pada seorang guru.

Penelitian yang dilakukan oleh Bosman, Buitendach, dan Laba (2005) juga mendapatkan hasil yang serupa dengan penelitian ini dalam penghitungan korelasi antara job insecurity dengan komitmen kontinuans, dimana tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut. Kondisi ini mungkin terjadi karena pekerja yang memiliki komitmen kontinuans hanya memikirkan keuntungan atau kerugian yang akan ia peroleh dari keanggotannya dalam organisasi, tanpa dipengaruhi oleh adanya situasi-situasi yang dapat memunculkan job insecurity. Keberadaan mereka dalam organisasi juga sangat mungkin dipengaruhi oleh minimnya alternatif pekerjaan yang dimiliki sehingga memutuskan untuk tetap bertahan dalam organisasi meskipun memiliki perasaan terancam. Apabila dilihat berdasarkan analisis regresi antara komponen job insecurity dengan komitmen kontinuans, terlihat bahwa komponen-komponen yang memberikan sumbangan terhadap komitmen

(14)

kontinuans adalah komponen pentingnya aspek pekerjaan, ancaman terhadap aspek-aspek pekerjaan, serta ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan. Adanya sumbangan yang signifikan pada aspek ancaman ini mungkin menunjukkan bahwa orang yang mempersepsikan ancaman yang lebih rendah akan cenderung memiliki komitmen kontinuans yang lebih tinggi, dimana saat ancamannya rendah, orang-orang dengan komitmen kontinuans yang tinggi cenderung bertahan karena adanya manfaat dari pekerjaannya.

Pada analisis mengenai hubungan antara data demografis dengan job insecurity, ditemukan bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan antara kelompok yang memiliki tingkat penghasilan yang berbeda. Artinya, tingkat penghasilan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap job insecurity. Kondisi ini mungkin terjadi terutama jika penghasilan dianggap sebagai hal yang dianggap penting bagi guru honorer. Semakin tinggi penghasilan yang didapatkan, maka guru lebih mempersepsikan adanya keamanan dalam pekerjaannya karena penghasilan juga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang dimiliki. Selanjutnya, pada analisis tambahan mengenai hubungan data demografis dengan variabel komitmen organisasi, ditemukan bahwa partisipan yang berada pada kelompok usia 45-64 tahun memiliki skor mean komitmen organisasi yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat terjadi mungkin karena orang-orang yang telah berada pada usia ini cenderung tidak lagi memiliki banyak pilihan pekerjaan. Selain itu, menurut Super (dalam Arnold & Randall, 2010), usia 45-64 tahun berada dalam tahapan maintenance, dimana orang-orang yang berada pada tahapan ini cenderung untuk menjaga posisinya yang dimilikinya saat ini.

Tingginya komitmen pada guru dalam rentang usia 45-64 tahun ini dapat terjadi karena semakin meningkatnya usia seseorang saat bekerja di suatu organisasi maka pengalaman kerja yang dimiliki akan semakin banyak sehingga komitmen terhadap organisasi pun akan semakin berkembang (Meyer & Allen, 1997). Meyer dan Allen (1997) juga menemukan bahwa semakin lama seseorang bekerja dalam suatu organisasi, maka akan semakin tinggi pula tingkat komitmennya. Hasil dari penelitian dari Meyer dan Allen (1997) ini juga dapat digunakan untuk menjelaskan adanya perbedaan yang signifikan pada kelompok masa kerja di atas 10 tahun dibandingkan kelompok masa kerja di bawah 10 tahun. Akan tetapi, Meyer dan Allen menjelaskan bahwa faktor yang pada dasarnya lebih berperan terhadap pembentukan komitmen organisasi dibandingkan dengan lama kerja adalah faktor usia.

(15)

status pernikahan. Adanya perbedaan ini mungkin dikarenakan adanya kebutuhan dari rata-rata kelompok yang menikah untuk memiliki ikatan yang kuat dengan organisasi tempat ia bekerja karena berhubungan dengan adanya tanggung jawab yang mereka miliki terhadap keluarga, dan usahanya dalam menghidupi keluarganya.

Pada alat ukur job insecurity yang digunakan terdapat item-item yang memiliki pernyataan yang sama namun membutuhkan petunjuk pengisian dan respon yang berbeda. Item-item yang sama tersebut terdapat pada alat ukur yang mengukur komponen job feature importance dan job feature likelihood serta total job importance dan total job likelihood. Hal ini dikhawatirkan dapat mempengaruhi data yang diisi oleh responden. Selain itu, item-item yang memiliki kesamaan ini dikhawatirkan tidak memiliki kemampuan diferensiasi item yang baik dan justru memiliki korelasi yang terlalu tinggi sehingga cenderung sia-sia apabila digunakan untuk mengetahui konstruk yang sama.

Pada analisis regresi antara komponen job insecurity dengan komitmen organisasi, dapat dilihat bahwa hanya sebesar 15,6% komponen dari job insecurity memberikan sumbangan terhadap komitmen organisasi. Selain itu pada analisis pearson correlation juga terlihat bahwa hanya 4,2% saja varians dari komitmen organisasi dapat dijelaskan oleh job insecurity. Rendahnya nilai-nilai ini menimbulkan pertanyaan baru mengenai hal-hal apa saja yang memiliki hubungan dengan komitmen organisasi. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Meyer dan Allen (1997), hal-hal lain yang juga dapat berhubungan atau bahkan memberikan pengaruh terhadap komitmen organisasi adalah kepribadian, kepuasan kerja, dan lain sebagainya. Adanya hal-hal lain yang dapat memberikan sumbangan terhadap komitmen ini perlu untuk diteliti lebih lanjut atau dapat dijadikan sebagai variabel moderator untuk mengetahui efeknya terhadap komitmen organisasi. Selain itu, penelitian ini juga memiliki kekurangan lainnya antara lain, pada alat ukur job insecurity, tidak terdapat penjelasan mengenai alasan penggunaan item-item yang memiliki pernyataan yang sama namun berbeda dalam respon dan petunjuk pengisian. Terlebih lagi, item-item dalam alat ukur job insecurity ini jumlahnya tidak proporsional, dimana komponen powerlesness bahkan hanya memiliki tiga item. Adanya perbedaaan ini dikhawatirkan membuat item-item yang ada justru kurang representatif dalam penghitungan yang dilakukan.

Dalam prosedur penelitian, masih terdapat beberapa masalah berkaitan dengan kurangnya kontrol yang dilakukan dalam pembagian kuesioner, dimana kuesioner yang akan diisi dititipkan terlebih dahulu kepada kepala sekolah. Penitipan kuesioner ini membuat peneliti tidak bisa mendampingi partisipan dalam mengisi kuesioner. Dalam kondisi ini dikhawatirkan ada beberapa partisipan yang tidak memahami item-item pada kuesioner

(16)

penelitian dan tidak dapat bertanya langsung pada peneliti. Selain itu, pada saat pengambilan kuesioner, peneliti hanya menerima kuesioner dari kepala sekolah atau dari bidang tata usaha. Akibat dari kurangnya kontrol ini, ada beberapa kuesioner yang tidak diisi dengan lengkap dan tidak kembali. Selain itu, ketidakhadiran peneliti saat pengisian kuesioner juga membuat partisipan yang mengalami kebingungan terhadap item-item yang ada tidak dapat bertanya secara langsung meskipun peneliti telah mencantumkan nomor kontak yang dihubungi. Hal ini dikhawatirkan dapat membuat partisipan mengisi bagian tersebut dengan menebak saja pada bagian-bagian yang kurang dipahami. Selain itu, dalam pengisian data menggunakan kuesioner ini dikhawatirkan adanya kemungkinan dari partisipan untuk melakukan faking. Jumlah partisipan dalam penelitian ini juga memiliki proporsi yang tidak seimbang, baik dalam pengelompokkan usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, lama bekerja, dan tingkat penghasilan. Adanya ketidakseimbangan ini mungkin akan berpengaruh terhadap perhitungan data dan hasil penelitian, apalagi ketidakseimbangan ini paling jelas terlihat pada tingkat jenis kelamin, dimana mayoritas partisipan merupakan perempuan, sehingga sangat mungkin karakteristik dari perempuan lebih menonjol pada penelitian ini.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan negatif antara job insecurity dan komitmen organisasi pada guru honorer Sekolah Dasar Negeri di Depok. Hubungan yang negatif ini berarti semakin tinggi job insecurity yang dipersepsikan maka akan semakin rendah komitmen organisasi yang dimiliki guru honorer. Hubungan ini juga dapat berlaku sebaliknya dimana semakin rendah job insecurity yang dipersepsikan oleh guru honorer, maka akan semakin tinggi komitmennya terhadap organisasi. Selanjutnya, apabila dilihat hubungan antara job insecurity dengan komponen dari komitmen organisasi, ditemukan adanya hubungan yang juga bersifat negatif signifikan antara job insecurity dengan komitmen normatif, dimana semakin rendah job insecurity maka akan semakin tinggi komitmen normatif pada guru honorer, dan begitu pula sebaliknya. Berbeda dengan komponen komitmen normatif, job insecurity dengan kedua komponen komitmen organisasi yang lainnya, yakni komitmen afektif dan kontinuans, tidak memiliki hubungan yang signifikan.

Apabila melihat sumbangan dari job insecurity terhadap komitmen organisasi, diketahui bahwa komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap komitmen organisasi secara keseluruhan. Hal ini dapat berarti bahwa

(17)

semakin penting aspek-aspek pekerjaan tersebut bagi guru honorer, maka akan semakin tinggi pula komitmennnya terhadap organisasi. Selanjutnya apabila dilihat lebih lanjut terhadap masing-masing komponen komitmen organisasi, dapat dilihat bahwa komponen pentingnya aspek-aspek pekerjaan memberikan sumbangan yang paling besar terhadap komitmen afektif. Komponen lain yang juga memberikan sumbangan terhadap komitmen afektif adalah komponen pentingnya keseluruhan pekerjaan dan ketidakberdayaan. Pada komitmen kontinuans, komponen job insecurity yang memberikan sumbangan paling besar adalah komponen ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan, selain itu terdapat pula komponen ancaman terhadap aspek pekerjaan serta pentingnya aspek-aspek pekerjaan yang juga memberikan sumbangan yang signifikan terhadap komitmen kontinuans. Pada komitmen normatif, komponen job insecurity yang memberikan sumbangan yang signifikan adalah komponen ketidakberdayaan dan komponen ancaman terhadap keseluruhan pekerjaan.

Pada analisis data demografis dengan job insecurity tidak ditemukan adanya perbedaan mean skor job insecurity yang signifikan dari segi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan, dan lama bekerja. Namun, dari segi tingkat penghasilan ditemukan adanya perbedaan mean yang signifikan dari segi tingkat penghasilan. Pada analisis data demografis dengan komitmen organisasi ditemukan bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan dari segi usia, status pernikahan, dan lama kerja, namun perbedaan yang signifikan tersebut tidak ditemukan pada data demografis lainnya seperti jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat penghasilan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan, terdapat beberapa saran metodologis yang dapat peneliti ajukan untuk menjadi bahan pertimbangan pada penelitian selanjutnya, yaitu perlu dilakukannya penelitian longitudinal untuk lebih mengetahui efek kekuatan dan jangka waktu job insecurity terhadap komitmen organisasi, mengingat rendahnya effect size dari korelasi antara job insecurity dengan komitmen organisasi (4,2%). Selain itu, penelitian selanjutnya perlu untuk menggali lebih lanjut mengenai hal-hal apa saja yang menyebabkan komitmen normatif pada guru honorerlah yang justru lebih berhubungan dengan job insecurity dibandingkan komitmen afektif dan kontinuans. Hal ini perlu untuk dipelajari lebih lanjut karena pada penelitian-penelitian sebelumnya, komitmen normatif justru lebih banyak diabaikan. Penelitian selanjutnya perlu untuk lebih memperhatikan variabel-variabel lain yang

(18)

mungkin dapat memengaruhi komitmen organisasi baik dengan dijadikan sebagai moderator ataupun sebagai data kontrol dalam penelitian.

Daftar Pustaka

Arnold, J., Randal, R., Silvester, J., Patterson, F., Robertson, I., & Cooper, C. (2010). Work Psychology 5th ed. London: Pearson.

Ashford, S. J., Lee, C., & Bobko, P. (1989). Content, cause, and consequences of job insecurity: A theory-based measure and substantive test. The acadeny of management journal, Vol 32, No. 4, 803-829.

Bosman, J., Buitendach, J.H. & Laba, K. (2005). Job insecurity, burnout and organizational commitment among employees of a financial institution in gauteng. SA Journal of Industrial

Psychology, 31 (4), 32-40.

De Witte, H. (2005). Job insecurity: review of the international literature on definitions, prevalence, antecedents, and consequences. SA Journal of Industrial Psychology, 1-6.

Fathlistya, W. (2008). Hubungan antara stress kerja dengan komitmen organisai pada pegawai bumn.

Skripsi. Depok: UI Press

Greenhalg, L. & Rosenblatt, Z. (1984). Job insecurity: toward conceptual clarity. Academy of

Management Review, Vol. 9, No. 3, 438-448.

Gravetter, F.J & Wallnau, L,B. (2009). Stattistic for the Behavioral Science (8th ed.). USA:

Wadsworth, Cengage Learning.

Guru honorer terancam dipecat karena demo. (2013, juni 23). Sekolahdasar.net.

http://www.sekolahdasar.net/2013/06/guru-honorer-terancam-dipecat-karena.html

Hendra, E. (2012, Desember 27). Guru honorer ancam berhenti. Tribunnews.

http://sumsel.tribunnews.com/2012/12/27/guru-honor-ancam-berhenti

Jex, S. M. & Britt, T. W. (2008). Organizational Psychology: A Scientist-Practitioner Approach (2nd

Edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Kumar, Ranjit. (2005). Research Metdhology: A Step-by-step Guide for Beginners (2nd ed.). Malaysia: Sage Publications

Maulana, S. (2012). Hubungan antara job insecurity dan work engagement pada dosen non-pns universitas indonesia. Skripsi. Depok : UI Press.

Meyer, J. P. & Allen, N. J. (1991). A three-component conceptualization og organizational commitment. Human Resources Management Review, Vol. 1, No. 1, 61-89.

Meyer, J. P. & Allen, N. J. (1997). Commitment in the workplace. California: Sage Publications, Inc. Miana, B. S., Morales, M. G. G., Caballer, A. & Peiro, J. M. (2011). The Spanish Journal of

(19)

Napitupulu, E. L. (2012, November 01). Guru honorer resah tak boleh disertifikasi. Kompas.

http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/01/20115646/Guru.Honorer.Resah.Tak.Boleh.Disertifi kasi

Napitupulu, E. L. (2012, November 03). Persoalan guru honorer masih belum tuntas.

Kompas.http://edukasi.kompas.com/read/2012/11/03/10151613/Persoalan.Guru.Honorer.Masih. Belum.Tuntas

Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2009). Fundamental of human resource

management. (3rd ed.). New York : McGraw Hill.

Pilih berhenti jadi guru honorer. (2013, Januari 20) balikpapan pos.

http://www.balikpapanpos.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=86871#

Purnama, R.R. (2013, juni 19). Ini dia alasan guru honorer depok demo. Sindonews.

http://metro.sindonews.com/read/2013/06/19/31/751642/ini-dia-alasan-guru-honorer-depok-demo

Soebandono, J. P. (2011). Peran rasa bangga, kepercayaan, rasa aman, dan nilai kerja pribadi dalam keterikatan kerja karyawan. Disertasi. Depok : UI Press.

Sora, B. Caballer, A. & Peiro, J. M. (2010). The consequences of job insecurity for employees: The moderator role of job dependence. International labour review, Vol. 149 (2010), No.1.

Suherman, G. (2012, September 9). Penuhi kekurangan, guru smp dan sma, dipindah jadi guru sd.

Depok Terkini. http://pendidikan.depoklik.com/penuhi-kekurangan-guru-smp-dan-sma-dipindah-jadi-guru-sd/

Suyanto. (2012, November 17). Guru dipecat, wali murid geruduk sekolah. Surya Online.

http://surabaya.tribunnews.com/2012/11/17/guru-dipecat-wali-murid-geruduk-sekolah.

Sverke, M., Hellgren, J. & Naswall, K. (2002). No security: a meta-analysis and review of job insecurity and its consequences. Journal of Occupational Health Psychology, Vol. 7, No. 3, 242-264.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

Virdhani, M. H. (2013, Juni 17). Guru honorer tuntut diangkat jadi cpns. Okezone.

http://kampus.okezone.com/read/2013/06/17/560/822989/guru-honorer-tuntut-diangkat-jadi-cpns

Virdhani, M. H. (2013, Juni 19). Ikut demo, guru honorer malah terancam dipecat. Okezone.

http://kampus.okezone.com/read/2013/06/19/560/8245 96/ikut-demo-guru-honorer-malah-terancam-dipecat

Gambar

Tabel 1. Hubungan antara Job Insecurity dan Komitmen Organisasi pada guru honorer  Sekolah Dasar Negeri di Depok
Tabel 2. Sumbangan komponen job insecurity terhadap komitmen organisasi beserta  komponennya
Tabel 3. Gambaran perbedaan mean masing-masing variabel berdasarkan karakteristik  demografis

Referensi

Dokumen terkait

Group. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu tes, dan observasi. Pengolahan dan analisis data yang dilakukan adalah analisis data kuantitatif dengan bantuan

Penelitian ini tidak menggunakan data statistik (angka) melainkan menggunakan analisis diskriptif karena penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai-nilai pendidikan

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik deskriptif (rerata). Hasil penelitian menunjukan bahwa: kesiapan guru program keahlian teknik gambar

Teknik analisis data dilakukan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan tiga prediktor, uji F Statistik, uji t statistik, dan koefisien determinasi (R 2 ).

Analisis data penelitian secara deskriptif yang dilakukan melalui statistika deskriptif, yaitu statistik yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau

Pengujian ini bermaksud untuk mengetahui normal tidaknya data yang diperoleh. Hal ini dilakukan untuk menentukan statistik yang akan digunakan dalam mengolah data dan

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik. Terdapat dua macam statistik yang digunakan untuk analisis data dalam penelitian ini,

e) Teknik analisis/pengolahan data adalah langkah dan cara pengolahan data dengan menggunakan formula/rumus statistik yang tepat. Hasil pengolahan data ini dapat digunakan untuk