• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN. dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Seperti yang telah diungkapkan dalam latar belakang bahwa penelitian terhadap BSDW khususnya yang berkaitan dengan tipologi bahasa belum pernah dilakukan. Oleh sebab itu, kajian pustaka yang dipaparkan adalah penelitian terdahulu yang berkaitan dengan objek penelitian dan tipologi bahasa. Temuan-temuan peneliti terdahulu diharapkan dapat dipakai sebagai pijakan untuk menganalisis BSDW.

2.1.1 Kajian Pustaka tentang Objek Penelitian

Penelitian terdahulu tentang objek penelitian lebih banyak difokuskan pada bahasa Sumba dialek Kambera. Penelitian yang telah dilakukan juga lebih banyak merupakan penelitian linguistik makro. Hasil penelitian tersebut di antaranya penelitian Widarsini (1985), Syamsudin (1996), Ariningsih (1997), Sari (1998), Fitrayanti (1998), Klamer (1998), Djawa (2000), Budasi (2007), Putra (2007), dan Simpen (2008).

Widarsini (1985) meneliti bahasa Sumba dialek Kambera dan bahasa Manggarai yang diperbandingkan dengan bahasa Austronesia Purba. Widarsini membuktikan pertalian fonem bahasa Austronesia Purba dengan BS dialek Kambera dan bahasa Manggarai melalui retensi bunyi, yaitu bunyi-bunyi bahasa

(2)

yang terwaris secara langsung, bunyi-bunyi yang inovatif meliputi perubahan bunyi yang teratur dan sporadis (tidak teratur). Penelitian ini merupakan penelitian linguistik historis komparatif yang dapat memberikan informasi mengenai BSDW.

Syamsudin (1996) meneliti tentang kelompok bahasa Bima-Sumba berdasarkan kajian Linguistik Historis Komparatif. Temuan penelitian tersebut menyatakan bahwa bahasa-bahasa yang diteliti dinamakan kelompok bahasa Bima-Sumba, yang terdiri atas tripilah subkelompok, yakni (a) bahasa Bima dan Komodo, (b) bahasa Manggarai, Ngada, dan Lio yang terbagi atas Manggarai, dan Ngada –Lio, dan (c) bahasa Sumba dan Sawu. Kajian tersebut juga banyak memberikan informasi mengenai objek penelitian.

Ariningsih (1997) meneliti bahasa Sumba dialek Kambera mengenai kata-kata tabu bahasa Sumba dialek Kambera yang juga menggunakan telaah Linguistik Historis Komparatif. Ariningsih membahas kemunculan kata-kata tabu disebabkan oleh beberapa faktor psikologis yang melatarinya. Faktor-faktor psikologis itu berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat, yakni kepercayaan, kesopanan, dan kelancaran.

Sari (1998) meneliti tentang fonologi bahasa Sumba dialek Kambera di Sumba Timur dengan menggunakan teori Tata Bahasa Generatif Transformasional. Hasil temuannya berupa lima ruas vokal asal dan dua puluh dua konsonan asal dari sembilan ruas vokal dan dua puluh dua ruas konsonan. Semua ruas vokal dapat dibuktikan sebagai fonem. Ruas vokal asal memiliki distribusi yang lengkap, yaitu terdapat pada posisi awal, tengah, dan akhir,

(3)

sedangkan ruas konsonan asal hanya memiliki distribusi awal dan tengah, dan konsonan asal /g/ hanya berdistribusi awal morfem. Konsonan asal /?/ hanya dapat menempati posisi tengah. Ruas konsonan asal BS dialek Kambera tidak terdapat pada posisi akhir morfem karena morfem-morfemnya selalu diakhiri oleh suku kata terbuka. Proses-proses fonologis yang ditemukan meliputi proses struktur suku kata yang berupa penambahan semikonsonan, penambahan nasal, penambahan glotal, dan pelemahan vokal. Penelitian tentang fonologi bahasa Sumba dialek Kambera tersebut hanya menekankan aspek fonologi, sedangkan aspek yang lain seperti morfologi, sintaktis, dan semantik tidak di singgung. Hasil temuannya dapat memberikan gambaran tentang fonologi bahasa Sumba.

Fitrayanti (1998) meneliti bahasa Sumba dialek Kambera khususnya tentang pemakaian bahasa dalam kehidupan masyarakat berbahasa Sumba di Kota Waingapu; penelitian Yuliana (1998) tentang kedudukan dan fungsi dialek Kambera di Sumba Timur; dan Marpaung (1997) tentang kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia pada masyarakat kota dan desa di Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian Marpaung menunjukkan bahwa melalui variabel latar, situasi, topik, dan hubungan peran partisipan diperoleh pemakaian bahasa Indonesia yang mendominasi kehidupan masyarakat Sumba, baik pada masyarakat kota maupun masyarakat desa. Penelitian Fitrayanti dan Yuliana menunjukkan bahwa kedudukan dan fungsi BS dialek Kambera mulai didesak oleh kedudukan dan fungsi BI. Ketiga penelitian tersebut merupakan penelitian dalam bidang sosiolinguistik. Hasil penelitian tersebut dapat dipakai sebagai pijakan dalam memahami perbedaan antara dialek Kambera dan dialek Waijewa.

(4)

Klamer (1998) menulis tentang tata bahasa Kambera. Penelitian yang dilakukan oleh Klamer berfokus pada aspek fonologi, morfologi, dan morfosintaktis. Ditinjau dari aspek fonologi dikatakan bahwa struktur fonotaktik bahasa Kambera dapat dikenali dengan menggunakan kategori silabel, prosodi, foot, dan kata prosodi. Semua akar leksikal dapat dikatakan sebagai feet. Semua vokal bisa muncul pada suku kata yang bertekanan, hanya sebagian yang memiliki tekanan yang lemah, sedangkan vokal yang tidak bertekanan muncul dalam suku kata yang lain. Bahasa Kambera memiliki tiga tipe reduplikasi, yaitu reduplikasi suku kata KV, foot, dan kata prosodi.

Temuan aspek morfologi mengungkapkan bahwa derivasi dengan {pa-}. dan {-ng} adalah dua derivasi morfologis yang terpisah dan berbeda yang diterapkan pada level morfologi yang berbeda. Verba dasar dalam derivasi lebih sering merupakan verba intransitif daripada transitif yang selanjutnya menghasilkan verba transitif. Derivasi verba yang produktif biasanya menaikkan valensi. Sisi semantis verba dasar memegang peranan penting terkait dengan derivasi aplikatif dan kausatif. Proses aplikatif mendahului proses kausatif jika verba dasar adalah verba direksi, keadaan, kejadian. Prefiks {ka-} dapat digunakan dalam beberapa hal, yakni dalam derivasi verba yang berasal dari numeralia dan verba. Proses derivasi memengaruhi properti aspek verba dan beberapa derivasi dengan prefiks {ka-} dapat digunakan dalam adverbia.

Dari aspek sintaktis dikatakan bahwa bahasa Kambera memiliki tiga jenis klausa subordinatif, yaitu klausa nomina, klausa relatif, dan klausa terkendali (control clause). Perelatifan subjek dimarkahi dengan klitik {ma-}, sedangkan

(5)

perelatifan objek, objek tidak langsung, instrumen, komitatif, dan lokasional dimarkahi klitik {pa-}. Klausa relatif memiliki properti nomina dan klausa. Klausa tersebut dapat berfungsi untuk menjelaskan inti nomina dalam FN dan dalam konstruksi yang berfungsi seperti sebuah konstruksi pasif. Dalam hal subjek kontrol, subjek atau objek dari klausa matriks sama dengan subjek klausa sematan. Dalam hal subjek kontrol, relasi sintaktis S/A dikatakan lebih relevan daripada isi tematiknya atau kasus morfologisnya.

Klamer tidak meneliti secara mendalam kontruksi kalimat kompleks khususnya konstruksi koordinatif. Penelitian itu lebih banyak ditekankan pada konstruksi subordinatif. Hasil penelitian itu dapat dipakai sebagai dasar rujukan untuk analisis struktur klausa, struktur argumen, valensi, dan struktur subordinatif BSDW. Di samping itu hasil penelitian Klamer dapat memberikan informasi tentang bahasa Sumba dialek Kambera yang selanjutnya dapat dipakai dasar pijak dalam menganalisis BSDW.

Djawa (2000) meneliti beberapa bahasa di Sumba dengan fokus kajian tentang rekonstruksi protobahasa Kambera-Loli-Kodi-Lamboya di Sumba. Penelitian ini menyatakan bahwa Kambera, Loli, Kodi, dan Lamboya telah terbukti memiliki keeratan kekerabatan antarsesamanya. Keeratan kekerabatan tersebut tercermin dalam sejumlah besar kata kerabat sebagai petunjuk keeratan hubungan kekerabatan bahasa-bahasa Kambera, Loli, Kodi, dan Lamboya. Di samping itu, dikatakan pula bahwa protobahasa Kambera, Loli, Kodi, dan Lamboya terpilah menjadi dwipilah yang memisahkan bahasa Kambera pada pilah

(6)

yang satu dan bahasa-bahasa Loli, Kodi, Lamboya pada pilah yang lain. Penelitian ini juga merupakan kajian historis komparatif.

Kajian historis komparatif juga dilakukan oleh Budasi (2007) yang meneliti tentang relasi kekerabatan genetis kuantitatif isolek-isolek Sumba di NTT. Budasi meneliti tujuh status isolek yang ada di Sumba, yakni Kodi, Wewewa, Lamboya, Kambera, Mamboro, Wanokaka, dan Anakalang yang menggunakan bahasa Sawu di Sawu, NTT, dan bahasa Bima di NTB. Penelitian Budasi menyimpulkan bahwa ketujuh isolek yang terdapat di Sumba, yakni isolek Kodi, isolek Wewewa, isolek Lamboya, isolek Kambera, isolek Mamboro, isolek Wanokaka, dan isolek Anakalang masing-masing berstatus sebagai bahasa berkerabat yang berbeda dan berada dalam satu kelompok bahasa, yakni kelompok bahasa Sumba. Bahasa Bima dan Sawu berada di luar kelompok bahasa Sumba. Silsilah kekerabatan bahasa-bahasa Sumba secara genetis kuantitatif dikatakan sebagai sebuah subkelompok bahasa, yaitu kelompok bahasa Sumba sebagai salah satu turunan rumpun Austronesia Tengah Bagian Barat.

Putra (2007) meneliti tentang segmentasi dialektikal bahasa Sumba di Pulau Sumba berdasarkan kajian dialektologi. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa di Pulau Sumba terdapat satu bahasa dengan lima dialeknya, yakni (1) dialek Mauralewa-Kambera, (2) dialek Wano Tana (Wanokaka dan Katiku Tana), (3) dialek Waijewa-Loli, (4) dialek Kodi, dan (5) dialek Lamboya. Nama-nama dialek tersebut berkaitan dengan nama kelompok masyarakat yang membentuk kerajaan-kerajaan pada masa lalu, baik pada masyarakat Sumba Timur maupun masyarakat Sumba Barat. Hasil penelitian Syamsudin (1996), Putra (2008), dan

(7)

Budasi (2007) dapat memberikan gambaran bagi peneliti tentang situasi kebahasaan di Pulau Sumba.

Simpen (2008) dalam penelitiannya tentang kesantunan berbahasa pada penutur bahasa Kambera di Sumba Timur menyatakan bahwa penutur bahasa Kambera masih memegang prinsip-prinsip hidupnya. Prinsip hidup itu tertuang dalam ideologi yang mereka sebut Hopu li li wili-Hopu li la kunda ‘akhir dari segala pembicaraan- akhir dari segala pintalan. Satuan Verba yang digunakan dalam kesantunan berbentuk kata, gabungan kata, kalimat, dan peribahasa. Faktor seperti usia, jenis kelamin, status, dan hubungan kekerabatan sangat berpengaruh dalam kesantunan. Makna kesantunan menggambarkan latar budaya yang berkaitan dengan sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, sistem kekerabatan, dan sistem pernikahan. Unsur suprasegmental dan paralinguistik berpengaruh terhadap kesantunan verbal. Penelitian tersebut merupakan kajian linguistik kebudayaan dan sosiopragmatik. Namun, hasil penelitian Simpen dapat dipakai sebagai pembanding dalam menganalisis struktur klausa BSDW.

2.1.2 Kajian Pustaka Terkait dengan Masalah yang Dikaji

Pada kajian pustaka ini dikemukakan juga hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan kajian tipologi bahasa. Hasil-hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai rujukan dalam menganalisis BSDW ditinjau dari aspek yang diteliti dan teori yang diterapkan.

Artawa (1994) dalam penelitiannya tentang keergatifan dan sintaktis bahasa Bali mengkaji empat permasalahan pokok, yaitu relasi gramatikal,

(8)

mekanisme perubahan valensi, tipologi pragmatik, dan tipologi sintaktis. Pendeskripsian relasi gramatikal diawali dengan penentuan konstituen SUBJ yang dilakukan dengan cara pengujian sintaktis, yaitu perelatifan, kontrol, penaikan, serta pivot. Uraian mengenai mekanisme perubahan valensi menggambarkan penurunan dan penaikan valensi verba sehingga ditemukan adanya pengaplikatifan pada verba dasar bahasa Bali melalui proses morfosintaktis sufiks {-ng} dan {-in}. Kajian terhadap tipe pemarkahan sintaktis bahasa Bali menghasilkan simpulan bahwa bahasa Bali termasuk ke dalam tipologi bahasa ergatif. Padahal, secara umum, bahasa Bali sering dianalisis sebagai bahasa akusatif. Menurut Artawa, pada prinsipnya bahasa Bali memperlakukan argumen pasien (P) dari verba transitif yang tak bermarkah secara morfologis, seperti argumen intransitif. Temuan Artawa merupakan temuan yang dapat dipakai sebagai pembanding dalam meneliti strategi penggabungan klausa BSDW karena penelitian tersebut sama-sama menggunakan pendekatan tipologi bahasa. Di samping itu, penelitian Artawa dilakukan pada bahasa berafiks, sedangkan penelitian ini dilakukan pada bahasa yang minim afiks. Kajian tentang valensi yang dilakukan oleh Artawa dipakai sebagai pembanding dalam menganalisis valensi BSDW.

Temuan lain yang dipakai sebagai pembanding adalah hasil penelitian Sedeng (2000) tentang predikat kompleks dan relasi gramatikal bahasa Sikka. Penelitian yang dilakukan oleh Sedeng menunjukkan bahwa PRED kompleks bahasa Sikka sangat bervariasi dari segi tipologi morfologis, analitik, monoklausal, biklausal, dan sintaktis. Sedeng tidak menganalisis secara mendalam

(9)

tentang penggabungan klausa pada konstruksi koordinatif. Penelitian Sedeng menggunakan pendekatan tipologi bahasa dan teori LFG. Penelitian tersebut bertujuan untuk menemukan tipologi bahasa Sikka dan predikat kompleks bahasa Sikka. Temuan tentang PRED kompleks yang dikemukakan oleh Sedeng dapat dipakai rujukan dalam menganalisis strategi penggabungan klausa pelengkap yang dilakukan melalui serialisasi verba. Di samping itu, temuan mengenai tipologi bahasa Sikka dan tata urut klausa bahasa Sikka sangat bermanfaat dalam menganalisis tipologi BSDW.

Penelitian tentang pasivisasi dan alternasi argumen bahasa Bima oleh Jauhari (2000) menunjukkan bahwa pasivisasi dalam bahasa Bima terjadi karena adanya alternasi status sintaktis agen verba transitif. Argumen agen mengalami penurunan status menjadi [-inti]. Di samping itu, dikemukakan bahwa bahasa Bima memiliki pemarkahan pasif, yang berupa prefiks {ra-}, prefiks {di-}, dan prefiks {ba-}. Temuan Jauhari tersebut penting dicermati dalam penelitian ini karena berkaitan dengan analisis struktur klausa BSDW dan pasivisasi, selain karena bahasa Bima dikatakan satu kelompok dengan Bahasa Sumba menurut Syamsudin (1996).

Kosmas (2000) meneliti tentang argumen aktor dalam bahasa Manggarai dan pemetaan fungsinya dengan berfokus pada aspek teoretis argumen inti dalam bahasa Manggarai serta implikasi tipologisnya. Temuan penelitian dalam bahasa Manggarai tersebut bermanfaat sebagai bahan banding dalam kajian BSDW karena bahasa Manggarai juga tidak memiliki pemarkah morfologis. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya proses morfoleksikal. Akibat minimnya afiks

(10)

(prefiks, infiks, sufiks, konfiks, simulfiks) sehingga alternasi kalimat termasuk diatesis aktif-pasif sulit diukur melalui pemarkahan morfologis. Argumen inti (core argument) dalam bahasa Manggarai tidak dimarkahi, baik secara morfologis maupun sintaktis. Sebaliknya, argumen noninti (non-core argument) dimarkahi secara sintaktis dengan preposisi le ‘oleh’. Preposisi le ‘oleh’ digunakan sebagai pemarkahan sintaktis terutama dalam konstruksi pasif. Dengan kata lain, preposisi le ‘oleh’ merupakan pemarkah pasif dalam bahasa Manggarai. Jadi, pasif dalam bahasa Manggarai merupakan pasif sintaktis, bukan pasif morfologis. Selain melaluli pemarkahan sintaktis, argumen inti dan noninti juga dapat ditentukan berdasarkan tata urut konstituen klausa. Perubahan unit konstituen berpengaruh terhadap status inti dan noninti sebuah argumen. Argumen aktor sebagai argumen inti dipetakan ke fungsi SUBJ, sedangkan aktor sebagai argumen noninti dipetakan ke fungsi OBL. Secara tipologis, bahasa Manggarai tergolong bahasa akusatif. Hal ini dibuktikan melalui tes pemetaan peran semantis dan fungsi gramatikal dan tes perilaku kepivotan, yakni S/A pivot dan S/0 pivot. Bahasa Manggarai memiliki pivot S/A. Hasil penelitian bahasa Manggarai oleh Kosmas (2000) sangat berarti dalam penelitian BSDW karena adanya kemiripan bidang kajian, yakni pada aspek tes perilaku kepivotan. Yang membedakan penelitian terhadap BSDW dengan penelitian bahasa Manggarai adalah bahwa penelitian terhadap BSDW menganalisis serialisasi verba dalam strategi penggabungan klausa, khususnya dalam klausa pelengkap.

Antara (2000) dalam penelitiannya tentang keintian argumen dan keselarasan pemarkahan bahasa Mauta mengemukakan bahwa bahasa Mauta di

(11)

Kabupaten Alor, NTT, memiliki pemarkahan argumen (dependent marking) dan pemarkahan verba (head marking). Pemarkahan verba bersesuaian dengan frasa nomina argumen objeknya, baik secara morfologis maupun sintaktis. Bahasa Mauta tergolong bahasa bertipe akusatif, dan berdasarkan tes kepivotan bahasa ini tergolong bahasa S/A pivot. Dilihat dari tipologi tata urutan, bahasa Mauta tergolong bahasa dengan tata urutan SOV. Penelitian Antara (2000) memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Penelitian tersebut sama-sama menggunakan pendekatan tipologi bahasa. Penelitian Antara hanya memfokuskan diri pada struktur koordinatif dalam tes kepivotan.

Yudha (2000) yang meneliti fungsi gramatikal argumen inti dan sistem terpilah bahasa Kolana menyimpulkan bahwa klausa intransitif bahasa Kolana selalu memiliki struktur kanonik dan tak dapat diinversikan. S sebagai satu- satunya argumen inti pada klausa intransitif selalu menduduki posisi SUBJ gramatikal. Selain itu, bahasa Kolana tidak memiliki cara atau upaya untuk mengubah klausa intransitif menjadi klausa transitif. Struktur dasar klausa transitif bahasa Kolana adalah SOV dan dapat beralternasi menjadi OSV pada verba yang bermarkah. Subjek sebagai salah satu argumen inti pada klausa transitif selalu diduduki oleh argumen yang secara semantis berperan sebagai agen, sedangkan objek sebagai inti kedua dapat diisi oleh argumen yang memiliki peran semantis lainnya, baik sebagai pasien, benefaktif, maupun penerima (receipient). Hasil penelitian Yudha tersebut memiliki kemiripan dengan penelitian ini. Yudha mengkaji fungsi argumen inti dengan menerapkan teori TLF. Namun, penelitian BSDW mengkaji struktur argumen dan valensi. Hasil

(12)

penelitian Yudha dapat dipakai sebagai pembanding dalam menganalisis struktur argumen BSDW.

Suciati (2001) dalam penelitiannya tentang aliansi gramatikal dan diatesis bahasa Tetun dialek Fehan mengemukakan bahwa bahasa Tetun dialek Fehan termasuk bahasa isolatif dengan pola urutan SVO dan sangat minim afiks. Secara gramatikal bahasa ini tergolong bahasa akusatif. Dari segi diatesis, bahasa Tetun dialek Fehan menganut diatesis agentif dan diatesis objektif. Hasil penelitian Suciati erat kaitannya dengan BSDW karena tergolong bahasa isolatif seperti BSDW. Hal itu terlihat pada kajian mengenai aliansi gramatikal. Oleh sebab itu, hasil penelitian tersebut dapat dipakai dasar pijak untuk menganalisis aliansi gramatikal pada BSDW.

Arka (2000) dalam pembahasannya tentang beberapa aspek intransitif terpilah pada bahasa-bahasa Nusantara menyimpulkan bahwa secara tipologis, bahasa-bahasa Nusantara memperlihatkan keterpilahan S, dengan strategi pemarkahan pada poros verbanya (head marking), seperti bahasa bahasa Bali, Lamaholot, Tetun, dan Dawan, atau pemarkahan argumennya (dependent marking), seperti bahasa Kolana, atau keduanya, seperti bahasa Aceh. Pemarkahan verba biasanya berupa afiks, dengan tingkat kerincian yang bervariasi. Sementara itu, bahasa-bahasa isolasi, seperti bahasa Sikka, yang memang miskin pemarkah morfologis, keterpilahan S diperlihatkan melalui tata urutan antara S dan poros verbanya. Penelitian tipologi ini memiliki kemiripan dengan penelitian BSDW, baik dalam tipologi tata urutan kata maupun dalam hal

(13)

pemarkahan. Oleh karena itu penelitian BSDW dirujuk silang dengan hasil penelitian Arka (2000).

Partami (2001) mengemukakan temuannya dalam penelitiannya tentang relasi gramatikal dan perelatifan bahasa Buna bahwa bahasa Buna tergolong bahasa isolasi, sangat jarang ditemukan proses morfologis. Dalam relasi gramatikal, kebanyakan verba transitif bahasa ini dimarkahi dengan prefiks pronominal yang bersesuaian dengan objek gramatikal. Bahasa Buna dapat merelatifkan fungsi-fungsi gramatikal, seperti subjek, objek primer, objek sekunder, dan pasif yang menempati fungsi subjek. Bahasa ini tergolong bahasa akusatif dan memiliki diatesis agentif. Ditinjau dari tata urutan, bahasa Buna tergolong bahasa SOV. Hasil peneitian Partami (2001) juga bermanfaat bagi penelitian kalimat karena dapat dipakai rujuk silang dalam penelitian kalimat dan perelatifan BSDW. Dari segi teori yang dipakai, kedua penelitian juga sama karena sama-sama menganalisis bahasa isolatif.

Penelitian lain yang terkait dengan pendekatan tipologi bahasa adalah penelitian yang dilakukan oleh Kasni (2008) mengenai pelesapan pada konstruksi koordinatif bahasa Inggris. Penelitian ini difokuskan pada pelesapan yang terjadi pada struktur koordinatif dilihat dari segi fungsional, keterpulangan, dan tes kepivotan yang diajukan oleh Dixon (1979). Penelitian tersebut memadukan teori struktural dan pendekatan tipologi bahasa. Temuan yang dihasilkan adalah pelesapan dapat terjadi pada tipe konstruksi kalimat koordinatif yang terdiri atas dua klausa dan tipe konstruksi yang terdiri atas lebih dari dua klausa.

(14)

Dilihat dari segi fungsionalnya unsur-unsur yang dilesapkan pada kalimat koordinatif adalah unsur subjek, unsur subjek+verba bantu, dan unsur objek+subjek. Dilihat dari segi keterpulangannya, pelesapan subjek dan subjek+verba bantu dikategorikan sebagai pelesapan anaforis. Kemudian, pelesapan objek dikategorikan sebagai pelesapan kataforis.

Jika ditinjau dari pendekatan tipologi bahasa, pelesapan yang terjadi pada konstruksi kalimat koordinatif bahasa Inggris erat kaitannya dengan tipologi bahasa Inggris yang bersifat akusatif yang memperlakukan subjek pada kalimat intransitif (S) sama dengan argumen subjek pada kalimat transitif (A). Jika unsur S dan A berkoreferensi, salah satu unsur tersebut dapat dilesapkan tanpa mengubah struktur klausa. Akan tetapi, jika yang berkoreferensi adalah O dalam salah satu klausa, maka klausa tersebut harus dipasifkan supaya O dapat dilesapkan. Aliansi pelesapan yang ditemukan pada kalimat koordinatif yang terdiri atas dua klausa adalah A1=S2, S1=A2, A1=A2, S1=S2, A1=O2, S1=O2, O1=O2 dan S1=A2, A1=A2 dan O1=O2, O1=O2. Kemudian, aliansi pelesapan pada konstruksi kalimat koordinatif yang terdiri atas lebih dari dua klausa adalah A1=A2 dan A1=S2, S1=A2 dan S1=S2, S1=A2, A1=A2, S1=A2, S1=S2, A1=S2 dan A1=A2, A1=A2 dan O1=O2. Hasil penelitian tersebut dapat dipakai sebagai rujukan untuk menganalisis strategi penggabungan klausa BSDW dalam struktur koordinatif.

Satyawati (2009) meneliti tentang valensi dan relasi sintaktis bahasa Bima dialek Mbojo (BBM). Penelitian tersebut mengamati BBM dari aspek morfosintaktis dengan menggunakan teori Role and Reference Grammar (RRG).

(15)

Hasil penelitian Satyawati mengungkapkan bahwa klausa BBM secara umum dibedakan menjadi dua, yaitu klausa dengan PRED verbal dan klausa dengan FRED nonverbal. BBM memiliki tujuh operator yang berfungsi sebagai operator nukleus, operator inti atau sebagai operator klausa, seperti aspek, negasi, modalitas, evidensial, status, daya ilokusioner, dan direksional. Pemarkah diatesis yang digunakan dalam BBM adalah labo, {-kai}, {-wea}, ba, angilabo, dan weki. BBM memiliki penominal {di-}, {ra},{ ma-}. Di samping itu, dalam definit : {-na}, BBM memiliki demontratif ake, ede, dan aka; dan dalam indefinit edera.

Ditinjau dari segi predikatnya, PRED BBM dapat diisi oleh serialisasi verba dan PRED kedua. PRED kedua yang ditemukan dalam BBM dibedakan menjadi empat, yaitu depiktif, resultatif, sirkumstansial, dan PRED komplemen.

Terkait dengan mekanisme perubahan valensi, perubahan valensi dalam BBM dapat dibagi dua yaitu, penaikan valensi dan penurunan valensi. Penaikan valensi dilakukan melalui pengausatifan dan pengaplikatifan, sedangkan penurunan valensi dilakukan melalui resultatitf. Pengausatifan dalam BBM dilakukan dengan menambahkan pemarkah {ka-}, penambahan unsur ndawi ‘buat’ dan penambahan verba kau ‘menyuruh’. Pengausatifan dapat dilakukan dengan {ka-}yang memarkahi Adj, N, M Num, dan U, sedangkan dengan unsur ndawi dapat membentuk kontruksi kausatif yang intransitif dan transitif. Pengaplikatifan dalam BBM dapat berupa aplikatif benefaktif yang ditandai dengan pemarkah labo, dan lokatif dan tema ditandai dengan pemarkah wea. Aplikatif komitatif ditandai dengan pemarkah labo, dan lokatif dan tema ditandai dengan pemarkah kei, resultatif dalam bahasa tersebut menunjukkan penghilangan

(16)

agen yang terjadi pada konstruksi pasif. Satyawati juga mengungkapkan bahwa pola urutan kata BBM adalah SPO, adposisi PREP-N, N-G, N-Adj, N-Dem dan posisi kata tanya. Posisi kata tanya dapat di awal atau di akhir klausa. BBM juga menunjukkan pengedepanan topik, baik dalam bahasa tulis maupun bahasa lisan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa penelitian Satyawati mengkaji beberapa hal yang memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan ini. Masalah yang menunjukkan kemiripan dengan penelitian yang dilakukan di antaranya mengenai penelitian struktur dasar klausa, serialisasi verba, perelatifan, valensi, keintian, dan ketransitifan. Yang membedakannya dengan penelitian ini adalah teori yang diterapkan. Satyawati menerapkan teori RRG, sedangkan penelitian ini menerapkan pendekatan tipologi bahasa. Di samping itu, penelitian Satyawati tidak mengkaji konstruksi koordinatif dan subordinatif. Hasil penelitian Satyawati dapat dipakai sebagai dasar pijak untuk analisis BSDW, khususnya dalam hal yang memiliki kemiripan dengan penelitian ini.

2.2 Konsep

Penelitian strategi penggabungan klausa merupakan penelitian yang mengamati BSDW dari aspek tipologi, yaitu aspek-aspek morfologis dan sintaktis. Terkait dengan hal itu, konsep-konsep yang diperlukan meliputi definisi konsep klausa, konstruksi kalimat koordinatif, konstruksi kalimat subordinatif, serialisasi verba, predikat kompleks, pelesapan, kekoreferensialan, keforisan, dan aliansi gramatikal.

(17)

2.2.1 Klausa

Klausa didefinisikan sebagai satuan gramatika yang terdiri atas unsur subjek (S) dan predikat (P) disertai objek (O) dan keterangan (K) dan memiliki potensi untuk menjadi kalimat. Klausa dapat dikategorikan berdasarkan (i) unsur, intinya, (ii) ada tidaknya kata negatif yang secara gramatikal menegatifkan predikat, (iii) kategori kata atau frasa yang menduduki fungsi predikat, (iv) potensinya untuk menjadi kalimat, (v) fungsinya pada kalimat.

Verhaar (1996:162) mendefinisikan klausa sebagai kalimat yang terdiri atas sebuah verba atau frasa verbal, disertai satu atau lebih konstituen yang secara sintaktis berhubungan dengan verba tersebut. Lapoliwa (1990:19) menyatakan bahwa istilah klausa dipakai untuk merujuk pada satuan konstruksi pada kalimat yang memiliki struktur predikasi. Oleh karena itu, klausa didefinisikan sebagai kalimat tunggal tanpa intonasi.

Berdasarkan definisi di atas, konsep klausa yang digunakan adalah konsep klausa yang diungkapkan oleh Lapoliwa, yaitu klausa yang merujuk pada suatu konstruksi pada kalimat yang memiliki struktur predikasi.

2.2.2 Valensi

Katamba (1993:266) mengungkapkan bahwa valensi adalah jumlah argumen dalam kerangka sintaktis yang diakibatkan oleh kaedah perubahan fungsi gramatikal. Valensi didefinisikan sebagai jumlah tipe-tipe elemen yang berbeda yang berkaitan dengan verba (Hopper, 1985:96). Dengan demikian, istilah valensi digunakan untuk mengacu pada jumlah argumen nominal klausa pada level apa

(18)

saja orang menyebutnya (Alsina dalam Hopper dan Thompson, 1982:8). Valensi diklasifikasikan menjadi dua, yaitu valensi semantik dan valensi sintaktik. Valensi semantik mengacu pada jumlah partisipan yang harus muncul yang diungkapkan oleh sebuah verba, sedangkan valensi sintaktis, disebut juga valensi gramatikal, mengacu pada jumlah argumen yang nyata pada klausa tertentu (Haspelmath, 2002:210-211). Berdasarkan definisi valensi tersebut, dapat dikatakan bahwa valensi sangat erat kaitannya dengan konsepsi ketransitifan verba pada tataran morfosintaktis.

2.2.3 Konstruksi Kalimat Koordinatif

Konstruksi kalimat koordinatif adalah konstruksi yang terdiri atas dua klausa bebas atau lebih. Kedua klausa tersebut memiliki hubungan yang setara, yaitu sama-sama memiliki potensi sebagai kalimat. Kalimat tersebut dibentuk dengan jalan menggabungkan dua klausa bebas atau lebih (Quirk et al, 1985:987). Contoh:

(18) John plays the guitar, and his sister plays the piano. John main Art gitar, KONJ POS saudara perempuan main Art piano ‘John bermain gitar, dan saudara perempuannya bermain piano.’ (19) He tried hard, but he failed.

3T coba-LAMP keras, KONJ 3T gagal. ‘Dia berusaha keras, tetapi dia gagal.’

(20) They are living in England, or they are spending a vacation 3J PROG PREP Inggris, KONJ 3J PROG Art liburan there.

ADV

‘Mereka sedang tinggal di Inggris, atau mereka sedang berlibur di sana.’

(19)

Salah satu hal yang penting untuk diketahui pada konstruksi kalimat koordinatif ialah bahwa urutan klausa pada konstruksi kalimat koordinatif tidak dapat diubah, dalam arti tata urut klausanya tetap. Perubahan urutan akan menyebabkan perbedaan konstruksi dan kalimat yang diubah itu menjadi tidak gramatikal.

Konstruksi kalimat koordinatif ada yang hanya terdiri atas dua klausa dan ada juga yang terdiri atas lebih dari dua klausa. Konstruksi kalimat koordinatif yang mempunyai hubungan kontrastif hanya terdiri atas dua klausa, tidak mungkin lebih. Adapun konstruksi kalimat koordinatif yang mempunyai hubungan aditif, urutan peristiwa, dan alternatif dapat mempunyai lebih dari dua klausa.

2.2.4 Konstruksi Kalimat Subordinatif

Dalam konstruksi kalimat subordinatif hubungan antara klausa-klausa tidak setara. Satu klausa merupakan klausa bebas (independent clause) dan klausa lainnya merupakan klausa terikat (dependent clause). Konstruksi kalimat subordinatif ditandai dengan kehadiran konjungsi subordinatif, seperti that, after, before, because, dan sebagainya (Quirk et al, 1985:1001).

Contoh:

(21) Because you have not replied to my formal letter of May, I am KONJ 2T PERF NEG PREP POS formal surat Mei, 1T there withdrawing my offer.

KONJ tarik POS tawaran

‘Karena kamu tidak membalas surat saya yang bulan Mei, (oleh sebab itu) saya menarik tawaran saya.’

(20)

2.2.5 Predikat Kompleks

Alsina dkk. (1997:1) menyatakan bahwa predikat kompleks adalah predikat yang multiinti, yaitu predikat yang dibentuk oleh lebih dari satu unsur gramatikal (baik kata maupun morfem) yang masing-masing memberikan kontribusi informasi terkait dengan satu inti.

Menurut Butt (1995:2), predikat kompleks memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) predikat kompleks adalah predikat yang banyak inti (multiheaded), dan struktur argumennya kompleks, (2) terbentuk lebih dari satu elemen gramatikal, (3) struktur fungsi gramatikal predikat kompleks terbentuk dari predikat tunggal, (4) struktur dari verba lemah (light verb) dapat dibentuk secara leksikal atau sintaktis.

(22) Ibu saya meN-bersihkan kamar saya akt – bersih – KAUS

(23) My mother clean – s (makes clean) my room 1TGEN ibu bersihkan-3T 1TGEN kamar ‘Ibu saya membersihkan kamar saya.’ (Sedeng,2000:85)

Struktur pola kalimat (22) dan (23) memiliki predikat kompleks. Kedua verba tersebut merupakan hasil kerja dua verba. Pada struktur (22) struktur kausatif dibentuk melalui proses morfosintaktis, sedangkan predikat kompleks pada (23) dibentuk melalui jalur semantik leksikal, dalam arti bahwa verba clean sebagai unit leksikal memiliki arti ‘make clean’.

2.2.6 Serialisasi Verba

Konsep predikat kompleks sering dibedakan dengan konstruksi serialisasi verba. Aikhenvald (2006 : 1) mendefinisikan serialisasi verba sebagai berikut.

(21)

A serial verb construction is a sequence of words which acts together as a single predicate without any overt marker of coordination, subordination or any syntactic dependency of any sort. Serial verb constructions describe as what it is conceptualized as a single event. They are monoclausal. SVC may also share core and other arguments. Each component of an SVC must be able to occur on its own right.

Definisi di atas mengungkapkan bahwa serialisasi verba memiliki empat ciri, yaitu (1) dibentuk dari sederetan verba yang tidak dihubungkan dengan pemarkah konjungsi atau linker, (2) setiap verba pembentuk serialisasi verba dapat berdiri sendiri dalam konstruksi bukan serial, (3)serialisasi verba membentuk predikat tunggal dari klausa tunggal, dan (4) serialisasi verba berbagi argumen (Shibatani, 2009:256). Shibatani (2009) tidak membedakan predikat kompleks dan serialisasi verba, tetapi memasukkan serialisasi verba sebagai bagian dari predikat kompleks.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Andrews (1997:1), yang menyatakan bahwa sangatlah salah mempertentangkan perbedaan predikat kompleks dengan serialisasi verba, karena konstruksi serialisasi verba tidak berbeda dengan predikat komplek, khususnya dalam hal berbagi argumen.

Dengan mengutip pendapat Aikhenvald, Andrews membagi serialisasi verba dalam dua kategori, yaitu (1) serialisasi verba simetris dan serialisasi verba tidak simetris, yang keduanya merupakan predikat kompleks. Serialisasi verbs simetris dibentuk dari verba-verba yang termasuk dalam kelas terbuka (open class verbs) atau verba-verba yang dapat ditempeli afiks, sedangkan serialisasi verba tidak simetris dibentuk dari verba kelas tertutup (closes class verbs) yang bergabung dengan kelas terbuka (open class verbs). Dalam hal ini serialisasi verba

(22)

tidak simetris bisa merupakan serialisasi modalitas (lihat juga Aikhenvald, 2006:30).

Contoh :

(24) Nurak na hege api nama pergi pindahkan api

‘Nurak mengambil api dari lain rumah.’ (25) John na nora ama-t e’i stasiun

nama pergi ambil-ayah-POS PREP stasiun

‘John menjemput ayahnya di stasiun.’ (Sedeng,2000:108)

Konstruksi (24) dan (25) yang merupakan bahasa Sikka memiliki predikat kompleks yang dibangun oleh serialisasi verba. Serialisasi verba tersebut merupakan serialisasi gerakan yang dibangun oleh verba lemah na dan verba pokok. Verba na ‘pergi’ dalam konteks itu sebagai perantara aksi yang menyatakan tujuan. Jika dicermati, predikat kompleks pada struktur (24) dan (25) dibangun oleh dua inti verba, yaitu verba na ‘pergi’ yang memiliki satu argumen dengan verba-verba yang menetapkan dua argumen.

2.2.7 Pelesapan

Istilah pelesapan merupakan terjemahan dari istilah ellipsis dalam bahasa Inggris. Menurut Quirk et al (1985:883), pelesapan (ellipsis) adalah penghilangan secara gramatikal, yang berbeda dengan jenis-jenis penghilangan lainnya, seperti penghilangan fonologis (apharesis) pada kata because yang sering diucapkan cos. Demikian juga halnya pada kata flu yang berasal dari influenza dianggap sebagai penghilangan unit fonologi.

(23)

Crystal (1985:107) mengatakan bahwa pelesapan (ellipsis) sebagai berikut.

Ellipsis (elide, ellipt-ed, -ical) A term used in grammatical analysis to refer a sentense where, for reasons of economy, emphasis or style, a part of the structure has been omitted, which is recoverable from a scrutiny of the context.

Pelesapan adalah istilah yang dipakai di dalam analisis gramatikal yang mengacu pada suatu kalimat, untuk maksud ekonomis, memberi tekanan, atau gaya pada suatu bagian dari struktur yang bisa dihilangkan atau dilesapkan. Unsur yang lesap itu dapat ditemukan dari pengamatan semantik dan pragmatik.

Dua definisi pelesapan tersebut mengisyaratkan bahwa kata-kata yang dilesapkan itu dapat ditemukan atau dikembalikan wujud asalnya. Pengembalian itu dapat dilakukan berdasarkan penafsiran atas konteksnya, mungkin melalui konteks bahasa dan mungkin pula lewat konteks luar bahasa. Pelesapan itu dilakukan untuk tujuan ekonomis atau penghematan. Oleh sebab itu, unsur yang memiliki acuan yang sama tidak perlu disebut ulang.

Apabila tafsiran makna unsur yang lesap itu didasarkan pada konteks kebahasaan, pelesapan semacam itu disebut hubungan dalam tuturan (endofora). Jika penafsiran makna terhadap unsur yang lesap itu didasarkan atas konteks luar bahasa, pelesapan semacam itu disebut hubungan luar tuturan (eksofora). Dengan demikian, hubungan dalam tuturan (endofora) adalah penetapan unsur acuan maknanya berada dalam lingkungan kebahasaan atau di dalam wacana itu sendiri, antara unsur yang dilesapkan dengan unsur yang menjadi acuannya memiliki keidentikan.

(24)

2.2.8 Kekoreferensialan

Koreferensi adalah keterikatan (cross reference) antara dua unsur atau ungkapan yang mengacu pada sesuatu yang sama. Dengan kata lain, koreferensi adalah istilah yang dipakai dalam tata bahasa untuk mengungkapkan konstituen-konstituen dalam kalimat yang memiliki acuan yang sama. Fungsi-fungsi pronomina persona, seperti she, he, they, dan juga fungsi-fungsi frasa nominal definit, seperti the, this, that, these, dan those mengungkapkan kekoreferensialan (Quirk et al, 1985:863--868).

Contoh:

(26) Two players injured themselves during the match.

NUM pemain-J luka-LAMP 3J PREP Art pertandingan ‘Dua pemain terluka dalam selama pertandingan.’

(27) If you don’t study for the examination, you ‘ll regret it. KONJ 2T NEG belajar PREP Art ujian, 2T FUT sesal 3T ‘Jika kamu tidak belajar untuk ujian, kamu akan menyesalinya.’ Pada contoh (26) frasa two players dan themselves berkoreferensi. Demikian juga, klausa if you don’t study for the examination berkoreferensi dengan pronomina it pada contoh (27).

2.2.9 Keforisan

Syarat utama dalam pelesapan ialah berlakunya prinsip keterpulangan (recoverability), unsur-unsur yang dilesapkan dapat ditemukan kembali dari konteksnya. Unsur-unsur yang lesap dapat bersifat anaforis dan kataforis. Menurut Quirk et.al (1985: 862), anaforas artinya penunjukan pada konstituen yang diacu (antecedent) yang terdapat pada teks sebelumnya. Kataforas artinya

(25)

penunjukan pada konstituen yang diacu yang terdapat pada teks berikutnya (Quirk et al,1985:862).

Contoh:

(28) She might sing tonight, but I don’t think that she will (sing 3T MOD nyanyi ADV, KONJ 1T NEG pikir KONJ 3T FUT(nyanyi tonight)

ADV

‘Dia mungkin menyanyi nanti malam, tetapi saya pikir dia tidak akan (menyanyi nanti malam).’

(29) If you want (me to buy the tickets), I’ll buy the tickets. KONJ 2T ingin (1T INF beli KS tiket), 1T FUT beli Art tiket.

‘Jika kamu menginginkan ( saya membeli tiket), saya akan membeli tiket.’

Pada contoh (28) unsur yang lesap bersifat anaforis karena unsur yang lesap (sing tonight) mengacu pada teks sebelumnya. Pada contoh (29) unsur yang lesap bersifat kataforis karena unsur yang lesap itu (me to buy the tickets) mengacu pada teks berikutnya.

2.2.10 Aliansi Gramatikal

Pembahasan tentang aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) pada dasarnya didasari dan dicermati melalui kajian tipologi bahasa yang bersangkutan. Untuk menentukan tipologi bahasa, banyak aspek kebahasaan yang perlu dikaji lebih dahulu, baik secara gramatikal (morfosintaktis) maupun secara semantis dan pragmatis. Demikian juga halnya, jika ingin mengetahui aliansi gramatikal, penelusuran secara tipologis pada tataran linguistik tertentu perlu dilakukan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang aliansi gramatikal tersebut.

(26)

Kajian yang perlu dilakukan dalam tipologi bahasa adalah perihal relasi gramatikal. Van Valin Jr. dan La Polla (1999:242-243) mengungkapkan bahwa relasi gramatikal adalah bagian dari gramatika tradisional yang pada awalnya didasarkan pada fenomena gramatika bahasa-bahasa Indo-Eropa. Ada dua hal yang memungkinkan relasi gramatikal itu berterima dalam beberapa teori tata bahasa yang setuju dengan konsep ini. Pertama, relasi gramatikal dapat diterapkan sebagai bentuk asal (bukan bentuk turunan dari yang lain); kedua, relasi gramatikal dapat dianggap sebagai turunan dari fenomena sintaktis, semantis, atau pragmatis. Pada hakikatnya, relasi gramatikal itu adalah asal dan juga turunan sekaligus yang agak sulit dipahami secara teoretis dan terapan.

Relasi gramatikal sulit untuk dikatakan sebagai bentuk asal dan turunan. Hal itu menyebabkan munculnya beberapa pendapat dan penerapan tentang relasi gramatikal meskipun secara mendasar pengertian relasi gramatikal itu tidak banyak diperdebatkan. Untuk mencermati relasi gramatikal itu secara tipologis dan mengarah ke aliansi gramatikal, perlu diperhatikan pendapat yang dikemukakan oleh Palmer (1994:14). Menurut Palmer, dalam kajian tipologi, kenyataan bahwa S diperlakukan sama dengan A dalam sistem akusatif, dan perlakuan S sama dengan P dalam sistem ergatif, menjadikan penting untuk menjelaskan perbedaan antara “peran gramatikal” dan “relasi gramatikal” Penentuan S = A dan S = P merupakan konsep yang berbeda dari peran S, A, dan P. Dalam hal ini, S, A, dan P adalah peran gramatikal, tetapi S = A dan S = P merupakan relasi gramatikal.

(27)

Pengertian relasi gramatikal (S = A dan S = P) seperti dikemukakan oleh Palmer (1994) itu bisa diterima sebagai dasar berpijak untuk kajian tipologis awal. Namun, jika dihubungkan dengan pengertian relasi gramatikal dalam pembicaraan terdahulu, apa yang dikemukakan oleh Palmer itu memerlukan tafsiran lebih lanjut untuk memahaminya. Untuk memudahkan pemahaman, pendapat Palmer (1994) itu digabungkan dengan pendapat Dixon (1994) dan Arka (2000). Peran gramatikal yang dilambangkan dengan S, A, dan P (bagi Dixon, P digantinya dengan O) dapat diterima keberadaannya. Namun, ada kenyataan atau kecenderungan bahwa sistem S = A dan S = P dan sistem yang lainnya disebut sebagai aliansi gramatikal (persekutuan gramatikal) (lihat Dixon, 1994; Arka, 2000: 424). Dengan demikian, aliansi gramatikal adalah sistem atau kecenderungan, persekutuan gramatikal yang ada dalam suatu bahasa secara tipologis; apakah berupa S = A, S = P, Sa = A - Sp = P, atau yang lainnya.

Banyak bahasa mencampur jenis nominatif-akusatif dan absolutif-ergatif dalam hal pemarkahan intra-klausa. Kondisi itulah yang disebut ‘sistem terpilah’ (split). Kondisi itu terkait dengan hakikat semantik verba utama, hakikat semantik frasa nominal inti, kala (tense) atau aspek atau modus (mood) klausa, atau status gramatikal klausa (apakah klausa utama atau bawahan/turunan), dan sebagainya. Beberapa bahasa menunjukkan keadaan pertengahan (bukan akusatif, bukan pula ergatif); memarkahi sejumlah S sama dengan A dan sejumlah lainnya sama dengan P (Dixon (1994), menggunakan O sebagai pengganti P). Bahasa yang demikian dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu ‘S-terpilah’ (split-S) dan ‘S-alir’ (fluid-S) (Dixon, 1994:70).

(28)

Dixon (1994:70—71) menjelaskan bahwa aliansi gramatikal yang (mungkin) ada pada bahasa-bahasa di dunia (karena merujuk Dixon (1994), lambang yang digunakan adalah S (subjek intransitif), A (subjek transitif), dan O (objek transitif). S yang secara semantis mirip dengan A dilambangkan dengan Sa, dimarkahi seperti A; S secara semantis mirip dengan O dilambangkan dengan So, dimarkahi seperti O. Bahasa yang membedakan antara Sa dan So sebagai sub-tipe dari S ada dua jenis. Pertama, dalam bahasa ergatif dan akusatif secara sintaktis ditandai adanya pemarkah dasar pada unsur inti. Setiap verba ditunjukkan oleh serangkaian kerangka sintaktis, dengan pemarkah kasus atau rujuk silang selalu dilakukan dalam cara yang sama, dengan tidak memedulikan pertimbangan semantik dalam pemakaian tertentu. Sistem itu disebut “S-terpilah” (split-S). Kedua, memperlakukan secara sintaktis pemarkah dasar untuk verba transilif, tetapi memperlakukan secara semantis pemarkah dasar hanya untuk verba intransitif. Sebuah subjek intransitif dapat dimarkahi sebagai Sa (seperti A) atau sebagai So (seperti O) tergantung pada pertimbangan semantik dalam pemakaian tertentu. Aliansi seperti ini disebut sistem ‘S-alir’ (fluid-S).

Paparan di atas merupakan aliansi (persekutuan) gramatikal yang (mungkin) ada secara lintas bahasa. Aliansi gramatikal secara tipologis itu digambarkan oleh Dixon (1994:72 dan 79) seperti di bawah ini.

(29)

Sistem Akusatif Sistem Ergatif

Sistem S-terpilah Sistem S-alir

2.3 Landasan Teori

Teori yang diterapkan dalam penelitian ini adalah teori tipologi bahasa yang diungkapkan oleh Dixon (1994 dan 2010) dan Comrie (1983). Teori tipologi bahasa oleh Dixon (1994) dipakai untuk menganalisis strategi penggabungan klausa dalam struktur koordinatif, sedangkan teori tipologi bahasa oleh Dixon (2010) dan (1994) dipakai untuk menganalisis struktur argumen klausa BSDW dan strategi penggabungan klausa pada struktur subordinatif. Teori tipologi bahasa oleh Comrie (1983) dipakai untuk menganalisis konstruksi kausatif.

Comrie (1988b) menegaskan bahwa teori tipologi bahasa merupakan sebuah teori yang bertujuan untuk mengklasifikasikan bahasa menurut ciri strukturalnya, yaitu, untuk menjawab secara umum permasalahan: seperti apakah bahasa X? Di samping itu, tipologi bahasa mendasarkan diri pada dua praanggapan penting:

(30)

(i) Tipologi bahasa berasumsi bahwa bahasa-bahasa dapat diperbandingkan satu sama lainnya menurut strukturnya.

(ii) Tipologi bahasa mempranggapkan bahwa terdapat perbedaan di antara bahasa-bahasa.

Praanggapan pertama menyiratkan adanya ciri-ciri universal yang dapat digunakan sebagai dasar perbandingan. Comrie (1988b) mengungkapkan bahwa studi tipologi bahasa berjalan secara beriringan dengan studi bahasa universal. Praanggapan kedua menyiratkan adanya perbedaan di antara bahasa-bahasa. Apabila bahasa-bahasa tidak memiliki perbedaan maka semua bahasa tentunya dapat dikategorikan sebagai tipe bahasa yang sama.

Dixon (2010:116-118) berasumsi bahwa semua bahasa memiliki struktur klausa intransitif dan transitif. Struktur klausa intransitif dibangun oleh satu argumen inti S, sedangkan struktur klausa transitif terdiri atas dua argumen inti, yaitu A dan O. Di samping itu, dalam beberapa bahasa juga ditemukan struktur klausa perlusan yang intransitif (extended intransitive clause) yang melibatkan dua argumen inti, yaitu S dan Pi (Pi singkatan dari perluasan ke arah inti), dan klausa perluasan yang transitif (extended transitive clause) yang terdiri atas tiga argumen inti, yaitu A, O dan Pi yang sering disebut ditransitif. Bahasa Tonga memiliki empat struktur klausa.

Contoh:

(30) Intransitif : na’e alu [’a e fefiné]S. PAST go [ABSL Art wowan] LAMP pergi [ABSL Art wanita] The woman (S) went.

(31)

(31) Perluasan : na’e sio [’a e fefiné]S [ki he] Intransitif : PAST see [ABSL Art wowan]S DAT Art LAMP lihat [ABSL Art wanita]S DAT Art tangatá]Pi.

man.

The woman(S) saw the man(Pi). ‘Wanita itu melihat laki-laki itu.’

(32) Transitif : na’e taa’i[‘a e tangatá]o [‘e PAST hit [ABSL Art man [ERG LAMP pukul [ABSL Art laki-laki [ERG he fefiné]A.

Art woman Art wanita

The woman(A) hit the man(O) ‘Wanita itu memukul laki-laki itu.’

(33) Perluasan : na’e ‘oange [‘a e tohi]O [‘e he Transitif PAST give [ABSL ART book]O[ERG Art LAMP beri [ABSL Art buku]O[ERG Art fefiné]A [ki he tangatá]E.

woman DAT Art man wanita DAT Art laki-laki.

The woman (A) gave the book (O) to the man (Pi). ‘Wanita itu memberikan buku itu kepada laki-laki itu.’

Berdasarkan contoh di atas, bahasa Tonga memiliki sistem kasus absolutif–ergatif, S dan O dimarkah oleh kasus absolutif (dimarkahi oleh partikel a). A dimarkahi kasus ergatif (partikel e). Kasus datif ditandai dengan ki. Frasa nomina pada contoh di atas bisa ditempatkan setelah predikat, fungsi frasa nominal tersebut ditunjukkan oleh kasus partikel.

Ciri-ciri argumen pada keempat klausa tersebut adalah sebagai berikut :

Tipe klausa/predikat Argumen inti

Intransitif Perluasan intransitif Transitif Perluasan transitif S (absolut) S (absolut) Pi (datif) A (ergatif) O (absolutif)

(32)

Ciri-ciri argumen tersebut mengungkapkan bahwa klausa perluasan yang intransitif ataupun yang transitif murni melibatkan dua argumen inti. Argumen-argumen tersebut adalah S dan Pi dan O dan A. Hal itu disebabkan oleh pengamat (perceiver) (the woman) ‘wanita itu’ menunjukkan properti gramatikal yang sama dengan the woman pada intransitif murni, dan memiliki properti gramatikal yang berbeda dengan argumen A (the woman) pada transitif murni. Di samping itu, frasa the woman dimarkahi dengan preposisi absolutif a, sama dengan argumen S (the woman) dan sama dengan argumen O. Argumen Pi dimarkahi dengan cara yang sama, yaitu dengan preposisi datif ki.

Keempat tipe klausa di atas sangat ditentukan oleh jenis verba yang mengisi unsur predikatnya. Terkait dengan hal itu Dixon (2010 : 123) mengklasifikasikan verba ke dalam empat kelompok seperti berikut.

(a) Verba yang murni intransitif Contoh : go, chat.

(b) Verba yang murni transitif Contoh : recognize, promote. (c) Tipe ambitransitif, S = A

Tipe ambitransitif S = A, yaitu verba yang dapat membentuk klausa intransitif atau transitif. Dalam hal ini, S pada klausa transitif.

Contoh :

(1) She is knitting. S

(2) She is kniting [ a scart ] O. A

(33)

(d) Tipe ambitransitif S = O

Tipe ambitransitif, S = O dapat membentuk klausa intransitif atau transitif, yaitu S berkorespondensi dengan O.

Contoh : (1) He tripped.

S

(2) She tripped him. A O

Di samping diklasifikasikan berdasarkan fungsi verba pada klausa intransitif atau transitif, Dixon (2010 : 127) juga mengklasifikasikan verba secara semantis. Secara semantis, tipe verba dalam bahasa Inggris dapat diungkapkan seperti pada tabel berikut:

Tabel 2.1

Tipe Semantis Verba Bahasa Inggris

Tipe Semantis Peran

‘memengaruhi’ (affecting)

agen - target- manip

‘memberi’ (giving)

pemberi - gift - penerima

‘berbicara’ (speaking)

pembicara -tersapa - pesan – media

‘berpikir’ (thinking) pemikir - pikiran ‘perhatian’ (attention) pengamat -kesan ‘suka’ (liking) pengalami – stimulus

(34)

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa setiap tipe semantis verba berkaitan dengan peran semantis yang dimiliki oleh verba tersebut. Berikut ini akan dipaparkan keenam tipe dan peran semantis verba.

(1) Verba ‘memengaruhi’

Verba ‘memengaruhi’ adalah verba yang mengungkapkan makna seseorang melakukan aktivitas. Pada verba tersebut argumen A sebagai agen, O sebagai target.

Contoh :

John hit [the vase] [with a stick]. John pukul Art vas PREP Art tongkat ‘John memukul vas dengan tongkat.’ Agen A target O Manip

(2) Verba ‘memberi’

Verba ‘memberi’ mengandung makna seseorang memindahkan miliknya baik secara permanen maupun sementara. Pada verba tersebut A berperan sebagai donor, O sebagai gift, dan Pi sebagai recipient.

Contoh :

Mary lent [her car] [to John]. Mary pinjam POS mobil PREP John ‘Mary meminjami mobilnya kepada John.’ Donor = A gift = O Penerima = Pi

(3) Verba ‘berbicara’

Verba ‘berbicara’ mengungkapkan makna bahwa seseorang memproduksi ujaran. Verba tersebut melibatkan peran semantis pembicara, tersapa, dan pesan.

(35)

Contoh :

John reported [the accident] ([to the police]). John lapor = LAMP Art kecelakaan PREP Art polisi ‘John melaporkan kecelakaan tersebut pada polisi.’ Pembicara = A pesan = O tersapa (4) Verba ‘berpikir’

Verba ‘berpikir’ mengungkapkan bahwa seseorang memfokuskan pikiran pada sesuatu. Verba itu memiliki peran semantis pemikir dan pikiran.

Contoh :

Marry considered [the red skirt]. Mary anggap-LAMP Art merah rok ‘Mary memilih rok yang berwarna merah.’ Pemikir = A pikiran = O

(5) Verba ‘perhatian’

Verba ‘perhatian’ mengandung makna bahwa seseorang memperoleh kesan tertentu terhadap sesuatu. Pada verba tersebut A berperan sebagai pengamat dan O sebagai kesan.

Contoh :

Mary saw [the collision]. Mary lihat-LAMP Art pelanggaran ‘Mary melihat sebuah pelanggaran.’ Pengamat = A kesan = O

(6) Verba ‘suka’

Verba ‘suka’ mengungkapkan makna bahwa seseorang mengalami perasaan tertentu terhadap sesuatu. Pada verba itu A berperan sebagai pengalami dan O sebagai stimulus.

(36)

Contoh :

Mary hates Mozart. Marry benci -LAMP Mozart ‘Mary tidak menyukai Mozart.’ Pengalam = A stimulus = O

Dixon juga mengungkapkan bahwa dalam tipologi bahasa, tata bahasa mampu menguji struktur dasar dan sistem sebuah bahasa. Kriteria yang digunakan untuk menentukan S, A, dan O (dan Pi bagi bahasa yang memiliki argumen tersebut) berkaitan dengan peran fungsional argumen inti tersebut dalam tata bahasa. Peran argumen tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Argumen tersebut terlibat dalam pembentuk konstruksi koordinatif dan subordinatif dalam kalimat kompleks klausa yang digabungkan mungkin membutuhkan argumen bersama (argument sharing) yang memiliki fungsi tertentu pada setiap klausa. Misalnya, dalam koordinasi akan berlaku S/A pivot dalam beberapa bahasa atau S/O pivot dalam bahasa yang lainnya, atau dalam sistem koordinasi membutuhkan kehadiran argumen bersama (AB) (common argument/CA) dalam beberapa fungsi tertentu dalam klausa utama dan klausa relatif untuk membentuk konstruksi klausa relatif yang dapat diterima.

(2) Hampir setiap bahasa memiliki beberapa derivasi perubahan valensi yang berkaitan dengan argumen inti, klausa intransitif yang memiliki satu argumen inti S menjadi konstruksi kausatif, argumen inti berubah menjadi O, atau dalam konstruksi aplikatif, S menjadi A. Klausa transitif yang memiliki argumen A dan O diubah menjadi pasif dan O berubah menjadi S. Antipasif menjadi intransitif. Dalam perubahan itu A berubah menjadi S.

(37)

(3) Dalam sebuah bahasa, konstruksi refleksif atau resiprokal melibatkan pronomina refleksif atau resiprokal dan argumen A atau S sebagai pengontrol (controller) gramatikal. Argumen A atau S diungkapkan secara lengkap, sedangkan pronomina refleksif atau resiprokal ditempatkan pada O atau Pi atau fungsi periferal.

2.3.1 Kerangka Kepivotan

Dixon (1979:143) menggunakan istilah pivot untuk mengacu pada apa yang disebut subjek oleh Comrie. Health (1975) menggunakan istilah pivot untuk menerangkan fenomena sintaktis yang menyangkut pengidentifikasian kekoreferensialan dalam kalimat, baik klausa intransitif maupun transitif, yang dapat membentuk struktur kalimat kompleks, yaitu melalui penggabungan klausa. Penggabungan klausa tersebut membentuk struktur koordinatif dan struktur subordinatif. Terkait dengan peran argumen dalam pembentukan struktur koodinatif dan subordinatif, Dixon (1994:143) mengungkapkan bahwa strategi penggabungan klausa tersebut berkaitan dengan tipe masing-masing bahasa.

Pada subbab 2.2.10, yaitu tentang tipologi dan aliansi gramatikal, telah diungkapkan bahwa satu bahasa dikatakan bertipe ergatif apabila argumen objek (O) dari predikat transitif diperlakukan sama dengan argumen predikat intransitif (S) dan berbeda dengan argumen subjek (A) dari predikat transitif. Perlakuan yang sama dapat terjadi pada tataran morfologi dan sintaktis. Sebaliknya, bahasa yang bertipe akusatif memperlakukan A sama dengan S dan berbeda dengan O. Menurut Dixon (1994:143), dua buah klausa dalam bahasa Dyirbal dapat

(38)

dikoordinasikan apabila kedua frasa nominal yang merupakan argumen menduduki fungsi O dan S. Argumen yang berkoreferensi pada klausa kedua biasanya dilesapkan.

Contoh :

(34) Marri Jani-nggu bura-n nyina-nyu.

Mary (P) John-ERG see-NONFUT sit down-NONFUT ‘John melihat Mary dan Mary duduk.’

Contoh (34) dapat diartikan sebagai ‘John saw Mary and Mary sat down’. Dixon mengatakan bahwa S pada klausa intransitif tidak dinyatakan secara ekplisit dan S ini ditafsirkan secara sintaktis berkoreferensi dengan O (Mary) pada klausa transitif yang mendahuluinya. Berdasarkan contoh tersebut dapat dikenali bahwa bahasa Dyirbal mengizinkan penghilangan argumen yang berkoreferensi dalam struktur kalimat koordinatif jika masing-masing berfungsi sebagai O dan S. Hal itu berbeda dengan bahasa yang bertipe akusatif, misalnya bahasa Inggris. Contoh:

(35) John (A) saw Mary (O) and Ø sat down. John lihat-LAMP Mary KONJ duduk-LAMP ‘John melihat Mary dan duduk.’

Konstituen yang dilesapkan pada klausa kedua yang disimbolkan dengan Ø berkoreferensi dengan A pada klausa pertama, bukan dengan O. Dixon (1994:157--158) memberikan teknik pengetesan kepivotan untuk dua frasa nominal (FN) yang berkaitan secara sintaktis. Menurut Dixon, teknik pengetesan tersebut adalah sebagai berikut.

Kedua klausa intransitif (a) S1=S2

Klausa pertama intransitif, klausa kedua transitif. (b) S1=O2

(39)

Klausa pertama transitif,klausa kedua intransitif. (d) O1=S2

(e) A1=S2

Kedua klausa transitif dengan satu frasa nominal yang sama. (f) O1=O2

(g) A1=A2 (h) O1=A2 (i) A1=O2

Kedua klausa transitif dengan dua frasa nominal yang sama. (j) O1=O2, A1 = A2

(k) O1 = A2, A1 = O2

Bahasa Inggris yang dikatakan bertipe akusatif berorientasi pada S/A pivot, yaitu bahasa yang memperlakukan A sama dengan S, dan perlakuan yang berbeda diberikan pada O. Perlakuan yang sama ini ditunjukkan dalam pemarkahan kasus, persesuaian, dan urutan kata. Argumen S dalam klausa intransitif dan A dalam klausa transitif muncul dengan kasus nominatif, sedangkan O untuk klausa transitif diberi kasus akusatif. S/A pivot tersebut sangat erat kaitannya dalam penggabungan klausa pada konstruksi koordinatif bahasa Inggris. Apabila yang berkoreferensi adalah A dan S, pelesapannya tidak mengalami revaluasi struktur. Bila yang berkoreferensi adalah O dalam salah satu klausa, klausa ini harus dipasifkan. Di samping itu, jika hanya verba yang berbeda dari dua buah klausa yang berbeda, verba tersebut dapat dikoordinasikan. Strategi penggabungan klausa dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut.

(a) S1 = S2 Bill entered and sat down.

(b) S1 = O2 Bill entered and was seen by Fred. (c) S1 = A2 Bill entered and saw Fred.

(d) O1 = S2 Bill was seen by Fred dan laughed. (e) A1 = S2 Fred saw Bill and laughed.

(f) O1 = O2 Bill was kicked by Tom and punched by Bob. (g) A1 = A2 Bob kicked Jim and punched Bill .

(h) O1 =A2 Bob was kicked by Tom and punched Bill. (i) A1 = O2 Bob punched Bill and was kicked by Tom.

(40)

(j) O1 = O2, A1 = A2 Fred punched and kicked Bill.

(k) O1 = A2, A1= O2 Fred punched Bill and was kicked by him.

2.3.2 Bentuk Kalimat Koordinatif dan Strategi Penggabungannya

Dalam kalimat koordinatif penggabungan klausa dapat dilakukan dengan menggunakan konjungsi dan dapat juga tanpa menggunakan konjungsi. Kalimat koordinatif yang dibentuk dengan menggunakan koordinator atau konjungsi disebut kalimat koordinatif syndetic, sedangkan kalimat koordinatif yang dibentuk tanpa konjungsi disebut kalimat koordinatif asyndetic ( Quirk et al, 1985:918).

2.3.2.1 Kalimat Koordinatif Syndetic

Konjungsi koordinatif yang dipakai untuk membentuk kalimat koordinatif syndetic, antara lain, and, or atau but. Masing-masing konjungsi itu mengungkapkan makna semantis yang berbeda-beda.

(1) Konjungsi and

Konjungsi and dapat menghubungkan dua klausa bebas yang membentuk suatu konstruksi yang disebut konstruksi kalimat koordinatif. Secara semantis hubungannya dapat dinyatakan sebagai berikut (Quirk, et al,1985:930--932). (a) Kejadian pada klausa kedua adalah urutan kronologis dari kejadian pada

klausa pertama. Contoh :

(36) I washed the dishes and (then) I dried them. 1T cuci-LAMP Art piring-J KONJ(KONJ) 1T kering-LAMP 3J

‘Saya mencuci piring-piring dan (kemudian) saya mengeringkannya.’

(41)

(b) Kejadian pada klausa kedua adalah hasil atau akibat dari kejadian pada klausa pertama.

Contoh :

(37) He heard an explosion and he (therefore) phoned the 3T dengar-LAMP Art ledakan KONJ 3T (KONJ) telpun Art police.

polisi

‘Dia mendengar sebuah ledakan dan (oleh sebab itu) dia menelepon polisi.’

(c) Klausa kedua adalah tambahan informasi (aditif) dari klausa pertama. Contoh :

(38) He has long hair and (also) he wears jeans. 3T milik panjang rambut KONJ(KONJ) 3T pakai jeans ‘Dia memiliki rambut panjang dan (juga) dia memakai jeans.’ (d) Klausa kedua menyatakan hal yang menakjubkan berdasarkan isi dari klausa

pertama. Contoh :

(39) He tried hard and (yet) he failed. 3T coba-LAMP keras KONJ(KONJ) 3T gagal-LAMP ‘Dia berusaha keras dan (tetapi) dia gagal.’

(2) Konjungsi or

Konjungsi or pada konstruksi koordinatif dapat digunakan untuk menyatakan alternatif. Secara rinci makna semantis hubungan klausa dengan konjungsi or adalah sebagai berikut.

(42)

(a) Menyatakan hal atau kejadian yang hanya satu kemungkinan yang terjadi. Contoh :

(40) You can boil youself an egg or (else) you can make 2T MOD rebus 2T Art telur KONJ(lain) 2T MOD buat some sandwiches

KUAN sandwiches

‘Kamu bisa merebus telur sendiri atau (yang lain) kamu bisa membuat sandwiches.’

Apabila kalimat itu menyatakan lebih dari satu kemungkinan alternatif kejadian, either dapat ditambahkan di awal kalimat.

Contoh:

(41) Either she can boil an egg, or she can make some KONJ 3T MOD rebus Art telur, KONJ 3T MOD buat KUANT

cheese sandwiches

‘Dia bisa merebus telur, atau dia bisa membuat cheese sandwiches.’ Untuk menyatakan kemungkinan kejadian alternatif pertama dan kedua dapat dilakukan, klausa ketiga dapat ditambahkan.

Contoh :

(42) Either she can boil an egg, or she can make some KONJ 3T MOD rebus Art telur, KONJ 3T MOD buat KUANT

cheese sandwiches or she can do both. (Quirk, 1983:258) keju sandwiches KONJ 3T MOD kerja keduanya.

‘Dia bisa merebus telur, atau dia bisa membuat cheese sandwiches, atau dia bisa melakukan kedua-duanya.’

Untuk menyatakan kombinasi alternatif, keduanya dapat dipilih. Hal itu secara eksplisit dapat dimasukkan kemungkinan ketiga pada klausa ketiga.

(43)

Contoh :

(43) You can boil an egg, (or) you can make some sandwiches, 2T MOD rebus Art telur, (KONJ) MOD buat KUANT sandwiches, or you can do both.

KONJ 2T MOD kerja keduanya.

‘Kamu bisa merebus telur, (atau) kamu bisa membuat sandwiches, atau kamu bisa melakukan kedua-duanya.’

(b) Alternatif yang dinyatakan dengan or merupakan pernyataan kembali atau merupakan perbaikan dari apa yang telah dinyatakan pada klausa pertama.

(44) They are enjoying themselves,or at least they appear to be 3J PROG 3J KONJ paling tidak 3J muncul INF enjoying themselves.

menikmat 3J

‘Mereka menikmatinya, atau paling tidak mereka bisa menikmatinya.’

(3) Konjungsi but

Secara umum dapat dinyatakan bahwa konjungsi but menyatakan pertentangan. Makna pertentangan dapat diparafrasekan dengan menggunakan konjungsi and diikuti oleh yet.

(a) Kontras dapat terjadi karena hal yang dinyatakan pada klausa kedua tidak merupakan harapan kenyataan dari hal yang seharusnya terjadi berdasarkan pernyataan pada klausa pertama.

Contoh :

(45) John is poor but he is happy. [ ….. and yet he is happy ] John miskin KONJ 3T bahagia. […..KONJ 3T bahagia

‘John miskin tetapi dia bahagia.’ [….tetapi dia bahagia]

(b) Kontras dapat berupa pernyataan kembali kalimat yang telah dinyatakan secara negatif pada klausa pertama.

(44)

Contoh :

(46) Jane did not waste her time before the exam, but studied Jane OPR NEG buang 3T waktu KONJ Art ujian, KONJ belajar

hard every evening. keras setiap malam.

’Jane tidak membuang-buang waktunya sebelum ujian, tetapi belajar keras setiap malam.’

2.3.2.2 Kalimat Koordinatif Asyndetic

Konstruksi kalimat koordinatif asyndetic digabungkan tanpa menggunakan konjungsi. Dalam penulisan kalimat tersebut ditandai dengan sebuah pungtuasi berhenti, sedangkan dalam bentuk lisan kalimat koordinatif asyndetic ditandai dengan unit nada pembatas.

Perhatikan contoh berikut ini :

(47) Jerry tried the front door ; it was locked. Jerry coba-LAMP Art depan pintu; 3T kunci-LAMP ‘Jerry mencoba pintu depan; terkunci.’

2.3.3 Bentuk Klausa Subordinatif dan Strategi Penggabungan Klausanya Dixon (2010:313) menyatakan bahwa bentuk klausa dapat dibedakan menjadi tiga terkait dengan cara penggabungan klausa tersebut.

Contoh :

(48) The boy ate the mango, after Art anak laki-laki makan-LAMP Art mangga, KONJ

I left.

1T pergi- LAMP

Referensi

Dokumen terkait

มีความเห็นผิด ทั้งหมดเหล่านี้เป็นอกุศลกรรมบถ ซึ่งผู้หวังมีชีวิต หน้าไปเกิดเป็นชาวสวรรค์ต้องเว้นให้ได้

Metode literatur dilakukan dengan membaca dan membuat perbandingan dari jurnal-jurnal dashboard sistem informasi yang telah diperoleh dan dibandingkan dengan skema yang ada

Hasil penelitian menunjukan bahwa terjadi penurunan pernikahan usia muda di tahun 2015 dengan perbandingan tahun 2011, tingginya pernikahan usia muda sebagian besar

R4.19 Kalo dari conference call for paper itu eemm pengetahuan tentang bahasa mungkin mas ya karena bahasa Inggris ini kan luas tidak hanya dari Amreika saja dari British saja

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Bidang adalah Bidang-Bidang pada Dinas Daerah Kabupaten Buleleng yang dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas melalui

 Terimakasih kepada semua dosen Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah Jember..  Kepada Dosen Pembimbing saya :

Consumer acceptance of electronic commerce: integrating trust and risk with the technology acceptance model. Punya Aplikasi Ini Pembayaran Lebih Praktis Tanpa Perlu