• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pemeriksaan Laboratorium dalam Penegakan Diagnosis Penyakit Kusta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Pemeriksaan Laboratorium dalam Penegakan Diagnosis Penyakit Kusta"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan Pustaka

Peran Pemeriksaan Laboratorium dalam Penegakan Diagnosis

Penyakit Kusta

Arleen Devita

Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

Alamat Korespondensi: Jl. Kyai Tapa 260, Jakarta 11450

Email : arleendevita@yahoo.com

Abstrak

Kusta adalah salah satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di dunia, terutama di Indonesia sebagai negara dengan prevalensi tertinggi ketiga di dunia. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dengan gejala dan tanda klinis yang menyerupai penyakit kulit lainnya, sehingga sering disebut sebagai the great imitator.Diagnosis penyakit kusta umumnya sudah dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Namun demikian, pada kasus-kasus tertentu dengan gejala dan tanda klinis yang meragukan misalnya pada kasus kusta awal, diperlukan pemeriksaan laboratorium seperti mikroskopis, histopatologis, serologis, dan molekular untuk membantu menegakkan diagnosis.

Kata kunci : diagnosis kusta, pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan histopatologis, pemeriksaan

serologis, pemeriksaan molekular.

The Role of Laboratory Examination in Leprosy Diagnostic

Abstract

Leprosy is one of serious health problems in the world, particularly in Indonesia, which reportedly is the third highest number of leprosy cases in the world. This disease is a contagious disease caused by Mycobacterium lepra. The symptoms and clinical signs resemble to other skin diseases, so often that it is referred as the great imitator. The diagnosis of leprosy is generally established by anamnesis and physical examination. However, in certain cases with vague clinical sign and symptoms, i.e. in early cases of leprosy, laboratory examination such as microscopic, histopathologic, serologic and molecular examinations, is needed to establish the diagnosis.

Keywords : leprosy diagnostic, Microscopic examination, Histopathologic examination, Serologic

examination and Molecular examination.

Pendahuluan

Kusta merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae

yang bersifat intraselular obligat. Bakteri ini merupakan basil tahan asam yang ditemukan pada tahun 1873 oleh Gerhard Henrik Armauer Hansen.1 Kusta masih menjadi

masalah kesehatan di dunia termasuk di Indonesia dengan jumlah kasus baru tercatat 14.540 orang pada tahun 2014, dengan

distribusi yang lebih besar di wilayah Indonesia Bagian Tengah dan Timur.2

Kusta dapat terjadi pada semua usia dengan puncak insiden pada usia 10-19 tahun dan 30 tahun ke atas.3 Kusta lebih sering terjadi pada

laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2:1.4 Penyakit ini erat kaitannya

dengan kemiskinan, walaupun dapat terjadi pada berbagai status sosial ekonomi. Cara penularan penyakit ini belum diketahui secara

(2)

pasti, namun sebagian besar teori meyakini melalui saluran pernapasan.5

Oleh karena penyakit ini merupakan penyakit kronik yang masih menjadi masalah kesehatan dan bersifat menular, penegakan diagnosis secara cepat dan tepat harus dilakukan, sehingga terapi dapat diberikan sesegera mungkin untuk memutus rantai penularan penyakit dari orang yang satu ke orang yang lain. Untuk itu, penulis ingin membahas mengenai beberapa pemeriksaan yang dapat membantu dalam penegakan diagnosis kusta.

Etiologi Kusta

Mycobacterium leprae sebagai penyebab kusta merupakan basil tahan asam (BTA), gram positif, dan intraselular obligat dengan tropisme pada makrofag dan sel Schwann.4,6

Basil ini menyukai lokasi tubuh yang relatif dingin dengan suhu optimal pertumbuhan 30oC. Bakteri ini tidak dapat dibiak pada

media buatan, tetapi dapat dibiakkan pada telapak kaki tikus dan binatang armadilo.7

Genom M. leprae berukuran 3.3 mega base pair (bp), terdiri atas 1.605 gen yang mengkode protein. Hanya setengah dari genom

M. leprae ini yang merupakan coding sequence. Lebih dari setengah genom sisanya merupakan gen yang tidak fungsional dan digantikan oleh gen yang tidak aktif atau

pseudogenes. Delesi dan rusaknya gen ini menjadikan M. leprae hanya memiliki beberapa enzim pernapasan. Hal inilah yang menjelaskan mengapa M. leprae tidak bisa dibiak pada media buatan dan bersifat obligat intraselular.4-6 Hilangnya gen termasuk gen

yang berperan pada metabolisme energi menyebabkan bakteri ini bergantung pada kondisi intraselular untuk mendapatkan nutrisi yang esensial. Hal inilah yang menjelaskan masa belah diri M. leprae yang sangat lama dibandingkan dengan bakteri lain, yaitu 12-14 hari.7 Karena itu masa tunas dari M. leprae

lama dengan rerata 3-10 tahun.5

Pada dinding sel Mycobacterium terdapat komponen yang menjadi target penting pada respons imun pejamu. Komponen protein yang dikenal dengan PGL-1 menstimulasi respons antibodi imunoglobulin M (IgM) pejamu. Komponen lain yaitu protein yang berperan dalam sintesis dinding sel dan lipoarabinomanan berperan dalam modulasi aktivitas makrofag.6 Adanya ikatan antara

trisakarida pada bagian ujung yang spesifik dari PGL-1 dengan laminin-2 dari lamina basal sel Schwann menjelaskan tropisme penyakit ini pada saraf tepi.4,6

Diagnosis Kusta

Diagnosis kusta ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Kelainan kulit pada penyakit kusta secara klinis menyerupai banyak penyakit kulit lain.8

Bahkan ada istilah yang menyebutkan penyakit kusta sebagai peniru terhebat (the great imitator) dalam penyakit kulit, sehingga kadang sulit untuk mendiagnosis hanya berdasarkan gejala dan tanda klinis. Pemeriksaan lain yang digunakan sebagai pemeriksaan penunjang adalah secara mikroskopis, histopatologis, serologis, dan molekular.1 Menurut 8th WHO Expert

Committee on Leprosy tahun 2012, diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan salah satu atau lebih tanda kardinal kusta.9 Tanda

kardinal tersebut adalah :

1. Kelainan (lesi) kulit berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa,

2. Penebalan atau pembesaran saraf tepi yang disertai dengan hilangnya sensibilitas pada kulit dan/atau kelemahan otot yang dipersarafi saraf tersebut, 3. Ditemukannya BTA pada pemeriksaan

mikroskopis dari kerokan jaringan kulit (slit skin smear).

Pemeriksaan Bakteriologis

Pemeriksaan bakteriologis atau mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam seperti Ziehl-Neelsen untuk mencari basil tahan asam. Pemeriksaan dilakukan dengan mengambil sampel dari kerokan jaringan kulit dengan cara melakukan irisan dan kerokan kecil pada kulit. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan pada kasus yang meragukan untuk memercepat penegakkan diagnosis.8 Idealnya, dilakukan

pengambilan sampel dari setidaknya enam lokasi, yaitu cuping telinga kanan dan kiri serta 2-4 lesi kulit lain yang aktif. Bila ditemukan basil yang solid, menandakan adanya mikroorganisme yang hidup dan dapat dengan mudah terlihat pada pasien baru yang belum diobati, atau pasien relaps. Pada pemeriksaan mikroskopik dinilai indeks

(3)

bakterial (IB) dan indeks morfologi (IM). Indeks bakterial merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus, ini berguna untuk membantu menentukan tipe kusta dan memantau hasil pengobatan. Penilaian IB dilakukan menurut skala logaritma Ridley, yang dapat dilihat pada

Tabel 1. Sedangkan IM merupakan persentase basil kusta, bentuk utuh (solid) terhadap seluruh BTA. Indeks morfologi berguna untuk mengetahui daya penularan kuman, menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan

resistensi terhadap obat.8

Tabel 1. Penilaian IB Menurut Skala Logaritma Ridley Indeks Bakteri 0 1+ 2+ 3+ 4+ 5+ 6+

0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang

1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 lapangan pandang 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang >1000 BTA atau 5 clumps ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandang,

hitung 25 lapangan pandang

Dikutip dari Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta. Kementerian Kesehatan RI tahun 2012.9

Pemeriksaan Histopatologis

Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil irisan lesi kulit atau saraf, lalu dilakukan pewarnaan hematoksilin-eosin (H&E) atau Faraco-Fite untuk mencari BTA.10 Fragmen lesi kulit yang diambil adalah

bagian yang paling aktif (merah, terdapat infiltrat dan/atau pembesaran). Karakteristik histopatologis ditentukan berdasarkan kriteria dari Ridley dan Jopling. Walaupun pemeriksaan histopatologis ini spesifisitasnya tinggi, tetapi sulit membedakan kasus relaps dengan kasus reaksi pada pasien kusta pausibasilar (PB) atau membedakan kusta dari penyakit granulomatosa lainnya seperti sarkoidosis, tuberkulosis, dan penyakit granulomatosa yang noninfeksi.11

Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan serologis. Pemeriksaan yang ideal masih terus diteliti sampai sekarang. Yang banyak dipelajari adalah pemeriksaan serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen M. leprae (PGL-1)

dengan metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Metode lain selain ELISA yang dapat digunakan adalah lateral flow test,

dipstick, dan tes hemaglutinasi. Adanya antibodi anti PGL-1 dapat menunjukkan adanya bakteri, membantu menentukan tipe kusta dan memantau hasil terapi.10

Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan terbaik untuk mendeteksi pasien dengan imunitas humoral yang baik dan imunitas selular yang rendah seperti pada kusta multibasilar (MB). Sebaliknya pada kusta PB hasil pemeriksaan serologis sering negatif karena imunitas humoralnya rendah.7

Antibodi anti-PGL-1 yang positif dapat digunakan sebagai surrogate marker tingginya jumlah basil seperti pada kusta MB, dan untuk menentukan perlu tidaknya diberikan terapi yang lebih lama.7 Penurunan antibodi

anti-PGL-1 akan disertai dengan antigen clearance.

Antibodi anti-PGL-1 yang persisten dapat menjadi petanda resistensi terhadap terapi. Sebaliknya jika antibodi anti-PGL-1 meningkat pada pasien yang sudah diterapi, menunjukkan terjadinya kasus relaps. Pemeriksaan serologis lainnya yang banyak dipelajari adalah pengukuran produksi

(4)

interferon gamma dan indikator tidak langsung lainnya dari imunitas selular.7

Pemeriksaan Molekular

Sejak berkembang metode molekular berbasis amplifikasi asam nukleat, yaitu PCR tahun 1989, pemeriksaan ini sudah digunakan untuk mendeteksi M. leprae,10 yang sangat

sensitif dan spesifik. Metode molekular ini dapat digunakan untuk mendeteksi, menghitung jumlah basil, dan menentukan viabilitas M. leprae. Selain itu, dapat juga digunakan untuk mengkonfirmasi kasus PB, mendeteksi infeksi subklinis yang terjadi pada seseorang yang kontak dengan penderita kusta, membantu memantau pengobatan, serta mengetahui resistensi obat.10

Dasar dari pemeriksaan ini adalah amplifikasi sekuens tertentu dari genom M.

leprae dan mengidentifikasi fragmen

deoxyribonucleid acid (DNA) atau ribonucleic acid (RNA) yang diamplifikasi. Sampel dapat diambil dari berbagai tempat misalnya kerokan jaringan kulit, biopsi kulit, saliva, swab atau biopsi mukosa mulut, swab atau biopsi fragmen konka hidung, urin, saraf, darah, sputum, nodus limfatikus, dan rambut.10,12,13

Berbagai metode PCR yang bisa dilakukan adalah PCR konvensional, nested-PCR,

reverse transcriptase-PCR (RT-PCR), dan

real-time PCR.10

PCR Konvensional

Teknik PCR adalah teknik molekular yang menggunakan prosedur enzimatik untuk mengamplifikasi sekuens asam nuklear spesifik secara in vitro, tanpa menggunakan organisme hidup.14 Teknik ini pertama kali

dikembangkan oleh Kary Mullis pada tahun 1983. Metode ini memungkinkan sejumlah kecil molekul DNA untuk diamplifikasi beberapa kali secara eksponensial dan banyak digunakan dalam penelitian di bidang medis, di antaranya dalam hal diagnosis penyakit infeksi.14 Metode PCR memungkinkan

identifikasi pada mikroorganisme yang tidak dapat dibiakkan secara in vitro, atau mikroorganisme yang tumbuh lambat seperti

Mycobacterium. Berbeda dengan organisme yang hidup, proses PCR dapat mengopi fragmen DNA yang pendek sampai 10 kb.14

Nested-PCR

Nested-PCR berguna untuk mengurangi kontaminasi produk karena amplifikasi dari ikatan primer yang tidak diharapkan. Protokol PCR dilakukan dua tahap amplifikasi DNA. Dua set primer digunakan pada dua proses PCR secara berurutan. Sejumlah kecil produk PCR tahap pertama digunakan pada proses PCR tahap kedua dengan menggunakan reagen baru. Amplifikasi pada tahap kedua diharapkan dapat mengatasi uji PCR yang tidak optimal pada tahap pertama, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan kemampuan deteksi dari PCR. Nested-PCR mampu membedakan organisme sampai tingkat serovar.15 Kelebihan dari metode ini adalah

reamplifikasi produk nonspesifik dari tahap pertama dapat diminimalisasi karena penggunaan primer yang berbeda pada tahap kedua. Penggunaan nested-PCR masih terbatas pada laboratorium yang sudah berpengalaman dan khusus.

RT-PCR

Metode RT-PCR merupakan metode PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi, isolasi, dan identifikasi fragmen RNA. Tahap ini diawali dengan proses transkripsi oleh enzim reverse transcriptase yang mengubah RNA menjadi cDNA. Metode RT-PCR dikenal sebagai metode yang cepat dan sensitif untuk mendeteksi RNA dari M. leprae.

Deteksi RNA relatif sulit karena RNA bersifat labil, karena turnover rate dari RNA tinggi.16

Pemeriksaan berbasis RNA ini menggambarkan asam nukleat hanya dari organisme yang hidup.

Real-time PCR

Real-time PCR merupakan modifikasi dari PCR. Prinsip metode real-time PCR adalah mengamplifikasi DNA spesifik menggunakan sepasang primer spesifik. Real-time PCR mengamplifikasi sekuens target dengan menggunakan teknologi fluoresensi.17 Dalam

mendeteksi M. leprae, metode real-time PCR dinilai juga memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibanding PCR konvensional (91,3% berbanding 82.6%) dengan spesifisitas yang sama (100%).18 Ambang batas DNA yang

dapat dideteksi dengan real-time PCR sampai konsentrasi 8 femtogram (fg) atau setara dengan 240 bakteri.19 Angka ini lebih baik

(5)

dibandingkan dengan PCR konvensional dengan sensitivitas hanya sampai 100 fg.18

Sensitivitas secara klinis dari real-time PCR pada pasien kusta PB juga lebih baik dibandingkan dengan PCR konvensional (79.2% berbanding 62.5%)18 dan pada sampel

jaringan pasien kusta dengan hasil pemeriksaan mikroskopik yang negatif (100% berbanding 94.4%).20 Dibandingkan dengan

pemeriksaan mikroskopis, metode real-time

PCR memiliki sensitivitas minimal 25 kali lebih baik.21 Walaupun tingkat kepositifan

hasil real-time PCR untuk kusta PB lebih rendah dari tipe MB, tetapi karena jumlah basil yang ada juga lebih rendah, kemampuan real-time PCR untuk deteksi DNA M. leprae pada sampel yang negatif secara bakteriologis dapat membantu membedakan kusta PB dari penyakit lain dengan gejala yang sama. Oleh karena itu, uji ini dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dengan benar terutama pada kasus dengan gejala klinis yang tidak khas atau hasil pemeriksaan penunjang lain meragukan, dan juga dapat menjadi tolak ukur manajemen terapi yang tepat.10,21

Kesimpulan

Kusta merupakan penyakit yang dikenal sebagai the great imitator. Gejala dan tanda klinis yang ada seringkali menyerupai penyakit kronis kulit lainnya. Diperlukan pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis pada kasus dengan gejala dan tanda klinis yang tidak jelas, seperti pemeriksaan mikroskopis, histopatologis, serologis, dan molekular. Pemeriksaan molekular dengan teknik real-time PCR mampu mendeteksi DNA M. leprae pada sampel yang negatif secara bakteriologis karena bersifat sensitif dan spesifik. Teknik ini juga dapat digunakan untuk memastikan diagnosis dengan benar pada kasus kusta dengan gejala klinis yang tidak khas atau hasil pemeriksaan penunjang lain meragukan. Daftar Pustaka

1. Renault CA, Ernst JD. Mycobacterium leprae (leprosy). In: Bennett JE, Dolin R, Blaser MJ, eds. Mandell, Douglas, and Bennett's. Principles and practice of infectious diseases. 8 ed: Elsevier Saunders; 2015.

2. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan: Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan; 2015.

3. Moet FJ, Pahan D, Schuring RP, Oskam L, Richardus JH. Physical distance, genetic relationship, age and leprosy classification are independent risk factors for leprosy in contacts of patients with leprosy. JID 2006;193:346–53.

4. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, eds. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7 ed. New York: the McGraw-Hill companies; 2008:1786-96.

5. Bhat RM, Prakash C. Leprosy : An overview of pathophysiology. Interdiscip Perspect Infect Dis 2012.

6. Britton WJ, Lockwood DN. Leprosy. The Lancet 2004;363:1209-19.

7. James WD, Berger T, Dirk, Elston. Hansen's disease. Andrews' Diseases of the skin clinical dermatology 11 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011:334-44.

8. Pedoman nasional program pengendalian penyakit kusta. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2012.

9. WHO expert committee on leprosy 8th report. Geneva: World Health Organization; 2012.

10. Lastoria JC, Abreu MAMMd. Leprosy : A review of laboratory and therapeutic aspects-part 2. An Bras Dernatol 2014;89:389-403.

11. Kumar B, Dogra S. Leprosy : A disease with diagnostic and management challanges ! Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009;75:111-5.

12. Goulart IMB, Goulart LR. Leprosy : Diagnostic and control challanges for a worldwide disease. Arch Dermatol Res 2008.

13. Soto A, Munoz PT. Leprosy diagnosis : an update on the use of molecular tools lucrecia. Mol Biol 2015;4:139.

14. Rahman M, Uddin M, Sultana R, Moue A, Setu M. Polymerase chain reaction (PCR) : a short review. AKMMC J 2013;4:30-6.

15. Sachse K. Specificity and performance of diagnostic PCR assays. In: Sachse K,

(6)

Frey J, eds. PCR detection of microbial pathogens. Totowa New Jersey: Humana Press; 2003.

16. Phetsuksiri B, Rudeeaneksin J, Supapkul P, Wachapong S, Mahotarn K, Brennan PJ. A simpli¢ed reverse transcriptase PCR for rapid detection of Mycobacterium leprae in skin specimens. FEMS Immunol Med Microbiol 2006;48:319-28.

17. Fraga D, Meulia T, Fenster S. Real-time PCR. In: Gallagher SR, Wiley EA, eds. Current protocols essential laboratory techniques: John Wiley & Sons, Inc.; 2008.

18. Martinez AN, Britto CFPC, Nery JAC, et al. Evaluation of real-time PCR and conventional PCR targeting complex 85 genes for detection of Mycobacterium leprae DNA in skin biopsy samples from patients diagnosed with leprosy. J Clin Microbiol 2006;44:3154-9.

19. Yan W, Xing Y, Yuan LC, et al. Application of RLEP real-time PCR for detection of M. leprae DNA in paraffin-embedded skin biopsy specimens for diagnosis of paucibacillary leprosy. Am J Trop Med Hyg 2014;90:524-9.

20. Lini N, Shankernarayan NP, Dharmalingam K. Quantitative real-time PCR analysis of Mycobacterium leprae

DNA and mRNA in human biopsy material from leprosy and reactional cases. J Med Microbiol 2009;58:753-9. 21. Rudeeaneksin J, Srisungngam S,

PathomSawanpanyalert, et al. LightCyclerTM real-time PCR for rapid

detection and quantitation of Mycobacterium leprae in skin specimens. FEMS Immunol Med Microbiol 2008;54:263-70.

Gambar

Tabel 1. Sedangkan  IM merupakan persentase  basil  kusta,  bentuk  utuh  (solid)  terhadap  seluruh BTA

Referensi

Dokumen terkait

Tingginya risiko VAP pada pasien yang terpasang ventilasi mekanik berdampak pada lama perawatan, biaya yang harus ditanggung dan angka mortalitas pasien maka

dikirimkan melalui internet [2]. Untuk menjamin kerahasiaan, keaslian, dan integritas data dapat diterapkan algoritma enkripsi pada embedded system. Salah satu

Dimana perairan yang diukur dari permukaan air laut pada surut terendah sampai dengan 3 mil laut, maka usaha penangkapan ikan yang diperbolehkan di

Paling menyakitkan lagi adalah, mana kala si tukang intervensi itu punya ambisi untuk memiliki bekas istri dari pasangan yang baru saja cerai tersebut.

Hal-hal yang belum tercantum di perjanjian kerjasama ini dan berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan “Pengajian Akbar Memperingati Isra’ Mi’raj Dan Bakti

Untuk pembangunan bangunan pengendali tersebut diperlukan suatu kegiatan Pengukuran dan Perencanaan Teknis pada aliran muara sungai Batang Muaro Samuik yang akan

Kemalangan jalan raya telah mengakibatkan kerugian besar kepada negara. Ianya melibatkan kecederaan, penderitaan dan kematian yang paling tinggi di Malaysia. Sejarah kemalangan jalan

Faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi usahatani tidak saja ditentukan oleh kemampuan manajerial dari petani yang lebih banyak diukur dari kemampuan petani untuk