• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN RAPAT PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "CATATAN RAPAT PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN TATA USAHA NEGARA"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN RAPAT

PROSES PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG Tahun Sidang Masa Persidangan Rapat ke Jenis Rapat Dengan Sifat Rapat Hari, tanggal Pukul Terilpat Ketua Rapat Sekretaris Rapat Acara Hadir

PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1986 - 1978 II

15

Rapat Kerja Panitia Khusus ke - 12 Menteri Kehakiman

Terbuka

Rabu, 29 Oktober 1986 09.00 s/d 13.10 WIB.

Ruang Rapat Panitia Khusus DPR-RI DR. A.A. Baramuli, S.H.

Ors. Noer Fata

Melanjutkan pembahasan Danar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara DPR-RI ilan Pemerintah.

PANITIA KHUSUS :

22 dari 38 orang anggota Tetap; 12 dari 19 orang anggota Pengganti. PEMERINTAH :

(2)

ANGGOTA TETAP : 1. DR. A.A. Baramuli, S.H. 2. Damciwar, S.H. 3. Soelaksono, S.H. 4. H.M. Munasir 5. Imam Sukarsono, S.H. 6. M. Said Wijayaatmadja, S.H. 7. Harry Suwondo, S.H. 8. Drs.

F.

Harefa, S.H. 9. M.S. Situmorang 10. Taufik Hidayat, S.H. 11. Suhadi Hardjosutamo, S.H. 12. Soeboeh Reksojoedo, S.H. 13. M. Zainuddin Wasaraka 14. Muljadi Djajanegara, S.H. 15. Drs. Aloysius Aloy 16. Sugiharsojono,S.H. 17. J. Soedarko Prawiroyudo 18. Soetomo HR, S.H. 19. H. Adnan Kohar S. 20. H.M. Djohan Burhanuddin A, S.H. 21. Tgk. H.M. Saleh

22. Drs. Ruhani Abdul Hakim. ANGGOTA PENGGANTI :

1. Soeharto

2. Amir Yodowinarno 3. Sutjipto, S.H.

4. Ny. A. Roebiono Kertopati, S.H. 5. A. Latief, S.H.

6. H.R. Soedarsono 7. Ir. A. Moestahid Astari

8. Ny. Ora. H. Nasjrah M. Effendy 9. lbnu Saleh

10. Suparman Adiwidjaja, S.H. 11. Drs. H. Yahya Chumaidi Hasan 12. Abdul Hay Jayamenggala.

(3)

PEMERINTAH : 1. Ismail Saleh, S.H. 2. Indroharto, S.H.

3.

Djoko Soegianto, S.H. 4. Roeskamdi, S.H. 5. Anton Soedjadi, S.H.

6. Dr. Paulus Eff endie Latulung, S.H. 7. Marianna Sutadi, S.H.

8.

Setiawan

9. Ny. Fatimah Achyar, S.H. 10. Ny. Mariatul Azma Saleh, S.H. 11. Etty Rusmadi Murad

12. Wicipto Setiadi, S.H. 13. A. Sudjadi Menteri Kehakiman - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - Staf - penghubung Departemen Kehakiman.

KETUA RAPAT (DR. A.A. BARAMULI, S.H.) :

Membuka kembali Rapat Kerja dengan Pemerintah dengan mengucapkan Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatuh dan salam sejahtera, Merdeka! Rapat Kerja terbuka untuk umum.

Pada tanggal 28 Oktober 1986 hari Pemuda kemarin kita telah selesai dengan Pasal 97. Dengan demikian maka hari ini memasuki Pasal 98 yang mengatur tentang Paragraf II tentang Pemeriksaan dengan acara cepat. Untuk maksud ini maka dipersilakan dari FKP yang ingin menyampaikan sesuatu, tapi sebelumnya mengenai Paragraf II headingnya dan Paragraf II dengrn judulnya Pemeriksaan dengan acara cepat tidak ada usul apa-apa dari semua Fraksi.

Maka bolehkah dinyatakan ini diterima dengan bulat. (RAPAT SETUJU) Pasal 98 dipersilakan dari FKP

FKP (MUI.JADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Di dalam Pasal 98 ayat (1) di dalam DIM dijelaskan adanya usul perubahan yaitu perlu ditegaskan atau mendapatkan kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan pengadilan di dalam pasal ini.

Di dalam rumusan Pasal 98 ini sebagaimana diketahui di dalam Pasal 1 ayat (8) arti daripada pengadilan telah jelas bagi kita yaitu Pengadilan Tata Usah:-l Negara atau Pengadilan Tinggi di lingkungan. Oleh karena itu FKP berpendapat bahwa khusus di dalam Pasal 98 ini yang dimaksud dengan pengadilan sudah

(4)

ten tu adalah Pengadilan Tata U saha Negara. Oleh karena itu FKP in gin mendapatkan penjelasan apabila memang yang dimaksud di dalam ayat ini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara apakah tidak sebaiknya yang dimaksud dalam rumusan dari pada pasal ini diberikan satu penegasan.

Selanjutnya mengenai tercantum adanya keterangan untuk membandingkan dengan Pasal 62 ayat (3), Pasal 63 ayat (4) dan Pasal 114 ayat (2). Pasal 114 ayat (2) ini sebenarnya adalah keterangan dikaitkan dengan ayat (3), jadi oleh karena itu bukan termasuk di dalam ayat (1).

Yang kedua, FKP ingin mendapatkan penjeJasan dari pihak Pemerintah mengenai ayat ( l) karena terdapat kata-kata bahwa gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dapat dipercepat, di dalam hal ini apakah yang dimaksud dengan pemeriksaan sengketanya saja ataukah juga terkandung keinginan agar pemutusan oleh Pengadilan di dalam perkara itu dapat dipercepat. Demikian DIM dari pada FKP.

KETUA RAPAT :

Je)as ada empat unsur dalam pasal ini untuk mendesak penggugat dalam gugatannya lalu kemudian sengketa dapat dipercepat

Dari FPP dipersilakan.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Di dalam membahas Pasal 98 i.ni FPP mempunyai pemikiran yaitu mengusulkan:

1. Sebaiknya Pasal 98 itu dikaitkan dengan Pasal 99 dan tegasnya FPP mengusulkan yaitu Pasal 99 ayat ( l) dijadikan Pasal 98 ayat ( l ). Pemeriksaan dengan acara tetap dilakukan dengan Hakim tunggal.Alasannya demikian: 1) seperti juga yang dikemukakan oleh FKP, alasan-alasan permohonan ini untuk pemeriksaan dengan cepat itu dilakukan di sini disebutkan alasan-alasan permohonan penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dapat dipercepat. Lalu ayat (2) nya Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterimanya permohonan tersebut dalam ayat ( 1 ), mengeluarkan suatu penetapan tentang dikabulkannya atau tidaknya permc1honan tersebut. Karena memang alasan-alasan permohonan ini harus dibicarakan oleh Pengadilan dan setidak-tidaknya tidak ditetapkan sendiri oleh Ketua Pengadilan tetapi oleh Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan.

Sehingga dengan demikian konsekwensinya juga yang tercantum di sini dalam ayat (2) tidak disebutkan Ketua Pengadilan tapi cukup Pengadilan saja, sehingga dengan demikian Pengadilan dalam jangka waktu FPP usulkan sebagaimana DIM tidak 14 hari sesuai dengan keinginan pemeriksaan cepat dalam waktu 7 hari setelah diterimanya permohonan tersebut dalam ayat ( 1) Pasal 99 kalau nanti ada perubahan ayat (2) mengeluarkan suatu penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya

(5)

pemohonan tersebut.

Sekiranya pendapat dari FPP ini mendapat tanggapan yang wajar. KETUA RAPAT :

Memang FPP mempunyai hak untuk memajukan pendapat, jadi ini kami anggap suatu pendapat terhadap Pasal 98 yang dikaitkan dengan ayat (2), karena ayat ( 1) yang di dalam DIM tidak ada. Tetapi di dalam Pasal 99 yang dikaitkan tadi diusulkan untuk dipindahkan ke Pasal 98.

Jadi kalau nanti memasuki Pasal 99 dapat diulangi usul dari FPP ini. Demikian yang dapat disimpulkan, dan dipersilakan selanjutnya dari FABRI. FADRI (IMAM SUKARSONO, S.H.):

Benar FABRI untuk ayat (l) tidak mengusulkan apapun, namun kalau nanti di dalam pembicaraan inipun tidak ada perubahan lalu tangan saya ngacung berarti Timus karena redaksional saja.

KETUA RAPAT : Setuju.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

FPDI tidak mempunyai DIM di dalam hal Pasal S8 ayat (1). Namun telah berkembang usul-usul dari FKP dalam hal ini hanya titip mengajukan pertanyaan. Memang Pasal 98 ayat (l) ini memberikan suatu peluang bagi penggugat untuk mengajukan mempercepat persidangan dengan acara cepat kalau ada kepentingan yang mendesak ( cukup mendesak). Jadi kepentingan penggugat yang cukup mendesak apa kriterianya yang nanti bisa dikabulkan oleh Hakim atau Pengadilan. Sebab cukup mendesak bagi pihak lain belum tentu cukup mendesak bagi yang mengajukan permohonan itu. Sekarang nanti mempunyai maatstaf mengenai cukup mendesak ini, apa kriterianya.

KETUA RAPAT :

FPDI mengenai pertanyaan. Selanjutnya dipersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Yang pertama adalah dari FKP yaitu kata pengadilan, yang dimaksud di sini adalah Pengadilan Tata Usaha Negara oleh karena itu sebaiknya sebagaimana juga terdapat kata-kata pengadilan di dalam pasal-pasal sebelumnya maka keseluruhan saja ditertibkan, dikonsistenkan dan sekaligus diluruskan sehingga tidak ada kesalahan di sini kalau perlu ditambah Tata Usaha Negara atau Pasal 1 itu juga pengertian pengadilan itu bisa juga di dalam Panja nanti ditinjau kembali. Jadi apapun hasilnya nanti pasal-pasal yang terdapat di di.Jam Rancangan Undang-undang ini mendapatkan penelitian kembali mengenai kata pengadilan.

(6)

Tapi sekedar untuk menjawab FKP maka yang dimaksud dalam ayat (1) kata pengadilan itu adalah Pengadilan Tata Usaha Negara. Dan ini keterangan dibandingkan dengan pasal-pasal ini ya memang di dalam Pasal 114 ditemukan juga kata pengadilan yang ada tambahan Tata Usaha Negara dan ini sekaligus seluruhnya nanti diterbitkan.

Pertanyaan lagi dari FKP mengenai ayat ( 1) yang dipercepat apakah pemeriksaan sengketanya saja ataukah juga pemutusan oleh pengadilan. Dalam hat 101 tentu harus diperhatikan disini asas yang tercantum dalam Paragraf II Pemeriksaan dengan acara cepat. Jadi kalau pemeriksaannya itu cepat atau dipercepat sudah tentu putusannya pun harus dipercepat, sebab kalau tidak itu maknanya tidak ada. Untuk hal ini dan guna mendapatkan sesuatu pemantapan Pemerintah tidak keberatan apabila hal yang ditanyakan oleh FKP juga diberikan penjelasan di dalam ayat (I) bahwa apabiJa permintaan ini cepat maka juga putusannya pun harus juga cepat.

Kemudian dari FPP, oleh karena masih membatasi ayat ( 1) dan say a tidak menemukan di dalam DIM ini usu) FPP mengenai perubahan sistematik dan di dalam Pasal 99 pun juga tidak ditemukan usu) mengenai perubahan sistematik. maka dikembalikan lagi pada konsensus semula ap 1kah materi yang baru dimunculkan dalam forum ini dibahas atau tidak. Jadi serr.entara Pemerintah belum dapat memberikan tanggapan, Fraksi-Fraksi lainpun belum memberikan tanggapan terhadap usul dari FPP tentang perubahan sistimatik agar Pasal 99 itu dijadikan Pasal 98.

Terhadap atau usul titip pertanyaan dari FPDI, ini memang tidak ada di dalam DIM-nyajuga. Tetapi karena ini menyangkut ayat (1), apabila dibaca yaitu ayat (1) khususnya hal mana harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya. Jadi kalimat ini berbunyi : Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak jadi yang ditanyakan kriterianya apa kepentingan penggugat yang cukup mendesak. Kriterianya adalah dilihat atau disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya. Jadi dari permohonan itulah dilihat, apakah memang ada alasan untuk menerima permohonan itu dengan pemeriksaan dengan acara cepat.

Jadi kalau ditanyakan kriteria yang balm tidak bisa diberikan jawaban. Kriteria ini ataupun pemeriksaan itu nanti ditentukan dengan acara cepat itu disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya yaitu penggugat dalam gugatannya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dapat dipercepat. Ini terserah kepada Pengadilan, apakah memang alasan permohonannya itu benar-benar atau tidak, jadi ini praktek yang akan menentukan.

Diketahui juga di daJam Peradilan Umum itu jug<:. ada acara pemeriksaan dengan acara cepat, tapi adakalanya Hakim bisa memutuskan bahwa ini tidak bisa acara cepat tapi acara biasa.

(7)

KETUA RAPAT :

Maka jawaban Pemerintah sudah jelas untuk diterima. Jadi ini ada usul kalau demikian maka batang tubuh ini kita terima lalu kemudian dibuat penjelasan. Penjelasan ini cukup oleh Timus seperti apa yang dikemukakan oleh Pemerintah dan bilamana dapat arti daripada kriteria itu dimaskkan secara umum karena kalau tidak nantinya terserah yurisprudensi atau kepada Hakim apa kriteria tentang acara cepat, inipun juga dapat dirumus secara umum.

J adi dengan demikian mengenai usul dari FPP memang apa yang dikemukakan Pemerintah itu benar tetapi memang dalam perkembangannya bisa saja dibicarakan. Kalau tidak disetujui ya tidak disetujui.

Dengan kesimpulan ini maka saya usulkan supaya diterima ayat (l) ini dan Timus dalam penjelasan seperti yang saya katakan tadi.

Kalau dari FABRI kalau naik tangan berarti Timus. FABRI ( IMAM SUKARSONO, S.H.) : INTERUPSI

Tapi kalau memang dapat diputuskan di sini Timus tidak usah. Kata 'bal mana ini diusulkan diganti dengan yang. Kalau ini sudah dapat diterima tangan saya tidak untuk Timus ini tapi untuk Timus yang lain.

KETUA RAPAT :

Jadi hal mana yang diganti dengan ,rang masuk Timus. FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Maaf ini hanya untuk menclearkan saja. Tertarik dengan keterangan Bapak Menteri Kehakiman, karena memang FPP tidak memasukkan di dalam DIM, kalau tidak salah ada konsensus kalau tidak keliru : kalau di dala n perjalanan pembahasan ada hal yang memang bisa diungkapkan walaupun tidak tercantum di dalam DIM itu tidak menyalahi apa yang menjadi konsensus di dalam pembahasan Rancangan Undang-undang ini, kalau FPP keliru minta maaf.

KETUA RAPAT :

Memang boleh saja dikemukakan tetapi basil daripada pembicaraan disini. Jadi tidak boleh dijadikan obyek baru, Misalnya dibalik itu tidak boleh, tetapi kalau basil pembahasan lalu berkesimpulan berdasarkan pembahasan ini maka akan kita rubah Pasal l, pasal berikut keatas itu boleh, tetapi dengan syarat apa · diterima. Jadi tidak boleh dijadikan obyek utama sebagai kesimpulan tetapi pada

pembicaraan.

Jadi kalau tidak diterima saya kira tidak apa-apa

Kemudian menanggapi dari FABRI diterima yang tadi tapi di-Timus FABRI (IMAM SUKARSONO, S.H.):

Sekarang bertanya, jika tidak diterima itu tadi pertanyaan sudah terjawab atau belum.

(8)

KETUA RAPAT :

Jadi kalau diterima usul dari Pimpinan batang tubuh diterima bulat lalu penjelasan dibuat di-Timus, di mana diusulkan semuanya. Berarti usul dari FPP ini hijrah tidak diterima, tapi kalau mengatakan begitu pada FPP barangkali kurang bijaksana. Dan FPP tidak akan mengatakan sesuatu, nanti Pasal 91 mereka kemukakan lagi. Jadi mempunyai hak.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Usul dari FABRI hal mana menjadi yang itu tidak usah Timus. Jadi Jangsung saja diterima.

Yang kedua kata pengadilan itu disesuaikan dengan Pasa1-pasal keseluruhannya, bagaimana saran dari FKP yang ditanyakan tadi itu.

Yang ke-3 pertanyaan FKP mengenai pemeriksaannya saja dipercepat apakah juga keputusannya juga dipercepat. Itu dimasukan di dalam Timus untuk penjelasan ayat (1).

Pertanyaan dari FPDI tentang kriteria. Kriteria ini juga sesungguhnya bisa diperjelas di dalam penjelasan ayat (1) dan itu diserahkan kepada Timus.

Jadi yang diserahkan kepada Timus adalah : pertanyaan dari FKP tentang pemeriksaan dipercepat dan keputusan dipercepat dan tentang kriteria kepentingan penggugat yang cukup mendesak itu.

KETUA RAPAT :

Setuju Pemerintah, memang Pengadilan juga masuk Timus yang sudah dibentuk sebelumnya, juga kata-kata Hakim sama, jadi ada dua tugas dari Timus.

Jadi apa yang dikatakan Pemerintah itu sama dengan usul Pimpinan. (RAPAT SETUJU)

Ayat (2) dipersilakan dari FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN, S.H.) :

Sebagaimana telah dikemukakan istilah-Ketua Pengadilan cukup saja dengan Pengadilan dengan demikian redaksi lengkapnya : Pengadilan dalam jangka waktu 7 hari setelah diterima permohonan tersebut dalam ayat (I) mengeluarkan suatu penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya permohonan tersebut.

KETUA RAPAT :

Memang ini ada hal yang pokok, jadi bukan soal redaksional saja. Dipersilakan dari FABRI.

FADRI ( M.S. SITUMORANG) :

(9)

Ketua dengan Pengadilan saja sehingga konotasinya agak lain. Sebab pengertian dari Pengadilan itu sudah ada kita lihat di sana, kemudian persoalan perpendekan menjadi 7 hari FABRI tadinya setuju 14 hari namun demikian dapat dibicarakan bersama-sama.

Ada satu hal yang menjadi prinsip dari FABRI dalam rangka dapat menyetujui naskah ini tanpa merubah pengadilan dan sebagainya.

Kalau kita melihat satu paragraf umpamanya dalam ~udulnya itu pemeriksaan dengan cara cepat semestinya pasal-pasal yang bersangkutan dengan itu harus dilihat secara menyeluruh lebih dahulu baru kita tahu arti daripada tiap-tiap bait dari pada pasal ini. Jadi dengan lain perkataan kalau tadi FKP menanyakan pengadilan di ayat ( 1) itu, kata pengadilan manakah yang dimaksud di situ. Apakah Pengadilan yang dimaksud di dalam pengertian di Pasal 1 ayat sekian itu. Kalau menurut hemat FABRI jika dilihat dari bait-baitnya selanjutnya atau ayat (1), (2), (3) itu dapat disimpulkan bahwa Pengadilan itu adalah Pengadilan Pertama, apalagi kalau dihubungkan dengan ayat (3) tidak dapat dibanding. Berarti pengadilan band-ing adalah Pengadilan Tband-inggi sehband-ingga pengadilan yang dimaksud di dalam ayat (1) itu Pengadilan Tata Usaha Negara.

Jadi sebenamya f.ABRI mengemukakan karena prinsip FABRI tadinya melihat masalah ini dari isi pasal-pasal yang bersangkutan sehingga tidak perlu dibongkar secara menyeluruh untuk menyesuaikan ·secara rijit kepada pengertian-pengertian yang· sudah ada di Pasal l itu, mustinya ada pengembangan-pengembangan. Oleh sebab itu jangan dibaca hanya berdiri sendiri pasal itu, harus dikaitkan dari pada group daripada pasal-pasal itu sendiri.

Ini prinsip dari FABRI yang dikemukakan lebih dahulu tanpa mengurangi apa yang dikatakan oleh Bapak Menteri tadi bahwa seluruh pasal-pasal mengenai peradilan nanti akan ditinjau keseluruhannya, demikian juga mengenai Hakim ditinjau keseluruhannya, jadi ini sebenamya membawa suatu pekerjaan yang besai: Pada kita ini sama-sama mengerti mengenai hokum ini tentunya kita melihat pasal-pasal itu daripada isi daripada pasal-pasal-pasal-pasal itu sendiri.

Jadi demikian tanggapan dari FABRI terhadap usul daripada FPP tentang jumlah harinya juga, dan sekaligus memberitahukan prinsip daripada FABRI dalam menganalisa pasal-pasal ini sehingga dengan demikian FABRI dapat menyetujui keseluruhan Pasal 98, Pasal 99 karena sudah membacanya yaitu yang berkenaan dengan pemeriksaan dengan cara cepat ini.

FABRI menghimbau kepada Fraksi-fraksi yang lain supaya cara pola pikir kita itu kiranya dapat demikian.

KETUA RAPAT :

(10)

Pertama itu Gugatan, lalu Bagian Kedua, Pemeriksaan Sengketa di Tingkat Pengasilan Pertama. Lalu dibagi paragraf. Paragraf I sampai Pasal 91, Paragraf II yang sekarang masuk di dalam Bagian Kedua, Pemeriksaan Sengketa di Pengadilan Pertama. Saya hanya meluruskan saja.

Dengan demikian saya kira tidak ada masalah yang penting sekali kecuali apa yang dikemukakan oleh dua Fraksi.

Dari FKP dipersilakan.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Mengenai ayat (2) FKP di dalam DIM memang tidak mengusulkan sesuatu, sehingga menyetujui rum11san dalarn DIM. Narnun menaggapi usu) FPP menenai kata-kata "Ketua Pengadilan", maka FKP melihat bahwa di dalam Pasal 98 ini mengatur mengenai tata cara terhadap suatu permoh~nan yang diajukan oleh penggugat di dalam memeriksa sengketa untuk dapat dipercepat. Sehingga oleh karena itu menurut FKP bahwa adanya penegasan Ke1 ua Pengadilan di dalam rumusan Rancangan Undang-undang ini adalah sangat tepat sekali. Karena berbeda halnya dengan permohonan yang diajukan di dalam persidangan. Sehingga oleh karena itu FKP tetap berpendapat bahwa kata Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah diterima adalah lebih tepat apabila kita ubah dengan kata "Pengadilan".

Adapun mengenai waktu yang diusulkan oleh FPP memang bagi FK.P sesungguhnya waktu yang sesingkat-singkatnya adalah sangat ideal dan dapat disetujui. Namun demikian di dalarn hal ini FKP sependapat apabila mengenai waktu ini dapat diberikan sepenuhnya kepada Pemerintah untuk terlebih dahulu memberikan jawaban.

KETUA RAPAT :

Kalau dari FPDI tidak ada lagi, silakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : U sul FPP dalarn ayat (2) khusus mengenai waktu, jangka waktu 14 hari disarankan diubah mejadi 7 hari, Pemerintah berkeberatan oleh karena apa? Oleh karena· Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah suatu institusi yang baru di negara kita. Sehingga oleh karena itu maka sebaiknya kita hati-hati untuk tidak terburu-buru menentukan suatu jangka waktu yang nanti <li dalam pelaksanaannya mungkin malahan tidak dapat uitvoerbaar. Jadi memerlukan kearifan kita, oleh karena ini suatu institusi yang baru dan dalarn praktek nanti masih perlu kita lihat bagaimana perkembangannya, maka sikap hati-hati ini kita perlukan dan jangka waktu 14 hari ini yang dianggap sudah memadai.

Perlu diketahui bahwa sebelum sarnpai kepada Pemerintah acara cepat itu sendiri ada suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Hakim, yaitu Hakim mempelajari berkas-berkas yang masuk; dan di situ ada kegiatan-kegiatan

(11)

admin-istratif. Padahal kegiatan administratif ini memang terdapat rangkaian apakah itu nanti bisa diselesaikan. Jadi suatu kegiatan-kegiatan yanr melekat pada diri Ketua Pengadilan. Dan ini perlu kita perhatikan oleh karena tidak bisa terburu-buru, lebih-lebih ini sesuatu masalah yang baru di Indonesia ini mengenai gugatan/ sengketa Tata Usaha Negara.

Setelah segi adrninistratif itu dilihat maka meningkat juga persiapan-persiapan yang sudah mengarah. Dan persiapan yang mengarah ini apakah perlu nanti acara biasa atau acara cepat. lni membutuhkan waktu, dan jangka waktu 7 hari itu merupakan sesuatu hal yang sangat singkat. Dan Pemerintah khawatir apabila hal ini tidak tercapai akan bisa memberikan suatu dampak yang tidak baik. Terserah nanti apabila sudah berkembang dan Peradilan Tata Usaha Negara sudah mempunyai tradisi di negara kita, mungkin setelah 5 tahun dilihat 14 hari sudah tidak sesuai lagi itu tidak ada halangan untuk ditinjau kembali. Tetapi sementara itu kita masih mencari sesuatu hal yang dilihat dari segi pelaksanaannya tidak ada kekhawatiran, sehingga jangka waktu 14 hari ini yang benar-benar cukup memadai.

Yang kedua, adalah memang ini tugas khusus Ketua Pengadilan. Jadi mengeluarkan berchikking ini adalah tugas khusus Ketuanya bukan Pengadilan atau sembarang Hakim, tetapi dibebankan Ketua himself ini. Dan oleh karena saya lihat di dalam kolom DIM FPP pun juga tidak berubah Ketuanya, sama-sama Ketua, hanya yang berubah 14 harinya. Pemerintah mengharapkan dari FPP agar tetap Ketua saja setelah mendengar penjelasan dari Pemerintah.

KETUA RAPAT :

Mempersilakan sekali lagi dari FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

FPP sepatutnya menyampaikan ucapan terima kasih kepda pihak Pemerintah, sehingga kalau demikian halnya FPP tidak keberatan dan usul FPP kami cabut kembali.

KETUA RAPAT :

Juga mengucapkan terima kasih, dan dengan demikian ayat (2) ini diterima dengan bulan.

(RAPAT SETUJU) Ayat (3), silakan FKP.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Di dalam ayat (3) dari Pasal 98 FKP berpendapat bahwa istilah "tidak dapat dimohon banding" untuk penyeragaman istilah. apakah tidak sebaiknya kalau dipergunakan istilah "tidak dapat digunakan upaya hukum". Hal ini dikaitkan dengan ketentuan dari pada Pasal 62 ayat (3) yang telah disetujui disamping Pasal 63 ayat (4) dan PasaJ 114 ayat (2). Dengan demikian meskipun usulan FKPadalah usulan

(12)

redaksional, namun apabila kita semua sepakat · untuk adanya penyempumaan ini malca tidak perlu dimasukkan di dalam Tim Perumus.

KETUA RAPAT :

.\-1emang artinya bisa luas, jadi terlebih dahulu dipersilakan Pemerintah sebelum Fraksi-fraksi menyambutnya, karena apa yang diajukan FKP ini bisa mempunyai arti yang lain.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Pemerintah berpendapat bahwa istilah "tidak dapat ctimohonkan banding" itu sudah merupakan praktek yang baku di peradilan. Apabtla diubah dengan "tidak dapat digunakan upaya hukum" konsekwensinya luas, karena upaya hukum itu luas, bisa sampai kasasi. Jadi ini hanya dibatas tidak ada kasasi, banding saja tidak jadi tidak dapat dimohonkan banding itu sudah tegas. Apabila diubah kalimamya itu nanti bisa menimbulkan tafsiran macam-macam, kecuali kalau tetap ditambahkan "tidak dapat digunakan upaya hukum banding" itu bisa. Jadi kata "banding" tidak bisa dihilangkan. Tetapi tambahan atau sisipan kalimat "upaya hukum" itu bisa dipertimbangkan.

KETUA RAPAT : Mempersilakan FKP.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H. ):

Setelah mendengar penjelasan dari Pemerintah, maka FKP pertama-tama mengucapkan terima kasih dan FKP dapat menerima apabila memang kita sependapat untuk penyempumaan redaksional "dengan upaya hukum banding". Jadi ini lebih dekat dengan penggunaan istilah-istilah terhadap pasal yang lalu yang pada hakekatnya tidak dapat digunakan upaya hukum lain. Dan dengan adanya penegasan banding FKP dapat menerima usul Pemerintah.

KETUA RAPAT :

Jadi mengusulkan kalimat : "Penetapan tersebut pada ayat (2) tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding".

Dekemalikan kepada Pemerintah apakah sudah cocok.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Pemerintah justru yang mempergunakan kata itu disetujui oleh FKP. jadi tidak ada masalah.

FADRI (DRS. F. HAREFA, S.H.) : INTERUPSI

Mengingatkan supaya hal ini dikaitkan dengan undang-undang Mahkamah Agung, memang di sini penetapan, dan kalau disini sudah menyangkut soal larang banding. Kalau tidak salah dalam Undang-undang Mahkamah Agung dahulu ada suatu penjelasan kita berikan bahwa yang dilarang banding tidak berarti dilarang

(13)

untuk kasasi, kira-kira apakah itu ada kaitannya di sini. Karena nanti kita bisa membaca dua undang-undang, karena Undang-undang Makamah Agung mengatur mengenai kasasinya dan di salah satu pasal ada penjelasan bahwa yang dilarang banding tidak berarti dilarang untuk kasasi.

KETUA RAPAT :

Apakah FABRI keberatan kalau ditambahkan "upaya hukum banding". FABRI (M.S. SITUMORANG):

Mengenai "upaya hukum banding ini kalau memang disetujui oleh Pemerintah kita tidak keberatan hanya ada persoalan sedikit mengenai perkataan "upaya hukum" dengan "banding". Tekanannya sebenarnya "banding" saja, tetapi kalau dikaitkan "upaya hukum". Dan "upaya hukum" ini sebenarnya kemarin sudah kita bicarakan sesuatu hal yang memang sudah diputuskan dan untuk itu tidak dapat lagi dilaksanakan upaya hukum dan kemudian harus ada permohonan yang barn. Jadi ada konotasi konotasi tertentu mengenai ini, tetapi walaupun demikian kami serahkan kepada kita bersama untuk kita rnusyawarahkan. Hanya kami mengingatkan kepada keputusan-keputusan yang sudah ada sebelum ini kalau memang dikombinasikan banding itu dengan upaya hukum. Tetapi pada prinsipnya kalau Pemerintah sudah setuju dan Fraksi lain setuju karni dapat menyetutuinya.

KETUA RAPAT :

Mernang di dalam Pasal 62 ayat (3) "terhadap penetapan tersebut ayat ( 1) tidak digunakan upaya hukum". Sekarang ada lagi pengertian "upaya hukum band-ing". Begitu juga di Pasal 63 ayat (4) hanya "upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru". misalnya. Jadi kalau sekarang mau diajukan istilah tembahan maka Pimpinan mengembalikannya kepada Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Menanggapi tanggapan FABRI, "tidak dapat dimohonkan upaya hukum band-ing dan kasasi." ltu barangkali jelas, jadi dua-duanya. Tetapi kalau itu dipakai kita kembali kepada saran FKP "tidak dapat dimohonkan upaya hukum, "Jadi ini berkembang. Tadi Pemerintah mengatakan "tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding." FKP setuju, kemudian FABRI mengemukakan bahwa ini banding. jadi bagaimana dengan kasasi? Kalau untuk itu bisa dipakai kalimat "tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding Kasasi." Tetapi Kalau itu panjang, jadi kembali lagi saja kepada U sul FKP, yaitu "tidak dapat dimohonkan upaya hukum. Pemerintah dalam hal ini bisa, apabila memang untuk memperjelas setuju kembali hukum" lagi terhadap usul semula dari FKP, yaitu kalimat diganti dengan "tidak dapat dimohonkan upaya hukum''. Dengan demikian meliputi baik banding maupun kasasi.

KETUA RAPAT : Silakan FABRI.

(14)

FADRI (IMAM SUKARSONO, S.H.) :

Menanyakan "upaya hokum." apakah dengan ini lalu juga semua upaya hukum termasuk upaya hokum istimewa, peninjauan kembali.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H. ) : Pokoknya seluruhnya.

KETUA RAPAT :

Jadi kalau "upaya hukum" berarti seluruh upaya apapun bentuknya, sama dengan upaya administrasi, Pasal 4 7. Jadi hampir sama, tetapi tidak usah dibawa ke sana, tetapi artinya supaya baku. Jadi di dalam ayat (3) ini untuk penetapan tentang pemeriksaan dengan acara cepat itu tidak dapat menggunakan atau dimohonkan upaya hokum.

Silakan FABRI.

FADRI (HARRY SUWONDO, S.H.) :

Jadi kalau kita menyebutkan upaya hukum adalah termasuk tiga-tiganya. Sekarang apakah yang dimaksud Pasal 89 ayat (3) ini apakah tidak boleh banding saja atau ketiga-tiganya. Istilah "hokum banding" itu tidak ada.

Kalau minta ya minta banding, minta kasasi atau minta peninjauan kembali. Sekarang kembali lagi kalau Pasal 98 ayat (3), maka dalam Rancangan Undang-undang ini sudah tepat "dimohon banding" tidak boleh banding karena di sini penetapan. Penetapan itu tidak bisa dikasasi dan tidak bisa juga ditinjau kembali, yang bisa ditinjau kembali dan dikasasi adalah putusan.

KETUA RAPAT:

Mempersialakan Pemerintah untuk menjawabnya.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Menanyakan kembali kepada FADRI yang dikemukakan terakhir.

· FADRI (HARRY SUWONOO, S.H.) : Pengertian upaya hukum itu ada tiga, yaitu :

1. banding 2. kasasi, dan

3. peninjauan kembali. KETUA RAPAT :

Upaya hokum masih ada yang lain selain tiga itu. FADRI (HARRY SUWONDO, S.H.) :

(15)

sudah jelas "banding", karena disebutkan penetapan. Penetapan itu tidak bisa dikasasi dan tidak bisa lainnya. Karena yang bisa dikasasi itu hanya putusan. Kalau di sini mau diubah "penetapan tersebut tidak dapat dimohon upaya hukum banding" ini jadi tidak betul, tetapi Rancangan Undang-undangan ini sudah betul "dimohon banding", "dimohon kasasi", "dimohoin peninjauan kembali" Jadi meskipun kita yang berbicara 4 orang, tetapi sama semuanya, hanya menjelaskannya lain-lain.

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Tidak betul itu Pak Harry, penetapan bisa juga kasasi. Jadi kalau tidak percaya silakan datang ke Mahkamah Agung.

KETUA RAPAT :

Jadi ini tambahan penjelasan. Dengan demikian say a kira sudah menjadi jelas, apakah boleh diterima ayat (3) "penetapan tersebut pada ayat (2) tidak dapat dimohonkan upaya hukum".

(Wakil Ketua, Damciwar, S.H. : Tidak dapat digunakan jangan dimohonkan) " ... tidak dapat digunakan upaya hukum."

Silakan dari FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Saya kira kalau membuka perdebatan mungkin agak panjang. oleh karena kami usulkan agar dapat mempercepat proses pembicaraan pembahasan undang-undang ini kami ingin kembalikan saja kepada teks Rancangan Undang-undarig ini.

KETUA RAPAT :

Jadi apakah FKP masih ingin menyampaihn. FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Untuk dapat menampung aspirasi dari para Fraksi, maka FKP mengu~ulkan

agar untuk sementara khusus mengenai ayat (3) ini dapat dimasukkan dalam.Panitia Kerja.

KETUA RAPAT :

Begitu perkembangannya akibat perrnintaan Saudara-saudara sendiri. Silakan dari Pemerintah barangkali masih ada.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Kalau masuk Panja ini aneh juga, karena usu! dari FKP semula adalah redaksionil saja sesungguhnya dan itu sudah diakomodir o1eh Pemerintah.

(16)

Pemenntah sekarang mengokomodir FKP, sekarang FKP mengusulkan Panja. Kalau Panja maka ayat (3) ini menjadi masalah.

Kalau menjadi masalah lalu apa yang diperrnasalahkan di sini? Padahal sesungguhnya usul dari FKP tadi .sudah kita akomodir yaitu dengan bunyi kalimat: "Penetapan tersebut pada ayat (~) tidak dapat digunakan upaya hukum."

· Jadi kalau di-Panja-kan ini apakah tidak berlebih-lebihan karena masalahnya sudah terse lesaikan.

KETUA RAPAT :

Jadi sebenarnya kalau saudara-saudara bisa menerima, usul Pemerintah ini konsisten jalan berpikir kita, karena Pasal 62 juga bunyinya begitu. Jadi memang ini bukan usul

FKP

saja, tetapi usul Saudara-saudara semua, karena itu juga sudah disetujui di Pasal 62 sebelumnya.

Silakan FABRI.

FABRI (IMAM SUKARSONO, S.H.) :

Ini maksudnya sama dengan Pemerintah tadi yaitu ''Penetapan tersebut pada ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum." Pemerintah tadi bukan "dimohonkan" tetapi dengan kata "digunakan", dan FABRI usul di depan sekali ditambah kata "terhadap"

KETUA RAPAT :

Pak Imam memang pandai mengingat-ingat pasal, Pasal 63 ayat (3) begitu bunyinya "terhadap penetapan tersebut ayat (2) tidak dapat digunakan upaya hukum".

Silakan Saudara Menteri.

(Menteri Kehakiman setuju) Juga dari FPP setuju.

(RAPAT SETUJU)

Kemudian Pasal 99, ada usu) dari FPDI. Apakah masih mau diulangi usulnya? FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

Memang kami menyadari bahwa prinsip acara cepat telah kita terima bersama dan biasanya acara cepat itu menggunakan hakim tunggal. Itu prinsip dan sudah berlaku di peradilan umum. Namun di sini FPDI mengusulkan, karena Peradilan Tata Usaha Negara ini juga sebagaimana Pemerintah menegaskan merupakan institusi baru yang hakim-hakimnyapun baru. Oleh karenanya di sini kami usulkan. sekalipun acara itu cepat hakirnnya tidak tunggal, tetapi tetap Majelis. Jadi di sini bedanya dengan Rancangan Undang-undang. Masalahnya itu di samping kecepatan itu juga ketepatan, karena ini merupakan institusi baru. Kalau nanti belakangan mau diubah ya diubah, sekarang ini baru pertama kalinya. Ini kalau kita sependapat

(17)

KETUA RAPAT :

Jadi maksudnya supaya kalimat di dalam ayat ( 1) ini dimasukkan kemungkinan dari pada 3 orang Hakim itu, Majelis.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

Intinya demikian, di mana mungkin ada penjelasan atau bagaimana boleh, mana yang heavynya, itu Majelis atau dimungkinkan kalau betul-betul perkaranya dipercepat tetapi bobot perkara itu mungkin agak berat, ya dimungkinkan adanya Majelis, mana itu apakah yang dimasukkan penjelasan menyangkut Hakim tunggal. lniJah masalah yang kami persoalkan.

KETUA RAPAT :

Usulnya baik sekali, nanti kami silakan Pemerintah, mungkin bisa ditambah "acara cepat dapat dilakukannya ... " Ini cuma dari Pimpinan saja.

SiJakan dari FPP yang hampir sama kelihatannya. FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Memang usulnya hampir sama dengan FPDI, dan karena ini bahasa pasal dalam undang-undang, jadi saya kira kita supaya singkat, cepat dan padat, sehingga di sini kami usulkan konkritnya Pasal 99 ayat ( 1) : "Pemeriksaan dengan acara cepat dalam hat tidak memungkinkan dibentuk Majelis Hakim, maka dilakukan dengan Hakim tunggal."

Jadi intinya sama tetapi kami memadatkan saja bahasanya.

KETUA RAPAT :

FABRI saya kira menunggu dari Pemerintah FKP begitu juga. SiJakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Ini kita harus kembalikan pada asas dalam Pasal 98 ayat (1) bahwa ada kepentingan penggugat yang cukup mendesak dan kepentingan penggugat yang cukup mendesak itu disimpulkan dari alasan-alasan permohonan.

Nah berdasarkan itulah, maka ditempuh acara pemeriksaan cepat. Jadi pemeiksaan dengan acara cepat. Apabila kemudian pemeriksaan ini dengan 3 orang hakim, maka apapun juga lalu mempengaruhi, oleh karena tidak bisa cepat, 3 orang hakim ini masing-masing harus mempeJajari berkasnya. Jadi istilahnya ada round Iising, satu hakim, yang ke dua, dan yang ketiga. Dan apabila ini dilakukan. maka JaJu menghilangkan ciri dan karakter yang khas dari pemeriksaan dengan acara cepat.

Ini pennasalahnnya. Jadi 3 orang hakim itu adalah ciri khas pemeriksaan biasa. Apabila nanti memang serius, ya jangan pakai pemeriksaan dengan acara cepat, ya pemeriksaan dengan acara biasa.

(18)

S1stim yang ditempuh di dalam peradilan kita kini adalah majelis 3 orang hakim, cepat hakim tunggal.

Dan kalau hakim tunggal diubah menjadi 3 orang hakim hilang sifatnya acara cepat itu. Ini permasalahnnya.

Jadi demikian sesungguhnya dan apabila tidak keberatan ya tentu ini kita terima saja.

KETUA RAPAT :

Kalau di negeri lain itu hakim bisa putuskan di rumahnya, itu tidak main-main saudara boleh periksa. Jadi kalau demikian tidak ada lagi fari FPDI dan FPP, kalau masih ada silakan.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Sebenarnya FPP sependapat dengan penjelasan Pemerintah, di sini disebutkan sekali lagi dalam hal tidak memungkinkan dibentuk Majelis Hakim, jadi saya kira alasannya bisa saja, justru ini membantu hakim apabila seperti yang dikemukakan oleh FPDI, masalahnya misalnya cukup berat. Sehingga ini cukup membantu. Tetapi pada pokoknya disebutkan di sini setelah koma maka dilakukan dengan hakim tunggal, apabila itu tidak memungkinkan, saya kira kalimatnya ini sudah memberikan loyalitas yang kuat kepada hakim tunggal, tetapi apabila hal yang luar biasa, katakanlah masalahnya cukup berat saya kira ini justeru membantu Ketua Pengadilan.

KETUA RAPAT :

Itu interpretasi FPP, silakan FPDI. FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

Dari POI tidak ada interpretasi Iain, kami menyadari dan mengetahui persis bahwa ini acara cepat.

Hanya dalam hal karena tadi saya kemukakan. Ini adal:th institusi baru, mungkin di dalam hal memutuskan ini akan lebih ba.ik kalau majel-s, ini lebih tepat. Namun sudah dikatakan oleh Pak Menteri ini akan menghilangkan ciri daripada acara cepatnya.

Bagi FPDI tidak ada masalah mengenai ini, katakanlah ini Hakim tunggal, ya tidak ada masalah, namun sesungguhnya yang kami kehendaki itu apakah dalam hal-hal karena itu tadi apakah tidak diperlukan misalnya dalam penjelasan, misalnya heavy sekarang hakim tunggal, kemudian dalam hal-hal tertentu bisa menggunakan majelis. Ini malah dibalik, sebab masalahnya itu, ini masalah baru semua, yang kita katakan ini ringan temyata tidak ringan. Kita tidak tahu bobot perkara itu sebab belum pemah ada.

Ini masalahnya. Itu yang dimasalahkan oleh FPDI, demikian, namun kami mengerti inti pokok bahwa acara cepat itu mestinya hakim tunggal itu mengerti,

(19)

bukan tidak mengerti.

Namun di dalam hal misalnya sudah diputuskan acara cepat hakim tunggal, nyatanya ini malah tidak tepat keputusannya.

Inginnya cepat malah tidak tepat. Inilah Saudara Ketua.

KETUA RAPAT :

Ini memang bisa saja, tetapi saya persilakan Pemerintah, bisa juga di Pasalnya, kemudian bisa juga dalam penjelasannya, seperti apa yang diusulkan oleh FPP, dari FABRI masih ada, siJakan.

FABRI (IMAM SUKARSONO, S.H.) :

FABRI berpendapat bahwa sebenarnya kunci, kunci itu terdapat di dalam Pasal 98 ayat (1). Jadi kalau di sana kita sudah melihat dan mempertimbangkan bahwa ini adalah berat, maka itu acara cepat. Dan acara cepat itu hakim tunggal. Tetapi kalau kita memang agak ragu, ini saya katakan tidak berat kok ternyata berat, ya di sana sudah menyatakan nanti jangan tunggal ini berat, jadi di sana sudah ditentukan. Mana kala hakim merasa bahwa ragu-ragu karena masalah ini masih baru, jangan-jangan nanti saya katakan ini acara cepat yang hakimnya sebaiknya tunggal, jadi kalau belum mantap itu jangan diterima, untuk acara cepat.

Di sana kuncinya di Pasal 98, sekali diterima acara cepat itu berarti si hakim itu sudah mantap, ini tidak mungkin berkembang, kira-kira demikian, tetapi kalau ragu sebaiknya jangan acara cepat. Kira-kira demikian pendapat FABRI.

KETUA RAPAT :

Kami persilakan kepada FKP dan ini sudah dua ronde, tetapi secara konsensus cuma satu.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Karena Pasal 99 ini memang mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Pasal 98 dan bagi FKP sendiri tetap menyetujui terhadap isi daripada rumusan daripada Pasal 99 ini. Namun kalau toh memang diharapkan adanya pemikiran-pemikian lain, mungkin dapat saja misalnya kita berikan penambahan kata dapat, setelah acara cepat.

Jadi di dalam Pasal 99 ayat (1) pemeriksaan dengan acara cepat dapat dilakukan dengan hakim tunggal. Ini alternatif yang pertama.

Yang kedua, arti daripada dapat ini mungkin dapat dijelaskan di dalam penjelasan daripada penjelasan Pasal 99 ayat (1) ini. Namun semuanya terserah pada kesepakatan kita bersama.

(20)

KETUA RAPAT:

lni positip, silakan Pak menteri.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISM \IL SALEH. S.H.} : Pemeriksaan dengan acara cepat ini sesungguhnya didasarkan atas permohonan siapa? Jawabannya adalah permohonan penggugat. Ini tercantum pada ayat (I). Jadi penggugat yang mohon supaya diperiksa dengan acara cepat. Jadi terhadap permohonan itu Hakim mempelajari dan hakim bisa menolak. bisa mengabulkan. Itu dijawab ayat (2).

Jadi apabila ada keragu-raguan dari hakim. maka dia menolak sehingga acaranya bukan acara cepat tetapi acara biasa. Ini kotruksi ini kita ikuti, acaranya acara biasa kalau ada keragu-raguan dari hakim.

Oleh karena penggugat yang meminta dan sudah memperhitungkan bahwa tentu dengan permintaannya itu dikabulkan. maka berlakulah Pasal 99 yaitu hakim tunggal.

Jadi dilihat dari segi ini. maka tidak ada suatu hal yang perlu dikawatirkan oleh karena memang dasarnya permohonan dari penggugat dan permohonannya itu dipelajari oleh hakim, oleh Ketua Pengadilan. Dan Ketua Pengadilan itu bisa

me~olak dan bisa mengabulkan. Kalau menolak maka pemeriksaannya acara biasa, majelis hakim.

Kalau mengabulkan, maka hakim tunggal. Jadi hakim tunggal ini adalah konsekwensi dan konstruksi yang telah ditempuh dalam Pasal 98.

Sehingga apabila konstruksi telah ditempuh, maka dtlunakkan kembali dalam Pasal 99 hilang konstruksi hukum ini. Apalagi dengan penambahan lagi kata dapat. Jadi yang diatas itu sudah konsisten di Pasal 99 buyar lagi karena dengan kata dapat, lebih-lebih usul untuk 3 orang hakim itu.

Jadi kalau 3 orang hakim ya tidak usah di acara tetap. biar saja di acara biasa, walaupun ada permohonan penggugat.

Jadi kita hams kembali ke Pasal 98 ayat ( 1) bahwa itu dasarnya adalah permohonan dari si penggugat. Jadi begitu diterima dari sipenggugat konsekwensinya adalah hakim tunggal. Kalau itu dirobah dengan kata dapat, maka itu menghilangkan seluruh konstruksi dan sifat dari acara cepat hilang sama sekali.

KETUA RAPAT :

Ini acara cepat kortgeding bagaimana dari FPP setelah mempunyai keyakinannya?

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.} : Dapat menerima penjelasan Pemerintah.

(21)

KETUA RAPAT :

Dapat menerima, karena Pemerintah menjelaskan dengan yakin. Selanjutnya FPDI? Dapat menerima juga.

Dengan demikian ayat ini diterirna.

(Rapat setuju menerima Pasal 99 ayat ( 1) ) Ayat (2) dari Pasal 99, kami persilakan dari FKP. FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H. ) :

Di dalam ayat (2) FKP ingin mendapat penjelasan terutama dikaitkan dengan adanya permohonan yang diterima dikaitkan dengan Pasal 98 ayat (2), namun demikian setelah memperhatikan penjelasan dari pihak Pemerintah terutama dalam kaitan Pasal 98 dan Pasal 99 ayat (1) ini, maka FKP sudah jelas, dengan demikian FKP di dalam kesempatan ini tidak mengajukan pertanyaan sebagaimana yang

tertuang di dalam DIM. ·

KETUA RAPAT :

Kalau demikian bolehkah saya nyatakan bahwa ayat (2) ini diterima dengan bu lat.

(Setuju diterima dengan bulat ayat (2) ). Ayat (3). Silakan FKP.

FKP (MULJADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Di dalam ayat (3) yang mengatur mengenai tenggang waktu unti.lk jawaban maupun pembuktian bagi kedua belak pihak.

Maka dimana ditentukan bahwa tidak boleh melebihi jangka waktu 14 hari, dari FKP ingin mengusulkan agar tenggang waktu 14 hari ini apakah tidak sebaiknya untuk disesuaikan deng~ keadaan daerah daripada penggugat itu.

Selain daripada itu di dalam hal ini FKP juga ingin mendapat penjelasan apakah di dalam pemeriksaan acara cepat ini tidak juga dapat dititik beratkan pemeriksaan supayajuga dapat dilakukan secara lisan, aga tujuan daripada maksud pemeriksaan acara cepat ini dapat mencapai sasaran.

KETUA RAPAT :

Bagaimana kalau usul ini diserahkan kepada Pemerintah <lulu untuk menjelaskan, silakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Ayat (3) ini tidak Iepas dari kaitan paragraf mengenai pemeriksaan acara cepat,sehingga apabila disesuaikan dengan daerah penggugat, maka lalu hilang juga. Ini lucu, lalu cepat kok minta lambat ini kalau disesuaikan dengan keadaan daerah penggugat, nanti akibatnya malah menjadi lambat.

(22)

Di samping itu perlu kita perhatikan bahwa kita sudah sepakat bahwa tiap-tiap ibu kota kabupaten dan kotamadya, itu dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara. Nab kalau di tiap-tiap kabupaten ibukota itu sudah dibentuk Pengadilan Tata Usaha Negara mungkin usul dari FKP ini oleh karena dikaitkan pada pasal yang tadinya diajukan pemerintah yaitu tempat kedudukan peradilan Tata U saha Negara itu di ibukota propinsi tetapi sekarang setelah robah di ibukota Kotamadya dan kabupaten, maka rasa-rasanya usul dari FKP ini, agar jangka waktu 14 hari ini hendaknya di sesuaikan dengan keadaan daerah penggugat tentunya sudah tidak relevan lagi, oleh karena tempat kedudukan Peradilan Tata Usaha Negara ini sudah kita rubah. Kedua, mengenai titik berat pemeriksaan supaya dilakukan secara lisan, memang asasnya pemeriksaan itu secara lisan di muka pengadilan hingga kita perlu ada kekhawatiran mengenai masalah ini.

KETUA RAPAT :

Jadi dengan demikian, mungkin ini sudah bisa dite~ma? Silakan FKP. FKP (MUWADI DJAJANEGARA, S.H.) :

Pertama kami ucapkan terima kasih atasjawabannya, karena di dalam ayat (3) ini dalam DIM FKP rnemang sekedar hanya ingin mend1patkan suatu penjelasan dan memang dengan apa yang di sampaikan oleh Pemerintah memang benar di dalam kaitan juga telah disepakati mengenai rumusan daripada Pasal 6, yang juga rnenyangkut mengenai kedudukan.

Oleh karena itu FKP dapat menerima rumusannya ini dan terima kasih atas jawaban oleh Pemerintah.

KETUA RAPAT :

Jadi kalau FKP sudah menerima, Fraksi-fraksi lain barangkali ada usulan? Silakan FABRI.

FADRI (IMAM SUKARSONO, S.H.) :

Menanyakan mengenai kalimat tenggang-tenggang.

KETUA RAPAT :

Kami persilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Ini memang aneh dari segi tata-bahasa, tetapi memang tenggang-tenggang waktu untuk jawaban yaitu suatu tenggang waktu, maupnn tenggang waktu untuk pembuktian. Jadi ada 2 macam, yaitu, tenggang-tenggar.g waktu untuk jawaban, maupun pembuktian.

(23)

KETUA RAPAT :

Jad.i Saudara-saudara di-Timus-kan saja karena ada tenggang-tenggang ini. Saudara-saudara setuju?

(RAPAT SETUJU)

Dengan demikian kami memasuki Pasal I 00. Bagian ke III ini ada usul dan FKP, kami persilakan FKP.

FKP (SOEBOEH REKSOJOEDO, S.H.) :

Di dalam DIM .FKP untuk pasal ini agak berbeda dengan yang sudah-sudah. di dalam satu pasal langsung dikaitkan sekaligus yaitu di sini kalau kita baca harafiah Pasal 100 sampai 105. Karena.ini memang dimaksud oleh FKP merupakan suatu usulan terhadap suatu sistim daripada berikut :

1. Usul perubahan sebaiknya digunakan ajaran pembuktian bebas.

2. Perlu ditegaskan bahwa yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. 3. Karena pembuktian adalah kunci atau puncak pemeriksaan, maka sebaiknya

diberikan perincian.

Kalau kita hanya memperhatikan harafiah dari pada DIM FKP, tentu saja ini para Anggota Pansus akan tidak mendapat kejelasan. Namun sebetulnya hakekat dari DIM FKP ini diarahkan kepada bahwa FKP menghendaki di dalam pembuktian ini adanya suatu sistim pembuktian yang lain daripada sistim pembuktian yang lazim pada peradilan umum.

Ini didasarkan kepada Pertama.

Bahwa FKP telah dapat menyerap aspirasi yang ada di dalam masyarakat khususnya pendapat danpada teoritis yang ahli dalam bidang Hukum Tata Negara dan di dalam Hukum Tata Pemerintahan, yaitu para ahli yang beigerak dibidang perguruan tinggi.

Dan FKP sesudah memperhatikan rumusan di dalam pembuktian ini berpendapat bahwa rumusan di dalam Rancangan Undang-undang ini tidak mempunyai ciri khusus atau cara lain hampir bersamaan dengan rumusan mengenai pembuktian di Peradilan Umum.

Untuk inilah FKP mengusulkan marilah kita membahas di dalam pembuktian dalam Rancangan Undang-undang ini mempunyai ciri-ciri yang khusus yang betul-betul berbeda dengan pembuktian daripada Peradilan Umum.

Sehingga di sini ke-5 pasal kita kaitkan, meskipun demikian untuk saat sekarang FKP baru bisa memberikan suatu sumbangan pemikiran untuk memberikan oiri yang khusus di dalam rumusan ini terhadap Pasal l 00 ayat (I) khususnya yaitu di bidang alat bukti yang sah.

(24)

Kalau kita baca rumusan Rancangan Undang-undang di sini kita temukan hanya mengenai 4 hal yang saya kira rumusan ini pun lazim ditemukan pada alat bukti baik yang terdapat pada Peradilan pidana maupun perdata. Untuk ini FKP mengusulkan apakah tidak perlu sebaiknya memperhatikan pendapat daripada Bapak Dr. Wirjonoprojodikoro, yairu di dalam suatu Rancangan Undang-undang yang pernah disusun mengenai Hukum Acara Tata Pemerintahan, salah satu sebagai alat bukti itu disebutkan oleh beliau ialah pengalaman hakim.

--Sehingga apabila pengalaman hakim dimasukkan salah satu alat bukti ini akan memberikan suatu ciri khusus daripada sistim pembuktian dLdalam Peradilan Tata Usaha Negara yang kita buat ini, yang pertama.

Kedua, sebagaimana ditegaskan oleh DIM FKP bahwa FKP menghendaki -adanya sistim pembuk.tian yang bebas dihubungkan dengu1 bahwa kebenaran yang dicari oleh Hakim adalah kebenaran materiil.

Meskipun si sini FKP dapat melihat di dalam ayat (2) daripada Pasal I, di sana ditentuk.an suatu ketentuan yang di dalam teori lazim disebut sebagai negative wetterlijk yang FKP sebetulnya dapat menerima sepenuhnya. Namun demikian untuk memberikan bobot terhadap ketentuan ini FKP mengusulkan agar ayat (2) ini bukan dijadikan ayat tetapi dijadikan pasal tersendiri, sehingga mempunyai bobot yang akan lebih mantap bahwa di sini posisi hakim di dalam melakuk.an pengadilan ini betul-betul sangat dominan dimana hakim dengan segala alat bukti dan segala keyakinannya baru akan melakukan keputusannya.

Inilah Bapak-bapak yang ingin dikemukakan oleh FKP, adapun mengenai Pasal 101 sampai dengan 105 FKP tidak ataupun belum memberikan bentuk-bentuk yang khusus, namun FKP akan sangat berterima kasih apabila dalam rapat ini di dalam Pasal 101 sampai 105 akan juga bisa ditentukan sriatu ketentuan-ketentuan lain yang juga mempunyai . corak khusus terhadap sistim pembuktian menurut undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara ini.

· Derriikian terima kasih atas penjelasan yang akan diberikan rekan-rekan Fraksi maupun Pemerintall.

KETUA RAPAT :

Jadi ini sekaligus disampaikan pikiran tentang Bagiar. ke III yaitu pembuktian, tetapi acara kerja kita bisa saja secara umum, lalu kemudian kita masuki masing-masing pasal dan ayat. Sekarang kita masuki Pasal l 00 ayat (1) dengan latar belakang yang dikemukakan oleh FKP, bilamana Saudara-saudara ingin memajukan pendapat dan saya lihat dari FABRI silakan.

FADRI (SUTJIPTO, S.H.) :

Dalam DIM FABRI mengenai Pasal 100 ayat (1) ini berpendapat bahwa kurang tepat yaitu apa yang terdapat dalam ayat (1) butir (d) di situ disebutkan bahwa kata pengakuan diubah dengan keterangan.

(25)

Pengakuan di sini, seolah-olah mengandung pengertian adanya dahvaan atau tuduhan, dengan demikian pendapat FABRI adalah kurang tepat, apabila m1 disetujui oleh Pemerintah sebagai masalah redaksionil saja, jadi tidak usah di-1imus-kan dan cukup disetujui secara bulat.

KETUA RAPAT :

Saya persilakan PPP yang sama atau hampir sama dengan FABRI.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Memang benar hampir sama dengan FABRI sebenarnya kami dalam Pasal 100 ayat (1) butir (d) ya dua-duanya saja dicantumkan pengakuan/keterangan para pihak, tetapi itu terserah saja tidak prinsip ini.

KETUA RAPAT :

Dari FPDI kami persilakan dan kalau tidak ada kami persilakan Pemerintah. PEMERINTAH (MENTERI KEBAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Mengenai latar belakang yang dikemukakan oleh FKP Pemerintah dapat memahami, yaitu mernang yang dicari di dalam Tata Usaha Negara nanti itu memang kebenaran materiil juga, itu sudah pasti, sehingga dalam hal ini memang bisa kita bahas bersama.

Jadi di samping kebenaran materiil juga Pemerintah telah menyatakan di dalam keterangan Pemerintah diwaktu mengajukan Rancangan Undang-undang ini ke Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Hakim Tata Usaha Negara ini lebih aktif dibandingkan Hakim-hakim di Peradilan Umum.

Sifat aktif ini mungkin bisa kita dekati dari teori-teori yang tadi dikemukan yaitu kita kenal teori dan dalam hal ini yang mungkin bisa kita terapkan adalah apa yang disebut vrijbewijaleer. Tetapi perlu juga kita sadari bahwa walaupun ada vrijbewijaleer, tetapi tidak dalam arti vrij seluas-luasnya dan sebebas-bebasnya. Karena itu lebih tepat saya mempeigunakan vrijheid in degebondenheid, tetapi gebondenheid in de vrijheid.

Hakim ada sikap bebas, jadi kita tidak mengikuti teori secara menyeluruh vrijewijsleer secara sebebas-bebasnya dan seluas-luasnya, tetapi ada ikatan-ikatan tertentu, ada patokan-patokan tertentu.

Nab ikatan dan patokan ini, itu terdapat pada alat-alat bukti ini.Alat-alat bukti ini sebagai vrijewijaleer sebagai ikatannya, tetapi dia bebas, sikap bebas atau asas vrijbewijaler bisa kita terapkan di dalam Peradilan Tata Usaha Negara ini. tetapi dia masih terikat pada alat-alat bukti yang ditetapkan di dalam undang-undang ini. Oleh karena ini masalah yang sangat pen ting, mak•i Pemerintah setu ju agar diberikan sesuatu penjelasan yang sebaik-baiknya di daJam ayat ( 1) ini mengenai prinsip asas.

(26)

Sarana FKP mengenai pengalaman hakim supaya dijadikan alat bukti, ini. perlu dikaji lebih lanjut.

Saran FABRI, kata "pengakuan" diubah dengan "keterangan" dijelaskan bahwa sifat yang khas ada pada sengketa Tata Usaha Negara itupun juga sama dengan sifat yang khas yang melekat pada perdata. Oleh karenanya, maka Pemerintah mempergunakan istilah "pengakuan". Istilah ini nanti ditemukan lagi di dalam mengajukan Rancangan Undang-undang Hukum Acara Perdata.

Oleh karena itu Pemerintah tidak sependapat dengan FABRI untuk merubah "pengakuan" dengan "keterangan".

KETUA RAPAT :

Dengan demikian Pasal 100 ayat (1) di-Panja-kan yaitu batang tubuh dan penjelasan.

(RAPAT SETUJU) Ayat (2) dipersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Tadi FKP menyerahkan ayat (2) dijadikan Pasal tersendiri.

KETUA RAPAT :

Kalan demikian ayat (2) di-Panja-kan. (RAPAT SETUJU)

Ayat (3), diterima bulat dengan ketentuan tempatnya disesuaikan dengan basil Panja ayat (1) dan (2).

(RAPAT SETUJU) Pasal 101, dipersilakan FABRI.

FADRI (DRS. F. HAREFA, S.H.) :

Pasal 101 sebenarnya redaksional, jadi Timus. KETUA RAPAT:

Mempersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN ISMAIL SALEH, S.H.) : Pemerintah setuju dengan perubahan usulan FABRI, yaitu surat sebagai alat bukti terdiri atas 3 jenis, dan setuju untuk di-Timus.

KETUA RAPAT :

Ayat (a) Pasal 101 itu Tim Perumus.

(27)

Ayat (b ), karena tidak ada usul apa-apa ma ka diterima dengan bu lat. Ayat (c) ada usul dari FPP

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Ada salah cetak mestinya "bukan", tetapi tertulis "buk.at", Ditambahkan bunyi lengkapnya;

"Surat-surat lainnya yang bukan akta dan dapat dipertanggungjawabkan". Jadi ditambah "dan dapat dipertanggungjawabkan".

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTER! KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Kalau ditambah "dan dapat dipertanggungjawabkan". Nanti masih ada suatu pertanyaan, dapat dipertanggungjawabkan dari segi mana? ?adahal ini sesungguhnya adalah menjelaskan surat sebagai alat bukti itu dibagi atas 3 jenis. Dan alat bukti sudah ditemukan di Pasal 100, sehingga ini terkait juga dengan pasal sebelumnya. Oleh karena itu tambahan kalimat ini dianggap tidak perlu.

KETUA RAPAT : Mempersilakan FPP.

(FPP : Tidak perlu) Dengan demikian dinyatakan diterima dengan bulat. Pasal 102, ada penjelasan dari FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, S.H.) :

Diusulkan Pasal 102 ayat (1) : Keterangan ahli adalah pendapat orang yang di berikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang dia ketahui menurut pengalaman dan pengakuan. Jadi ditambah dengan "hal"

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah.

(Pemerintah : Setuju) Pasal 102 ayat (2), dipersilakan FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A. S.H.):

Pasal 102 ayat (2) : Seorang yang tidak dapat menjadi saksi ber&tsarkan Pa~al 88 undang-undang ini tidak dapat memberikan keterangan ahli.

(28)

KETUA RAPAT:

Mernpersilakan Pemerintah.

PEl\lERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Pemerintah mengusulkan agar saran FPP di-Panja-kan, karena daJam hubungannya dengan yang lain-lain.

KETUA RAPAT :

Semua fraksi setuju Panja?

(RAPAT SETUJU)

Pasal I03 ayat (1) semuanya setuju, jadi dinyatakan diterima dengan bulat, Pasal 103 ayat (2) dipersilakan FABRI.

FABRI (SOETJIPfO, S.H.) :

Mengusulkan kata "laporan" diubah menjadi "keterangan". KETUA RAPAT :

Mempersilakan FPP.

FPP (H.M. DJOHAN BURHANUDDIN A, SH) :

Pasal 103 ayat (2) : Seorang ahli dalam persidangan hams memberi laporan baik dengan surat maupun dengan lisan yang dikuatkan dengan surnpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengalaman dan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Jadi ada kata tambahan "pengalaman". KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Saran dari FABRI setuju diubah yaitu menjadi "keterangan". Saran dari FPP tambahan kata "pengalaman" ini tidak perlu. Oleh karena pengetahuan itu dapat kita peroleh dari belajar dari pengalaman.

Dengan kata "pengetahuan" sudah cukup luas, karena"pengetahuan" dapat kita peroleh dari belajar dari "Pengalaman".

KETUA RAPAT :

Penjelasan dari Pemerintah terhadap usul FPP akan dicatat di dalam notulen, jadi sebenarnya diterima.

Jadi ayat (2) diterima seluruhnya.

Pasal 104, ini tidak ada apa-apa, berarti bulat. Pasal 105, ada usul dari FABRI.

(29)

FADRI (SOETJIPTO, S.H.) :

Karena hal ini ada kaitannya dengan Pasal 100, jadi kita menunggu basil Panja mengenai Pasal 100 terse but yaitu mengenai Pengakuan.

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Pemerintah pada waktu membahas Pasal 100 itu sudah menyatakan bahwa "pengakuan" itu yang dipei:gunakan, dan bukan "keterangan", sesuai dengan kebiasaan di dalam acara perdata.

Yang dipanjakan di dalam ayat (1) itu bukan masalah "pengakuan", tetapi inasalah prinsip asas vrij bewijsleer sesuai dengan pendapat

FK.P.

KETUA RAPAT : Menanyakan FABRI.

FADRI (SOETJIPTO, S.H.) :

Keterangan Pemerintah dapat diterima. KETUA RAPAT :

Jadi Pasal 105 diterima dengan bulat.

Selanjutnya bagian keempat yaitu "Putusan Pengadilan". "Putusan Pengadilan" ini istilahnya tepat sekali, diterima oleh semuanya.

Pasal 106, dari FKP ada penyempumaan redaksioml. FKP (SOEBOEH.REKSOJOEDO, S.H.):

FKP hanya penyempumaan redaksional yaitu yang menyangkut isti)ah "hakim". Karena sudah dibicarakan di pasal terdahulu, maka dianggap ini sudah tidak per)u lagi.

KETUA RAPAT :

Jadi memang tidak perlu, karena sudah dimasukkan dalam Tim Perumus, Istilah "hakim" dimana ada istilah disitu Tim Perumus akan meneJitinya.

Maka diterima dengan bulat ayat ( 1).

Ayat (2), tidak ada yang dikemukakan, sehingga dapat diterima dengan bulat. Ayat (3), dipersilakan FPP.

FPP (DRS. YAHYA CHUMAIDI HASAN) : Hanya redaksional yang tadi dibacakan oleh Menteri.

(30)

KETUA RAPAT : Memperhatikan FABRI.

FABRI (IMAM SUKARSONO, S.H.) : Setuju!

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.): Setuju FPP !

KETUA RAPAT :

Setuju FPP berarti juga setuju FABRI, yaitu diterirr.a bulat. Pasal 107, dipersilakan FPDI.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

Ingin materi Pasal 110 ditempatkan ke Pasal 107. Sebab menurut FPDI ini bagian keempat adalah Putusan Pengadilan.

KETUA RAPAT : Mempersilakan FPP.

FPP (DRS. YAHYA CHUMAIDI HASAN) :

Mengusulkan tambah kalimat setelah kata "perkara". Bunyi lengkapnya sebagai berikut " "Pihak yang dikalahkan sengketa untuk seluruhnya atau sebagian dihukum membayar biaya perkara, kecuali pihak yang dimaksud Pasal 60 undang-undang ini"

KETUA RAPAT : Mempersilakan FABRI.

FABRI (SOETJIPI'O, S.H.) :

Mengenai Pasal 109 ayat ( 1) hanya mengenai reaaksional saja yaitu kata "sengketa" dihapus, karena berlebihan . .Kalau disetujui, bisa langsung ke Tim Perumus.

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Mengenai sistimatika, · nanti kita serahkan kepada ahli sistimatika. Tambahan kata "perkara" itu tidak perlu, karena Pasal 60 adalah cuma-cuma.

(31)

Setuju kata "sengketa" dihapu£ •. , .. KETUA RAPAT :

Kalau ada soal sistematika, maka tentu harus Panitia Kerja sehingga Pasal 107 setelah disempumakan dengan usul FABRI "sengketa" dihapus. Lalu kalau masih ada lagi dari FPP silakan.

FPP (DRS. YAHYA CHUAMIDI HASAN) :

Apabila tambahan kata·"perkara" sependapat tidak dimasukkan, dihimbau oleh FPP apa mungkin masuk dalatn penjelasan, karena pasal penjelasan juga cukup jelas atau dihapus sama sekali.

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Pihak yang dikalahkan itu ada kalanya juga Pemerintah. Kalau Pemerintah yang dikalahkan dan kalau ini dikecualikan Pasal 60 itu nanti tidak relevcin karena pengecualian itu bisa berlaku untuk Pemerintah dan dimasukkan dalam penjelasan juga tidak tepat. Yang kalah pun termasuk Pemerintah juga.

Jadi

pihak yang kalah untuk seluruh atau sebagian di hukum membayar biaya perkara. Jadi yang kalah Pemerintah, Pemerintah bayar biaya perkara juga. Jadi tidak ada pengecualian.

KETUA RAPAT : Mempersilakan FPP

FPP (DRS. YAHYA CHUMAIDI HASAN) :

Kita sependapat bahwa ada pengecualian bagi yang cuma-cuma itu tidak dikenakan biaya.

KETUA RAPAT :

Jadi memang yang dimaksud hanya Pasal 60, tetapi apakah perlu atau dianggap sudah diterima dalam notulen ini sebagai interpretasi historis nantinya.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH, S.H.) : Kalau cuma-cuma itu dari permulaan sampai habis ya cuma-cuma, jadi yang menanggung Pemerintah kalau cuma-cuma ini. Ini uniknya negara kita ini, coba Pemerintah digugat, Pemerintah menyediakan sendiri uangnya untuk menggugat dirinya sendiri, kurang baiknya apa pemerintah kita ini?.

KETUA RAPAT : Bagaimana FPP?

(32)

Dengan demikian diterima bahwa yang di-Panja-kan hanya sistimatika karena ada hubungan dengan Pasal 110. Seluruhnya diterirna bulat kalimatnya, dan kata "sengketa" sesuai usul FABRI dihapus ..

(RAPAT SETUJU) Ayat (2) ada usul dari FKP.

FKP (SOEBOEH REKSOJOEDO, S.H.) :

Juga terhadap Pasal 107 ayat (2), hanya mengusulkan perubahan redaksional, dimana dalam Rancangan Undang-undang itu disebutkan kata di tangguhkan "nya mestinya" ditangguhkan".

Dan istilah " ketetapan " diganti menjadi "keputusan" KETUA RAPAT :

Mempersilakan FPP.

FPP (DRS. YAHYA CHUMAIDI HASAN) :

FPP hanya semula baca Rancangan Undang-undang. Dalam Rancangan Undang-undang ini kita ditangguhkan itu "ditangguhkan", jadi dalam DIM sudah betul "ditangguhkan".

KETUA RAPAT :

Mempersilakan Pemerintah.

PEMERINTAH (MENTERI KEHAKIMAN/ISMAIL SALEH. S.H.): Mengenai "ditangguhnya" dirubah menjadi "ditangguhkan" dapat diterima. Mengenai "ketetapan" dirubah menjadi "keputusan" tidak dapat diterima. Oleh karena "ketetapan" itu justru merupakan bagian dari "Keputusan".

KETUA RAPAT : Menanyakan kepada FPP.

(FPP menerima)

Dengan demikian seluruh kalimat dapat kita terima dengan bunyi : "Dalam hat putusan yang bukan putusan akhir, ketetapan tentang biaya perkara ditangguhkan sampai dijatuhkan putusan akhir".

(RAPAT SETUJU)

Kita beralih ke Pasal 108. Pasal 108 ini ada usul dari FABRI. Dipersilakan. FABRI.

FABRI (SUTJIPTO, S.H.) :

Pasal 108 ini FABRI hanya menginginkan mendapat penjelasan yang lebih jauh tentang biaya perkara ini, tentunya dengan prinsip-prinsip dengan

(33)

semurah-murahnya. Dan kalau mengamati Pasal 108 ini yang terdiri dari 5 buti~ rnaka tiap-tiap butir itu ada biayanya. Jadi menurut Prof. Soehardjo singunen, tapi kalau menurut FABRI cukup awang-awangen saja.

FKP (SOEBOEH REKSOJOEDO, S.H.) :

FKP mengenai biaya perkara ini .memang menaruh perhatian, karena ini akan menyangkut masyarakat, dan dasar perhatian FKP didasarkan kepada asas yang terdapat di dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970 dimana disana dinyatakan : peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Maka untuk ini FKP masih mempertanyakan apakah ketentuan biaya-biaya yang tersebut di dalam Pasal 108 ini, sebagai misal apakah biaya Kepaniteraan perlu ada, kemudian juga biaya yang harus dibayar kepada Panitera atau pegawai Jain yang berhubungan dengan hal menjaJankan keputusan. Karena FKP berpola pikir yang melaksanakan tugas-tugas itu adaJah Pegawai Negeri yang tentu saja di dalam tugasnya sudah termasuk di daJam tugas menjahmkan tugas hingga apakah perJu didaJarn menjaJankan tugas itu masih perJu dibiay ii dengan biaya perkara. Begitu juga kiranya perJu di1ihat ketentuan-ketentuan lain yang maka dipandang tidak perlu ada biaya perkara ini sebaiknya perlu ditinjau kembali.

FPDI (SOETOMO HR, S.H.) :

Dari FPDI mengenai Pasal 108 ini memang perlu ada pemikiran yang lebih jauh mengenai biaya-biaya perkara ini.

Sesungguhnya dari pihak Pemerintah pembuat Rancangan Undang-undang ini telah diadakan perincian yang cukup mendetail a, b, c, d, e bahkan kalau menurut perincian ini ada ha] yang belum dimasukan mestinya sebagaimana saya ingat itu biaya untuk pengiriman surat-surat ini belum dimasukan, padahal biaya surat itu cukup banyak, misalnya surat tercatat itu kalau ribuan banyak sekali jumlahnya. Namun disatu sisi itu masih ada hal yang secara obyektif kita melihat kekurangannya, tetapi apakah dilain sisi dari pihak Pemerintah ada kelonggaran, karakanlah misalnya biaya surat itu yang menanggung Pemerintah, itu konkrit saja : biaya surat yang menanggung Pemerintah, biaya ahli atau alih bahasa itu Pemerintah misalnya. Ini untuk mencapai suatu prinsip kita membantuJah pihak-pihak yang menginginkan persoalan Tata Usaha Negara ini menjadi satu proses. Sedangkan pada dasarnya dari masing-masing Fraksi itu dalam· menanggapi Pasal 108 itu ya awang-awangen, singunen, tapi memang kenyataannya biayanya ini memang besar. Oleh karena itu sekarang yang FPDI minta hal-hal mana yang kira-kira bisa dibantu oleh Pemerintah supaya agak meringankan.

Jadi kalau biaya surat ini tidak bisa ditanggung oleh Pemerintah inipun harus dimasukan di dalam biaya perkara, Pasa1 108 harus konkrit kesana. Kalau tidak nanti Panitera Peradilan Tata Usaha Negara akan kewalahan tidak ada anggarannya untuk itu.

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan kekurang yang masih terdapat dalam mediasi perbankan tersebut,maka penulis akan memfokuskan mengenai Lembaga Mediasi Perbankan yang Independensi yang

Skripsi berjudul Pengaruh Arus dan On time terhadap Sifat Mekanik dan Struktur Mikro Permukaan pada Proses Electrical Discharge Machining Die Sinking telah diuji dan

Berdasarkan hasil analisa data, maka diperoleh kesimpulan utama bahwa tidak terdapat hubungan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja pada perawat di

Saat potensial diberikan pada larutan, terjadi transpor ion melewati membran dan ion dapat ditranspor lebih baik oleh Nafion sehingga ion didifusikan lebih banyak

1) Proses pembelajaran dirasakan sangat bermakna karena dalam setiap proses pembelajaran sebelumnya dilakukan perencanaan dengan melibatkan pihak pengelola dengan

c. Memenuhi persyaratan teknis minimal dan berlabel. Lahan bera atau tidak ditanami dengan tanaman yang satu familli minimal satu musim tanam. Untuk tanaman rimpang lahan yang

Pada faktor ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan Upah Minimum Kabupaten adalah faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan dan angka

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan rahmat serta Rosulullah Muhammad SAW yang senantiasa memberikan syafaat kepada umatnya