• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berpikir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berpikir"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijabarkan teori-teori yang menjadi kerangka berpikir dalam melaksanakan penelitian ini. Sejumlah teori yang dipakai adalah teori yang berkaitan dengan kepuasan berwirausaha dan konflik peran ganda. Adapun penjabarannya berhubungan dengan aspek-aspek dan faktor-faktor dari kepuasan berwirausaha dan konflik peran ganda beserta penjelasan ringkas mengenai wirausaha pada wanita. Di ujung bab ini akan ditutup mengenai hubungan antara variabel kepuasan berwirausaha dengan konflik peran ganda sehingga menghasilkan sebuah hipotesis dari penelitian ini.

(2)

A. Kepuasan Berwirausaha

1. Pengertian Kepuasan Berwirausaha

Teori kepuasan berwirausaha bermula lahir dari teori kepuasan kerja. Di mana kepuasan kerja didefinisikan sebagai rasa emosional yang positif terhadap pekerjaan berdasarkan pengalaman-pengalaman menyenangkan yang dilalui (Hilton, dalam Leila, 2002). Meskipun kebanyakan penelitian lebih berfokus terhadap kepuasan kerja pada karyawan daripada wirausahawan, akan tetapi, menurut Blanchflower & Oswald (2007), seorang wirausaha lebih memperlihatkan kepuasan atas pekerjaan mereka dibanding karyawan. Sebab itu, kepuasan kerja tidak hanya berfokus pada karyawan, melainkan juga pada wirausaha.

Menurut Suyatini (2004), kepuasan berwirausaha adalah tingkat di mana seorang wirausaha menyukai segala hal yang berkaitan dengan aktivitas wirausaha yang digelutinya. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepuasan berwirausaha adalah perasaan emosional positif seseorang pada segala aspek yang berkaitan dengan kegiatan berwirausaha yang dilakoni.

2. Aspek-aspek Kepuasan berwirausaha

Kepuasan berwirausaha terdiri dari tiga aspek yang berdasarkan Carree dan Verheul (2011), yakni: income, psychological well being dan leisure time. Berikut mengenai penjelasannya:

(3)

Income juga dapat dijadikan sebagai patokan naik turunnya suatu usaha

yang dijalankan. Bagi pengusaha, income yang diperoleh merujuk kepada imbalan berupa laba, sehingga Kepuasan terhadap income sangat relevan bagi pengusaha yang memulai usaha untuk mendapatkan kepuasan hidup atau untuk kesuksesan finansial (Andersson ; Feldman dan Bolino; Jamal dalam Carree dan Verheul, 2011).

Seorang wirausaha berharap hasil finansial dari bisnisnya harus dapat mengganti waktu yang terbuang selama membangun bisnis, sehingga income menjadi hal yang sangat pantas dalam mengganti kerugian waktu dan uang yang telah diinvestasikan dalam mengoperasikan bisnis.

b. Psychological Well Being

Psychological well being berasal dari kebebasan seorang wirausaha dalam

melakukan kegiatan atau pekerjaan yang diminatinya. Menurut Andersson (2008), Feldman & Bolino (2000), Jamal (1997), dalam Carree dan Verheul (2011), menyatakan bahwa psychological well being memiliki kontribusi penting dalam kepuasan berwirausaha khususnya selama periode membangun bisnis (fase

start-up). Di mana pada awal membangun bisnis, seorang wirausaha rentan terhadap

stres. Stres yang dirasakan oleh seorang wirausaha dapat menguatkan atau melemahkan mereka dalam mendapatkan psychological well being. Dapat dikatakan seseorang yang tidak mampu mengendalikan stres memiliki

psychological well being yang rendah. Sebaliknya, seseorang yang mampu

(4)

c. Leisure Time

Sebagian besar orang berwirausaha disebabkan memiliki jam kerja yang fleksibel. Hal ini dikarenakan mereka dapat menggabungkan waktu kerja dan tanggung jawab pada rumah tangga. Adapun memulai dan menjalankan bisnis dari rumah menjadi indikator dari kehati-hatian wirausahawan yang berpengaruh pada stres dan leisure time yang dimiliki. Hal inilah yang menjadi alasan seseorang berwirausaha. Bahkan, jika bisnis yang dijalaninya mengambil tempat di rumah, maka ia tak perlu meninggalkan rumah. Motif menggabungkan kedua hal tersebut adalah untuk mengarah pada leisure time dan fleksibilitas jam kerja (Carree & Verheul, 2011).

Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti menggunakan aspek-aspek kepuasan berwirausaha dari Carree dan Verheul sebagai teori utama yang digunakan.

3. Faktor-faktor Kepuasan Berwirausaha

Cooper dan Artz (1995) menyatakan bahwa faktor yang menjadi tingkat kepuasan berwirausaha yaitu adanya pengaruh dari karakteristik usaha, motif dalam memulai wirausaha, dan karakteristik pribadi.

a. Karakteristik Usaha

Karakteristik usaha berpengaruh terhadap tingkat kepuasan kewirausahaan. Carree dan Verheul (2011) membedakan tiga karakteristik utama pada usaha yaitu:

(5)

a) Ukuran

Usaha yang memiliki ukuran yang besar biasanya berkorelasi dengan tanggung jawab yang lebih tinggi dan mengakibatkan lebih banyak stres. Di sisi lain, besarnya motif membangun wirausaha biasanya membutuhkan lebih banyak persiapan dan harus berurusan dengan pengawasan luar, misalnya, oleh pemasok modal, sehingga mengurangi kemungkinan kerugian yang tak terduga. Hal yang mempengaruhi ukuran perusahaan adalah jumlah karyawan, jumlah modal awal, dan apakah bisnis beroperasi dari rumah atau tempat usaha yang terpisah. Memulai dan menjalankan bisnis di luar rumah mungkin menjadi indikator kehati-hatian dari pihak pengusaha dan dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dan leisure time.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) ada beberapa kriteria yang dipergunakan untuk mendefinisikan pengertian dan ukuran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Pengertian-pengertian UMKM tersebut adalah:

1) Usaha Mikro

Usaha mikro adalah peluang usaha produktif milik orang perorangan atau badan Usaha perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dengan aset maksimal adalah 50 juta per tahun, dan omzet maksimal 300 juta. Contoh usaha mikro adalah pedagang kaki lima.

(6)

Usaha kecil adalah peluang usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari usaha menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria usaha kecil. Aset yang dimiliki berkisaran 50 juta- 500 juta per tahun, dan omset sekitar 300 juta-2,5 miliar Contoh usaha kecil adalah pedagang grosiran di pasar.

3) Usaha Menengah

Usaha menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perseorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha besar dengan aset yang dimiliki berkisaran 500 juta-10 miliar per tahun, dan omset sekitar 2,5 miliar-50 miliar per tahun. Contoh usaha menengah adalah industri makanan dan minuman.

b) Kompleksitas

Kompleksitas lingkungan yang lebih besar dapat menuju pada ketidakpuasan sebagai wirausaha yang dihadapkan dengan beberapa sumber pemerosotan yang tak diharapkan. Ukuran yang digunakan dalam kompleksitas yaitu: apa motif dalam memulai wirausaha pada high-sektor teknologi, dan apakah pengusaha percaya bahwa ia mampu bersaing dengan semua perkembangan yang relevan.

(7)

c) Keterlibatan

Alokasi waktu untuk tugas kewirausahaan mungkin bervariasi di setiap proses memulai wirausaha. Pengusaha yang dihadapkan dengan tekanan waktu yang cukup besar mungkin berasal dari kurangnya kepuasan atas perusahaan mereka. Hal ini sejalan dengan efek negatif dari jam kerja terhadap kepuasan kerja (Clark et al, 1.996 ; Gazioglu & Tansel, 2006).

b. Motif Dalam Memulai Wirausaha

Dalam memulai wirausaha, seseorang akan melakukan suatu usaha dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Diawali dengan melihat peluang usaha baru yang memungkinkan, apakah membuka usaha baru atau melakukan

franchising. Juga memilih usaha yang akan dilakukan apakah di bidang pertanian,

industri atau manufaktur, maupun produksi atau jasa. Motif dalam memulai wirausaha, pengusaha memiliki konsekuensi penting pada tingkat kepuasan sebagai harapan pengusaha untuk mengevaluasi kinerja dengan menghubungkan hasil perusahaan sebagai tujuan awal mereka dan yang diharapkan (Carree & Verheul, 2011).

c. Karakteristik Pribadi

Karakteristik merupakan ciri atau sifat yang berkemampuan untuk memperbaiki kualitas hidup, sedangkan karakteristik pribadi adalah ciri khas yang

(8)

menunjukkan perbedaan seseorang tentang motivasi, inisiatif, kemampuan untuk tetap tegar menghadapi tugas sampai tuntas atau memecahkan masalah atau bagaimana menyesuaikan perubahan yang terkait erat dengan lingkungan yang mempengaruhi kinerja individu.

Dalam penelitiannya Longenecker (2001), Greg Hundley (2001), Stewart (2003), serta Finnie dan La Fortie (2003) dalam Suyatini (2004), menemukan karakteristik pribadi yang pada umumnya dimiliki oleh wirausaha yaitu kemampuan berinovasi, rasa percaya diri, keberanian mengambil resiko, dan kebutuhan akan keberhasilan. Karakteristik wirausaha tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap seseorang dalam menjalankan usahanya sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kepuasan yang lebih besar dalam bekerja.

Sebagai seorang wirausaha yang telah berkeluarga, seorang wanita memiliki karakteristik feminim yang menyebabkannya mengalami hambatan dalam berwirausaha (Ardhanari, dalam Jati, 2009). Dalam budaya patriarkhi, fungsi seorang wanita adalah sebagai ibu dan istri bagi anak-anak dan suaminya (Hardanti, dalam Susanto, 2009). Tanggung jawabnya yang besar terhadap keluarbga inilah yang menyebabkan timbulnya konflik peran ganda (Das, 2001).

B. Konflik Peran Ganda

1. Pengertian Konflik Peran Ganda

Dalam kehidupan sehari-hari, setiap orang memiliki lebih dari satu peran yang harus dijalankan. Ada yang berperan sebagai ibu dari anak-anaknya, istri, maupun karyawan. Hal ini menandakan bahwa semakin banyak peran yang

(9)

dijalankan, semakin siap ia menghadapi berbagai tuntutan dalam kehidupan sosialnya (Biddle & Thomas, dalam Irawaty & Kusumaputri, 2008). Apabila peran yang dijalankan tidak sejalan antara satu dengan yang lain, tentu akan berakibat pada munculnya konflik peran ganda.

Konflik ini pertama kali didefinisikan oleh Kahn, Wolfe, Quinn, Snoek, dan Rosenthal (1964, dalam Esson, 2004) yang mengatakan bahwa konflik peran ganda terjadi ketika permintaan pekerjaan dan keluarga bertentangan dalam beberapa hal. Kemudian Myers (1983, dalam Irawaty & Kusumaputri, 2008) mengatakan bahwa konflik peran ganda adalah konflik yang dialami seseorang dalam menjalankan perannya secara bersamaan.

Hal senada juga disampaikan Greenhaus dan Beutell (1985) yang berpendapat bahwa konflik peran ganda merupakan konflik peran yang muncul ketika tuntutan peran dalam pekerjaan bertolak belakang dengan tuntutan peran dalam keluarga. Jam kerja yang panjang dan beban kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya konflik peran ganda. Hal ini dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja yang mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang bisa digunakan dalam melakukan aktivitas-aktivitas keluarga.

Sedangkan menurut Ginting (2007) konflik peran ganda adalah salah satu bentuk konflik antar peran yang berasal dari pekerjaan dan keluarga yang saling bertentangan satu sama lain. Hal yang sama juga disampaikan Lestari (2011) bahwa konflik terjadi ketika individu menyadari adanya dua atau lebih kebutuhan

(10)

yang memiliki porsi sama pentingnya dan juga mendesak, namun usaha untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dapat dilakukan secara bersamaan sehingga hal ini menyebabkan individu merasakan ketegangan. Konflik ganda yang terjadi dapat merugikan kualitas sumber daya manusia bagi wanita yang bekerja yang berakibatkan pada menurunnya kesehatan fisik dan mental (Widyarini, dalam Soeharto, 2004).

Berdasarkan hal di atas, dapat diambil kesimpulan bahwasanya konflik peran ganda merupakan ketidakseimbangan seseorang dalam memberi perhatian yang sama pada dua peran yang berbeda secara bersamaan.

2. Dimensi-dimensi Konflik Peran Ganda

Greenhaus dan Beutell (1985) dalam jurnal mereka yang berjudul Sources

of Conflict Between Work and Family Roles mengemukakan tiga dimensi yang

terdapat dalam konflik peran ganda, yakni:

a. Time Based Conflict

Time based conflict merupakan konflik peran yang disebabkan oleh

keterbatasan waktu yang dimiliki seseorang. Waktu yang dipakai untuk pekerjaan sering kali memiliki dampak pada keterbatasan waktu untuk keluarga. Demikian juga sebaliknya, waktu yang dipakai untuk keluarga sering kali memiliki dampak pada keterbatasan waktu untuk pekerjaan. Misalnya, kerjaan yang lembur sering menyebabkan waktu bersama keluarga menjadi terbatas ataupun menjaga suami yang sakit menyebabkan pekerjaan yang harus diselesaikan menjadi tertunda.

(11)

b. Strain Based Conflict

Konflik ini sering disebabkan oleh tekanan dalam satu peran sehingga mempengaruhi kinerja pada peran yang lainnya. Seperti tekanan akibat urusan dalam pekerjaan mempengaruhi pada berkurangnya perhatian terhadap keluarga. Sedangkan tekanan pada keluarga menyebabkan semangat menurun ketika bekerja. Sehingga menyebabkan ketegangan atau keadaan emosional yang negatif (kelelahan, kecemasan, depresi, mudah marah).

c. Behavior Based Conflict

Behavior Based Conflict merupakan peran yang disebabkan karena

kesulitan beradaptasi melakukan perubahan perilaku dari peran yang satu ke peran yang lain. Misalnya sebagai seorang manajer dituntut untuk bersikap agresif dan cenderung memerintah pada bawahannya, namun sebagai ibu di rumah harus mengubah perilakunya tersebut menjadi ramah, hangat dan penuh kasih sayang.

C. Wirausaha Wanita

Wirausaha wanita dikarakteristikan sebagai seseorang yang memiliki karakter feminitas, antara lain, emosional, sensitif, peka, penuh kasih, kooperatif, cermat, hangat, simpati, dan intuitif (Noer & Suef, dalam Riyanti, 2007). Selain itu, wirausaha wanita juga memiliki karakteristik telaten, jujur, ulet, sabar, teliti, cermat, serius, tekun, berani mengambil risiko, tangguh, tidak mudah menyerah, memiliki keinginan yang keras, semangat yang tinggi, berdedikasi dan loyalitas tinggi, terbuka, bekerja tanpa pamrih, ikhlas, menjaga nama baik, tidak egois,

(12)

serta teratur dalam hal administrasi dan pengelolaan uang (Jurnal Pengkajian Koperasi dan UKM, 2006).

Selain hal di atas, wanita juga memiliki kelemahan yang dapat dijadikan penyebab kegagalannya dalam menjalani wirausaha, antara lain: memanfaatkan peluang yang ada untuk ambisi pribadi, kurang berani mengambil resiko, kurang percaya diri atau terlalu percaya diri, memiliki tingkat ambisiusitas yang tinggi dalam menangani usaha yang di luar dari kemampuannya, memiliki wasasan yang kurang, kurang dapat membagi waktu antara keluarga dengan pekerjaan, memiliki emosi yang tinggi sehingga cenderung tidak sabar, mengambil keputusan dengan terburu-buru, bergantung pada suami, berperilaku konsumtif, menutup diri, dan tidak gigih dalam menjalankan usahanya.

D. Hubungan Konflik Peran Ganda Dengan Kepuasan Berwirausaha

Wanita

Dalam penelitiannya Longenecker (2001), Greg Hundley; Stewart; Finnie dan La Fortie dalam Suyatini (2004), menemukan karakteristik pribadi yang pada umumnya dimiliki oleh wirausaha yaitu kemampuan berinovasi, rasa percaya diri, keberanian mengambil resiko, dan kebutuhan akan keberhasilan. Karakteristik pribadi wirausaha tersebut sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam menjalankan usahanya sendiri, dengan harapan dapat memperoleh kepuasan yang lebih besar dalam bekerja (Suyatini, 2004).

Dalam mencapai suatu kepuasan diperlukan reaksi emosional dan kemampuan dalam mengambil resiko untuk mengatasi setiap kesulitan atau

(13)

hambatan yang terjadi selama individu menjalani wirausaha. Ardhanari (dalam Jati, 2009) mengungkapkan bahwa salah satu hambatan yang dialami seorang wanita dalam berwirausaha adalah karakteristik feminim yang melekat pada diri seorang wanita. Serta kodrat alam yang menuntut wanita untuk menjalani peran sebagai ibu dan istri yang baik (Seniati, dalam Maherani, 2008).

Faktor budaya patriarkhi sendiri diduga menjadi penyebab kurangnya kepercayaan diri seorang wanita yang telah berkeluarga untuk memberdayakan diri dengan wirausaha (Pristiana, 2003). Tanggung jawab yang besar terhadap keluarga inilah yang sering menimbulkan terjadinya konflik peran ganda (Das, 2001). Ditambah dengan pandangan masyarakat bahwa seharusnya seorang wanita yang berhasil adalah seorang wanita yang mampu mengurus rumah tangganya dengan baik. (Widianingtyas, dalam Riyanti, 2007).

Wirausaha wanita, khususnya yang sudah berkeluarga, secara otomatis memikul peran ganda, baik di lingkungan pekerjaan maupun di lingkungan keluarganya. Konflik peran sering timbul ketika salah satu dari peran tersebut menuntut lebih atau membutuhkan lebih banyak perhatian (Susanto, 2009). Kebanyakan tuntutan yang dialami wanita yang telah berkeluarga umumnya berhubungan dengan pengasuhan anak, mengurus suami dan melakukan pekerjaan rumah tangga (Riyanti, 2007). Terjadinya dua peran berbeda yang membutuhkan perhatian yang sama menimbulkan konflik peran ganda (Irawaty dan Kusumaputri, 2008).

(14)

Konflik peran ganda yang terjadi dapat mengurangi kesehatan fisik maupun mental seorang wanita dalam bekerja (Widyarini, dalam Soeharto, 2004). Ini ditandai dengan perilaku yang kurang positif terhadap pekerjaan serta gejala fisik seperti perasaan terancam pada diri (Grandey, dkk., dalam Laksmi, 2012), juga menyebabkan gejala mental seperti seperti rasa bersalah, gelisah, cemas, dan frustasi (Burke & Greenglass, Greenhaus & Suraman dalam Soeharto, 2004). Hal ini diyakini dapat menurunkan kualitas performa seseorang dalam berwirausaha (Kossek & Ozeki dalam Soeharto, 2004) serta menganggu kesejahteraan psikologis wanita yang melakukan dua peran secara bersamaan (Cooper & Marshall dalam Indriyani, 2009).

Dalam jurnal Carree dan Verheul (2011) yang berjudul What Makes

Entrepreneurs Happy? Determinants of Satisfaction Among Founders dengan

mengutip pendapat Parasuraman dan Simmers (2001) menyatakan bahwasanya wirausaha yang mengalami konflik peran ganda sering kali disebabkan oleh tingginya waktu yang dihabiskan untuk kegiatan wirausahanya, ataupun konflik peran ganda yang dialami sering kali disebabkan oleh tingginya waktu yang dihabiskan dalam mengurus keluarga, sehingga dikhawatirkan hal ini berpengaruh pada kepuasan seseorang dalam berwirausaha.

Hal ini sejalan dengan Greenhaus dan Beutell (1985) yang mengemukakan tiga dimensi dari konflik peran ganda, yakni: time based conflict, strain based

conflict, dan behavior based conflict. Di mana pada time based conflict, seseorang

(15)

sehingga waktu yang dipakai untuk wirausaha sering kali memiliki dampak pada terbatasnya waktu yang dimiliki untuk keluarga. Sebaliknya,

Demikian pula dengan konflik yang disebabkan oleh tekanan dalam satu peran sehingga mempengaruhi kinerja pada peran lainnya (strain based conflict). Seperti tekanan akibat urusan dalam pekerjaan mempengaruhi pada berkurangnya perhatian terhadap keluarga. Hal ini dapat menimbulkan rasa stres pada penderitanya. Stres yang dirasakan oleh seorang wirausaha tersebut dapat menguatkan ataupun melemahkan mereka dalam mendapatkan kepuasan berwirausaha berupa psychological well being. Tentu hal ini berpengaruh pada menurunnya performa wirausahawan dalam bekerja.

E. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjabaran di atas, maka hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif antara konflik peran ganda dengan kepuasan berwirausaha pada wirausaha wanita. Artinya semakin tinggi konflik peran ganda yang terjadi, maka semakin rendah kepuasan seorang wanita dalam berwirausaha. Sebaliknya, semakin rendah konflik peran ganda, maka semakin tinggi kepuasan seorang wanita dalam berwirausaha.

Referensi

Dokumen terkait

Plaxis output dapat dipanggil dengan mengklik toolbar Plaxis output, atau dari start menu yang bersesuaian dengan program plaxis. Toolbar Calculation pada

Pokok permasalahan penelitian ini adalah apakah komunikasi, penempatan dan kepemimpinan berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap konflik karyawan pada

Perilaku merokok pada remaja saat ini sudah tidak tabu lagi, dimanapun tempat tidak sulit menjumpai anak remaja dengan kebiasaaan merokok.Orang tua mempunyai pengaruh

Maksud Paulus bukanlah bahwa pekerjaan sampingan harus dilakukan untuk mendatangkan uang supaya bisa makan dan memenuhi kebutuhan hidup, melainkan dengan mengerjakan

Kontrol yang digunakan pada penelitian ini adalah kontrol RPMI sebagai kontrol standar dimana sumur (well) tidak diberi perlakuan baik ekstrak buah merah maupun gom arab tetapi

bahwa manajemen adalah suatu proses khusus yang terdiri dari perencanaan,. pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan yang

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau

1) Hasil yang dilaporkan hanya terdiri dari dua angka yaitu angka pertama didepan koma dan angka kedua di belakang koma. Jika angka yang ketiga.. sama dengan atau lebih