• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 4 TINJAUAN HUKUM TENTANG PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PEKERJAAN UNTUK PELAKSANAAN PEMELIHARAAN JALAN DAN JEMBATAN MERAUKE

4.1.Kasus Posisi

Pada tanggal 25 Februari 2008, Panitia Pengadaan Barang/Jasa SNVT Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke mengumumkan atau mengundang para penyedia jasa untuk mengikuti pelelangan pekerjaan. Sesuai dengan data lelang yang ada, nama paket dan lingkup pelelangan pekerjaan tersebut adalah “Pemeliharaan Berkala Sota-Erambu-Bupul Tahun Anggaran 2008”. Kemudian tanggal 29 Februari 2008, Panitia Pengadaan Barang/Jasa SNVT Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke tersebut mengeluarkan daftar mengenai rincian kuantitas dari harga barang/jasa yang akan dilelangkan. Proses pelelangan dilakukan dengan pelelangan secara umum dengan pascakualifikasi dan mereka mendaftarkan diri dan menandatangani pakta integritas, lalu mengambil dokumen lelang.Para peserta lelang memasukkan dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran kepada Panitia Pengadaan Barang/Jasa tersebut.

Pada tanggal 5 Maret 2008, Panitia Pengadaan Barang/Jasa SNVT Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke menetapkan Usulan Penetapan Pemenang Lelang Pekerjaan Paket: Pemeliharaan Berkala Soto-Erambu-Bupul Tahun Anggaran 2008. Dimana di dalam usulan tersebut terdapat 3 calon penyedia barang/jasa yang diusulkan oleh panitia tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka pada tanggal 10 Maret 2008, Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke menetapkan pemenang lelang adalah PT. Tunas Jaya. Tanggal 25 Maret dikeluarkan surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa kepada PT. Tunas Jaya untuk melaksanakan pekerjaan pemeliharan jalan dan jembatan merauke dengan dana APBN tahun anggaran 2008 sebesar Rp. 9.668.116.000 (Sembilan miliar enam ratus enam puluh delapan juta seratus enam belas rupiah), oleh Kepala Satuan Kerja Non Vertikal tertentu Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke.

(2)

Setelah Surat Penunjukan Penyedia Jasa (SPPJ) diterbitkan, Kepala Satuan Kerja NVT Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke dan PT. Tunas Jaya menandatangani Surat Perjanjian Kontrak dan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) pada tanggal 26 Maret 2008 dengan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan 270 (dua ratus tujuh puluh) hari kalender sejak dikeluarkannya Surat Perintah Mulai Kerja).

Pada hari ke 218, yakni tanggal 30 Oktober 2008, setelah diadakan pengecekan pekerjaan oleh pihak Departemen Pekerjaan Umum Merauke, ditemukan ternyata pekerjaan atas proyek pemeliharaan jalan dan jembatan Merauke tersebut baru berjalan sekitar 30% (empat puluh persen) dari seluruh total pekerjaan. Berdasarkan hal tersebut, maka pengguna barang/jasa/pemilik dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh Jacson Wamafma (Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke) menyampaikan tiga surat peringatan tertulis secara berturut-turut kepada PT. Tunas Jaya selaku penyedia barang/jasa atas proyek tersebut.

Pemilik memanggil PT. Tunas Jaya untuk diadakan Uji Coba Kemampuan Kontraktor melalui rapat pembuktian (show cause meeting/SCM). SCM diadakan sebanyak 3 (tiga) kali, yang ketiganya gagal. Kemudian, PT. Tunas Jaya menyatakan tidak sanggup untuk melakukan pekerjaan atas proyek tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga atas bahan-bahan yang digunakan dalam proyek itu, sehingga PT. Tunas Jaya sulit sekali untuk menyelesaikan pekerjaan pemeliharaan itu. Pemilik telah mencoba untuk meyakinkan PT. Tunas Jaya untuk meneruskan pekerjaannya, namun, tetap menyatakan tidak sanggup dengan alasan tidak tersedianya dana yang cukup untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Maka, oleh Pemilik, PT. Tunas Jaya dianggap telah melakukan wanprestasi karena telah melanggar perjanjian yang telah mereka sepakati.

(3)

4.2.Akibat hukum dari wanprestasi pada perjanjian pemeliharaan jalan dan jembatan di Merauke Provinsi Papua (“Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan”)

Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan di Merauke merupakan jenis kontrak konstruksi lump sum. Menurut Pasal 30 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, kontrak lump sum adalah kontrak pengadaan barang/jasa atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, dengan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia barang/jasa. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) huruf k Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, yang dimaksud kontrak lump sum adalah jenis kontrak kerja konstruksi atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu tertentu, denan jumlah harga yang pasti dan tetap, dan semua resiko yang mungkin terjadi dalam proses penyelesaian pekerjaan sepenuhnya ditanggung oleh penyedia jasa.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan di Merauke, menyatakan bahwa:

“Membayar kontraktor atas pelaksanaan, penyelesaian dan perbaikan pekerjaan berdasarkan hasil pengukuran dan Harga Satuan Lump Sum yang tertera dalam Daftar Kuantitas dan Harga, pada waktu dan dengan cara yang telah ditentukan dalam Dokumen Kontrak atau dengan harga-harga yang mungkin ditentukan secara lain berdasarkan ketentuan Kontrak.”

Maka, dapat disimpulkan bahwa Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan itu merupakan suatu kontrak lump sum. Hal ini dipertegas dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (2) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan. Dalam Pasal 8 ayat (2) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan dinyatakan bahwa harga satuan dalam kontrak itu adalah harga satuan tetap dan pasti.

Melihat ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata, yang menyatakan: “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”,

(4)

maka perikatan yang lahir dari perjanjian ini, memang dikehendaki untuk terjadi oleh pihak pertama yakni Pemerintah yang diwakili oleh Jacson Wamafma (Kepala Satuan Kerja Non Vertikal Tertentu Pemeliharaan Jalan dan Jembatan Merauke) dan pihak kedua PT. Tunas Jaya yang diwakili oleh Direktur Utamanya Henry Kurniawan. Kedua belah pihak bermaksud supaya antara mereka berlaku perikatan hukum atas janji yang telah mereka berikan.

Sementara itu sesuai dengan Pasal 1234 KUH Perdata mengenai macam-macam perikatan, Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan tersebut merupakan perikatan untuk berbuat sesuatu. Dimana baik pihak pertama maupun pihak kedua terikat dengan prestasi yang merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan atau dipenuhi.

Untuk mengetahui apakah Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan telah memenuhi syarat sahnya perjanjian, maka harus dilihat terlebih dahulu apakh Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan itu telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

Bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut harus bersepakat, menyetujui hal-hal pokok atau segala sesuatu yang diperjanjikan yang diwujudkan dalam bentuk pasal-pasal pada Surat Perjanjian Kontrak Paket Pemeliharaan Berkala Sota-Erambu-Bupul yang telah ditandatangani oleh para pihak. Terhadap kesepakatan tersebut, telah diberikan secara bebas, artinya tidak ada pengaruh dari pihak ketiga dan tidak ada gangguan berupa paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Dalam perjanjian ini, tidak ada pihak yang diancam atau ditakuti untuk menyetujui perjanjian ini. Para pihak juga menyadari tentang hal-hal pokok yang diperjanjikan dan tidak ada unsur penipuan dari kedua belah pihak.

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

Para pihak yang membuat perjanjian ini merupakan orang-orang yang mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau untuk melakukan perbuatan hukum. Henry Kurniawan sebagai Direktur Utama persero tersebut telah diberikan kewenangan untuk bertindak untuk dan atas nama

(5)

PT. Tunas Jaya berdasarkan akta notaris nomor 05 tanggal 12 Desember 2005.

c. Mengenai suatu hal tertentu;

Hal tertentu yang dimaksud adalah bahwa obyek atau prestasi yang diperjanjikan harus jelas, dapat dihitung, dan dapat ditentukan jenisnya.132 Dalam perjanjian pemeliharaan jembatan dan jalan merauke tersebut telah disebutkan secara jelas mengenai obyek yang diperjanjikan, yaitu melaksanakan, menyelesaikan, dan memperbaiki pekerjaaan pemeliharaan jalan dan jembatan Merauke dengan paket: Pemeliharaan Berkala Sota-Erambu-Bupul (KM. 90 s/d 190) yang terletak di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.

d. Suatu sebab yang halal.

Sebab (oorzaak atau causa) adalah isi dari perjanjian. Berarti isi dari perjanjian itu harus halal, tidak bertentangan dengan undang-undang, norma kesusilaan atau ketertiban umum. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang di sini adalah Undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum133. Isi dari perjanjian pemeliharaan jalan dan jembatan Merauke tersebut adalah untuk melaksanakan, menyelesaikan dan memperbaiki pekerjaan berupa pemeliharaan jalan dan jembatan di Kabupaten Merauke Provinsi Papua adalah halal, tidak bertentangan dengan Undang-undang, norma kesusilaan atau ketertiban umum.

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur yang merupakan hak dari kreditur untuk melakukan penuntutan terhadap prestasi tersebut.134 Dalam hal Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, prestasi yang diperjanjikan adalah PT. Tunas Jaya selaku

132

Sri Soesilowati, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), cet. 1, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hal. 143.

133

Ibid, hal. 144. Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 99.

134

(6)

Kontraktor (Debitur) akan melaksanakan, menyelesaikan dan memperbaiki pekerjaan pemeliharaan jalan dan jembatan di Kabupaten Merauke Provinsi Papua. Namun, PT. Tunas Jaya tidak sanggup melaksanakan apa yang diperjanjikannya sehingga prestasi hanya dapat terpenuhi sebagian. Maka, berdasarkan pengertian tersebut diatas, tindakan PT. Tunas Jaya dapat dikategorikan sebagai wanprestasi.

Timbulnya wanprestasi menyebabkan pihak Kreditur dapat menuntut si Debitur yang lalai dengan pemenuhan perjanjian atau pembatalan disertai ganti rugi sesuai dengan perhitungan kerugian yang diderita oleh Kreditur beserta bunganya. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1267 KUH Perdata yang mengatur bahwa : “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Terhadap si Debitur yang lalai, terdapat beberapa tindakan yang dapat dilakukan oleh Kreditur, yaitu:

a. Meminta pelaksanaan perjanjian, meskipun pelaksanaan atas prestasi yang diperjanjikan sudah terlambat,

b. Meminta penggantian kerugian saja, yakni kerugian yang diderita olehnya karena terlambat atau tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana mestinya,

c. Menuntut pelaksanaan perjanjian disertai dengan penggantian kerugian yang diderita olehnya sebagai akibat terlambatnya pelaksanaan perjanjian, dan Kreditur dapat melakukan pembatalan.135

Wanprestasi dapat menimbulkan ganti rugi. Ganti rugi merupakan sanksi yang dijatuhkan kepada seorang Debitur yang lalai dalam bentuk membayar sejumlah ganti rugi yang sebenarnya merupakan pengganti atas prestasi yang tidak dilaksanakannya sehingga menimbulkan kerugian pada pihak Kreditur. Ganti rugi dapat berupa Biaya, Rugi dan Bunga.136 Namun, penuntutan ganti rugi diberikan pembatasan, seperti yang diatur

135

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 26, (Jakarta: Intermasa, 1994), hal. 147-148.

136

(7)

dalam Pasal 1247 KUH Perdata yang mengatur bahwa “Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan sesuatu tipu daya yang dilakukan olehnya”. Dan dalam Pasal 1248 KUH Perdata yang mengatur bahwa “Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu-daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai kerugian yang dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya perikatan”. Berdasarkan kedua pasal tersebut, ganti rugi hanya meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan akibat langsung dari wanprestasi.

Pasal 23 huruf g Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, menyatakan bahwa wanprestasi dapat dilakukan baik oleh penyedia barang/jasa (pemborong) maupun pengguna jasa (pemberi tugas). Bentuk wanprestasi oleh penyedia barang/jasa (pemborong) adalah:

1. Tidak menyelesaikan tugas atau pekerjaannya 2. Tidak memenuhi mutu

3. Tidak memenuhi kuantitas

4. Tidak menyerahkan hasil pekerjaan 5. Terlambat menyelesaikan pekerjaan.

Bentuk wanprestasi oleh pengguna barang/jasa (pemberi tugas) adalah: 1. Terlambat membayar

2. Tidak membayar

3. Terlambat menyerahkan sarana pelaksanaan pekerjaan.

Terhadap tindakan wanprestasi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa maupun Pengguna Jasa dapat dilakukan pemutusan kontrak. Berdasarkan Pasal 35 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bahwa “Pemutusan kontrak dapat dilakukan bilamana para pihak cidera janji

(8)

dan/atau tidak memenuhi kewajiban dan tanggungjawabnya sebagaimana diatur dalam kontrak.”

Mengenai sanksi akibat pemutusan kontrak dalam perjanjian pemborongan pengadaan barang/jasa, terbagi atas dua, yakni sanksi dalam pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kelalaian penyedia barang/jasa dan sanksi pemutusan kontrak yang disebabkan oleh kesalahan pengguna barang/jasa. Hal ini diatur dalam Pasal 35 ayat (3) dan ayat (5) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, sanksi yang dapat dikenakan kepada Penyedia barang/jasa (Kontraktor) dalam hal pemutusan kontrak, seperti yang diatur dalam pasal 12 ayat (3) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, yaitu sebagai berikut:

a. Jaminan pelaksanaan dicairkan/ditarik untuk Pemilik (Pengguna barang/jasa)

b. Sisa jaminan uang muka dicairkan sekaligus atau sisa uang muka harus dilunasi sekaligus kepada Pemilik (tidak boleh dicicil)

c. Membayar denda dan ganti rugi. Pengenaan denda diatur:

- apabila kontrak diputus sebelum masa pelaksanaan berakhir Kontraktor tidak dikenakan denda apapun

- apabila kontrak diputus setelah masa pelaksanaan berakhir, akan tetapi belum melampaui masa untuk denda maksimum, maka denda hanya dikenakan sampai waktu pemutusan kontrak

- apabila kontrak diputus setelah masa pengenaan denda maksimum, maka denda dikenakan maksimum.

d. Kepada kontraktor yang diputus kontraknya dikenakan sanksi tambahan berupa pengenaan daftar hitam.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (5) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah, jika pemutusan kontrak terjadi karena kesalahan pengguna barang/jasa, maka dia dapat dikenakan sanksi berupa kewajiban mengganti kerugian yang menimpa penyedia barang/jasa sesuai yang ditetapkan dalam kontrak

(9)

dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Maka, ketentuan Pasal 12 ayat (3) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan tersebut telah sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Berkaitan dengan kasus dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, sebagai akibat dari tidak selesainya pekerjaan yang telah diperjanjikan, PT. Tunas Jaya mencairkan jaminan pelaksanaan dengan memberikan surat perintah tertulis kepada Bank Papua (selaku penjamin pengguna barang/jasa atas sejumlah uang sebagai jaminan pelaksanaan dari penyedia barang/jasa) untuk membayar ganti rugi kepada Pengguna Jasa (Pemerintah yang diwakili oleh Jacson Wamafma). Jaminan pelaksanaan yang ditarik untuk Pengguna barang/jasa (Pemerintah yang diwakili oleh Jacson Wamafma) adalah sebesar 5% (lima persen) dari Rp. 9.668.116.000 (Sembilan miliar enam ratus enam puluh delapan juta seratus enambelas ribu rupiah) yang merupakan Nilai kontrak Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan. Jadi jaminan pelaksanaan yang diserahkan kepada Pengguna barang/jasa adalah sebesar Rp. 483.405.800 (Empat ratus delapan puluh tiga juta empat ratus lima ribu delapan ratus rupiah).

Hak Kreditur untuk membatalkan perjanjian akibat wanprestasi diberikan oleh Pasal 1266 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1266 ayat (1) KUH Perdata syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian timbal balik, manakala salah satu pihak mengingkari. Akan tetapi, pembatalan tersebut harus dimintakan putusan Hakim, hal ini diatur dalam Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata. Mengenai hal tersebut, dalam prakteknya, para pihak sering memperjanjikan untuk menyimpangi ketentuan Pasal 1266 ayat (2) KUH Perdata tersebut.137 Menurut Pasal 35 ayat (7) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, suatu kontrak hanya dapat dibatalkan apabila para pihak terbukti melakukan KKN, kecurangan,

137

(10)

dan pemalsuan dalam proses pengadaan maupun pelaksanaan kontrak. Di dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, para pihak sepakat untuk mengabaikan ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata.138 Hal ini juga disebutkan dalam Pasal 19 ayat (3) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan yang menyatakan bahwa untuk kepentingan kontrak tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk mengabaikan Pasal 1266 KUH Perdata. Pasal 15 ayat (1) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan menyatkan bahwa keadaan memaksa (force majeure) yaitu keadaan luar biasa yang terjadi di luar kemampuan dan kesalahan kontraktor, seperti gempa, banjir besar, dan bencana lain, kebakaran, perang, huru hara, sabutase, dan keadaan darurat lainnya yang terhadapnya kontraktor tidak mampu mengubah dan mengambil tindakan-tindakan pencegahan sebelumnya.

Menurut Pasal 35 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang dimaksud keadaan kahar (force majeure) adalah hal-hal di luar kekuasaan para pihak untuk melaksanakan kewajiban yang ditentukan dalam kontrak yang disebabkan oleh timbulnya perang, pemberontakan perang saudara, kekacauan dan huru hara, serta bencana alam yang dinyatakan resmi oleh pemerintah, atau keadaan yang ditetapkan dalam kontrak. Berdasarkan hal ini, maka, ketentuan mengenai force majeure dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan telah memenuhi ketentuan Pasal 35 ayat (1) Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Di dalam Pasal tersebut, para pihak diberi kebebasan untuk menetapkan keadaan kahar (force majeure) sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak.

Menurut Pasal 15 ayat (3) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, Kontraktor harus memberitahukan secara tertulis kepada Pemilik mengenai keadaan memaksa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kalender setelah keadaan memaksa. Sedangkan Pasal 37 ayat (6) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi, Penyedia Jasa harus

138

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Adrinanda, pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.

(11)

memberitahukan kepada Pengguna Jasa mengenai keadaan kahar itu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah terjadinya keadaan kahar. Dalam prakteknya, mengenai jangka waktu pemberitahuan tentang keadaan kahar oleh Penyedia Jasa kepada Pengguna Jasa ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.139

Mengenai yang menanggung kerugian akibat keadaan kahar, menurut Pasal 15 ayat (2) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, bagian pekerjaan yang diselesaikan dan diterima baik yang kemudian rusak oleh keadaan memaksa harus diperbaiki oleh Kontraktor atas biaya Pemilik. Berdasarkan Pasal 37 ayat (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi yang menanggung kerugian akibat keadaan kahar ditentukan berdasarkan kesepakatan dari para pihak. Maka, ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan telah sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (5) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.

Pasal 12 ayat (2) Perjanjian Pemeliharan Jalan dan Jembatan menyatakan untuk keterlambatan waktu pelaksanaan, kepada Kontraktor akan dikenakan denda 1/1000 (satu perseribu) dari Nilai Kontrak untuk setiap hari kalender keterlambatan terhitung sejak jangka waktu pelaksanaan Kontrak habis sampai dengan setingi-tingginya 5% (lima perseratus) dari Nilai Kontrak. Apabila denda keterlambatan sudah mencapai 5% (lima perseratus) dari Nilai Kontrak, Pemilik dapat memutuskan Kontrak secara sepihak. Menurut Pasal 48 ayat (1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi besarnya denda kepada Penyedia Jasa atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan adalah 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak atau bagian kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Dalam prakteknya, apabila pada saat PHO (Professional Hand Over) ternyata hanya 90% (sembilan puluh persen) fisik pekerjaan

139

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Adrinanda, Kasubdit Wilayah Timur, pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.

(12)

yang selesai, maka Penyedia Jasa (Kontraktor) dikenakan denda 1/1000 (satu perseribu) per hari dari nilai kontrak. Jika denda keterlambatannya melebihi 5% (lima perseratus) dari Nilai Kontrak, maka Pengguna Jasa dapat melakukan pemutusan kontrak dan meminta agar jaminan pelaksanaan dicairkan.140

4.3.Penyelesaian perselisihan/sengketa jasa konstruksi dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan

Yang dimaksud dengan sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak kontrak konstruksi.141 Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, penyelesaian sengketa jasa konstruksi dapat ditempuh dengan dua cara, yaitu: 1. Melalui pengadilan,

2. Melalui luar pengadilan.

Penyelesaian sengketa melalui luar pengadilan terbagi atas: 1. Mediasi;

2. Konsiliasi; 3. Arbitrase.

Apabila terjadi suatu sengketa dalam kontrak jasa konstruksi, maka cara penyelesaian yang diutamakan adalah melalui cara musyawarah. Hal ini sudah merupakan suatu hal yang lumrah dalam suatu perjanjian/kontrak konstruksi. Para pihak dalam suatu perjanjian konstruksi lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di antara mereka secara baik dengan cara mengadakan pertemuan. Dimana dalam pertemuan tersebut para pihak diperbolehkan untuk saling memberikan argumen mengenai sengketa tersebut. Penyedia barang/jasa dan Pengguna barang/jasa diberikan kesempatan yang sama untuk saling meluruskan permasalahan yang ada. Kemudian berusaha mencari solusi yang

140

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Adrinanda, Kasubdit Wilayah Timur, pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.

141

Nazarkhan Yasin, Mengenal Klaim Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa Konstruksi, cet. 2, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 83.

(13)

terbaik atas permasalahan itu, dimana sangat diusahakan agar kedua belah pihak yang bersengketa tidak ada yang merasa dirugikan.142

Apabila jalan musyawarah yang telah ditempuh oleh para pihak dalam suatu sengketa kontrak konstruksi tidak menemukan titik terang, maka dapat dilakukan cara lain, yakni penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Dimana terdapat dua orang panitia arbitrase, yang seorang ditunjuk oleh penyedia barang/jasa (kontraktor) dan seorang lagi ditunjuk oleh pengguna barang/jasa. Apabila dengan arbitrase, penyelesaian atas suatu sengketa konstruksi tidak tercapai, maka dapat ditempuh dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri. Dalam prakteknya, para pihak dalam suatu sengketa kontrak konstruksi tidak menginginkan jalan penyelesaian melalu pengadilan. Hal ini berkaitan dengan nama baik kedua belah pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, jalan penyelesaian melalui pengadilan sangat dihindari oleh para pihak yang bersengketa tersebut.143

Berdasarkan Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi mengatur bahwa “Pemerintah berwenang untuk mengambil tindakan tertentu apabila kegagalan pekerjaan konstruksi mengakibatkan kerugian dan atau gangguan terhadap keselamatan umum.” Berdasarkan penjelasan dari pasal tersebut, terhadap keamanan dan keselamatan umum, Pemerintah dapat mengambil tindakan antara lain:

a. Menghentikan sementara pekerjaan konstruksi; b. Meneruskan pekerjaan dengan syarat tertentu; c. Menghentikan sebagian pekerjaan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 43/PRT/M/2007 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Buku 2, Bab IV Pasal 33 ayat (2) angka 1 huruf b mengatur bahwa Pengguna Jasa (Pemerintah) dapat menetapkan pihak ketiga sebagai penyedia jasa yang akan menyelesaikan sisa pekerjaan atau atas usulan Penyedia Jasa, apabila Penyedia Jasa tidak dapat melanjutkan pekerjaan yang telah diperjanjikan.

142

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Adrinanda, Kasubdit Wilayah Timur, pada tanggal 22 Desember 2008 pukul 13.20 WIB.

143

(14)

Sedangkan menurut Pasal 1240 KUH Perdata yang mengatur bahwa “Dalam pada si berpiutang itu adalah berhak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat tadi atas biaya si berutang, dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.” Dan pasal 1241 KUH Perdata yang mengatur bahwa “Apabila perikatan tidak dilaksanakannya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah mengusahakan pelaksanaaanya atas biaya si berutang.” Mengenai perjanjian macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil mungkin dilakukan. Perjanjian untuk berbuat sesuatu juga secara mudah dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang tidak penting oleh siapa perbuatan itu akan dilakukan.144

Dalam hal kasus dalam Perjanjian Pemeliharaan Jalan dan Jembatan, para pihak yang bersengketa menyelesaikan dengan jalan bermusyawarah. Para pihak berusaha agar keputusan yang dicapai dapat menguntungkan kedua belah pihak. Pada awalnya, Pemerintah meminta PT. Tunas Jaya untuk menunjuk kontraktor lain untuk menggantikan posisinya dalam menyelesaikan pekerjaan pemeliharaan jalan dan jembatan Merauke itu dimana seluruh biaya harus ditanggung oleh PT. Tunas Jaya. Namun, PT. Tunas Jaya menyatakan bahwa ia tidak sanggup memenuhi permintaan tersebut dikarenakan tidak memiliki dana lagi. Akhirnya setelah diadakan musyawarah kembali, Pemerintah mengambil alih Pekerjaan Pemeliharaan Jalan dan Jembatan itu. Sedangkan PT. Tunas Jaya diminta membayar ganti rugi berupa jaminan pelaksanaan.

144

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, dalam penelitian ini diusulkan suatu algoritma baru yang menggabungkan metode Maximum Tsallis Entropy dan Honey Beee Mating Optimization (MTHBMOT)

Penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini yang berjudul “Uji Organoleptik dan Uji Antibakteri pada

Dari penetapan harga gabah kering panen oleh pemerintah yang lebih rendah maka petani dan tengkulak lebih memilih menjual gabahnya ke penggilingan gabah karena harga lebih

Berdasarkan identifikasi dan penggolongan variabel serta hasil analisis pengaruh relatif faktor bahan baku yang tinggi dalam pembentukan atribut produk, dapat

karena saya percaya bahwa produk IM3 merupakan pilihan yang terbaik untuk saya5. Saya akan merekomendasikan produk IM3 kepada orang lain yang meminta rekomendasi dari saya

Berdasarkan kepada tema hasil kajian, projek CSR perladangan cili kontrak yang telah dilaksanakan oleh syarikat korporat multinasional di Malaysia dengan kerjasama pihak

Pengga- bungan model pembelajaran guided inquiry dan mind mapping diharapkan dapat mengeksplorasi kemampuan siswa dalam belajar dengan bimbingan dari guru, melatih

Dalam penelitian ini hasil penggunaan algoritma least connection untuk load balancing lebih memberikan performa yang baik dibandingankan algoritma round robin