• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PEMBANGUNAN. A. Pengertian Perjanjian Kerjasama dalam Kitab Undang-Undang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PEMBANGUNAN. A. Pengertian Perjanjian Kerjasama dalam Kitab Undang-Undang"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA PEMBANGUNAN

A. Pengertian Perjanjian Kerjasama dalam Kitab Undang-Undang Perdata

1. Pengertian Perjanjian Kerjasama

KUH Perdata memberi keleluasaan bagi para pihak yang mengadakan perjanjian untuk membentuk kesepakatan di dalam maupun di luar KUH Perdata itu sendiri. Peraturan ini berlaku untuk semua pihak yang mengadakan kesepakatan, yang tidak bertentangan dengan undang-undang, norma-norma kesusilaan yang berlaku. Perjanjian lahir karena adanya kesepakatan, kesamaan kehendak (konsensus) dari para pihak.

Hal ini berarti bahwa perjanjian tidak diadakansecara formal saja, melainkan juga secara konsensual.Dalam kehidupan sehari-hari, telah tercipta suatu anggapan bahwa kontrak merupakan bentuk formal dari suatu perjanjian yang berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu yang dibuat dalam bentuk tertulis Ketentuan umum dari suratperjanjian terdapat dalam KUH Perdata pada Buku III Bab II, sedangkan mengenai perjanjian-perjanjian khusus diatur dalam Buku III Bab XVIII.Pada Buku III Bab II KUH Perdata berjudul “Tentang perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian”. Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa:“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu)

(2)

15 orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lainnya atau lebih.”

Namun menurut Muhamad Abdul Kadir, Pasal 1313 KUHPerdata mengandung kelemahan karena7

a. Hanya menyangkut sepihak saja ;

Dapat dilihat dari rumusan "satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata "mengikatkan" sifatnya hanya sepihak, sehingga perlu dirumuskan "kedua pihak saling mengikatkan diri" dengan demikian terlihat adanya konsensus antara pihak-pihak, agar meliputi perjanjian timbal balik.

b. Kata perbuatan "mencakup" juga tanpa konsensus

Pengertian "perbuatan" termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa atau tindakan melawan hukum yang tidak mengandung konsensus. Seharusnya digunakan kata "persetujuan".

c. Pengertian perjanjian terlalu luas

Hal ini disebabkan karena mencakupjanji kawin (yang diatur dalam hukum keluarga), padahal yang diatur adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan.

d. Tanpa menyebutkan tujuan

Rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak disebut tujuan diadakannya perjanjian, sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri tidak jelas untuk maksud apa.

(3)

16 Perjanjian memiliki definisi yang berbeda-beda menurut pendapat para ahli yang satu dengan yang lain. Secara umum, perjanjian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalahpersetujuan (baik lisan maupun tulisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang disebut dalam persetujuan itu.

Menurut M. Yahya Harahap, Dari perjanjian tersebut maka timbullah perikatan. Perikatan menurut Subekti merupakan suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi kewajiban itu.8

8

M.Yahya Harahap, Segi-segi hukum perjanjian, alumni, Bandung, 1986, hlm.6

Selain orang-perorangan (manusia secara biologis), para pihak dalam perjanjian bisa juga terdiri dari badan hukum. Perseroan Terbatas (PT) merupakan badan hukum yang dapat menjadi salah satu pihak atau keduanya dalam perjanjian. Kedua-duanya merupakan subyek hukum, yaitu pihak yangdapat melakukan perbuatan hukum, pihak yang mengemban hak dan kewajiban. Suatu badan hukum segala perbuatan hukumnya akan mengikat badan hukum itu sebagai sebuah identitas legal (legal entity).

Meskipun perbuatan badan hukum itu diwakili pemimpinnya, misalnya direktur dalam Perseroan Terbatas namun perbuatan itu tidak mengikat pemimpin badan hukum itu secara perorangan, melainkan mewakili perusahaan sebagai Legal entity.

(4)

17 Dalam pelaksanaannya, jika terjadi pelanggaran perjanjian, misalnya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) sehingga menimbulkan kerugian pada pihak yang lain, maka pihak yang dirugikan itu dapat menuntut pemenuhan haknya yang dilanggar.

Perjanjian dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Pada saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.

(5)

18 c. Mengenai suatu hal tertentu

Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak mengira-ngira.

d. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan dapat dijalankan.

Sedangkan dalam Pasal 330 KUHPerdata, yang dimaksud dengan tidak cakap untuk membuat sah perjanjian adalah:

a. Orang-orang yang belum dewasa

(6)

19 c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

Undang-Undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertetu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 330 KUH Perdata, dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Dalam pasal 330 KUHPerdata lebih tepatnya mengatur bagi golongan Eropa, Timur asing, dan Bumi Putera yang tidak memiliki peraturan dalam hukum adatnya. Dikarenakan masing-masing masyarakat di Indonesia mempunyai hukum adat masing-masing yang telah menentukan aturan kebelumdewasaan.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menimbulkan suasana baru dalam hukum Keluarga Indonesia. Karena undang-undang tersebut tidak hanya mengatur tentang bidang perkawinan saja, tetapi juga bidang lain yang termasuk bidang Hukum Keluarga, seperti status anak, kedewasaan, serta tanggung jawab orang tua terhadap anak dan anak terhadap anak, dan tentang perwalian anak. Meskipun pengaturan tentang Hukum Keluarga dalam Undang-undangperkawinan hanya garis besarnya saja dan masih memerlukan peraturan pelaksana yang akan mengaturnya lebih lanjut, tetapi dapatlah dikatakan bahwa undang-undang tersebut telah mengatur dasar-dasar

(7)

20 hukum Hukum Keluarga Nasional terutama berkaitan dengan kedewasaan secara yuridis sosial dan juga tentunya ranah filosofinya.

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini juga mengatur tentang kedewasaan, yaitu pada Pasal 47 ayat (1) (2) dan pasal 50. Sebagaimana juga KUHPerdata mengatur batas usia dewasa dalam Bab tentang Hukum Keluarga, maka Undang-undang nomor 1 Tahun 1974, juga telah menentukan batas usia dewasa tersebut.

Pasal 47 ayat (1) menegaskan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya”. Sedangkan pada pasal 47 ayat (2) menegaskan, “Orang tua mewaili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan.

Pada Pasal 50 ayat (1) menjelaskan, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua berada dibawah kekuasaan wali”. Sedangkan pada Pasal 50 ayat (2) menerangkan, Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya

Dari penjabaran diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap perbuatan hukum yang dilakukan anak dibawah usia 18 (delapan belas) tahun tanpa diwakili orang tua atau walinya dapat dibatalkan. Disini dengan jelas dan tegas peraturan ini mengatur perbuatan hukum seorang anak belum

(8)

21 dewasa. Jadi Pasal 47 ayat (1), (2) dan Pasal 50 ayat (1), (2), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 telah mengatur tentang perbuatan hukum seorang anak belum dewasa, karena ia dalam setiap perbuatan hukumnya tidak dapat melakukannya sendiri melainkan harus selalu diwakili oleh orang tua maupun walinya.

Dari penjelasan singkat tentang makna dewasa secara yuridis di atas, dapat diambil satu garis besar, bahwa sesorang dapat dianggap dewasa menurut hukum (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) apabila memenuhi kriteia yang ada dan jelas dalam undang-undang tersebut. Kriteria tersebut ditetapkan agar setiap subyek hukum dapat dipertanggungjawabkan segala tindakan yang dilakukannya.

2. Asas-Asas Perjanjian

Asas-asas perjanjian diatur dalam KUH Perdata, yang setidaknya memiliki lima asas yang perlu mendapat perhatian dalam pembuatan perjanjian, adapun asas-asas yang diperlukan untuk membuat suatu perjanjian antara kedua belah pihak yaitu:

a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian

(9)

22 pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang menerangkan tentang syarat -syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:

1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak.

2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian. 3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian.

4) bebas menentukan bentuk perjanjian.

5) kebebasan- kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan9.

b. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)

Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi), maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan perjanjian, bahkan hakim dapat memerintahkan pihak lain yang membayar ganti rugi. Putusan pengadilan tersebut merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum secara pasti hukum yang secara pasti memiliki perlindungan hukum.

Asas ini dapat dipertahankan seluruhnya dalam hal :

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut seimbang 2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum

9 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT, Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 4

(10)

23 c. Asas Konsesualisme (Concesualism)

Pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik terjadinya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapka, sehingga tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal Undang-Undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian, misalkan syarat harus tertulis, contohnya adalah jual beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat tertulis.

d. Asas Itikad Baik

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemukan dalam hukum benda (pengertian subyektif), maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 (pengertian obyektif)10

e. Asas Kepribadian (Personality)

Dimana hal ini dapat berarti bahwa itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian, yaitu harus jujur, terbuka dan saling percaya. Keadaan para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutupi keadaan sebenarnya.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang

(11)

24 membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

B. Klasifikasi Jenis Perjanjian Kerjasama

Dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata dibagi beberapa hal tentang perikatan, yaitu:

1. Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.

Perjanjian untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal 1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar, penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. perjanjian untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu diatur pada pasal 1239 sampai dengan 1242, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

3. Perjanjian untuk penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan.

(12)

25 Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Penjelasannya ini tertera pada Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.

Menurut Sutarno, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu11

1. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjianjual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.

:

2. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak sajaMisalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada padaorang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak

11

Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hlm. 82.

(13)

26 menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan. .

3. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.

4. Perjanjian konsensuil, riil dan formil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antarapihak yang membuat perjanjian. Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang Pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata. Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. .

5. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama. Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak

(14)

27 diatur secara khusus dalam undang-undang. Misalnya perjanjian leasing, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.

Menurut R. Subekti terdapat beberapa macam jenis perjanjian jika dilihat dari bentuknya, adapun jenis perjanjian jika dilihat dari bentuknya yakni12

1. Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perjanjian itu barulah akan lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade)

:

2. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling), perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang

.

3. Perikatan yang memperbolehkan memilih alternatif adalah suatu perikatan dimana terdapat dua macam atau lebih prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana yang ia lakukan.

4. Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak

(15)

28 yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalantentang dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli warisnya.

6. Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya. Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah sebahagian dipenuhi.

(16)

29 Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut13

1. Perjanjian timbal balik. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.

:

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari. Di luar perjanjian khusus tumbuh perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktekadalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

(17)

30 4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH Perdata;.

b. Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst) yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.

c. Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi, pasal 1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian public, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya perjanjian ikatan dinas. Adapun jenis perjanjian kerjasama kontrak bisnis dapat dilihat dari hubungan hubungan dan kondisi bisnis yang terjadi pada suatu perusahaan.

(18)

31 Terlepas dari bidang usaha yang dijalani, adapun macam-macam hubungan dan kondisi bisnis tersebut yaitu sebagai berikut14

1. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kontraktor dan mitra bisnis.

:

Hubungan dengan kontraktor merupakan hubungan pemborongan suatu proyek, bisa dalam rangka mengadakan suatu bangunan pabrik dan atau kantor, dimana perusahaan menjadi pemilik (yang memberikan order kerja) dan kontraktor menjadi pemborong (yang menerima order kerja). Skala dan kompleksitas proyek dapat sangat beragam. Dari yang proyek kecil hingga yang proyek besar; dari yang sederhana hingga yang canggih. Konsep perikatan (perjanjian)-nya pun beragam mengikuti hal-hal tersebut. Dari sekedar Perjanjian Pemborongan hingga Engineering Procurement Construction Contract atau EPC Contract.

Sedangkan hubungan dengan mitra bisnis, perusahaan mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu proyek atau obyek kerjasama bisnis tertentu. Dalam hal suatu proyek, maka kedua belah pihak melakukan:

a. Suatu kerjasama operasi (joint operation; seperti: Joint Operation

Agreement atau Production Sharing Agreement)

14

Diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl31/jenis-jenis-kontrak-bisnis, pada tanggal 6 juni 2015

(19)

32 b. Penyertaan modal saham (joint venture) dengan mendirikan suatu perusahaan usaha patungan (joint venture company), yang perjanjiannya disebut Joint Venture Agreement.

Sedangkan dalam obyek kerjasama bisnis tertentu dapat mencakup hal-hal yang sangat luas dan beragam. Pada umumnya:

a. Struktur transaksi pembiayaan proyek (seperti: Build

OperateandTransfer Agreement atau disingkat BOT Agreement,

atau Build Operate and Own Agreement atau disingkat BOO

Agreement)

b. Proses alih teknologi atau pengetahuan tertentu (seperti: Technical

Assistance Agreement);

c. Kepentingan pengembangan/jaringan bisnis (seperti: Collaboration

Agreement);

d. Kepentingan penelitian dan pengembangan serta rekayasa mengenai obyek tertentu; mungkin tidak ada pendapatan yang diperoleh tetapi tujuan dari hasil kegiatan tersebut yang diutamakan (seperti: Research, Developmentand Engineering

Agreement);

e. Kepentingan hak milik intelektual (seperti: Licence Agreement). 2. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan pemasok.

Sederhananya, perjanjian dengan para pemasok barang atau jasa bagi kepentingan produksi atau operasi bisnis sehari-hari. Biasanya disebut Supply Agreement.

(20)

33 3. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan distributor, retailer/agen

penjualan.

Dalam hal perusahaan tidak melakukan penjualan langsung melalui divisi pemasaran dan penjualannya, maka ia akan menunjuk pihak lain yaitu distributor atau retailer atau agen penjualan. Biasanya disebut

Distribution Agreement dan Sales Representative Agreement.

4. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan konsumen atau debitur. Dalam hal konsumen tidak mampu membayar tunai, maka perusahaan dapat melakukan pembiayaan sendiri terhadap konsumen yang bersangkutan dengan melakukan perjanjian jual beli dengan cicilan (Purchase With Installment) atau sewa beli (Hire Purchase

Agreement).

5. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan para pemegang saham. Pada umumnya, dalam hal kondisi diluar dari penyertaan modal yang sudah diatur dalam anggaran dasar, yaitu seperti Perjanjian Hutang Subordinasi atau bila ada kesepakatan antara pemegang saham lama dengan yang baru, yaitu Shareholder Agreement.

6. Hubungan bisnis antara perusahaan dengan kreditur yang memberikan fasilitas kredit atau pinjaman.

Pada umumnya dikenal dengan dengan Facility Agreement atau

Credit Agreement. Namun dari segi sifat hutang dan struktur transaksi

dapat merupakan macam ragam hubungan atau transaksi pinjaman, misalnya, Syndicated Facility Agreement.

(21)

34 Secara konsepsional dikenal beberapa bentuk kerjasama antara pemerintah dengan swasta, yaitu:

1. Build and transfer

Suatu perjanjian dimana kedudukan kontraktor hanya membangun proyek tersebut, setelah selesai dibangunnya proyek tersebut maka proyek yang bersangkutan diserahkan kembali kepada pihak bowler tanpa hak kontraktor untuk mengelolah/memungut hasil dari proyek tersebut. Dalam praktik build and transfer ini disebut dan dipadankan dengan contract design and build atau full finace sharing, turn key

project.

2. Build, operated, transfer (BOT)

Setelah membangun proyek tersebut pihak swasta kemudian berhak mengelolah atau mengoperasikan proyek tersebut dalam waktu tertentu, dan dengan pengoperasian tersebut pihak swasta memperoleh keuntungan, dan setelah jangka waktu disepakati kemudian proyek tersebut diserahkan kepada pihak swasta tanpa memperoleh pembayaran dari pemerintah.

3. Kerjasama bangun, kelola, sewa, dan serah (build,operate,leasehold,

and transfer).

Perjanjian antara pemerintah dengan pihak swasta dengan syarat, sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah)

b. Pihak ketiga membangun diatas tanah milik pemerintah daerah. c. Pihak ketiga mengelola, mengoperasikan dengan menyewakan

(22)

35 d. Pihak ketiga memberikan kontribusi dari hasil sewa kepada

pemerintah daerah yang besarnya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan.

e. Jangka waktu kerjasama sesuai kesepakatan bersama.

f. Setelah berakhirnya kerjasama pihak ketiga menyerahkan seluruh bangunan kepada pemerintah daerah.

4. Kerjasama Bangun, Serah, dan Kelola (Build, Transfer,and Operate). Perjanjian anatara pemerintah dengan pihak swasta dengan syarat, sebagai berikut:

a. Pemerintah daerah memiliki aset (tanah)

b. Pihak ketiga membangun di atas tanah pemerintah daerah

c. Setelah pembangunan selesai pihaak ketiga menyerahkan bangunan kepada pemerintah daerah

d. Pihak ketiga mengelola bangunan tersebut selama kerjasama

e. Pihak ketiga memberikan imbalan berupa uang atau bangunan lan kepada pemerintah daerah sesuai kesepakatan

f. Risiko selama masa kerjasama ditanggung oleh pihak ketiga

g. Setelah berakhirnya kerjasama, tanah dan bangunan tersebut diserahkan kembali kepada pemerintah daerah.

5. Kerjasama Rehabilitasi, Guna, dan Serah (Renovate,Operate, and

Transfer).

Memiliki syarat yang harus dipenuhi, sebagai berikut: a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah dan bangunan) b. Pihak ketiga memiliki modal untuk rehabilitasi bangunan c. Pihak ketiga mengelola bangunan selama kerjasama d. Hasil pengelolaan seluruhnya menjadi hak pihak ketiga e. Pihak ketiga tidak boleh mengagunkan bangunan

f. Jangka waktu kerjasama ditetapkan maksimal lima tahun

g. Setelah berakhirnya masa kerjasama, tanah dan bangunan diserahkan kepada pemerintah daerah dalam keadaan baik

6. Kerjasama Renovasi, Guna Sewa, dan Serah ( Renovate, Operate,

Leasehold, and Transfer ).

Kerjasama antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan syarat-syarat sebagai berikut:

(23)

36 a. Pemerintah daerah memiliki asset (tanah dan bangunan)

b. Pihak ketiga merenovasi bangunan

c. Pihak ketiga mengelola dan mengoperasikan bangunan dan dengan menyewakan dari pemerintah daerah untuk disewakan lagi pada pihak lain atau dipakai sendiri

d. Pihak ketiga memberikan kontribusi dari hasil sewa dari pemerintah daerah yang besarnya ditetapkan sesuai kesepakatan e. Pihak ketiga menanggung biaya pemeliharaan dan asuransi f. Risiko kerjasama sesuai kesepakatan.

7. Kerjasama bangun, Serah, dan Sewa (Build, Transfer, Leasehold) Kerjasama anatara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan ketentuan:

a. Pemerintah memiliki aset (tanah)

b. Pihak ketiga membangunkan diatas tanah pemerintah

c. Pihak ketiga menyerahkan bangunan kepada pemerintah daerah setelah selesai

d. Pihak ketiga mengelola, mengoperasikan bangunan dengan cara menyewakan kepada orang lain.

e. Pihak ketiga memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dari hasil sewa tersebut yang besarnya sesuai kesepakatan.

f. Pihak ketiga menaggung biaya pemeliharaan.

g. Risiko s elama masa kerjasama ditanggung oleh pihak ketiga.

Dalam kondisi ini maka pengadaan barang/jasa pemerintah yang dilelang kepada perusahaan kontraktor swasta ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian ini menganut dasar Build and transfer, karena pihak kontrak hanya membangun apa yang diperjanjikan dalam kontrak. Setelah kontraktor menyelesaikan pekerjaan maka akan diserahkan kepada pihak pemerintah selaku penyelengara lelang pekerjaan.

C. Dasar Hukum Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang/Jasa

Pemerintah

Pengadaan barang ataupun jasa yang terjadi antara orang perorangan/badan hukum dengan perorangan atau badan hukum lainnya, diatur secara umum dalam KUH Perdata dalam hal terjadi kesepakatan antara para pihak

(24)

37 untuk melakukan pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan persyaratan perjanjian sebagaimana yang diisyaratkan dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

Latar belakang yang mendasari PERPRES Nomor 4 Tahun 2015 pertama ialah berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Pasal 4 ayat (1) Republik Indonesia, maka lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010. Dengan melihat Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka terbentuknya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 172 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Beberapa hal yang baru dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah:15 1. Yang melakukan proses pemilihan penyedia dalam pengadaan langsung,

penunjukan langsung, dan e-purchasing adalah pejabat pengadaan.

2. Penyedia dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa dipersyaratkan antara lain memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir.

15

http://ahmaddamopolii.info/2015/1/23/perpres-4-tahun-2015-perubahan-keempat-atas-perpres-54-tahun-2010/ diakses pada tanggal 7 Juni 2015

(25)

38 3. Persyaratan pemenuhan kewajiban perpajakan tahun terakhir

dikecualikan untuk pengandaan langsung dengan menggunakan bukti pembelian atau kwitansi.

4. Pengumuman rencana umum pengadaan oleh pengguna anggaran dilakakukan setelah rancangan peraturan daerah setelah disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD.

5. Tanda bukti perjanjian terdiri atas; a. Kwitansi

b. Surat Perintah Kerja c. Surat Perjanjian d. Surat pesanan

6. Bukti perjanjian untuk pengadaan barang/jasa melalui e-purchasing dan pembelian secara online adalah surat pesanan.

7. Jaminan pelaksanaan sudah tidak diperlukan untuk pengadaan langsung, penunjukan langsung darurat, sayembara, dan pengadaan e-purchasing. 8. Untuk pengadaan barang/jasa tertentu, kelompok kerja ULP dapat

mengumumkan pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa secara luas kepada masyarakat sebelum RUP diumumkan.

9. Dalam hal proses pemilihan penyedia barang/jasa dilaksanakan melalui pengesahan DIPA/DPA dan alokasi anggaran DIPA/DPA tidak disetujui atau ditetapkan kurang dari nilai pengadaan barang/jasayang diadakan, proses pemilihan penyedia barang/jasa dilanjutkan ke tahap penandatanganan kontrak setelah dilakukan resisi DIPA/DPA atau proses pemilihan penyedia barang/jasa dibatalkan. Dimana para pihak

(26)

39 menandatangani kontrak setelah penyedia barang/jasa meenjaminkan menyerahkan jaminan pelaksanaan.

10. Pembayaran untuk pekerjaan konstruksi dilakukan senilai pekerjaan yang telah terpasang.

11. Pemberian kesematan kepadapenyedia barang/jasa menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada melampaui tahun anggaran maka dengan melakukan kontrak atas sumber pembiayaan DIPA atas sumber-sumber pembiayaan tahun anggaran berikutnya. 12. Penegasan pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah dilakukan

secara elektronik.

13. Ketentuan pelaksanaan e-tendering untuk pengadaan jasa konsultasi. Ketentuan pengadaan barang/jasa di desa diatur dengan pedoman yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota yang mengacuh pada pedoman yang ditetapkan oleh LKPP berdasarkan kepada Kepres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa pemerintah, pada pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa “Pengadaan barang/jasa pemerintah yang selanjutnya disebut dengan pengadaan

barang/jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh

Kementrian/Lembaga/satuan kerja perangkat Daerah/institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan untuk memperoleh barang/jasa.”

Pengertian pengguna barang/jasa menurut Pasal 1 ayat 3 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah “pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang

(27)

40 Lembaga Kebijakan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut LKPP berdasarkan Pasal 1 ayat 4 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah “Lembaga

Pemerintah yang bertugas mengembangkan dan merumuskan kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa sebagaimana yang dimaksud dalam Perpres Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana diubah dengan peraturan presiden Nomor 157 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 106 Tahun 2007 tentang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa.”

Penggunaan anggaran yang selanjutnya disebut PA dalam pasal 1 ayat 5 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah “Pejabat pemegang kewenangan

penggunaan anggaran Kementrian/Lembaga/satuan kerja perangkat Daerah atau pejabat yang disamakan pada Institusi pengguna APBD/APBN.”

Pejabat pengadaan dalam pasal 1 ayat 9 Perpres Nomor 4 Tahun 2015 adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung dan e-Purchasing.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil akhir dari penelitian ini didapatkan bahwa sistem pendukung keputusan dengan metode SAW mampu mengatasi permasalahan dalam menyeleksi calon penerima bantuan

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika peserta

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: IDENTIFIKASI KESULITAN SISWA

Hasil penelitian menunjukkan sebagai berikut: 1 Pelaksanaan Bimbingan belajar dilakukan setelah menghadapi UTS, pelaksnaanya di lakukan di luar jam pelajaran setelah pulang sekolah

Jumlah foto elektron yang dihasilkan oleh permukaan logam berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang menyinari.. Partikel – partikel alpha

Berdasarkan simpulan tersebut di atas, maka saran yang dapat disampaikan sebagai berikut. 1) Kepada praktisi pendidikan khususnya guru matematika di SDN 9 Sesetan

• Moratorium pengiriman TKI PLRT ke negara‐negara yang tidak dapat menjamin hak‐hak TKI, terutama ke negara‐negara di Timur Tengah yang memiliki sistem Kafalah dan

Dalam rangka mengimplementasikan program dan kegiatan Tahun Anggaran 2016 dalam kerangka pencapain kinerja program tahun 2015 - 2019, Direktorat Jenderal Peternakan dan