• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teoritis 2.1.1 Definisi Pajak

Ada bermacam-macam definisi Pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Soemarso, 2009:2). Pajak menurut Rochmat Soemitro adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment (Marsyahrul, 2005:2). Sedangkan menurut S.I Djajadinigrat, pajak adalah kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada negara yang disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu tapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejateraan umum (Judisseno, 2005:42).

Pajak menurut pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya

(2)

8

kemakmuran rakyat. Definisi menurut undang-undang ini adalah sebuah definisi resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang pajak.

2.1.2 Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang disingkat dengan Undang-undang PPN. Dalam penjelasan umum Undang-undang PPN dijelaskan bahwa Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak atas konsumsi di dalam negeri atau di dalam daerah pabean. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan yang timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

2.1.2.1 Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, impor Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari

(3)

9

luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berdasarkan Pasal 1A ayat (1) Undang-undang PPN adalah:

a) penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian

b) pengalihan BKP oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing c) penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang

d) pemakaian sendiri dan atau pemberian cuma-cuma atas BKP

e) persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan

f) penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang.

g) penyerahan BKP secara konsinyasi.

Dalam hal penyerahan secara konsinyasi, Pajak Pertambahan Nilai yang sudah dibayar pada waktu BKP yang besangkutan diserahkan untuk dititipkan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada masa pajak terjadinya penyerahan BKP yang dititipkan tersebut. Sebaliknya, jika BKP titipan tersebut tidak laku dijual dan diputuskan untuk dikembalikan kepada pemilik BKP, Pengusaha yang menerima titipan tersebut dapat menggunakan ketentuan mengenai pengembalian BKP (retur).

(4)

10 2.1.2.2 Tarif dan cara menghitung PPN

Tarif yang berlaku atas Penyerahan BKP/JKP dibuat lebih sederhana dengan menerapkan tarif seragam, artinya, satu macam tarif untuk semua jenis BKP/JKP. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dihitung dengan mengalikan tarif PPN 10% atau 0% (untuk ekspor) dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Dengan demikian besarnya Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan rumus sebagai berikut:

PPN = Tarif x DPP ... (1) Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan rumus di atas, merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual atau Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli.

2.1.2.3 Saat terutang Pajak Pertambahan Nilai

Pemungutan PPN menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau pada saat penyerahan JKP, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima sepenuhnya.

(5)

11

Saat terutangnya PPN sebagaimana diatur dalam Undang-undang PPN, Pasal 11 ayat (1) adalah terjadi pada saat:

1) Penyerahan BKP

Terutangnya pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Terutangnya pajak atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifatnya berupa barang tak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai BKP tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.

2) Impor BKP

Terutangnya pajak atas impor BKP, terjadi pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.

3) Penyerahan JKP

Terutangnya pajak atas penyerahan JKP, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.

4) Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean

Terutangnya pajak atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean terjadi pada saat orang pribadi atau badan mulai memanfaatkan BKP tidak berwujud tersebut di dalam Daerah Pabean.

(6)

12 5) Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean

Terutangnya pajak atas pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan JKP tersebut di dalam Daerah Pabean.

6) Ekspor BKP

Terutangnya pajak atas ekspor BKP, terjadi pada saat BKP dikeluarkan dari Daerah Pabean.

2.1.2.4 Faktur Pajak

Faktur pajak merupakan bukti yang harus dilampirkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam melaporkan penghitungan PPN dalam SPT Masa. Pengertian Faktur Pajak menurut Undang-undang PPN adalah bukti pungutan pajak (PPN/PPnBM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak atau bukti pungutan pajak (PPN/PPnBM) karena impor Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jendral Bea dan Cukai (Sukardji, 2007:95).

Dalam hal terjadi penyerahan BKP dan atau JKP, maka Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan BKP atau JKP itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan. Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan.

(7)

13

Kewajiban membuat faktur pajak merupakan refleksi dari kewajiban memungut pajak yang terutang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3A ayat (1) Undang undang PPN (Sukardji, 2007:94). Faktur pajak ini harus diisi secara lengkap, jelas dan benar serta ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk. Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, bagi orang pribadi dan badan yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

Dalam mekanisme PPN dikenal ada tiga macam Faktur Pajak, yaitu: 1) Faktur Pajak Standar

Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan dan Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor: Per-159/PJ./2006 (Sukardji, 2007:276)

Faktur Pajak Standar paling sedikit memuat:

a) Nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP b) Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP

c) Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga

d) PPN yang dipungut

e) Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut

f) Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak dan

(8)

14

Saat pembuatan Faktur Pajak Standar adalah paling lambat:

a) pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP dalam hal pembayaran diterima setelah bulan penyerahan BKP dan atau penyerahan keseluruhan JKP, kecuali pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya maka Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat pada saat penerimaan pembayaran b) pada saat penerimaan pembayaran dalam hal ini penerimaan pembayaran

terjadi sebelum penyerahan BKP dan atau sebelum penyerahan JKP. c) pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian

tahap penyerahan atau

d) pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Pemungut PPN. 2) Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP yang dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau penyerahan BKP dan atau JKP kepada pembeli dan atau penerima JKP yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap.

Syarat-syarat Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: 97/PJ./2005 tentang perubahan ketiga atas Kep-524/PJ./2000.

Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus memuat:

a) Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP dan atau JKP b) Jenis dan kuantum BKP dan atau JKP yang diserahkan

(9)

15

c) Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah

d) Tanggal pembuatan Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan atau JKP atau pada saat pembayaran, apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP dan atau JKP.

Faktur Pajak Sederhana dibuat paling sedikit dalam rangkap dua yaitu: - Lembar ke-1, untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP.

- Lembar ke-2, untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Sederhana.

Tanda bukti penyerahan atau pembayaran atas penyerahan BKP dan atau JKP sepanjang memenuhi persyaratan diperlakukan sebagai Faktur Pajak Sederhana, yaitu bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis. Faktur Pajak Sederhana tidak dapat digunakan oleh pembeli BKP dan atau penerima JKP sebagai dasar untuk pengkreditan Pajak Masukan.

3) Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Gabungan menurut Undang-undang PPN adalah Faktur Pajak Standar yang meliputi seluruh penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan takwim untuk pembeli BKP/penerima JKP yang sama. Artinya, PKP diperkenankan untuk membuat satu Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan BKP/JKP yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli BKP/penerima JKP yang sama. Faktur Pajak Gabungan dibuat paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP/JKP dalam hal

(10)

16

pembayaran terjadi setelah akhir bulan penyerahan atau pada akhir bulan penyerahan BKP/JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan.

2.1.2.5 Nota Retur

Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh Pembeli, PPN dan PPnBM dari BKP yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan PPnBM yang terutang oleh PKP Penjual dan mengurangi Pajak Masukan dari PKP Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas BKP yang dikembalikan telah dikreditkan. PKP Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada PKP Penjual. Pengembalian BKP dianggap tidak terjadi dalam hal BKP yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya.

Nota Retur harus dibuat dalam Masa pajak yang sama dengan Masa pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak. Pengurangan Pajak Masukan oleh PKP pembeli dilakukan dalam Masa pajak dibuatnya Nota Retur.

Nota Retur sekurang-kurangnya mencantumkan: a) Nomor urut

b) Nomor dan tanggal Faktur Pajak dari BKP yang dikembalikan c) Nama, alamat dan NPWP pembeli

d) Nama, alamat, NPWP, serta nomor dan tanggal pengukuhan PKP yang menerbitkan Faktur Pajak

(11)

17

f) Pajak Pertambahan Nilai atas BKP yang dikembalikan

g) Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas BKP Yang Tergolong Mewah yang dikembalikan

h) Tanggal pembuatan Nota retur i) Tanda tangan pembeli.

Dalam hal Nota Retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka tidak dapat diperlakukan sebagai Nota Retur. Ketentuan mengenai nota retur diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 596/ KMK.04/1994 tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk Barang Kena Pajak yang Dikembalikan.

2.1.2.6 Mekanisme Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean dan atau melakukan ekspor BKP diwajibkan melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP wajib memungut PPN yang terutang, menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta melaporkan hasil penghitungan PPN pada Surat Pemberitahuan Masa PPN (SPT Masa PPN).

Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN, tidak termasuk pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Pengusaha Kecil adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan

(12)

18

penyerahan BKP dan/atau JKP dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Kriteria Pengusaha Kecil yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 552/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 571/KMK.03/2003 adalah Pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

Sebelum BKP atau JKP dikonsumsi pada tingkat konsumen, PPN telah dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi. Pemungutan PPN dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak.

Salah satu karakteristik PPN adalah tidak menimbulkan pajak berganda walaupun dikenakan pada setiap jalur perusahaan, karena PPN dikenakan atas pertambahan nilai dengan menggunakan metode pengkreditan. Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dibayarkan ke kas Negara merupakan hasil pengkreditan atau selisih antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran.

Pajak Masukan (PM) adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan BKP. Sedangkan Pajak Keluaran (PK) adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP.

Apabila dari mekanisme pengkreditan Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran hasilnya adalah Pajak Keluaran lebih kecil dibandingkan dengan Pajak Masukan, maka terjadi kondisi Lebih Bayar. Kelebihan ini oleh Pengusaha Kena

(13)

19

Pajak yang bersangkutan dapat dikompensasikan pada masa pajak berikutnya atau direstitusi apabila kelebihan pajak terjadi dalam Masa pajak akhir tahun buku.

Sebaliknya, jika hasilnya adalah Pajak Keluaran lebih besar dibandingkan Pajak Masukan, maka terjadi kondisi Kurang Bayar. Kekurangan ini oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut harus disetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi atau Kantor Pos.

Prinsip dasar mekanisme pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam pasal 9 Undang-undang No.18 tahun 2000 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000, adalah sebagai berikut:

1) Pajak Masukan dalam suatu Masa pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut dalam Masa pajak yang sama.

2) Apabila tidak dapat dikreditkan pada Masa pajak yang sama, misalnya Faktur Pajak terlambat diterima, Pajak Masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada Masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya Masa pajak yang bersangkutan sepanjang:

a) belum dibebankan sebagai biaya atau tidak ditambahkan (dikapitalisasi) pada harga perolehan Barang atau jasa Kena Pajak

b) belum dilakukan pemeriksaan.

3) Apabila jangka waktu pengkreditan Pajak Masukan tersebut tiga bulan telah terlewati maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa pajak Pertambahan Nilai.

4) Dalam hal pada suatu Masa pajak belum terdapat Pajak Keluaran (misalnya belum ada produksi), Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

(14)

20

5) Jika Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke kas Negara selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya. 6) Jika Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka kelebihan

tersebut dapat dikompensasikan ke masa pajak berikutnya.

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, adalah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha dari Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang diserahkan atau dijual. Syarat utama yang diperlukan untuk mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai adalah Faktur Pajak, hal tersebut diatur dalam Undang-undang No.18 Tahun 2000 pasal 1 angka 23.

2.1.2.7 Surat Pemberitahuan Masa PPN

Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang: (Sukardji, 2007:247)

a) pengkreditan PM terhadap PK.

b) pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

SPT Masa PPN bagi PKP pada umumnya adalah :

1) Formulir 1107, merupakan SPT Masa PPN induk berisi tentang identitas PKP, Penyerahan yang Terutang PPN, Penyerahan yang Tidak Terutang PPN dan Jumlah Penyerahan, Pajak Keluaran, Pajak yang Dapat Diperhitungkan,

(15)

21

Pajak yang Kurang atau Lebih Bayar, Jumlah Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan, Pembetulan (hanya diisi jika ada pembetulan).

2) Formulir 1107A, merupakan Lampiran 1 Daftar Lampiran Pajak Keluaran dan PPnBM antara lain berisi: Ekspor, Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak.

3) Formulir 1107B, merupakan Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM antara lain berisi: Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-146/PJ./2006 dan perubahannya yaitu Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: Per-142/PJ./2007.

SPT adalah Surat Pemberitahuan, yaitu :

a) bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan tidak lebih dari 30 (tiga puluh) Faktur Pajak Standar dalam 1 (satu) Masa pajak adalah SPT Masa pajak Pertambahan Nilai (PPN) baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maupun dalam bentuk data elektronik

b) bagi PKP yang menerbitkan lebih dari 30 (tiga puluh) Faktur Pajak Standar dalam 1 (satu) Masa pajak adalah SPT Masa PPN dalam bentuk data elektronik.

SPT dapat berbentuk formulir kertas (hard copy) atau data elektronik, yang disampaikan dalam bentuk media elektronik atau melalui e-Filling. Data elektronik adalah data SPT yang dihasilkan dari e-SPT yaitu Aplikasi Pengisian

(16)

22

SPT. Media elektronik adalah sarana penyimpanan data elektronik yang dapat digunakan untuk memindahkan data dari suatu komputer ke komputer lainnya, antara lain : disket, flash disk, dan Compact Disk (CD). Dalam hal SPT disampaikan dalam bentuk data elektronik, PKP harus menggunakan e-SPT yang telah disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Induk SPT tetap disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).

SPT dapat disampaikan oleh PKP dengan cara :

a) Manual, yaitu disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan atau Kantor Penyuluhan, Pengawasan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) setempat atau disampaikan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau melalui perusahaan jasa kurir. Induk SPT-nya disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), sedangkan Lampiran SPT dapat disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk media elektronik.

b) Elektronik yaitu melalui e-Filling

Penyampaian SPT melalui e-Filing adalah cara penyampaian dengan sistem on-line yang real time melalui satu atau beberapa perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) diatur bahwa setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat

(17)

23

Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Yang dimaksud dengan mengisi SPT adalah mengisi formulir SPT, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi SPT adalah:

a) benar yaitu benar dalam penghitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

b) lengkap yaitu memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT

c) jelas yaitu melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.

Kewajiban penyampaian SPT oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa pajak. SPT Masa PPN wajib disampaikan ke KPP di tempat pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai PKP selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir Masa pajak. Dalam hal tanggal 20 jatuh pada hari libur, SPT Masa PPN harus disampaikan pada hari kerja sebelumnya. Apabila SPT dikirim melalui kantor Pos dan Giro, tanda bukti serta tanggal pengiriman surat tercatat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan SPT oleh PKP. Sesuai dengan Pasal 7 UU KUP, apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu

(18)

24

tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Apabila terdapat kekeliruan dalam pengisian SPT yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

2.1.3 Transaksi Konsinyasi

Transaksi konsinyasi merupakan transaksi penitipan barang untuk dijual dimana pihak yang menyerahkan barang (pemilik) disebut consignor dan pihak yang menerima titipan barang tersebut disebut consignee.

Menurut Hadori Yunus Harnanto (1981:152), konsinyasi merupakan suatu perjanjian dimana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi. Unsur-unsur yang terdapat dalam transaksi konsinyasi adalah unsur perjanjian, pemilik barang, pihak yang dititipi barang, barang yang dititipkan, unsur penjualan dan komisi. Apabila salah satu unsur tidak dipenuhi maka suatu transaksi tidak bisa disebut sebagai transaksi konsinyasi.

(19)

25 2.1.4 PPN atas Transaksi Konsinyasi

Transaksi konsinyasi adalah transaksi penitipan barang, atas transaksi tersebut mendapat konsekuensi pajak yaitu terutang Pajak Pertambahan Nilai pada saat barang tersebut dititipkan. Dalam pasal 1A ayat (1) huruf g Undang-undang PPN diatur bahwa penyerahan BKP secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan BKP yang menjadi objek PPN.

2.1.5 Perlakuan PPN atas Transaksi Konsinyasi

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas transaksi konsinyasi bagi consignee meliputi empat perlakuan yaitu penghitungan PPN, penentuan saat terutang dan saat diperhitungkannya faktur pajak masukan, penyetoran PPN terutang dan pelaporannya dalam SPT Masa PPN.

Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap transaksi konsinyasi diterapkan pada saat penyerahan barang konsinyasi dari consignor kepada consignee, penjualan barang konsinyasi, retur barang konsinyasi, penghitungan dan penyetoran PPN Kurang Bayar serta pelaporannya pada SPT Masa PPN.

2.1.5.1. Transaksi penyerahan barang dari consignor kepada consignee Saat terjadi penyerahan barang konsinyasi, terutang PPN sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu nilai barang atau harga jual yang diserahkan consignor yang tertera pada bukti penerimaan barang. Harga jual sudah termasuk komisi biasanya sudah ditentukan oleh consignor.

Consignor wajib menerbitkan faktur pajak paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP atau pada saat penerimaan pembayaran

(20)

26

dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan BKP. Apabila sudah diterbitkan faktur pajak maka diperhitungkan sebagai pajak Masukan.

2.1.5.2. Transaksi penjualan barang konsinyasi

Saat terjadi penjualan barang konsinyasi kepada konsumen, consignee memungut PPN atas barang dijual senilai 10% dari DPP yaitu harga jual barang konsinyasi yang biasanya sudah ditentukan oleh consignor.

Apabila penyerahan barang konsinyasi dilakukan secara langsung kepada konsumen akhir, atau kepada pembeli yang tidak diketahui identitasnya secara lengkap, maka consignee harus menerbitkan faktur pajak sederhana pada saat dilakukan penyerahan barang konsinyasi. PPN yang dipungut dari konsumen tersebut merupakan Pajak Keluaran.

2.1.5.3. Transaksi retur barang konsinyasi

Apabila barang konsinyasi tidak laku dijual atau karena suatu hal seperti kerusakan barang, jumlah atau kualifikasi barang tidak sesuai dan diputuskan untuk dikembalikan kepada consignor, consignee wajib menerbitkan nota retur.

Berdasarkan pasal 5A UU PPN diatur bahwa, dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh pembeli, PPN dari barang konsinyasi yang dikembalikan tersebut mengurangi Pajak Keluaran bagi PKP penjual dan mengurangi Pajak Masukan bagi PKP pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan. Dengan demikian, Nota Retur akan mengurangi Pajak Masukan yang telah diperhitungkan oleh consignee.

(21)

27

2.1.5.4. Penghitungan, penyetoran dan pelaporan PPN Konsinyasi

Sebelum dilakukan penyetoran PPN terlebih dahulu dilakukan penghitungan Pajak Keluaran (PK) dan Pajak Masukan (PM). Pajak Keluaran diperoleh dari rekapitulasi faktur pajak keluaran yang diterbitkan oleh consignee pada saat penjualan sedangkan Pajak Masukan diperoleh dari rekapitulasi faktur pajak masukan yang diterbitkan oleh consignor pada saat penerimaan barang atau saat pembayaran. Apabila PM lebih besar dari PK maka terjadi PPN Lebih bayar yang bisa dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Apabila PK lebih besar dari PM maka terjadi PPN Kurang Bayar dan selisih tersebut harus disetor ke kas negara selambat-lambatnya tanggal 15 setelah akhir Masa pajak.

Hasil Penghitungan PPN Kurang Bayar atau Lebih Bayar dilaporkan dalam SPT Masa PPN 1107. Apabila consignee menerbitkan faktur pajak keluaran melebihi 30 faktur pajak standar maka SPT wajib disampaikan dalam bentuk data elektronik berupa e-SPT beserta hardcopy induk SPT yang telah ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk. SPT disampaikan ke KPP di tempat pengusaha tersebut dikukuhkan sebagai PKP selambat-lambatnya tanggal 20 setelah akhir Masa pajak.

Referensi

Dokumen terkait

Rasio ROA perusahaan manufaktur dan jasa yang melakukan merger dan akuisisi memiliki nilai t sebesar -1,415 dengan signifikan t sebesar 0,168 > yang menunjukkan bahwa

Untuk daerah pedesaan yang jumlah penduduknya masih relatif sedikit, permasalahan sampah tidak begitu terasa karena sampah yang dihasilkan masih dapat

Unit Kepatuhan merupakan unit kerja yang bertugas dan bertanggung jawab secara ex-ante untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta

5,0 8,3 8,3 6,7 13,3.. Aktivitas lain yang presentasinya cukup besar adalah memberi umpan balik/ evaluasi, tanya jawab dan menjelaskan materi yang sulit

Untuk tetap bertahan dan bersaing dalam kondisi lingkungan bisnis, perusahaan harus menekankan tidak hanya pada produk dengan kualitas tinggi, waktu tunggu yang pendek, dan

Rumah utama yang besar tidak hanya dihuni oleh Mokodoludug dan Boki Baunia serta Lokong Banua, Jayubangkai, Uring Sangiang dan Sinangiang yang lahir di pulau

Bahwa karena gugatan Para Penggugat adalah perkara yang timbul dari perjanjian, maka yang sah sebagai pihak Penggugat atau Tergugat terbatas pada diri pihak yang

Logistik higienis adalah disiplin yang berkaitan dengan pengelolaan aliran barang higienis ( flow of hygienic goods ), aliran informasi ( flow of information ), dan aliran