• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana 1 yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana 1 yang"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi bencana1 yang cukup besar. Berdasarkan data kejadian bencana BNPB tahun 1815 hingga tahun 2015, terdapat beberapa kejadian bencana di Indonesia. Menurut kategori BNPB, kejadian bencana itu di antaranya; aksi teror, banjir dan tanah longsor, gelombang pasang, gempa bumi, tsunami, hama tanaman, kebakaran hutan, kecelakaan transportasi, kekeringan, KLB, konflik sosial, letusan gunung api, dan puting beliung.

Selama kurun waktu 10 tahun terakhir, bencana banjir adalah bencana yang paling sering terjadi di negeri ini. Berdasarkan data BNPB selama kurun waktu 10 tahun terakhir terdapat lima bencana yang memiliki intensitas tinggi yaitu bencana kekeringan 8,6%, kebakaran 14,3%, tanah longsor 15,4%, puting beliung 20,5%, dan bencana banjir memiliki persentase tertinggi yaitu mencapai 32,5%, serta bencana yang lain rata rata memiliki persentase <8% (BNPB, 2015: Data Informasi Bencana Indonesia. http://dibi.bnpb.go.id).

Dari prosentase jumlah korban, bencana gempa bumi memiliki persentase terbesar 47,6%, menyusul selanjutnya kecelakaan transportasi sebesar 10,7%, bencana tanah longsor sebesar 9,9%, bencana tsunami sebesar 9%, bencana gempa bumi dan tsunami sebesar 6,5%, dan bencana banjir dan tanah longsor sebesar 6,3%. Sedangkan jika dilihat dari wilayah terdampak bencana, bencana

1

Bencana adalah berlangsungnya suatu kejadian bahaya yang luar biasa yang menimbulkan dampak pada komunitas komunitas rentan dan mengakibatkan kerusakan, gangguan, korban besar, serta membuat kehidupan komunitas yang terkena dampak tidak berjalan dengan normal tanpa bantuan dari pihak luar, Benson 2007.

(2)

2 banjir memiliki persentase terdampak paling besar yaitu sebesar 78,5%, disusul bencana kekeringan dengan persentase terdampak sebesar 15%, sedangkan persentase terdampak bencana untuk jenis bencana lainnya < 15%. (BNPB, 2015: Data Informasi Bencana Indonesia)

Untuk konteks Daerah Istimewa Yogyakarta, sejumlah bencana yang pernah terjadi adalah gempa bumi, erupsi gunung berapi (Gunung Merapi), banjir lahar dingin, tanah longsor, dan angin puting beliung.

Lahar dingin dari Gunung Merapi mengalir melewati sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi kemudian menyebabkan banjir di daerah sekitar sungai atau bantaran sungai yang menyebabkan kerusakan yang parah. Sungai-sungai yang berhulu di Gunung Merapi dan berpotensi dilalui lahar dingin tersebut adalah Sungai Bedog, Sungai Boyong, Sungai Kuning dan Sungai Opak.

Pada erupsi Merapi 2010 lalu bantaran Sungai Code menjadi daerah yang banyak terkena dampak banjir lahar dingin. Sungai Code merupakan anak sungai dari Sungai Boyong, dan menjadi satu satunya sungai di Kota Yogyakarta yang dilalui lahar dingin. Aliran sungai yang melewati daerah kota ini sangat berpotensi menimbulkan kerusakan dan daerah di sepanjang Sungai Code menjadi daerah paling rentan terhadap risiko banjir lahar dingin.

Berdasarkan data daerah dan jumlah penduduk disekitar Sungai Code Yogyakarta, terdapat beberapa kelurahan yang berada di sekitar Sungai Code yaitu Kelurahan Karangwaru dengan jumlah penduduk 11734 jiwa, Kelurahan Cokrodiningratan 13245 jiwa, Kelurahan Terban 15466 jiwa, Kelurahan Gowongan 10889 jiwa, Kelurahan Kotabaru 5870 jiwa, Kelurahan Tegal Panggung 6746 jiwa, Kelurahan Suryatmajan 3429 jiwa, Kleurahan Purwokinanti

(3)

3 9019 jiwa, Kelurahan Ngupasan 6912 jiwa, Kelurahan Prawirodirjan 10571 jiwa, Kelurahan Wirogunan 14420 jiwa, Kelurahan Keparakan 11755 jiwa, Kelurahan Brontokusuman 12929 jiwa, dan Kelurahan Sorosutan 14420 jiwa (BNPB, 2008: Peta Jumlah Penduduk di Sekitar Kali Code Kota Yogyakarta)

Dari sederetan wilayah tersebut diatas daerah yang mengalami dampak paling parah adalah Kelurahan Gowongan khususnya Kampung Jogoyudan. Kampung Jogoyudan merupakan kawasan permukiman padat yang berada di bantaran Sungai Code wilayah Kota Yogyakarta. Maka dapat diperkirakan dampaknya akan besar dan berpotensi menimbulkan banyak korban. Jika ditinjau secara fisik, letak permukiman yang berada tepat pada kelokan sungai menjadi risiko sangat besar terkena dampak dari terjangan lahar dingin Merapi yang melewati Sungai Code.

Berdasarkan data dari Rencana Kontijensi Kota Yogyakarta tahun 2011 Kampung Jogoyudan adalah daerah terdampak yang paling parah oleh erupsi Merapi 2010.

Ketika terjadi banjir lahar dingin mayoritas warga Jogoyudan yang tinggal di sekitar bantaran sungai terpaksa mengungsi karena tempat tinggal terendam oleh luapan air sungai yang dipenuhi lahar dingin. Selain itu, warga harus menanggung dampak lainnya seperti kehilangan harta benda dan kerusakan lingkungan. Rusaknya instalasi saluran air bersih, tercemarnya air sumur di lingkungan warga, terganggunya sistem sanitasi warga, dan persoalan penumpukan sampah adalah dampak riil dari banjir lahar dingin di Jogoyudan.

Bencana tersebut secara tidak langsung telah memberikan gambaran bagaimana komunitas warga Kampung Jogoyudan mengalami perubahan sosial

(4)

4 cara pandang baik secara tindakan maupun persepsi yang lebih mengarah pada upaya penanggulangan bencana. Mitigasi2 tersebut merupakan mitigasi-sosial3 penanggulangan bencana banjir lahar dingin.

Bertolak dari peristiwa bencana lahar dingin tersebut, penelitian ini berupaya mengungkap dan melacak lebih jauh tentang praktik penanganan bencana yang dilakukan oleh warga Jogoyudan yang terdampak bencana, terutama warga yang tinggal di bantaran sungai. Penelitian ini setidaknya akan mengungkap tentang tiga persoalan penting berikut:

1. Bagaimana warga Jogoyudan melakukan aktivitas tanggap darurat (emergency respond) pada saat bencana lahar dingin terjadi.

2. Bagaimana tingkat kesadaran warga terhadap risiko bencana setelah melakukan tanggap darurat (emergency respond) tersebut. Pengungkapan atas persoalan ini penting untuk melihat perubahan secara pandang, pola pikir, perilaku dan tindakan warga Jogoyudan pasca bencana lahar dingin terjadi.

3. Bagaimana warga Jogoyudan melestarikan kesadaran risiko bencana itu dalam bentuk kelembagaan sosial di tingkat lokal kampung Jogoyudan. Hal ini penting diteliti lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh kesadaran risiko di kalangan warga Jogoyudan terejawantahkan di dalam bentuk kelembagaan sosial yang riil. Dengan demikian kesadaran risiko bencana di kalangan warga berpeluang untuk bisa dilakukan secara berkelanjutan di masa mendatang. Berdasarkan pada tiga isu tersebut, penelitian ini lebih jauh akan memfokuskan

2

Mitigasi diartikan sebagai segala bentuk langkah struktural dan non struktural yang dilaksanakan untuk meminimalkan dampak memrugikan dari kejadian bahaya alam yang potensial timbul. (Benson 2007).

3

Mitigasi Sosial adalah serangkaian upaya yang berusaha mengurangi risiko bencana yang terjadi di dalam masyarakat melalui pelatihan dan pendidikan untuk menumbuhkan kesadaran serta pemahaman bahaya atau kerentanan. (Benson, Circle Indonesia 2007).

(5)

5 kajian dan pembahasan tentang tingkat kesadaran risiko bencana di kalangan warga Jogoyudan, tingkat solidaritas sosial warga Jogoyudan dalam menghadapi risiko bencana, dan proses pelestarian kesadaran risiko bencana dan solidaritas sosial kedalam bentuk kelembagaan sosial yang riil di kalangan Kampung Jogoyudan.

1.2 Rumusan Masalah

Dari paparan di atas riset ini berusaha menjawab rumusan masalah dengan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk dan upaya mitigasi sosial masyarakat dalam bencana banjir lahar daerah penelitian?

2. Bagaimanakah bentuk kelembagaan mitigasi sosial warga Kampung Jogoyudan menangani banjir lahar dingin?

3. Bagaimana keberlanjutan program kelembagaan mitigasi sosial warga Jogoyudan?

1.3 Tujuan

1. Mendeskripsikan bentuk dan upaya mitigasi sosial terhadap bencana lahar dingin di Kampung Jogoyudan.

2. Melihat bentuk kelembagaan mitigasi sosial yang sesuai untuk bahaya banjir lahar dingin di Kampung Jogoyudan.

3. Melihat keberlanjutan program kelembagaan mitgasi sosial warga Kampung Jogoyudan

(6)

6

1.4 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian mengenai analisis bentuk mitigasi sosial terhadap bencana banjir lahar dingin di Kampung Jogoyudan Yogyakarta meliputi:

1. Masyarakat Kampung Jogoyudan terkena dampak bencana lahar dingin dan terlibat dalam emergency respond, serta masyarakat yang juga melangsungkan emergency respond pasca bencana banjir lahar dingin.

2. Lembaga Swadaya Masyarakat, dan lembaga terkait lainnya serta kelompok-kelompok organisasi multistakeholder dalam keterlibatannya memberikan pengaruh pergerakan sistem sosial masyarakat Kampung Jogoyudan dalam tanggap darurat mitigasi sosial.

3. Pemerintah atau perangkat desa yang bertanggung jawab untuk memberikan respon tanggap darurat kepada masyarakatnya dalam praktik penanganan mitigasi sosial.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai pembelajaran dan ilmu pengetahuan untuk pengembangan studi mitigasi sosial kebencanaan, khususnya bencana banjir lahar dingin.

2. Bagi pemerintah daerah diharapkan penelitian ini dapat memberikan data kualitatif tentang bentuk dan upaya mitigasi sosial bencana banjir lahar yang dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pengambilan kebijakan tentang upaya mitigasi bencana di daerah penelitian.

3. Bagi masyarakat sebagai referensi dan pertimbangan mengenai tindakan mitigasi sosial dalam menghadapi bencana banjir lahar dingin.

(7)

7

1.6 Kerangka Teori

Dalam siklus manajemen bencana, mitigasi berada pada tahapan sebelum kejadian atau pra bencana. Maka mitigasi bencana dapat diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi acaman bencana. mitigasi sosial ini menjadi sangat penting sebagai salah satu acuan dasar untuk mengetahui bagaimana keadaan masyarakat pasca terjadinya bencana dan sebelum kejadian bencana atau pra bencana. Kegunaan lain sebagai patokan dan referensi para pemangku kepentingan dalam mencari sumber informasi yang akurat.

Kerangka konseptual mitigasi sosial terdiri dari elemen-elemen yang memungkinkan dipandang mempunyai cara untuk menanggulangi bencana banjir lahar dingin di Jogoyudan. Bentuk penaggulangan bencana tersebut dapat ditinjau dari aspek kapasitas masyarakat, bentuk kesadaran, kelembagaan, pemerintah dan privat sector yang ikut terlibat bersama masyarakat dalam proses penaggulangan bencana. Elemen elemen tersebut dapat dioptimalkan peranannya dalam mereduksi bencana untuk menghindari (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merugikan yang berpotensi menimbulkan bahaya, dalam konteks luas pembangunan berkelanjutan (sustainable).

Nilai-nilai kemasyarakatan atau modal sosial merupakan istilah yang sering digunakan dalam ilmu sosial untuk menggambarkan kapasitas sosial, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara integrasi sosial. kemampuan itu didefinisikan dalam banyak aspek. secara sederhana modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama

(8)

8 diantara mereka. modal sosial merupakan modal yang dihasilkan dari jaringan sosial atau dari keterkaitan seorang individu dengan individu-individu lainnya.

Pierre Bourdieu mendefinisikan modal sosial sebagai “sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembagakan serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (atau dengan kata lain: keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif”. dengan bergabung dalam satu jaringan, seseorang mempunyai kesempatan untuk meningkatkan modal ekonominya.

Modal sosial merupakan instrumen untuk meningkatkan modal ekonomi bisa dipahami karena melihat modal ekonomi sangat penting dalam sistem ekonomi kapitalis saat ini. modal sosial ditujukan untuk peningkatan modal ekonomi seseorang, namun peroses bagaimana modal sosial terbentuk dan dipertukarkan berbeda dengan pertukaran dalam kerangka modal ekonomi. Bourdieu juga menekankan pentingnya transformasi dari hubungan sosial yang sesaat dan rapuh (contingent relations), seperti pertetanggaan, pertemanan, atau kekeluargaan, menjadi hubungan yang bersifat jangka panjang yang diwarnai oleh perasaan kewajiban terhadap orang lain. jumlah modal sosial yang dimiliki oleh seseorang tergantung pada jaringan hubungan yang dapat dimobilisasikannya secara efektif dan tergantung pada volume modal lainnya, ekonomi, kultural, dan simbolik yang dimiliki oleh agen lainnya yang menjadi obyek dari jaringan hubungan yang mereka bangun.

Erat kaitannya dengan penelitian ini tentang mitigasi sosial yang menjurus pada hubungan timbal balik antara individu yang terkena bencana dengan individu

(9)

9 lainnya yang memang memerlukan sebuah bantuan bentuk kerjasama untuk dapat menjalin hubungan dan kemudian dapat kembali menata diri masing-masing, menata komunitasnya yang berhadapan dengan sebuah risiko dari banjir lahar dingin serta bagaimana mereka tidak mudah terkalahkan oleh bencana yang datang dengan meningkatkan kapasitas dan mendidik kesadaran. dengan komunitasnya, mempererat hubungan kelembagaan, modal sosial, modal kultural, modal simbolik dan modal ekonomi salah satu lembaga mereka dalam menjalin kerja sama antar kelompok masyarakat yang mengakar rumput (grassroot), kemampuan untuk bertahan hidup, beradaptasi dengan cepat menggunakan daya lenting (resilience).

Berdasarkan teori tersebut disimpulkan bahwa adanya bentuk mitigasi sosial di Kampung Jogoyudan tidak terlepas dari peran penting kelompok perwakilan masyarakat, kelembagaan lokal, atau pihak eksternal yang ikut terlibat. Terkait dengan itu, bahwa bencana dapat menyebabkan perubahan sosial yang tidak dikehendaki dan harus segera diantisipasi agar terkontrol dengan baik. Maka untuk mengetahui mitigasi sosial masyarakat Jogoyudan dalam penelitian ini memusatkan informasi pada tokoh masyarakat, lembaga sosial masyarakat, dan organisasi lainnya serta pihak eksternal yang ikut terlibat dalam upaya mitigasi sosial bencana lahar dingin di Jogoyudan. Maka berdasarkan paparan tersebut diatas, kaitan dengan mitigasi sosial menjadi hal yang yang sangat penting dikaji lebih lanjut untuk mempermudah pemahaman, maka Kerangka konseptual mitigasi sosial dalam penelitian ini disajikan pada Diagram 1.1 berikut.

(10)

10 Diagram 1.1. Kerangka Pemikiran mitigasi sosial

1.7 Tinjauan Pustaka 1.7.1 Daftar Istilah 1.7.1.1 Bencana

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan atau disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007). Menurut BAKORNAS dalam susanto 2006 menjelaskan empat factor utama yang dapat menimbulkan terjadinya bencana, yaitu kurangnya pemahaman terhadap kakarakteristik bahaya (hazard), sikap atau perilaku yang mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya alam (vulnerability), kurangnya informasi atau

Bencana banjir lahar dingin

Dampak nonstruktural bencana

Tindakan Penanggulangan Mitigasi sosial Pemerintah yang terlibat Tokoh masyarakat Lembaga / organisasi masyarakat / sektor internal dan eksternal

(11)

11 peringatan dini (early warning) yang menyebabkan keditaksiapan, serta ketidakmampuan/ ketidakberdayaan dalam menghadapi ancaman bahaya.

Bencana dibedakan menjadi tiga macam yaitu, bencana alam, bencana non alam, dan bencana sosial.

a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempabumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

b. Bencana non alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa no-alam yang antara lain berupa kegagalan teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

Dalam kajian kebencanaan terdapat beberapa istilah seperti; bahaya, risiko, kerentanan, kemampuan, mitigasi bencana.sebagai berikut:

a. Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilangan jiwa manusia, dan kerusakan lingkungan. (BAKORNAS PBP dalam Susanto, 2006)

b. Risiko (risk) adalah besarnya kerugian atau kemungkinan terjadi korban manusia, kerusakan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bahaya tertentu di suatu daerah pada suatu waktu tertentu. Risiko biasanya dihitung secara matematis, merupakan probabilitas dari dampak atau konsekwensi suatu bahaya. (Susanto,2006).

(12)

12 c. Kerentanan (vulnerability) adalah sekumpulan kondisi yang mengarah dan menimbulkan konsekuensi (fisik, sosial, ekonomi, perilaku) yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Misalnya: penebangan hutan, penambangan batu, pembakaran hutan.

d. Kemampuan (capability), adalah kekuatan dan potensi yang dimiliki oleh perorangan, keluarga da masyarakat yang membuat mereka mampu mencegah, mengurangi, siap-siaga, menanggapi dengan cepat atau segera pulih dari suatu kedaruratan dan bencana. (Susanto, 2006).

1.7.1.2 Manajemen Bencana

Manajemen bencana merupakan strategi dan kebijakan dalam mengantisipasi, mencegah, dan menangani bencana. Tujuannya adalah untuk mencegah, memprediksi dan mengantisipasi bencana sebatas kemampuan yang dimiliki serta meminimalkan kerugian. Jadi pengertian ini justru berangkat dari sikap bahwa bencana tidak sepenuhnya dapat dikendalikan. Menurut Caerter 1991 (dalam Saputri 2014) menjelaskan Manajemen bencana adalah suatu proses dinamis, berlanjut dan terpadu untuk meningkatkan kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan obsevasi dan analisis bencana serta pencegahan mitigasi, kesiapsiagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekontruksi. Proses manajemen bencana melibatkan empat tahapan, yaitu mitigasi (mitigation), kewaspadaan (alertness), tanggapan (response), dan pemulihan (recovery).

(13)

13 Gambar 1.2 Siklus Manajemen Bencana

Manajemen bencana bukan hanya sekedar memberikan pertolongan kepada korban yang terkena bencana seperti yang selama ini dipahami. Manajemen bencana harus dilakukan jauh sebelum bencana terjadi dan juga setelah terjadinya bencana. Setrategi dan kebijakan ini bertujuan untuk sedini mungkin mencegah, memprediksi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya bencana dalm batas-batas kemampuan yang ada serta untuk meminimalkan kerugian yang mungkin timbul akibat terjadinya bencana tersebut.

Negeri kita adalah negeri yang rawan bencana. Manajemen bencana yang efektif merupakan kebutuhan mutlak bagi negeri ini. Kita tidak boleh menyalahkan “nasib” kita karena lahir di negeri ini. Seperti juga Jepang, mereka menerima kenyataan itu, dan mereka berupaya kuat untuk meminimalisir kerugian dengan manajemen bencana yang efektif. Manajemen bencana membahas tentang bagaiman “mengelola:” resiko bencana. Ini meliputi persiapan, pemberian dukungan, dan pembangunan kembali masyarakat ketika bencana terjadi. Manajemen bencana adalah sebuah proses yang berkelanjutan dimana setiap individu, kelompok dan masyrakat mengelola bahaya dalam sebuah usaha untuk menghidari dan mengatasi pengaruh bencana sebagai akibt dari bencana tersebut.

Kesiapsiagaa n Tanggap Pemulihan Pencegaahan dan Mitigasi Bencan

(14)

14 Tindakan yang diambil bergantung kepada persepsi resiko yang mungkin akan ditimbulkan. Manajemen bencana yang efektif tergantung kepada integrasi yang tepat dari rencana darurat pada setiap tingkat dari organisasi yang terlibat, baik pemerintah maupun swasta. Aktivitas pada setiap tingkat mempengaruhi tingkat lainnya. Manajemen bencana adalah sebuah proses yang terus-menerus dimana pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sipil merencanakan dan mengurangi pengaruh bencana, mengambil tindakan segera setelah bencana terjadi, dan mengambil langsung kewaspadaan, tanggapan, dan pemulihan yang berlangsung secara terus menerus inilah yang disebut dengan siklus manajemen bencana. (Susanto,2006).

1.7.1.3 Mitigasi Bencana

Mitigasi bencana, adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU 24/2007). Sedangkan UN-ISDR (dalam Saputri 2014) mengartikan mitigasi sebagai tindakan (langkah) stuktural dan non struktural yang diambil untuk membatasi dampak merugikan dari potensi bahaya alam, kerusakan lingkungan dan bahaya teknologi. Secara lengkap dikatakan dijelaskan dalam PP No 21 Tahun 2008,

“Mitigasi bencana ialah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran masyarakat dan peningkatan kemampuan untuk menghadapi ancaman bencana”

(15)

15 Mitigasi bencana dibedakan menjadi dua jenis yaitu mitigasi non struktural dan struktural. Dalam penelitian ini berfokus pada mitigasi sosial yang termasuk jenis mitigasi non struktural pada daerah penelitian. Maka pada penjelasan jenis mitigasi penulis menekankan pada mitigasi non struktural atau mitigasi sosial.

1. Mitigasi sosial / non struktural

Mitigasi Sosial merupakan jenis mitigasi non struktural dimana masyarakat sebagai obyek dari mitigasi tersebut. Mitigasi sosial merupakan upaya yang dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan meningkatkan kapasitas lembaga dan masyarakat, sehingga pihak pihak tersebut mampu untuk menyiapkan diri dan selalu waspada terhadap ancaman bencana yang akan datang. Kegiatan dalam mitigasi sosial biasanya ditandai dengan melakukan perencanaan tata ruang dan wilayah, memberikan pendidikan mengenai kebencanaan, penyuluhan, pembuatan standard operating procedur (SOP), serta rencana rencana kontijensi lainnya yang berkaitan dengan rencana tanggap darurat bencana. Dalam mitigasi sosial ini lebih difokuskan pada masyarakat, modifikasi perilaku manusia misalnya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai bencana banjir lahar dingin baik itu mengenai bencana itu sendiri maupun mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan jika banjir lahar terjadi. Pemberian pendidikan mengenai kebencanaan juga termasuk kedalam tipe mitigasi non-struktural ini. Selain itu modifikasi perilaku manusia yang bertujuan untuk mengurangi potensi risiko bencana dilakukan dengan pembuatan regulasi, bila di kaitkan dengan mitigasi bencana banjir lahar dingin dapat berupa peraturan mengenai ketentuan pelaksanaan simulasi banjir lahar.

(16)

16 Penjelasan mengenai mitigasi sosial atau mitigasi non struktural dijelaskan oleh Coppola 2007 (dalam Wijayanti 2014) bahwa mitigasi non struktural, umumnya melibatkan pengurangan kemungkinan atau konsekuensi dari risiko melalui modifikasi perilaku manusia atau proses alam, tanpa memerlukan penggunaan struktur rekayasa. Teknik mitigasi non struktural sering dianggap mekanisme dimana „‟manusia beradaptasi dengan alam‟‟. Mereka cenderung lebih murah dan cukup mudah bagi masyarakat dengan sedikit sumber daya teknologi dan finansial untuk penerapannya.

Menurut Coppola 2007, mitigasi sosial contohnya yakni

a) Regulatory measures (Penetapan peraturan), penetapan peraturan dapat berguna untuk kepentingan kabaikan bersama. Khususnya berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, misal mengenai peraturan pelaksanaan mitigasi di suatu daerah.

b) Community awarenes and education program (Kesadaran masyarakat dan program pendidikan), kesadaran dari masyarakat itu sendiri mengenai bahaya yang akan ditimbulkan bila terjadi banjir lahar dingin. Untuk mendukung semakin besar kesadaran masyarakat akan bencana dapat dilakukan pelatihan terkait kebencanaan atau dengan memberikan pendidikan kebencanaan.

c) Nonstructural physical modifications (modifikasi fisik nonstruktural), meliputi modifikasi fisik pada bangunan atau properti yang dapat menghasilkan penurunan risiko. Contoh meliputi : mengamankan perabotan, lukisan/foto, peralatan, dan menempatkannya pada posisi yang lebih tinggi.

(17)

17 d) Environmental control (Pengendalian lingkungan), contohnya : melindungi tempat penampungan air bersih atau sumber air bersih untuk mengurangi pencemaran ketika banjir lahar.

e) Behavioral modification (Modifikasi Perilaku), melalui kegiatan kelompok, sebuah komunitas dapat mengubah perilaku individu, sehingga menghasilkan beberapa manfaat pengurangan risiko secara umum. Dengan dorongan pajak, atau subsidi, dapat membantu meningkatkan keberhasilan pelatihan modifikasi perilaku.

2. Mitigasi struktural

Mitigasi struktural merupakan mitigasi yang memiliki wujud fisik seperti pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Mitigasi struktural lebih fokus pada tindakan pembangunan fisik, dengan memanfaatkan teknik teknik yang telah dikembangkan sebelumnya yang berguna untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari suatu bencana.

Seperti yang dijelaskan Coppola (dalam Wijayanti 2014), langkah langkah mitigasi struktural adalah hal hal yang melibatkan atau memberi perintah atau kebutuhan dalam beberapa bentuk kontruksi, teknik, atau perubahan mekanis lainnya atau perbaikan yang persetujuan untuk mengurangi kemungkinan risiko bahaya atau konsekuensi. Mitigasi struktural lebih banyak memandang dan melakukan pertimbangan pada „‟manusia yang mengendalikan alam‟‟ ketika diterapkan pada bencana alam. Tindakan struktural umumnya mahal dan termasuk berbagai macam peraturan, penyesuaian, paksaan, peninjauan, pemeliharaan, dan pembaharuan.

(18)

18

1.7.1.4 Lahar Dingin

Lahar dingin disebut juga lahar hujan, yaitu material vulkanis yang telah terguyur air hujan, baik bersuhu tinggi maupun bersuhu normal (Sarwidi, 2011). Ketika terjadi erupsi, banyak material vulkanis yang tidak ikut tergelincir dan turun ke bawah, tetapi menumpuk di daerah dekat puncak gunung api. Apabila terjadi hujan lebat di daerah puncak, maka bisa menimbulkan ancaman sekunder bagi daerah di sekitar lereng gunung api terutama daerah bantaran sungai, yaitu ancaman banjir lahar dingin.

Banjir lahar dingin ini dipicu oleh cuaca yaitu curah hujan yang tinggi. Dari catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), berdasarkan data curah hujan selama lebih satu dekade terakhir diketahui kawasan Kaliurang yaitu lereng Merapi, terjadi rata-rata curah hujan bulanan mencapai 508 milimeter pada bulan Januari dan 514 milimeter pada bulan Febuari. Tingginya curah hujan pada bulan-bulan tersebut menunjukkan bahwa puncak musim hujan di puncak Merapi terjadi bulan Januari dan Febuari pada setiap tahunnya.Itu artinya banjir laha r dingin sangat mungkin mengancam.Menurut Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), Subandriyo, saat dihubungi VIVAnews.com, Jumat, 7 Januari 2011. Mengatakan, belum semua material erupsi Merapi, yang jumlahnya diperkirakan 30 juta meter kubik, sudah turun. “Estimasi saya baru 10 persen material yang terbawa banjir. Masih banyak di puncak.”Banjir ini bukan saja membawa lahar, tapi juga batu-batu berukuran raksasa, lumpur dan pasir yang memadat. Karena volume material vulkanik terlalu banyak sehingga memenuhi aliran sungai dan akhirnya menyumbat sungai, ini menyebabkan aliran lahar dan air berbelok ke jalur yang bukan semestinya.

(19)

19 Itu sebabnya, usai memantau aktivitas Merapi, semua petugas BPPTK kini mengawasi ancaman banjir lahar dingin.

Sungai yang berhulu di kaki Merapi berpotensi banjir lahar dingin. Apalagi material vulkanik saat ini telah memenuhi aliran sungai. Akibatnya banjir lahar dingin dapat mengancam penduduk sekitar baik harta benda maupun nyawa yang terkena aliran banjir lahar dingin. Realita ini harus ditindaklanjuti dengan cepat terkait dengan upaya pencegahan peristiwa banjir lahar dingin dengan keilmuan geo-teknik maupun upaya peringatan dini pada masyarakat yang terancam menjadi korban.

1.7.1.5 Modal Sosial

Modal sosial Modal sosial atau social capital merupakan satu terminologi baru yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosial untuk memperkaya pemahaman kita tentang masyarakat dan komunitas. Modal sosial menjadi khasanah perdebatan yang menarik bagi ahli-ahli sosial dan pembangunan khususnya awal tahun 1990-an. Teori tentang modal sosial ini pada awalnya dikembangkan oleh seorang sosiolog Perancis bernama Pierre Bourdieu, dan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat bernama James Coleman. Bourdieu menyatakan ada tiga macam modal, yaitu modal uang, modal sosial, dan modal budaya, dan akan lebih efektif digunakan jika diantara ketiganya ada interaksi sosial atau hubungan sosial. Modal sosial dapat digunakan untuk segala kepentingan, namun tanpa ada sumber daya fisik dan pengetahuan budaya yang dimiliki, maka akan sulit bagi individu-individu untuk membangun sebuah hubungan sosial. Hubungan sosial hanya akan kuat jika ketiga unsur diatas eksis (Hasbullah, 2004:9). James Coleman mengartikan modal sosial (social capital) sebagai struktur hubungan antar

(20)

20 individu-individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru. Menurut Coleman, modal sosial lemah oleh proses-proses yang merusak kekerabatan, seperti perceraian dan perpisahan, atau migrasi. Ketika keluarga meninggalkan jaringan-jaringan kekerabatan mereka yang sudah ada, teman-teman dan kontak-kontak yang lainnya, maka nilai dari modal sosial mereka akan jatuh (Field, 2005:140).

Fukuyama merumuskan modal sosial dengan mengacu kepada “norma-norma informal yang mendukung kerjasama antara individu dan kapabilitas yang muncul dari prevalensi kepercayaan dalam suatu masyarakat atau di dalam bagian-bagian tertentu dari masyarakat. Modal sosial dapat menfasilitasi ekspansi ekonomi ke tingkat yang lebih besar bila didukung dengan radius kepercayaan yang meluas(Ahmadi, 2003: 6 ). Putnam merumuskan modal sosial dengan mengacu pada ciri-ciri organisasi sosial, seperti jaringan, norma-norma, dan kepercayaan yang menfasilitasi koordinasi kerjasama untuk sesuatu yang manfaatnya bisa dirasakan secara bersama-sama (mutual benafit).modal sosial dalam bentuk struktur masyarakat yang horizontal ( yang kemudian melahirkan asosiasi-asiosiasi horisontal) berperan penting dalam mendukung kemajuan ekonomi. Menurut Robert Lawang, modal sosial menunjuk pada semua kekuatan kekuatan sosial komunitas yang dikontruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka dapat mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan modal-modal lainnya (Lawang, 2004:24). Konsep modal-modal sosial menawarkan betapa pentingnya suatu hubungan. Dengan membagun suatu hubungan satu sama lain, dan memeliharanya agar terjalin terus, setiap individu dapat bekerjasama untuk

(21)

21 memperoleh hal-hal yang tercapai sebelumnya serta meminimalisasikan kesulitan yang besar. Modal sosial menentukan bagaimana orang dapat bekerja sama dengan mudah.

Modal sosial atau Social Capital merupakan sumber daya yang dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Sumber daya yang digunakan untuk investasi, disebut dengan modal. Modal sosial cukup luas dan kompleks. Modal sosial disini tidak diartikan dengan materi, tetapi merupakan modal sosial yang terdapat pada seseorang. Misalnya pada kelompok institusi keluarga, organisasi, dan semua hal yang dapat mengarah pada kerjasama. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan pola-pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok, dengan ruang perhatian pada kepercayaan, jaringan, norma dan nilai yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok.

Pada masyarakat dikenal beberapa jenis modal, yaitu modal budaya (cultural capital), modal manusia (human capital), modal keuangan (financial capital) dan modakl fisik. Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya. Modal manusia lebih merujuk pada kemampuan, keahlian yang dimiliki individu. Modal keuangan merupakan uang tunai yang dimiliki, tabungan pada bank, investasi, fasilitas kredit dan lainya yang bisa dihitung dan memiliki nilai nominal. Modal fisik dikaitkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan material atau fisik. Modal sosial akan dapat mendorong keempat modal diatas dapat digunakan lebih optimal lagi.

(22)

22 Menurut Hasbullah, modal sosial adalah sumberdaya yang dapat dipandang sebagi investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru. Di mana kebudayaan tersebut dapat membantu masyarakat atau komunitas supaya bisa menumbuh kembangkan kehidupan ekonomi masyarakat atau komunitas tersebut. Kemampuan komunitas mendayagunakan modal sosial membuat penggunaan modal menjadi lebih efektif dan efisien sehingga memungkinkan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan. Beberapa defenisi yang diberikan para ahli tentang modal sosial yang secara garis besar menunjukkan bahwa modal sosial merupakan unsur pelumas yang sangat menentukan bagi terbangunnya kerjasama antar individu atau kelompok atau terbangunnya suatu perilaku kerjasama kolektif. Dalam modal sosial selalu tidak terlepas pada tiga elemen pokok yang ada pada modal sosial yang mencakup (a) Kepercayaan/Trust (kejujuran, kewajaran, sikap egaliter, toleransi, dan kemurahan hati); (b) Jaringan Sosial/Social Networks (parisipasi, resiprositas, solidaritas, kerjasama); (c) Norma/norms (nilai-nilai bersama, norma dan sanksi, aturan-aturan). Menurutnya ketiga elemen modal sosial di atas berikut aspek-aspeknya pada hakikatnya adalah elemenelemen yang ada atau seharusnya ada dalam kehidupan sebuah kelompok sosial, apakah kelompok itu bernama komunitas, masyarakat, suku bangsa, atau kategori lainnya atau Universitas Sumatera Utara dengan kata lain elemen-elemen modal sosial tersebut merupakan pelumas yang melicinkan berputarnya mesin struktur sosial.

(23)

23

1.7.2 Tinjauan Penelitian Sebelumnya

Penelitian terkait dengan banjir lahar dingin telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Berikut merupakan ringkasan singkat mengenai beberapa penelitian tersebut.

Puspasari Setyaningrum, tahun 2010 dengan judul Identifikasi Tingkat

Kerentanan Sosial Ekonomi Penduduk Bantaran Sungai Code Yogyakarta terhadap Bencana Banjir Lahar Merapi, bertujuan mengidentifikasi tingkat

kerentanan sosial ekonomi dan persepsi masyarakat serta tingkat kapasitas penduduk sekitar Bantaran Sungai Code. Dalam penelitiannya Puspasari menjelaskan bahwa Sungai Code merupakan salah satu sungai yang terkena dampak aliran Gunung Merapi Pasca Erupsi 2010 lalu. Metode yang digunakan adalah survei pada daerah homogen dengan pengambilan sampel secara acak sedehana. Hasil penelitian tersebut menunjukan tingkat kerentanan social ekonomi penduduk sebanyak 52% cenderung pada tingkat rendah. Kerentanan lebih disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah, pekerjaan dan pendidikan serta lamanya waktu domisili. Hal ini biasanya melibatkan suatu ingatan tertentu baik secara indera penglihatan, perabaan, dan sebagainya sehingga bayangan tersebut dapat disadari. Sebagian besar penduduk di Bantaran Sungai Code memiliki persepsi tinggi terhadap bencan banjir lahar. Kecenderungan tingkat persepsi tinggi kecuali pada beberapa tempat seperti Kotabaru, Terban, Cokrodiningratan serta Karangwaru. Hal tersebut disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap bencana. Terdapat 70 responden yang memiliki tingkat kapasitas tinggi yang dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan peningkatan kemampuan diri dan lingkungan pasca kejadian banjir lahar 2010.

(24)

24 Sejalan dengan penelitian tersebut, Suyitno Hadi Putro juga mengungkapkan tentang bencana banjir lahar dingin dalam penelitiannya yang berjudul Dampak

Bencana Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi Pasca Erupsi di Kali Putih.

Dalam penelitiannya menjelaskan Kali Putih merupakan salah satu jalur aliran lahar dingin. Di sepanjang aliran kali putih merupakan daerah hunian serta sumber penghidupan pernduduk sekitar dari hasil perkebunan. Penelitian tersebut bertujuan mengetahui kapasitas dan stabilitas Sabo Dan Kali Putih sebagai Sarana penanggulangan lahar dingin serta kerugian masyarakat yang disebabkan oleh luapan lahar dingin. Metode yang digunakan adalah survei, analisis topografi, geologi daerah penelitian. Hasil dari penelitian mejelaskan bahwa selama terjadinya erupsi terdapat kecenderungan aliran lahar dingin kearah bagian barat salah satunya adalah kali putih. Kondisi fasilitas Sabo sekarang ini secara fisik masih cukup baik akan tetapi dari segi fungsi sebagai bangunan pengendali aliran lahar dingin kurang memadai karena masih terdapat tumpukan lahar dingin di Sabo jembatan Ngempos.

Selanjutnya, terkait dengan mitigasi bencana di Kampung Jogoyudan,

Mochamad Azhar Rivany di tahun 2014 melakukan penelitian berjudul Strategi Adaptasi Masyarakat Kampung Jogoyudan Yogyakarta Terhadap Bencana Banjir Lahar Dingin Merapi 2010 yang menjelaskan adaptasi merupakan

penyesuaian baik pada lingkungan ataupun manusia yang dilakukan untuk mengendalikan atau menurunkan kerugian melalui kapasitas yang dimiliki individu masyarakat, dan untuk menciptakan peluang yang sekiranya memberikan manfaat dalam mengendalikan atau menurunkan kerugian tersebut. Oleh karena itu masyarakat Kampung Jogoyudan melakukan berbagai strategi adaptasi

(25)

25 terhadap banjir lahar dingin, salah satunya dengan bekerja sama dengan pihak luar. Strategi ini merupakan strategi adaptasi yang hanya dilakukan di Kampung Jogoyudan (Fasilitator LSM Habitat for Humanity, 2013).

Penelitian ini berujuan untuk mendeskripsikan strategi adapatasi masyarakat pada kasus bencana banjir lahar dingin di Jogoyudan dan menemukan faktor yang mempengaruhi pemilihan adapatasi tersebut. Metode yang digunakan yaitu kualitatif dengan pendekatan studi kasus, analisis deret waktu dan pembuatan deskripsi. Teknik pengumpulan data dilakukan survei primer, obsevasi partisipatif dan wawancara mendalam. Berdasarkan analisis lebih lanjut terdapat pula faktor yang mempengaruhi tahapan kegiatan masyarakat dalam menghadapi bencana banjir lahar dingin, yakni belum adanya rencana penanggulangan bencana di tingkat kampung dan faktor karakteristik bencana yang dihadapi.

(26)

26

Tabel 1. Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

1. Puspasari Setyaningrum, tahun 2010 Identifikasi Tingkat Kerentanan Sosial Ekonomi Penduduk Bantaran Sungai Code Yogyakarta terhadap Bencana Banjir Lahar Merapi, 1. Mengidentifi kasi tingkat kerentanan sosial ekonomi. 2. Menganalisis persepsi masyarakat serta tingkat kapasitas penduduk sekitar Bantaran Sungai Code. Kuantitatif, survey

1. Tingkat kerentanan social ekonomi penduduk sebanyak 52% cenderung pada tingkat rendah.

2. Sebagian besar penduduk di Bantara Sungai Code memiliki persepsi tinggi terhadap bencana banjir lahar.

3. Terdapat 70 responden yang memiliki tingkat kapasitas tinggi yang dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan peningkatan kemampuan diri dan lingkungan pasca kejadian banjir lahar 2010.

2 Suyitno Hadi Putro

Dampak Bencana Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi Pasca Erupsi di Kali Putih

1. Mengetahui kapasitas dan stabilitas sabo dam Kali Putih. 2. Mengetahui

kekrugian masyarakat akibatn banjir lahar dingin.

Kauntitatif, servei,

1. Terdapat kecenderungan aliran lahar dingin kearah bagian barat salah satunya adalah Kali Putih.

2. Kondisi fisik sabo dam masih baik tetapi dari segi fungsi bangunan kurang memadai.

(27)

27

No Peneliti Judul Tujuan Metode Hasil

3 Mochamar Azhar Rivany,2014 Strategi adaptasi Masyarakat Kampung Jogoyudan Yogyakarta Terhadap Bencana Banjir Lahar Dingin Merapi 2010.

1. Mendeskripsikan strategi masyarakat terhadap bencana banjir lahar dingin di Jogoyudan. 2. Menganalisis faktor faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk adapatasi tersebut. Kualitatif, studi kasus, survey

1. Kampung Jogoyudan melakukan kerjasama dengan pihak luar dalam menangani bencana banjir lahar dingin.

2. Terdapat faktor yang mempengaruhi tahapan adaptasi yaitu belum adanya rencana penanggulangan bencana di itngkat kampung dan factor karakteristik bencana yang dihadapi.

(28)

28

1.8 Keaslian penelitian

Penelitian mengenai banjir lahar dingin sudah banyak dilakukan. Ringkasan singkat mengenai penelitian sebelumnya pada Tabel 1.1. menunjukkan bahwa topik penelitian ini banyak diminati oleh peneliti-peneliti mengenai banjir lahar dingin. Dari ringkasan tersebut memaparkan tentang kerentanan, dampak bencana, dan adapatasi terhadap bencana lahar dingin namun belum mengulas tentang mitigasi bencana terkhusus mitigasi sosial. Pada penelitian sebelumnya juga belum pernah dilakukan penelitian dengan topik yang sama di Jogoyudan.

Alasan tersebut menjadikan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terbatasnya informasi dan penelitian mengenai mitigasi sosial di Jogoyudan maka dirasa penting untuk melakukan penelitian mitigasi sosial terhadap bencana banjir lahar dingin di Jogoyudan.

1.9 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam melacak dan menghimpun data-data tentang mitigasi sosial daerah penelitian sebagaimana dijelasakan di atas. Penelitian ini memposisikan warga masyarakat Jogoyudan sebagai lokus utama dalam menghadapi bencana banjir lahar dingin dan melihat bagaimana tahap kesiapsiagaan serta membangun kesadaran. Dengan kata lain kajian ini menggunakan metode studi kasus.

Menurut Bogdan dan Biklen studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu. Pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Berdasarkan

(29)

29 pemilihan kasusnya, penelitian ini termasuk dalan studi kasus intrinsik, dimana peneliti ingin mengungkapkan secara keseluruhan dan komprehensif keunikan dari proses pembentukan mitigasi sosial masyarakat pasca banjir lahar dan rencana yang akan dilakukan untuk menghadapi bencana banjir lahar yang akan datang. Dengan demikian, kasus dapat didefinisikan secara praktis sebagai suatu fenomena yang harus diteliti dan diinterpretasikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan komprehensif pada setiap variabel informasi yang terdapat di dalamnya.

1.9.1 Daerah Penelitian

Memilih untuk diteliti, sebagai berikut:

pertama, menurut Rencana Kontinjensi Kota Yogyakarta, 2011,Kampung Jogoyudan dinyatakan sebagai wilayah terparah terkena dampak banjir lahar dingin.

Kedua, berdasarkan keterangan salah satu warga Kampung Jogoyudan menjelaskan bahwa Kampung Jogoyudan adalah satu-satunya kampung yang memiliki potensi dan kesadaran untuk mampu berupaya dalam menangani bencana banjir dengan bantuan pihak luar Kampung Jogoyudan.

Ketiga, menurut BPPTKG DIY (2012), lingkungan permukiman di sepanjang bantaran Sungai Code memiliki risiko bencana banjir lahar dingin yang besar dan periode ulang banjir (5 tahunan) seiring siklus erupsi gunung Merapi.

(30)

30

1.9.2 Jenis Data Yang Dikumpulkan

Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil perolehan langsung di lapangan. Dalam penelitian ini data primer merupakan data hasil wawancara dengan menggunakan kuisioner. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari intansi terkait, hasil penelitian terdahulu atau data yang sudah pernah di publikasikan. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari intansi terkait daerah penelitian.

1.9.3 Cara Pengumpulan Data

Data dan informasi terkait mitigasi sosial diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam (indepth interview, dokumentasi, dan melakukan wawancara kepada masyarakat beserta tokoh masyarakat, LSM, dan lain-lain untuk memperoleh informasi mengenai mitigasi sosial. melakukan observasi dan dokumentasi terhadap obyek yang diteliti.

1.9 4 Analisis Data

Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian dilakukan penyederhanaan kemudian dianalisis untuk disajikan dengan bentuk deskripsi dalam pembahasan.

Referensi

Dokumen terkait

Sehati Gas dalam hal pengarsipan dan pencatatan penjualan dan produksi tabung.Sistem pengarsipan dan pencatatan sebelumnya menggunakan sistem manual sehingga

Nuansa musik dalam karya ini juga mengalami perubahan, dimana nuansa awal lagu Kacang Dari yang sangat sederhana agar anak dapat mengantuk dan terlelap mengalami

SPMI di STIKES HANG TUAH SURABAYA dirancang, dilaksanakan, dan ditingkatkan mutunya berkelanjutan berdasarkan pada model PPEPP (Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi,

Jumlah total dan persentase operasi yang dinilai terhadap risiko terkait dengan korupsi dan risiko signifikan yang teridentifikasi.. INDEKS PENGUNGKAPAN GRI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari nilai produksi, upah, dan jumlah unit usaha terhadap penyerapan tenaga kerja pada sektor

Tahap 3a: Peta Strategi  Perspektif Pelanggan  Perspektif Keuangan  Perspektif proses layanan  Perspektif pembelajaran &amp; pertumbuhan Tujuan Akhir.. Tahap 3b: Perspektif

Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa pengetahuan, sikap dan manajemen lak- tasi ibu di wilayah kerja Puskesmas Samaenre pada tahun 2014 sebagian besar masih berada pada

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan pembelajaran dengan metode index card match yang menggunakan collaborative teaching tipe station dan pembelajaran