• Tidak ada hasil yang ditemukan

UCAPAN TERIMA KASIH. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UCAPAN TERIMA KASIH. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur, Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik serta hidayah-Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul “DETEKSI PROTOZOA SALURAN PENCERNAAN PADA KUCING PELIHARAAN DI KOTAMADYA SURABAYA”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya Prof._Hj. Romziah Sidik, drh., Ph.D atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Dr. Endang Suprihati, drh., MS selaku Pembimbing Utama dan Sunaryo Hadi Wardito, drh., MP selaku Pembimbing Serta yang senantiasa membimbing, mengarahkan dan membantu selama penelitian hingga tulisan skripsi ini diselesaikan.

Prof. Dr. Lucia Tri Suwanti, drh., MP., Nusdianto Triakoso, drh., MP. dan Lianny Nangoi, drh., MS selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak masukan dan koreksi selama proses penulisan skripsi.

Sri Chusniati, drh., M.Si selaku dosen wali yang senantiasa memberi dukungan dan nasihat dari awal proses perkuliahan hingga akhir semester.

(2)

Seluruh staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya atas wawasan ilmu selama penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.

Kedua orang tua penulis yang tercinta, ayah H. Nuryadi dan ibu Mas „Ulah yang telah memberikan segala dukungan moril dan materiil serta nasehat, bimbingan, motivasi, semangat serta doa yang tak pernah putus dalam penyusunan skripsi ini, begitu juga dengan adik saya Bahruddin Rohimiy dan Primadani Wibisono selaku calon suami sekaligus sahabat terdekat saya yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa yang tak pernah berhenti selama proses penyusunan skripsi. Kalian luar biasa.

Sahabat-sahabat tercinta Dyah Eka, Megan Reinata, Reno Boma, Yonatan Dimas, Reinata Saras, Ellen Wahyu, Ridho, Ardi dan teman-teman kelas A angkatan 2011 serta seluruh rekan yang selalu memberikan semangat, keceriaan dan cintanya serta teman-teman angkatan 2011 yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Mas Yoga selaku laboran Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga atas bantuan teknik dalam proses penelitian ini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian untuk skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung proses pengumpulan sampel feses kucing yang digunakan pada penelitian untuk skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna dan berharap adanya lanjutan yang mampu menemukan ketidaksempurnaan itu dan

(3)

memperbaiki dalam tulisan yang lain. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga hasil yang dilahirkan dalam skripsi ini bermanfaat sebaik-baiknya.

Surabaya, 2015 Penulis

(4)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN IDENTITAS ... iv

ABSTRAK ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah ... 1

1. 2. Rumusan Masalah ... 4

1. 3. Landasan Teori ... 4

1. 4. Tujuan Penelitian ... 5

1. 5. Manfaat Penelitian ... 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Klasifikasi Kucing ... 7

2. 2. Saluran Pencernaan Kucing ... 8

2. 3. Diare ... 9

2. 4. Parasit pada Saluran Pencernaan Kucing ... 10

2. 5. Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing ... 11

2.5.1. Genus Eimeria ... 11

a. Morfologi ... 11

b. Siklus Hidup ... 12

(5)

a. Morfologi ... 14

b. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 15

2.5.3. Genus Entamoeba ... 16

a. Morfologi ... 16

b. Siklus Hidup ... 17

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 18

2.5.4. Genus Toxoplasma ... 18

a. Morfologi ... 18

b. Siklus Hidup ... 20

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 21

2.5.5. Genus Balantidium ... 22

a. Morfologi ... 22

b. Siklus Hidup ... 23

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 23

2.5.6. Genus Giardia ... 24

a. Morfologi ... 24

b. Siklus Hidup ... 25

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 26

2.5.7. Genus Trichomonas ... 26

a. Morfologi ... 26

b. Siklus Hidup ... 27

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 27

2.5.8. Genus Cryptosporidium ... 27

a. Morfologi ... 27

b. Siklus Hidup ... 28

c. Patogenesis dan Gejala Klinis ... 29

2.6. Diagnosa Penyakit ... 29

2.7. Pencegahan Penyakit Protozoa pada Kucing ... 29

2.8. Pengobatan penyakit protozoa ... 30

BAB 3 MATERI DAN METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

3.2. Bahan dan Alat Penelitian ... 32

3.3. Metode Penelitian ... 32

3.4. Pengambilan Sampel ... 33

3.5. Pengumpulan Data ... 34

3.6. Analisis Data ... 34

(6)

BAB 4 HASIL PENELITIAN

4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing

Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36

4.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36

4.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 40

4.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya ... 41

4.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya ... 43

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 46

5.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 47

5.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 51

5.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing di Kotamadya Surabaya ... 53

5.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya ... 58

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 61

6.2. Saran ... 62

RINGKASAN ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 66

(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2. 1 Saluran Pencernaan Kucing ... 9

2. 2 Morfologi Ookista Eimeria sp. yang Telah Bersporulasi ... 12

2. 3 Siklus Hidup Eimeria sp. ... 12

2. 4 Morfologi Ookista Isospora sp. ... 15

2. 5 Morfologi Stadium Entamoeba histolytica Perbesaran 1700x ... 17

2. 6 Gambar Mikroskopik Toxoplasma gondii ... 20

2. 7 Morfologi Stadium Tropozoit dan Kista Balantidium coli ... 23

2. 8 Morfologi Giardia sp. ... 25

2. 9 Bentuk Tropozoit Trichomonas ... 26

2. 10 Gambar Mikroskopik Cryptosporidium sp. ... 27

2. 11 Siklus Hidup Cryptosporidium ... 28

3. 1 Alur Penelitian Deteksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Surabaya ... 35

4. 1 Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing .. 39

(8)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4. 1 Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 36 4. 2 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya ... 38 4. 3 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 38 4. 4 Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan

pada Kucing Peliharaan di Komatadya Surabaya ... 41 4. 5 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Umur ... 41 4. 6 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Sistem Pemeliharaan .... 43 4. 7 Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi

Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan

di Kotamadya Surabaya ... 43 4. 8 Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Berdasarkan Kondisi Feses ... 44 4. 9 Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada

Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya ... 45

(9)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Pemeriksaan Protozoa ... 70 a. Natif ... 70 b. Apung ... 70 c. Sedimentasi ... 70

2. Pewarnaan Asam Kinyoun ... 72

3. Data dan Hasil Pemeriksaan Protozoa Saluran Pencernaan pada Sampel Feses Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya ... 73

(10)

SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

cm = sentimeter

µm = mikrometer

mg = miligram

rpm = rotasi per menit K2Cr2O7 = Kalium Bikromat NaCl = Natrium Clorida o

(11)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah

Kucing merupakan salah satu hewan yang mempunyai daya eksotik tertentu sehingga banyak dijadikan sebagai hewan peliharaan oleh masyarakat (Arimbi, 2010). Sistem pemeliharaan kucing yang diterapkan masyarakat berbeda-beda, menurut Hildreth et al. (2010) ada tiga macam sistem pemeliharaan: (1) kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin. Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya (2) kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya (3) kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja.

Pabundu (2007) melaporkan hasil pengamatan terhadap kejadian penyakit menurut jenis hewan menunjukkan bahwa kucing menempati urutan kedua setelah anjing yang mempunyai kasus penyakit gastrointestinal paling banyak di Rumah Sakit Hewan Pendidikan Universitas Airlangga, yakni sebanyak 938 kasus atau sekitar 33,34% periode tahun 2003 – 2006. Penyakit sistem gastrointestinal

(12)

umumnya memperlihatkan gejala klinis diare. Diare adalah manifestasi dari defekasi abnormal yang ditandai dengan abnormalitas frekuensi, konsistensi dan volume feses yang diakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam feses. Penyebab diare umumnya karena infeksi virus, bakteri, maupun parasit saluran pencernaan (protozoa, cacing dan lain-lain) (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013; Pabundu, 2007).

Infeksi protozoa pada saluran pencernaan tidak selalu menampakkan gejala klinis atau bersifat asimtomatis, hanya pada infestasi yang berat yang dapat menyebabkan diare, nafsu makan dan daya tahan tubuh menurun, serta gangguan pertumbuhan pada hewan usia muda. Beberapa jenis protozoa saluran pencernaan yang dapat menyerang kucing adalah genus Entamoeba, Balantidium,

Toxoplasma, Isospora, Eimeria, Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium

(Soulsby, 1986; Levine, 1995).

Kejadian penyakit yang disebabkan protozoa saluran pencernaan sangat perlu diperhatikan mengingat penyebaran penyakit yang luas, penularan yang begitu cepat dan beberapa penyakit bersifat zoonosis. Penyakit parasit saluran pencernaan di Indonesia tersebar luas dengan angka prevalensi 35% – 73% pada kucing, anjing 75%, kambing 11% – 61%, hewan ternak seperti sapi dan kerbau kurang dari 10% dan pada manusia 2% – 63% (Gandahusada, 1995; Samil, 1988). Menurut studi penelitian Bendryman (2000) melaporkan angka prevalensi infeksi protozoa pada kucing di Surabaya sebesar 2,5 % 40 sampel yang diteliti. Infeksi protozoa saluran pencernaan terdiri dari Isospora felis, Isospora rivolta dan Toxoplasma gondii. Pemeriksaan dilakukan terhadap 40 kucing liar yang tersebar di Surabaya Utara, Surabaya Selatan, Surabaya Barat dan Surabaya

(13)

Timur. Selain mengamati infeksi protozoa saluran pencernaan, penelitian ini juga mengamati infeksi cacing pada saluran pencernaan, teknik pemeriksaannya adalah dengan membedah dan mengamati seluruh organ saluran pencernaan kucing. Faktor-faktor yang diamati adalah angka prevalensi infeksi protozoa dan cacing saluran pencernaan, pengaruh perbedaan jenis kelamin serta pengaruh perbedaan wilayah di Surabaya.

Sedangkan studi penilitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menemukan infeksi protozoa saluran pencernaan kucing sebanyak 31,3 % dari 80 ekor kucing yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan terhadap 40 ekor kucing liar dan 40 ekor kucing peliharaan yang terdapat di kota Denpasar, Bali. Pada kucing yang dipelihara, dari 40 sampel yang diperiksa sebanyak 9 sampel (22,5%) terinfeksi protozoa saluran pencernaan, Sedangkan kucing yang hidup liar, didapatkan 16 sampel (40 %) terinfeksi protozoa saluran pencernaan. Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan dalam penelitian tersebut adalah

Giardia felis, Cryptosporadium felis, Sarcocystis spp, Hammondia hamondi, Toxoplasma gondii dan Isospora spp.

Melihat besarnya angka prevalensi penyakit saluran pencernaan pada kucing, maka penelitian tentang deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya sangat diperlukan. Kejadian penyakit yang disebabkan protozoa saluran pencernaan kucing sangat beragam dan perlu untuk diteliti agar dapat diketahui kasus protozoa saluran pencernaan manakah yang tingkat kejadiannya paling besar, sehingga dapat mempermudah dokter hewan atau praktisi klinik untuk memberikan penanganan lebih lanjut.

(14)

1. 2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya adalah: 1. Seberapa besarkah prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing

peliharaan di Kotamadya Surabaya ?

2. Protozoa apa sajakah yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ?

3. Apakah perbedaan umur kucing berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ? 4. Apakah perbedaan sistem pemeliharaan berpengaruh terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya ?

5. Apakah ada perbedaan infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya?

1. 3. Landasan Teori

Diantara berbagai penyakit yang dapat menginfeksi bangsa kucing adalah penyakit parasiter yang salah satunya dapat disebabkan oleh infeksi protozoa saluran pencernaan. Kucing mempunyai kebiasaan defekasi di tanah, hal ini memungkinkan kontaminasi ookista dari protozoa yang infektif yang terdapat pada tanah tersebut. Kondisi yang demikian dapat menyebarkan penyakit baik pada kucing dan hewan lain maupun pada manusia, mengingat beberapa penyakit pada kucing dapat menular pada manusia atau bersifat zoonosis (Bendryman, 2000).

(15)

Beberapa protozoa saluran pencernaan yang dapat ditemukan pada kucing berasap dari genus Isospora, Eimeria, Entamoeba, Balantidium, Toxoplasma,

Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999).

Genus Isospora, Eimeria, Toxoplasma dan Cryptosporidium mempunyai bentuk ookista yang dapat ditemukan dalam feses, karena pada siklus hidupnya ookista yang dihasilkan protozoa tersebut akan keluar dari rongga usus yang selanjutnya akan terbawa oleh feses (Soulsby, 1986).

Berbeda dengan keempat genus diatas, genus Entamoeba, Balantidium dan

Giardia dapat ditemukan dalam feses kucing berupa kista dan tropozoit, karena

pada siklus hidupnya hanya terjadi dua fase tersebut. Sedangkan genus

Trichomonas hanya dapat ditemukan dalam bentuk tropozoit, karena dalam siklus

hidup Trichomonas hanya mempunyai satu fase yaitu tropozoit (Soulsby, 1986; Prasetyo, 2004).

Bentuk-bentuk protozoa yang keluar bersama feses kucing tersebut dapat menjadi sumber penularan penyakit protozoa pada kucing lain, karena dapat mencemari tanah, air dan pakan kucing. Sedangkan pada kucing muda penularan dapat terjadi secara vertikal yakni melalui air susu induk yang sering disebut dengan penularan transmammary (Soulsby, 1986; Levine, 1995).

1. 4. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui besarnya prevalensi protozoa pada saluran pencernaan kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.

(16)

2. Mengetahui jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.

3. Mengetahui pengaruh perbedaan umur kucing terhadap prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 4. Mengetahui pengaruh sistem pemeliharaan terhadap prevalensi infeksi

protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya. 5. Mengetahui adanya infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing

peliharaan baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya.

I. 5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi besar prevalensi dari jenis protozoa yang menginfeksi saluran pencernaan kucing peliharaan Kotamadya Surabaya.

2. Memberikan informasi jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang menginfeksi kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.

3. Memberikan informasi faktor-faktor yang mempengaruhi besar prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya.

4. Memberikan informasi perbedaan infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing baik yang mengalami diare atau tidak diare di Kotamadya Surabaya.

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Klasifikasi Kucing

Kucing merupakan salah satu hewan liar yang sudah mengalami domestikasi. Kucing pertama kali didomestikasi oleh nenek moyang orang Mesir (Anonim, 2002). Kucing sudah tersebar di seluruh dunia. Kucing mengalami perubahan bentuk tubuh pada saat domestikasi dan adaptasi sesuai lingkungan baru mereka (Norsworty, 1993).

Klasifikasi: Kingdom : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Karnivora Famili : Felidae Genus : Catus

Kucing biasa dimanfaatkan untuk menangkap tikus. Kucing memiliki gigi dan kuku yang kuat yang digunakan untuk menangkap mangsanya. Mengintip lalu menyergap dengan cekatan adalah cara kucing untuk menangkap mangsanya, sesudah berhasil menangkap mangsanya, kucing akan langsung memakan bagian-bagian tertentu (Sitepoe, 1997).

(18)

2. 2. Saluran Pencernaan Kucing

Sistem pencernaan kucing terdiri dari kelenjar pencernaan dan organ pencernaan yang diawali dari rongga mulut sampai anus. Rongga mulut pada kebanyakan kucing domestik berukuran pendek dan lebar, begitu juga dengan esofagusnya. Ukuran esofagus kucing relatif lebar dan dapat otomatis melakukan dilatasi saat terjadi penyempitan pada rongga esofagus (Getty, 1975).

Lambung kucing memiliki ukuran yang relatif besar untuk menyimpan makanan dalam jumlah yang sangat banyak. Bagian kanan lambung lebih besar dan berbentuk membulat, sedangkan bagian kirinya lebih kecil dan berbentuk silinder. Ketika lambung terisi penuh, maka lambung akan otomatis bergerak secara piriform. Namun ketika lambung kosong atau mendekati kosong, bagian kiri lambung akan berkontraksi dengan sangat kuat (Getty, 1975).

Usus halus kucing memiliki panjang rata-rata empat meter dan menempati sebagian besar cavum abdomen. Usus halus kucing dibagi menjadi tiga bagian, yakni duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum menempati urutan pertama bagian usus halus dan memiliki ukuran paling pendek diantara yang lainnya. Posisi duodenum terletak setelah pilorus. Berbeda dengan duodenum, jejunum memiliki ukuran terpanjang diantara bagian usus halus. Sedangkan ileum adalah bagian akhir dari usus halus yang berjalan sepanjang sekum dan merupakan awal dari usus besar pada bagian akhir ileum. Lapisan otot pada dinding ileum relatif tebal dan terdapat papil di sepanjang dinding ileum yang disebut dengan ileal

papilla. Namun perbedaan antara jejunum dan ileum tidak dapat terlihat secara

(19)

Usus besar kucing memiliki panjang rata-rata 60 – 75 cm. Sekum merupakan bagian dari usus besar yang memiliki panjang 12,5 – 15 cm. Gerakan fleksor sekum dipertahankan oleh peritonium yang menempel juga pada ileum. Kolon juga termasuk dalam bagian usus besar. Kolon dibagi menjadi tiga bagian, yakni bagian ascending (naik), transverse (melintang), dan descending (turun). Bagian ascending memiliki ukuran yang sangat pendek, ujung kolon bagian

ascending yang membelok ke kiri dan melintasi bidang median perut kucing

disebut kolon bagian transverse. Sedangkan kolon bagian descending letaknya condong ke arah bidang median perut kucing yang kemudian dilanjutkan dengan rektum (Getty, 1975).

Gambar 2.1 Saluran pencernaan kucing (sumber: Allen et al., 2011)

2. 3. Diare

Diare adalah manifestasi dari defekasi abnormal yang ditandai dengan abnormalitas frekuensi, konsistensi dan volume feses yang diakibatkan

(20)

peningkatan jumlah cairan feses. Diare merupakan manifestasi klinis yang paling sering ditemukan dan muncul secara konsisten pada anjing atau kucing yang menderita penyakit atau gangguan intestinal (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013).

Berbagai penyebab dapat mengganggu proses fisiologis normal intestinal sehingga dapat meningkatkan sekresi atau menurunkan absorbsi cairan dan ion oleh intestinal. Oleh karena itu, diare dapat dan sering menjadi satu-satunya tanda klinis yang dapat dikenali pada hewan yang mengalami gangguan atau menderita penyakit pada saluran pencernaan (Lukiswanto dan Yuniarti, 2013).

2. 4. Parasit pada Saluran Pencernaan Kucing

Istilah parasit berasal dari bahasa Yunani yang artinya “makan di meja orang lain”. Namun, setelah mengalami beberapa kali penyempurnaan maka oleh beberapa penulis disepakati bahwa arti parasit adalah organisme yang hidup pada atau di dalam organisme lain yang lebih besar untuk mendapatkan makanan. Organisme yang lebih besar selanjutnya disebut induk semang atau inang atau hospes (Noble and Noble, 1989).

Parasit berasal dari hewan bebas yang mengalami evolusi. Pada perjalanan evolusinya, mereka dapat menyesuaikan diri sebagai parasit. Penyesuaian tersebut termasuk adaptasi terhadap habitatnya, di mana habitat parasit merupakan lingkungan yang sangat khusus dan terbatas. Habitat parasit banyak ragamnya tergantung pada jenis parasit, antara lain di permukaan tubuh, di dalam kulit, di dalam saluran pencernaan, di dalam saluran pernafasan, di dalam

(21)

berbagai jaringan tubuh, di dalam darah dan bahkan di dalam sel (Noble and Noble, 1989).

Endoparasit adalah parasit yang hidup pada tubuh induk semangnya. Protozoa adalah parasit yang tergolong endoparasit karena predileksinya berada di dalam tubuh induk semang (Noble and Noble, 1989).

Seperti hewan lainnya, kucing pun bisa terinfeksi berbagai jenis parasit. Begitu juga endoparasit yang menyerang saluran pencernaan (Nealma dkk., 2013).

2. 5. Protozoa pada Saluran Pencernaan Kucing

Protozoa tersusun dari organel-organel yang merupakan deferensiasi dari satu sel. Protozoa termasuk eukariotik, dimana inti sel mempunyai membran atau selaput yang memisahkan dari sitoplasmanya (Levine, 1995).

Berbagai genus protozoa dapat tersebar dan menginfeksi seluruh tubuh kucing. Namun, hanya beberapa jenis protozoa dapat menyerang saluran pencernaan kucing, yakni dari genus Eimeria, Isospora, Entamoeba, Toxoplasma,

Giardia, Trichomonas dan Cryptosporidium (Suwanti dkk., 1999).

2.5.1. Genus Eimeria a. Morfologi

Pada stadium ookista, Eimeria mempunyai empat sporokista, dan tiap-tiap sporokista mengandung dua sporozoit. Umumnya stadium ookista berbentuk bulat, subsperikal, ovoid, atau elipsoid dengan ukuran yang beragam sesuai dengan spesiesnya. Dinding kista terdiri dari dua lapis yang berbatas jelas.

(22)

Beberapa spesies mempunyai mikrofil yang tertutup oleh microphile cup (Levine, 1995).

Gambar 2.2 Morfologi ookista Eimeria sp. yang telah bersporulasi (sumber: Levine, 1995)

(23)

Siklus hidup dimulai dari tertelannya ookista infektif yakni ookista yang berspora oleh induk semang. Selanjutnya di dalam usus induk semang, dinding ookista pecah oleh tekanan dinding usus dan enzim tripsin yang dibebaskan ke dalam usus, hal ini menyebabkan terbebasnya sporokista. Selanjutnya sporokista yang pecah karena proses pencernaan akan membebaskan sporozoit. Sporozoit yang bebas akan bergerak dan menembus sel epitel usus halus. Parasit akan mengadakan reproduksi secara seksual dan aseksual di dalam sel epitel usus (Levine, 1995).

Sporozoit yang berada dalam sel epitel usus halus akan membulat dan menjadi meront atau skizon generasi pertama. Oleh suatu proses reproduksi aseksual atau yang disebut dengan skizonogi setiap meront akan membentuk 900 merozoit yang panjangnya masing-masing dua sampai tiga mikrometer. Selanjutnya meront generasi pertama akan membentuk 200 – 350 merozoit yang panjangnya kira-kira 16 µm dengan cara multiple fission atau pembelahan banyak (Levine, 1995).

Banyak merozoit generasi kedua masuk ke dalam sel hospes baru dan memulai fase seksual atau yang disebut dengan gametogoni. Beberapa dari merozoit tersebut akan berubah menjadi makrogamet (gamet betina) dan sisanya akan berubah menjadi mikrogamet (gamet jantan). Selanjutnya mikrogamet akan membuahi makrogamet dan terbentuklah zigot yang akan menjadi ookista. Ookista kemudia keluar dari sel hospesnya dan menuju rongga usus dan keluar bersama feses induk semang (Levine, 1995).

(24)

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Hewan muda lebih peka dibandingkan hewan tua. Periode prepaten masing-masing spesies berbeda tergantung proses perkembangan protoza di dalam sel induk semang. Rata-rata perkembangan Eimeria sp. selama tiga minggu tergantung spesies. Gejala klinik yang terlihat adalah anoreksia, tubuh hewan terinfeksi menjadi lemah, dan sedikit mengalami peningkatan suhu tubuh yang diikuti dengan diare yang bercampur darah atau bahkan kematian. Induk semang tampak anemia karena terjadi pendarahan usus. Kematian induk semang dapat terjadi pada hari ke tujuh setelah gejala klinik timbul. Namun waktu yang dibutuhkan untuk kembali normal sangat lama (Levine, 1995; Noble and Noble, 1989).

2.5.2. Genus Isospora a. Morfologi

Pada stadium ookista, Isospora mempunyai dua sporokista, dan masing-masing sporokista berisi empat sporozoit. Umumnya stadium ookista berbentuk bulat, subsperikal, ovoid, atau elipsoid dengan ukuran yang beragam sesuai dengan spesiesnya. Dinding ookista terdiri dari dua lapis yang berbatas jelas. Spesies Isospora yang menginfeksi kucing tidak memiliki mikrofil (Levine, 1995).

(25)

Gambar 2.4 Morfologi ookista Isospora sp. (sumber: Soulsby, 1986) b. Patogenesis dan Gejala Klinis

Koksidia adalah penyakit yang disebabkan mikroskopik parasit yang hidup disaluran pencernaan dari anjing dan kucing. Penyakit ini seringkali ditemukan, tetapi sangat jarang menyebabkan gejala pada hewan dewasa. Pada anak anjing dan kucing, gejala yang sering adalah diare atau bahkan bisa menyebabkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari Genus Isospora (Levine, 1995; Subronto, 2006).

Diare merupakan gejala klinis paling umum terjadi karena infeksi Isospora

sp. dengan frekuensi diare bervariasi. Pada beberapa kasus diare bisa diikuti

dengan adanya lendir dan bercak darah. Jika tidak segera dilakukan pengobatan terhadap diare maka hewan akan mengalami dehidrasi, anemia, kurus, lemah dan akhirnya berujung pada kematian. Namun, infeksi protozoa saluran pencernaan biasanya bersifat asimptomatis dan dapat menularkan penyakit pada hewan lain serta menyebarkan ookista infektif ke dalam lingkungan melalui kontaminasi feses (Levine, 1995; Noble and Noble, 1989; Soulsby, 1986).

(26)

2.5.3. Genus Entamoeba

Entamoeba histolytica adalah spesies yang paling patogen dari genus Entamoeba dan sebagai penyebab dari disentri amuba pada manusia, primata,

anjing, kucing, dan tikus. Entamoeba histolytica merupakan spesies patogen karena dapat menyebabkan kelemahan dan disentri yang fatal (Leventhal and Cheadle, 1996; Chessbrough, 1998).

a. Morfologi

Tropozoit Entamoeba histolytica berukuran 10 – 60 µm, berinti bulat dengan diameter empat sampai tujuh mikrometer. Membran intinya berupa garis dan mempunyai kromatin, sehingga inti terlihat seperti cincin. Sitoplasma

Entamoeba histolytica terbagi menjadi dua, yakni ektoplasma dan endoplasma

yang di dalamnya terdapat vakuola makanan yang berisi eritrosit, bakteri dan reruntuhan sel. Isi pada vakuola makanan inilah yang membedakan spesies yang patogen dan non patogen. Terdapat juga pseudopodia yakni alat gerak semu yang bentuknya seperti jari tangan (Soulsby, 1986).

Stadium kista berbentuk bulat atau ovoid dengan ukuran diameter 5 – 20 µm. Kista dewasa mempunyai empat inti, dan badan kromatin yang panjang seperti cambuk (Soulsby, 1986).

(27)

Gambar 2.5 Morfologi stadium Entamoeba histolytica perbesaran 1700x (sumber: Levine, 1995)

A: stadium tropozoit; B: stadium kista b. Siklus Hidup

Induk semang tertular parasit karena menelan bentuk kista dewasa. Kista dalam lumen usus mengalami ekskistasi. Setiap inti mengadakan pembelahan ganda. Selanjutnya bentuk ini disebut dengan metakista (Levine, 1995).

Metakista berkembang menjadi lebih besar, stadium ini disebut dengan tropozoit. Tropozoit inilah yang tetap tinggal di lumen usus dan menembus ke mukosa usus besar. Stadium tropozoit akan memperbayak diri dengan cara pembelahan ganda atau binnary fission dan berkembang menjadi stadium prekista yang berinti satu. Selanjutnya stadium prekista membuat dan membentuk kista. Mulanya kista berinti satu, lalu mengadakan pembelahan ganda dari satu inti menjadi dua, membelah lagi menjadi berinti empat sampai delapan. Selanjutnya kista akan keluar bersama feses induk semang (Levine, 1995; Soulsby, 1986).

(28)

c. Patogenesis dan Gejala Klinik

Amoebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari genus Entamoeba. Entamoeba histolytica marupakan spesies dari genus Entamoeba

yang bersifat pathogen. Parasit ini dapat menyerang manusia, kera, anjing, kucing, tikus dan babi (Levine, 1995; Soulsby, 1986).

Penyakit ini menyebabkan diare dan merusak dinding sekum dan kolon. Parasit masuk ke dalam mukosa kemudian berkembang biak dan membentuk koloni, selanjutnya meluas ke sub mukosa sampai ke muskularis usus. Patogenitas

Entamoeba diperkuat akibat masuknya bakteri saat infeksi, yakni Escherihcia coli

dan Aerobacter aerogenes. Kedua bakteri memperparah rusaknya jaringan predileksi parasit, yakni dengan membentuk ulkus dan peradangan (Soulsby, 1986).

2.5.4. Genus Toxoplasma

Spesies Toxoplasma gondii merupakan satu-satunya spesies dari genus

Toxoplasma sebagai parasit penyebab toksoplasmosis. Protozoa ini merupakan

parasit intraseluler obligat. Kucing dan bangsa feline merupakan induk semang utama, sedangkan yang bertindak sebagai induk semang antara adalah manusia, mamalia lainnya dan burung (Gandahusada dkk., 1998).

a. Morfologi

Stadium takizoit atau tropozoit Toxoplasma gondii berbentuk seperti pisang atau bulan sabit. Salah satu ujungnya tumpul dan berukuran dua sampai enam mikrometer. Secara ultrastruktur stadium takizoit mengandung berbagai macam organel seperti ribosom, nukleus, komplek golgi, retikulum endoplasma,

(29)

dan mitokondria (Sasmita, 2006). Stadium ini memerlukan habitat untuk hidup dan berkembang, serta melakukan reproduksi dalam jaringan. Bila sel terinfeksi telah penuh dengan takizoit, maka sel akan pecah dan takizoit yang terbebas akan menginfeksi sel lain di sekitarnya (Gandahusada dkk., 1998; Suwanti dkk., 1999). Pada tubuh kucing, perkembangan takizoit terjadi pada lamina propria, limfonodus mesenterika, jejunum, dan illeum. Sedangan pada hewan lain, bentuk takizoit didapat setelah tertelannya ookista berspora (Soulsby, 1986; Dubey et al, 1998).

Stadium bradizoit merupakan stadium istirahat karena perkembangannya yang sangat lambat dalam kista jaringan, umumnya ditemukan dalam keadaan penyakit yang sudah kronis dan sudah terbentuk antibodi dalam tubuh induk semang. Kista jaringan mempunyai ukuran 200 µm dan berisi sekitar 60.000 bradizoit. Kista jaringan mampu bertahan hidup sampai beberapa tahun dan bahkan bisa bertahan beberapa hari pada induk semang yang mati (Soulsby, 1986; Sasmita, 2006).

Stadium ookista merupakan bentuk yang hanya terdapat dalam tubuh induk semang utama yang menderita toksoplasmosis (Soulsby, 1986). Pada epitel usus kucing berlangsung daur hidup aseksual (skizogoni) dan daur seksual (gametogoni) yang nantinya akan menghasilkan ookista yang dikeluarkan bersama feses kucing (Gandahusada dkk., 1998). Ookista yang belum berspora berbentuk bundar, namun setelah berspora bentuknya agak bundar oleh karena desakan dua sporokista yang berada di dalamnya. Dua sporokista tersebut

(30)

masing-masing mengandung empat sporozoit. Ukuran ookista mencapai 11 – 14 x 9 – 11 µm (Levine, 1995).

Gambar 2.6 Gambar mikroskopik Toxoplasma gondii yang ditemukan pada feses kucing (sumber: Soulsby, 1986).

A: Stadium kista yang belum bersporula; B: Stadium kista yang telah bersporula

b. Siklus Hidup

Menurut Sasmita (2006) siklus hidup Toxoplasma gondii dibagi menjadi dua siklus, yakni seksual dan aseksual. Siklus seksual lazim disebut dengan siklus intraintestinal dan berlangsung dalam tubuh induk semang utama. Sedangkan siklus ekstraintestinal terjadi di luar tubuh kucing maupun induk semang lainnya. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa hewan selain induk semang utama dan hewan berdarah panas dapat bertindak sebagai induk semang antara dan siklus aseksual hanya terjadi pada tubuh induk semang antara.

Siklus seksual terjadi hanya pada tubuh induk semang utama, yakni kucing dan sebangsanya. Ookista berspora dan kista jaringan yang tertelan oleh kucing akan masuk ke dalam usus. Aktifitas di dalam lambung dan usus kucing menyebabkan dinding ookista dan kista jaringan hancur, membebaskan sporozoit dari ookista dan bradizoit dari kista. Zoit yang terbebas akan menembus lamina propria usus halus dan berubah bentuk menjadi tropozoit atau takizoit. Inti tropozoit berkembang biak skizogoni dan menghasilkan skizon. Skizon yang

(31)

pecah akan membebaskan merozoit yang akan menginfeksi sel baru. Beberapa dari merozoit tersebut akan memproduksi gamet, yakni mikrogamet (gamet jantan) dan makrogamet (gamet betina). Mikrogamet akan membuahi makrogamet dan menghasilkan zigot yang selanjutnya disebut dengan ookista. Ookista akan terlepas dari lumen usus dan keluar bersama feses kucing (Soulsby, 1986; Dubey et al., 1998).

Pada siklus aseksual, sporozoit dan bradizoit yang telah terbebas akan menembus dinding usus dan membelah secara endodiogeni dalam lamina propria menjadi takizoit. Takizoit membelah diri dengan cepat yang selanjutnya akan menginfeksi organ dan menembus sel. Akumulasi takizoit berbentuk kelompok atau koloni yang disebut dengan rosset berisi delapan sampai 16 takizoit, setelah mencapai jumlah tersebut rosset akan pecah bersamaan dengan pecahnya sel induk semang yang terinfeksi (Soulsby, 1986; Suwanti, 1999; Sasmita, 2006). c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Toxoplasma gondii adalah penyebab utama terjadinya penyakit

toksoplasmosis. Toksoplasmosis pada umumnya tidak menunjukkan gejala klinis (asimptomatik). Gejala akan tampak pada keadaan tertentu, seperti pada penyakit yang sudah akut dan pada kucing dan sebangsanya sebagai induk semang utama. Kehadiran kucing sebagai induk semang utama Toxoplasma gondii sangatlah penting, berdasarkan adanya ookista Toxoplasma gondii pada feses yang berjumlah sangat banyak semua itu dapat teratasi dengan antibodi dalam tubuh kucing. Hal tersebut menunjukkan bahwa umumnya kucing dan sebangsanya terinfeksi Toxoplasma gondii secara alami. Kerusakan pada jaringan tubuh akibat

(32)

serangan Toxoplasma gondii tergantung pada umur, virulensi, jumlah parasit dan organ yang diserang (Gandahusada dkk., 1998; Soulsby, 1986).

Gejala klinis dapat berupa enteritis yang disertai ulser dan pada kebanyakan kasus ditemukan adanya lesi atau perlukaan pada kelenjar limpa, otak dan hati. Infeksi pada kucing muda bisa menyebabkan diare (Soulsby, 1986). 2.5.5. Genus Balantidium

a. Morfologi

Seluruh permukaan tubuh spesies dari genus Balantidium tertutup oleh silia yang merupakan alat gerak. Organisme ini aktif bergerak dan berpindah cepat pada area pandang mikroskop (Soulsby, 1986). Spesies dari genus ini yang penting yaitu Balantidium coli. Balantidium coli memiliki bentuk tropozoit dan kista dalam siklus hidupnya. Bentuk tropozoitnya oval dengan panjang 30 – 100 µm dan lebarnya antara 30 – 80 µm. Mempunyai cytostome (mulut sel) pada bagian anterior dan cytopyge (alat pembuangan) pada bagian posterior. Bentuk tropozoit Balantidium coli juga memiliki dua buah inti, makronukleus berbentuk seperti ginjal dan mikronukleus berbentuk bulat, serta terdapat vakuola kontraktil pada sitoplasma. Sedangkan bentuk kista Balantidium coli memiliki bentuk bulat hingga elips dengan ukuran 45 – 65 µm. Memiliki dua lapis dinding yang di antara keduanya terdapat cilia, namun dapat menghilang pada kista dewasa (Yulfi, 2006).

(33)

Gambar 2.7 Morfologi stadium tropozoit dan kista Balantidium coli

(sumber: Levine, 1995).

A dan B: Stadium tropozoit; C dan D: Stadium kista. b. Siklus Hidup

Infeksi Balantidium coli terjadi dengan memakan bentuk kista melalui makanan atau minuman yang tercemar. Pada usus halus kista akan mengalami eksistasi yakni proses keluarnya tropozoit dari kista. Bentuk tropozoit ini akan bermultiplikasi dengan cara konjugasi di dalam lumen ileum dan sekum. Selanjutnya di dalam kolon bentuk tropozoit akan mengalami enkistasi yakni proses pembentukan kista dari fase tropozoit. Selanjutnya kista akan dikeluarkan bersama tinja (Yulfi, 2006).

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Balantidiasis merupakan penyakit yang menyerang saluran pencernaan yang disebabkan oleh spesies dari genus Balantidium (Mufasirin dkk., 2012). Balantidiasis ditandai dengan gejala nyeri abdomen dan diare yang berdarah, mirip dengan infeksi oleh Entamoeba histolytica. Pada infeksi berat dapat timbul

(34)

abses dan ulkus di mukosa dan submukosa usus besar. Infeksi kronis dapat timbul tanpa terlihat gejala. Insiden balantidiasis cukup rendah, walaupun organisme ini tersebar di seluruh dunia. Balantidium coli juga dapat menghasilkan hyaluronidase yang dapat mempermudah spesies tersebut masuk ke dalam jaringan (Yulfi, 2006; Levine, 1995; Soulsby, 1986).

2.5.6. Genus Giardia a. Morfologi

Bentuk tropozoit dari genus Giardia adalah piriform sampai elipsoid, dan simestris bilateral, tampak depan terlihat seperti buah pir. Tropozoit Giardia memiliki panjang 10 – 18 µm dengan ketebalan 2 – 4 µm. Ujung anterior berbentuk bulat dan melebar sedangkan ujung posteriornya meruncing. Memiliki cakram penghisap yang berada di sisi ventral. Terdapat dua inti anterior, dua

axostyle serta terdapat delapan flagela yang letaknya rata pada permukaan epitel

(Levine, 1995; Ford, 2005; Prasetyo, 2004).

Giardia memiliki kista yang berbentuk oval, mempunyai dua atau empat

inti, berdinding tebal sehingga tampak sebagai garis ganda (Levine, 1995; Prasetyo, 2004).

(35)

Gambar 2.8 Morfologi Giadia sp. (sumber: Prasetyo, 2004)

A: stadium tropozoit; B: stadium kista; a: axostyle; b: blefaroplast; c.w.: dinding kista; d:batil isap; l.f.: flagel lateral; n: inti; p.b.: benda parabasal; p.f.: flagel posterior; p.fib.: serabut parabasal; r: rhizoplast; s: perisai; v.f.: flagel ventral.

b. Siklus Hidup

Siklus hidup Giardia dimulai dari keluarnya kista bersama feses hewan atau individu yang terinfeksi. Hal tersebut akan mencemari lingkungan dan air di sekitarnya. Selanjutnya hewan lain yang mengonsumsi air atau makanan yang tercemar Giardia akan terinfeksi, kista Giardia yang tertelan akan menuju usus halus dan sesampainya disana akan terjadi pembentukan tropozoit oleh kista yang infektif, yakni kista yang berinti empat. Tropozoit inilah yang akan tetap hidup, melekat pada sel epitel dan melakukan perkembangbiakan. Setelah itu tropozoit akan membulat dan berhenti bergerak, dari sinilah proses enkistasi dimulai. Lalu inti membelah tanpa terjadi pembelahan sitoplasma, hal tersebut terjadi untuk

(36)

keluar bersamaan dengan keluarnya feses. Sedangkan tropozoit yang berada pada lumen usus halus akan tetap berada disana dan melakukan perkembangbiakan aseksual dengan cara pembelahan (Ford, 2005; ESCCAP, 2011).

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Giardiosis adalah penyakit yang disebabkan protozoa dari genus Giardia. Kebanyakan infeksi Giardia tidak memperlihatkan gejala klinis, namun pada sebagian kecil spesies yang terinfeksi akan menampakkan gejala yakni diare menahun. Penyebaran giardiosis yang berasal dari air menjadi perhatian yang terus meningkat (Levine, 1995).

2.5.7. Genus Trichomonas a. Morfologi

Bentuk tubuh Trichomonas seperti buah per dengan panjang 10 – 25 µm dan lebar 3 – 15 µm. Trichomonas mempunyai tiga flagel pada bagian anterior sedangkan satu flagel pada bagian posterior. Terdapat undulating membrane pada satu sisi dan memiliki satu inti (Levine, 1995; Prasetyo, 2004).

(37)

b. Siklus Hidup

Siklus hidup Trichomonas sangat sederhana, genus Trichomonas tidak memiliki bentuk kista pada siklus hidupnya. Trichomonas berkembang biak dengan cara pembelahan secara longitudinal di dalam tubuh induk semang, khususnya di dalam sekum atau kolon pada hewan peliharaan (Prasetyo, 2004; Levine, 1995)

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Infeksi Trichomonas pada kucing bersifat non-patogen. Namun pada infeksi berat dapat berbahaya bagi induk semang (Soulsby, 1986).

2.5.8. Genus Cryptosporidium a. Morfologi

Pada pemeriksaan tinja Cryptosporidium sp. ditemukan dalam bentuk ookista yang berukuran 3 – 5 µm, memiliki dinding tebal dan memiliki empat sporozoit (Levine, 1995).

Gambar 2.10 Gambar mikroskopi Cryptosporidium sp. (tanda panah, berwarna merah) pada sediaan feses dengan pewarnaan ZN perbersaran 600x

(38)

b. Siklus Hidup

Siklus hidup Cryptosporidium dimulai dari tertelannya bentuk ookista infektif pada induk semang. Selanjutnya ookista tersebut akan masuk ke dalam saluran pencernaan dan melepaskan sporozoit, sporozoit-zporozoit tersebut akan menginfeksi sel epitel usus halus induk semang dan melakukan perkembangbiakan melalui proses skizogoni (Prasetyo, 2004).

Skizon-skizon yang dihasilkan melalui proses skizogoni akan menghasilkan meront yang selanjutnya menghasilkan gamet. Gamet tersebut selanjutnya akan berkembang menjadi makrogamet (gamet betina) dan mikrogamet (gamet jantan). Selanjutnya mikrogamet akan membuahi makrogamet, proses ini disebut gametogoni yang akan menghasilkan ookista. Ookista infektif inilah yang akan keluar bersama feses induk semang. Periode prepaten bervariasi, sekitar 2 – 14 hari untuk Cryptosporidium canis dan tiga sampai tujuh hari untuk Cryptosporidium felis (Prasetyo, 2004; ESCCAP, 2011).

(39)

c. Patogenesis dan Gejala Klinis

Cryptosporidium awalnya diketahui sebagai protozoa usus yang

menyebabkan diare pada hewan mamalia (sapi, domba, babi, mencit, kelinci, monyet, anjing dan kucing), aves dan reptil (Prasetyo, 2004).

Kemudian diketahui pula dapat menimbulkan diare bahkan diare kronis pada manusia khususnya dengan imunitas yang sangat rendah (seperti penderita AIDS) (Prasetyo, 2004).

2. 6. Diagnosa Penyakit

Secara umum akibat yang ditimbulkan infeksi atau infestasi parasit tidak begitu jelas atau bersifat asimptomatis. Infeksi yang ditimbulkan berupa infeksi subklinik, maka untuk menentukan diagnosa tidak cukup hanya dengan melihat gejala klinis yang timbul, namun juga harus dilakukan pemeriksaan laboratorium, yakni dengan pemeriksaan feses (Sudrajat, 1991).

2. 7. Pencegahan Penyakit Protozoa pada Kucing

Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari penyakit yang disebabkan protozoa antara lain: (1) batasi kontak dengan induk semang utama yakni kucing, (2) jika memiliki hewan peliharaan kucing, batasi kontak kucing dengan hewan liar seperti tikus atau reservoir lain, (3) pemasakan daging sebelum dimakan higga matang sempurna membantu membunuh protozoa yang terkandung dalam daging, dan sebaiknya kucing diberi makanan yang sudah

(40)

mentah, (5) penanganan yang tepat pada tempat pembuangan feses kucing, (6) peralatan yang baru digunakan untuk mengolah daging harus dicuci, (7) dan sebelum makan tangan harus dicuci dengan sabun sampai bersih (Brown, 1979; Soulsby, 1986).

2. 8. Pengobatan Penyakit Protozoa

Terapi pemberian mepacrine dengan dosis 0,01 gram per kilogram berat badan sangat efektif untuk kasus koksidiosis pada kucing yakni yang disebabkan spesies dari genus Eimeria dan Isospora. Penggunaan nitrofurazone dengan dosis rata-rata 15,4 mg/kg berat badan, pemberian selama tiga sampai sepuluh hari. Pengobatan untuk stadium awal dapat diberikan sulphadimidine satu gram per lima kilogram berat badan atau zoaquin dengan dosis satu gram per 50 kg berat badan diberikan selama satu sampai tiga hari (Mufasirin dkk., 2012; Soulsby, 1986).

Untuk penyakit disentri amuba atau amoebiasis yang disebabkan oleh protozoa genus Entamoeba, metronidazole dapat menjadi pilihannya, untuk kasus ringan atau yang bersifat asimptomatis diberikan dengan dosis 400 mg selama tiga sampai lima hari, dan 800 mg Metronidazole untuk kasus akut. Pilihan lain dapat diberikan diloxanide furoat 500 mg diberikan tiga kali sehari selama 10 hari atau Tetrasiklin 250 mg diberikan tiga kali sehari selama 7 – 10 hari, atau dengan pemberian Di-iodohydroxyquinoline 600 mg diberikan tiga kali sehari selama 21 hari (Soulsby, 1986).

(41)

Tidak ada pengobatan yang betul-betul memuaskan untuk memberantas penyakit toksoplasmosis yang disebabkan Toxoplasma gondii. Pengobatan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lama dengan menggunakan Pyrimethamine atau Sulfonamide atau bisa dipakai secara bersamaan karena kedua obat tersebut dapat bekerja sinergisme. Gandahusada (1992) menambahkan bahwa antibiotik seperti Spiramisin juga dapat diberikan namun bersifat kurang toksik dibanding Sulfonamide. Antibiotik lain seperti Klindamisin juga dapat digunakan untuk pengobatan toksoplasmosis akut maupun kronis dan dapat mengurangi pengeluaran ookista dari kucing yang terinfeksi, akan tetapi klindamisin dapat menyebabkan kolitis ulceratif, maka tidak dianjurkan untuk pengobatan rutin (Soulsby, 1986; Gandahusada, 1992).

Pengobatan untuk infeksi akut penyakit balantidiasis yang disebabkan oleh protozoa dari genus Balantidium dapat dilakukan dengan pemberian tetracycline atau dengan pemberian carbazone dengan dosis 250 mg per hari selama 10 hari (Soulsby, 1986).

Metronidazole efektif untuk mengobati penyakit giardiosis dengan dosis 125 mg yang diberikan dua kali setiap hari selama lima hari. Sedang untuk pengobatan penyakit yang disebabkan spesies protozoa dari genus

Cryptosporidium dapat menggunakan antibiotika, seperti chlortetracycline dan

oxytetracycline untuk mengendalikan infeksi sekunder. Infeksi Trichomonas pada kucing dapat sembuh sendiri, dan mayoritas bersifat non-patogen, namun bukan berarti untuk tidak memperhatikan penyakit tersebut (Levine, 1985; Soulsby, 1986)

(42)

BAB 3

MATERI DAN METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan pengambilan sampel feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya, Jawa Timur dan untuk pemeriksaan feses lebih lanjut dilakukan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan selama satu bulan dimulai bulan November 2014 sampai Februari 2015.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan penelitian berupa sampel feses kucing peliharaan, larutan kalium bikromat (K2Cr2O7) 2%, NaCl 0,9%, air, methanol, kinyoun, alkohol 50%, asam sulfat (H2SO4) 1%, methylen blue dan minyak emersi.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pot salep sebagai tempat sampel feses, kertas label untuk melabeli dan memberi keterangan sampel yang sudah diambil. Selain itu alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lidi atau gelas pengaduk, saringan teh, pipet, kaca obyek, kaca penutup, tabung sentrifus, alat sentrifus, rak tabung, sarung tangan dan masker.

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif. Feses kucing peliharaan diambil sebagai sampel penelitian. Untuk pemeriksaan protozoa dilakukan dengan

(43)

tiga metode yang digunakan, yakni metode natif, apung dan sedimentasi (lampiran 1). Serta dilakukan pewarnaan menggunakan metode asam kinyoun (lampiran 2).

3.4. Pengambilan Sampel

Jenis penelitian ini dilakukan dalam bentuk survey dengan metode pengambilan sampel secara acak pada feses kucing peliharaan yang tersebar di Surabaya. Pengambilan sampel dilakukan setiap hari tanpa batasan jumlah. Sampel feses kucing peliharaan yang diambil dimasukkan dalam pot salep yang telah berisi larutan kalium bikromat 2%. Selanjutnya beri etiket pada pot salep yang sudah berisi sampel feses, dalam etiket tercantum nama hewan, umur hewan, jenis kelamin hewan, kondisi feses, serta tempat dan tanggal pengambilan sampel. Setelah itu sampel feses yang diperoleh, dibawa ke Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga untuk diperiksa. Jika dalam pemeriksaan tidak ditemukan adanya stadium protozoa atau didiagnosa adanya stadium protozoa namun belum bisa diindentifikasi, maka sampel tersebut didiamkan selama satu sampai tiga hari agar terjadi proses sporulasi yang bertujuan untuk mempermudah identifikasi bentuk kista dan ookista protozoa.

Sampel diperoleh dengan mengambil langsung feses segar dari tempat hewan defekasi.

Pengambilan sampel juga dikelompokkan berdasarkan tiga tipe sistem pemeliharaan, sistem pemeliharaan tipe (1) yakni kucing yang sangat diperhatikan oleh pemiliknya, memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin.

(44)

Biasanya kucing ini, bersifat jinak dan tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya. Sistem pemeliharaan tipe (2) yaitu kucing yang tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya. Kebutuhan makanannya juga diperhatikan pemiliknya. Sedangkan sistem pemeliharaan tipe (3) adalah kelompok kucing yang dipelihara dengan cara diliarkan, dimana pemilik kucing ini masih menyediakan makan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan. Kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran dimana saja (Hildreth et al., 2010).

3.5. Pengumpulan Data

Sampel feses yang diperiksa dinyatakan positif apabila ditemukan tropozoit, kista, atau ookista protozoa pada salah satu metode pemeriksaan (lampiran 1).

3.6. Analisa Data

Identifikasi data hasil pengamatan penelitian ini dinyatakan positif bila sampel feses yang diamati ditemukan adanya tropozoit, kista, atau ookista berdasarkan ukuran dan morfologi (Chessbrough, 1998). Angka prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Surabaya dihitung berdasarkan rumus Murtidjo (1994) sebagai berikut:

Jumlah sampel positif

Prevalensi = X 100%

Jumlah seluruh sampel

(45)

3.7. Alur Penelitian

Gambar 3.1 Alur Penelitian Deteksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Surabaya

KOTAMADYA SURABAYA

PENGAMBILAN SAMPEL FESES KUCING PELIHARAAN

LAB. PARASITOLOGI FKH UA APUNG SEDIMENTASI NATIF PENGOLAHAN DATA KESIMPULAN

PROSES SPORULASI 1- 3 HARI

UMUR > 12 BULAN UMUR ≤ 12 BULAN

SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 1 SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 2 SISTEM PEMELIHARAAN TYPE 3

DIARE TIDAK DIARE

(46)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Pemeriksaan laboratorium menggunakan metode natif, sedimentasi dan apung terhadap 100 sampel feses kucing yang diambil dari beberapa lokasi di Surabaya yaitu selama bulan November 2014 – Februari 2015. Empat belas sampel feses dinyatakan positif, dan 86 sampel feses dinyatakan negatif. Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel feses yang positif, diperoleh angka prevalensi sebesar 14%. Hasil tersebut bisa dilihat di tabel 4.1.

Tabel 4.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Hasil Jumlah Sampel Persentase (%)

Positif 14 14%

Negatif 86 86%

Total 100 100%

4.2. Jenis Protozoa Saluran Pencernaan yang Ditemukan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Protozoa yang ditemukan pada penelitian ini berasal dari genus Isospora yakni Isospora felis dan Isospora rivolta, Balantidium yakni Balantidium coli dan

(47)

protozoa dilakukan dengan melihat morfologi serta pengukuran pada stadium protozoa saluran pencernaan yang ditemukan serta konsultasi dengan dosen pembimbing dan dosen protozoologi. Pengukuran bentuk kista dan ookista dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer dan mikroskop yang menggunakan program Optilab Imagescaster.

Protozoa yang ditemukan berasal dari genus Isospora dengan ukuran diameter ookista Isospora felis 42,72 µm, berbentuk oval, memiliki dinding yang tipis dan halus, tidak memiliki mikropil dan mengandung dua sporokista. Sedangkan ukuran diameter ookista Isospora rivolta 27,78 µm, berbentuk lebih bulat dari Isospora felis, berdinding tipis dan halus, terdapat mikropil dan mengandung dua sporokista. Tropozoit Balantidium coli yang ditemukan pada penilitian kali ini masih aktif bergerak dengan cepat pada pemeriksaan mikroskop. Tubuhnya tertutupi oleh silia. Selanjutnya ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan berwarna merah pekat pada pewarnaan asam kinyoun dan berukuran 3,01 µm. gambaran jenis-jenis protozoa hasil penelitian seperti terlihat pada gambar 4.1 dan 4.2.

Pada penelitian ini protozoa saluran pencernaan yang ditemukan di wilayah utara Kotamadya Surabaya terdiri dari Isospora felis dengan angka infeksinya 7,40%, infeksi Cryptosporidium sp. mencapai angka 22,22% dan infeksi Balantidium coli sebesar 3,70%. Protozoa saluran pencernaan pada kucing di wilayah selatan Kotamadya Surabaya terdiri dari infeksi Isospora felis dengan angka infeksi sebesar 9,52% dan Isospora rivolta dengan angka 9,52%, untuk wilayah timur ditemukan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4%,

(48)

sedangkan wilayah barat Kotamadya Surabaya tidak terdapat infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan. Prevalensi setiap spesies pada wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.2. Sedangkan prevalensi setiap spesies di seluruh wilayah Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.3.

Tabel 4.2. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Wilayah-wilayah Kotamadya Surabaya. Wilayah Jumlah

Sampel

Sampel

Positif Prevalensi (%) Spesies

Utara 27 2 7,40 % Isospora felis 6 22,22 % Cryptosporidium sp. 1 3,70 % Balantidium coli Selatan 21 2 9,52 % Isospora felis 2 9, 52 % Isospora rivolta Timur 25 1 4 % Cryptosporidium sp. Barat 27 0 0 % -

Tabel 4.3. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya.

Spesies Sampel Positif Jumlah Sampel Prevalensi (%)

(49)

Isospora rivolta 2 100 2 % Balantidium coli 1 100 1 % Cryptosporidium sp. 7 100 7 %

(50)

Gambar 4.1 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: (A) Isospora rivolta (400x); (A1) Isospora

rivolta (100x) menggunakan mikroskop mikrometer; (B) Isospora felis (400x); (B1) Isospra felis (400x) menggunakan mikroskop

mikrometer; (C) Cryptosporidium sp. (pewarnaan asam kinyoun; 1000x); (C1) Cryptosporidium sp. menggunakan mikroskop dengan program optilab imagecaster

Gambar 4.2 Jenis-jenis protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing antara lain: Balantidium coli (100x)

4.3. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Hasil pemeriksaan feses menunjukkan bahwa kucing berumur di bawah 12 bulan (16,98%) memiliki angka prevalensi lebih tinggi dibandingkan kucing berumur di atas 12 bulan (10,64%). Hal ini menunjukkan bahwa kucing yang

(51)

berumur dibawah 12 bulan memiliki tingkat infeksi lebih tinggi. Pengaruh umur terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya tertera pada tabel 4.4.

Beberapa protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium sp. dengan angka prealensi tertinggi 8,51% diikuti Isospora felis dengan angka prevalensi 6,38%, selanjutnya

Isospora rivolta dengan angka prevalensi 4,26% dan Balantidium coli dengan

angka prevalensi terendah 2,13%. Sedangkan protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada kucing yang berumur di bawah 12 bulan adalah Cryptosporidium

sp. dengan angka prevalensi 5,66%, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan

dengan infeksi Isospora felis dengan angka prevalensi 1,89%. Prevalensi setiap spesies berdasarkan perbedaan umur kucing tertera pada tabel 4.5.

Tabel 4.4. Pengaruh Umur Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Umur Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%)

≤ 12 bulan 53 9 16,98%

> 12 bulan 47 5 10,64%

Tabel 4.5. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Berdasarkan Perbedaan Umur

Umur Sampel Positif Spesies Jumlah Sampel Prevalensi (%) ≤ 12 bulan 4 Cryptosporidium sp. 47 8,51%

(52)

3 Isospora felis 47 6,38%

2 Isospora rivolta 47 4,26%

1 Balantidium coli 47 2,13%

> 12 bulan 3 Cryptosporidium sp. 53 5,66%

1 Isospora felis 53 1,89%

4.4. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Berdasarkan pengaruh perbedaan sistem pemeliharaan terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan, infeksi paling tinggi pada sistem pemeliharaan tipe 3 (36,36%) yakni sistem pemeliharaan dengan cara memperbolehkan kucing untuk hidup bebas di luar rumah pemilik kucing, pemilik kucing ini juga masih menyediakan pakan dan minuman, namun kesehatan kucing tidak diperhatikan, kucing selalu keluar dari rumah pemiliknya dan bebas berkeliaran kemana saja. Selanjutnya diikuti sistem pemeliharaan tipe 2 (14,70%) yakni sistem pemeliharaan dengan cara kucing yang dipelihara tidak dikandangkan dan dibiarkan bebas, namun masih di dalam lingkungan rumah pemilik dan tetangga dengan pengawasan pemiliknya, kebutuhan pakan dan minumnya juga diperhatikan pemiliknya. Sedangkan pada sistem pemeliharaan tipe 1 (2,27%) dengan angka infeksi paling rendah, yakni sistem pemeliharaan

(53)

dimana kucing yang dipelihara sangat diperhatikan oleh pemiliknya, kucing memiliki kandang dan lingkungan hidup yang bersih, selain itu kesehatan kucing sangat diperhatikan dan diberikan vaksinasi secara rutin, kucing tersebut juga tidak pernah keluar dari rumah pemiliknya, dapat diketahui bahwa perbedaan sistem pemeliharaan kucing berpengaruh terhadap prevalensi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya, seperti terlihat pada tabel 4.7.

Protozoa saluran pencernaan yang ditemukan pada sistem pemeliharaan tipe (1) hanya Balantidium coli dengan angka prevalensi 2,27%. Berbeda dengan sistem pemeliharaan tipe (1), sistem pemeliharaan tipe (2) ditemukan dua spesies protozoa saluran pencernaan yakni Isospora felis dengan angka prevalensi 2,94% dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 11,76%. Sedangkan pada sistem pemeliharaan tipe (3) ditemukan tiga spesies protozoa saluran pencernaan, yakni Isospora felis dan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 13,64%, sedangkan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 9,09%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan berdasarkan sistem pemeliharaan tertera pada tabel 4.6.

Tabel 4.6. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Perbedaan Sistem Pemeliharaan

Sistem Pemeliharaan (tipe) Sampel Positif Spesies Jumlah Sampel Prevalensi (%) 1 1 Balantidium coli 44 2,27% 2 1 Isospora felis 34 2,94%

(54)

4 Cryptosporidium sp. 34 11,76%

3

3 Isospora felis 22 13,64%

2 Isospora rivolta 22 9,09%

3 Cryptosporidium sp. 22 13,64%

Tabel 4.7. Pengaruh Perbedaan Sistem Pemeliharaan Terhadap Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Sistem Pemeliharaan Jumlah Sampel Sampel Positif Prevalensi (%)

1 44 1 2,27%

2 34 5 14,70%

3 22 8 36,36%

4.5. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di Kotamadya Surabaya

Telah diteliti sebanyak 100 sampel feses kucing peliharaan di Kotamadya Surabaya dan didapatkan hasil sebanyak 54% kucing mengalami diare, 20,37% diantaranya terinfeksi protozoa saluran pencernaan dan 46% kucing tidak mengalami diare tetapi ditemukan adanya infeksi protozoa saluran pencernaan sebanyak 6,52%. Data yang diperoleh tertera pada tabel 4.9.

(55)

Deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing diare, ditemukan

Balantidium coli dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi terendah yakni

1,85%, selanjutnya Isospora felis dengan angka prevalensi 7,41% dan angka prevalensi tertinggi 9,26% yakni Cryptosporodium sp. Sedangkan pada kucing yang tidak mengalami diare ditemukan Cryptosporidium sp. dengan angka prevalensi 4,35% dan Isospora rivolta dengan angka prevalensi 2,17%. Prevalensi setiap spesies protozoa saluran pencernaan yang ditemukan berdasarkan kondisi feses tertera pada tabel 4.8.

Tabel 4.8. Prevalensi Setiap Spesies Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Berdasarkan Kondisi Feses

Kondisi Feses Sampel Positif Spesies Jumlah Sampel Prevalensi (%) Diare 5 Cryptosporodium sp. 54 9,26% 4 Isospora felis 54 7,41% 1 Isospora rivolta 54 1,85% 1 Balantidium coli 54 1,85% Tidak Diare (Feses Normal) 2 Cryptosporidium sp. 46 4,35% 1 Isospora rivolta 46 2,17%

Tabel 4.9. Perbedaan Infeksi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliaharaan Baik yang Mengalami Diare atau Tidak Diare di

(56)

Kondisi Feses Jumlah Sampel Infeksi Protozoa Prevalensi Infeksi Protozoa (%) Diare 54 11 20,37% Tidak Diare (Feses Normal) 46 3 6,52%

(57)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Prevalensi Protozoa Saluran Pencernaan pada Kucing Peliharaan di Kotamadya Surabaya

Berdasarkan hasil penelitian dari 100 sampel yang diambil dari beberapa wilayah di Surabaya, didapatkan 14 sampel feses positif ditemukan ookista, kista atau tropozoit protozoa saluran pencernaan, dapat diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa saluran pencernaan pada kucing adalah 14%. Angka prevalensi tersebut lebih rendah dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) di Denpasar yang melaporkan prevalensi protozoa saluran pecernaan pada kucing lokal sebesar 31,3%. Adanya perbedaan tersebut disebabkan karena perbedaan jenis kucing yang diteliti. Penelitian deteksi protozoa saluran pencernaan pada kucing peliharaan di kotamadya Surabaya menggunakan kucing peliharaan sebagai sampel, sedangkan penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk. (2014) menggunakan kucing yang hidup liar dan kucing peliharaan sebagai sampel, sehingga angka prevalensinya lebih tinggi.

Penelitian yang dilakukan Sucitrayani dkk (2014) menggunakan sebanyak 40 sampel feses kucing liar dan 40 sampel feses kucing peliharaan, dari 40 sampel feses kucing liar yang diperiksa, ditemukan sebanyak 16 sampel positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan dengan angka prevalensi 40%. Sedangkan dari 40 sampel feses kucing peliharaan, ditemukan sebanyak sembilan sampel feses positif terinfeksi protozoa saluran pencernaan dengan angka prevalensi 22,5%.

Gambar

Tabel             Halaman
Gambar 2.1 Saluran pencernaan kucing (sumber: Allen et al., 2011)
Gambar 2.2 Morfologi ookista Eimeria sp. yang telah bersporulasi            (sumber: Levine, 1995)
Gambar 2.4 Morfologi ookista Isospora sp. (sumber: Soulsby, 1986)  b.  Patogenesis dan Gejala Klinis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelitian mengenai prevalensi helmintiasis saluran pencernaan melalui pemeriksaan feses pada sapi di LPA Benowo-Surabaya