• Tidak ada hasil yang ditemukan

UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL AFLATOKSIN SKRIPSI NICHO AFIANDI F

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL AFLATOKSIN SKRIPSI NICHO AFIANDI F"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL

AFLATOKSIN

SKRIPSI

NICHO AFIANDI

F24061661

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

POTENTIAL TEST OF Aspergillus flavus LOCAL STRAIN AS AFLATOXIN

PRODUCER

Nicho Afiandi1, Hanifah Nuryani Lioe1, Romsyah Maryam2

1

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, P.O. Box 220, Bogor 16002, West Java,

Indonesia

2

Balai Besar Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114, West Java, Indonesia Phone 62 877 2017 4874, e-mail: mr.afiandi@hotmail.com

ABSTRACT

Aflatoxin is found in food and livestock feed in Indonesia. Aflatoxin is toxigenic, mutagenic, teratogenic, carcinogenic, and immunosuppresive compound. Hazardous potential of aflatoxin demands the avaibility of aflatoxin standard for analysis. Pure 55 strains of Aspergillus flavus were screened with ELISA to evaluate the potential yield of aflatoxin. Result of screening suggested that isolate S.26 contained the highest AFB1 (1212,3 ppb). This isolate was chosen for aflatoxin production on PDB (Potato Dextrose Broth) media and GAN (glucose ammonium nitrate) media with five replications. A. flavus from JCM was also grown in the same media under the same condition as the reference isolate to produce aflatoxins. TLC analysis results suggested that both A. flavus cultures from S.26 and JCM isolates grown on GAN showed no ability to produce aflatoxin while those grown on PDB could produce aflatoxin. Aflatoxin analysis of the A. flavus culture of S.26 isolate grown on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the ninth until twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 200-500 ppb and the average of 310 ppb (n=5). Analysis of A. flavus culture of JCM isolate on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 150-400 ppb and the average of 240 ppb. HPLC analysis of A. flavus culture of S.26 isolate had the highest amount of aflatoxin of 935,8 ppb at the ninth day while A. flavus culture of JCM isolate had the highest aflatoxin production of 847,7 ppb at the twelfth day. A. flavus of local isolate (S.26) has higher potential in producing aflatoxins on PDB media compared to A. flavus of reference isolate (JCM). Production of alfatoxin might be affected by variations in nitrate source, initial pH, medium composition, and chain of serial transfers during preparation and analysis. The aflatoxin produced by A. flavus of local isolate in PDB media could be the candidate of aflatoxin standards which are essential for the analysis of aflatoxins by means of purification on column chromatography.

(3)

NICHO AFIANDI. F24061661. Uji Potensi Isolat lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil

Aflatoksin. Di bawahbimbinganHanifah Nuryani Lioe dan Romsyah Maryam. 2011.

RINGKASAN

Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan yang berasal dari produk pertanian di Indonesia. Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan.Aflatoksin merupakan senyawa toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan bersifat immunosuppresif.Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana, termasuk penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat.

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah menguji potensi isolat lokal Aspergillus flavusdalam menghasilkan aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan dalam analisis aflatoksin. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan di berbagai laboratorium di Indonesia dalam melakukan analisis cemaran aflatoksin termasuk identifikasi dan kuantifikasi.

Secara umum,penelitian ini terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama berupa seleksi kemampuan isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin menggunakan teknik ELISA. Tahap kedua berupa pembiakanisolatlokalA. flavusterpilih padamediaPDB (Potato Dextrose Broth) dan media GAN (glucose ammonium nitrate) termodifikasi. Tahap terakhir berupa analisis kandungan aflatoksin dalambiakanmenggunakan TLC (Thin Layer Chromatography) dan dikonfirmasi menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography).

Tahapseleksimenunjukkan bahwa dari 10 isolatlokal A. flavusyang terdiri atas 55 sampel yang diuji, isolat S.26 merupakan isolat Aspergillus flavus yang paling banyak memproduksi aflatoksin, terutama AFB1 sebesar 1212,3 ppb. Isolat tersebut kemudian dibiakkan dalam media PDB dan media GAN setelah disegarkanpada media agar miring SDA (Sucrose Dextrose Agar). Tahappembiakan dilakukan selama tiga minggu dan dilakukan sampling pada interval waktu yang telah ditentukan. Pembiakan dilakukan menggunakan kontrol positif isolat Aspergillus flavus JCM.

Tahapan analisis sampel dilakukan menggunakan TLC dan HPLC setelah sampel sebelumnya diekstrak menggunakan kloroform. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa sampel S.26 dan JCM yang dibiakkan dalam media GAN termodifikasi tidak menghasilkan aflatoksin. Sementara itu, hasil analisis TLCkedua isolatyang dibiakkan dalam media PDB secara konstan menghasilkan aflatoksin pada tiap ulangan (n=5). Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan kemampuan produksi aflatoksin darikedua isolat tersebutdalam media PDB dan GAN antara lainadanyaperbedaan komposisi medium, pH awal dan sumber nitrat. Hasil analisis TLC untuk isolat S.26 dari media PDB menunjukkan produksi aflatoksin tertinggi pada hari 9-12 dengan kisaran konsentrasi 200-500 ppb dan rataan aflatoksin sebesar 310 ppb.Sementara itu, produksi aflatoksin tertinggi oleh isolat JCM pada media PDB terlihat pada hari ke-12 dengan kisaran konsentrasi yang lebih rendah yaitu150-400 ppb dan rataan sebesar 240 ppb. Aflatoksindari sampelbiakanA. flavusdalammedia PDB selanjutnyadikonfirmasimenggunakan HPLC setelah diderivatisasi

(4)

ppb. Sementara itu produksi aflatoksinolehisolat JCM yang optimum terjadipadahari ke-12 dengankonsentrasisebesar 847,7 ppb. Penurunan produksi aflatoksin yang optimum dibandingkan hasil uji ELISA disebabkan oleh adanya pengaruh dari faktor kesalahan positif yang dapat terjadi dalam uji ELISA. Berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi antara lainpenyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan.

(5)

UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL

AFLATOKSIN

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh NICHO AFIANDI

F 24061661

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(6)

Judul Skripsi : Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin

Nama : Nicho Afiandi

NIM : F24061661

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si) (Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.MedSc)

NIP 19680809 199702.2.001 NIP 19640618 198503.2.001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP: 19650814 199002.1.001

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Uji Potensi Isolat

Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin adalah hasil karya saya sendiri dengan

arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 1 Juni 2011

Yang membuat pernyataan

Nicho Afiandi

(8)

© Hak cipta milik Nicho Afiandi, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nicho Afiandi dilahirkan di Pematang Siantar, 20Mei 1988. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Yohanes Sugandi dan Erliana Purba. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Sukamanah, Cianjur, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Cianjur, Cianjur, Jawa Barat hingga tahun 2003. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Cianjur, Cianjur pada tahun 2006 dan pada tahun yang samaditerima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Major Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus FPC (Food Processing Club) sebagai Ketua Divisiice cream serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti anggota divisi logistik dan transportasi “Pelatihan dan Seminar HACCP VI” tahun 2008, anggota Komisi Disiplin “Masa Perkenalan Departeman ITP (BAUR)” tahun 2008, koordinator divisi logistik dan transportasi “Pelatihan dan Seminar HACCP VII dan ISO 22000:2005” tahun 2009, dan wakil koordinator divisi logistik dan transportasi “IFOODEX (Indonesian Food Expo)” tahun 2010. Penulis juga mendapat hibah Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh DIKTI. Pada tahun 2010 penulis terpilih sebagai penerima beasiswa unggulan DIKTI untuk mengikuti MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand) Student Mobility Program di Universiti Teknologi Mara (UiTM) Malaysia. Penulis juga mengikuti ICAAI (International Conference on Agriculture and Agro-Industry) di Mae Fah Luang University, Thailand, sebagai presentator poster yang berjudul “Review of Effervescent Powder from Mangosteen Pericarp which is Rich in Xanthones as Potential Functional Food” pada tahun 2010. Penulis melakukan magang penelitian sebagai tugas akhir di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dengan judul “Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus sebagai Penghasil Aflatoksin” di bawah bimbingan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.MedSc.

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadiratAllah Bapa yang Maha Kuasa atas tuntunan dan berkat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi yang berjudul “Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin” ini disusun berdasarkan magang penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor.

Selama kegiatan perkuliahan, magang penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Keluarga terkasih : Yohanes Sugandi dan Erliana Purba selaku orang tua, Niche Evandani dan Nichi Firani, atas dukungan semangat, doa, nasihat, saran, serta dukungan moril maupun materi kepada penulis.

2. Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu dan kesabaran di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan saran, arahan, masukan, motivasi dan bimbingan kepada penulis.

3. Ibu Dr. Ir. Romsyah Maryam, M.Med.Sc atas kesediaannya menjadi dosen pembimbing akademik kedua dan memberikan dana serta kesempatan kepada penulis untuk melakukan magang penelitian di Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor, juga atas kesediaannya menyediakan waktu dan kesabaran di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan saran, masukan, dan bimbingan kepada penulis.

4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum atas waktu dan kesediannya sebagai dosen penguji pada sidang skripsi penulis serta masukan dan saran yang diberikan demi perbaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang tidak bisa penulis

sebutkan satu persatu atas ilmu, bimbingan, dan nasehat yang diberikan kepada penulis.

6. Ibu Enny, Pak Rahmat, dan segenap teknisi dan staf pada bagian Mikologi dan Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas ilmu, bantuan, bimbingan, dan masukan selama penulis melakukan magang penelitian dan penyusunan skripsi.

7. Sahabat-sahabat “Alumnus Kantin PAU”:R. Dhimas Satrio Utomo, Yohanes Zega, dan Anis Zamaluddin atas kesediaannya untuk berbagi semangat, pikiran, mimpi dan inspirasi demi masa depan cemerlang.

8. Sahabat satu bimbingan: Manikharda dan Siti Sri Utami atas kebersamaan selama berbagi suka dan cita selama awal proses bimbingan sampai sekarang.

9. Sahabat “Cempaka 17”: Hendriyanto Halim, Willy Supandi, Hutomo Pramudyanto, Jun Holland Simamora, dan Afdi Pratama atas semangat, bantuan, dukungan, maupun halangan dan hambatan yang diberikan selama penulis melakukan magang penelitian dan penyusunan skripsi. 10. Sahabat-sahabat terdekat yang membuat hari-hari penuh tawa dan semangat: Riza Khamal

Shadiq, Arius Wiratama, Wonojatun, Erick, dan Abdi Tunggal Cahyo. Salam sukses untuk semuanya.

(11)

11. Sahabat-sahabat terbaik yang saling memberikan dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi: Dion Sugianto, Sandra Mariska, Roni Septiawan, dan Yogi Karsono. Terima kasih atas kebersamaan dan dukungan kalian disaat suka maupun duka.

12. Keluarga besar ITP 43 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan dan kekeluargaan yang membuat hari-hari penulis menjadi penuh kesan dan tidak terlupakan. Salam sukses untuk semuanya

13. Para staf PITP dan LSI, yang selalu melayani penulis dengan senang hati mencari skripsi, buku, artikel, jurnal dan fotokopi semua bahan-bahan tersebut untuk kepentingan penulisan skripsi ini. 14. Para StafUPT ITP dan IPN: Bu Novi, Mbak Ani, Bu Kokom, Bu Sofi, Mbak Darsi dan Bu Mar,

serta para staf Rektorat. Terima kasih atas kesediaan, kesabaran, dan kesigapannya dalam membantu penulis untuk menyelesaikan masalah administrasi.

Penulis menyakini masih banyak pihak-pihak yang belum disebutkan di atas, kepada semuanya penulis menyampaikan terima kasih banyak atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.

 

      Bogor, Juni 2011

(12)

DAFTAR ISI

 

Halaman 

RIWAYAT HIDUP ... .i

KATA PENGANTAR ... .ii

DAFTAR ISI ... . iv

DAFTAR TABEL ... .vi

DAFTAR GAMBAR ... ...vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ...viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang... 1

B. TujuanPenelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. Aspergillus flavus ... 3

B. Aflatoksin ... 6

C. Kultivasi Kapang pada Medium Cair ... 15

D. Analisis Aflatoksin ... 17

a. ELISA ... 17

b. TLC ... 19

c. HPLC...19

III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN ... 22

A. Bahan dan Alat ... 22

B. MetodePenelitian ... 22

1. Seleksi Isolat Lokal Aspergillus sp yang Berpotensi Memproduksi Aflatoksin .. 22

2. Evaluasi Produksi Aflatoksin pada Dua Medium Cair ... 23

a. Penyegaran Isolat Sampel Hasil Seleksi ... 23

b. Evaluasi Pertumbuhan Isolat dalam Media Cair dan Produksi Aflatoksin ... 23

C. Analisis ... 25

1. Seleksi Isolat LokalMenggunakan KIT ELISA Aflatoksin Produksi BBalivet .. 25

a. Preparasi Ekstrak Sampel ... 25

b. Preparasi Konjugat Encer ... 25

c. Preparasi Larutan Substrat ... 25

d. Analisis Aflatoksin B1 dengan KIT ELISA ... 25

1. Tahap Pencampuran dalam Microplate ... 25

2. Tahap Reaksi ... 26

3. Tahap Pembacaan dan Perhitungan ... 27

2. AnalisisProduksi Aflatoksin ... 27

(13)

b. Ekstraksi Aflatoksin... 27

c. Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC ... 27

1. Tahap Persiapan ... 27

2. Tahap Identifikasi ... 27

3. Tahap Pengamatan ... 28

4. Perhitungan ... 28

d. Konfirmasi Hasil Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC ... 28

1. Tahap Derivatisasi ... 28

2. Tahap Analisis ... 29

3. Tahap Perhitungan ... 29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

A. Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan ELISA ... 30

B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC ... 32

C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC ... 36

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

A. Kesimpulan ... 43

B. Saran ... 43

DAFTAR PUSTAKA ... 44

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Karakteristik berbagai jenis aflatoksin ... 6 

Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkan ... 11

Tabel 3. Konsentrasi maksimum aflatoksin untuk berbagai penggunaan ... 12

Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan .... 13

Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang ... 13

Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari beras ... 14

Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YES ... 16

Tabel 8.Produksi aflatoksin B pada medium GAN ... 16

Tabel 9. Kadar aflatoksin dalam sampel berdasarkan analisis menggunakan ELISA kit ... 31

Tabel 10.Hasil uji TLC kadar aflatoksin sampel pada media PDB...33

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar ... 3

Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus ... 4

Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus ... 5

Gambar 4. Skema produksi aflatoksin ... 7

Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterimagtosistin ... 8

Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin ... 9

Gambar 7. Format ELISA kompetitif langsung...18

Gambar 8. Skema kerja alat HPLC...20

Gambar 9. Ilustrasi percobaan dengan menggunakan isolat S.26 (s) dari dua media berbeda (PDB dan GAN) dalam lima ulangan dengan kontrol negatif (-) yakni media yang tidak diinokulasi dan kontrol positif (+) berupa media yang diinokulasi isolat JCM .. 24

Gambar 10 Interval sampling yang dilakukan (S1-S10) dari total 21 hari inkubasi (H0-21) ... 24

Gambar 11. Ilustrasi pada antibody-coated microplates ... 26

Gambar 12. Tampilan kurva kalibrasi analisis untuk sampel S.3 (A) 6/8/09, S.5 (D) 29/7/09, S.26 (C) 31/7/09, dan F-0213 (B) 13/9/09 berdasarkan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dengan ELISA kit Aflavet ... 30

Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi... 34

Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB ... 34

Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb ... 37

Gambar 16. Kromatogram sampel ulangan ke-2 S.26 PDB H9 (AFB1=13 ppb) ... 37

Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB (pH=4,00 dan suhu inkubasi 25°C) dengan interval h7-h21 ... 39

Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium ... 41

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel hasil seleksi ELISA ... 51

Lampiran 2. Gambar microplate yang digunakan dalam uji ELISA ... 53

Lampiran 3. Microplate spectrophotometer yang digunakan dalam uji ELISA ... 53

Lampiran 4. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media GAN termodifikasi ... 54

Lampiran 5. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media PDB ... 55

Lampiran 6. Pertumbuhan isolat JCMdalam media GAN termodifikasi ... 56

Lampiran 7. Pertumbuhan isolat JCM dalam PDB ... 57

Lampiran 8. Tabel hasil analisis dengan TLC pada media PDB ... 58

Lampiran 9. Gambar peralatan TLC yang digunakan ... 59

Lampiran 10. Gambar alat UV-reader dalam analisis TLC ... 59

Lampiran 11. Tabel hasil analisis HPLC pada media PDB ... 60

Lampiran 12. Gambar kromatogram standar dalam analisis HPLC ... 61

Lampiran 13. Gambar kromatogram sampel dalam analisis HPLC ... 62

Lampiran 14. Sonikator yang digunakan dalam persiapan fase gerak HPLC ... 63

(17)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keamanan pangan merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat yang semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang aman. Hak untuk mendapatkan pangan yang aman merupakan salah satu hak asasi manusia. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini masalah keamanan pangan masih belum bisa teratasi dengan baik. Salah satu penyebab pangan menjadi tidak aman ialah adanya kontaminasi mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan dapat dilihat dengan diterapkannya standar mutu produk internasional ISO 9000, standar mutu lingkungan ISO 14000, dan ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar (Kasno, 2004).

Beberapa kapang jenis tertentu mampu menghasilkan suatu senyawa organik beracun yang disebut mikotoksin (Syarief et al. 2003). Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Verma (2004) menyatakan bahwa kuantitas aflatoksin yang lebih tinggi umum dijumpai pada komoditas yang berasal dari negara subtropis dan tropis dimana kondisi lingkungannya lebih cocok untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin. Pada tahun 1980-an dilaporkan adanya keracunan aflatoksin di Ujung Pandang (Makassar) akibat satu keluarga mengkonsumsi kue khas daerah yang dinyatakan telah terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan tewasnya seluruh anggota keluarga tersebut. Kasus ini menimbulkan polemik pro dan kontra menyangkut efek kematian yang mendadak (akut) dari mikotoksin yang belum pernah terdokumentasi (Syarief et al. 2003).

Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia yang berasal dari produk pertanian. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan berpotensi menyebabkan tertimbunnya residu dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Diaz et al. 2006; Van Eijkeren et al. 2006). Di Indonesia setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200.000 penderita kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin (Pitt et al. 1997).

Potensi bahaya aflatoksin dalam pangan dan pakan mendorong munculnya berbagai regulasi terkait dengan aflatoksin. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005).

Penentuan konsentrasi aflatoksin dalam suatu komoditas pertanian, baik pakan maupun pangan, membutuhkan suatu metode analisis tertentu. Gilbert et al. (2005) menyatakan bahwa analisis aflatoksin pertama kali dilakukan lebih dari 30 tahun yang lalu menggunakan thin layer chromatography (TLC). Kemajuan teknologi analisis saat ini telah mengarah pada penggunaan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC). Meskipun demikian, pada dasarnya metode analisis aflatoksin membutuhkan penggunaan standar acuan. Sementara itu, standar aflatoksin sangat sulit untuk diperoleh di Indonesia karena mikotoksin ini dikategorikan

(18)

2  sebagai senyawa bioterorisme yang menyebabkan peredaran maupun perdagangannya sangat diawasi dengan ketat oleh pihak-pihak terkait.

Kapang Aspergillus sp., seperti A. flavus penghasil aflatoksin dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis Indonesia yang memiliki kelembaban, suhu, serta curah hujan tinggi. Hal tersebut menjadikan aflatoksin sebagai mikotoksin terpenting di Indonesia dari sekian banyak jenis mikotoksin lainnya. Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang sangat besar bagi produk-produk pertanian Indonesia membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana yang mencakup manajemen pengelolaan komoditas pangan baik pra-panen dan pasca panen. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisasi kontaminasi aflatoksin terutama pada komoditas pertanian untuk memperkecil hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri melalui manajemen yang baik. Manajemen yang baik mencakup penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Hal tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan tersedianya standar acuan aflatoksin yang bisa diperoleh dengan cepat, terjangkau, dan berkesinambungan.

Potensi isolat lokal dari kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin sangat tinggi, sehingga memungkinkan pemanfaatannya untuk memproduksi aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan. Kesulitan untuk memperoleh standar komersial memberikan peluang untuk menggali potensi isolat Aspergillus flavus. lokal sebagai penghasil aflatoksin untuk dijadikan standar. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan untuk berbagai laboratorium termasuk identifikasi dan kuantifikasi cemaran aflatoksin.

B. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan potensi isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Menyeleksi potensi isolat lokal A. flavus dalam memproduksi aflatoksin B1 dengan uji

ELISA.

2. Mengevaluasi produksi aflatoksin dari isolat lokal terbaik pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth) dan medium cair GAN (Glucose ammonium nitrate) yang dimodifikasi. 3. Menganalisis aflatoksin yang dihasilkan dengan metode TLC dan mengkonfirmasi hasilnya

dengan metode HPLC. Hasil pengamatan terhadap kromatogram kemudian dijadikan acuan dalam menentukan apakah isolat lokal yang digunakan memiliki potensi yang cukup untuk memproduksi aflatoksin dalam skala besar untuk dijadikan acuan dalam analisis aflatoksin.

Penelitian ini diharapkan mampu membantu untuk menguji potensi isolat lokal sebagai penghasil aflatoksin. Hal tersebut pada akhirnya diharapkan mampu membantu membuat standar alternatif untuk analisis aflatoksin.

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspergillus flavus

Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA.

Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila

dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.

Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007)

(20)

flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini.

 

       

Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007)

Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000).

Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang

(21)

mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw

minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993).

Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi (Gambar 3).

Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh

pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang

dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982)

.

Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007).

Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010)

(22)

6  magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥ 95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan

N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan

oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum

1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.

B. Aflatoksin

Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip (Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al. 2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina

Aflatoksin Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)

B1 C17H12O6 312 268-269 B2 C17H14O6 314 286-289 G1 C17H12O7 328 244-246 G2 C17H14O7 330 237-240 M1 C17H12O7 328 299 M2 C17H14O7 330 293 B2A C17H14O7 330 240 G2A C17H14O8 346 190 aSumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)

Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,

(23)

aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut.

hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —>

hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA — > demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> O-methylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1,

AFG1.

Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002)

Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A.

(24)

Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002)

Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).

(25)

Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapang-kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).

(26)

10  Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994) menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1.

Goldblatt (1969) menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi (D’Mello 2002; Yu et al. 2002). Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari (Makfoeld 1993). Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davis 1969).

Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang tinggi dan berbahaya (Diener dan Davis 1969) serta paling banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan (Lee et al. 2004). Oleh karena itu, kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti aflatoksin B1.

Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb (Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004). Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb (Yu et al. 2002).Lee et al. (2004) menyatakan bahwa nilai LD50 dari aflatoksin ialah 0,5 mg/kg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih

bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC).

Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan (Yu et al. 2002). Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan (Martins et al. 2008). Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis. Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh

(27)

aflatoksin (Verma 2004). Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. (2007) menyebutkan bahwa sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.

Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia (Bahri et al. 2003; Lilieanny et al. 2005) termasuk pada bahan pangan dan pakan (Aryantha et al. 2007). Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et al. 2006). Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang didistribusikan di Jawa telah terkontaminasi aflatoksin (Aryantha et al. 2007). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan oleh aflatoksin.

Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Berikut ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkana

aSumber: www.ipm.iastate.edu (2010)

b

part per billion

Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk berbasis kacang-kacangan dengan 80% produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm.

Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai

Konsentrasi aflatoksin

(ppb)b Efek yang ditimbulkan

20 Level maksimal yang diijinkan untuk manusia

50 Level maksimal yang diijinkan untuk hewan

100 Pertumbuhan lambat pada usia muda

200-400 Pertumbuhan lambat pada usia tua

(28)

12  jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan.

Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaana

Penggunaan Konsentrasi aflatoksin

(ppb)b

Susu (perusahaan susu) Tidak terdeteksi

Jagung yang belum pasti pengolahannya 20

Jagung untuk hewan muda 20

Jagung untuk pakan ternak lembu 20

Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa 100

Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong 200

Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong 300

aSumber: http://www.pubs.caes.uga.edu/ (2009)

bpart per billion

Lee et al. (2004) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan, selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh. Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan (Shier et al. 2005).

Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan tingginya insiden kanker hati (Lee et al. 2004). D’Mello (2002) menyatakan bahwa aflatoksin banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan, Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan sindrom Reye’s.

Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration (FDA) seperti dapat dilihat pada Tabel 4.

(29)

Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan

pakan.

Kandungan Aflatoksin (ppb)a

Komoditas Spesies

0.5 (aflatoksin M1) Susu Manusia

20.0 Semua pangan kecuali

susu

Manusia

20.0 Pakan Ternak

100.0b Jagung Ternak lembu, ternak

babi, dan unggas dewasa

200.0b Jagung Karkas babi (>100 lbs.)

300.0b Jagung Karkas sapi/lembu

300.0b Biji kapas sebagai pakan Ternak

apart per billion

bpengecualian

Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Berikut ini (Tabel 5) ialah perbandingan dampak kontaminasi aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang.

Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara

berkembang1

.

Faktor Negara maju Negara berkembang

Periode produksi aflatoksin

Pra-panen Pasca-panen Tanaman yang

terkontaminasi

Jagung, kacang tanah, kacang pohon.

Jagung, kacang, kopra, jewawut, tepung ubi jalar, dan tepung singkong Perhatian pertama Biaya regulator untuk

pemantauan

Keracunan kronis, meliputi hepatokarsinoma primer, penurunan kekebalan tubuh, dan keracunan akut.

Perhatian kedua Yield loss pada pakan

ternak

Yield loss pada pakan ternak

1Sumber: Shier et al. (2005)

Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan (Cardwell dan Henry 2005), namun tidak demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin.

(30)

14  Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan mengancam keamanan pangan. Binder et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat indikasi yang jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India (275 ppb). Level kontaminasi rata-rata ialah 52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produk-produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis, berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak (Binder et al. 2007). Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari lingkungan (Shier et al. 2005). Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan infeksi (Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002). Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah ingesti (Omaye 2004). D’Mello (2002) mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari miktoksin yang tersebar melalui makanan (foodborne mycotoxins) yang umum dijumpai di kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Reddy et al. (2009) melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi

dari berasa.

Isolat Asal Sampel

Kandungan Aflatoksin B1 (ppb)

YESb medium AFPA

c

medium

Crude rice grain mediumd

DRAf 002 Tamil Nadu 6400 - 62000

DRAf 006 Tamil Nadu 4500 - 13000

DRAf 009 Tamil Nadu 40000 - 415000

DRAf 012 Maharashtra 5800 - 15000

DRAf 018 Maharashtra 5000 - 36000

aSumber: Reddy et al. (2009)

bYES (Yeast Extract Sucrose) agar.

cAFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar)

d

Rice cultivar: Pusa Basmati 1

Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. (2009) bertujuan untuk melihat potensi isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi

(31)

akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk (Lee et al. 2004). Reddy et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan, maupun selama proses produksi. Omaye (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup.

Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) menjadi sangat penting dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.

C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair

Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan tertentu untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Secara alamiah mikroba akan beradaptasi pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan mikroba tersebut. Pada laboratorium, kebutuhan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk mikroba harus dapat dipenuhi oleh medium kultur (Nazari 2010). Medium sintetis untuk kultur mikroba umumnya digunakan untuk berbagai tujuan mulai dari identifikasi mikroorganisme yang belum diketahui hingga produksi mikroba dalam jumlah besar untuk kepentingan bioteknologi.

Aspergillus sp. penghasil aflatoksin merupakan salah satu kapang yang telah diteliti sejak lama dalam kondisi laboratorium. Berbagai media, baik media crude, semisintetis, maupun media sintetis telah digunakan untuk membiakan Aspergillus sp. Media yang umum digunakan bisa berupa media padat seperti SDA (Sucrose Dextrose Agar), PKA (Palm Kernel Agar), PDA (Potato Dextrose Agar), dan media crude dari jagung, kacang, maupun beras. Media cair yang umum digunakan antara lain media sintetis PDB (Potato Dextrose Broth) maupun media cair sintetis kompleks yang secara spesifik mampu meningkatkan produksi aflatoksin seperti media GAN (Glucose Ammonium Nitrate), AM (glucose-ammonium sulfate), SH (high salt), SL (synthetic low salt), Czapek-dox medium, YES (Yeast Extract Sucrose), dan SLS (Sucrose Low Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari 2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang ditumbuhkan.

Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966; Reddy et al. 1971).

(32)

16  Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2% ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.

Tabel 7.

Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa

Periode Inkubasi (hari) Kandungan Aflatoksin (ppb)* Berat miselia kering (g/100 mL) B1 G1 2 0,9 1000 1000 3 2,1 4000 10000 5 3,8 20000 53000 7 3,5 20000 53000 12 4,2 20000 53000 15 3,8 18000 48000 18 4,1 16000 42000

asumber: Davis et al. (1966)

Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961). Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu (Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc

Strain

Kandungan Aflatoksin (ppb)*

Medium GAN Medium GAN+ 2%

medium groundnut DU/KR 79 A 8300 18100 DU/KR 79 C 9300 21300 DU/KR 79 D 15100 28700 DU/KR 79 E 1300 0 DU/KR 79 F 0 6800 DU/KR 79 G 10900 15000 DU/KR 79 K 0 500

aProduksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7

hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00)

(33)

cSumber: Moggan et al. (1969)

Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba kompetitor

Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.

D. Analisis Aflatoksin

a. ELISA

Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography) secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak (Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000).

ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro. Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar (Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader (Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap

(34)

AFB reak lang tahu kit A Pene mem spes (AF sam ELI deka kebu

b. TL

B1, namun ma ksi silang den gsung dapat dil

Uji ELISA un 1977 dengan Aflavet dengan elitian Veterin miliki keuntun sifisitas tinggi, FB1 100%, AF mpel (duplo) sek

SA untuk anal ade terakhir k utuhan analisis

C

asih terjadi se ngan AFG1 ti lihat pada Gam

Gambar 7 A untuk aflatok n nilai sensitiv n nilai sensitivi ner (Balitvet) ngan antara la reprodusibel, FB2 0,9%, AFG kaligus atau 80 lisis aflatoksin karena prosed s disertai spesif edikit reaksi s idak begitu ny mbar 7. 7. Format ELIS ksin B1 pertam vitas sebesar 4 itas 0,3 ng/mL akan digunaka ain waktu an kisaran analisi G1 3,1%, dan 0 sampel secar n dan metabolit durnya yang fisitas dan sens

ilang dengan yata. Secara SA kompetitif l ma kali dilaku ng/mL sampel sampel yang d an dalam pene nalisis yang c is 0,3-30 ppb, n AFG2 1,6%) ra simplo (Rac t lainnya terlah sederhana dan sitivitas yang ti AFB2 dan AF sederhana pr langsung ukan oleh Chu

l (Sekhon et al dikembangkan elitian ini. EL cepat dengan reaksi silang y , dan mampu chmawati et al. h berkembang n mudah bera inggi (Lee et a FG2, sedangk rinsip kompet u dan Ueno pa l. 1996). ELISA

oleh Balai Bes LISA kit Aflav sensitivitas d yang cukup ke menganalisis . 2004). Meto pesat dalam d adaptasi deng al. 2004). 18  kan tisi ada A-sar vet dan cil 40 ode dua gan

(35)

Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kira-kira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999; Hahn-Deinstrop 2007).

Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan.

Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan ekstensif di seluruh dunia.

Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%.

Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya, namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al. 2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).

c. HPLC

HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan

(36)

20  pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode dengan kegunaan yang luas dalam analisis.

HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al. 2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif. Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi.

HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee et al. 2004).

Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat, hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.

  Gambar 8. Skema kerja alat HPLC.

Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan

(37)

tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi, bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data.

Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).

Gambar

Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar  (Hedayati et al. 2007)
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksin a
Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin (Lee et al. 2004)
Tabel 2.  Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkan a
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ketua Jurusan/Ketua Program Studi harus memeriksa jumlah pelaksanaan bimbingan sesuai yang dipenyaratkan dalam Pedoman Laporan Akhir sebelum menandakngani lembar

Using stocks which are included as member of Liquidity 45 in Indonesia Stock Exchange with observation period 2005-2010 as samples, findings show that there is

EVALUASI PENERANGAN JALAN (Studi Kasus Jalan W.R.Supratman Kota Bandung, Jawa Barat), Santa Mayretta, NPM: 10 02 13743, PPS Transportasi, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas

Sebagai jaminan mutu, registrasi, keberlangsungan produk, serta perluasan target pemasaran maka perlu dilakukan penelitian tentang kandungan produk minuman isotonik

1) Nilai pasar SUN pada saat pengajuan permohonan FPJP awal atau perpanjangan FPJP atau pengalihan FLI menjadi FPJP sekurang-kurangnya sebesar 105% (seratus lima per seratus)

Data pengukuran cakap silang NEXT dan FEXT dengan menggunakan kawat dengan diameter berbeda-beda dengan jarak yang berbeda pula diambil contoh dari

Selanjutnya Pasal 19 ayat (1) menyatakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat memberikan bantuan peralatan medis, obat-obatan dan fasilitas kesehatan

[r]