• Tidak ada hasil yang ditemukan

AWAL PENGARUH HINDU BUDDHA DI NUSANTARA. Agustijanto Indradjaja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AWAL PENGARUH HINDU BUDDHA DI NUSANTARA. Agustijanto Indradjaja"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510 Agustijanto2004@yahoo.com

Endang Sri Hardiati

endangsh45@yahoo.com

Abstrak. Berbicara tentang awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini selalu dimulai pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran kerajaan Kutai dan Tarumanagara di Nusantara dan masih sedikit perhatian terhadap periode sebelum itu. Padahal periode awal sampai dengan abad ke-5 M. adalah periode krusial bagi munculnya kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha di Nusantara. Penelitian terhadap periode awal sejarah dimaksudkan untuk mengungkapkan dinamika sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat Nusantara sehingga mampu menerima dan menyerap unsur-unsur budaya asing (India) yang pada puncaknya memunculkan sejumlah kerajaan bersifat Hindu-Buddha di Nusantara. Metode analisis yang dipakai adalah metode analisis tipologis dan kontekstual serta beberapa analisis C-14 atas temuan diharapkan dapat menjelaskan kondisi masyarakat Nusantara pada masa lalu. Hasil penelitian ini dapat mengidentifikasikan sejumlah tinggalan arkeologi seperti sisa tiang rumah, sisa perahu, keramik, tembikar, manik-manik, alat logam, dan sejumlah kubur yang diidentifikasi berasal dari periode awal sejarah. Berdasarkan tinggalan tersebut dapat direkonstruksi kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara dan peranannya di dunia internasional di Kawasan Asia Tenggara.

Kata kunci: Awal sejarah, Hindu-Buddha, Nusantara, Budaya India.

Abstract. Early Hindu-Buddhist Influence in the Indonesian Nusantara. So far discussions

about early Hindu-Buddhist influence in the Indonesian Archipelago (Nusantara) have always been started at around 5th Century AD, which is characterized by the presence of the kingdoms of Kutai and Tarumanagara in the archipelago, while the earlier period is barely noticed although the period between early and 5th century AD is a crucial period for the emergence of Hindu- Buddhist kingdoms in the archipelago. Research on the early period in history is intended to reveal the socio-economic dynamics among the communities in the Indonesian Archipelago so that they could accept and absorb elements of foreign (Indian) culture that ultimately gave rise to a number of Hindu-Buddhist kingdoms in the archipelago. The study collected data through surveys and excavation, and the methods of analyses used are typological and contextual analyses, as well as C-14 analyses on some finds that are expected reveal the conditions of the communities in the Indonesian Archipelago in the past. The results of this study are identification of a number of archaeological remains like remains of house poles, boat, ceramics, pottery, beads, metal tools, and several graves dating from the early period. The remains can be used to reconstruct the socio-economic condition of the archipelago and its role in the international world in Southeast Asia region.

Keywords: Early history , Hindu - Buddha, Nusantara, Indian Culture.

1. Pendahuluan

Penelitian terhadap periode awal pengaruh Hindu Buddha di Nusantara sejauh ini belumlah mendapat perhatian yang

memadai padahal pada periode tersebut merupakan periode yang yang cukup penting dalam perkembangan sejarah Indonesia Kuno. Dianggap penting karena pada masa itu kontak

(2)

18

awal antara masyarakat Nusantara dengan masyarakat luar semakin intensif. Kontak awal ini kemudian berlanjut dengan berkembangnya pengaruh India ke Nusantara. Kontak awal yang diperkirakan terjadi pada awal abad Masehi ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan maritim. Jaringan perdagangan regional di Asia Tenggara, beberapa dari mereka telah terlibat dalam perdagangan jarak jauh sebelum pengaruh India atau Cina di awal milenium pertama. Beberapa temuan nekara dan kapak Dongson adalah bukti adanya jaringan perdagangan jarak jauh tersebut (Manguin 1996: 255). Bahkan jika diamati maka himpunan tinggalan arkeologis dari budaya Dongson (Vietnam Utara) sangat penting karena benda logam paling awal yang ditemukan di Kepulauan Nusantara pada umumnya bercorak Dongson, bukan diilhami oleh benda logam dari India atau Cina (Bellwood 2000: 389).

Dapat dikatakan bahwa Nusantara pada sekitar awal milenium pertama yang menunjukkan perkembangan kebudayaan paleometalik dengan ciri-ciri utamanya antara lain berkembangnya teknologi pembuatan benda benda logam (perunggu dan besi), kehidupan yang menetap, mengembangkan pertanian persawahan, dan mengembangkan sistem kepercayaan pemujaan roh nenek moyang.

Dengan bukti-bukti tersebut dapat diperkirakan masyarakat Nusantara pada masa itu sudah dalam tingkatan kebudayaan yang cukup tinggi. J.L. Brandes menyebutkan bahwa masyarakat Nusantara sebelum kedatangan pengaruh India telah mempunyai 10 butir aspek kebudayaan yang merupakan kepandaian asli masyarakat Nusantara, yaitu wayang (permainan dengan

silhouet dan boneka), gamelan, batik,

pengerjaan logam, astronomi, pelayaran, irigasi, mata uang, metrum (irama), dan pemerintahan yang teratur (Suleiman 1986: 159-160).

Berdasarkan pendapat Brandes tersebut bukan hal yang mengherankan jika masyarakat Nusantara waktu itu sudah aktif dalam perdagangan maritim internasional antara India-Cina karena mampu melakukan pelayaran (dengan perahu bercadik) di samudera dan memanfaatkan ilmu astronomi yang mereka kuasai.

Sumber-sumber kesusasteraan asing yang menyebut wilayah Nusantara tidak begitu banyak. Meskipun India memberikan kontribusi besar dalam pengenalan tulisan kepada masyarakat Nusantara, namun India tidak mempunyai catatan-catatan tentang Nusantara maupun kegiatan-kegiatan yang terjadi antara dua wilayah tersebut. Tetapi ada karya-karya sastra yang menyebut nama-nama tempat yang diperkirakan berada di wilayah Nusantara. Kitab Milindapanha yang ditulis sekitar abad ke-1 S. M. dan Mahaniddesa yang ditulis antara abad ke-3 M. menyebutkan nama pulau seperti Sumatera (Suvarṇ nabhumi),

Bangka (Wangka), dan Jawa (Damais 1995:85). Selain itu, catatan Cina awal juga menyebutkan sejumlah kerajaan awal yang memiliki hubungan dengan jalur perdagangan melalui Selat Malaka seperti Poli, Koying,

Kantoli, P’u-lei, P’ota, P’o-huang, P’en-p’en, Tan-tan, dan Holotan yang berada di antara

kerajaan-kerajaan awal yang diperkirakan telah muncul di berbagai lokasi di Kepulauan Indonesia, terutama di Jawa dan Sumatera (Read 2008:78).

Ko-ying adalah kerajaan awal yang Muncul

sekitar Abad yang ke-3 yang kemudian posisinya digantikan oleh Ho-lo-tan sebelum kemunculan

Kan-to-li (441-563 M.). Kan-to-li inilah yang

disebutkan oleh Wolters sebagai kerajaan dagang terpenting sebelum munculnya Śrīwijaya (Read 2008:78). Keterbatasan sumber-sumber tertulis dan data arkeologi, bagaimanapun, lokasi sejumlah kerajaan awal termasuk dari Ko-ying, masih diperdebatkan.

Memasuki awal mileniun pertama, perdagangan antar wilayah antara Cina dan India yang menggunakan rute maritim

(3)

melalui Selat Malaka menunjukkan aktivitas yang meningkat mengakibatkan munculnya “entrepot” di Asia Tenggara. Salah satu pelabuhan yang terkenal besar dan lebih selama periode ini adalah Oc-eo, di Funan. Lokasi Funan secara strategis ditempatkan di antara Bassac dan Teluk Siam yang memungkinkan untuk berkembang menjadi pusat komersial penting. Setidaknya abad ke-3 M., penguasa Funan mengirim utusan ke India dan Cina. Kontak dagang dibangun membentang dari Cina ke Roma (Groslier 2002:79). Pada awalnya Cina tidak berminat berdagang dengan daerah- daerah Asia Tenggara yang oleh raja-raja Cina dianggap belum beradab karena terletak jauh dari pusat peradaban Cina (Poesponegoro dan Notosusanto 1984:12). Semula Cina berdagang dengan daerah Asia Barat melalui Asia Tengah dalam jalur perdagangan darat. Tetapi ketika para bangsawan Cina Utara mendirikan dinasti-dinasti di Cina Selatan, mulailah mereka mengembangkan perdagangan maritim dari Asia Barat ke selatan melalui Kepulauan Nusantara. Cina pada mulanya mengembangkan perdagangan dengan Funan, bukan karena berminat pada hasil bumi Funan tetapi karena Funan menghubungkan Cina dengan Asia Barat (Wolters 2011:24-26). Diperkirakan hubungan pelayaran langsung antara Cina dan Kepulauan Nusantara tidak saja sebagai bagian hubungan pelayaran Cina - Asia Barat tetapi juga merupakan hubungan tersendiri antara Nusantara - Cina (Poesponegoro dan Notosusanto 1984: 15). Berdasarkan Berita Cina diperkirakan hubungan langsung ini sudah terjadi pada awal abad ke-5 M.

Ada beberapa penyebab untuk meningkatkan perdagangan antar kawasan melalui lautan di wilayah Asia Tenggara, antara lain peningkatan permintaan untuk barang- barang eksotis seperti rempah-rempah termasuk cengkeh dan kayu manis dan aromatik seperti cendana selama abad pertama telah mendorong pedagang India untuk meningkatkan volume

perdagangan mereka dengan Asia Tenggara. Selanjutnya, Cœdès (1968:19) juga berasumsi bahwa latar belakang untuk pengenalan budaya India ke Kepulauan Indonesia sangat mungkin dalam upaya untuk mencari emas. ini tidak hanya karena fakta bahwa tambang emas di India tidak menghasilkan jumlah yang cukup untuk memenuhi permintaan emas India tetapi juga kehilangan sumberdaya emas di Siberia (Poesponegoro dan Notosusanto 2008:11). Selain itu, perbaikan substansi terhadap teknologi maritim di kawasan Asia Tenggara dan pelayaran jarak jauh dengan memakai perahu cadik ganda atau tunggal sedang berlangsung (Glover 1989:2).

Dari beberapa penelitian arkeologi, diketahui bahwa sejak akhir masa prasejarah sudah ada kontak antara masyarakat Nusantara dengan pendatang. Kontak tersebut terutama tentunya berkenaan dengan perdagangan yang masih menjadi pertanyaan adalah sampai sejauh mana peran aktif masyarakat Nusantara dalam perdagangan tersebut, baik dalam perdagangan lokal inter-insuler di Nusantara maupun perdagangan internasional. Kecuali itu pengenalan akan jenis-jenis komoditi juga dapat memberikan informasi mengenai pihak- pihak mana saja yang berdagang di Nusantara. Dengan demikian maka kajian terhadap masa awal sejarah di Nusantara bertujuan untuk (1) mengenali kondisi sosial-ekonomi masyarakat Nusantara pada awal masa sejarah; (2) menyusuri jalur-jalur perdagangan internasional yang memberi dampak terhadap masyarakat Nusantara serta mengenali pula pihak-pihak mana saja yang berinteraksi di Nusantara; (3) mengenali jenis-jenis komoditi yang diperdagangkan dan (4) merekonsktrusi kembali kondisi ekologi situs-situs awal masa sejarah. Diharapkan kajian ini akan dapat memberikan gambaran mengenai keadaan masyarakat Nusantara pada awal masa sejarah sebelum pada akhirnya benar-benar mengembangkan corak kebudayaan India yang berlatar-belakang agama Hindu-Buddha.

(4)

20

2. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Beberapa situs yang diidentifikasi sebagai situs dari awal masa sejarah mempunyai beberapa ciri antara lain, situs-situs tersebut berada di tepi pantai atau muara sungai karena lokasi tersebut memungkinkan atau memudahkan mereka mengadakan komunikasi dan interaksi dengan pendatang. Ciri lainnya adalah adanya temuan artefak yang berasal dari luar Nusantara, atau adanya kesamaan dengan temuan di luar Nusantara yang dapat dipertanggalkan secara relatif sebagai artefak dari periode awal sejarah seperti tembikar jenis

rouleted wares yang berasal dari Arikamedu

(India Selatan) atau manik-manik carnelian yang juga berasal dari India atau Asia Tenggara. Penelitian yang sudah dilakukan selama ini baik yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional atau pun balai arkeologi terhadap

situs-situs yang diduga berasal dari awal masa sejarah yang telah dan sedang dilakukan adalah dua situs berada di Pantai Timur Sumatera, yakni Situs Karangagung dan Air Sugihan; dua situs berada di Pantai Utara Jawa Barat, yakni Situs Batujaya dan Situs Pedes; dan satu situs di Pantai Utara Bali, yakni Situs Pangkung Paruk (Peta 1). Berikut gambaran hasil penelitian di lima situs yang seluruhnya berada di kawasan pantai.

2.1 Situs Karangagung

Situs ini terletak di kawasan Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Banyuasin. Penelitian yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Palembang sejak tahun 2000 telah menemukan sebanyak 26 lokasi yang berada di Desa Mulyaagung, Karyamukti, Karangmukti, Sariagung, Sukajadi, dan

Peta 1. Sebaran situs dari masa awal sejarah dan jalur perdagangan internasional di Nusantara

(5)

Bumiagung. Dari sejumlah lokasi yang telah ditemukan tampaknya situs arkeologi di Desa Mulyaagung terutama sektor MAG-1 merupakan situs yang paling padat temuannya (Budisantosa 2002:65-89).

Temuan di Situs Karangagung secara keseluruhan menunjukkan adanya sisa-sisa permukiman di wilayah tersebut, terutama berupa sisa-sisa tiang kayu dan nibung yang merupakan sisa rumah panggung yang berdiri di tepi sungai lama yang sekarang tinggal bekas alirannya saja. Tiang kayu dibuat dari batang kayu yang dikelupas kulitnya dan pangkalnya dipangkas membentuk lancipan. Tiang kayu dari kotak-kotak ekskavasi di sektor Mulyaagung 1 (MAG-1) tampaknya merupakan tiga 3 buah unit bangunan rumah yang masing-masing berukuran 360 x 360 cm, 460 x 340 cm, dan 460 x 340 cm. Hasil analisis C-14 atas temuan tiang kayu dari Situs Karangagung menunjukkan angka 1629-1624 BP atau abad ke-4 M. (Soeroso 2002).

Penelitian inijugamemberikan gambaran bahwa situs-situs dibekas permukiman kuna di daerah aliran Sungai Lalan, tepatnya di daerah pasang surut (tidal swamp). Jenis jenis tinggalan arkeologi yang ditemukan selain tiang tiang rumah, antara lain kemudi perahu, wadah-wadah tembikar, pelandas (anvil), bata, manik-manik, anting, gelang kaca alat batu, alat tulang. Selain itu yang telah ditemukan oleh penduduk antara lain gelang-gelang batu, cincin emas anting emas dan liontin perunggu (Budisantosa 2002:65-89).

Berdasarkan jenis artefak yang ditemukan, komunitas Karangagung pada masa lalu bersandar pada perdagangan internasional spesialisasi pekerjaan, dan stratifikasi sosial (Budisantoso 2002:65-89).

2.2 Situs Air Sugihan

Situs Air Sugihan merupakan situs yang sangat luas. Hampir seluruh wilayah di Kecamatan Air Sugihan Kabupaten OKI menyimpan temuan-temuan arkeologi. Tidak

hanya di areal permukiman tetapi juga di areal hutan lindung dan rawa-rawa yang sekarang mulai dibuka untuk kebun kelapa sawit dan pohon akasia. Diketahui bahwa permukiman kuno di wilayah Air Sugihan ini berada di sepanjang sungai lama (sungai alam) yang semuanya berakhir di Sungai Air Sugihan dan terus berlanjut ke Muara Sugihan dan berakhir di Pantai Timur Sumatera.

Secara umum, lingkungan Situs Air Sugihan ini merupakan daerah yang di dominasi oleh dataran rawa gambut dengan vegetasi rawa dan vegetasi sawah. Lingkungan rawa gambut ini terbentuk dari sisa-sisa hewan dan tumbuhan yang proses penguraiannya sangat lambat sehingga tanah ini mempunyai kandungan bahan organik yang sangat tinggi.

Sejak tahun 1980, daerah tersebut telah dijadikan lahan pemukiman trasmigrasi. Pada survei tahun 1988 yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional di Situs Air Sugihan ini ditemukan sejumlah manik-manik kaca, perhiasan emas, dan kendi keramik dari Dinasti Sui (abad ke-6-7 M.). Selanjutnya pada tahun 2002-2003, Balai Arkeologi Palembang berhasil menginventarisir beberapa sektor di Situs Air Sugihan. Penelitian lanjutan dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional sejak tahun 2007-2013.

Sampai saat ini, sebaran tinggalan arkeologi di Situs Air Sugihan hampir seluas 43 x 62 km persegi dan setidaknya lebih dari 74 situs dengan kepadatan yang berbeda- beda yang dikelompokkan ke dalam beberapa sektor yang penamaannya tergantung lokasi situs dengan desa terdekat. Situs-situs ini berada di sepanjang baratlaut dan tenggara Sungai Sugihan sampai ke Muara Sugihan. Melihat luasnya sebaran situs arkeologi di Situs Air Sugihan diduga bahwa permukiman di daerah Pantai Timur Sumatera dahulu telah cukup padat. Selain itu, sebagian besar temuan arkeologinya adalah fragmen tembikar yang dikatagorikan sebagai barang rumah tangga. Tingkat pembakaran rendah, campuran pasir

(6)

22

yang dominan sehingga mempengaruhi kualitas tembikar yang memiliki kekerasan antara 3-4 mohs. Selain itu sebagian besar ditemukan tidak memiliki ragam hias. Periuk- periuk diperlukan untuk menyimpan air minum, seperti diketahui lingkungan rawa di Situs Air Sugihan tidak memungkinkan penyediaan air bersih dari sungai-sungai yang ada tetapi harus diperoleh dari sumber-sumber air, tampungan air hujan, atau sungai air tawar yang berjarak cukup jauh dari permukiman tersebut. Oleh karena itu diperlukan wadah- wadah air (tempayan/periuk) yang diperlukan untuk kebutuhan air minum.

Sampai dengan tahun 2013, tampak jelas dari 74 situs yang telah ditemukan,situs- situs yang berada di jalur anak Sungai Air Sugihan yang mengalir di wilayah Desa Kertamukti, Nusakarta, Banyu Biru, semuanya di jalur 27 (Kabupaten OKI) melewati kawasan perkebunan PT SBA (anak perusahaannya BAP dan Start) sampai ke Sungai Pangeran dan berakhir di Muara Sugihan. Karakter temuannya memiliki kemiripan dengan temuan di Situs Karangagung. antara lain tiang-tiang rumah yang dibuat dari jenis kayu ulin/besi yang termasuk jenis kayu keras dan cocok untuk kawasan gambut, temuan tembikar memiliki ragam hias geometris yang cukup variatif, serta temuan alat alat logamnya memiliki kemiripan dengan temuan sejenis di Oc-eo, Vietnam. Tampaknya situs-situs di jalur ini menandai satu periode yang paling awal dari perkembangan kehidupan masyakarat di Air Sugihan. Bisa jadi sektor ini merupakan periode awal dari muncul dan berkembangnya masyarakat di Pantai Timur Sumatera sebelum Śrīwijaya (pra-Śrīwijaya).

Di luar kawasan tersebut, situs-situs yang berada di sebelah tenggara Sungai Air Sugihan banyak mengandung temuan fragmen keramik. Seperti di seluruh Sektor Kertamukti, Srijaya dan Nusakerta, Margomulyo, dan Bukit Batu. Untuk kelompok situs ini diduga mulai dihuni sejak pra-Śrīwijaya namun terus

berkembang sampai pada masa Śrīwijaya seperti yang ditemukan di Sektor Kertamukti. Hal ini karena di wilayah ini juga ditemukan beberapa fragmen artefak yang mencirikan adanya kemiripan dengan temuan artefak di Situs Oc-eo, Vietnam. Seperti temuan intaglio berelief sapi, dan anting-anting timah. Meskipun keramik mulai dikenal oleh masyarakat di Air Sugihan pada sekitar abad ke-8 M., namun wadah tembikar tetap diproduksi dan digunakan. Barang tembikar seperti tungku, tutup, kendi, dan periuk adalah jenis wadah yang masih populer.

Besar kemungkinan masyarakat di Situs Air Sugihan sudah terdeferensiasi meskipun pembagian kelompok masyarakat tersebut belum terlalu jelas/tegas. Setidaknya didalam masyarakat Air Sugihan Kuna ada kelompok pertama, adalah kelompok masyarakat yang pekerjaannya mengumpulkan sumberdaya hasil hutan seperti damar dan gaharu. Mereka mengumpulkan damar, gaharu, sagu, madu, dll. Selain untuk kebutuhan sendiri juga sebagian hasilnya diperdagangkan keluar daerah. Gaharu meski bukan komoditas yang utama tetapi keberadaannya diperlukan oleh masyarakat di Cina, India dan Timur Tengah. Berita China secara jelas menyatakan bahwa perdagangan gaharu telah menjadi komoditas yang dicari pada abad ke-6 M. (Wolters 2011:103).

Kelompok kedua, mereka adalah para pelaut-pedagang yang membawa hasil sumberdaya alam keluar. Tentunya kelompok kedua inilah yang melakukan kontak dengan masyarakat luar dan dari mereka juga komoditas asing bisa sampai ke pelosok- pelosok tempat di Pantai Timur Sumatera. Di luar dua arus besar itu di lingkungan mereka juga muncul kelompok yang memiliki keahlian membuat alat dari tembikar dengan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia, ada pula kelompok masyarakat yang membuat alat-alat logam terutama alat logam yang terbuat dari campuran timah dan pengrajin emas. Khusus emas, mereka telah

(7)

mengenal cara penyepuh logam tembaga dengan emas. Timah tampaknya diperoleh secara tradisional dari daerah Bangka yang letaknya berhadapan langsung dengan Pantai Timur Sumatera. Adapun emas diperoleh dari pedalaman Sumatera yang secara tradisional sudah mengenal cara memperoleh emas dari sungai-sungai di Sumatera seperti Sungai Batanghari.

Terkait dengan aspek hunian, perlu ditambahkan bahwa masyarakat Air Sugihan kuna juga telah memiliki kemampuan membuat rumah-rumah panggung dengan menggunakan batang pohon bebeko/ulin sebagai tiang utama penyangga rumah panggung yang didirikan. Melihat ukuran tiang dari kayu ulin yang berdiameter antara 30-50 cm jelas bukan pekerjaan satu atau dua orang unyuk mendirikan tiang-tiang tersebut tetapi diperlukan sekelompok orang dewasa. Melihat jarak antar tiang sekitar 3 - 3,5 meter dan panjang hampir 20 meter maka tampaknya rumah yang dibangun dengan tiang ulin bukanlah rumah yang berukuran kecil tetapi satu rumah panjang yang dapat dihuni oleh beberapa keluarga.

Pada masa yang kemudian, periode Śrīwijaya, mereka beralih membuat tiang rumah dari batang-batang nibung sebagai tiang utama penyangga rumah. Pohon nibung termasuk jenis tanaman yang banyak tumbuh di daerah rawa seperti di Pantai Timur Sumatera. Selain itu mereka juga telah mampu mengayam bilah-bilah bambu untuk dibuat dinding bambu (bilik), tikar, serta peralatan rumah lainnya yang terbuat dari bambu. Dari hiasan pada wadah tembikar diketahui pula bahwa mereka juga telah membuat alat dari daun pohon pandan (tikar pandan).

2.3 Situs Batujaya

Kompleks Percandian Batujaya yang terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Desa Telagajaya, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Secara geografis situs tersebut terletak di daerah ujung

Karawang pada koordinat 6°06’15”- 6°16’17” Lintang Selatan dan 107°09’01” - 107°09’03” Bujur Timur. Saat ini di Situs Batujaya terdapat 39 lokasi yang tersebar dalam radius 5 kilometer dan berada sekitar 6 km arah selatan dari pantai utara Jawa Barat.

Secara topografis, kompleks ini berada pada dataran rendah aluvial dengan ketinggian sekitar 4 meter di atas permukaan laut. Kompleks situs dikelilingi oleh persawahan irigasi. Di sebelah selatan mengalir Sungai Citarum sedangkan di utara situs merupakan daerah persawahan, tambak, dan permukiman sampai ke Pantai Utara Laut Jawa.

Sungai Citarum sebagai sungai utama yang mengalir di daerah Batujaya berhulu di lereng Gunung Wayang, Malabar. Lebar sungai sekitar 40-60 meter terutama di daerah hilir. Sungai ini tergolong berstadia tua dengan ciri lembah berbentuk huruf U dan aliran sungai berkelok-kelok. Mendekati muara di Laut Jawa, aliran sungai ini terpecah menjadi tiga yakni Solo Bungin, Solo Balukbuk, dan Kali Muara Gembong; sedangkan beberapa anak Sungai Citarum yang mengalir di daerah sekitar Batujaya saat ini ada tiga yang semuanya bermuara di Laut Jawa, yakni Sungai Pakis dan Cikiong dengan anak-anak sungainya (Soeroso 1995:119).

Berdasarkan hasil pemetaan, diketahui bahwa kompleks percandian Batujaya dibelah oleh sebuah sungai besar yang hulunya merupakan rawa belakang yang selalu tergenang air. Rawa belakang juga menampung limpahan air Sungai Citarum yang sewaktu- waktu meluap.

Kompleks percandian (yang dilingkari warna merah) diketahui berada di sebelah kiri dan kanan jalur sungai ini, sedangkan bagian kompleks percandian paling utara adalah Telagajaya VI (Unur Gundul). Pada tahun 1970-an masyarakat di sekitar candi masih bisa mengarungi Kali Asin lama ini sampai Unur Gundul. Kini yang disebut dengan Kali Asin hanyalah sebuah sungai kecil yang lebarnya

(8)

24

tidak lebih dari dua meter dan itu pun telah banyak mengalami pelurusan jalur sungai.

Survei dilakukan pada jalur Kali Asin menemukan paling tidak ada delapan lokasi. Sebagian besar lokasi temuan berada tepi Kali Asin lama dan hanya dua yang ditemukan di areal persawahan. Adapun temuan lepas yang berhasil ditemukan masyarakat sebagian besar berupa keramik (tempayan, mangkuk, piring, dan cepuk). Keramik paling tua berasal dari sekitar abad ke-6 M. (Dinasti Sui) yang ditemukan di daerah Kalimati.

Temuan alat logam di daerah Kedondong, Berek, Kali Asin-Cikande seperti tutup mangkuk, mangkuk, dan cermin dapat diidentifikasi sebagai alat-alat keperluan sehari-hari dan alat-alat yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara keagamaan Hindu- Buddha.

Munculnya permukiman masyarakat pendukung bangunan Percandian Batujaya pada abad ke 6-11 M., sebenarnya bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, namun permukiman ini diduga telah ada sejak masa

Peta 2. Jalur Sungai Kali Asin Lama (warna merah) sebaran bangunan suci di kompleks Candi Batujaya (dalam lingkaran warna hitam) dan sebaran situs arkeologi di jalur kali asin lama (titik warna merah) (insert: Situs Batujaya)

(9)

protosejarah. Pada masa sekitar awal abad masehi masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Kali Asin lama adalah masyarakat pendukung Kebudayaan Buni (Buni Pottery

Complex) yang telah menguasai teknologi

pembuatan tembikar dan pengolahan logam. Secara garis besar kr onol ogi okupasi kawasan di daerah Batujaya dapat dikelompokkan kedalam tiga fase zaman yang meliput masa awal sejarah sampai menjelang abad ke-11 M. Setelah itu wilayah ini seperti ditinggalkan oleh penduduknya sampai pada akhirnya lahan ini kembali dibuka pada awal abad ke-18 M. Dari catatan pemerintah Kolonial Belanda, pada tahun 1684, daerah ini hanyalah berupa rawa-rawa yang tidak berarti. Baru pada tahun 1706 atas perintah pemerintah Kolonial Belanda, daerah ini dibersihkan dan dijadikan areal persawahan dan perkebunan.

2.3.1 Periode Protosejarah

Pada periode protosejarah, daerah Batujaya termasuk bagian dalam wilayah sebaran budaya yang dikenal dengan istilah

Buni Pottery Complex, yakni satu komunitas

masyarakat prasejarah yang berkembang di sepanjang pantai utara Jawa Barat mulai dari daerah Buni (Bekasi) sampai (Cilamaya) Karawang1. Beberapa Situs Buni yang pernah

diteliti antara lain di Buni, Kedungringin, Cabangbungin, dan Bulaktemu di Bekasi, Batujaya, Kobak Kendal, Cilebar, Babakan Pedes di daerah Rengas Dengklok (Sutayasa 1969:1). Hal ini didasarkan pada temuan sejumlah rangka manusia yang disertai dengan bekal kubur berupa wadah tembikar. Wadah tembikar yang paling dominan adalah periuk kecil (kendil) berdiameter antara 10- 15 cm beserta tutupnya, piring dengan bibir tepian tegak, dan mangkuk. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari rangka. Selain wadah tembikar, temuan

lain seperti kapak batu neolitik, alat- alat logam (besi dan tembaga), manik-manik batu dan kaca, dan artefak dari tulang juga banyak dilaporkan (Wahyono 1993:97). Sebagian rangka diberi perhiasan berupa kalung, cincin, penutup mata, dan gelang. Hal ini menandakan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat pendukung tembikar Buni.

Dari hasil pertanggalan terhadap temuan arang di sekitar kerangka manusia tersebut didapat masa sekitar abad ke-1 S.M. sampai abad ke- 4 M. Umumnya rangka dikuburkan secara langsung dengan arah kepala pada bagian timur laut dan kaki baratdaya. Mereka telah menguasai teknologi logam dan pembuatan tembikar dengan tatap pelandas. Berdasarkan hasil penelitian yang difokuskan pada di Sektor Segaran II (Unur Lempeng) diketahui bahwa pada kubur-kubur yang ditemukan antara abad ke-1 S.M. - 1 M. seluruh bekal kuburnya merupakan wadah tembikar Buni. Tembikar non-Buni, yaitu rouletted ware mulai ditemukan pada sekitar abad ke-2 M. Dari fisiknya, tembikar rouletted ware ini mudah dibedakan dengan tembikar-tembikar Buni. Tembikar rouletted ware ini sangat keras, dibuat dengan teknik roda putar serta melalui pembakaran yang cukup tinggi dibandingkan pembakaran pada tembikar Buni.

Selain fragmen-fragmen tembikar Buni, di Unur Lempeng ini, temuan lebih dari 20 individu yang saat ditemukan beberapa di- antaranya dalam kondisi lengkap, sebagian besar kerangka disertai bekal kubur berupa wadah tembikar, alat logam, manik-manik, dan perhiasan (emas). Dengan ditemukannya

rouletted ware diduga masyarakat Buni telah

melakukan kontak dengan India pada masa itu2.

Jika pertanggalan terhadap temuan rouletted

ware di Batujaya baru sekitar abad ke-2 M.

dapat diterima itu berarti bahwa pada periode

(10)

26

ini pendukung Buni Pottery Complex mulai melakukan hubungan dengan masyarakat internasional. Itu berarti bahwa pada periode sekitar 2-4 M. dapat dianggap saat-saat transisi masyarakat pendukung Buni Pottery Complex mulai menapak jalan dari masa protosejarah menuju masa sejarah. Periode transisi ini cukup penting karena pada masa yang tidak terlalu lama di Jawa Barat akhirnya berdiri sebuah institusi politik yang dikenal sebagai Kerajaan Tārumanāgara.

2.3.2 Periode Kerajaan Tārumanāgara Periode Kerajaan Tārumanāgara muncul pada sekitar abad ke-5 M. yang ditandai oleh kehadiran tujuh prasasti batu yang ditemukan di sekitar Jawa Barat dengan rajanya yang terkenal Purnawarman. Namun kapan dan di mana tepatnya kerajaan ini berdiri belum dapat diketahui secara pasti. Dari hasil pengamatan stratigrafi di Candi Blandongan (Segaran V) dan beberapa sektor lainnya diketahui bahwa pembangunan tahap pertama kompleks percandian ini telah dimulai setidaknya dari masa Tārumanāgara (abad ke-5-7 M.). Salah satu temuan yang cukup menarik pada periode ini adalah votive tablet Buddha yang sezaman dengan votive tablet dari Periode Dwārawati sekitar abad ke-6/7 M. (Ferdinandus 2002:22). Namun pembangunan kompleks candi bersifat buddhistik hanya terkonsentrasi di daerah Batujaya saja, sedangkan di beberapa lokasi lainnya di Jawa Barat, Waisnawa dan Śiwais lebih berkembang. Seperti temuan kompleks candi dan tiga arca Wiṣ ṇ u yang diduga berasal dari abad ke-5 M. di Situs Cibuaya (20 km arah timur Situs Batujaya); Candi Bojongmenje di Rancaekek, Kabupaten Bandung; dan Candi Cangkuang di Kabupaten Garut yang berdasarkan gaya arsitekturnya diduga berasal

Perkembangan Buddhisme di wilayah ini seiringi dengan tumbuhnya pusat ajaran Buddha di Śrīwijaya (Palembang). Namun demikian, Buddhistik di Jawa Barat pengaruhnya sebatas di Pantai Utara Jawa Barat saja (Batujaya) kemungkinan karena tidak adanya dukungan secara politik mengingat penguasa kerajaan Tārumanāgara lebih memilih Hindu sebagai alat legitimasi kekuasaannya. Hal ini tercermin dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan yang menyebut Wiṣ ṇ u. Disamping itu jika dikaitkan dengan prasasti Kota Kapur yang menyebutkan tentang serangan Śrīwijaya ke Jawa seringkali dikaitkan dengan keruntuhan Tārumanāgara karena setelah abad ke-7 M. kerajaan ini tidak terdengar lagi.

2.3.3 Periode Kerajaan Sunda

Periode ini ditandai dengan pembangunan tahap ke-2 di Kompleks Candi Blandongan (Segaran V) yang dapat dilihat dari adanya lantai kedua (terakhir) di Candi Blandongan (Segaran V)3. Pembangunan tahap ke-2

diketahui paling tidak sekitar akhir abad ke- 8-9 M. Hal ini diindikasikan oleh temuan dua fragmen stoneware Cina (Guangdong) yang berasal dari akhir abad ke 8-9 M. yang ditemukan di bawah lapisan lantai kedua ini. Pada periode ini, diketahui bahwa bangunan suci di Kompleks Percandian Batujaya dilapisi oleh stuko namun tidak diberi hiasan berupa ornamen bangunan kecuali kelompok bangunan di Sektor Telagajaya I. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang ditemukan pada kelompok candi di Telagajaya I (TLJ I), di sektor ini tampaknya seluruh bangunan diberi hiasan ornamen bangunan yang sangat variatif. Ornamen tersebut berupa ragam hias tumbuh- tumbuhan dan binatang dan motif geometris yang cukup raya.

dari sekitar abad ke-7 M.

Periode abad ke-6-7 M. adalah puncak pertumbuhan agama Buddha di Batujaya yang tampak dari banyaknya bangunan stūpa dan bangunan lainnya yang didirikan.

(11)

Jika pembangunan tahap II, Candi Blandongan dikaitkan dengan situasi politik pada masa tersebut maka satu-satunya sumber tertua adalah prasasti Rakryan Juru Pangambat yang berangka tahun 854 Saka (932 M.). Prasasti yang ditemukan di Desa Kebon Kopi ini menyebutkan “...ba(r) pulihkan haji

sunda... Bagian ini dapat diterjemahkan

sebagai “memulihkan Raja Sunda”. Jika tafsiran ini benar itu berarti pada sekitar abad ke-10 M. telah muncul sebuah institusi politik baru pengganti Tārumanāgara yang sudah tidak diketahui kabarnya lagi sejak abad ke-7 M. (Pusponegoro dan Notosusanto 2008:381).

2.4 Situs Pedes

Situs Pedes secara administratif termasuk dalam wilayah Dukuh Kobak Kendal, Desa Kendal Jaya, Kecamatan Pedes, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak di daerah yang berjarak 3 km dari garis Pantai Utara Jawa bagian barat dan secara topografis sebagian besar wilayah Kecamatan Pedes termasuk dataran rendah alluvial dengan ketinggian 0-6 meter di atas permukaan laut. Kemiringan tanah 0-2% yang berarti permukaan tanahnya cukup landai. Di daerah ini sebagian besar lahannya dipakai untuk areal persawahan dengan irigasi. Di beberapa tempat masih terdapat rawa dan tanah tanah darat.

Pada dataran alluvial yang subur itu mengalir Sungai Cisaga di sisi utara dan Sungai Ciparege, anak Sungai Citarum yang bermuara ke timur laut melewati areal persawahan dengan irigasi. Beberapa buah saluran irigasi sekunder terdapat di tepi-tepi lahan persawahan dan lahan permukiman. Padi yang ditanam di persawahan itu dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun.

Selain daerah Kobak Kendal beberapa daerah sekitarnya juga yang pernah dilaporkan adanya temuan arkeologi seperti daerah Batujaya, Rawa-Menombo, Pojoklaban, Cilebar, Cikuntul, Cibutek, Dongkal, Babakan

Pedes, Puloglatik, Puloklapa, dan Tegalkunir. Di daerah-daerah ini pernah dilaporkan adanya temuan emas dan sejumlah wadah tembikar yang diidentifikasi oleh Sutayasa dan Soejono sebagai bagian dari kompleks tembikar Buni. Namun demikian situs-situs yang telah dieksplorasi lebih jauh (tahun 2008-2010) baru daerah Kobak Kendal, Dongkal, dan Cikuntul. Berdasarkan hasil penelitian diketahi bahwa Situs Kobak Kendal, Dongkal, dan Cikuntul merupakan bagian sebuah situs kubur dari periode prasejarah akhir atau awal Masehi (masa protosejarah). Pada masa prasejarah sampai protosejarah, situs ini merupakan bagian dari budaya Kompleks Tembikar Buni. Hal ini didasarkan pada temuan sejumlah kerangka manusia yang disertai dengan bekal kubur berupa wadah tembikar. Wadah-wadah ini diletakkan di bagian kepala atau bagian kaki dari kerangka. Selain temuan tembikar Buni sebagai bekal kubur, ditemukan juga fragmen tembikar dari situs Oc-eo, Vietnam. Temuan bekal kubur lainnya adalah sejumlah alat logam berupa parang atau pisau.

Foto 1. Temuan empat kerangka manusia beserta bekal kubur dari periode awal sejarah

2.5 Situs Pangkung Paruk

Penelitian awal sejarah di Pantai Utara Bali dimotori oleh I Wayan Ardika yang melakukan penelitian di Situs Sembiran dan Pacung Bali utara. Temuannya antara lain tembikar Arikamedu dari beberapa tipe, fragmen gigi manusia, manik-manik, dan fragmen tembikar lokal. Diantara fragmen tembikar yang ditemukan, terdapat tembikar

(12)

28

yang mengandung sekam (kulit padi). Dari analisis AMS radio carbon atas sekam tersebut diperoleh umur 2660 ±100 tahun. Manik-manik yang dominan adalah jenis manik-manik kaca Indo-Pasifik yang berwarna merah kecoklatan, yang biasa disebut mutisala (Ardika 2003:16). Penelitian yang dilakukan di Situs Pangkung Paruk yang berada di wilayah Laba Nangga, Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt,KabupatenBuleleng, Bali, menunjukkan bahwa bahwa situs ini merupakan bagian sebuah situs kubur dari periode prasejarah akhir atau awal Masehi (masa protosejarah). Pada masa protosejarah, situs ini merupakan bagian dari Situs Nekropolis Gilimanuk, yakni satu komunitas masyarakat prasejarah yang berkembang di sepanjang pantai baratlaut Bali di Kawasan Pantai Gilimanuk. Hal ini didasarkan pada temuan wadah tembikar (periuk) yang mempunyai pola hias terajala.

Ada beberapa catatan menarik dari temuan empat kerangka dalam sarkofagus disertai rangka yang dikuburkan langsung di tanah dalam posisi tertekuk. Pertama, temuan ini mencerminkan tatacara penguburan pada awal Masehi di Bali, Individu yang meninggal dikuburkan dengan dua cara, yakni diletakkan di dalam sarkofagus dan adapula yang langsung dikuburkan di dalam tanah. Adanya perbedaan tatacara penguburan ini diduga kuat terkait dengan status sosial dari individu yang dikuburkan. Bagi individu yang memiliki status sosial yang tinggi dalam komunitasnya maka dia akan dibuatkan satu sarkofagus yang dibuat dari jenis batuan breksi. Sumber bahan batuan diperoleh di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Untuk membuat dan membawanya dari tempat pembuatan diperlukan tenaga yang cukup besar. Dengan asumsi ini diduga kuat orang yang dianggap cukup penting di dalam komunitas tersebut sajalah yang penguburannya menggunakan peti kubur batu sarkofagus, sedangkan untuk kelompok masyarakat umum/ kebanyakan yang meninggal dimakamkan langsung. Asumsi ini diperkuat juga dengan

temuan bekal kubur yang cukup banyak di dalam sarkofagus yang ditemukan. Bekal kubur yang disertakan di dalam sarkofagus Pangkung Paruk termasuk barang-barang yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Anting- anting emas, manik-manik kertas emas, hiasan kepala emas berbentuk kerucut, manik-manik logam dengan emas sepuhan, manik-manik batu karnelian, hablur, manik-manik kaca lapis emas, dan cermin perunggu.

Diantara sekian banyak temuan bekal kubur maka salah satu yang patut mendapat perhatian adalah dua buah cermin perunggu. Berdasarkan gaya seni hias pada bagian belakang cermin diduga cermin tersebut berasal dari masa Dinasti Xin (Raja Wang Mang) tahun 8-23 M., yang merupakan dinasti yang sangat singkat antara western Han dan

eastern Han atau pada awal eastern Han (25

M.). Cermin dari bahan perunggu sebagai bekal kubur di dalam salah satu sarkofagus menurut Hsiao-Chun, merupakan benda tiruan yang diduga dibuat di Cina Selatan atau Vietnam dan berumur sekitar 2000 tahun yang lalu atau pada awal Masehi (Kompyang 2009:127). Cermin dari Situs Pangkung Paruk berbentuk lingkaran dengan ukuran diameter 10,8 dan 12 cm, permukaan belakang cermin cembung di bagian tengah dan berlubang (bulat, persegi), hiasan bermotif geometris, flora, dan burung phoenix. Bentuk seperti ini sudah dikenal sejak masa Dinasti Han dan Tang. Penyertaan cermin sebagai bekal kubur dan cepuk dari keramik Cina Dinasti Song, Qinbaiware (abad 10-11 M.)

Foto 2. Cermin perunggu dari Dinasti Han yang digunakan sebagai bekal kubur

(13)

juga ditemukan di Situs Semawang, Sanur, Bali Selatan. Hasil ekskavasi menemukan cermin perunggu bertangkai sebagai bekal kubur individu dengan penguburan terbuka (tanpa wadah) (Astawa, I Dewa Gede Kompyang, dan Naniek Harkantiningsih 1984:18-23).

Melihat beragam variasi dari bekal kubur yang disertakan tampaknya terkait dengan kepemilikan dari individu yang dikuburkan. Bekal kubur berupa batu pipisan beserta gandiknya termasuk barang yang tidak biasa. Keberadaan bekal kubur ini juga mencerminkan tingkat kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masyarakat protosejarah di Bali. Mereka diketahui telah menguasai teknologi pembuatan alat alat logam. Di Situs Tamblingan, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Buleleng secara jelas menunjukkan pada kita adanya bengkel pembuatan alat alat logam. Hal yang sama juga ditemukan pada teknologi pembuatan tembikar. Tembikar dengan motif terajala diyakini merupakan buatan lokal. Selain artefak yang dibuat oleh penduduk lokal, bekal kubur lainnya diperoleh melalui perdagangan. Mungkin masyarakat Pantai Utara Bali telah melakukan kontak dengan dunia luar, dan meskipun Bali tidak secara langsung berada di jalur perdagangan laut antara India dan Oc-eo (Vietnam) - Cina, namun beberapa komoditas yang paling dicari seperti kayu cendana, diperoleh di daerah timur Bali, didistribusikan ke Bali lalu ke Jawa atau Sumatera. Dari sini barang tersebut di bawa ke India, Vietnam, dan Cina.

3. Pembahasan

Dari lima kompleks situs yang telah diteliti tampak jelas bahwa kelima kompleks situs ini berasal dari sekitar awal abad pertama masehi dan pada masa itu masyarakat Nusantara dihadapkan pada kondisi terbukanya jalur perdagangan internasional di kawasan Selat Malaka yang semakin ramai. Hal ini mendorong masyarakat Nusantara untuk terlibat lebih aktif didalamnya. Keterlibatan

masyarakat Nusantara ini pada akhirnya juga mempengaruhi peradaban di Nusantara. Pada periode ini masyarakat Nusantara mulai melakukan kontak secara intensif dengan pedagang internasional, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan memberi efek yang sangat signifikan terhadap munculnya peradaban “baru” yang dipengaruhi oleh Hindu-Buddha.

Tampak jelas bahwa masyarakat Nusantara pada sekitar awal abad Masehi telah merupakan satu masyarakat yang memiliki tatanan sosial yang cukup teratur serta terdapat stratigrafi sosial di dalam masyarakatnya. Kematian dianggap sebagai satu perjalanan panjang oleh karenanya diperlukan bekal kubur bagi si individu yang mati. Kematian tidak merubah status sosial seseorang sehingga terdapat perbedaan perilaku bagi individu yang memiliki status sosial tinggi dibandingkan yang lainnya. Perbedaan perlakuan ini bisa diwujudkan dengan menempatkan individu di dalam sarkofagus (Situs Pangkung Paruk), ataupun pemberian penutup mata emas (Situs Batujaya).

Masyarakat Nusantara pada awal Masehi juga telah memiliki kemampuan membuat alat-alat logam seperti senjata, dan perhiasan. Kemampuan ini sudah dimiliki jauh sebelum pengaruh India masuk ke Nusantara. Sejumlah perhiasan yang ditemukan memiliki kemiripan dengan temuan serupa di Situs Oc- eo, Vietnam. Temuan tersebut adalah beberapa benda logam (benda timah seperti mata rantai, anting-anting timah dan bandul perunggu yang menggambarkan orang menari), manik-manik kerawang emas, dan manik-manik Indo- Pasifik. Situs Oc-eo adalah kota pelabuhan Kerajaan Funan abad ke-3-6 M. di Delta Sungai Mekong.

Selain perhiasan, temuan fragmen tembikar ada juga yang diketahui berasal dari Oc-eo, Vietnam. Selain itu temuan yang berasal dari Cina secara sporadis ditemukan di Nusantara seperti temuan fragmen tembikar dari Dinasti Han di Situs Batujaya, cermin

(14)

30

perunggu dari Dinasti Han di Situs Pangkung Paruk dan bandul kalung bergambar makhluk mitologi Cina yang dipercaya sebagai dewa pelindung di dalam perjalanan, ditemukan di Situs Air Sugihan.

Kontak masyarakat Nusantara tidak hanya dengan pedagang dari kawasan Asia Tenggara dan Cina tetapi juga yang sangat besar pengaruhnya pada masa-masa berikutnya adalah berasal dari India. Melihat tinggalan budaya yang berupa tembikar rouletted wares, diduga para saudagar India ini berangkat dari wilayah Arikamedu di Pantai Tenggara India sebelah selatan. Komoditi perdagangan lainnya adalah manik-manik batu karnelian. Manik- manik jenis ini suatu saat pernah menjadi barang komoditi penting dari India.

Bersamaan dengan aktivitas niaga, para saudagar India ini membawa pendeta Hindu dan biksu Buddha. Pada awalnya ajaran Hindu yang berkembang di beberapa tempat di Nusantara adalah aliran Waiṣ ṇ awa, yaitu suatu ajaran yang memuja Dewa Wiṣ ṇ u sebagai dewa utama. Ajaran ini dianut oleh kelompok- kelompok masyarakat di Situs Kota Kapur, Bangka, Situs Cibuaya, Karawang dan Situs Muarakaman, Kutai (pada sekitar abad ke- 5-7 M.). Adapun Ajaran Buddha dianut oleh kelompok masyarakat di Situs Batujaya, Situs Bukit Siguntang di Sumatera Selatan, dan Situs Batu Pait di Kalimantan Barat pada sekitar abad ke-6-7 M. Di Situs Batu Pait ditemukan sebuah prasasti yang dipahatkan pada batu berukuran 4 x 7 meter. Isinya tentang mantra- mantra Buddha yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Berdasarkan paleografinya prasasti ini berasal dari abad ke- 6-7 M. (Atmojo 1994: 2).

Kedatangan para saudagar India ke Nusantara tidak saja membawa perubahan pada sistem kepercayaan, mereka juga mengenalkan aksara. Menjelang millenium pertama Sebelum Masehi, para penutur sub-rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat sudah mencapai pesisir Indocina (Kamboja), Kalimantan,

Sulawesi, Jawa, dan Sumatera (Bellwood 1992: 55-136). Di Nusantara, para penutur ini sudah menggunakan bahasa Melayu Kuna. Dengan datangnya para saudagar India, mereka diperkenalkan dengan aksara Pallawa. Aksara ini dikembangkan oleh Dinasti Pallawa yang berkuasa di India Selatan. Di Sumatera banyak prasasti (terutama prasasti-prasasti Buddha) yang ditulis dalam bahasa Melayu Kuna dan menggunakan aksara Pallawa (Damais 1995:7).

Penelitian di Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat ini merupakan titik awal dan mempunyai peran penting bagi tumbuhnya institusi kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha, sebagai embrio bagi munculnya kerajaan Śrīwijaya di Sumatera dan Kerajaan Tārumanāgara di Jawa Barat. Wolters (1974:60) pernah menyebutkan bahwa Ko-ying sebagai kerajaan yang terletak di dekat selatan dari pintu masuk ke Selat Malaka dan juga percaya bahwa pada awalnya posisi Ko-ying berada di Pantai Timur Sumatera. Dia menyatakan bahwa daerah sepanjang pesisir Sumatera antara Jambi dan Palembang adalah lokasi yang paling strategis untuk pelayaran dan kapal-kapal menunggu angin muson untuk berlayar ke timur (Oc-eo). Pada waktu-waktu tertentu kapal bisa tiba ke Kanton dari Palembang dalam waktu lima hari tanpa melakukan transit (Manguin et al. 2006:59). Hal ini diketahui dalam sumber- sumber sejarah sebagai tempat transit yang terakhir untuk kapal-kapal dari India, serta tempat untuk mengirimkan komoditas dari India - mungkin ditangani oleh pedagang lokal, membuat mereka melakukan perdagangan lebih ke timur ke Nusantara. Ko-ying, menjadi pemerintahan yang paling berpengaruh pada periode tersebut. Tetapi kemudian, Wolters merevisi pendapatnya mengenai lokasi Ko-

ying yang kemudian ia duga berada di atau

dekat Karawang, Jawa Barat. Ia menilai bahwa

Ko-ying berarti “Kawang” dan kemungkinan

menjadi pusat perdagangan internasional di

(15)

Jawa Barat yang dikenal sebagai Ptolemeus Argrye (1979:29). Belakangan, kedua lokasi yang disebutkan oleh Wolters (Pantai Timur Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat/ Karawang) diketahui sebagai kawasan situs arkeologi yang sangat potensial.

Sumber Cina dari pertengahan pertama abad ke-3 M. ini juga menyebutkan bahwa Ko-

ying adalah suatu kerajaan di lingkungan kaum

Barbar di selatan. Kerajaan ini sangat kuat, penduduknya banyak, hasilnya adalah mutiara, emas, batu giok dan kristal serta pinang. Emas dan pinang tentunya dari Sumatera dan lainnya berasal dari pedagang asing. Lebih lanjut Berita Cina menyebutkan Ko-ying berada di sebelah selatan Chu-chih (mungkin di tanah genting Semenanjung Tanah Melayu), di sebelah utara terdapat gunung berapi. Di sebelah selatan Ko-

ying terdapat Teluk Wen, di teluk ini terdapat Chou (pulau) yang disebut P’u-lei. Orang yang

tinggal di P’u-lei berkulit hitam, giginya putih, matanya merah, mereka semua telanjang. Di sebelah tenggara Ko-ying terdapat Ssŭ-t’iao yang sangat subur (Wolters 1974:52-53).

Ko-ying yang letaknya dekat jalan masuk

ke Selat Malaka di sebelah selatan tampaknya merupakan terminal bagi kapal-kapal India, dan menjadi titik pemberangkatan barang- barang dagangan dari India untuk dikirim lebih jauh ke pulau-pulau di sebelah timur (Wolters 1974:60).

Sumber Cina yang lebih muda, dari abad ke-5-6 M., menyebut nama Kan-t’o-li sebagai kerajaan di sebelah timur Sumatera Selatan yang mengirim utusan ke Cina pada tahun 441-563. Kan-t’o-li adalah suatu kerajaan yang maju dalam perdagangan (Wolters 1974: 211). Diperkirakan komoditi utama dari Kan-t’o-li adalah damar, kemenyan, dan kamper, hasil hutan yang berasal dari pedalaman Sumatera. Menurut Berita Cina dari dinasti Ming, San-

fo-tsi (Śrīwijaya) dulu disebut Kan-t’o-li

(Pusponegoro dan Notosusanto 2008: 101). Oleh karena itu selain melakukan eksplorasi yang intensif di Pantai Timur

Sumatera dan Pantai Utara Jawa Barat, juga perlu dilakukan penelitian terhadap data tekstual perlu dilakukan untuk memastikan lokasi Ko-ying yang sudah disebut-sebut dalam Berita Cina dari kira-kira abad ke-3 M., dan

Kan-t’o-li yang menurut sumber-sumber Cina

berasal dari abad ke-4-5 M.

Disamping itu perlu diteliti juga situs- situs baru yang diperkirakan berasal dari periode yang sama, misalnya di daerah Barus (Sumatera Utara) daerah Seririt (Bali Utara) dan di Pantai Timur Kalimantan Timur. Penelitian di Kalimantan Timur ini sangat penting untuk mendapatkan data mengenai komunitas yang mengawali atau menjadi dasar tumbuhnya Kerajaan Kutai.

4. Penutup

Jauh sebelum kedatangan budaya India ke Nusantara, di daerah-daerah pesisir pulau di Nusantara telah dihuni kelompok-kelompok masyarakat yang mungkin masyarakat penutur bahasa Austronesia. Sejak awal kedatangannya, kelompok-kelompok masyarakat ini telah mengenal pelayaran antarpulau, bahkan mungkin telah menjelajahi samudera. Kepandaian menyeberangi samudera dengan alat angkut yang diciptakannya ini, mendorong mereka untuk dapat berhubungan dengan bangsa-bangsa lain di tempat yang jauh untuk melakukan aktivitas niaga.

Sejak awal milenium pertama tarikh Masehi, bangsa-bangsa di Asia telah melakukan aktivitas niaga, termasuk di antaranya bangsa India dan Cina. Bangsa India datang ke Nusantara diduga dalam usahanya “menemukan” komoditi rempah-rempah yang diduga telah lama dikenal sampai jauh ke Eropa. Di Nusantara, jalur pelayaran yang orang-orang India tempuh adalah melalui Selat Malaka ke arah tenggara melalui perairan Sumatera, Selat Bangka, dan Laut Jawa. Di beberapa tempat mereka menjumpai hunian di beberapa tempat di Pesisir Timur Sumatera dan Pesisir Utara Jawa.

(16)

32

Kontak-kontak dengan masyarakat luar itulah yang kemudian membawa masyarakat Nusantara memasuki era sejarah yang telah

literate dengan bekal pengenalan aksara dari

India, juga agama Hindu-Buddha, serta institusi kerajaan yang diserap dari India juga. Berdasarkan pengamatan pada situs- situs yang telah diteliti, diketahui bahwa beberapa situs menjadi embrio kerajaan- kerajaan Nusantara. Sebagai contoh dapat dikemukakan Situs Karangagung dan Air Sugihan di Pantai Timur Sumatera Selatan, Situs Batujaya, Cikuntul, dan Dongkal di Pantai Utara Jawa Barat dan Situs Sembiran dan Pangkung Paruk di Pantai Utara Bali yang menjadi dasar tumbuhnya Kerajaan Śrīwijaya di Sumatera, Kerajaan Tārumanāgara di Jawa Barat, dan Kerajaan Singhamandawa di Bali.

Diharapkan penelitian lebih intensif atas situs-situs awal masa sejarah ini dapat mengungkapkan bagaimana peranan masyarakat Nusantara dalam keikutsertaan mereka dalam perdagangan internasional dan juga pergaulan internasional pada umumnya.

*****

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan. 2003. “Hubungan antara Indonesia dan India pada Awal Masa Sejarah”, dalam Katalog Pameran Fajar

Masa Sejarah Nusantara, hal. 15-21.

Jakarta: Museum Nasional.

Astawa, A.A. Oka, I Dewa Gede Kompyang, dan Naniek Harkantiningsih. 1984. “Temuan Keramik di Situs Semawang, Sanur Bali”, Amerta 9:18-23. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Atmojo, Sukarto K. 1994, “Beberapa Temuan

Prasasti Batu Indonesia” dalam Berkala

Arkeologi Tahun XIV. Edisi Khusus: 1-5.

Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Begley, Vimala. 1996. The Ancient Port of

Arikamedu Vol.1. Paris: Ecole Francaise

d’Extreme - Orient.

Bellwood, Peter. 1992. “ Southeast Asia before History”. Tarling (1): 55-136.

---. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-

Malaysia. Jakarta: P.T. Gramedia.

Bernett, Kempers,A.J. 1959. Ancient Indonesian

Art. Cambridge Massachusett: Harvard

University Press.

Budisantosa,Tri Marhaeni S. 2002. “Pemukiman Pra-Sriwijaya di Kawasan Karangagung Tengah: Sebuah Kajian Awal” dalam

Jurnal Arkeologi Siddhayatra 7(2):

65-89. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

---. 2005. Berita Penelitian Arkeologi No. 13. Palembang: Balai Arkeologi Palembang.

Chabbra, B.Ch. 1935. “Expansion of Indo- Aryan culture during Pallava rule as evidenced by inscription”, JASBL I (1): 1-64.

Cœdès, G. 1968. The Indianized States of

Southeast Asia. Kuala Lumpur: University of Malaya Press.

Damais, L-Ch. 1995. Epigrafi dan Sejarah

Nusantara: Pilihan Karangan Louis- Charles Damais. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

de Casparis, J.G. 1956. Prasasti Indonesia II. Jakarta: Museum Nasional.

Glover, I.C. 1989. Early Trade between India

and South-East Asia: a Link in the Development of a World Trading System,

hal 1-57. Hall: University of Hull, Centre of South-East Asian Studies.

Groslier, B.P. 2002. Indocina Persilangan

Kebudayaan (Indochina Crossing of Culture). Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Hardiati, Endang Sri. 2003. ”Fajar Masa Sejarah Nusantara”, dalam Katalog Pameran

Fajar Masa Sejarah Nusantara, hal. 1-3.

Jakarta: Museum Nasional.

Ferdinandus, P. 2002. Recent Archaeological

Excavation in Blandongan Site, Batujaya, Karawang, West Java. Jakarta:

Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

(17)

Kompyang, Gde. 2009. “Ekskavasi Penyelamatan Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng”, Laporan Penelitian Arkeologi. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

Manguin, Pierre-Yves. 1996. “Trading Ships of The South China Sea: Shipbulding Techniques and their Role in the History of the Development of Asian Trade Networks”, Journal of the Economic

and Social History of the Orient Vol. XXXVI.

---. 2004. “The Archaeology of Early Maritim Polities of Southeast Asia”. Dalam Bellwood and I. Glover Southeast

Asia: Origin to Civilisation, hal.

282-313. London : Curzon Press.

Manguin, P.Y. dan Agustijanto I. 2005. “The Archaeology of Batujaya (West Java,Indonesia)”, An Interim Report in

Uncovering Southeast Asia’s Past, hal.

245-57. Singapore: The National University of Singapore.

Manguin, P.Y. Soeroso Marto Prasodjo, Muriel Charras. 2006. “Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir”, Menyelusuri Sungai

Merunut Waktu, Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan. Jakarta : PT Enrique

Indonesia.

Pusponegoro, Marwati Djuned dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional

Indonesia II. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Read, R. D. Penjelajah Bahari: Pengaruh

Peradaban Nusantara di Afrika

(Exploring the maritime influence of

archipelago civilization in Africa).

Bandung: Mizan.

Soegondho, Santoso. 1993. Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Plawangan: Sebuah Kajian Teknologi dan Fungsi. Disertasi. Depok: Universitas Indonesia.

Soeroso MP. 1995. Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu - Buddha di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.

---. 2002. “Pesisir Timur Sumatra Selatan Masa Protosejarah: Kajian Permukiman Skala Makro”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX Kediri. Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Sukendar, Haris. 2004. Gilimanuk dan

Cakrawala Masa Depan. Bali: Balai

Arkeologi Denpasar.

Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada Masa Klasik”. Dalam, Ayatrohaedi (ed.), Kepribadian Budaya Bangsa, hal. 152-185. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sutayasa, I Made. 1969. “Ragam Hias Gerabah Prasejarah dari Komplek Buni”,

Manusia Indonesia II.

Wahyono, M. 1993. “Pottery of The Buni Pottery Complex as Shown by the Collection of the Museum National”,

Saraswati: Esay-esay Arkeologi 2, hal.

95-107. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Wolters, O. W. 1967. Early Indonesian

Commerce. Ithaca and London: Cornell

University Press.

---. 1974. Early Indonesian Commerce a

Study of The Origins of Śrīvijaya. Ithaca,

New York: Cornell University Press. ---. 1979. “Studying“, Journal of the

Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society LII.2:1-52.

---. 2011. Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia Abad III-VII. Jakarta: Komunitas Bambu.

(18)

KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

34

Gambar

Foto 1. Temuan empat kerangka manusia beserta  bekal kubur dari periode awal sejarah
Foto 2. Cermin perunggu dari Dinasti Han  yang digunakan sebagai bekal kubur

Referensi

Dokumen terkait