• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berlatar belakang Agraris, Tanah mempunyai arti yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara yang berlatar belakang Agraris, Tanah mempunyai arti yang"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai Negara yang berlatar belakang Agraris, Tanah mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan Masyarakat di Indonesia, terlebih lagi para Petani di Pedesaan. Tanah berfungsi sebagai tempat dimana Warga Masyarakat bertempat tinggal dan Tanah juga Memberikan Penghidupan baginya.

Tanah memiliki nilai yang sangat penting didalam kehidupan masyarakat, hal ini disebabkan karena Tanah memiliki Nilai Ekonomis, sekaligus Magis-Religio Kosmis menurut Pandangan Bangsa Indonesia, ia pula yang sering memberi getaran didalam kedamaian dan sering pula menimbulkan goncangan dalam masyarakat, lalu ia pula yang sering menimbulkan hambatan dalam Pelaksanaan Pembangunan Nasional.

Dalam perkembangannya Tanah juga menjadi Alat Investasi yang menguntungkan, sehingga terjadi Peningkatan Permintaan akan Tanah dan Bangunan, juga persaingan untuk memperolehnya, sehingga Administrasi Pertanahan menjadi hal yang sangat penting di masyarakat.

Menyadari arti penting dari Tanah tersebut, Negara yang telah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan Administrasi Pertanahan. Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) menjadi Leading

Sektor Administrasi Pertanahan ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya

disebut PPAT) menjadi Pejabat yang mempunyai Peran Penting dalam Administrasi Pertanahan. Untuk itu berbagai Peraturan yang berkaitan dengan Tanah dan Pejabat yang menangani Administrasi Pertanahan diatur dengan Peraturan yang senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.

(2)

Profesi di Bidang Hukum merupakan profesi luhur atau terhormat ataupun profesi mulia (nobile officium) dan sangatlah berpengaruh di dalam tatanan kenegaraan. Profesi di Bidang Hukum, diantaranya: Polisi, Advokat, Jaksa, Hakim, serta Notaris dan juga Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan Pilar-pilar Utama dalam Penegakan Supremasi Hukum dan atau memberikan Pelayanan bagi masyarakat dalam Bidang Hukum untuk menjalankan Strategi Pembangunan Hukum Nasional. Profesionalitas dan integritas yang tinggi dari masing-masing individu yang menjalankan profesi di Bidang Hukum mutlak dibutuhkan sesuai dengan Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangannya masing-masing.

Profesi Hukum sebagai Profesi terhormat, terdapat Nilai-nilai Moral profesi yang harus ditaati oleh Aparatur Hukum yang menjalankan Profesi tersebut, yaitu sebagai berikut: Kejujuran, autentik, bertanggung jawab, kemandirian moral, dan keberanian moral.1 Notaris dan PPAT sebagai salah satu Profesi di Bidang Hukum yang mendapatkan Delegasi Kewenangan dari Pemerintah untuk membuat Akta Autentik bagi Kepastian Hukum masyarakat, dalam menjalankan Profesinya selain harus berdasarkan pada Undang-undang, juga harus memegang teguh Nilai-nilai Moral Profesi tersebut.

Menurut Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, "Jabatan" (ambt) adalah suatu lingkungan pekerjaan

tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan guna kepentingan negara (kepentingan umum), selanjutnya dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan "Lingkungan Pekerjaan Tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang sebanyak- banyaknya dapat dinyatakan dengan

1Abdulkadir Muhammad, 2011, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 4

(3)

teliti/seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja).2 Oleh karena itu, maka Jabatan merupakan Subjek Hukum (person), sehingga Kekuasaan tidak diberikan kepada Orang Penjabat, tetapi diberikan kepada Jabatan (Lingkungan Pekerjaan). Sebagai Pendukung Hak dan Kewajiban, maka Jabatan itu dapat menjamin kesinambungan Hak dan Kewajiban, walaupun Pejabatnya berganti-ganti.

Pembentukan Payung Hukum secara Spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT (selanjutnya disingkat PP Nomor 37 tahun 1998) jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 tahun 1997, yang berinduk pada UUPA, bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah". Di dalam pasal 7 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997 disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Disisi lain, Pembentukan atau Perubahan suatu Aturan Hukum hendaknya mempunyai tujuan tertentu. Pada Konsideran Menimbang huruf "a" PP Nomor 24 tahun 2016 secara tegas dinyatakan bahwa Pertimbangan Pembentukan PP tersebut adalah untuk meningkatkan Pelayanan kepada masyarakat atas Pendaftaran Tanah, maka perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa ketentuan dalam PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.

Pelayanan pada Hakikatnya adalah Serangkaian Kegiatan, karena itu Proses Pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan,

(4)

meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan dengan saling memenuhi kebutuhan antara Penerima dan Pemberi Pelayanan.

Selanjutnya Moenir menyatakan bahwa, “proses pemenuhan

kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang dinamakan Pelayanan. Jadi dapat dikatakan Pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain”.

Dari Definisi tersebut dapat dimaknai bahwa Pelayanan adalah Aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara Penerima dan Pemberi Pelayanan yang menggunakan peralatan berupa Organisasi atau Lembaga Perusahaan.

Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang Jasa, baik itu orang yang bersifat Komersial atau pun yang bersifat Non Komersial. Namun dalam pelaksanaannya terdapat Perbedaan antara Pelayanan yang dilakukan oleh orang yang bersifat Komersial yang biasanya dikelola oleh Pihak Swasta dengan Pelayanan yang dilaksanakan oleh Organisasi Non Komersial yang biasanya adalah Pemerintah. Kegiatan Pelayanan yang bersifat Komersial melaksanakan kegiatan dengan berlandaskan mencari keuntungan, sedangkan kegiatan Pelayanan yang bersifat Non-Komersial kegiatannya lebih tertuju pada Pemberian Layanan kepada Masyarakat (Layanan Publik atau umum) yang sifatnya tidak mencari keuntungan akan tetapi berorientasikan kepada pengabdian.

Jadi dapat dikatakan bahwa Pelayanan Publik adalah segala bentuk Jasa Pelayanan baik dalam Bentuk Barang Publik maupun Jasa Publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan di Lingkungan Badan Usaha Milik

(5)

Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Namun demikian Kadang-kadang Implementasi sebuah Regulasi di lapangan menimbulkan Pro dan Kontra. Sebuah Peratuan baru bisa menguntungkan atau Merugikan bagi para Pelaku-pelakunya. Dilihat dari sifat kegiatannya PPAT merupakan Pejabat yang melayani masyarakat dalam hubungannya dengan Administrasi Pertanahan. Masyarakat merupakan

Stakeholder utama dari Jasa PPAT. Dari permasalahan tersebut Penulis

mengambil Judul Tesis Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 Atas Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Ditinjau dari Perspektif Pelayanan Publik.

Disamping itu sebuah Peraturan hendaknya menjamin sebuah Kepastian Hukum, mempunyai muatan yang berkeadilan dan bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu di samping Perspektif Pelayanan Publik sebagai bahasan utama, Tesis ini juga menyoroti Perubahan PP Nomor 37 tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ditinjau dari Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Manfaatnya bagi masyarakat sebagai bahasan pelengkap.

Menurut Sudikno Mertukusumo, Kepastian Hukum merupakan

sebuah Jaminan bahwa Hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian Hukum menghendaki adanya Upaya Pengaturan Hukum dalam Perundang-undangan yang dibuat oleh Pihak yang Berwenang dan Berwibawa, sehingga Aturan-aturan itu memiliki Aspek Yuridis yang dapat

(6)

Menjamin adanya Kepastian bahwa Hukum berfungsi sebagai suatu Peraturan yang harus ditaati.3

Islam memerintahkan kepada setiap Manusia untuk berbuat Adil atau Menegakkan Keadilan pada setiap Tindakan dan Perbuatan yang dilakukan, sebagaimana Firman Allah SWT: Artinya: “Sesungguhnya Allah

menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (Qs. An-Nisa:58)4

Menurut Jeremy Bentham (Teori Utilitis) Hukum bertujuan untuk

Mencapai Kemanfaatan. Artinya Hukum menjamin Kebahagiaan bagi Sebanyak -banyaknya orang atau masyarakat. Menurut Prof. Subekti, S.H

Tujuan Hukum adalah Menyelenggarakan Keadilan dan Ketertiban sebagai

Syarat untuk Mendatangkan Kemakmuran dan Kebahagiaan. Menurut

Purnadi dan Soerjono Soekanto Tujuan Hukum adalah Kedamaian Hidup

Manusia yang meliputi Ketertiban Ekstern antar Pribadi dan Ketenangan Intern Pribadi, yaitu Mendatangkan Kemakmuran dan Kebahagiaan bagi

Masyarakat; Menciptakan Keadilan dan Ketertiban; Menciptakan Pergaulan Hidup antar Anggota Masyarakat; dan Memberi Petunjuk dalam Pergaulan Masyarakat.

Berdasarkan uraian dari Permasalahan tersebut Penulis mengambil Judul Tesis tentang Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 Atas Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998

3 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Universitas Indonesi a Press, Jakarta, 1986, halaman 13

4 Al-Quran Surat An-Nisa ayat 58, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, halaman. 88.

(7)

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Ditinjau Dari Perspektif Pelayanan Publik.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam Penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah yang menjadi Perubahan-perubahan dalam Ketentuan pada Peraturan Peme-rintah Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?

2. Bagaimana Perubahan-perubahan Ketentuan itu dilihat dari Perspektif Pelayanan Publik?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

1. Untuk Meneliti dan Mendeskripsikan Pasal-pasal pada Peraturan Pemerintah 37 tahun 1998 yang mengalami Penghapusan, Penambahan, dan Perubahan pada Peraturan Pemerintah Momor 24 tahun 2016.

2. Untuk menganalisis Ketentuan-ketentuan Baru pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tersebut dilihat dari Perspektif Pelayanan Publik. D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil Penelitian ini secara umum diharapkan dapat digunakan sebagai referensi berkaitan dengan Kajian Perubahan Peraturan dan tinjauannya dari Perspektif Pelayanan Publik. Secara khusus adalah pada PP Nomor 24 tahun 2016 yang merupakan Perubahan dari PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan masukan pengembangan ilmu pengetahuan di Bidang Hukum Kenotariatan yang terkait dengan implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016

(8)

tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah; dan

2. Manfaat Praktis

Bahwa pertimbangan Perubahan Peraturan salah satunya adalah untuk memberikan Pelayanan yang lebih baik pada masyarakat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang sangat berharga bagi berbagai pihak yang terkait dengan perspektif Pelayanan masyarakat dalam Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual merupakan Konsep-konsep Dasar yang berkaitan dengan Konsep-konsep yang terkandung dalam Judul Penelitian yang dijabarkan dalam Permasalahan dan Tujuan Penelitian. Konsep-konsep dasar ini akan dijadikan pedoman dalam rangka mengumpulkan Data dan Bahan-bahan Hukum yang dibutuhkan dalam Penelitian ini untuk menjawab Permasalahan dan Tujuan Penelitian5.

5 Paulus Hadisoeprapto,dkk, 2009, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, UNDIP, Semarang, halaman 18

(9)

Berikut ini adalah kerangka konseptual yang akan Penulis gambarkan dalam Penelitian ini:

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) UU Nomor 5 tahun 1960

Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Pasal 7 Ayat( 1) dan Pasal & Ayat( 3) PP Nomor 24 tahun 1997

Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT

PP Nomor 37 tahun 1998 tentang PPAT

PP Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan PP Nomor 37 tahun 1998

Apakah yang menjadi Perubahan-perubahan dalam ketentuan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah?

Bagaimana Perubahan-peru-bahan itu dilihat dari Perspektif Pelayanan Publik?

Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 Atas Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

(10)

Kerangka Konsep Penelitian pada dasarnya adalah Kerangka Hubungan antara Konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui Penelitian. Untuk itu langkah-langkah yang dilakukan sebelum membuat Kerangka Konseptual ini adalah seleksi dan definisi konsep (logika berpikir untuk mencoba menjelaskan atau atribut dari masalah yang akan diteliti), mengembangkan pernyataan hubungan.

Konsep-konsep dasar lazimnya diperoleh setelah dilakukan penelusuran bahan-bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian yang berupa Kajian Pustaka menyangkut Permasalahan dan Tujuan dari Penelitian ini6.

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Profesi di Bidang Hukum merupakan Profesi Luhur atau Terhormat ataupun Profesi Mulia (nobile officium) dan sangatlah berpengaruh di dalam Tatanan Kenegaraan. Profesi di Bidang Hukum, diantaranya: Polisi, Advokat, Jaksa, Hakim, serta Notaris dan juga Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) merupakan Pilar-pilar Utama dalam Penegakan Hukum untuk menjalankan Strategi Pembangunan Hukum Nasional. Profesionalitas dan Integritas yang Tinggi dari masing-masing individu yang menjalankan Profesi di Bidang Hukum Mutlak dibutuhkan sesuai dengan Tugas Pokok, Fungsi dan Kewenangannya masing- masing.

Profesi Hukum sebagai Profesi Terhormat, terdapat Nilai-nilai Moral Profesi yang harus ditaati oleh Aparatur Hukum yang menjalankan profesi tersebut, yaitu sebagai berikut: Kejujuran, Autentik,

(11)

Bertanggungjawab, Kemandirian Moral, dan Keberanian Moral.7 PPAT

sebagai salah satu Profesi di Bidang Hukum yang mendapatkan Delegasi Kewenangan dari Pemerintah untuk membuat Akta Autentik bagi Kepastian Hukum Masyarakat, dalam menjalankan Profesinya selain harus berdasarkan pada Undang- undang, juga harus memegang teguh Nilai- nilai Moral Profesi.

Menurut Utrecht, seperti dikutip di dalam Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jabatan (ambt) adalah suatu lingkungan

pekerjaan tetap (kring vanvaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilakukan Guna Kepentingan Negara (kepentingan umum). Selanjutnya dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan "Lingkungan Pekerjaan

Tetap" ialah suatu lingkungan pekerjaaan yang sebanyak-banyaknya

dapat dinyatakan dengan tepat-teliti/seakurat mungkin (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan yang bersifat duurzam (tidak dapat diubah begitu saja).8 Oleh karena itu, maka Jabatan merupakan Subjek Hukum

(person), sehingga kekuasaan tidak diberikan kepada seorang penjabat, tetapi diberikan kepada Jabatan (lingkungan pekerjaan). Sebagai pendukung Hak dan Kewajiban, maka Jabatan itu dapat menjamin kesinambungan Hak dan Kewajiban, walaupun Pejabatnya berganti-ganti.

Pembentukan Payung Hukum secara Spesifik yang mengatur tentang Jabatan PPAT dengan Peraturan Pemerintah (selanjutnya disebut PP) Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT jika dilihat dasar pembentukannya bersumber pada Pasal 7 ayat (3) PP Nomor 24 tahun 1997, yang berinduk

7 Abdulkadir Muhammad, 2011, Etika Profesi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, halaman 4.

8 E.Utrecht,2010, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit Ikhtiar, Jakarta,tahun 1963, halaman 159

(12)

pada Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) bahwa: "Peraturan Jabatan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PP". Dalam Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 1997 disebutkan bahwa "PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (2) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Sedangkan Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah PP Nomor 24 tahun 2016 tentang perubahan atas PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, serta Peraturan Pelaksanaannya yang diatur di dengan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1999 tentang Ketentuan PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT.

Pada Konsideran Menimbang huruf "b" PP Nomor 37 tahun 1998 tersebut secara tegas dinyatakan bahwa pertimbangan pembentukan PP tersebut yaitu dalam rangka Pelaksanaan Pendaftaran Tanah, dengan menetapkan Jabatan PPAT yang diberi Kewenangan untuk Membuat Alat Bukti mengenai Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan Dasar Pendaftaran.

Dengan demikian, maka Pembentukan PP Nomor No. 37 tahun 1998 tersebut adalah memberikan Dasar Hukum dalam rangka pelaksanaan Tugas Jabatan PPAT untuk membantu sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 PP Nomor 37 tahun 1998, yaitu: "PPAT memiliki Tugas Pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat Akta sebagai Bukti telah dilakukannya Perbuatan-perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan

(13)

sebagai Dasar bagi Pendaftaran, Perubahan Data Pendaftaran Tanah yang diakibatkan oleh Perbuatan Hukum tersebut".

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah mendapat Legitimasi dalam Sistem Hukum Nasional melalui PP Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 tahun 1998 tentang PPAT.

Berdasarkan Pasal 1 angka (1) PP Nomor 24 tahun 2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, yang dimaksud dengan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat Akta-akta Autentik mengenai Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Tugas pokok PPAT tidak mengalami perubahan yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 37 tahun 1998 menyebutkan bahwa PPAT memiliki Tugas Pokok melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat Akta sebagai bukti telah dilakukannya Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan Dasar Bagi Pendaftaran Perubahan Data Pendaftaran Tanah yang diakibatkan oleh Perbuatan Hukum tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 37 tahun 1998, bahwa Perbuatan Hukum sebagaimana yang dimaksud tersebut, antara lain:

a. Jual beli;

b. Tukar-menukar; c. Hibah;

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng); e. Pembagian hak bersama;

(14)

g. Pemberian Hak Tanggungan; dan

h. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan; 9

PPAT merupakan Pejabat Umum yang diberi Kewenangan untuk membuat Akta-akta Autentik mengenai Perbuatan Hukum tertentu mengenai Hak Atas Tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dalam menjalankan Profesinya terkait Tugas dan Kewenangannya, PPAT berhak untuk Memungut Uang Jasa (honorarium) atas Akta yang telah dibuatnya. Sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 2016 yang berbunyi “Uang Jasa (honorarium) PPAT dan PPAT Sementara, termasuk Uang Jasa (honorarium) saksi tidak boleh melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi yang tercantum di dalam Akta”.

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, PPAT tidak boleh memungut honorarium melebihi 1% (satu persen). Di dalam Prakteknya di Lapangan, berdasarkan hasil dari Pra Penelitian ditemukan beberapa PPAT yang melakukan Pelanggaran dalam hal pemungutan tarif melebihi 1% dari jumlah yang ditentukan oleh Pasal 32 ayat (1) PP Nomor 24 tahun 2016 mengenai honorarium PPAT. Berdasarkan hal tersebut, maka PPAT telah melanggar PP Nomor 24 tahun 2016, namun demikian jika dicermati dalam Pasal 33 tentang Pembinaan dan Pengawasannya hanya disebutkan mengenai Pembinaan dan Pengawasannya dilaksanakan oleh Menteri. Secara lebih rinci, PP Nomor 37 tahun 1998 dalam Pasal 65 ayat (1) Peraturan Kepala BPN Nomor 1 tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 tahun 2016 tentang Peraturan Jabatan PPAT disebut PERKABAN juncto

9 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(15)

PERKABAN Nomor 23 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Ke BPN Nomor 1 tahun 2006 (Perkaban Nomor 1 tahun 2006 juncto Perkaban Nomor 23 tahun 2009) yang merupakan Peraturan Pelaksana dari PP Nomor 24 tahun 2016 dijelaskan bahwa Pembinaan dan Pengawasan terhadap Pelaksanaan Tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan, dimana Kepala Badan yang dimaksud adalah Kepala Badan Pertanahan.10

Pembinaan dan Pengawasan terhadap PPAT tersebut dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pertanahan. Pembinaan dan Pengawasan terhadap PPAT yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (3) Perkaban Nomor 1 tahun 2006 juncto Perkaban Nomor 23 tahun 2009 adalah sebagai berikut:

a. membantu menyampaikan dan menjelaskan Kebijakan dan Peraturan Pertanahan serta Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan Peraturan Perundang-undangan;

b. memeriksa Akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan secara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan Akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai Dasar Pendaftaran Haknya; dan

c. melakukan Pemeriksaan sesuai PP Nomor 24 tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah mengenai Pelaksanaan Kewajiban Operasional PPAT.11

10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan PP Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(16)

Disamping Pelaksanaan Jabatan PPAT dalam PP Nomor 24 tahun 2016, perlu juga diperhatikan ketentuan mengenai Kode Etik yang berlaku bagi PPAT yang dibentuk oleh Pengurus Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut IPPAT) sebagai Organisasi Perkumpulan yang membawahi Pejabat PPAT. Dalam Ketentuan Kode Etik IPPAT, dalam menjalankan Fungsi dan Pembinaan dibentuklah Susunan Pengurus sebagai Alat Kelengkapan dan juga Majelis Kehormatan. Pengurus dan Majelis Kehormatan Wilayah bisa memberikan sanksi baik berupa teguran atau pun sanksi kepada PPAT tersebut. Berdasarkan uraian tersebut, selain dibutuhkan PPAT yang berkualitas, baik itu berkualitas secara keilmuannya di Bidang Hukum maupun berkualitas secara Moral yang menjunjung tinggi Keluhuran Martabat serta Etika Profesinya dalam memberikan Pelayanan Jasa Hukum kepada Masyarakat perlu juga dikaji mengenai Pembinaan dan Pengawasan terhadap PPAT dalam menjalankan Jabatannya, hal tersebut dimaksudkan agar kedepannya PPAT dapat bertindak secara Profesional dalam melaksanakan Tugas dan Wewenangnya.

Disamping itu, dalam Pelaksanaan Jabatan PPAT pada PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT terdapat 3 macam PPAT, yaitu:

a. PPAT

PPAT adalah Pejabat Umum yang diberikan Kewenangan untuk membuat Akta-akta Autentik mengenai Perbuatan Hukum Hak Atas Tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun;

(17)

PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena Jabatannya untuk melaksanakan Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat Akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat Pejabat Pembuat Akta Tanah. PPAT Sementara ini adalah Camat ; dan

c. PPAT Khusus

PPAT Khusus adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena Jabatannya untuk melaksanakan Tugas PPAT dengan membuat Akta PPAT Tertentu Khusus dalam rangka Pelaksanaan Program atau Tugas Pemerintah tertentu. PPAT Khusus hanya berwenang membuat Akta mengenai Perbuatan Hukum yang disebut secara khusus dalam Penunjukan.

2. Pelayanan Publik

a. Pengertian Pelayanan

Istilah Pelayanan dalam Bahasa Inggris adalah “Service”, Moenir mendefinisikan “Pelayanan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh

seseorang atau sekelompok orang dengan landasan tertentu dimana tingkat pemuasannya hanya dapat dirasakan oleh orang yang melayani atau dilayani, tergantung kepada kemampuan Penyedia Jasa dalam memenuhi harapan Pengguna.”12

Pelayanan pada Hakikatnya adalah serangkaian kegiatan, karena itu Proses Pelayanan berlangsung secara rutin dan berkesinambungan, meliputi seluruh kehidupan organisasi dalam masyarakat. Proses yang dimaksudkan dilakukan sehubungan

12 Moenir, 2002, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara, halaman 26-27

(18)

dengan saling memenuhi kebutuhan antara Penerima dan Pemberi Pelayanan.

Selanjutnya Moenir menyatakan bahwa, “proses pemenuhan

kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung inilah yang dinamakan Pelayanan. Jadi dapat dikatakan Pelayanan adalah kegiatan yang bertujuan untuk membantu menyiapkan atau mengurus apa yang diperlukan orang lain”.

Dari Definisi tersebut dapat dimaknai bahwa Pelayanan adalah Aktivitas yang dapat dirasakan melalui hubungan antara Penerima dan Pemberi Pelayanan yang menggunakan peralatan berupa Organisasi atau Lembaga Perusahaan.

b. Pengertian Pelayanan Publik

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Pelayanan Publik dirumuskan sebagai berikut :

1). Pelayanan adalah perihal atau cara melayani;

2). Pelayanan adalah kemudahan yang diberikan sehubungan dengan Jual Beli Barang dan Jasa; dan

3). Publik berarti orang banyak (umum).

Pengertian Publik menurut Inu Kencana Syafi’ie, dkk yaitu: “Sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berfikir, perasaan,

harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-nilai norma yang mereka miliki”13.

Pengertian lain berasal dari pendapat Moenir menyatakan bahwa:

“Pelayanan umum adalah suatu usaha yang dilakukan Kelompok

(19)

atau Seseorang atau Briokrasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu”.14

Pelayanan merupakan kegiatan utama pada orang yang bergerak di bidang Jasa, baik itu orang yang bersifat Komersial atau pun yang bersifat Non Komersial. Namun dalam pelaksanaannya terdapat Perbedaan antara Pelayanan yang dilakukan oleh orang yang bersifat Komersial yang biasanya dikelola oleh Pihak Swasta dengan Pelayanan yang dilaksanakan oleh Organisasi Non Komersial yang biasanya adalah Pemerintah. Kegiatan Pelayanan yang bersifat komersial melaksanakan kegiatan dengan berlandaskan mencari keuntungan, sedangkan kegiatan Pelayanan yang bersifat Non-Komersial kegiatannya lebih tertuju pada Pemberian Layanan kepada Masyarakat (Layanan Publik atau umum) yang sifatnya tidak mencari keuntungan akan tetapi berorientasikan kepada pengabdian.

Jadi dapat dikatakan bahwa Pelayanan Publik adalah segala bentuk Jasa Pelayanan baik dalam Bentuk Barang Publik maupun Jasa Publik yang pada prinsipnya menjadi tanggungjawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam rangka Pelaksanaan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

c. Unsur-Unsur Pelayanan Publik

(20)

Dalam proses kegiatan Pelayanan Publik terdapat beberapa Faktor atau Unsur yang mendukung jalannya kegiatan. Menurut Moenir Unsur-unsur tersebut antara lain :

1). Sistem, Prosedur dan Metode

Yaitu didalam Pelayanan Publik perlu adanya Sistem Informasi , Prosedur dan Metode yang mendukung kelancaran dalam memberikan Pelayanan;

2). Personil, terutama ditekankan pada perilaku Aparatur

Dalam Pelayanan Publik Aparatur Pemerintah selaku personil Pelayanan harus Profesional, Disiplin dan Terbuka terhadap kritik dari pelanggan atau masyarakat;

3). Sarana dan Prasarana

Dalam Pelayanan Publik diperlukan peralatan dan ruang kerja serta Fasilitas Pelayanan Publik. Misalnya ruang tunggu, tempat parkir yang memadai; dan

4). Masyarakat sebagai Pelanggan

Dalam Pelayanan Publik masyarakat sebagai pelanggan sangatlah heterogen baik tingkat pendidikan maupun perilakunya.15

d. Azas, Prinsip Dan Standar Pelayanan Publik

Secara teoritis, Tujuan Pelayanan Publik pada Dasarnya adalah memuaskan masyarakat. Untuk mencapai kepuasan itu dituntut Kualitas Pelayanan Publik yang Profesional, kemudian menurut Lijan Poltak Sinambela mengemukakan Azas-azas dalam

Pelayanan Publik tercermin dari:

1). Transparansi

(21)

Bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti;

2). Akuntabilitas

Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan;

3). Kondisional

Sesuai dengan kondisi dan kemampuan Pemberi dan Penerima Pelayanan dengan tetap berpegang pada Prinsip Efisiensi dan Efektivitas;

4). Partisipatif

Mendorong peran serta masyarakat dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik dengan memperhatikan Aspirasi, Kebutuhan dan Harapan Masyarakat;

5). Keamanan Hak

Tidak Diskriminatif dalam arti tidak membedakan Suku, Agama, Ras, Golongan, Gender dan Status Ekonomi; dan

6). Keseimbangan Hak dan Kewajiban

Pemberi dan Penerima Pelayanan Publik harus memenuhi Hak dan Kewajiban masing-masing pihak.16

Dalam Proses Kegiatan Pelayanan diatur juga mengenai Prinsip Pelayanan sebagai pegangan dalam mendukung jalannya kegiatan.

16 Lijan Poltak Sinambela, 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta : PT Bumi Aksara.

(22)

Adapun Prinsip Pelayanan Publik menurut keputusan MENPAN No.63/KEP/ M.PAN/ 7/2003 antara lain adalah :

(1). Kesederhanaan

Prosedur Pelayanan Publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan;

(2). Kejelasan

Meliputi kejelasan dalam hal : Persyaratan Teknis dan Administratif Pelayanan Publik, Unit Kerja atau Pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab dalam memberikan Pelayanan dan Penyelesaian keluhan atau persoalan dan sengketa dalam Pelaksanaan Pelayanan Publik, Rincian Biaya Pelayanan Publik dan Tata Cara Pembayaran;

(3). Kepastian waktu

Pelaksanaan Pelayanan Publik dapat diselesaikan dalam Kurun Waktu yang telah ditentukan;

(4). Akurasi

Produk Pelayanan Publik diterima dengan benar, tepat dan sah; (5). Keamanan

Proses dan Produk Pelayanan Publik memberikan Rasa Aman dan Kepastian Hukum;

(6). Tanggung jawab

Pimpinan Penyelenggara Pelayanan Publik atau Pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas Penyelenggaraan Pelayanan dan Penyelesaian Keluhan atau persoalan dalam Pelaksanaan Pelayanan Publik;

(23)

Tersedianya Sarana dan Prasarana Kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk Penyediaan Sarana Teknologi Telekomunikasi dan Informatika;

(8). Kemudahan Akses

Tempat dan lokasi Serta Sarana Pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan dapat memanfaatkan Teknologi Telekomunikasi dan Informatika;

(9). Kedisiplinan, Kesopanan dan Keramahan

Pemberi Pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah, serta memberikan Pelayanan dengan ikhlas; dan

(10). Kenyamanan

Lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkap idengan fasilitas pendukung Pelayanan seperti parkir, toilet, tempat ibadah, dan lain-lain.

Penyelenggaraan Pelayanan Publik harus memiliki Standar Pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya Kepastian bagi Penerima Pelayanan. Standar Pelayanan merupakan ukuran yang dibakukan dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik yang wajib diataati oleh Pemberi dan atau Penerima Pelayanan. meliputi :

 Prosedur Pelayanan

Prosedur Pelayanan yang dibakukan bagi Pemberi dan Penerima Pelayanan termasuk Pengadaan;

 Waktu Penyelesaian

Waktu Penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan Penyelesaian Pelayanan termasuk Pengaduan;

(24)

 Biaya Pelayanan

Biaya atau Tarif Pelayanan termasuk rinciannya yang dititipkan dalam Proses Pemberian Pelayanan;

 Produk Pelayanan

Hasil Pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan;

 Sarana dan Prasarana

Penyedia Sarana dan Prasarana Pelayanan yang memadai oleh Penyelenggara Pelayanan Publik; dan

 Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan

Kompetensi Petugas Pemberi Pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan Pengetahuan, Keahlian, Keterampilan, Sikap dan Perilaku yang dibutuhkan.

Azas, Prinsip, dan Standar Pelayanan tersebut merupakan Pedoman dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik oleh Instansi Pemerintah dan juga berfungsi sebagai Indikator dalam Penilaian serta Evaluasi Kinerja bagi Penyelenggara Pelayanan Publik. Dengan adanya Standar dalam kegiatan Pelayanan Publik ini diharapkan Masyarakat bisa mendapatkan Pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan prosesnya memuaskan dan tidak menyulitkan masyarakat.

e. Jenis-jenis Pelayanan Publik

Timbulnya Pelayanan Umum atau Publik dikarenakan adanya Kepentingan, dan kepentingan tersebut bermacam- macam bentuknya sehingga Pelayanan Publik yang dilakukan juga ada beberapa macam. Berdasarkan Keputusan MENPAN No. 63/KEP/M. PAN/7/2003 kegiatan Pelayanan Umum atau Publik, antara lain:

(25)

1). Pelayanan Administratif

Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk Dokumen Resmi yang dibutuhkan oleh Publik, misalnya Status Kewarganegaraan, Sertifikat Kompetensi, Kepemilikan atau penguasaan terhadap Suatu Barang dan sebagainya. Dokumen-dokumen ini antara lain Kartu Tanda Pendudukan (KTP), Akta Kelahiran, Akta Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan atau Penguasaan Tanah dan sebagainya;

2). Pelayanan Barang

Pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jenis Barang yang digunakan oleh Publik, misalnya Jaringan Telepon, Penyediaan Tenaga Listrik, Air Bersih dan sebagainya; dan

3). Pelayanan Jasa

Pelayanan yang menghasikan berbagai bentuk Jasa yang dibutuhkan oleh Publik, misalnya Pendidikan, Pemeliharaan Kesehatan, Penyelenggaraan Transportasi, Pos dan sebagainya;17

f. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Kegiatan Pelayanan Publik diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah. Instansi Pemerintah merupakan sebutan Kolektif meliputi Satuan

17 Keputusan MENPANNo.63/KEP/M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

(26)

Kerja atau Satuan Orang Kementerian, Departemen, Lembaga, Pemerintahan Non Departemen, Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara dan Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat maupun Daerah termasuk Badan Usaha Milik Daerah. Sebagai Penerima Pelayanan Publik adalah Orang, Masyarakat, Instansi Pemerintah dan Badan Hukum.

Kegiatan Pelayanan Publik atau disebut juga dengan Pelayanan Umum, yang biasanya menempel ditubuh Lembaga Pemerintahan dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan masyarakat, sebagai konsumen mereka. Salah satu yang dianggap sebagai biang keladinya adalah bentuk Orang Birokrasi, sehingga Birokrasi seperti dikemukakan oleh Ahmad Batinggi18

adalah: “Merupakan tipe dari orang yang dimaksudkan untuk

mencapai Tugas-tugas Administratif yang besar dengan cara Mengkoordinir secara Sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang.”

Konsep Birokrasi bukan merupakan Konsep yang buruk. Organisasi Birokrasi mempunyai Keteraturan dalam hal Pelaksanaan pekerjaan karena mempunyai Pembagian Kerja dan Struktur Jabatan yang jelas sehingga Komponen Birokrasi mempunyai Tanggungjawab dan Wewenang untuk melaksanakan Kewajibannya. Pelaksanaan pekerjaan dalam Orang Birokrasi diatur dalam Mekanisme dan Prosedur agar tidak mengalami penyimpangan dalam mencapai tujuan. Dalam Organisasi Birokrasi segala bentuk hubungan Bersifat Resmi dan Berjenjang berdasarkan

(27)

Struktur organisasi yang berlaku sehingga menuntut ditaatinya Prosedur yang berlaku.

Adapun yang menjadi Ciri Ideal Birokrasi menurut Max Weber seperti yang dikutip dan diterjemahkan oleh Ahmad Batinggi19 antara lain adalah:

1) Pembagian Kerja Yang Jelas; 2) Adanya Hierarki Jabatan;

3) Adanya Pengaturan Sistem Yang Konsisten; 4) Prinsip Formalistic Impersonality ;

5) Penempatan Berdasarkan Karier; dan 6) Prinsip Rasionalitas.

Dengan adanya Otonomi Daerah, diharapkan memberikan dampak nyata yang luas terhadap Peningkatan Pelayanan terhadap Masyarakat. Dengan demikian Pelimpahan Wewenang dari Pemerintah Pusat ke Daerah memungkinkan terjadinya Penyelenggaraan Pelayanan dengan Jalur Birokrasi yang lebih ringkas dan membuka peluang bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan Inovasi dalam Pemberian dan Peningkatan Kualitas Pelayanan.

Untuk menciptakan kegiatan Pelayanan Publik yang Berkualitas, maka Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara menerbitkan keputusan Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 mengenai Pola Penyelenggaraan Pelayanan Publik, yang antara lain :

 Fungsional

Pola Pelayanan Publik diberikan oleh Penyelenggara Pelayanan, sesuai dengan Tugas, Fungsi dan Kewenangannya;

19 Ibid.

(28)

 Terpusat

Pola Pelayanan Publik diberikan secara tunggal oleh Penyelenggara Pelayanan berdasarkan Pelimpahan Wewenang dari Penyelenggara Pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan;

 Terpadu , meliputi : - Terpadu Satu Atap

Pola Pelayanan Terpadu Satu Atap diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai Jenis Pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui beberapa pintu.Terhadap Jenis Pelayanan yang sudah dekat dengan masyarakat tidak perlu disatuatapkan;

- Terpadu Satu Pintu

Pola Pelayanan Terpadu Satu Pintu diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai Jenis Pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu; dan

- Gugus Tugas

PetugasPelayanan Secara Perorangan atau dalam bentuk Gugus Tugas ditempatkan pada Instansi Pemberi Pelayanan dan Lokasi Pemberian Pelayanan tertentu.

g. Manajemen Pelayanan Publik

Berkaitan dengan Upaya Peningkatan Efektivitas dan Efisiensi menurut Moenir, dalam Kegiatan Pelayanan Publik diperlukan

(29)

Manajemen yang mampu mengubah Rencana menjadi Kenyataan, apakah rencana itu berupa Rencana Produksi atau Rencana dalam Bentuk Sikap dan Perbuatan.20

Aktivitas Manajemen memang Subjek, karena Manajemen berhadapan dengan Unsur Organisasi yang terdiri dari Manusia, Dana, Peralatan, Bahan, Metode dan Pasar (bagi orang bisnis). Namun dalam hal Manajemen Pelayanan yang dihadapi oleh Manajemen yang utama antar lain adalah Manusia (pegawai) dengan segala tingkah lakunya.21

Manajemen Pelayanan Umum oleh Moenir didefinisikan “sebagai manajemen yang proses kegiatan diarahkan secara khusus

pada terselenggaranya pelayanan guna memenuhi kepentingan umum atau kepentingan perseorangan, melalui cara-cara yang tepat dan memuaskan pihak yang dilayani.”22

Selain dapat berjalan dengan baik, Manajemen Pelayanan Umum/Publik harus dapat mencapai Sasaran atau Tujuan yang telah ditetapkan. Sasaran Manajemen Pelayanan Umum Sederhana saja yaitu Kepuasan. Meskipun Sasaran itu sederhana tapi untuk mencapainya diperlukan Kesungguhan dan Syarat-syarat yang seringkali tidak mudah dilakukan. Hal ini berkaitan dengan Masalah Kepuasan yang tidak dapat diukur secara pasti tetapi Relatif. Mengenai Sasaran dari kegiatan Pelayanan Umum, Moenir23

mengemukakan Sasaran Utama Pelayanan Umum, yaitu: 1). Layanan

20 Moenir, 1995, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara, halaman 164

21 Ibid, halaman 164 22 Ibid, halaman. 204 23 Ibid, halaman 165

(30)

Agar layanan dapat memuaskan orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka petugas harus dapat memenuhi empat (4) syarat pokok yakni :

a) Tingkah laku yang sopan;

b) Cara menyampaikan sesuatu berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan;

c) Waktu penyampaian yang tepat; dan d) Keramah tamahan.

2). Produk

Produk dalam Hubungan dengan Sasaran Pelayanan Umum yaitu Kepuasan dapat berbentuk:

a) Barang

Barang sesuatu yang dapat diperoleh melalui layanan pihak lain, misalnya Barang Elektronik dan Kendaraan;

b) Jasa

Produk Jasa yang dimaksud adalah suatu hasil yang tidak harus dalam Bentuk Fisik tetapi dapat Dinikmati oleh Pancaindera dan atau Perasaan (gerak, suatu, keindahan, kenyamanan, rupa) disamping memang ada yang bentuk fisiknya dituju; dan

3). Surat-Surat berharga

Kepuasan berikut ini menyangkut Keabsahan atas Surat-surat yang diterima oleh yang bersangkutan. Keabsahan Surat sangat ditentukan oleh Proses Pembuatannya Berdasarkan Prosedur yang berlaku dalam Tata Laksana Surat pada Instansi yang

(31)

bersangkutan. Ditinjau dari Segi Aktivitasnya dalam kaitan dengan Fungsi Pelayanan, Aktivitas Manajemen yang menonjol diantara Aktivitas-aktivitas yang dilakukan menurut Moenir24

antara lain ialah :

a) Aktivitas menetapkan sasaran dalam rangka pencapaian tujuan

Aktivitas yang menonjol dalam Manajemen Pelayanan Umum adalah menetapkan Sasaran untuk mencapai Tujuan Organisasi serta menetap-kan cara yang tepat serta Melaksanakan Pekerjaan dan Menyelesaikan Masalah;

b) Menetapkan cara yang tepat

Aktivitasnya Manajemen yang kedua (2)adalah menetapkan cara bagaimana yang tepat untuk Mencapai Tujuan Organisasi. Dalam hal ini termasuk menetapkan Teknik Pencapaian, Prosedur dan Metode. Khusus dalam Tugas-tugas Pelayanan Soal Prosedur dan Metode harus Benar-benar menjadi Perhatian Manajemen, karena hal ini akan Menentukan Kualitas dan kecepatan dalam Pelayanan, baik Pelayanan Manual maupun Pelayanan dengan Menggunakan Peralatan;

c) Melaksanakan Pekerjaan

Dalam Pelaksanaan Kegiatan ini Penting yang harus diperhatikan ialah bahwa Manajemen harus Senantiasa siap Memecahkan setiap Masalah yang Timbul dan sekaligus Memutuskan Keputusan yang diambil Menajemen hendaknya Benar-benar Memecahkan Persoalan dan dapat dilaksanakan,

(32)

serta memenuhi maksud yang Terkandung dalam Inti Masalah;

d) Mengendalikan Kegiatan atau Proses Pelayanan

Pengendalian agak Berbeda dengan Pengawasan, meskipun Keduanya masuk dalam Jaringan Kegiatan Manajemen. Perbedaan itu terletak pada unsur tanggungjawab. Pada pengendalian, unsur ini jelas kelihatan sehingga pengendalian menjadi dinamis, disamping Unsur-unsur Tujuan, Rencana Kegiatan dan Standar. Dalam Pengendalian memang termasuk kegiatan pemantauan sebagai salah satu fungsi manajemen, tetapi tidak membawa misi tanggungjawab sebagaimana kegiatan pengendalian. Pengawasan adalah Suatu Proses Kegiatan yang berisi Pengukuran, Perbandingan dan Perbaikan serta Berorientasi pada Masa Datang. Aktivitas Pengendalian Pelaksanaan Tugas Pelayanan Umum harus selalu dilakukan Sejak Permulaan sampai Berakhirnya Tugas itu; dan

e) Mengevaluasi Pelaksanaan Tugas atau Pekerjaan.

Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan dapat dilakukan melalui Sistem Lapangan dan Pengamatan dilapangan. Cara lain yang dapat ditempuh untuk Mengevaluasi Pelaksanaan Tugas Pelayanan Umum, antara lain: Menyediakan Kotak Saran atau Pengaduan untuk menampung segala jenis keluhan atau saran dari Masyarakat mengenai Pelaksanaan Pelayanan. h. Kualitas Pelayanan

(33)

Pemberian Pelayanan yang baik merupakan Salah Satu Upaya Perusahaan untuk menciptakan Kepuasan bagi Konsumennya. Jika Konsumen merasa telah mendapatkan Pelayanan yang baik berarti Perusahaan mampu memberikan Pelayanan yang baik pula. Demikian pula sebaliknya, Pelayanan tidak dapat diuraikan secara Objektif seperti sebuah Produk, melainkan Merupakan Interaksi Sosial dengan Subjektifitas, lebih tergantung pada Nilai, Perasaan dan Perilaku.

Fandy Tjiptono membuat Definisi mengenai Kualitas sebagai berikut : “Kualitas merupakan suatu Kondisi dinamis

yang berhubungan denganProduk, Jasa, Manusia, Proses, dan Lingkungan yang memenuhi atau melebihi Harapan”. Definisi

Kualitas di atas mengandung Makna bahwa Elemen-elemen Kualitas, yaitu :

 Kualitas merupakan Kondisi yang Dinamis;

 Kualitas berhubungan dengan Produk Jasa, Manusia, Proses dan Lingkungan; dan

 Kualitas meliputi Usaha Memenuhi atau Melebihi Harapan Pelanggan25;

Menurut Wyckcof dan Lovelock dalam bukunya yang dikutip dan diterjemahkan oleh Fandy Tjiptono ada dua (2) Faktor Utama yang Mempengaruhi Kualitas Pelayanan yaitu

respected service dan perceived service. Apabila Jasa yang

diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan yang diharapkan, maka Kualitas Jasa dipersepsikan sebagai Kualitas Ideal. Sebaliknya jika Jasa yang diterima Lebih Rendah dari pada

(34)

yang diharapkan, maka Kualitas Jasa dipersepsikan Buruk. Baik tidaknya Kualitas Jasa tergantung pada kemampuan Penyedia Jasa dalam memenuhi harapan Pelanggannya secara Konsisten.26

Masyarakat akan merasa puas apabila mereka mendapatkan suatu Pelayanan yang berkualitas. Moenir mengemukakan pendapat mengenai Konsep Pelayanan yang Efektif sebagai suatu Pelayanan yang Berkualitas. menurut Moenir adalah “Layanan yang cepat, menyenangkan, tidak

mengandung kesalahan, mengikuti proses dan menyenangkan, tidak mengandung kesalahan, mengikuti Proses dan Prosedur yang telah ditetapkan lebih dahulu.”27

Jadi Pelayanan yang Berkualitas itu tidak hanya ditentukan oleh Pihak yang Melayani, tetapi juga Pihak yang Ingin Dipuaskan. Dan yang menjadi Prinsip-prinsip Layanan yang Berkualitas menurut Moenir antara lain28 :

 Proses dan Prosedur harus ditetapkan lebih awal;

 Proses dan Prosedur itu harus diketahui oleh semua pihak yang terlibat;

 Disiplin bagi Pelaksanaan untuk mentaati Proses dan Prosedur;

 Perlu Peninjauan Proses dan Prosedur oleh Pimpinan, sewaktu-waktu dapat dirubah apabila perlu;

 Perlu menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembang Budaya Organisasi untuk menciptakan Kualitas Layanan;

26 Ibid.

27Moenir, 1995, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia, Jakarta: PT Bumi Aksara. Hal 204 28 Ibid, Hal. 205

(35)

 Kualitas berarti Memenuhi Keinginan, Kebutuhan, Selera Konsumen; dan

 Setiap orang dalam Organisasi merupakan Partner dengan orang lainnya.

Sekarang ini kegiatan Pemasaran tidak terlepas dari Kualitas Pelayanan terhadap Konsumen. Kualitas Pelayanan yang Baik dan Tepat akan Mempengaruhi Konsumen untuk membuat Keputusan dalam Pembelian Suatu Produk, sehingga dibutuhkan Strategi Kualitas Pelayanan yang baik.

Dalam Islam dalam hal Pelayanan disebutkan dalam Q.S. An-Nisa’ (4): 58, sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu Menyampaikan Amanat

kepada yang Berhak Menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila Menetapkan Hukum diantara Manusia supaya Menetapkan dengan Adil. Sesungguhnya Allah Memberi Pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.29”

F. Kerangka Teoritik

1. Teori Kepastian Hukum

Asas Kepastian Hukum sudah umum bilamana kepastian sudah menjadi bagian dari suatu Hukum, hal ini lebih diutamakan untuk Norma Hukum

29Quranul Karim, 2012, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta

(36)

Tertulis. Hukum tanpa nilai Kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian Hukum menghendaki adanya upaya Pengaturan Hukum dalam Perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga Aturan-aturan itu memiliki Aspek Yuridis yang dapat menjamin adanya Kepastian bahwa Hukum berfungsi sebagai suatu Peraturan yang harus ditaati.

Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh Hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka Hukum akan gagal untuk disebut sebagai Hukum, atau dengan kata lain harus terdapat Kepastian Hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :

a. Suatu sistem hukum yang terdiri dari Peraturan-peraturan, tidak berdasarkan Putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;

b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;

c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;

e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;

f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;

g. Tidak boleh sering diubah-ubah; dan

h. Harus ada kesesuaian antara Peraturan dan Pelaksanaan sehari-hari. Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara Peraturan dan Pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki

(37)

ranah aksi, perilaku dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana Hukum Positif dijalankan.30

Sedangkan Jan Michiel Otto Mendefenisikan Kepastian Hukum sebagai kemungkinan bahwa dalam Situasi tertentu :

a. Tersedia Aturan-Aturan yang jelas (jernih), Konsisten dan Mudah diperoleh, diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) Negara; b. Instansi-instansi Penguasa (Pemerintah) menerapkan Aturan-aturan

Hukum tersebut secara Konsisten dan juga Tunduk dan Taat kepadanya;

c. Warga secara Prinsipil Menyesuaikan Perilaku mereka terhadap Aturan-aturan tersebut;

d. Hakim-hakim (Peradilan) yang Mandiri dan tidak berpikir Menerapkan Aturan-aturan Hukum tersebut secara Konsisten sewaktu mereka Menyelesaikan Sengketa Hukum; dan

e. Keputusan Peradilan secara Konkrit dilaksanakan. 31

Menurut Sudikno Mertukusumo, Kepastian Hukum merupakan sebuah

Jaminan bahwa Hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian Hukum menghendaki adanya Upaya Pengaturan Hukum dalam Perundang-undangan yang dibuat oleh Pihak yang Berwenang dan Berwibawa, sehingga Aturan-aturan itu memiliki Aspek Yuridis yang dapat Menjamin adanya Kepastian bahwa Hukum berfungsi sebagai suatu Peraturan yang harus ditaati.32

30 Lon Fuller dalam tesis hukum.com/pengertian-asas-kepastian-hukum-menurut-para- ahli

31Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Cetakan Kelima, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2010, hlm. 1

32 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Universitas Indonesi a Press, Jakarta, 1986, halaman 13

(38)

Aristoteles33 dalam bukunya “Rhetorica” mengatakan bahwa

Tujuan dari Hukum adalah menghendaki Keadilan semata-mata dan Isi dari pada Hukum ditentukan oleh Kesadaran Etis mengenai apa yang di katakana Adil dan apa yang dikatan Tidak Adil. Hukum Memiliki Fungsi tidak hanya Menegakkan Keadilan tetapi juga Menegakkan Kepastian dan Kemanfaatan. Tujuan Hukum adalah semata-mata untuk menciptakan Kepastian Hukum, karena dengan adanya Kepastian Hukum, Fungsi Hukum dapat berjalan dan Mampu Mempertahankan Ketertiban. Kepastian Hukum adalah Syarat Mutlak setiap Aturan, Persoalan Keadilan dan Kemanfaatan Hukum Bukan Alasan Pokok dari Tujuan Hukum tetapi yang Penting adalah Kepastian Hukum. Menurut Teori ini Hukum mempunyai Tugas Suci dan Luhur ialah Keadilan dengan Memberikan kepada ttap-tiap orang apa yang Berhak ia terima serta memerlukan Peraturan Tersendiri bagi tiap-tiap Kasus.

Untuk terlaksananya hal tersebut, maka Menurut Teori ini Hukum harus membuat apa yang dinamakan “Algemeene Regels” (peraturan/ketentuan umum). Peraturan atau Ketentuan Umum ini diperlukan masyarakat demi Kepastian Hukum. Kepastian Hukum sangat diperlukan untuk menjamin Ketentraman dan Ketertiban dalam Masyarakat karena Kepastian Hukum (Peraturan/Ketentuan Umum) mempunyai Sifat sebagai berikut:

a. Adanya Paksaan dari Luar (sanksi) dari Penguasa yang bertugas Mempertahankan dan Membina Tata Tertib Masyarakat dengan Peran Alat-alatnya; dan

b. Sifat Undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.

33Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/ Aristoteles- nicomachaen.html.

(39)

Kepastian Hukum ditujukan pada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu Baik atau Buruk, yang diperhatikan adalah bagaimana Perbuatan Lahiriahnya. Kepastian Hukum tidak memberi Sanksi kepada Seseorang yang mempunyai Sikap Batin yang Buruk, akan tetapi yang diberi Sanksi adalah Perwujudan dari Sikap Batin yang Buruk tersebut atau menjadikannya Perbuatan yang Nyata atau Konkrit. Namun demikian dalam Prakteknya apabila Kepastian Hukum dikaitkan dengan Keadilan, maka akan seringkali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan suatu sisi tidak jarang Kepastian Hukum mengabaikan Prinsip-prinsip Keadilan dan sebaliknya tidak jarang pula Keadilan mengabaikan Prinsip-prinsip Kepastian Hukum.

Kepastian Hukum sebagaimana Keadilan dan Kemanfaatan Hukum adalah sebuah Doktrin. Doktrin Kepastian Hukum Mengajarkan kepada setiap Pelaksana dan Penegak Hukum untuk (demi terkendalikannya Kepatuhan Warga agar ikut menjaga Ketertiban dalam setiap Aspek Kehidupan) serta mendayagunakan Hukum yang sama untuk Kasus yang Sama. Inilah Doktrin Kaum Positivis, yang dikenali pula sebagai Doktrin the supremestate of National Law yang mengajarkan dan meyakini adanya Status Hukum yang Mengatasi Kekuasaan dan Otoritas lain, misalnya Otoritas Politik. Inilah Doktrin yang berkonsekuensi pada Ajaran lebih lanjut agar Setiap Ahli Hukum, khususnya yang tengah bertugas sebagai Hakim, tidak menggunakan Rujukan-rujukan Normatif lain selain yang terbilang Norma Hukum guna Menghukum Suatu Perkara, menurut Ajaran ini demi Kepastian dan Jaminan akan Kepatuhan, hanya Norma Hukum yang telah diundangkan yang disebut Hukum Nasional yang Positif itu sajalah yang boleh digunakan Secara

(40)

Murni dan Konsekuen untuk menghukum sesuatu demi terwujudnya Peradilan yang Independen dengan Hakim Profesional yang Tidak Memihak.

Norma Hukum jangan dicampuri dengan berbagai pertimbangan yang Merujuk ke Sumber-sumber Normatif lain, seperti misalnya Norma Moral, Rasa Keadilan, Ideologi Politik, Keyakinan Pribadi atau apapun lainnya. Di tengah Kehidupan Masyarakat, setiap manusia harus diakui berkedudukan sama di Hadapan Hukum. Namun dalam Kenyataan, apa yang dicita-citakan bahwa setiap Warga Negara Berkedudukan Sama di hadapan Hukum dan Kekuasaan itu tidak selamanya bisa Direalisasikan. 2. Teori Keadilan

Istilah Keadilan (justitia) Berasal dari kata “Adil” yang berarti: Tidak Berat Sebelah, Tidak Memihak, berpihak kepada Yang Benar, Selayaknya, Tidak Sewenang-wenang.34 Dari beberapa Definisi dapat dipahami bahwa Pengertian Keadilan adalah semua hal yang berkenaan dengan Sikap dan Tindakan dalam Hubungan Antar Manusia, Keadilan berisi sebuah Tuntutan agar orang Memperlakukan Sesamanya Sesuai dengan Hak dan Kewajibannya, Perlakuan tersebut tidak Pandang bulu atau Pilih kasih melainkan bahwa semua orang Diperlakukan Sama sesuai dengan Hak dan Kewajibannya.

Penulis akan memaparkan Keadilan menurut Pandangan beberapa Tokoh Dunia (Aristoteles dan Jhon Rawls) dan Keadilan menurut Pandangan Islam (Al Qur’an), yaitu:

a. Keadilan menurut Aristoteles

34Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, halaman 517

(41)

Menurut Aristoteles, Keadilan sering diartikan sebagai suatu Sikap

dan Karakter. Sikap dan Karakter yang Membuat orang Melakukan Perbuatan dan berharap atas Keadilan adalah Keadilan, sedangkan Sikap dan Karakter yang Membuat orang Bertindak dan Berharap Ketidakadilan adalah Ketidakadilan.

Untuk mengetahui apa itu Keadilan dan Ketidakadilan, diperlukan Pengetahuan yang tentang salah satu sisinya untuk menentukan sisi yang lain. Jika satu sisi Ambigo, maka sisi yang lain juga Ambigo. Secara umum dikatakan bahwa orang yang Tidak Adil adalah orang yang Tidak Patuh terhadap Hukum (unlawful, lawless) dan orang yang Tidak Fair (unfair), maka orang yang Adil adalah orang yang Patuh terhadap Hukum (law-abiding) dan Fair. Karena Tindakan Memenuhi/mematuhi Hukum adalah Adil, maka semua Tindakan Pembuatan Hukum oleh Legislatif sesuai dengan Aturan Yang Ada adalah Adil. Tujuan Pembuatan Hukum adalah untuk mencapai Kemajuan Kebahagiaan Masyarakat. Maka, semua Tindakan yang Cenderung untuk Memproduksi dan Mempertahankan Kebahagiaan Masyarakat adalah Adil.35

Dengan demikian Keadilan bisa disamakan dengan Nilai-nilai Dasar Sosial. Keadilan yang Lengkap bukan hanya mencapai Kebahagiaan untuk Diri Sendiri, tetapi Juga Kebahagian Orang Lain. Keadilan yang Dimaknai sebagai Tindakan Pemenuhan Kebahagiaan Diri Sendiri dan Orang Lain, adalah Keadilan sebagai sebuah Nilai-nilai. Keadilan dan Tata Nilai dalam hal ini adalah

35Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristoteles-nicomachaen. html.

(42)

Sama tetapi Memiliki Esensi yang Berbeda. Sebagai hubungan seseorang dengan orang lain adalah Keadilan, namun sebagai suatu sikap khusus tanpa Kualifikasi adalah Nilai. Ketidakadilan dalam Hubungan Sosial Berhubungan Erat dengan Keserakahan sebagai Ciri Utama Tindakan yang Tidak Fair. Keadilan sebagai Bagian dari Nilai Sosial Memiliki Makna yang Sangat Luas, bahkan pada Suatu Titik bisa Bertentangan dengan Hukum sebagai Salah Satu Tata Nilai Sosial. Suatu Kejahatan yang dilakukan adalah Suatu Kesalahan. Namun apabila hal tersebut Bukan merupakan

Keserakahan tidak bisa disebut Menimbulkan Ketidakadilan.

Sebaliknya suatu Tindakan yang Bukan merupakan Kejahatan dapat

Menimbulkan Ketidak Adilan.

Keadilan ini adalah Persamaan diantara Anggota Masyarakat dalam suatu Tindakan bersama-sama. Persamaan adalah Suatu Titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang kurang”(intermediate). Jadi Keadilan adalah Titik Tengah atau Suatu Persamaan Relatif (arithmetical justice). Dasar Persamaan antara Anggota Masyarakat sangat tergantung pada Sistem yang Hidup dalam Masyarakat tersebut. Dalam Sistem Demokrasi, Landasan Persamaan untuk Memperoleh Titik Tengah adalah Kebebasan Manusia yang Sederajat sejak Kelahirannya. Dalam Sistem Oligarki Dasar Persamaannya adalah Tingkat Kesejahteraan atau Kehormatan saat Kelahiran. Sedangkan dalam Sistem Aristokrasi Dasar Persamaannya adalah Keistimewaan (excellent). Dasar yang Berbeda tersebut menjadikan Keadilan lebih pada Makna Persamaan sebagai Proporsi. Ini adalah Satu Spesies Khusus dari Keadilan, yaitu Titik Tengah (intermediate) dan Proporsi.

(43)

b. Keadilan menurut Jhon Rawls

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada Awal Abad 21 lebih Menekankan pada Keadilan Sosial.Hal ini terkait

dengan munculnya Pertentangan antara Kepentingan Individu dan Kepentingan Negara pada saat itu. Rawls melihat Kepentingan Utama Keadilan adalah Jaminan Stabilitas Hidup Manusia dan Keseimbangan antara Kehidupan Pribadi dan Kehidupan Bersama.

Rawls mempercayai bahwa Struktur Masyarakat Ideal yang Adil

ada-lah Struktur Dasar Masyarakat yang Asli dimana Hak-hak Dasar, Kebebasan, Kekuasaan, Kewibawaan, Pendapatan, dan Kesejahteraan terpenuhi.

Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan Ketidakadilan

adalah Situasi Sosial sehingga perlu diperiksa kembali mana Prinsip-prinsip Keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi Masyarakat yang baik. Koreksi atas Ketidakadilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for redress) Masyarakat pada posisi asli (people on original position). Dalam Posisi Dasar inilah kemudian dibuat Persetujuan Asli antar (original agreement) Anggota Masyarakat secara Sederajat36.

Asumsi pertama (1) yang digunakan adalah Hasrat Alami Manusia untuk Mencapai Kepentingannya terlebih Dahulu Baru kemudian Kepentingan Umum. Hasrat ini adalah untuk Mencapai Kebahagiaan yang juga Merupakan Ukuran Pencapaian Keadilan. Maka harus ada Kebebasan untuk Memenuhi Kepentingan ini. Namun Realitas Masyarakat Menunjukan bahwa Kebebasan tidak

36 Damanhuri Fattah, Teori Keadilan Menurut John Rawls, Jurnal TAPIs, Vol.9 No.2 Juli-Desember 2013,

(44)

dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam Masyarakat. Perbedaan ini menjadi Dasar untuk Memberikan Keuntungan bagi mereka yang Lemah. Apabila sudah ada Persamaan Derajat, maka semua harus memperoleh Kesempatan yang Sama untuk memenuhi Kepentingannya. Walaupun nantinya Memunculkan Perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.37

c. Keadilan dalam Islam

Munculnya Agama Islam di Abad Pertengahan Membawa Pengaruh dan Perubahan Tatanan Nilai Kemasyarakatan yang dikenalkan oleh Ajaran Kristen. Islam Tumbuh di Daerah gersang yang tidak memiliki Sistem dan Tatanan Nilai Kemasyarakatan seperti pada Imperium Romawi Tempat tumbuhnya Ajaran Kristiani, sehingga Corak dan Watak Ajaran Islam Berbeda dengan Ajaran Kristiani. Keadaan seperti ini justru merupakan keadaan yang paling tepat, sebab dengan demikian Islam dapat memiliki Kekuasaan untuk Menumbuhkan Masyarakat yang Menginginkannya Tanpa Sifat Kecongkakan, lalu Meletakkan Aturan dan Sistem baginya yang selanjutnya Membimbing Hati dan Jiwa mereka seperti halnya dengan Sikap dan Amaliah mereka, serta Menyatakan Urusan Duniawi dan Agama dalam Cita-cita dan Syariatnya. Semua dibangun atas Asas Kesatuan antara Alam Dunia dan Alam Akhirat

dalam Sistem Tunggal yang Hidup dalam Hati setiap Individu. Ajaran Islam menurut Quthb38 mengatur bentuk Hubungan

Tuhan dengan Makhluk-Nya, Hubungan antara Sesama Makhluk,

37 Ibid. halaman 34

(45)

dengan Alam Semesta dan Kehidupan, Hubungan Manusia dengan Dirinya, antara Individu dengan Masyarakat, antara Individu dengan Negara, antara Seluruh Umat Manusia, antara Generasi yang Satu (1) dengan Generasi yang Lain, semuanya dikembalikan kepada Konsep Menyeluruh yang Terpadu, dan inilah yang disebut sebagai Filsafat Islam.

Islam memerintahkan kepada setiap Manusia untuk berbuat Adil atau Menegakkan Keadilan pada setiap Tindakan dan Perbuatan yang dilakukan, sebagaimana Firman Allah SWT: Artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apa bila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat” (Qs. An-Nisa:58)39

Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 135 juga dijumpai Perintah kepada Orang-orang yang Beriman untuk menjadi Penegak Keadilan, yang yaitu: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah

kamu orang yang benar-benar Penegak Keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu, bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia, kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemasalahatanya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dan kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau dengan menjadi saksi, maka sesungguhnya

39 Al-Quran Surat An-Nisa ayat 58, Yayasan Penyelenggara Penerjemah dan Penafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI, Jakarta, 2012, halaman 88.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam rangka memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Jenis dan

o Clip, digunakan untuk ‘memotong’ dan ’menggunting’ suatu layer (layer yang bertindak sebagai objek) berdasarkan (batas- batas yang di miliki oleh) layer yang lain

Di dalam pemberian hak milik atas tanah transmigrasi harus terlebih dahulu tanah tersebut sudah terdaftar dengan Hak Pengelolaan sebagaimana diuraikan dalam

Perubahan Sosial, 2003), hal.. Upacara kematian adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sejumlah keluarga untuk memberikan peringatan terakhir kepada orang yang dikasihinya

Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting (INP) menunjukkan bahwa spesies sagu menguasai sebagian besar areal lahan habitat dalam

Sebanyak 5 spesies burung rangkong ditemukan dilokasi tersebut yaitu rangkong badak (Buceros rhinoceros), rangkong gading (Rhinoplax vigil), julang mas (Rhyticeros

Hasil Pengamatan dan Beberapa Prediksi Pergerakan Lateral Tanah di Bagian Permukaan akibat Pemancangan Tiang Diameter 600 mm pada Proyek Kedua .... Hasil Pengamatan dan

Jika AC bekerja pada kondisi kelembaban nisbi udara yang tinggi, uap putih dapat muncul sebagai akibat dari kelembaban yang tinggi dan perbedaan suhu antara saluran masuk dan