• Tidak ada hasil yang ditemukan

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

WEWENANG DIREKSI DAN AKIBAT HUKUMNYA BAGI PERSEROAN TERBATAS

(Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Seri B, Vol. 6 No. 1, September 2001, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang, h. 10-16)

Abdul Rokhim1 Abstrak

Penelitian ini mengkaji mengenai wewenang direksi dan akibat hukumnya bagi Perseroan Terbatas (PT) menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan secara konseptual mengenai tindakan-tindakan direksi yang secara hukum dikualifikasi sebagai tindakan perseroan dan tindakan-tindakan direksi yang hanya dipandang sebagai tindakan pribadi. Di samping itu, penelitian ini juga mengkaji tentang akibat hukum atau tanggung jawab yang timbul berkaitan dengan tindakan-tindakan direksi tersebut. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, dengan menggunakan bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan (yang formatnya sudah dibakukan oleh Menteri Kehakiman), termasuk pula ajaran-ajaran dari para ahli hukum (doktrin) dan putusan-putusan hakim (yurisprudensi) yang isinya terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Analisis terhadap norma-norma hukum tersebut dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode interpretasi hukum. Hasil penelitian ini secara garis besar dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai eksistensi dan tanggung jawab sendiri, terlepas dari eksistensi dan tanggung jawab organ-organnya. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa pada dasarnya segala tindakan yang dilakukan oleh organ perseroan, khususnya yang dilakukan oleh direksi, secara hukum dikualifikasi sebagai tidakan perseroan, bukan tindakan pribadi direksi. Dengan demikian, segala akibat hukum yang timbul berkenaan dengan tindakan-tindakan tersebut manjadi tanggung jawab PT yang bersangkutan, bukan tanggung jawab pribadi direksi yang melakukan tindakan hukum tersebut, sepanjang hal itu dilakukan untuk dan atas nama PT.

Kata Kunci: Tindakan Direksi; Akibat Hukum

Pendahuluan

Perseroan Terbatas (PT) sebagai salah satu badan hukum, menurut Pasal 1 angka 2 UUPT, memiliki organ perseroan yang dinamakan direksi, komisaris, dan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Direksi adalah organ perseroan yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar (Pasal 1 angka 4 UUPT). Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan atau khusus serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan (Pasal 1 angka 5

(2)

UUPT). Sedang, RUPS adalah organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada direksi atau komisaris (Pasal 1 angka 3 UUPT).

Berdasarkan ketentuan di atas, UUPT menganut prinsip distribution of power (pembagian kekuasaan), artinya kewenangan organ PT itu didistribusikan kepada direksi, komisaris, dan RUPS. Dengan demikian, apabila suatu kewenangan telah dialokasikan kepada direksi atau komisaris, maka RUPS menjadi tidak berwenang terhadap hal itu. Namun demikian, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi menurut visi UUPT, kekuasaan RUPS juga merupakan kekuasaan

residu (sisa), dalam arti apabila ada kekuasaan yang tidak termasuk ke dalam kewenangan direksi atau komisaris, dan tidak tegas pula disebut kewenangan RUPS, maka kekuasaan tersebut menjadi kewenangan RUPS. Dengan demikian, terhadap kekuasaan direksi dan komisaris, UUPT menganut doktrin limitative power (pembatasan kekuasaan), yang berarti pada prinsipnya mereka hanya mempunyai kewenangan sejauh yang diberikan oleh undang-undang dan atau anggaran dasar, sedang sisanya merupakan kewenangan RUPS.

Tulisan ini memfokuskan kajiannya pada kewenangan direksi dalam melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam arti luas, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 82 UUPT, yang meliputi tugas pengurusan (manajemen) perseroan dan tugas perwakilan, serta akibat hukumnya bagi perseroan yang bersangkutan.

Pengertian pengurusan (manajemen) perseroan pada prinsipnya berarti: (1) mengerjakan segala sesuatu yang harus dikerjakan demi tercapai-nya maksud dan tujuan perseroan; (2) mengerjakan segala sesuatu yang ditentukan dalam akta pendirian atau anggaran dasar perseroan; (3) mengerjakan segala sesuatu yang diha-ruskan oleh hukum; dan (4) melaksanakan kebijaksanaan perseroan yang ditentukan oleh RUPS. Sedangkan, menjalankan perwakilan berarti “mewakili perseroan dalam segala tindakan”, baik di dalam maupun di luar pengadilan.

Pasal 82 UUPT menegaskan bahwa direksi bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Tujuan perseroan ini tentu seperti yang tercantum dalam anggaran dasarnya. Persoalannya adalah UUPT tidak menyebutkan secara tegas apa akibat hukumnya jika ketentuan dalam anggaran dasar disimpangi oleh direksi atau direksi melakukan tindakan di luar batas kewenangannya (ultra vires)? Dalam hubungan ini, apakah tidakan direksi tersebut dapat dipandang merupakan tindakan perseroan, sehingga akibatnya menjadi tanggungjawab perseroan?

Pada prinsipnya, segala tindakan direksi yang dilakukan secara sah, dalam arti sesuai dengan kewenangannya, untuk dan atas nama perseroan, bukan untuk kepentingan pribadi, maka tindakan yang demikian itu merupakan tindakan perseroan. Oleh karena itu, segala konsekuensi yuridis atas tindakan perseroan itu, baik atau buruk, untung atau rugi, akan dipikul sendiri oleh perseroan. Dengan demikian, segala pertanggungjawaban yang timbul dari perbuatan tersebut hanya dapat dibebankan kepada badan hukum (PT) itu sendiri, terlepas dari (harta kekayaan) pribadi orang yang melakukan perbuatan itu. Hal ini sesuai dengan karakteristik PT yang kedudukannya mandiri dan pertanggung-jawabannya terbatas. Namun demikian, ada yang mengatakan bahwa tidak selalu tindakan direksi itu mengikat PT yang bersangkutan. Dalam arti, sungguhpun hal itu merupakan tindakan perseroan, dalam beberapa hal (kasus) masih terbuka kemungkinan bagi perseroan untuk melepaskan tanggungjawabnya, dalam arti yang harus bertang-gungjawab atas tindakan tersebut adalah pihak direksi secara pribadi, bukan perseroan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, pokok masalah yang akan diteliti dan dianalisis dalam tulisan ini adalah: apakah tindakan direksi selalu dipandang sebagai tindakan PT, sehingga menjadi tanggungjawab PT ?

(3)

Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif, yang meneliti dan mempelajari norma yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perseroan, khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakan direksi dan akibat hukumnya bagi perseroan. Di samping itu, meneliti pula tulisan-tulisan para ahli dalam kepustakaan, dengan tujuan untuk melengkapi, mendukung atau memperjelas analisis terhadap peraturan perundang-undangan dimaksud.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis, dengan pembahasan secara deskriptif-analitik. Dengan pendekatan yuridis akan ditelaah peraturan perundang-undangan, anggaran dasar PT, yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum berupa ajaran-ajaran hukum (doktrin) yang berkaitan dengan tindakan direksi dan akibat hukumnya bagi perseroan. Dalam penelitian hukum normative ini, analisis hukum juga dilakukan dengan menggunakan metode interpretasi hukum, baik secara autentik, gramatikal, sistematis, maupun penafsiran sejarah undang-undang atau hukum (wet en rechtshistorie interpretatie).

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Hasil penelitian dan pembahasan masalah dalam penelitian ini secara garis besar dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Pada prinsipnya, baik menurut ajaran hukum (doktrin) yang sudah secara umum diterima (hersende leer) maupun menurut undang-undang (i.ci. Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 7 ayat (6) UUPT), PT merupakan suatu badan hukum yang mempunyai eksistensi dan tanggung jawab tersendiri, terlepas dari tanggung jawab pribadi organ-organnya (direksi, komisaris, dan RUPS). Kemandirian PT untuk bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ-organnya membawa konsekuensi bahwa pada dasarnya segala tindakan yang dilakukan oleh organ PT secara hukum dipandang sebagai tindakan perseroan itu sendiri. Dengan demikian, segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh direksi yang merupakan organ eksekutif perseroan secara hukum dipandang sebagai perbuatan hukum perseroan, bukan tindakanpribadi direksi.

b. Konsekuensi lebih lanjut dari prinsip tersebut di atas adalah bahwa pada dasarnya segala akibat hukum yang timbul dari tindakan direksi, baik yang membawa keuntungan maupun kerugian pada perseroan, semuanya secara hukum menjadi tanggung jawab perseroan selaku badan hukum, bukan tanggung jawab pribadi direksi yang melakukan tindakan.

c. Meskipun demikian, dala hal-hal tertentu, baik menurut doktrin maupun undang-undang, ada beberapa perkecualian terhadap berlakunya prinsip tanggung jawab badan hukum tersebut di atas. Dalam arti, ada beberapa tindakan direksi yang tidak dapat dikualifikasi sebagai tindakan perseroan, melainkan hanya merupakan tindakan pribadi direksi. Oleh karena itu, segala akibat hukum yang timbul dari tindakan tersebut bukan semata-mata tanggung jawab perseroan selaku badan hukum, melainkan direksi juga harus (ikut serta) memikul tanggung jawab secara pribadi dari harta kekayaannya sendiri. Hal-hal tertentu dimana direksi (ikut serta) bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatan yang dilakukannya itu, menurut UUPT, antara lain:

(1) Anggaran dasar PT belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Kehakiman; (2) Anggaran dasar PT belum didaftarkan dan diumumkan;

(4)

(3) Direksi melanggar anggaran dasar perseroan; (4) Direksi bersalah atau lalai dalam mengurus PT;

(5) Direksi melanggar ketentuan dalam pembelian kembali saham oleh perseroan;

(6) Direksi melanggar ketentuan sehubungan dengan terjadinya penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan PT; serta

(7) Direksi terbukti melakukan kesalahan yang menyebabkan PT dinyatakan pailit oleh pengadilan.

d. Di samping itu, menurut doktrin direksi juga harus (ikut serta) bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan-perbuatan hukum yang secara hukum dikategorikan sebagai tindakan-tindakan:

(1) Penyalahgunaan badan hukum (misbruik van rechtspersoon; abuse of the corporation); (2) Melanggar prinsip fiduciary duties;

(3) Melanggar doktrin ultra vires.

Oleh karena UUPT tidak mengatur secara tegas mengenai pelanggaran-pelanggaran hukum ini, maka hal itu seringkali hanya dikualifikasi berdasarkan “extensive interpretation” sebagai perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Penafsiran luas semacam ini meskipun dapat dilakukan, tentu saja sangat tidak memuaskan, karena unsur-unsurnya terlalu umum dan serba meliputi (over generality).

Simpulan dan Saran Simpulan

Baik menurut UUPT maupun doktrin, PT adalah suatu badan hukum yang mempunyai

eksistensi dan tanggung jawab sendiri. Karena itu, segala tindakan yang dilakukan oleh organ PT (khususnya direksi) sepanjang hal itu dilakukan untuk dan atas nama perseroan sesuai dengan batas-batas kewenangannya, dalam arti tidak melanggar undang-undang dan anggaran dasar PT yang bersangkutan serta tidak bertentangan dengan batas-batas kewajaran yang semestinya dilakukan oleh seorang direksi menurut doktrin yang berlaku umum, maka tindakannya tersebut secara hukum dapat dikualifikasi sebagai tindakan perseroan. Akibatnya, perseroanlah yang bertanggung jawab, bukan pribadi direksi.

Saran

Bagi penegak hukum (khususnya hakim) yang kebetulan dihadapkan pada kasus-kasus tertentu yang menyangkut criteria apakah tindakan direksi itu termasuk tindakan perseroan atau tindakan pribadi, hendaklah tidak semata-mata melihat pada norma UUPT secara legal formal, ttpi juga harus memperhatikan anggaran dasar PT yang bersangkutan serta doktrin yang berlaku saat ini.

(5)

Daftar Bacaan

Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Perusahaan Indonesia, cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, cet. IV, Alumni, Bandung, 1986.

Anisitus Amanat, Pembahasan Undang-undang Perseroan Terbatas dan Penerapannya dalam Akta Notaris, cet. I, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1996.

Apeldoorn, L.J. van, Pengantar Ilmu Hukum, Terj. Oetarid Sadino, cet. XXII, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985.

Arifin Kadarisman, Direksi sebagai Pekerja pada Perseroan Terbatas, Makalah dalam Konferensi tentang “Direktur Perusahaan di Indonesia”, Centre for Management Technology, Jakarta, 20-21 Juni 1989.

Black, Henry Cambell, Black’s Law Dictionary, ed. VI, West Publishing Co., St. Minnesota, 1990.

Curzon, L.B., Dictionary of Law, ed. IV, Pitman Publishing, London, 1993.

Fungkong, Victor, Hukum Perusahaan dan Bentuk-bantuk Perusahaan, Makalah dalam Konferensi tentang “Direktur Perusahaan di Indonesia”, Centre for Management Technology, Jakarta, 20-21 Juni 1989.

Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya, cet. I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1996.

Morse, Geoffrey, Charlesworth’s Company Law, ed. XIII, ELBS ed., London, 1987.

Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek: Buku Ketiga, cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Philipus M. Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dokmatik (Normatif)”, Yuridika, No. 6 Th. IX, November-Desember 1994, FH-Unair, Surabaya, 1994.

Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf, cet. I, Eresco, Bandung, 1993.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

(6)

Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, cet. II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, cet. IV, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1995.

Sumantoro, Hukum Ekonomi, cet. I, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986. Varia Peradilan, No. 160 Th. XIV, Januari 1999.

(7)
(8)

Referensi

Dokumen terkait

(5) Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua

Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode survey yaitu suatu penelitian kuantitatif dengan menggunakan pertanyaan terstruktur/sistematis yang sama kepada banyak

Warna kulit buah lokal dan impor yang ada di Kabupaten Jember dari semua kecamatan didominasi warna hijau, dan paling sedikit adalah warna oranye/jingga. Warna daging

Menggunakan aplikasi INSYSPRO pengelolaan perusahaan klien dapat dilakukan hanya oleh beberapa orang SDM, karena sistem INSYSPRO ERP bersifat fleksibel dalam

Schipani mencatat bahwa ada lima prinsip utama Freire untuk pendidikan orang dewasa: (1) pendidikan tidak pernah netral, (2) isi harus mencerminkan pengalaman dan

Selain karena faktor klasifikasi ketunarunguan sang anak, tingkat penguasaan kosakata anak juga dipengaruhi oleh karakteristik dan lingkungan sosial yang akhirnya

problem besar jika kita dapat menempuh tahap 1, 2, dan 3, tetapi kita tahu itu akan menghabiskan banyak waktu karena waktu yang dikhususkan untuk olah raga dapat. beragam dari