• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT FISIK BUKAN BAWAAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT FISIK BUKAN BAWAAN Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
208
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT FISIK BUKAN

BAWAAN

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh :

Petra Merieska Dian Arsanti

NIM : 079114085

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

MOTTO

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan

kekekalan dalam hati mereka”

(Pengkhotbah 3:11)

“Sebab Aku ini mngetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku

mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan

bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang

penuh harapan”

(Yeremia 29:11)

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku

ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan

memengang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan”

(5)

v

PERSEMBAHAN

Semua hasil kerja keras ini saya persembahan untuk ;

Tuhan Yesus Kristus Papa dan mama yang tercinta Keluarga besar yang selalu mendukung

Sahabat-sahabat saya

(6)

vi

PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT FISIK BUKAN

BAWAAN

Petra Merieska Dian Arsanti

ABSTRAK

Mengalami suatu perubahan dalam hidup kemungkinan tidak mudah untuk dihadapi oleh seseorang. Perubahan yang dialami salah satunya ialah mengalami kecacatan fisik bukan bawaan. Kecacatan ini membuat seseorang harus menerima diri dengan kondisi fisik yang baru sementara hal ini bukan suatu proses yang mudah untuk dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) pengalaman penyandang cacat fisik bukan bawaan dalam mengalami kecacatan, 2) proses penerimaan diri penyandang cacat fisik bukan bawaan dan 3)faktor-faktor yang mendukung penerimaan diri pada penyandang cacat fisik bukan bawaan. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini ialah bagaimana penyandang cacat fisik bukan bawaan mencoba menerima diri. Subyek dalam penelitian ini adalah para penyandang cacat fisik bukan bawaan yang berada di pusat rehabilitasi YAKKUM yang berjumlah 3 orang. Metode pada penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan analisis fenomenologi deskriptif. Pengambilan data menggunakan proses wawancara semi-terstruktur. Validitas yang digunakan yaitu member-checking, paper-trail, dan refleksivitas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah pengalaman yang dimiliki oleh penyandang cacat fisik bukan bawaan menggambarkan betapa sulitnya mereka dalam menghadapi kondisi fisik yang baru. Para penyandang cacat fisik ini mengalami krisis identitas diri dan muncul perasaan-perasaan negatif yang menimbulkan keterpurukan. Kondisi fisik yang baru juga memunculkan keterbatasan sehingga kesulitan untuk melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan serta tergantung pada alat bantu maupun orang lain. Para penyandang cacat fisik ini terus berupaya untuk melatih diri agar bisa mandiri dengan mengikuti pelatihan di rehabilitasi ataupun terapi. Penerimaan diri membutuhkan waktu serta proses yang cukup lama hingga akhirnya penyandang cacat ini dapat menerima kondisi fisik yang baru serta bangkit menjalani hidup dengan mewujudkan cita-cita demi masa depan agar tidak perlu bergantung dengan orang lain. Keberhasilan dalam penerimaan diri ini dibantu dengan dukungan sosial yang diberikan olah orang terdekat yakni keluarga khususnya peran ibu.

(7)

vii

PENERIMAAN DIRI PADA PENYANDANG CACAT FISIK BUKAN

BAWAAN

Petra Merieska Dian Arsanti

ABSTRAK

Mengalami suatu perubahan dalam hidup kemungkinan tidak mudah untuk dihadapi oleh seseorang. Perubahan yang dialami salah satunya ialah mengalami kecacatan fisik bukan bawaan. Kecacatan ini membuat seseorang harus menerima diri dengan kondisi fisik yang baru sementara hal ini bukan suatu proses yang mudah untuk dijalani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui 1) pengalaman penyandang cacat fisik bukan bawaan dalam mengalami kecacatan, 2) proses penerimaan diri penyandang cacat fisik bukan bawaan dan 3)faktor-faktor yang mendukung penerimaan diri pada penyandang cacat fisik bukan bawaan. Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini ialah bagaimana penyandang cacat fisik bukan bawaan mencoba menerima diri. Subyek dalam penelitian ini adalah para penyandang cacat fisik bukan bawaan yang berada di pusat rehabilitasi YAKKUM yang berjumlah 3 orang. Metode pada penelitian ini ialah penelitian kualitatif dengan analisis fenomenologi deskriptif. Pengambilan data menggunakan proses wawancara semi-terstruktur. Validitas yang digunakan yaitu member-checking, paper-trail, dan refleksivitas. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini ialah pengalaman yang dimiliki oleh penyandang cacat fisik bukan bawaan menggambarkan betapa sulitnya mereka dalam menghadapi kondisi fisik yang baru. Para penyandang cacat fisik ini mengalami krisis identitas diri dan muncul perasaan-perasaan negatif yang menimbulkan keterpurukan. Kondisi fisik yang baru juga memunculkan keterbatasan sehingga kesulitan untuk melakukan kegiatan yang biasa mereka lakukan serta tergantung pada alat bantu maupun orang lain. Para penyandang cacat fisik ini terus berupaya untuk melatih diri agar bisa mandiri dengan mengikuti pelatihan di rehabilitasi ataupun terapi. Penerimaan diri membutuhkan waktu serta proses yang cukup lama hingga akhirnya penyandang cacat ini dapat menerima kondisi fisik yang baru serta bangkit menjalani hidup dengan mewujudkan cita-cita demi masa depan agar tidak perlu bergantung dengan orang lain. Keberhasilan dalam penerimaan diri ini dibantu dengan dukungan sosial yang diberikan olah orang terdekat yakni keluarga khususnya peran ibu.

(8)

viii

SELF ACCEPTANCE AT A PERSON WITH NOT EXTRINSIC PHYSICAL DISABILITY

Petra Merieska Dian Arsanti

ABSTRACT

Life changing is not easy for a person. One of life changing which can happen to a person is to be disable and it is not extrinsic causes. Disability pushes somenone to face reality about their new physical condition and this is not easy to face. This research aims to investigate 1) not extrinsic physical disability person experience living their live, 2) self acceptance of not extrinsic physical disability person and 3) self acceptance of not extrinsic physical disability person supporting factors. A questions that been asked in this research is how not extrinsic physical disability person try to accept their life with their new physical condotion. Subjects in this research were three person with not extrinsic physical disability who live in YAKKUM rehabilitation center. This research used Qualitative research method with descriptive (phenomenology) analyze. Collecting data process was using improperly fixed structure interview and validity process that been used are member-checking, paper trail and reflexivity. The result showed that life changing from normal person to disable person is not easy. Physical disable person was in identity crisis and feels negative emotions. There were any borders for disability person to live their daily life like a normal person. They joined therapy and exercise in rehabilitation center to help them through their new physical condition. Took a long time for not extrinsic physical disable person to accept their new condition,live their life in normal, set their own goal and not depende on others. Social support from family, especially mother helped disable person to accept their new condition.

(9)

ix

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan dan pernyataanNya selama ini sehingga penulisan skripsi yang berjudul “Penerimaan Diri Pada Penyandang Cacat Fisik Bukan Bawaan” ini dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.

Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas atas bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Ibu Titik Kristiyani, M.Psi selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak V. Didik Suryo Hartoko S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah membimbing, memberikan masukan, nasihat dan mengarahkan penulis untuk lebih baik lagi dalam mengerjakan penelitian ini.

(11)

xi

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang selama ini telah memberikan ilmu dan pengetahuannya selama penulis menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

6. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie, Mas Muji, Mas Doni). Terimakasih atas bantuannya sehingga proses studi dapat berjalan lancar.

7. Kedua orang tua saya Papa Drs. YG.. Rudijanto dan Mama Emerita Monawati atas dukungan, doa yang tak pernah usai dan nasihatnya.

8. Orang tua kedua saya M.G. Sri Suharmi terimakasih atas kasih sayang, perhatian, dukungan dan doanya.

9. Keluarga besar R. Maliki Djojowikarto dan Amien Soenyitno atas dukungan dan doanya.

10.Sahabat-sahabat saya di Fakultas Psikologi (Helen, Dena, Mega, Cangang, Putu, Wini, Ratih, Nadya, Sheela, Yani, Cicil, Nana, Nenis) dan semua teman angkatan 2007 maupun 2008 atas dukungan, kebersamaan, suka dan duka, bantuan, kasih sayang serta perhatian dari kalian semua.

11.Teman-teman dan para staff Pusat Rehabilitasi YAKKUM atas bantuan dan partisipasinya dalam penelitian ini.

12.Segenap pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas doa dan dukungannya selama ini.

Yogyakarta, 30 Agustus 2012

(12)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II LANDASAN TEORI ... 7

A. Penyandang Cacat Fisik ... 7

1. Definisi ... 7

(13)

xiii

B. Dukungan Sosial terhadap Penyandang Cacat Fisik ... 11

1. Definisi ... 11

2.Struktur dan Fungsi Dukungan Sosial ... 12

C.Penerimaan Diri ... 15

1.Definisi ... 15

2.Tahap-tahap Penerimaan Diri ... 19

D.Kerangka Penelitian ... 21

E.Pertanyaan Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis Penelitian ... 25

B. Strategi Penelitian ... 25

C. Fokus Penelitian ... 26

D. Subjek Penelitian ... 26

E. Metode Pengumpulan Data ... 27

F. Prosedur Analisis Data ... 30

G.. Kredibilitas Penelitian ... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 35

A. Pelaksanaan Penelitian ... 35

B. Latar Belakang Subjek ... 36

C. Hasil Penelitian ... 42

1. Subjek 1 ... 42

2. Subjek 2 ... 47

(14)

xiv

4. Struktur Dasar Keseluruhan ... 59

D. Pembahasan ... 61

1. Gambaran Diri di Masa Lalu ... 61

2. Perasaan Keterpurukan ... 62

3. Keterbatasan dalam Beraktifitas ... 62

4. Tahap-tahap Penerimaan ... 63

5. Religiusitas/Kedekatan dengan Tuhan ... 66

6. Harapan dan Cita-cita di Masa Depan ... 67

7. Peran Dukungan Sosial dalam Penerimaan Diri ... 69

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Keterbatasan Penelitian ... 73

C. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75

(15)

xv

DAFTAR SKEMA

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Mengalami suatu musibah atau kecelakaan dapat membawa perubahan dalam kehidupan seseorang. Salah satu perubahan akibat dari suatu kecelakaan yang dialami ialah menjadi cacat. Perubahan tersebut membuat seseorang harus melakukan hal-hal yang berbeda dari sebelumnya dan kemungkinan tidak mudah untuk dijalani. Mereka harus bergantung dengan alat bantu maupun orang lain.

Perubahan yang dialami tidak hanya secara fisik, tetapi juga berpengaruh secara emosional dalam diri seseorang yang cacat. Seseorang mengalami berbagai perasaan negatif yakni perasaan kaget, shock, marah, kecewa ataupun rasa malu yang mempengaruhi diri mereka dalam menerima kenyataan. Perasaan-perasaan ini membuat mereka merasa takut untuk berbuat sesuatu apabila mengalami kegagalan dan merasa tidak berguna dalam hidup (Widjopranoto dan Sumarno, 2004).

(17)

lingkungan karena merasa tidak percaya diri.

Keterbatasan membuat para penyandang cacat memiliki kecenderungan untuk tergantung kepada orang lain baik secara ekonomi maupun sosial. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widjopranoto dan Sumarno (2004) menunjukkan bahwa dari segi ekonomi sebanyak 56,25% penyandang cacat fisik dari 32 responden yang termasuk usia produktif masih tinggal bersama orang tua. penyandang cacat fisik lainnya sebanyak 15,62 % menumpang, yang mengontrak 3,13% sedangkan yang sudah memiliki rumah sendiri sebanyak 25%. Di samping itu, diketahui bahwa faktor kecacatan (76,96%) dianggap sebagai salah satu faktor yang menghambat bagi penyandang cacat fisik dalam usaha mencari pekerjaan. Kecacatan yang dialami membuat penyandang cacat fisik merasa pesimis sehingga tidak memunculkan adanya keinginan ataupun berusaha untuk mencari pekerjaan (Widjopranoto dan Sumarno, 2004).

Kecacatan yang dialami memunculkan batasan-batasan bagi para penyandang cacat fisik bukan bawaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Menurut penelitian Widjopranoto dan Sumarno (2004) ditemukan bahwa ada responden penelitian yang merasa malu terhadap kecacatannya. Rasa malu ini ikut mempengaruhi kemampuan penyandang cacat fisik dalam bersosialisasi dan cenderung menutup diri. Tampak bahwa mereka cenderung tidak ingin bermasyarakat ataupun bergaul dengan lingkungan sekitar.

(18)

menghindar. Sikap-sikap ini mengesankan bahwa masih ada keraguan, rasa kurang percaya diri atas potensi yang ada dan kurang dapat menerima kenyataan yang ada (Widjopranoto & Sumarno, 2004).

Pencapaian penerimaan diri merupakan proses sepanjang hayat yang memerlukan evaluasi berkesinambungan dan jujur mengenai kekuatan dan kelemahan diri sendiri, mengenai cita-cita dan harapan, keterlibatan dalam aktivitas yang menimbulkan kepuasan, kesenangan, dan kegembiraan, serta mengenai apa yang dijalani dalam kehidupan telah sesuai dengan nilai-nilai dasar kita. Proses pemeliharaan penerimaan diri dipenuhi oleh tantangan-tantangan yang menghabiskan waktu dan energi seseorang. Zulfa (2009) melakukan penelitian terhadap dua remaja penyandang tuna netra karena mengalami kecelakaan. Kedua remaja ini tidak hanya menolak kondisinya yang baru tetapi muncul kemarahan, depresi dan akhirnya dapat menerima diri. Penerimaan diri ini bersifat fluktuatif dan tidak stabil. Hal tersebut berarti

proses penerimaan diri dapat terjadi secara berulang ketika subyek kembali mengalami konflik yang tidak dapat diselesaikan disertai dengan munculnya pikiran negatif terhadap keadaan.

Penelitian terhadap penyandang cacat fisik bawaan menunjukkan hasil yang sebaliknya yaitu lebih mampu untuk menerima kecacatannya. Para

penyandang cacat fisik bawaan ini memiliki keinginan untuk hidup mandiri, mau berpartisipasi dengan masyarakat dan sudah mengenyam dunia kerja

(19)

Penyandang cacat fisik yang mampu menerima diri dengan baik kemungkinan tidak akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi fisiknya. Selain itu, kecatatan fisik tersebut juga tidak akan membuat si penyandang cacat merasa terbatasi dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan tidak akan bergantung terhadap orang lain disekitarnya. Penyandang cacat bahkan dapat merealisasikan cita-citanya apabila ia juga mau berjuang dan bekerja keras tanpa harus merasa malu menampilkan diri dihadapan banyak orang. Widjopranoto dan Sumarno (2004) membuktikan hal ini dengan menemukan adanya responden yang dapat hidup mandiri dengan ingin memenuhi kebutuhannya sehari-hari layaknya seperti orang lain serta tidak ingin bergantung dengan orang lain. Persentase responden memiliki keinginan untuk maju sebesar 51,12%, 28,12% mencapai cita-cita dan 12,50% berusaha untuk mencapai tahap kehidupan yang lebih baik.

(20)

peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian karena banyaknya populasi penyandang cacat dan dapat mengetahui gambaran proses penerimaan diri dan mencoba mengungkap hal-hal apa saja yang mempengaruhi ketika penyandang cacat fisik bukan bawaan berproses dalam pencapaian penerimaan dirinya. Peneliti merasa dapat memberikan sumbangan informasi baru mengenai penerimaan diri kepada para penyandang cacat fisik bukan bawaan melalui penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan penelitian yang mengungkap penerimaan diri lebih banyak dilakukan pada para lansia, kaum transgender dan menghadapi kematian dibandingkan terhadap para penyandang cacat. Peneliti menggunakan metode analisis fenomenologi deskriptif untuk mengungkap rumusan masalah dalam penelitian ini.

B.RUMUSAN MASALAH

Mengacu dari latar belakang diatas, rumusan masalah ialah : Bagaimana penyandang cacat fisik non bawaan mencoba menerima diri?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui pengalaman penyandang cacat fisik bukan bawaan dalam mengalami kondisinya yang cacat

2. Untuk mengetahui proses penerimaan dirinya

(21)

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Subjek penelitian yaitu para penyandang cacat non bawaan

Bagi subjek penelitian diharapkan dari penelitian ini dapat dijadikan informasi bagi seseorang yang mengalami cacat non bawaan untuk dapat menerima dirinya , realistis dalam menghadapi kenyataan, dan tidak merasa malu karena perubahan-perubahan pada fisiknya.

2. Ilmu psikologi

(22)

7

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Penyandang Cacat Fisik

1. Definisi

Definisi penyandang cacat seperti tercantum dalam UU No.4 tahun 1997 (Rachmanto dan Sumarno, 2004) adalah seseorang yang mengalami kelainan secara fisik atau mental yang dapat membuat dirinya terhambat untuk melakukan kegiatan dengan semestinya. Definisi penyandang cacat yang menekankan pada bagian fisik diungkapkan oleh Mangunsong dkk (dalam Wijayanti W.S., 2004) yakni bahwa seseorang yang mengalami kehilangan pada bagian fisik sehingga mengakibatkan mereka tidak dapat berfungsi layaknya orang normal juga termasuk penyandang cacat fisik. WHO semakin memperjelas definisi kecacatan tidak hanya di bagian fisik namun pada tidak berfungsinya para penyandang cacat fisik layaknya orang normal. Penyandang cacat fisik mengalami kesulitan dalam menjalani kehidupan pribadi, keluarga dan bermasyarakat maupun di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi maupun psikologis dikarenakan adanya ketidaknormalan secara psikis atau fisik (Departemen Sosial RI, 1995; dalam Oktriana, A.L.,2004).

(23)

fisik yaitu impairment,disability dan handicap. Impairment ialah suatu keadaan yang menyebabkan hilangnya atau terjadinya abnormalitas pada struktur atau fungsi psikologis, fisiologis atau anatomis yang dapat terjadi sementara maupun menetap.

Pada disability ini terdapat berbagai keterbatasan atau berkurangnya suatu kemampuan untuk melakukan aktivitas tertentu dengan selayaknya. Seseorang dapat mengalami keterbatasan kemampuan yang diakibatkan oleh kekurangan baik secara fisik, intelektual, pengindraan, kondisi-kondisi medis atau penyakit mental tertentu. Keterbatasan kemampuan serta kondisi-kondisi atau penyakit yang dialami dapat bersifat permanen ataupun sementara. Disability ini muncul sebagai akibat langsung dari impairment.

(24)

dilakukan oleh individu yang bersangkutan ( Oktriana, A.L.,2004). Tingkat gangguan pada cacat fisik:

a. Ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan aktivitas fisik tetap masih dapat ditingkatkan melalui terapi

b. Sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan mengalami gangguan koordinasi sensorik

c. Berat yaitu memiliki keterbatasan total dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik

Handicap sendiri ialah suatu keadaan yang dapat merugikan seseorang karena mengalami suatu impairment maupun suatu disability

sehingga menghambat pemenuhan suatu peran sesuai dengan usia, jenis kelamin, serta faktor sosio kultural. Handicap juga merupakan suatu kondisi kehilangan atau keterbatasan kesempatan yang dimiliki seseorang untuk berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat seperti orang lain pada umumnya. Istilah handicap dapat menggambarkan pengalaman pahit seseorang dengan kecacatan dan lingkungannya. Istilah ini digunakan untuk menonjolkan kekurangan-kekurangan yang terdapat pada lingkungan serta kegiatan-kegiatan yang terorganisasi di dalam masyarakat, yakni dalam hal informasi, komunikasi dan pendidikan yang dapat mengakibatkan para penyandang cacat fisik tidak dapat berpartisipasi atas dasar persamaan.

(25)

menyebabkan kondisi abnormal yang sementara atau menetap yang disebut dengan istilah impairment. Seseorang nantinya juga akan mengalami

disability yang merupakan akibat langsung dari impairment. Disability ialah suatu tahap dimana seseorang merasakan adanya keterbatasan atau kekurangan dalam melakukan aktifitas yang selayaknya. Keterbatasan yang dimiliki tergantung dari berat atau ringannya tingkat kecacatan yang dialami oleh seseorang. Impairment dan disability membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk dapat berpartisipasi secara langsung di dalam kegiatan-kegiatan masyarakat sehingga dapat menghambat pemenuhan peran dalam diri dan kondisi ini disebut dengan handicap.

2. Dampak Psikososial

Kecacatan yang dialami membuat para penyandang cacat fisik memiliki keterbatasan dalam menjalani kehidupannya. Keterbatasan ini berpengaruh pada psikososial yang dimiliki para penyandang cacat fisik. Smet (1994) menjelaskan bahwa psikososial itu ialah adanya hubungan dinamis antara keadaan psikologis dengan pengaruh sosial dimana keduanya saling mempengaruhi dan penting untuk proses perkembangan individu. Memiliki keterbatasan yang diakibatkan oleh kecacatan pada fisik kemungkinan dapat menimbulkan keadaan psikologis yang tidak stabil yaitu terdapat perasaan negatif seperti kaget, shock, marah, kecewa dan malu (Widjopranoto dan Sumarno, 2004).

(26)

psikologis tersebut mempengaruhi kemampuan penyandang cacat fisik untuk bersosialisasi, cenderung menutup diri, menunjukkan sikap pasrah dan menghindar. Hal ini mengesankan bahwa masih ada keraguan, kurang dapat menerima kenyataan yang ada dan rasa kurang percaya diri atas potensi diri yang dimiliki. Pengaruh dari lingkup sosial sendiri menunjukkan adanya penolakan dan rasa kasihan sehingga membuat penyandang cacat merasa menjadi beban bagi orang lain ataupun malu terhadap kondisi fisiknya yang cacat. Widjopranoto dan Sumarno (2004) menemukan terdapat penyandang cacat fisik yang berusia produktif masih bergantung kepada orang tua yang disebabkan oleh rasa kurang percaya diri pada potensi diri, merasa pesimis sehingga tidak berniat atau berusaha untuk mencari pekerjaan.

B.DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP PENYANDANG CACAT FISIK

1. Definisi

Keterbatasan dalam beraktifitas membuat penyandang cacat merasa kurang berminat untuk berpartisipasi dalam hidup bermasyarakat. Kurangnya minat ini bisa jadi disebabkan karena derajat kecacatan yang berat sehingga membuat penyandang cacat fisik merasa kesulitan untuk bergerak apalagi untuk beraktifitas.

(27)

Gottlieb (2003; dalam Smet, 1994) ialah dukungan yang terdiri dari informasi atau nasihat baik secara verbal dan/atau non verbal, adanya bantuan secara nyata atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau yang diperoleh karena kehadiran mereka yang memiliki manfaat secara emosional atau efek perilaku bagi yang menerima. Sarafino (1990; dalam Smet, 1994) juga menjelaskan bahwa dukungan sosial itu mengacu pada kebahagian yang dirasakan, adanya penghargaan terhadap kepedulian, memberikan ataupun menerima bantuan dari orang-orang atau kelompok-kelompok lain.

2. Struktur dan Fungsi Dukungan Sosial

(28)

dukungan sosial bagi individu.

Fungsi dukungan sosial merupakan kualitas dari suatu hubungan sosial dan bagaimana fungsi dukungan ini dapat bermanfaat bagi individu yang bersangkutan. Fungsi dukungan sosial biasanya diukur dengan menanyakan setiap individu untuk menilai persepsi apakah mereka memiliki orang-orang yang mampu memberikan berbagai bentuk dukungan yang berbeda pada saat yang dibutuhkan serta apakah mereka benar-benar menerima bentuk-bentuk dukungan secara khusus.

Fungsi dukungan sosial memiliki beberapa tipe yakni seperti yang dijelaskan menurut Stroebe (2000; dalam Lyons & Chamberlains, 2006): a. Dukungan emosional berarti seseorang memperoleh empati, perawatan

dan perhatian. Sikap-sikap tersebut dapat meningkatkan rasa nyaman, ketentraman, rasa memiliki dan dicintai.

b. Dukungan penghargaan berarti seseorang mendapatkan penerimaan yang positif termasuk dorongan, menyetujui perasaan-perasaan. Dukungan ini membangun perasaan–perasaan harga diri, kemampuan dan merasa dihargai.

c. Dukungan instrumental yaitu berupa bantuan yang diberikan secara langsung seperti meminjamkan uang, memberi bantuan pekerjaan atau mengasuh anak.

d. Dukungan informasi berarti seseorang menerima nasihat, saran-saran, pengarahan dan respon balik.

(29)

seseorang mengevaluasi diri dan menilai suatu peristiwa atau situasi. Dukungan ini juga dapat membantu seseorang mempelajari sumber-sumber apakah yang dapat digunakan untuk mengatasi situasi tersebut atau menghadapi sebuah situasi.

Dukungan sosial yang diberikan oleh orang terdekat maupun masyarakat dapat membantu kondisi psikososial dari penyandang cacat fisik itu sendiri. Seperti yang dialami oleh Toni Christiansen yang cacat karena kecelakaan kemudian harus menghabiskan waktu lebih dari tujuh bulan untuk keluar masuk rumah sakit. Keluarga, teman dan sanak saudara sangat mendukung proses pemulihan diri Toni. Dukungan sosial dari orang-orang terdekat membuat Toni mampu mengikuti berbagai pelatihan dengan baik guna pemulihan bagi dirinya serta mahir dalam berbagai jenis olahraga (Chan, 2007).

(30)

C.PENERIMAAN DIRI

1. Definisi

Penerimaan diri menurut Wiley ( dalam Josephine dan Srisuini, 1998) berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi serta memberi sumbangan pada kesehatan mental seseorang serta hubungan antar pribadi. Penerimaan diri memiliki pengertian adanya persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya yang dapat digunakan secara efektif. Penerimaan diri juga meningkatkan toleransi terhadap orang lain dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Mereka melihat manusia, dunia dan dirinya apa adanya. Seseorang yang memiliki penerimaan diri berarti dapat mengenali kekurangannya sendiri serta berusaha untuk memperbaiki diri. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri lalu dapat mengkritik dirinya sendiri dan bertanggung jawab terhadap pilihannya sendiri serta tidak menyalahkan ataupun mencela orang lain karena dirinya.

(31)

seseorang mengenai karakteristik pribadinya dan mau hidup dengan keadaan tersebut. Hal ini berarti seseorang tersebut memiliki pengetahuan tentang dirinya sehingga menerima kelebihan dan kelemahannya.

Sama halnya dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Brooks & Golstein (dalam Apriliana. D, 2009) bahwa penerimaan diri dihubungkan dengan penghargaan diri dan rasa percaya diri. Pencapaian penerimaan diri merupakan proses sepanjang hidup yang memerlukan evaluasi terus-menerus, jujur mengakui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, memiliki cita-cita dan harapan, keterlibatan dalam aktivitas yang menimbulkan kepuasan, kesenangan, dan kegembiraan, serta mengenai apa yang dijalani dalam kehidupan telah sesuai dengan nilai-nilai dasar kita. Proses pemeliharaan penerimaan diri dipenuhi banyak tantangan yang memakan waktu dan tenaga seseorang.

(32)

Pemahaman tersebut membuat Ryff (1995) mengartikan kesejahteraan psikologis sebagai ada dan berfungsinya sifat-sifat psikologis yang positif, meliputi dimensi penerimaan diri, hubungan positif, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

Dalam teori perkembangan manusia penerimaan diri berkaitan dengan penerimaan diri seseorang pada masa kini dan masa lalunya. Selain itu dalam literatur fungsi psikologi yang positif; penerimaan diri juga berkaitan dengan sikap positif terhadap diri sendiri (Ryff, 1989). Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya dimasa lalu (Ryff, 1996).

(33)

diri secara baik jika orang tersebut tidak menyukai dirinya sendiri.

Pada penelitian ini peneliti memilih untuk menggunakan teori penerimaan diri yang merupakan salah satu aspek kesejahteraan psikologis Ryff. Teori Ryff tidak hanya melihat pada pencapaian kebahagiaan secara fisik yaitu kepuasan dan kenikmatan hidup seperti yang dijabarkan Diener dan Bradburn (dalam Ryff, 2008) namun melihat hal yang melebihi kebahagiaan jasmani yaitu menjadi diri yang otentik, apa adanya serta melebihi diri itu sendiri seperti konsep kebahagiaan paparan Aristotles yang besifat eudaimonic. Kebahagian secara eudaimonic juga berasal dari perkembangan dan yang ditunjukkan dari potensial dalam diri kita meliputi talenta, kepribadian dan nilai-nilai yang ada dalam diri (dalam Baumgardner & Crothers, 2009).

(34)

2. Tahap-tahap Penerimaan Diri

Penerimaan diri lebih banyak digunakan untuk meneliti para lansia, kaum transgender serta kematian pada seseorang seperti yang dilakukan oleh Kubler-Ross. Kubler-Ross menetapkan 5 tahap penerimaan pada seseorang yang mengalami kondisi sekarat dan menjelang ajal. Peneliti memutuskan untuk menggunakan kelima tahap penerimaan ini karena dapat menggambarkan penerimaan diri yang terkait dengan kecacatan serta memiliki kesamaan dengan kondisi psikis yang dialami oleh penyandang cacat dan situasi ketika menghadapi kondisi sekarat dan kematian. Sementara itu, perbedaannya terletak pada kondisi yang dialami yakni mengalami kecacatan seumur hidup jauh lebih sulit untuk dihadapi dibandingkan dengan menghadapi kematian. Selain itu, menurut peneliti belum ada tahap-tahap penerimaan diri yang dibahas secara umum ataupun yang dikhususkan untuk penyandang cacat fisik.

Tahap-tahap penerimaan diri menurut Kubler-Ross (1998) : a. Tahap 1

Pada tahap ini seseorang mengalami perasaan shock/kaget, melakukan penyangkalan terhadap kondisi yang dialami sehingga memungkinkan seorang tersebut mengasingkan diri sendiri.

b. Tahap 2

(35)

sesuai dengan kenyataan, adanya perbedaan dengan kondisi yang dulu dan sekarang serta ada penolakan-penolakan. Dalam tahap ini selanjutnya juga menimbulkan perasaan bersalah yang diakibatkan oleh sikap menyalahkan diri sendiri karena dianggap sebagai penyebab yang membuat diri mengalami suatu hal buruk atau karena kelemahan yang dimiliki.

c. Tahap 3

Tahap ketiga seseorang mengalami pengalaman religiusitas dengan Tuhan. Ada proses tawar menawar dimana seseorang itu berjanji untuk bertingkah laku baik asalkan permintaannya dipenuhi. Namun pada kenyataannya janji tidak selalu dipenuhi dan terus menuntut permintaan yang lainnya. Memiliki perjanjian dengan Tuhan ataupun dengan orang lain disekitarnya. Di tahap ketiga ini memungkinkan munculnya perasaan bersalah, ketakutan atau merasa dihukum karena kesalahannya.

d. Tahap 4

Terdapat 2 jenis depresi di tahap ini yaitu:

 Depresi reaktif : keinginan untuk mengungkapkan banyak hal secara verbal / interaksi secara verbal, ada rasa bersalah, keinginan untuk mati

(36)

e. Tahap 5

Munculnya sikap penerimaaan terhadap kondisi yang dialami. Merasakan kedamaian, sudah dapat melalui tahap-tahap sebelumnya dengan baik sehingga tidak akan merasakan depresi maupun marah terhadap kondisinya.

D.KERANGKA PENELITIAN

Perubahan yang dialami oleh seseorang cenderung tidak mudah untuk dijalani. Salah satu perubahan itu ialah ketika seseorang yang awalnya memiliki fisik yang normal berubah menjadi cacat karena suatu musibah. Kecacatan ini membawa dampak besar bagi seorang penyandang cacat untuk kembali menjalani kehidupannya. Salah satu dampak yang dialami para penyandang cacat fisik bukan bawaan ialah mengalami ketergantungan terhadap alat bantu ataupun orang lain baik secara ekonomi dan sosial disebabkan keterbatasan pada fisiknya. Tidak hanya itu, penyandang cacat ini juga mengalami krisis karena kebingungan identitas yang mengakibatkan mereka merasa terpuruk terhadap kondisi yang baru. Kecacatan fisik yang dimiliki dapat menimbulkan perasaan malu bahkan merasa dikucilkan oleh masyarakat sekitar sehingga para penyandang cacat fisik menarik diri dan enggan untuk bersosialiasi kedalam pergaulan sosial.

(37)
(38)
(39)

E.PERTANYAAN PENELITIAN

Pertanyaan utama dalam penelitian kualitatif ini adalah bagaimana penyandang cacat fisik bukan bawaan mencoba menerima diri?. Selanjutnya pertanyaan diperinci menjadi 3 yaitu;

1. Bagaimana pengalaman penyandang cacat fisik bukan bawaan dalam mengalami kecacatan?

2. Bagaimana proses penerimaan dirinya?

(40)

25

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang memberikan uraian deskriptif yang kaya atau “padat” tentang fenomena yang diselidiki (Geertz, 1973; dalam Smith, 2009). Penelitian kualitatif berusaha untuk mengeksplorasi, mendeskripsikan maupun menginterpretasikan maksud dari suatu fenomena maupun pengalaman personal dan sosial yang dialami oleh subjek penelitian. Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami suatu Central Phenomenon, suatu proses atau kejadian, suatu fenomena, atau suatu konsep yang terlalu kompleks untuk diuraikan variabel-variabel yang menyertainya (Creswell, 1998).

B. STRATEGI PENELITIAN

(41)

itu, analisis ini juga berusaha untuk menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh hidup (Smith, 2009). berdasarkan tujuan pada analisis fenomenologi deskriptif tersebut maka dapat diuraikan 4 tahap analisis data fenomenologis deskriptif menurut Giorgi (dalam Smith, 2009) :

1. Membaca keseluruhan data secara detail dan apa adanya 2. Menentukan unit-unit makna

3. Melakukan transformasi dari data yang implisit menjadi makna psikologis (ada proses mengeksplisitkan dan mengubah hal yang partikular menjadi lebih umum)

4. Menangkap struktur dasar pengalaman

C. FOKUS PENELITIAN

Fokus penelitian dari penelitian ini ialah penerimaan diri yang dialami oleh penyandang cacat fisik bukan bawaan melalui pengalaman kecacatan yng dialami, proses yang dijalani serta faktor-faktor yang mendukung dalam pencapaian penerimaan diri.

D. SUBJEK PENELITIAN

(42)

umumnya, yang dibawanya sejak lahir atau karena kejadian tertentu dengan derajat ringan, sedang, dan berat. Peneliti tidak membatasi jenis kelamin dan usia dari para subjek penelitian ini.

E. METODE PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi – terstruktur. Wawancara ini dipilih karena dianggap paling tepat dan fleksibel untuk digunakan. Selain itu, jenis wawancara ini memungkinkan peneliti dan subjek penelitian melakukan dialog, dan pertanyaan-pertanyaan yang telah disusun sebelumnya dapat dimodifikasi menurut respon partisipan (Smith, 2009). Akan tetapi, peneliti tetap membuat daftar pertanyaan sebagai panduan dalam proses wawancara agar tetap terfokus pada tujuan penelitian. Panduan pertanyaan wawancara yang disusun harus dapat mengungkapkan tujuan penelitian. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun tersebut harus terkait dengan pengalaman penerimaan diri pada seorang penyandang cacat tubuh bukan bawaan.

Proses pengumpulan data ini melalui beberapa tahap sebagi berikut :

(43)

cacat fisik bukan bawaan. Peneliti mencari informasi mengenai penyebab kecacatan yang dialami oleh para penyandang cacat ini. Mencari subjek penelitian yang merupakan penyandang cacat tubuh bukan bawaan yang disebabkan oleh banyak peristiwa tertentu. Peristiwa-peristiwa tersebut ialah mengalami gegar otak, kecelakaan lalu lintas, terluka saat perang, kecelakaan dalam pekerjaan dan penggunaan obat-obatan yang melebihi dosis.

Setelah mendapatkan kecocokan kriteria pada subjek penelitian, peneliti mendatangi pusat rehabilitasi tersebut untuk mengajukan proposal penelitian dan surat pengajuan pribadi untuk ditujukan kepada pimpinan. Beberapa hari setelahnya peneliti diberitahu bahwa sudah mendapatkan ijin untuk melakukan penelitian di YAKKUM dan diminta untuk membayar uang administrasi. Peneliti pun mencari tahu berbagai informasi seperti jadwal kegiatan dan menentukan waktu pertemuan dengan ketiga subjek penelitian kepada salah satu staff pengurus. Peneliti bertemu dengan masing-masing subjek di hari yang berbeda untuk menyusun jadwal wawancara bersama-sama dan memberikan rapport. Proses pemberian rapport ini dilaksanakan selama 2 minggu. Hal ini bertujuan agar peneliti dapat menyusun jadwal wawancara sehingga tidak mengganggu jadwal kegiatan di pusat rehabilitasi serta mampu menciptakan kenyamanan pada ketiga subjek terhadap peneliti.

(44)

pengumpulan data penelitian. Sebelum wawancara dimulai, peneliti memberikan informed consent kepada seluruh subjek sebagai bukti kesediaan subjek untuk mengikuti penelitian ini. Melalui informed consent tersebut peneliti juga menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilakukan yaitu meminta subjek untuk menceritakan pengalaman penerimaan diri yang mereka alami. Selain itu, peneliti juga menyampaikan bahwa pada saat wawancara nanti, peneliti meminta ijin untuk merekam suara subjek. Hal ini bertujuan agar subjek bersedia berproses bersama peneliti. Dua dari tiga subjek mampu memahami isi dari informed consent tersebut dengan cukup baik. Akan tetapi, peneliti tetap meberikan penjelasan mengenai maksud dari yang disampaikan dalam informed consent tersebut. Di sisi lain, peneliti harus membacakan dan menjelaskan dengan kalimat yang jauh lebih sederhana kepada subjek ketiga mengenai informed consent tersebut agar lebih mudah untuk dimengerti. Hal ini dikarenakan subjek ketiga kurang dapat memahami maksud dari informed consent dan tidak mampu membaca dengan lancar.

(45)

memunculkan rasa nyaman dan keakraban. Kelancaran dalam proses wawancara ini sangat membantu peneliti untuk mendapatkan seluruh informasi yang diperlukan sehingga dapat mempersingkat waktu dimana wawancara hanya dilakukan satu kali untuk tiap subjek.

Peneliti menggunakan bantuan alat perekam selama proses wawancara berlangsung. Di samping itu, peneliti juga mencatat perilaku nonverbal dari subjek penelitian untuk dilakukan interpretasi. Setelah semua data terkumpul peneliti akan membuat transkip wawancara dari hasil rekaman tersebut.

F. PROSEDUR ANALISIS DATA

Analisis data menggunakan analisis fenomenologi deskriptif. Secara umum analisis ini bertujuan untuk mengklarifikasi situasi yang dialami dalam kehidupan seseorang sehari-hari. Dalam fenomenologi deskriptif berusaha menangkap sedekat mungkin mengenai bagaimana fenomena tersebut dialami dalam konteks terjadinya fenomena tersebut. Di sisi lain, fenomenologi juga berusaha menemukan makna-makna psikologis yang terkandung dalam fenomena melalui penyelidikan dan analisis contoh-contoh hidup (Smith, 2009).

Beberapa tahap dalam analisis fenomenologis deskriptif, yaitu :

(46)

2. Tahap yang kedua adalah melakukan konstitusi terhadap bagian-bagian deskripsi. Langkah ini menekankan pada rangkuman. Konstitusi tersebut dapat memberikan penjelasan terhadap masalah-masalah implisit. Tujuan dari analisis adalah makna melalui analisis psikologis. Maka kita akan menggunakan transisi makna dalam melakukan konstitusi terhadap bagian-bagian atau kita sebut sebagai unit makna. Unit makna dihasilkan dari pembacaan ulang secara cermat terhadap deskripsi.

3. Kemudian tahap ketiga melakukan transformasi. Transformasi bertujuan untuk mengubah yang implisit menjadi eksplisit, khususnya dalam makna psikologis. Analisis bermaksud mengungkapkan makna yang dialami serta sedikit melakukan generalisasi.

4. Tahap yang terakhir adalah pembentukan struktur general. Struktur diperoleh dengan menyelesaikan transformasi terakhir dari pemaknaan unit-unit.

G. KREDIBILITAS PENELITIAN

(47)

terkait dengan partisipan tersebut. Selain itu, peneliti akan melakukan validitas argumentatif dimana presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti baik rasionalnya serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah (Poerwandari, 2005).

Proses member checking dilaksanakan selama tiga hari berturut-turut yakni tanggal 20, 21 dan 22 Oktober 2011. proses ini dilakukan dengan memberikan struktur dasar pengalaman kepada masing-masing subjek. Pada subjek pertama dan kedua peneliti tidak mengalami permasalahan yang berarti dikarenakan kedua subjek ini dapat membaca dan memahami isi dari struktur dasar pengalamannya sendiri dengan baik. Namun, peneliti juga membantu menjelaskan dan mencoba mengecek kembali kecocokan antara hasil struktur dasar pengalaman terhadap kondisi subjek tersebut dengan berdiskusi. Sebaliknya, peneliti sempat mengalami kendala dengan subjek ketiga yang belum mampu membaca dengan baik sehingga peneliti membantu membacakan dan menjelaskan hasil struktur dasar pengalaman miliknya dengan kalimat yang lebih mudah dimengerti. Peneliti membutuhkan waktu yang lebih lama ketika proses member checking subjek ketiga ini berlangsung. Peneliti harus menjelaskan secara teliti, perlahan dan berulang kali sampai subjek benar-benar mengerti namun tidak keluar dari esensi pengalaman yang dialami.

(48)

melihat kembali ke data mentah. Peneliti dapat menunjukkan tahapan analisis secara detail dan lengkap. Selain itu, peneliti juga menggunakan konsep validitas komunikatif. Subjek diminta membaca hasil transkrip dan mengkoreksi bila ada yang tidak sesuai dengan apa yang mereka maksud. Hasilnya, subjek melakukan klarifikasi atas transkrip yang sudah dibuat oleh peneliti.

Peneliti juga menggunakan prinsip tranparansi yaitu refleksivitas. Refleksivitas ini digunakan untuk mengeksplisitkan pertimbangan mengenai cara-cara spesifik seorang peneliti yang dapat mempengaruhi penelitian. Hal ini memungkinkan adanya pengaruh terhadap data atau cara interpretasi dalam penelitian (baik itu latar belakang maupun ketertarikan yang dimiliki peneliti).

Peneliti memiliki ketertarikan dan kepedulian terhadap para penyandang cacat bukan bawaan dikarenakan sebelumnya peneliti pernah memiliki pengalaman dengan salah satu dari penderita. Dari pengalaman tersebut, peneliti menemukan adanya kesulitan dari seseorang tersebut ketika mencoba menerima kondisi dirinya yang berubah menjadi cacat. Hal tersebut juga membawa perubahan pada perilaku sehingga akhirnya mempengaruhi kehidupan si penderita. Peneliti sendiri juga memiliki pengalaman pribadi terhadap suatu pengalaman penerimaan diri dimana peneliti merasakan suatu dampak yang positif dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta untuk menghadapi masa depan.

(49)
(50)

35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. PELAKSANAAN PENELITIAN

Sebelum memulai penelitian, peneliti menghubungi pihak lembaga yang terkait yaitu Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat YAKKUM untuk membantu peneliti dalam memastikan kesediaan subjek untuk menjadi narasumber di penelitian ini. Awalnya peneliti melakukan pendekatan yang intensif terhadap subjek dengan maksud agar terbangun kesan yang positif dan subjek merasa nyaman dengan proses pengambilan data yang dilakukan. Terbentuknya interaksi yang positif antara peneliti dan subjek diharapkan adanya kepercayaan yang membantu menghadirkan keterbukaan pada subjek. Hal ini dapat mempermudah peneliti dalam mengetahui bagaimana pengalaman subjek dalam proses penerimaan diri secara personal dan terinci. Peneliti melakukan pendekatan dengan subjek sekitar 2 minggu ( 2-17 Maret 2011) sampai akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan wawancara secara bertahap. Selama kurang lebih sebulan peneliti pun selesai melakukan wawancara semi terstruktur dengan seluruh subjek. Subjek yang mengikuti penelitian ini sebanyak 3 orang.

(51)

masing-masing subjek. Wawancara berlangsung secara informal dan menyesuaikan situasi yang memungkinkan agar tercipta rasa aman dan nyaman pada diri subjek terhadap peneliti. Selanjutnya, diharapkan subjek bersedia untuk berusaha terbuka kepada peneliti mengenai pengalaman penerimaan diri sesuai dengan apa yang dialami oleh subjek serta tidak dibuat-buat.

Dokumentasi wawancara dilakukan secara auditif dengan bantuan

digital recorder. Hasil rekaman wawancara kemudian ditranskip secara verbatim agar menjadi dokumentasi tertulis sesuai dengan penjelasan yang diberikan oleh subjek. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang dimaksud oleh subjek maka transkip yang telah di print out peneliti berikan kepada masing-masing subjek untuk dikoreksi kembali apakah sesuai dengan yang dialami oleh subjek. Peneliti juga membantu membacakan hasil transkipsi kepada salah seorang subjek yang tidak mampu dalam membaca. Langkah selanjutnya peneliti melakukan analisis pada transkip tersebut hingga akhirnya ditemukan makna-makna psikologis dari pengalaman subjek.

B. LATAR BELAKANG SUBJEK

(52)

fisiknya. Proses penerimaan diri ini tidak terjadi dengan mudah, Ali sendiri mengalami kondisi psikis yang kurang baik sehingga sempat memunculkan keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Ali mengalami perasaan down ketika mengetahui dirinya divonis cacat dengan tingkat yang berat dan patah tulang sehingga harus tergantung dengan kursi roda seumur hidup. Terlebih kecacatan yang dialami ini membuat dirinya harus kehilangan orang yang dicintai seperti pacar dan teman-temannya. Selain itu, Ali juga harus menjalani pola hidup yang sangat berbeda dari kondisi sewaktu masih normal dulu. Ali harus membiasakan diri dengan kondisi barunya dimana dirinya berusaha untuk belajar mandiri dengan kecacatan itu.

Usaha yang dilakukan Ali memang tidak berjalan mulus. Ali terus belajar untuk dapat melakukan berbagai kegiatan sendiri baik itu berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Ali sering terjatuh ketika melakukan perpindahan tetapi ia tidak putus asa dengan berusaha menikmati kerasnya lantai dan terluka. Kecacatan juga merenggut kesempatan Ali untuk melanjutkan kuliah dan kesukaannya terhadap komputer. Hal tersebut membuat perasaan down ini muncul berulang kali terutama ketika pikiran Ali sedang tidak fokus. Ali merasa bahwa kecacatan yang dialami merupakan hukuman karena dulu ia adalah anak yang tidak patuh terhadap orang tua. Ali juga menganggap kalau pergaulan yang ia jalani ketika masih normal dulu itu tidak baik.

(53)

sudah cacat dan pernah berperilaku tidak baik. Dukungan serta kehadiran dari keluarga secara terus menerus inilah yang ikut membantu Ali untuk bisa bangkit dan berjuang menjalani hidup dengan kecacatan. Ali menyadari bahwa dirinya salah sehingga kecacatan membuat dirinya menjadi sadar akan pentingnya kehidupan saat ini. Ali sudah dapat membangun hubungan yang baik dengan keluarga. Secara perlahan Ali pun mampu mencapai penerimaan diri dan menikmati kecacatan yang dialami. Ali juga memiliki berbagai cita-cita yang ingin ia capai yakni dapat bekerja ataupun kembali meneruskan kuliahnya meskipun dalam keadaan cacat dan terbatas.

(54)

merasa bahwa ia harus menjaga perasaan keluarga dengan tidak pergi terlalu jauh dari rumah karena hal ini dapat memunculkan penilaian negatif dari para tetangga. Tetangga di sekitar rumah Budi menganggap bahwa keluarga tidak dapat mengurusi Budi dengan baik karena kecacatan yang dialami.

Perasaan down yang dialami awalnya membuat Budi menjadi lebih pendiam dan sering menghabiskan waktunya di dalam kamar atau menonton tv untuk menghibur diri. Budi merasa kecacatan ini ialah hukuman untuknya. Namun, suatu saat Budi menemukan kenyamanan setelah mendatangi seorang habib dan berusaha menenangkan perasaannya. Budi mendapatkan nasihat dari habib yang mengatakan bahwa kecacatan yang dialami merupakan sebuah karunia. Awalnya Budi merasa bahwa perkataan habib tersebut hanya untuk membesarkan hatinya hingga Budi menyadari bahwa kecacatan ini bukanlah sebuah hukuman melainkan karunia yang membawa dirinya menjadi seseorang yang lebih baik lagi.

(55)

religius. Salah satu harapan terbesar Budi ialah memiliki cita-cita untuk membangun usaha sendiri demi kondisi ekonominya agar tidak terus tergantung dengan ibu.

Berbeda dengan Toni yang sudah mampu menerima kecacatannya dengan baik dikarenakan sudah dari kecil mengalami cacat fisik. Kecacatan fisik ini dialami sejak berusia 1 tahun dan tergolong berat. Toni tidak dapat berjalan bukan disebabkan oleh mati rasa pada kedua kakinya tetapi perkembangan kaki Toni tidak normal karena selalu disuntik oleh obat-obatan. Oleh karena itu, muncul perasaan terbiasa dalam diri Toni karena ia sudah menjalani hidup dengan kecacatan fisik selama bertahun-tahun. Akan tetapi, kecacatan ini tetap membuat Toni merasa kesulitan dalam beraktifitas menjalin hubungan sosial baik dengan keluarga, teman maupun pacar. Disamping itu, Toni mengalami kesulitan dalam merawat diri karena cacat dan tidak memiliki alat bantu sehingga Toni harus merangkak untuk menggerakan tubuhnya. Toni juga merasa sedih dan down karena kecacatan ini membuat ibunya menjadi susah dan sedih. Terlebih lagi muncul respon dari anggota keluarga lain yang tidak mau menerima Toni dengan baik. Toni merasa bahwa dirinya harus berkembang dan tidak boleh terus menjadi beban bagi ibunya akhirnya toni berani pergi ke jogja untuk masuk ke sebuah rehabilitasi.

(56)

semakin lebih menerima dirinya dan terus berusaha untuk menjadi sosok yang lebih berguna dan mandiri. Semua ini ia lakukan demi membahagiakan keluarga khususnya ibu. Toni rupanya juga memiliki keisnginan untuk berkeluarga dan membuka usaha di masa depan. Toni merasa bahwa ia pun bisa mengalami hal yang sama seperti salah seorang temannya yang cacat dimana temannya ini sudah menikah dan membangun sebuah keluarga. Toni merasa terinspirasi terhadap kehidupan temannya tersebut.

Tabel Rangkuman Latar Belakang Subjek

Ali Budi Toni

Lama

kecacatan

3 tahun 8 tahun 22 tahun

Tingkat

keparahan

kecacatan

Berat Berat Berat

Lama proses

pencapaian

penerimaan

diri

1 tahun 10 bulan Sudah cacat sejak kecil; sudah

terbiasa

Penyebab

kecacatan

Kecelakaan lalu lintas

Kecelakaan lalu lintas

Penggunaan obat-obatan yang

(57)

Bagian tubuh

yang cacat

Pinggang-kaki,

parapleghia, salah satu kaki lebih

pendek 5 cm

Dada-kaki,

parapleghia

Anggota tubuh tidak berkembang

dengan baik

C.HASIL PENELITIAN

Setelah melakukan analisis pada transkipsi dan menemukan makna-makna psikologis, peneliti menjabarkan secara naratif mengenai profil dan struktur dasar pengalaman dari masing-masing subjek. Berikut ini adalah rangkuman hasil penelitian, profil individual dan struktur dasar pengalaman dari masing-masing subjek penelitian.

1. Subjek 1

a) Profil

(58)

dialami tergolong parapleghia. Kecacatan yang mengenai bagian pinggang sampai kaki mengharuskan Ali untuk menggunakan kursi roda. Kondisi salah satu kaki Ali juga lebih pendek 5 cm dari ukuran normal. Akibat dari kecacatan tersebut Ali saat ini tinggal di Pusat Rehabilitasi Penyandang Cacat YAKKUM. Ketika peneliti mewawancara Ali, dirinya terlihat santai dan mudah beradaptasi dengan peneliti meskipun baru saling mengenal saat itu. Ali juga mampu menceritakan pengalamannya dengan terbuka dan lancar. Kontak mata juga sering terjadi ketika wawancara berlangsung. Namun, Ali sempat beberapa kali meminta ijin untuk menerima telepon atau membalas pesan singkat di handphone. Terkadang ia juga sering melihat ke handphone untuk mengecek.

b) Struktur Dasar Pengalaman

Ali menganggap bahwa dulu ia adalah sosok yang nakal dan sering melawan orang tua. Ali cenderung lebih dekat dengan teman-temannya daripada dengan keluarga.

“Ya aku,aku dulu emang orangnya gimana ya nakal iya semuanya tu aku jalanin nakal trus ya nanti yang aku petik ya seperti ini” (55-57)

“Sama temen ya enak-enak aja,sama keluarga jauh”(12)

(59)

Setelah mengalami kecelakaan ia merasa kebingungan terhadap kondisinya yang berubah menjadi cacat dan harus menggunakan kursi roda. Ali pun mengalami keterpurukan dan menganggap itu adalah hukuman dari Tuhan untuknya. Ali sempat ingin mengakhiri hidupnya sendiri.

“Sebejat apa sih aku ini sampe dikasih kondisi kayak gini”

(130)

“Walaupun awalnya dulu pas tau kakiku gak bisa gerak padahal kakinya masih ada aku malah pengen mati aja” (128-130)

Ali merasa bahwa kecacatan yang dialami merupakan hukuman karena dulu ia adalah anak yang tidak patuh terhadap orang tua. Ali juga menganggap kalau pergaulan yang ia jalani ketika masih normal dulu itu tidak baik. Akan tetapi, keluarga khususnya orang tua sangat mengerti dengan kondisi Ali dan memberi dukungan serta kasih sayang yang tulus meskipun Ali sudah cacat dan pernah berperilaku tidak baik. Dukungan serta kehadiran dari keluarga secara terus menerus inilah yang ikut membantu Ali untuk bisa bangkit dan berjuang menjalani hidup dengan kecacatan.

(60)

kehidupan kedua baginya dan harus menjadi hidup yang lebih baik lagi dari yang sebelumnya.

Iya mbak bener banget..mereka sangat berarti buat aku mbak..dan mereka selalu support aku bilang kalo suatu saat nanti aku pasti bisa jalan lagi..aku juga dibiasain buat mandiri, pede juga, kasih sayang yo pokoknya didukung terus aku mbak”

(123-126)

“Sekarang tu bukan kekurangan kali ya jadi ehm kayaknya aku masih jadi lebih akrab dengan yang diatas soalnya aku kan ngerasa aku jadi orang yang terpilih”(90-92)

“Ya dengan aku kecelakaan seperti itu aku masih bisa hidup. Ya..kehidupan yang kedua harus lebih baik dari kehidupan yang pertama”(92-94)

Ali juga semakin memahami arti dari pertemanan yang tulus ketika teman-teman mulai menjauhinya.

“Ehm kalo dari pergaulan yo aku sama temen-temen yang normal emang jauh gak deket gak sedeket dulu lah waktu dulu masih bisa jalan misalnya mau pergi kemana aja aku kesana aku ketempat temen kalo sekarang aku kayak gini mana ada temen yang mau deket sama aku..sekarang kan temen kayaknya udah jauh..yo dulu sih sempet beberapa ada yang nengok tapi bergulirnya waktu tu mesti semuanya pada ilang”(66-70)

Ali tidak hanya dijauhi oleh teman-temannya, ia juga ditinggalkan oleh kekasih yang dicintainya.

(61)

Ali tidak ingin menyusahkan keluarga yang sudah sangat membantu dirinya dalam beraktifitas. Hal ini membuat Ali sadar bahwa ia harus tetap berusaha agar bisa mandiri dengan terus berlatih menggunakan kursi roda serta yakin bahwa suatu saat nanti dapat berjalan kembali.

“Trus dalam diri aku aku tanemin kalo aku emang masih bisa jalan aku masih bisa berlatih emang semuanya mesti ada usahanya”(27-29)

Selain itu, respon positif yang diberikan oleh keluarga sangat berpengaruh besar pada proses penerimaan diri Ali. Keluarga selalu hadir dan memberikan perhatian serta kasih sayang yang tiada henti untuk Ali. Ali juga semakin menyadari bahwa keluarga adalah sosok yang sangat berarti baginya karena hanya keluarga yang mampu menerimanya dengan tulus.

“Keluargaku ternyata support ke aku semuanya dukung bilang kalo kamu itu masih bisa jalan”(26-27)

“Iya mbak bener banget..mereka sangat berarti buat aku mbak..dan mereka selalu support aku bilang kalo suatu saat nanti aku pasti bisa jalan lagi..aku juga dibiasain buat mandiri, pede juga, kasih sayang yo pokoknya didukung terus aku mbak”(123-126)

Di sisi lain, Ali juga memiliki keinginan untuk kembali berkuliah demi mencapai cita-citanya di bidang komputer khususnya desain grafis serta memiliki harapan untuk bisa bekerja.

(62)

kampus yang ada akses fasilitas buat penyandang cacatnya”

(149-151)

“Ya kayak PNS sekarang yang kerja jadi PNS itu kan juga ada yang cacat malah diwajibkan harus ada yang cacat buat kerja disitu biar dapet kesempatan jugalah buat yang cacatl.” (153-155)

2. Subjek 2

a) Profil

Subjek yang kedua bernama Budi (bukan nama yang sebenarnya) dan berusia 34 tahun. Perawakan Budi cukup gemuk dan berkulit sawo matang. Sebelum mengalami kecelakaan yaitu delapan tahun yang lalu ia bekerja di sebuah hotel di Semarang sebagai seorang koki. Budi tinggal di Semarang bersama dengan ibunya. Budi sendiri adalah anak keempat dari empat bersaudara dan ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil. Budi mengalami kecelakaan lalu lintas yang diakibatkan oleh kesalahannya sendiri yaitu kurang beristirahat setelah lembur bekerja. Kecelakaan tersebut membuat Budi mengalami kelumpuhan dari dada kebawah . Budi juga mengalami gegar otak yang berdampak pada kemampuannya dalam berbicara. Kecacatan Budi termasuk parapleghia dengan tingkat keparahannya sebesar 75%, lumpuh dari dada hingga kaki.

(63)

terbuka mau menceritakan pengalamannya. Walaupun dari percakapan yang dilakukan seringkali subjek mengulangi perkataannya dan sulit menghentikan pembicaraan. Tetapi subjek sudah menjelaskan hal tersebut kepada peneliti sebelumnya. Meskipun begitu secara keseluruhan proses wawancara dapat berjalan dengan lancar.

b) Struktur Dasar Pengalaman

Budi sebelum mengalami kecelakaan adalah seorang anak yang baik dan penurut terhadap ibunya tetapi juga memiliki kebiasaan yang buruk yaitu suka minum minuman keras.

“Dikatakan anaknya penurut iya jadi sekolah pun lancar gak pernah yah pokoknya lancar-lancar, gak pernah bikin masalah”(120-121)

“Saya cuma punya kebiasaan yang jelek aja ya ini jujur-jujuran ya saya suka minum kalo dulu minum cuma sebagai kalo lagi merayakan apa gitu tapi kebelakang udah mulai istilahnya udah alchoholic”(60-62)

Budi juga dekat dengan ibunya.

“Ya jadi kalo ibu sih dukung ya jadi karna saya deket sama ibu”(118-119)

Menurut Budi perjalanan hidupnya sejak kecil sampai ia bekerja sangat lancar dan indah.

(64)

Kecacatan yang dialami sempat membuat Budi merasa down

dan ingin mengakhiri hidupnya. Akan tetapi hal itu tidak ia lakukan karena teringat dengan ibunya. Budi tidak tega dan tidak ingin membuat ibunya malu kalau anaknya mati bunuh diri.

“Kalo saya sedih down itu cuma lima menit..kalo dikasih saran sama dokter begini-begini saya downnya cuma lima menit aja”(34-35)

“Jadi yang dulu bikin saya kalo lagi down itu bukan karna saya lumpuh karna saya itu kok apa ya nyusahin ibu ya itu aja sih yang paling bikin saya...yah kalo inget ibu tu ya”(25-27)

“Ya paling yang beratnya itu aja sih ya Tuhan itu adil jadi saya dibikin lumpuh seperti ini tapi ini saya kena (memegang kepala)”(28-29)

“Ya kalo ibu yang bikin saya begini,mungkin kalo ibu saya gak ada ceritanya gak seperti ini gitu ya dulu biasalah mbak waktu masih baru-baru gitu kan kalo pikirannya pendek bisa ngelakuin yang nggak-nggak tapi saya pikiran pendek tetep ada ya cuma saya gini kalo saya mati saya mati dengan cara tidak wajar bukannya saya takut masuk neraka, itu kan resiko saya tapi kasian ibu saya nanti malu masak anaknya mati bunuh diri? Jadi saya yang menguatkan cuma si ibu ya paling itu cuman dua bulan”(145-150)

Awalnya Budi menganggap kecacatan itu adalah hukuman untuknya lalu memutuskan untuk menemui seorang habib sementara habib tersebut mengatakan bahwa kecacatan yang ia alami adalah sebuah karunia karena diselamatkan dari hal yang buruk. Budi mulai memikirkan anggapan habib tersebut tentang karunia bagi dirinya sendiri.

“Ya aku mensyukurinya gitu jadi ya aku dibikin kayak gini untuk tujuan yang baik..aku jadi dijauhkan dari dia kebiasaan buat minum alkohol juga hilang”(230-231)

(65)

emang yang terbaik jadi ya gak papalah kalo buat kebaikan aku dibikin kayak gini tidak sampai ya aku jadi anak durhaka”(236-238)

“Yah itu juga diselamatkan dari yang diatas ya itu hikmahnya”(241-242)

“Nah saya dari situ sudah berbesar hati kalo ternyata ini karunia”(251)

Hingga akhirnya Budi menyesal karena perubahan kondisi fisik yang ia anggap sebagai hukuman ternyata menyelamatkan dirinya dari kebiasaan yang buruk dan tidak menjadi anak yang durhaka kepada ibunya.

“Nah saya dari situ sudah berbesar hati kalo ternyata ini karunia dan ternyata asumsi saya tu salah ada prasangka buruk kalo ini adalah hukuman..tapi berprasangka buruk itu pun saya gak nyesel juga cuman ya sudahlah ini emang hukumanku dan aku bisa terima”(251-254)

“Tapi ya aku sadar yah ya mungkin ini memang salahku ini emang yang terbaik jadi ya gak papalah kalo buat kebaikan aku dibikin kayak gini tidak sampai ya aku jadi anak durhaka”(236-238)

Budi juga disadarkan untuk kembali ke jalan yang benar dan rajin beribadah.

“Dulu yang gak tau jadi tau sekarang kayak dulu bapakku udah gak ada aku juga gak pernah doain...sekarang kalo aku sholat ya aku doain”(327-328)

“Nah karna kejadian ini saya disadarkan kalo orang yang udah meninggal itu sebenernya masih peduli dan masih ada hubunganlah..nah jadinya saat ini aku bisa kirim doa buat bapak”(332-334)

(66)

Dalam menjalani kehidupannya dengan kondisi yang cacat, Budi tidak menyerah dengan kecacatannya yang seharusnya membuat ia berada di tempat tidur saja. Subjek pun berusaha untuk menjadi seseorang yang mandiri.

“Sebenarnya dulu kalo rehabnya betul ya bisa lebih baik lagi cuman dulu karna aku agak susah mau ke fisio ke rumah sakit..kan mau kluar aja gak bisa mbak kan jam kerja nah kakaku juga kerja yang biasa bantuin gendong aku itu..nah kakakku bisa nganternya pas tanggal merah sama hari minggu aja nah mereka kan tutup akhirnya manggil yang visit..ya fisio mana gitu ntar dateng ke rumah ya tergantung juga kalo ada yang bukanya malem ntar kita dateng”(318-323)

“kan juga dulu aku cuma dibilang buat bedrest tok”(323)

Begitu pula halnya dengan cita-cita dimana Budi ingin membuka usaha sendiri demi masa depannya.

“Kalo sekarang sih udah kebayang mau buka kayak kuliner gitu kecil-kecilan kayak snek yah pokoknya udah punya angan-anganlah”(341-342)

(67)

tetap bisa melakukan banyak hal dengan kecacatannya tanpa harus mendapatkan pujian dari orang lain

“Ya kalo saya kalo liat orang jalan tu iri tuh gak, cuman kadang gini nyesel kenapa dulu pas saya bisa jalan kok gak betul,bisa duduk tu kok gak ditempat yang semestinya saya buat duduk tapi duduknya sembarangan ya jalannya ngawur..nyeselnya itu aja sih..kalo ngeliat trus iri itu gak biasa aja”(150-154)

“Ya alhamdulilah semakin kesini udah semain baik ya mbak nek menurut apa yang aku rasain karna aku gini mbak gak penting juga apa kata orang terserah pada mau ngomong apa aku gak peratiin yang penting aku begini ya aku nyaman..ya udahlah apa kata orang ya peduli setan kalo bahasa kasarnya”(300-303)

“Dari dulu sampe sekarang aku juga gak butuh pengakuan maksudnya hidup tu aku ga butuh dibilang hebat..gak penting itu cuma dapet jempol aja buat apa gak bisa buat makan juga kan nah buat membuktikan kalo aku bisa itu ya karna untukku bukan untuk membuktikan ke orang-orang kalo aku bisa ya untuk apa juga ya dari sebelum kecelakaan prinsip hidupku juga gitu..ya aku bisa karna emang aku dasarnya bisa dan memang buat aku sendiri gitu”(306-311)

Budi sangat menikmati dan mensyukuri hidupnya yang menurutnya lebih indah dengan kecacatan yang ia alami saat ini.

“Aku aja masih bisa begini aja udah sukur alhamdulilah banget mbak”(314-315)

3. Subjek 3

a) Profil

Gambar

Tabel Rangkuman Latar Belakang Subjek
TABEL INTERVIEW PROTOCOL
TABEL ANALISIS DATA SUBJEK 1
TABEL STRUKTUR DASAR SUBJEK 1
+6

Referensi

Dokumen terkait

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah

Peserta yang telah melakukan pendaftaran akan dihubungi oleh pihak panitia pada tanggal 5 Oktober 2016 untuk konfirmasi.. Formulir pendaftaran dapat diambil di sekretariat