• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Implementasi Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan Tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak Implementasi Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap Cantrang Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Nelayan Tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara kepulauan/bahari. Dua pertiga luas wilayah

negara ini terdiri dari lautan dengan total garis panjang pantainya terpanjang kedua

didunia. Wilayah pesisir Indonesia yang luas memiliki garis pantai sepanjang 81.000

km, sekitar 75% dari wilayahnya merupakan wilayah perairan sepanjang 5,8 km

termasuk zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) dan juga merupakan terbesar

didunia dengan jumlah pulau lebih kurang 17.000 buah pulau dengan luas daratan

1.922.570 km dan luas perairan 3.257.483 km.

Berbagai program/proyek sudah dirancang dan di implementasikan oleh

pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah kemiskinan, khususnya bagi

komunitas nelayan. Fakta menunjukkan bahwa program/proyek tersebut belum

berhasil kalau tidak disebut gagal.

Pemerintah telah giat mencanangkan pembangunan sektor ekonomi sebagai

titik tumpu dalam usaha mencapai kemakmuran. Kompleksitas pembangunan akibat

resesi ekonomi, terbatasnya sumber daya alam, ledakan penduduk yang berakibat

langsung pada peningkatan angkatan kerja. Hal ini juga berdampak pada masyarakat

bermukim dan berusaha didaerah pesisir

(2)

Luasnya wilayah perairan Indonesia dengan kekayaan sumber daya kelautan

dan perikanan yang besar menjadikan indonesia sebagai salah satu negara pemasok

produk perikanan terbesar dunia. Kontribusi Indonesia dalam memasok kebutuhan

produk perikanan dunia diketahui mencapai 30 persen. Peran strategis laut Indonesia

sebagai pemasok produk perikanan dunia semakin terancam akibat maraknya praktek

Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing

(http://kkp.go.id/index.php/pers/indonesia-pasok-30-persen-produk-perikanan-dunia/?print=print

Di lingkungan masyarakat pesisir, nelayan tradisional adalah kelompok yang

paling menderita, miskin dan acapkali merupakan korban proses marginalisasi akibat

kebijakan modernisasi perikanan. Secara umum, yang disebut nelayan tradisional di akses pada tanggal 16 Maret 2016 pukul 16.42 WIB).

Dilihat dari keseluruhan penduduk Indonesia, sebagian besar penduduk

miskin di Indonesia yang berada di wilayah pesisir. Secara geografis nelayan adalah

masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir , yakni kawasan

transisi antara wilayah darat dan laut. Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan

terdiri atas kategori-kategori yang membentuk suatu kesatuan sosial. Nelayan juga

memiliki suatu sistem nilai-nilai yang menjadi referensi perilaku mereka dalam

kehidupan sehari-hari. Sebagai kelompok sosial yang tinggal di daerah pesisir,

masyarakat tersebut sangat menggantungkan kelangsungan hidup dari berbagai

potensi sumberdaya kelautan. Bagi nelayan, laut bukan hanya merupakan hamparan

air yang hanya membatasi daratan, tapi lebih dari itu yakni sebagai sumber

pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sebagai bangsa bahari, seharusnya kelompok

(3)

adalah nelayan yang memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan

tangkap tradisional, modal usaha yang kecil, dan organisasi penangapan yang relatif

sederhana. Dalam kehidupan sehari-hari, nelayan tradisional lebih berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Dalam arti hasil alokasi hasil tangkapan

yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok

sehari-hari, khususnya pangan, dan bukan diinvestasikan kembali untuk pengembangan

skala usaha (Satria, 2001)

Nelayan tradisional seringkali justru mengalami proses marginalisasi dan

menjadi korban dari program pembangunan dan mordenisasi perikanan yang sifatnya

a-historis. Akibat keterbatasan teknologi yang dimiliki, ruang gerak nelayan

tradisional umumnya sangat terbatas. Mereka hanya mampu beroperasi diperairan

pantai (Inshore). Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dalam satu hari sekali melaut

(one day a fishing trip) (Kusnadi, 2002). Dengan hanya mengandalkan pada perahu

tradisional dan alat tangkap ikan yang sederhana, jelas para nelayan tradisional ini

tidak akan pernah mampu bersaing dengan nelayan modern yang didukung perangkat

yang serba canggih dan kapal besar yang memiliki daya jangkau lebih luas.

Untuk saat ini, sebagian masyarakat pesisir memang cukup banyak nelayan

modern yang telah memiliki perahu bermotor untuk alat mendukung mencari ikan

dilaut atau secara ringkas mereka dikategorikan nelayan modern. Selain itu, wilayah

tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat. Teknologi penangkapan ikan

yang modern akan cenderung memiliki jelajah sampai dilepas pantai (off shore),

sebaliknya untuk nelayan tradisional wilayah tangkapnya biasanya hanya sebatas

(4)

Nelayan tradisional ini termasuk nelayan yang miskin. Dikatakan miskin,

karena perbulan penghasilan mereka sekeluarga rata-rata hanya bekisar 250-500 ribu.

Dengan penghasilan segitu nelayan tradisional tidak dapat memenuhi kebutuhan nya

yang banyak. Dengan jumlah anak rata-rata 2-3 orang, mereka tidak akan bisa

menghidupi keluarganya secara layak.

Peralatan yang sederhana menyebabkan aktifitas melaut tergantung kepada

cuaca, bahkan pada musim badai sampai berminggu-minggu nelayan tidak dapat

turun ke laut. Kerasnya kehidupan laut khususnya apabila nelayan harus melaut

berhari-hari, tidak seimbang dengan mutu kehidupan keluarga nelayan baik

pendidikan, kesehatan maupun kehidupan fisik mereka

Mengingat alat penangkap ikan yang digunakan masih sederhana tentu saja

daya jelajah sangat terbatas sehingga kegiatan melaut sangat dipengaruhi oleh cuaca.

Ketergantungan terhadap alam membawa implikasi kepada aspek-aspek kehidupan

masyarakat. Karena tidak ada sumber matapencaharian lain, kehidupan nelayan

ditopang oleh pinjaman dari reternir dengan pembayaran hasil tangkap ikan pada

musim turun kelaut. Kenyataan menunjukkan dalam masyarakat nelayan terbentuk

hubungan patron klien antara renternir dengan nelayan. Hubungan ini berlangsung

dalam suasana pertemanan dan bersifat dua arah (Hayami dan Kikuchi, 1987)

dimana rentenir sebagai patron memberikan pinjaman kepada nelayan pada masa

paceklik dan nelayan sebagai klien memberikan kesetiaan dalam bentuk penjualan

produksi kepada patron.

Kecermatan dalam mengelola teknologi ternyata merupakan salah satu faktor

(5)

Kompetisi antar nelayan pengeksplorasi sumber daya kelautan di perairan tradisional

telah bergeser menjadi konflik bertikai. Konflik ini bermula dari menurunnya ikan

hasil tangkapan nelayan tradisional, yang dituding simultan dengan merajalelanya

operasi kapal PI yang menggunakan “pukat harimau” (trawl) untuk menjaring ikan

berbagai ukuran dan jenis pada zona tradisional berjarak kurang dari 6 mil laut dari

garis surut wilayah perairan. Konflik terbuka antar nelayan tradisional dan pukat

trawl (sejenis) telah menimbulkan pecahnya kohesi sosial internal nelayan, karena

hingga kini permusuhan antar kelompok nelayan telah menimbulkan korban manusia

dan kerugian di kedua belah pihak.

Alat tangkap cantrang dalam pengertian umum digolongkan pada kelompok

Danish Seine yang terdapat di Eropa dan beberapa di Amerika. Dilihat dari

bentuknya alat tangkap tersebut menyerupai payang tetapi ukurannya lebih kecil.

Cantrang merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan demersal

yang dilengkapi dua tali penarik yang cukup panjang yang dikaitkan pada ujung

sayap jaring. Bagian utama dari alat tangkap ini terdiri dari kantong, badan, sayap

atau kaki, mulut jaring, tali penarik (warp), pelampung dan pemberat.

Alat tangkap Trawl telah digunakan sejak tahun 1960, kemudian dimodifikasi

menjadi Cantrang sejak tahun 1980 oleh nelayan di Indonesia setelah Trawl dilarang.

Trawl dan Cantrang dikategorikan sebagai alat tangkap aktif karena mengejar

gerombolan ikan kemudian ditangkap pukat. Ukuran mata jaring (mesh size) berbeda

pada satu alat tangkap karena memiliki beberapa bagian.

Trawl dan Cantrang umumnya dioperasikan oleh kapal berkapasitas mulai 4

(6)

perairan dangkal karena pukat harus sampai pada dasar perairan, pada jalur

penangkapan IB – II (2-12 mil), dan sebagian kecil dioperasikan pada pada kolom air

yang tidak menyentuh dasar perairan. Kemudian pada Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Alat Penangkapan Ikan (API) di

Wilayah Pengelolaan Perairan (WPP) di Negara Republik Indonesia, Trawl masuk

kategori III sebagai API Pukat Hela dan Cantrang masuk kategori II sebagai API

Pukat Tarik. Kedua kategori API inilah yang dilarang dalam Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

Hasil kajian WWF-Indonesia menyebutkan bahwa hanya sekitar 18-40%

hasil tangkapan Trawl dan Cantrang yang bernilai ekonomis dan dapat dikonsumsi,

60-82% adalah tangkapan sampingan (bycatch) atau tidak dimanfaatkan (discard),

sehingga sebagian besar hasil tangkapan tersebut dibuang ke laut dalam keadaan

mati. Tingginya hasil tangkapan bycatch dan discard karena ukuran ikan dan udang

yang masih kecil, serta juvenil biota lainnya atau tidak memiliki nilai ekonomis, serta

dibuang dalam keadaan mati atau hampir mati, menimbulkan dua dampak penting.

Ada dua dampak tersebut, yaitu perkembangbiakan biota perairan terganggu dan

kacaunya data perikanan.

Hasil tangkapan Trawl dan Cantrang tidak selektif dengan komposisi hasil

tangkapan yang menangkap semua ukuran ikan, udang, kepiting, serta biota lainnya,

menyebabkan biota-biota yang belum matang gonad dan memijah tidak dapat

berkembang biak menghasilan individu baru. Ikan, udang, kepiting, dan biota

perairan lainnya umumnya dapat menghasilkan ratusan, ribuan, sampai ratusan ribu

(7)

kecil atau belum memijah, maka kita mengorbankan ratusan ribu sampai jutaan ikan,

udang, kepiting. Kondisi ini menyebabkan deplesi stok atau pengurangan stok

sumber daya ikan.

Penggunaan Trawl dan Cantrang akan merugikan nelayan kecil secara

langsung dan tidak langsung. Nelayan kecil yang menggunakan pancing rawai dasar

tidak bisa menangkap ikan selama 3 hari sampai 1 minggu jika suatu lokasi sudah

disapu oleh tarikan Trawl dan Cantrang. Jika Trawl dan Cantrang terus menerus

beroperasi pada suatu lokasi, maka nelayan kecil lainnya tidak bisa menangkap ikan

karena konflik wilayah penangkapan serta menurunnya sumber daya ikan di wilayah

tersebut dan sekitarnya. Data statistik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),

menyebut jumlah alat tangkap Trawl dan Cantrang sekitar 91.931 unit pada tahun

2011. Kemudian nelayan kecil tanpa perahu, perahu tanpa mesin, dan perahu mesin

tempel berjumlah 396.724 nelayan, yang beroperasi di jalur 0-12 mil sama dengan

wilayah penangkapan Trawl dan Cantrang. Jika dihitung dengan anggota keluarga

nelayan kecil ini seperti asumsi KNTI, maka ada sekitar 2 juta keluarga nelayan kecil

di seluruh Indonesia merasakan dampak kerugian tersebut.

Melihat dampak kerusakan sumber daya perikanan dan kerugian sebagian

besar nelayan kecil di Indonesia, seharusnya peraturan pelarangan Trawl dan

Cantrang ini sudah diterapkan sejak dulu. Karena sejak 25 tahun yang lalu pada

tahun 1980, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun

1980 Tentang Penghapusan Jaring Trawl. Konsideran peraturan Kepres ini adalah

“bahwa dalam pelaksanaan pembinaan kelestarian sumber perikanan dasar dan dalam

(8)

tradisional serta untuk menghindarkan terjadinya ketegangan-ketegangan sosial maka

perlu dilakukan penghapusan kegiatan penangkapan ikan yang menggunakan jaring

trawl”. Meskipun dalam Kepres ini tidak menyebut Cantrang, tetapi setelah tahun

1980, trawl dimodifikasi menjadi Cantrang agar tidak terjerat dengan peraturan ini

(Badrudin dkk, 2010). Kemudian pada tahun 2009, peraturan pelarangan Trawl dan

Cantrang dipertegas kembali dan dilarang beroperasi pada semua jalur penangkapan

di seluruh WPP, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

42/Permen-KP/2014 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Kelautan

dan Perikanan Nomor Per.02/Men/2011 Tentang Jalur Penangkapan Ikan dan

Penempatan Alat Penangkapan Ikan dan Alat Bantu Penangkapan Ikan di Wilayah

Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Di Kelurahan Bagan Deli merupakan salah satu daerah tempat pemukiman

penduduk yang ada di Medan, Sumatera Utara, mempunyai luas wilayah 169 Ha dan

terdapat sebanyak 15.938 orang penduduk, dimana sebanyak 1.484 orang bekerja

sebagai nelayan dan sebanyak 758 orang bekerja sebagai buruh nelayan. Disini alat

tangkapa cantrang dikenal dengan pukat layang. Adapun mata pencaharian lain yang

terdapat di kelurahan ini antara lain : pedagang, supir transportasi, karyawan swasta,

buruh harian lepas, buruh peternakan/tambak, pembantu rumah tangga, sol sepatu,

tukang jahit, tabib, imam mesjid, dan wiraswasta.

Nelayan tradisional Belawan Medan resah atas aktivitas kapal pukat harimau

atau trawl yang kerap menangkap ikan hingga ke sekitar pesisir perairan daerah itu.

Pengoperasian pukat harimau di wilayah tangkapan nelayan tradisional tersebut

bertentangan dengan peraturan pemerintah, karena alat tangkap yang digunakan

(9)

garis pantai

Metode menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap cantrang dengan

cara membabi buta, menggunakan perahu/kapal dengan jaringnya yang berkantong,

bersayap dan mempunyai mulut jaring yang lebar, panjang dan dalam. Sehingga

lebih banyak ikan yang ditangkap dalam jangka waktu singkat. Tentu ini secara

ekonomi adalah efisien dan efektif. Namun efek dari jaring cantrang itu, banyak juga

ikan-ikan kecil maupun ikan yang tidak bisa dikonsumsi ikut tertangkap. Ikan-ikan

yang tidak berguna ini biasanya mati begitu saja dan dibuang kembali ke laut.

Banyaknya praktik penangkapan ikan ilegal dan merusak biota laut

menyebabkan berkurangnya jumlah populasi ikan di wilayah Indonesia. Hal itu

berdampak pada menurunnya jumlah ikan hasil tangkapan nelayan dan daerah

penangkapan yang semakin meluas kelaut lepas. Akibat sulitnya mendapatkan ikan,

banyak nelayan tradisional yang beralih menggunakan alat tangkap yang tidak ramah

lingkungan seperti pukat dan cantrang

(http://kkp.go.id/index.php/pers/indonesia-pasok-30-persen-produk-perikanan-dunia/?print=print

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, mengeluarkan kebijakan

yang salah satunya tentang larangan penggunaan alat tangkap cantrang pada nelayan

berlaku keseluruhan pada September 2015. World Wide Fund for Nature (WWF)

juga mendukung kebijakan Menteri, khususnya dalam pelarangan penggunaan alat

tangkap cantrang untuk menangkap ikan. Sebab, alat tangkap tersebut berkontribusi

besar terhadap rusaknya habitat dan eksploitasi kekayaan laut. Pro dan kontra

membayangi setiap kebijakan yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi di akses pada tanggal 16

(10)

Pudjiastuti. Kebijakan pelarangan menggunakan cantrang sangat menyusahkan

nelayan. Mayoritas nelayan masih menggunakan cantrang karena tidak ada alternatif

lain

Bagi nelayan tradisional, yang tidak memiliki alat tangkap ikan yang modern

akan menyebabkan kehidupan mereka makin terpuruk tatkala sumber daya laut

makin langka. Nelayan tradisional ini, mereka umumnya adalah kelompok

masyarakat pesisir yang paling miskin dan tidak berdaya. Dikatakan tidak berdaya

karena mereka rawan menjadi korban eksploitasi para tengkulak.

Kondisi ekonomi keluarga nelayan tradisional seringkali hidup serba

pas-pasan, relatif kekurangan atau bahkan sangat kekurangan. Dengan kondisi musim

ramai ikan yang hanya sekitar tiga bulan dalam setahun, memang suling berharap

keluarga nelayan tradisional bisa memperoleh penghasilan rutin yang memadai,

apalagi menabung. Nelayan tradisional disini penghasilan mereka pas-pasan karena

hasil tangkapan ikan setiap harinya memang sedikit atau bahkan sama sekali kosong

saat musin paceklik ikan tiba.

Bagi warga masyarakat disini seperti keluarga nelayan tradisional, tekanan

krisis memang terasa makin berat tatkala jumlah ikan yang ada di perairan sekitar

mereka makin lama makin langka semenjak ada nya alat tangkap cantrang yang di

gunakan oleh nelayan modern. Nelayan tradisional yang hanya mengandalkan

teknologi sederhana, sebagian besar mengaku hasil tangkapan mereka makin lama

makin menurun.

Ratusan nelayan yang tergabung dalam Aliansi Nelayan Tradisional Pantai

(11)

tahun 2015, juga meminta kepada aparat keamanan laut agar benar-benar

melaksanakan peraturan tersebut. Karena selama ini, nelayan kecil di Belawan dari

tahun ke tahun terus jadi korban pembiaran bagi kapal-kapal ikan pengusaha dengan

alat tangkap mirip trawl

14.12 WIB).

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mengangkat permasalahan

ini sebagai objek penelitian dengan judul “Dampak Implementasi Kebijakan

(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian yang telah diuraikan maka

masalah penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Apakah Peraturan Menteri tentang Larangan Penggunaan Alat Tangkap

Cantrang dilaksanakan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan

Belawan?

2. Apa dampak dari larangan penggunaan alat tangkap cantrang terhadap

sosial ekonomi keluarga nelayan tradisional?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui implementasi Kebijakan Larangan Penggunaan Alat Tangkap

Cantrang.

2. Mengetahui dampak-dampak dalam implementasi kebijakan larangan

penggunaan alat tangkap cantrang terhadap sosial ekonomi keluarga nelayan

tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan.

1.3.2 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, dapat memberikan sumbangan positif terhadap khasanah

keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial, mengenai dampak

implementasi kebijakan larangan penggunaan cantrang bagi nelayan

tradisional di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan.

2. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan dan

(13)

kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh menteri tentang larangan

penggunaan alat tangkap cantrang terhadap keluarga nelayan tradisional.

3. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih

pemikiran bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kebijakan ini agar memberi

(14)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai

berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan

dan manfaat, serta sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan

objek yang diteliti, kerangka pemikiran, dan definisi konsep.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran lokasi penelitian yang

berhubungan dengan objek yang diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil

penelitian beserta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang bermanfaat sehubungan

Referensi

Dokumen terkait

implementasi algoritma collision detection pada game free run, game yang berbasis system oprasi windows ini di buat dengan aplikasi unreal engine 4, dalam game

a. Bidang Keilmuan, Semua program terlaksana dengan baik oleh mahasiswa sesuai dengan program studinya masing-masing. Sebagaian besar program bidang keilmuan

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian RCT yang dilakukan oleh Sinha di India yang menemukan bahwa secara umum rate kegagalan terapi ARV dua kali lebih cepat

Harvested Area, Production and Productivity of Peanuts Production by Village in Semin District 2011 Nama Desa Villages Luas Panen Harvested area (Ha) Produksi Production

satu tindakan keperawatan di poli hamil (sejak ibu melakukan ANC) sehingga ibu dapat lebih mentoleransi nyeri dan kecemasannya saat inpartu kemudian penelitian

Pengum&ulan data yang dilakukan untuk menentukan ebab da!i dikl$kai yang nantinya membantu dalam membuat !en#ana tindakan te!"ada& klien.. Klien tam&ak

Kehidupan di dunia memang demikian selalu mengalami perubahan. Kadang umat Katholik berpikir bahwa ada hal-hal yang tidak mungkin terjadi, justru semua itu mungkin akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem sistem olah tanah minimum berpengaruh nyata meningkatkan tinggi tanaman, bobot brangkasan panen dan C terangkut pada bonggol jagung,