• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lingkungan Fisik dan Perilaku Masyarakat terhadap Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas Helvetia Kota Medan Tahun 2013"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

nasional karena upaya memajukan bangsa tidak akan efektif apabila tidak memiliki

dasar yang kuat, yang salah satunya adalah derajat kesehatan masyarakat yang tinggi.

Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan

kebijakan pembangunnan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan

melibatkan semua faktor terkait yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat

(Depkes RI, 2007).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang

disebabkan oleh virus dengue yang penyebarannya paling cepat di dunia, ditularkan

oleh nyamuk Aedes aegypti, meskipun nyamuk Aedes albopictus dapat menularkan

DBD tetapi peranannya dalam penyebaran penyakit sangat kecil, karena biasanya

hidup dikebun-kebun. Penyakit ini ditandai dengan demam tinggi mendadak, tanpa

sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari dengan manifestasi

perdarahan, uji tourniquet positif, trombositopenia, hematokrit ≥ 20% dan disertai

dengan atau tanpa pembesaran hati (Depkes RI, 2005a).

Menurut WHO dalam Velayudhan (2013) bagian Departemen Pengendalian

Tropis dibawah WHO, kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) pertama kali

(2)

hingga ke 125 negara. Pada tahun 2012 DBD tercatat sebagai penyakit akibat virus

yang penyebarannya paling cepat dan berpotensi epidemi diseluruh dunia, bahkan

dilaporkan mengalami peningkatan kasus hingga 30 kali lipat dari kondisi 50 tahun

yang lalu. WHO mengestimasi ada sekitar 50-100 juta kasus DBD setiap tahun di

seluruh dunia, saat ini dilaporkan terjadi 2 juta kasus DBD setiap tahunnya di 100

negara terutama di benua Asia Tenggara, Pasifik Barat, Afrika, dan Amerika Latin

yang dinyatakan sebagai negara endemis DBD, serta menyebabkan 5.000 – 6.000

kasus kematian.

Penyakit DBD di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat

karena masih banyak daerah yang endemik dan pertamakali ditemukan di Surabaya

dan DKI Jakarta pada tahun 1968 yang kemudian menyebar ke seluruh propinsi di

Indonesia. Penyakit DBD endemis di sebagian kabupaten/kota di Indonesia tahun

2001 (Sumatera Utara, Riau, Jawa, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Irian

Jaya) dengan Incidence Rate (IR) DBD >10/100.000 penduduk (Soegijanto, 2008).

Setiap tahun terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD di beberapa daerah yang

biasanya terjadi pada musim penghujan. Jumlah penderita cenderung meningkat,

penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan

umur yang lebih tua. (Depkes RI, 2005a).

Menurut Dirjen P2PL Kementerian Kesehatan RI Aditama, T, Y., dalam

Ferdian (2013) Indonesia menempati posisi teratas sebagai negara yang memiliki

kasus DBD tertinggi di ASEAN. Pada tahun 2010 di seluruh Indonesia kasus DBD

(3)

jumlah kematian sebesar 1.358 (CFR; 0,87%) (Kemenkes, 2010). Di tahun 2011

jumlah kasus menurun hingga 65.432 (IR: 27,56/100.000 penduduk) dengan 595

kematian (CFR: 0.91%) (Kemenkes, 2011), sedangkan pada tahun 2012 tercatat

sebanyak 90.425 kasus (IR 36/100.000 penduduk). DBD termasuk kategori emerging

disease atau penyakit yang sering terjadi di masyarakat terutama di daerah tropis seperti ASEAN sebagai kawasan yang sangat rentan, terkait masih tingginya kasus

DBD maka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Vietnam pada tanggal 30

Oktober 2010 sepakat menjadikan tanggal 15 Juni sebagai “ASEAN Dengue Day”

yang bertujuan untuk menciptakan wadah komprehensif dalam kolaborasi

pemberantasan DBD dimana target global yang dicanangkan untuk mengurangi

kematian akibat DBD hingga 50% dan mengurangi penularan DBD hingga 25% di

Tahun 2020.

Menurut Sitorus, R (2009) penyebaran DBD yang cukup luas di Indonesia dan

beberapa daerah di Propinsi Sumatera Utara termasuk Kota Medan, dikarenakan

adanya faktor-faktor yang mendukung terjadinya penyebaran, seperti kondisi

geografis atau ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, dan

musim; juga kondisi demografis, seperti kepadatan penduduk, mobilitas masyarakat

yang cukup tinggi, serta perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.

Kasus DBD di Propinsi Sumatera Utara tiap tahun terjadi, dimana jumlah

penderita dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, menurut laporan Bidang

Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara

(4)

Propinsi Sumatera Utara. Faktornya, mungkin jumlah penduduknya padat atau lebih

besar dibandingkan dengan 33 kabupaten/kota se-Sumut. Tahun 2010 kasus DBD di

Kota Medan IR sebesar 145,7/100.000 penduduk dan CFR 0,3%, Kota Pematang

Siantar dengan IR 351,7/100.000 penduduk dengan CFR 1,2%, sedangkan Kota

Binjai IR 238,9/100.000 penduduk dan 1,2% CFR serta Kota Tebing Tinggi IR

sebesar 235,3/100.000 penduduk dan CFR 2,3%. Sedangkan tahun 2011 kasus di

Kota Medan dengan IR sebesar 113,7/100.000 penduduk dan CFR 1%, kemudian

Kota Pematang Siantar IR sebesar 226,2/100.000 penduduk dan Kota Tebing Tinggi

IR sebesar 210/100.000 penduduk dengan CFR 1,7% dan tahun 2012 kasus tertinggi

masih diduduki Kota Pematang Siantar IR sebesar 260/100.000 penduduk dengan

CFR 0,3% kemudian disusul Kota Tebing Tinggi IR 106/100.000 penduduk dan CFR

1,9% dan Kota Medan IR sebesar 56,7/100.000 penduduk dan CFR 0,5% dan di

tahun 2013 kasusDBD di Kota Medan masih diatas Indikator nasional yaitu

IR sebesar 60/100.000 penduduk dan CFR 0,7% kemudian Kota Sibolga IR sebesar

289/100.000. Sebanyak 10 daerah yang tidak terlapor, bebas untuk kasus DBD seperti

Gunung Sitoli

Phakpak Barat, Humbang Hasundutan (Humbahas) dan Padang Lawas serta Padang

Lawas Utara (Dinkes Propsu, 2013).

Kota Medan sebagai ibu kota Propinsi Sumatera Utara yang memiliki

geografis yang unik, ramping ditengah dan membesar disisi Utara dan disisi Selatan.

Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 Km2 terdiri dari 21 Kecamatan dan 151

(5)

Kota Medan bagian Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), angka

insidensi kasus DBD di Kota Medan setiap tahunnya berfluktuasi : tahun 2009

dengan IR sebesar 93,3/100.000 penduduk dan CFR 0,9%, mengalami peningkatan

kasus di tahun 2010 IR mencapai 145,7/100.000 penduduk dan CFR mengalami

penurunan sebesar 0.3%, sedangkan tahun 2011 mengalami penurunan dengan IR

sebesar 113,7/100.000 penduduk dan CFR meningkat sebesar 0,9%, Tahun 2012

kasus DBD mengalami penurunan dengan IR 56,7/100.000 dan CFR sebesar 0,5%

dan Tahun 2013 mengalami peningkatan kasus dengan IR 60/100.000 dan CFR

sebesar 0,7%. Angka kasus DBD sampai tahun 2013 masih diatas target Indikator

Nasional yang diharapkan yaitu IR DBD <50/100.000 penduduk dan CFR <1%.

(Dinkes Kota Medan, 2013).

Kecamatan Helvetia merupakan salah satu kecamatan di Kota Medan yang

merupakan daerah endemis DBD dengan kasus terbanyak tiap tahunnya, di Tahun

2010 dengan IR sebesar 189/100.000 penduduk, di Tahun 2011 dengan IR sebesar

178/100.000 penduduk, kemudian Tahun 2012 dengan IR 94/100.000 penduduk dan

di Tahun 2013 IR sebesar 61,2/100.000 orang. Kasus DBD di Kecamatan Helvetia

tiap tahun mengalami penurunan namun IR masih diatas indikator nasional yang

diharapkan yaitu <50/100.000 penduduk dan meninggal 2 orang (CFR 2%) dan

(Dinkes Kota Medan, 2013).

Puskesmas Helvetia merupakan Puskesmas yang ada di Kecamatan Helvetia

yang merupakan daerah endemis DBD, berdasarkan data P2P Puskesmas Helvetia,

(6)

IR 61,2/100.000 penduduk yaitu di Kelurahan Helvetia sebanyak 12 kasus, Kelurahan

Helvetia Tengah 13 kasus, Kelurahan Helvetia Timur 21 kasus, Kelurahan Sei

Sikambing C sebanyak 2 orang, Kelurahan Dwikora sebanyak 20 orang, Kelurahan

Tanjung Gusta sebesar 17 kasus dan Kelurahan Cinta Dame sebanyak 2 orang. Salah

satu indikator yang juga perlu diperhatikan sebagai daerah endemis DBD adalah

rumah/bangunan yang bebas jentik nyamuk Aedes yang diharapkan dapat mencapai

>95%. Tahun 2011 rmh/bangunan bebas jentik di Kecamatan Helvetia 83,8% dan

mengalami penurunan pada tahun 2012 yaitu sebesar 80,4% (P2P Puskesmas

Helvetia, 2013).

Banyak faktor yang memengaruhi kejadian Demam Berdarah Dengue antara

lain faktor hospes (host), lingkungan (environtmen) dan virus itu sendiri. Faktor

hospes yaitu kerentanan dan respon imun sedangkan faktor lingkungan yaitu (kondisi

geografis, curah hujan, angin, kelembaban, musim), kondisi demografis (kepadatan,

mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk) (Soegijanto, 2008).

Perilaku masyarakat tentang pencegahan pada umumnya masih kurang.

Menurut pengertian dasar, perilaku masyarakat bisa dijelaskan merupakan suatu

respon seseorang terhadap stimulus atau rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi

manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap), maupun bersikap aktif

(tindakan yang nyata atau practice) (Notoatmodjo, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Fathi, dkk. (2005) di Kota Mataram,

(7)

terhadap perilaku seseorang termasuk kemampuan seseorang dalam menerima

informasi dan semakin luas pengetahuan mereka dalam mencegah terjadinya risiko

penyebaran penyakit DBD. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Agung

dalam Amiruddin (2007), bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku

dengan kejadian DBD.

Perpindahan orang-orang di perkotaan yang viraemik merupakan cara

penyebaran virus dengue yang paling penting dibanding perpindahan nyamuk Aedes

aegypti. Tempat-tempat dimana orang berkumpul selama siang hari mungkin menjadi bagian penting dari penularan virus dengue. Sebagai contoh, anak-anak di sekolah

yang digigit oleh nyamuk terinfeksi dapat membawa virus ke rumah atau tempat

lainnya di daerahnya. Virus dengue juga dapat menyebar dalam lingkungan dimana

terdapat banyak orang, seperti rumah sakit dimana pengunjung, pasien dan staf dapat

digigit oleh Aedes aegypti.Penularan virus, tentu saja makin meningkat dengan

makin besarnya populasi manusia (WHO, 2005).

Tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti adalah tempat-tempat

penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana di

dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya tidak melebihi jarak

500 meter dari rumah (Depkes RI, 2005c). Dalam penelitian Amrul (2007) di Bandar

Lampung tempat-tempat penampung air berhubungan dengan kejadian DBD dengan

OR=2,79. Nyamuk ini biasanya tidak dapat berkembangbiak di genangan air yang

(8)

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan angka insidens kasus

DBD sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Dalam penelitian Duma dan Rina

(2007) di Kendari, mengemukakan keadaan lingkungan rumah yang tidak sehat

mempunyai risiko terserang penyakit DBD dari pada lingkungan rumah yang sehat.

Aedes aegypti menggigit manusia lebih senang siang hari khususnya di tempat yang agak gelap. Malam hari nyamuk Aedes aegypti lebih senang bersembunyi di sela-sela

pakaian yang tergantung atau gorden jendela maupun pintu, terutama di ruang gelap

atau lembap. Nyamuk Aedes aegypti tidak senang di tempat yang jorok seperti air

kotor, air got dan berlumpur. Bertelur serta pembiakkannya di atas permukaan air

pada dinding yang bersifat vertikal dan terlindung pengaruh matahari langsung.

Artinya lingkungan dalam rumah sangat disenangi nyamuk Aedes aegypti sehingga

dapat menimbulkan terjangkit penyakit DBD (Sitorus, R. 2009).

Pemberantasan terhadap jentik Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD dilakukan dengan cara Fisik yaitu

melakukan kegiatan 3M (menguras, menutup dan mengubur), Kimia yaitu dengan

menggunakan insektisida dan Biologi yaitu kegiatan memelihara ikan pemakan jentik

(Depkes RI, 2005c). Pihak pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Medan

telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit DBD

dengan melibatkan masyarakat melalui kegiatan abatisasi, fogging maupun kegiatan

Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dengan

tujuan untuk menekan angkan kejadian penyakit DBD serta mengurangi kepadatan

(9)

menjadi masalah kesehatan masyarakat di kota Medan khususnya di Kecamatan

Helvetia (Dinkes Kota Medan, 2013).

Menurut keterangan dari petugas P2P Program DBD telah sering dilakukan

pencegahan dan pemberantasan dalam penanganan DBD namun hingga saat ini masih

ditemukan kasus yang tinggi bahkan meninggal, berdasarkan hasil survei jentik yang

dilakukan petugas Puskesmas ke salah satu lokasi kelurahan pada bulan November

2013 dari rumah ke rumah masih ditemukan jentik di dalam dan luar rumah, seperti

bak mandi, ember dan pot bunga, dispenser serta drum yang ditemukan dalam rumah.

Namun keberadaan jentik tersebut lebih banyak ditemukan di luar rumah terutama di

kontainer seperti ban bekas, wadah aqua gelas dan tumpukan sampah plastik

(P2P Puskesmas Helvetia, 2013).

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan memperhatikan kondisi

di wilayah kerja Puskesmas Helvetia yang merupakan salah satu daerah endemis

DBD yang setiap tahun terjadi, maka perlu dilakukan penelitian yang mampu

menjelaskan pengaruh lingkungan fisik dan perilaku masyarakat terhadap kejadian

DBD di Kecamatan Helvetia, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar intervensi

program pemberantasan DBD di Kota Medan khususnya di wilayah kerja Puskesmas

(10)

1.2. Permasalahan

Berdasarkan permasalahan kasus DBD yang telah diuraikan diatas dapat

dilihat bahwa angka kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Helvetia masih

tinggi dan melebihi indikator nasional yang diharapkan yaitu IR <50/100.000

penduduk sebesar 61,2/100.000 penduduk, demikian dengan kasus kematian DBD,

melebihi indikator CFR <1% yaitu sebesar 2%. Melihat angka kejadian DBD yang

masih tinggi di wilayah kerja Puskesmas Helvetia tersebut merupakan suatu

fenomena yang harus diketahui secara pasti tentang berbagai faktor risiko yang

memengaruhi kejadian DBD diantaranya kondisi lingkungan fisik & perilaku

masyarakat.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh lingkungan fisik dan

perilaku masyarakat terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja

Puskesmas Helvetia Kota Medan pada Tahun 2013.

1.4. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah Ada pengaruh lingkungan fisik dan perilaku

masyarakat terhadap kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas

(11)

1.5. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Medan dan Puskesmas Helvetia sebagai bahan

masukan dalam meningkatkan penyuluhan komunikasi, informasi dan edukasi

(KIE) dan juga sebagai bahan referensi dalam penyusunan program pencegahan

dan pemberantasan DBD.

2. Bagi masyarakat, merupakan informasi kepada masyarakat mengenai

pentingnya upaya pencegahan DBD terhadap lingkungan di tempat tinggal

mereka.

3. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian diharapkan dapat menambah

sumber kepustakaan dan sebagai data dasar dalam melakukan penelitian sejenis

Referensi

Dokumen terkait

DIEDIT ULANG BAP -S/M PROV.JABAR SEPTEMBER 2007 3 Pelaksanaan Evaluasi Diri Oleh Sekolah/Madrasah Pengajuan Akreditasi Oleh Sekolah/Madrasah MEKANISME PELAKSANAAN

Pelelangan Sederhana di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Bandar Lampung dinyatakan GAGAL , dengan alasan peserta yang memasukan Dokumen Penawaran tidak ada yang lulus

“Inilah Lima Kudapan Khas Orang Jepang di Musim Panas”.Japanese Station Portal Berita Jepang.10 Mei 2014.5 Juni. “Oyatsu Cemilan Sore

Hasil sampel menunjukkan bahwa tidak ada indikasi manajemen laba sebelum merger dan akuisisi yang dilakukan dengan income increasing accruals.. Selanjutnya kinerja keuangan

Berdasarkan analisis data dalam kegiatan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan Silabus dan SAP pada mata kuliah praktik pencabutan gigi tetap pada mahasiswa Poltekkes

Pemotongan Ternak Sapi Perah di Luar RPH (Tercatat) Provinsi Kalimantan Timur

Aplikasi pembelajaran online pada modul interaktif graf ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mempelajari dan memahami pengetahuan tentang materi graf, oleh siapa saja,

Taksiran Pemotongan Ternak Sapi Perah Provinsi Kalimantan Timur