• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Pidie Dan Pidie Jaya Provinsi Aceh Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta Di Kabupaten Pidie Dan Pidie Jaya Provinsi Aceh Tahun 2015"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

xvi BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kusta

2.1.1. Pengertian Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae (M. leprae) yang bersifat tahan asam dan gram positif. M. leprae merupakan

parasit obligat intrasellular dan terutama berada pada makrofag (Remme, et al, 2006).

Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya adalah M.

leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu

kulit dan ukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain

kecuali susunan saraf pusat (Kosasih, dkk, 2013).

2.1.2. Etiologi

Rees (1994) dalam Djuanda, dkk (1997), Mycobacterium leprae atau basil

Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang ditemukan oleh sarjana dari

Norwegia GH Armauer Hansen pada tahun 1873. Basil ini bersifat tahan asam,

berbentuk batang, dengan ukuran 1-8 mikron (µ), biasanya berkelompok dan ada

yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan

tidak dapat dikultur dalam media buatan. Basil ini juga dapat menyebabkan infeksi

(2)

xvi

Susanto, dkk (2013), M. Leprae mempunyai ukuran panjang 2-7 mikrometer

dan lebar 0,3-0,4 mikrometer. M. Leprae mempunyai dinding sel yang banyak

mengandung lemak dan lapisan lilin, sehingga mengakibatkan bakteri ini tahan asam.

Penentuan M. Leprae tahan asam atau tidak, dengan cara pewarnaan teknik

iehl-Neelsen dengan menggunakan larotan Karbol Fuhsi, asam alkohol, dan Metilen Blue.

2.1.3. Patogenesis

Meskipun belum pasti cara masuk M. Leprae kedalam tubuh, beberapa

penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang lecet

pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan pada mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae

terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, pengaruh kemampuan

hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, sifat

basal yang avirulen dan nontoksis (Djuanda, 1997).

Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber

penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada

telapak kaki tikus yang tidak mempunyai kelenjar tymus (Athymic nude mouse).

Kuman kusta mempunyai masa inkubasi selama 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga

bertahun-tahun. Penularan terjadi apabila M. Leprae yang utuh (hidup) keluar dari

tubuh penderita dan masuk kedalam tubuh orang lain. Belum diketahui secara pasti

bagaimana cara penularan penyakit kusta. Secara teoritis penularan ini dapat terjadi

dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Penderita yang sudah minum obat

sesuai regimen WHO tidak menjadi sumber penularan kepada orang lain (Depkes RI,

2007).

(3)

xvi

M. Leprae sebenarnya mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah,

sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan

gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat

infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang

berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh

yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit kusta dapat

disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat

reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya (Djuanda, 2013).

Teori-teori tentang mekanisme penularan M. Leprae pada tubuh manusia yang

dikemukakan oleh Sehgal (2006) diantaranya adalah melalui kontak langsung dengan

penderita kusta, sekret pernapasan yang terinfeksi, melalui bersin, dan juga dapat

ditularkan melalui tanah yang terinfeksi M. Leprae. Perkembangan penyakit kusta

pada tubuh seseorang sangat bergantung pada tinggi rendahnya sistem imun seluler

(cellular mediated immune) seseorang. Penyakit kusta akan menjadi tuberkolid ketika

seseorang mempunyai imunitas yang tinggi.

2.1.4. Diagnosis dan Tanda Klinis Kusta 1. Diagnosa

Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebebkan oleh kuman

kusta (mycobacterium leprae) yang menyerang saraf tepi, kulit dan jaringan tubuh

lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi tersebut maka untuk

mendiagnosa kusta dicari kelainan – kelainan yang berhubungan dengan gangguan

(4)

xvi

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang memerlukan waktu cukup lama

untuk menularkannya kepada orang lain. Jadi, penyakit kusta atau penderita kusta

tidak perlu ditakuti, diasingkan, atau dikucilkan. Penyakit menyerang kulit dan saraf,

tetapi bisa timbul di seluruh badan, lengan, paha, kaki, dan lain-lain. Bila penderita

kusta ditemukan tanda-tandanya sedini mungkin, segera obati dengan teratur agar

dapat sembuh dengan baik dan tidak timbul cacat. Penyebab kusta adalah kuman

kusta. Kuman kusta tidak dapat dilihat dengan mata biasa, tetapi harus menggunakan

mikroskop (Irianto, 2012).

Depkes RI (2007), untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari

tanda-tanda utama atau cardinal sign, yaitu:

2. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi)

atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anasthesi).

3. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi

(neuritis perifer). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.

1. Adanya bakteri tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).

Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari

(5)

xvi

dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat

dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua

perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap

sebagai penderita yang dicurigai (suspek) (Depkes RI, 2007).

2. Tanda Klinis Penyakit Kusta

Depkes RI (2007), penderita penyakit kusta juga memiliki tanda-tanda pada

kulit yaitu sebagai berikut:

1. Kelainan pada kulit berupa bercak kemerahan, keputihan, atau benjolan

2. Kulit mengkilap

3. Bercak yang tidak gatal

4. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut

5. Lepuh tapi tidak nyeri

Tanda-tanda pada syaraf adalah sebagai berikut:

1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka

2. Gangguan kerak pada anggota badan atau bagian muka

3. Adanya kecacatan (deformitas) pada bagian tubuh

4. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.

2.1.5. Klasifikasi Kusta

Agusni & Menaldi (2003), diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran

klinis, bakterioskopis, dan histopatologis, dan serologis. Diantara ketiganya,

diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis

(6)

xvi

Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (mitsuda) untuk mementukan

penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu. Tujuan

klasifikasi penyakit kusta adalah untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis,

komplikasi dan perencanaan operasional. Bila kuman M. Leprae masuk kedalam

tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai kerentanan orang tersebut. Bentuk

tipe klinis bergantung pada sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik

akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan

gambaran lepromatosa.

Menurut Agusni & Menaldi (2003), klasifikasi penyakit kusta terdiri dari

klasifikasi Ridley dan Jopling tahun 1962 klasifikasi madrid (klasifikasi

internasional) tahun 1953 dan klasifikasi WHO pada tahun 1981. Ridley dan Jopling

memperkenalkan istilah spektrum pada penyakit kusta yang terdiri atas berbagai tipe

atau bentuk, yaitu:

a. Tuberkuloid polar (TT), bentuk yang stabil.

b. Borderline tuberculoid (BT), bentuk yang labil

c. Mid borderline (BB), bentuk yang labil

d. Borderline lepromatous (BL), bentuk yang labil

e. Lepramatosa polar (LL), bentuk yang stabil.

Klasifikasi Internasional (Madrid 1953) terdiri dari:

a. Indeterminate (I)

b. Tuberkuloid (T)

(7)

xvi d. Lepramatosa (L)

WHO pada tahun 1982, kusta dibagi menjadi multibasiler (MB) dan

pausibasilar (PB). Yang termasuk dalam tipe multibasilar adalah tipe LL, BL dan BB

pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan

pausibasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan IB kurang dari 2+. Untuk kepentingan

pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang dimaksud dengan kusta

PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu

tipe-tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe

tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan kedalam kusta MB. Sedangkan

kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB, BL dan LL atau adapun klasifikasi

klinisnya dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.

Menurut Depkes RI (2012) pada tahun 1982 jenis klasifikasi World Health

Organization (WHO) yang dipakai oleh petugas kesehatan diseluruh Indonesia untuk

menentukan tipe penderita kusta yaitu tipe paucibacilar dan multibacilar. Pedoman

untuk menentukan penyakit kusta tersebut menurut klasifikasi World Health

Organization (WHO) yaitu:

Tabel 2.1. Pedoman Utama untuk Menentukan Klasifikasi/Tipe Penyakit Kusta Menurut WHO

Tanda Utama PB MB

Bercak kusta Jumlah 1 s/d 5 Jumlah > 5 Penebalan saraf tepi yang disertai

dengan gangguan fungsi (gangguan fungsi bisa berupa kurang/mati rasa atau kelemahan otot yang dipersarafi oleh saraf yang bersangkutan).

(8)

xvi

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

Sumber : Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta (Depkes RI, 2012)

Tabel 2.2. Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan dalam Penentuan Klasifikasi Penyakit Kusta

Kelainan Kulit dan

Hasil Pemeriksaan PB MB

1. Bercak (makula) mati rasa

a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil b. Distribusi Unilateral atau bilateral

asimetris

Bilateral simetris

c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat

d. Batas Tegas Kurang tegas

e. Kehilangan rasa pada bercak

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

f. Kehilangan kemampuan

berkeringat, rambut rontok pada bercak.

Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas, jika ada, terjadi pada yang sudah lanjut

2. Infiltrat

a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak

ada b. Membran mukosa

(hidung tersumbat, perdarahan di hidung).

Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang tidak ada

3. Ciri-ciri Central healing

(penyembuhan di tengah)

- Punched out lession (lesi bentuk seperti donat)

- Madarosis - Ginekomasti - Hidung pelana - Suara sengau

4. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada

5. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi lambat

(9)

xvi 2.1.6. Epidemiologi Kusta

2.1.6.1. Distribusi Menurut Orang (Person) a. Etnik atau suku

Dalam satu negara atau wilayah yang sama kondisi lingkungannya,

didapatkan bahwa faktor etnik memengaruhi distribusi tipe kusta. Di Myanmar

kejadian kusta lepromatosa lebih sering terjadi pada etnik Burma dibandingkan

dengan etnik India. Situasi di Malaysia juga mengindikasikan hal yang sama,

kejadian kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik China dibandingkan etnik

Melayu atau India (Depkes RI, 2012). Pada ras kulit hitam insidens bentuk

tuberkuloid lebih tinggi. Pada kulit putih lebih cenderung tipe lepromatosa (Siregar,

2005).

b. Faktor sosial ekonomi

Faktor sosial ekonomi berperan penting dalam kejadian kusta, hal ini terbukti

pada negara-negara di Eropa. Dengan adanya peningkatan sosial ekonomi, maka

kejadian kusta sangat cepat menurun bahkan hilang. Kasus kusta yang masuk dari

negara lain ternyata tidak menularkan kepada orang yang sosial ekonominya tinggi

(Depkes RI, 2012).

c. Distribusi menurut umur

Kebanyakan penelitian melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur

berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden karena pada saat

(10)

xvi

terkait pada umur saat ditemukan daripada saat timbulnya penyakit. Pada penyakit

kronik seperti kusta, angka prevalensi penyakit berdasarkan kelompok umur tidak

menggambarkan risiko kelompok umur tertentu untuk terkena penyakit. Kusta

diketahui terjadi pada semua usia berkisar antara bayi sampai usia lanjut (3 minggu

sampai lebih dari 70 tahun). Namun yang terbanyak adalah pada usia muda dan

produktif (Depkes RI, 2012). Kelompok umur terbanyak adalah 25-35 tahun,

dibawah itu jarang (Siregar, 2005).

d. Distribusi menurut jenis kelamin

Kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan. Berdasarkan laporan,

sebagian besar negara di dunia kecuali di beberapa negara di afrika menunjukkan

bahwa laki-laki lebih banyak terserang daripada perempuan. Rendahnya kejadian

kusta pada perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan dan sosial budaya.

Pada kebudayaan tertentu akses akses perempuan ke layanan kesehatan sangat

terbatas (Depkes RI, 2012).

Penelitian Selum dan Chatarina (2012) di Kabupaten Pemekasan Provinsi

Jawa Timur ditemukan data penelitian menunjukkan jumlah responden penderita

kusta yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 33 orang (66,0%) dan yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 17 orang (34,0%).

2.1.6.2. Distribusi Menurut Tempat (Place)

Jumlah kasus baru kusta di dunia pada tahun 2011 adalah sekitar 219.075

(11)

xvi

(160.132) diikuti regional Amerika (36.832), regional Afrika (12.673), dan sisanya

berada di regional lain di dunia.

Tabel 2.3. Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012 (di Luar Regional Eropa)

Regional WHO

Jumlah Kasus Baru yang Ditemukan

(Case Detection Rate)

Jumlah Kasus Kusta Terdaftar (Prevalensi)

Awal Tahun 2012 Afrika

Sumber : Depkes RI (2012)

Sementara itu di Regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta bervariasi

berdasarkan penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat dalam tabel di

bawah ini.

Tabel 2.4. Situasi Kusta Menurut Regional Asia Tenggara pada Awal Tahun 2012

Negara

Jumlah Kasus Baru yang Ditemukan

(Case Detection Rate)

Jumlah Kasus Kusta Terdaftar (Prevalensi)

Awal Tahun 2012 Bangladesh

Data tidak tersedia 127.295

(12)

xvi Sumber : Depkes RI (2012)

Penyakit kusta masih menjadi masalah di Indonesia. Berdasarkan laporan total

kasus baru penyakit kusta tahun 2011 adalah 20,023 (rate: 8,3/100.000). Provinsi

Aceh menempati urutan ke sebelas dari 22 provinsi dengan CDR > 10/100.000 atau

kasus baru > 1000, jumlah penderita baru 592 (13,0%) (Depkes RI, 2012).

2.1.6.3. Distribusi Menurut Waktu (Time)

Penemuan kasus baru pada 17 negara yang melaporkan 1000 atau lebih kasus

baru selama tahun 2011. Tujuh belas negara ini mempunyai kontribusi 94% dari

seluruh kasus baru di dunia. Secara global terjadi penurunan penemuan kasus baru,

akan tetapi beberapa negara seperti India, Indonesia, Myanmar, Srilanka

menunjukkan peningkatan deteksi kasus baru.

Tabel 2.5. Penemuan Kasus Baru pada 17 Negara yang Melaporkan > 1000 Kasus Selama Tahun 2011 Dibandingkan dengan Tahun 2004

(13)

xvi Sumber : Depkes RI (2012)

Dalam dua belas tahun terakhir (2000-2011), situasi penyakit kusta di

Indonesia tidak mengalami perubahan. hal ini ditunjukkan dari data pada tabel berikut

Tabel 2.6. Tren Kasus Kusta di Indonesia Tahun 2000-2011

Tahun Kasus Sumber : Depkes RI (2012)

2.1.7. Determinan Kusta

A. Faktor Agent (Penyebab Penyakit Kusta)

Penyebab penyakit kusta M. Leprae untuk pertama kali ditemukan oleh G.H.

Armauer Hansen pada tahun 1873. M. Leprae hidup intaseluler dan mempunyai

afinitas yang besar pada sel saraf (schwan cell) dan sel dari sistem Retikula

Endotelial. Waktu pembelahannya sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh

manusia (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9

hari. Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus pada suhu 27°-30° C

(14)

xvi B. Faktor Host

Hanya sedikit orang yang akan terjangkit kusta setelah kontak dengan

penderita, hal ini disebabkan karena adanya imunitas. M. Leprae termasuk kuman

obligat intraseluler dan sistem kekebelan yang efektif adalah sistem kekebalan

seluler. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta faktor infeksi

dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta. Dari studi

keluarga kembar didapatkan bahwa genetik memengaruhi tipe penyakit yang

berkembang setelah infeksi. Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap kusta,

hanya sebagian kecil yang dapat ditulari (5%). Dari 5% yang tertular tersebut, sekitar

70% dapat sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit (Depkes RI, 2007).

C. Faktor Environment (Lingkungan)

Penyakit kusta merupakan manifestasi kemiskinan karena kenyataannya

sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah. Penyakit kusta

apabila tidak ditangani dengan cermat dapat menyebabkan cacat, dan keadaan ini

menjadi penghalang bagi pasien kusta dalam menjalani kehidupan bermasyarakat

untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonominya (Widoyono, 2011). Kelompok yang

beresiko terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang

buruk seperti lingkungan tempat tinggal yang tidak memadai, air yang tidak bersih,

asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat

(15)

xvi 2.1.8. Pencegahan Penyakit Kusta

2.1.8.1. Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan :

a. Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena

penyakit kusta dan memiliki resiko tertular karena berada disekitar atau dekat

dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan

memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas

kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan,

kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga

dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit

kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga

penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2006).

b. Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta

seperti pemberian imunisasi. Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996

didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan

perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat

memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian

penemuan ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian

(16)

xvi (Depkes RI, 2006).

2.1.8.2. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan :

a. Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian MDT pada

penderita kusta terutama pada tipe MB karena tipe tersebut merupakan sumber

kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

2.1.8.3. Pencegahan Tertier a. Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tersier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita.

Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006) :

1. Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum

cacat, pengobatan secara teratur dan penangan reaksi untuk mencegah

terjadinya kerusakan fungsi saraf.

2. Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk

mencegah luka dan perawatan mata, tangan, atau kaki yang sudah mengalami

gangguan fungsi saraf.

b. Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian

(17)

xvi

fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai

dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang

cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan,

kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai

kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006). Rehabilitasi terhadap penderita

kusta meliputi :

1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur.

2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar

tidak mendapat tekanan yang berlebihan.

3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi.

4) Terapi okupsi (kegiatan hidup sehari-hari) dilakukan bila gerakan normal

terbatas pada tangan.

5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat.

2.1.9. Pengobatan Penyakit Kusta

Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan dapson (DDS) sebagai obat

tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB,

sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi

DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien

defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadap dds. Oleh sebab itu pada

tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan MDT untuk tipe PB

(18)

xvi

Depkes RI (2007), MDT dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya

harus terdiri dari atas rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat

dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriostatik. Berikut ini merupakan

kelompok orang-orang yang membutuhkan MDT:

1. Penderita baru yaitu mereka dengan tanda kusta yang belum pernah mendapat

pengobatan MDT.

2. Ulangan, termasuk didalamnya adalah:

a. Relaps penderita diobati kembali dengan regimen pengobatan PB dan MB

b. Masuk kembali setelah default adalah penderita yang datang kembali setelah

dinyatakan default (baik PB maupun MB)

c. Pindahan (pindah masuk), harus dilengkapi dengan surat rujukan berisi

catatan pengobatan yang telah diterima hingga saat tersebut, penderita ini

hanya membutuhkan sisa pengobatan yang belum lengkap

d. Ganti tipe, penderita dengan perubahan klasifikasi.

Depkes RI (2012), MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada empat macam

blister untuk PB dan MB dewasa serta PB dan MB anak yaitu:

1. Obat MDT terdiri atas:

a. DDS (dapson)

1) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone

2) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg

3) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta

(19)

xvi b. Lampren (B663) juga disebut klofaimin

1) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg warna coklat

2) Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah, dan antiinflamasi

3) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari

gangguan gastrointestinal.

c. Rifampisin

1) Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg

2) Bersifat bakterisidal, 99 % kuman kusta mati dalam satu kali pemberian

3) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan, agar

penyerapan lebih baik.

2. Obat penunjang (vitamin/roboransia)

Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan.

Menurut WHO (2012), regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan

regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh WHO, regimen tersebut adalah

sebagai berikut:

1. Pasien Pausibasiler (PB)

a. Dewasa

1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg.

2) Pengobatan harian: hari ke 2-28

(20)

xvi

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

2. Pasien Multibasiler (MB)

a. Dewasa

1) Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan petugas)

a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)

b) 1 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)

c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg.

2) Pengobatan harian: hari ke 2-28

a) 1 tablet lampren 50 mg

b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18

bulan.

3. Dosis MDT PB untuk anak (umur 1-15 tahun)

a. Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)

1) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg

2) I tablet dapson/DDS 50 mg

b. Pengobatan harian : hari ke 2-28

1) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

4. Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)

a. Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)

(21)

xvi 2) 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)

3) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

b. Pengobatan harian : hari ke 2-28

1) 1 tablet lampren 50 mg selang sehari

2) 1 tablet dapson/DDS 50 mg

Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18

bulan.

Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis

anak-anak disesuaikan dengan berat badan :

1. Rifampisin : 10-15 mg/kgBB

2. Dapson : 1-2 mg/kgBB

3. Lampren : 1 mg/kgBB

Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunakan tebel

sebagai berikut:

Tabel 2.7. Pedoman Praktis untuk Dosis MDT Bagi Pasien Kusta Tipe PB

Jenis Obat < 5 Tahun 5-9 Tahun 10-15

Tahun > 15 Tahun Keterangan

Rifampisin Berdasarkan

berat badan* Sumber : Depkes RI (2012)

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25

(22)

xvi

Tabel 2.8. Pedoman Praktis untuk Dosis MDT bagi Pasien Kusta Tipe MB

Jenis Obat < 5 Tahun 5-9 Tahun 10-15

Tahun > 15 Tahun Keterangan

Rifampisin Berdasarkan

berat badan*

Sumber : Depkes RI (2012)

* Sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25

mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan (diawasi), lampren 100 mg/bulan (diawasi).

2.1.9.1. Release From Treatmen (RFT)

Penderita kusta tipe PB dan MB setelah menyelesaikan pengobatan sesuai

dengan aturan maka dinyatakan RFT tanpa diperlukan pemeriksaan laboratium yang

artinya dianggap sudah sebuh. Petugas harus memberikan keterangan tentang arti dan

maksud RFT kepada penderita bahwa tipe PB pengobatan 6 dosis selesai dalam

waktu 6-9 bulan langsung dinyatakan sembuh untuk tipe MB pengobatan 12 dosis

selesai dalam waktu 12-18 bulandinyatakan sembuh atau RFT. Walaupun sudah

sembuh petugas tetap meyakinkan penderita bahwa bercak yang akan ada akan

berangsur hilang dan menjelaskan cara mencengah terjadinya luka jadi terjadi

(23)

xvi

melihat bercak kulit yang baru atau tanda – tanda baru mereka harus datang kembali

kontrol atau pemeriksaan ulang ke puskesmas.

2.1.10. Konsep Perilaku 2.1.10.1. Pengertian

Perilaku adalah kumpulan reaksi, perbuatan, aktivitas, gabungan gerakan,

tanggapan ataupun jawaban yang dilakukan seseorang, seperti proses berpikir,

bekerja, hubungan seks, dan sebagainya. Prilaku merupakan interelasi stimulus

eksternal dengan stimulus internal yang memberikan respon eksternal. Stimulus

internal adalah stimulus-stimulus yang berkaitan dengan kebutuhan fisik dan

psikologis. Adapun stimulus eksternal segala macam reaksi seseorang akibat faktor

luar diri atau dari lingkungan (Pieter dan Lumongga, 2010).

Perilaku dan gejala perilaku yang tampak pada kegiatan organisme tersebut

dipengaruhi baik oleh faktor genetik keturunan dan lingkungan. Secara umum dapat

dikatakan bahwa faktor genetik dan lingkungan itu merupakan penentu dari perilaku

makhluk hidup termasuk termasuk perilaku perilaku manusia. Hereditas atau faktor

keturunan adalah konsepsi dasar atau modal untuk perkembangan perilaku makhluk

hidup itu untuk selajutnya. Sedangkan lingkungan adalah kondisi atau lahan untuk

perkembangan perilaku tersebut. Suatu mekanisme pertemuan antara kedua faktor

dalam rangka terbentuknya perilaku disebut proses belajar (learning process)

(24)

xvi 2.1.10.2. Prosedur Pembentukan Perilaku

Seperti telah disebutkan di atas bagian besar perilaku manusia adalah operant

respons. Untuk itu untuk membentuk jenis respons atau perilaku ini perlu diciptakan

adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning ini menurut Skiner

(1939) dalam Notoadmojo (2010) adalah sebagai berikut:

1. Melakukan identifikasi tentang hal – hal yang an merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah – hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan dibentuk.

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen – komponen kecil yang

membentuk perilaku yang dikehendaki , kemudian komponen – komponen

tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya

perilaku yang dimaksud.

3. Dengan menggunakan secara urut komponen – komponen itu sebagai tujuan –

tujuan sementara mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing – masing

komponen tersebut.

4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang

telah tersusun itu. Apabila komponen pertama telah dilakukan, maka hadiahnya

diberikan hal ini akan mengakibatkan komponen atau perilaku tindakan tersebut

cenderung akan sering dilakukan kalau perilaku ini sudah terbentuk kemudian

dilakukan komponen (perilaku) yang kedua yang diberi hadiah kompoonen

pertama tidak memerlukan hadiah lagi) demikian berulang ulang, sampai

komponen kedua terbentuk. Setelah itu dilanjutkan dengan komponen ketiga,

(25)

xvi 2.1.10.3. Bentuk perilaku

Menurut Notoadmojo (2010), secara lebih operasional perilaku dapat diartikan

suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar

objek tersebut. Respons ini berbentuk dua macam, yakni:

1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia

dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh rang lain, misalnya berpikir

tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan. Misalnya seorang ibu tahu bahwa

imunisasi itu dapat mencegah suatu penyakit tertentu, meskipun ibu tersebut

tidak membawa anaknya kepuskesmas untuk diimunisasi. Contoh lain, seorang

yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti keluarga berencana meskipun ia

sendiri tidak ikut keluarga berencana. Dari kedua contoh tersebut terlihat bahwa

si ibu telah tahu gunanya imunisasi dan contoh kedua orang tersebut telah

mempunyai sikap yang positif unuki mendukung keluarga berencana, meskipun

mereka sendiri belum melakukan secara konkret terhadap kedua hal tersebut.

Oleh sebab itu perilaku mereka ini masih terselubung (covert behavior).

2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung,

oleh karena itu perilaku mereka sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata,

maka disebut overt behaviour.

2.1.10.4. Perilaku Kesehatan

Menurut Notoadmojo (2007), perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu

respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan

(26)

xvi

manusia, baik bersifat pasif maupun aktif. Sedangkan stimulus atau rangsangan

terdiri dari 4 unsur pokok, yakni sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan

lingkungan. Dengan demikian secara terinci perilaku kesehatan mencakup :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia

berespon baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan mempersepsi penyakit dan

rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang

dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit

dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan tingkat pencegahan penyakit,

yakni:

a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health

promotion behaviour). Misalnya makanan bergizi, olahraga dan sebagainya).

b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behaviour) adalah respon

untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya : tidur memakai kelambu

untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi dan sebagainya.

Termasuk juga perilaku tidak menularkan penyakit kepada orang lain.

c. Perilaku yang berhubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking

behaviour) yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan,

misalnya berusaha mengobati sendiri penyakitnya, maupun mencari

pengobatan kefasilitas-fasilitas kesehatan modern.

d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation

(27)

xvi

kesehatan setelah sembuh dari penyakit. Misalnya melakukan diet, mematuhi

anjuran dokter dalam rangka pemulihan kesehatannya.

2. Perilaku terhadap sistem pelayananan kesehatan adalah respon seseorang terhadap

sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun

tradisional.

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yakni respon seseorang terhadap

makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Perilaku ini meliputi

pengetahuan, persepsi, sikap dan praktik kita terhadap makanan serta unsur-unsur

yang terkandung didalamnya (zat gizi).

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behaviour) adalah

respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia.

Lingkup perilaku ini mencakup:

a. Perilaku sehubungan dengan air bersih, termasuk didalamnya komponen,

manfaat, dan penggunaan air bersih untuk kepentingan kesehatan

b. Perilaku sehubungan dengan pembuangan air kotor, yang menyangkut segi

higien pemeliharaan teknik dan penggunaannya.

c. Perilaku sehubungan dengan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair.

d. Perilaku sehubungan dengan rumah sehatyang meliputi ventilasi,

pencahayaan, lantai dan sebagainya

e. Perilaku sehubungan dengan pembersihan sarang-sarang nyamuk (vektor) dan

(28)

xvi

2.1.10.5. Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Kusta

Pengobatan yang dilakukan penderita kusta dengan memberikan obat-obat

yang dapat membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan

mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat

atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pengobatan

penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya

merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktip sampai akhirnya

hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama

tipe MB ke orang lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen,

pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut (Depkes RI, 2007).

Dalam hal pengobatan pada penderita penyakit kusta, adalah tujuan yang

harus dicapai untuk menyembuhkan penderita kusta dan mencegah timbulnya cacat.

Pada penderita tipe pausi basiler yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh

tanpa menimbulkan cacat. Akan tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan

cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut. Bila

penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi

aktip kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat

memperburuk keadaan. Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur

(Depkes RI, 2012).

Dalam pengobatan penyakit kusta ini perlu juga diperhatikan memutuskan

mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada orang

(29)

xvi

tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi kurang aktif

dan akhirnya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari

penderita terutama tipe MB keorang lain terputus. Pada tahun 1997 WHO

memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat anti kusta

yang efektif. Sayangnya anjuran ini tidak diikuti dilapangan dengan beberapa alasan.

Oleh karena itu pada tahun 1981 WHO Study Group on Chemotherapy of Leprosy

secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan regimen MDT.

Sejak januari 1982, pengobatan kusta di Indonesia mengikuti keputusan WHO yaitu

dengan pengobatan kombinasi DDS, lampren dan rifampisin (Kemenkes RI, 2011).

Kepatuhan klien terhadap pengobatan kusta ditunjukkan melalui mentaati

aturan pemberian obat. Klien kusta dalam mentaati pemberian obat kusta berkaitan

dengan waktu minum obat dan dampak positif pengobatan kusta yang diterimanya.

Kepatuhan penderita dalam minum obat MDT menunjukkan manajemen terapetik

yang efektif pada pengobatan kusta (Susanto, dkk, 2013).

Pengobatan untuk tipe PB diberikan secara teratur dalam waktu 6 bulan. Jika

pengobatan tidak teratur maka 6 bulan regimen bulanan MDT maka harus

diselesaikan dalam waktu 9 bulan. Pengobatan untuk tipe MB diberikan secara teratur

selama 12 bulan. Jika pengobatan tidak teratur maka 12 bulan regimen bulanan MDT

harus diselesaikan dalam waktu 18 bulan (Depkes RI, 2012).

Kepatuhan berobat penderita kusta dinyatakan dengan RFT (Release From

Treatmen). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus pemeriksaan

(30)

xvi

(Pausibasilar) yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9

bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Pasien MB

(multibasiler) yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu

12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang

pasien PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB

lebih dari 6 bulan secara komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan

pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka penderita kusta dikatakan default

atau lalai dalam pengobatan (Depkes RI, 2012).

Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk pengobatan kusta, yaitu

Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang

salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat

dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring

dan evaluasi pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal

pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan

melakukan pengamatan pemberian obat untuk tipe PB 6 dosis (bilster) dalam jangka

waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18

bulan dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase

From Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006).

Harjo (2002) menunjukkan hasil penelitian ketidakteraturan berobat klien

kusta sebesar 32,31% dan yang teratur berobat sebesar 67,69% dari 208 responden

kusta di Majelengka. Hal ini berhubungan dengan pengetahuan, sikap klien, peran

(31)

xvi

klien dalam berobat kusta. Penelitian yang dilakukan oleh Hutabarat (2008),

menunjukkan hasil penelitian tingkat kepatuhan klien kusta di Kabupaten Asahan,

pasien kusta yang patuh berobat sebesar 60,7% dan sebesar 39,3% tidak patuh

berobat. Hal ini berhubungan dengan faktor usia, jenis kelamin, pendidikan,

pengetahuan, sikap, kepercayaan, dukungan keluaraga, dukungan petugas kesehatan,

lama berobat, efek samping obat, cacat kusta terhadap kepatuhan berobat pada

penderita kusta

2.1.10.6. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Kepatuhan Berobat Penderita Kusta

Proses pembentukan atau perubahan perilaku dipengaruhi oleh beberapa

faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri faktor–faktor tersebut

antara lain; susunan saraf pusat persepsi sikap emosi, proses belajar lingkungan dan

sebagainya (Notoadmojo, 2010).

Faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan menjadi

dua yakni, faktor-faktor intern dan ekstern. Faktor intern mencakup: pengetahuan

kecerdasan, persepsi, emosi, sikap, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengelolah

rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik

fisik maupun non fisik seperti: iklim, manusia, sosial–ekonomi, kebudayaan dan

sebagainya. Setiap individu sejak lahir terkait dalam suatu kelompokan terutama

kelompok keluarga. Dalam keterkaitannya dengan kelompok ini mumbuka

kemungkinan untuk di pengaruhi dan memengaruhi anggota–anggota kelompok lain.

(32)

xvi

sosial tertentu, maka perilaku tiap individu anggota kelompok berlangsung dalam

suatu jaringan normatif. Demikian pula perilaku individu tersebut terhadap masalah–

masalah kesehatan (Notoadmojo, 2005).

Kosa dan Robertson mengatakan bahwa perilaku kesehatan seseorang

cenderung dipengaruhi oleh kepercayaan orang yang bersangkutan terhadap kondisi

kesehatan yangdiinginkan dan kurang mendasarkan pada pengetahuan biologi.

Memang kenyataannya demikian setiap individu mempunyai cara yang berbeda

dalam mengambil tindakan penyembuhan atau pencengahan berbeda miskipun

gangguan kesehatan sama. Pada umumnya tindakan yang diambil berdasarkan

penilaian individu atau mungkin dibantu oleh orang lain terhadap gangguan tersebut.

Penilaian semacam ini menunjukkan bahwa gangguan yang dirasakan individu

menstimulasikan dimulainya suatu proses sosial psikologis. Proses semacam ini

menggambarkan berbagai tindakan yang dilakukan si penderita mengenai gangguan

yang dialami,dan merupakan bagian intergral interaksi sosial pada umumnya

(Notoadmojo, 2010).

Menurut Sofiarini (2004) dalam Firmansyah (2012), banyak faktor yang

memengaruhi penderita untuk pergi ke pelayanan kesehatan dan berobat secara

teratur, antara lain seperti pengetahuan dan sikap penderita maupun keluarganya.

Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh, karena penyakit ini menular biasanya

penderita merasa malu untuk pergi berobat disamping banyak yang menganggap

bahwa biaya berobat itu mahal, serta masih banyak faktor lain seperti dukungan sosial

(33)

xvi

keterjangkauan jarak dan peran petugas dalam proses pengobatan serta dalam

memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta.

Berbagai upaya dalam melakukan pengobatan dipengaruhi oleh perilaku

kesehatan penderita. Menurut teori Lawrence Green (1980, perilaku kesehatan

dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan

sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari

perilaku masyarakat.

Adapun faktor-faktor yang memengaruhi prilaku kepatuhan berobat penderita

kusta adalah:

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)

a. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca

indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan

(34)

xvi

telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Perilaku yang

didasarkan pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Salum dan Chatarina (2012) di

Kabupaten Pemekasan Provinsi Jawa Tengah diperoleh adanya hubungan

antara pengetahuan terhadap keteraturan berobat penderita kusta dengan

signifikansi 0,005 dan or 6,6. Sementara penelitia Harjo (2002) di Kabupaten

Majalengka tahun 2002 diperoleh hasil adanya hubungan pengetahuan

dengan ketidakteraturan berobat penderita kusta dengan nilai OR 2,62.

b. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup

terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat langsung

dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang

tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi

terhadap stimulus tertentu. Newcomb adalah seorang ahli psikologi sosial

menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk

bertindak, dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu. Sikap belum

merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan pre-disposisi

tindakan atau perilaku (Notoadmojo, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Harjo (2002) memperoleh hasil adanya

(35)

xvi

2,76. Hasil penelitian Fajar (2002) di Kabupaten Gresik pada penderita kusta

hasilnya dimana pada penelitian tersebut ada pengaruh sikap penderita

terhadap pengobatan dini dan pengobatan teratur, karena dengan pengobatan

yang teratur dan patuh minum obat si penderita akan mengalami

kesembuhan.

c. Kepercayaan

Kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio-psikologis.

Kepercayaan merupakan keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah.

Kepercayaan sering dapat bersifat rasional atau irrasional. Kepercayaan yang

rasional apabila kepercayaan orang terhadap sesuatu tersebut masuk diakal.

Orang percaya bahwa dokter pasti dapat menyembuhkan penyakitnya. Hal ini

adalah rasional karena memang dokter tersebut telah bertahun-tahun belajar

ilmu kedokteran atau penyembuhan penyakit. Sebaliknya seseorang

mempunyai kepercayaan irrasional bila ia mempercayakan air putih yang

diberi mantera oleh seorang dukun bisa menyembuhkan penyakitnya

(Notoadmojo, 2010).

Kepercayaan dibentuk oleh pengetahuan, kebutuhan dan kepentingan.

Hal ini dimaksudkan bahwa orang percaya kepada sesuatu dapat disebabkan

karena ia mempunyai pengetahuan tentang itu. Kepercayaan karena

kebutuhan disebabkan karena ia butuh sekali. Misalnya orang yang menderita

penyakit tertentu, dan telah berobat kemana-mana tidak sembuh. Kemudian

(36)

xvi

mengobati berbagai macam penyakit, maka orang tersebut pergi ke dukun

tersebut karena ia butuh kesembuhan yang didambakan bertahun-tahun, dan

dukun tersebut penting bagi kesembuhannya. Kepercayaan yang tidak

didasarkan pada pengetahuan yang benar dan lengkap, akan menyebabkan

kesalahan bertindak (Notoadmojo, 2010).

Kepercayaan adalah sikap untuk menerima suatu pertanyaan atau

pendirian tanpa menunjukkan sikop pro atau anti. Menurut Krech dkk dalam

Sarwono (1997) kepercayaan dapat tumbuh jika orang berulang – ulang kali

mendapat informasi yang sama. Dari hasil penelitian kualitatif oleh

Rachmalia dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan kepada penderita

kusta mengatakan mereka terpaksa berobat ke petugas kesehatan karena malu

akan penyakitnya dan keluarga mereka percaya bahwa penyakit kusta itu

disebabkan guna–guna, penyakit kutukan dan sihir, sehingga setelah penyakit

parah terpaksa mereka berobat kepada petugas kesehatan.

2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors)

Merupakan faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau

tindakan artinya bahwa faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau

fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. Dimana lingkungan yang jenuh atau

jarak dari pelayanan kesehatan yang memberikan kontribusi rendahnya

kepatuhan.

Sulitnya pelayanan kesehatan dijangkau secara fisik akan menurunkan demand

(37)

xvi

pedesaan dipengaruhi oleh keterjangkauan dengan fasilitas kesehatan. Hal ini

menunjukkan pada penderita kusta yang jarak tempat tinggalnya jauh, tidak

terjangkau dari segi transportasi dan dana mempunyai kecendrungan untuk tidak

patuh minum obat.

Yusdianto (2009), klasifikasi wilayah dalam analisis pola jangkauan

wilayah permukiman dan biaya transportasi penduduk ke fasilitas pelayanan

kesehatan adalah sebagai berikut:

a. Wilayah sangat dekat, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter

dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan.

b. Wilayah dekat, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter

dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan, atau jika

masuk dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter dari fasilitas pelayanan

kesehatan dan jarak 201-500 meter dari jalan.

c. Wilayah sedang, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000 meter

atau lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 0-200 meter dari jalan,

atau jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter dari fasilitas

pelayanan kesehatan dan jarak 201-500 meter dari jalan, atau jika masuk

dalam wilayah dengan jarak 0-1000 meter dari fasilitas pelayanan kesehatan

dan jarak 501-1000 meter atau lebih dari jalan.

d. Wilayah jauh, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000 meter atau

(38)

xvi

atau jika masuk dalam wilayah dengan jarak 1001-2000 meter dari fasilitas

pelayanan kesehatan dan jarak 501-1000 meter atau lebih dari jalan.

e. Wilayah sangat jauh, jika masuk dalam wilayah dengan jarak 2001-3000

meter atau lebih dari fasilitas pelayanan kesehatan dan jarak 501-1000 meter

atau lebih dari jalan.

Oleh karena besar biaya transportasi tiap penduduk ke suatu fasilitas

pelayanan kesehatan ditentukan oleh faktor aksesibilitas dari suatu fasilitas

pelayanan kesehatan, yaitu jarak jangkauan fasilitas pelayanan kesehatan dan

jarak ke jalan utama, maka penentuan biaya transportasi didasarkan pada

klasifikasi wilayah jangkauan. Besaran biaya transportasi tiap penduduk pada

wilayah jangkauan:

a. Sangat dekat diasumsikan sebesar 1.000 rupiah

b. Dekat diasumsikan sebesar 2.000 rupiah

c. Sedang diasumsikan sebesar 3.000 rupiah

d. Jauh diasumsikan sebesar 4.000 rupiah

e. Sangat jauh diasumsikan sebesar 5.000 atau lebih rupiah.

3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors)

a. Dukungan keluarga

Keluarga sebagai lembaga sosial akan menanamkan nilai-nilai dan

ideologi kepada anggota keluarganya. Nilai tersebut akan digunakan dalam

penanganan persoalan-persoalan di dalam keluarga yang akan memberikan

(39)

xvi

mendapat perhatian dan dukungan dari keluarga akan lebih patuh terhadap

pelayanan kesehatan (Notosoedirjo dan Latipun, 2005 dalam Hutabarat,

2008).

Dukungan keluarga adalah dukungan antar keluarga yang bersifat

suportif yang dapat berupa bantuan langsung yang berkesenimbungan dan

terus menerus sepanjang kehidupan (Friedman, 1998). Di dalam suatu

keluarga harus saling mendukung diantara seluruh anggota keluarga, orang

yang hidup di lingkungan yang bersifat supportif kondisi kesehatan jiwa lebih

baik daripada mereka yang hidup tidak adanya dukungan dari keluarga sosial

dapat berefek pada adaptasi kesehatan seseorang (Friedman, 1998).

Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi dukungan

menurut Friedman (1998) antara lain :

1) Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi yang meliputi

ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga

yang menderita Kusta.

2) Dukungan penghargaan (penilaian)

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan validator identitas

anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk

(40)

xvi

perasaan individu dan perbandingan positif penderita Kusta dengan yang

lain seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk

keadaannya.

3) Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit yang

mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,

modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan waktu

mengalami stres.

4) Dukungan informatif

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar)

informasi tentang dunia yang mencakup dengan memberi nasehat,

petunjuk-petunjuk, sarana-sarana atau umpan balik. Bentuk dukungan

yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, pemberian

nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan.

Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang mendapat

perhatian, disenangi, dihargai dan termasuk bagian dari masyarakat.

Ma’rifatul Khotimah (2013) memperoleh hasil penelitian ada

hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan minum obat penderita kusta

dengan nilai p value (0,001) dan nilai OR (6,909). Sementara hasil penelitian

Rachmalina dan Sunanti (1999) di kabupaten bangkalan menyatakan bahwa

(41)

xvi b. Dukungan petugas kesehatan

Pelayanan yang baik dari petugas kesehatan dapat menyebabkan

berperilaku positip. Perilaku petugas yang ramah dan segera mengobati

pasien tanpa menunggu lama-lama, segera memberi obat setelah diperiksa

oleh dokter terlebih dahulu, maka penderita merasa dihargai datang ke

puskesmas, penderita diberi penjelasan tentang obat yang diberikan dan

pentingnya makan obat yang teratur. Kebanyakan orang hanya

kadang-kadang datang ke tenaga kesehatan, karena hampir semua orang mempunyai

keluhan yang menakutkan tentang kunjungan pada petugas kesehatan (Smeet,

(1994).

Ma’rifatul Khotimah (2013) memperoleh hasil penelitian ada

hubungan dukungan petugas kesehatan dengan kepatuhan minum obat

penderita kusta dengan nilai p value (0,0001) dan nilai OR (3,143). Dari hasil

penelitian Rachmalina dan Sunanti (1999) di Kabupaten Bangkalan peran

petugas kesehatan sangat berpengaruh terhadap ketaatan penderita minum

obat.

2.2. Landasan Teori

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang menimbulkan

masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis

tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan

(42)

xvi

kronik progresif, mula-mula menyerang saraf tepi, dan kemudian terdapat manifestasi

kulit. Penyakit kusta disebabkan oleh mycobacterium leprae, basil tahan asam.

Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang dapat membunuh

kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan memutuskan mata rantai penularan,

menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah

bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobtan. Pengobatan penderita kusta

ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan

tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktip sampai akhirnya hilang. Dengan

hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang

lain terputus. Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan

hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita kusta tidak minum obat

secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktip kembali, sehingga timbul

gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan. Di sinilah

pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur.

Kepatuhan berobat penderita kusta dinyatakan dengan RFT (Release From

Treatmen). RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa harus pemeriksaan

laborotarium . Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort. Pasien PB

(Pausibasilar) yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9

bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Pasien MB

(multibasiler) yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu

12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laborotarium. Jika seorang

(43)

xvi

lebih dari 6 bulan secara komulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan

pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka penderita kusta dikatakan default

atau lalai dalam pengobatan (Depkes RI, 2012).

Menurut Sofiarini (2004) dalam Firmansyah (2012), banyak faktor yang

memengaruhi penderita untuk pergi ke pelayanan kesehatan dan berobat secara

teratur, antara lain seperti pengetahuan dan sikap penderita maupun keluarganya.

Faktor sosial ekonomi juga sangat berpengaruh, karena penyakit ini menular biasanya

penderita merasa malu untuk pergi berobat disamping banyak yang menganggap

bahwa biaya berobat itu mahal, serta masih banyak faktor lain seperti dukungan sosial

termasuk didalamnya pengetahuan, sikap dan peran keluarga penderita,

keterjangkauan jarak dan peran petugas dalam proses pengobatan serta dalam

memberikan penyuluhan tentang penyakit kusta.

Penelitian yang dilakukan oleh Harjo (2002), menunjukkan hasil penelitian

tingkat kepatuhan klien kusta di Kabupaten Asahan, pencapaian persentase

ketidakteraturan berobat penderita kusta di Kabupaten Majalengka pada tahun 2000

sebesar 32,31% sehingga RFT hanya sebesar 67,69%. Penelitian dilakukan ini

dengan desain cross sectional dan menggunakan data primer. Responden berjumlah

208 orang yang merupakan seluruh populasi yang memenuhi kriteria sampel. Hasil

penelitian menunjukan bahwa secara statistik diperoleh hubungan yang bermakna

pengetahuan penderita kusta (OR: 2,62, 95%CI : 1,44 - 4,76), sikap (OR 2,76,

95%C1 : 1,51 -5,05), ketersediaan obat di puskesmas (OR : 3,34, 95%CI : 1,64 -

(44)

xvi

ketidakteraturan berobat penderita kusta. Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya

interaksi pada faktor risiko yang berhubungan dengan ketidakteraturan berobat

penderita kusta.

Berbagai upaya dalam melakukan pengobatan dipengaruhi oleh perilaku

kesehatan penderita. Menurut Berbagai upaya dalam melakukan pengobatan

dipengaruhi oleh perilaku kesehatan penderita. Menurut teori Lawrence Green

(1980) perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu:

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan

fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana

kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, alat-alat kontrasepsi, jamban dan

sebagainya.

c. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas atau petugas lain yang merupakan kelompok referensi dari

(45)

xvi

Kerangka teori berdasarkan Green L.W and Ottoson (2005) adalah sebagai

berikut:

Ekosistem

Gambar 2.1 Kerangka Teori Menurut Green. L.W and Ottoson, J.M (2005) Precede-Proceed Model-JASP

Keterangan :

Teori Green : Faktor yang memengaruhi prilaku (faktor predisposisi, reinforcing

(pendorong) & Enabling (pendukung).

Teori Ottoson : Genetika dan Biologi Manusia, Kebijakan, Peraturan, Organisasi,

Tingkah Laku dan Gaya Hidup serta Lingkungan memengaruhi

Perilaku manusia. Pengaruh dari orang tua, guru, pengusaha,

rekan-rekan, dan lain-lain

(46)

xvi 2.3. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori diatas, maka kerangka konsep penelitian ini

adalah:

Variabel independen Varabel dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Variabel independen yaitu faktor predisposisi (pengetahuan, sikap dan

kepercayaan), faktor pendukung (keterjangkauan ke pelayanan kesehatan) dan faktor

pendorong (dukungan keluarga dan dukungan petugas kesehatan) memengaruhi

variabel dependen (kepatuhan minum obat penderita kusta). Predisposing factors :

-Pengetahuan -Sikap -Kepercayaan

Prilaku Kepatuhan Minum Obat Penderita Kusta :

- Patuh - Tidak Patuh

Reinforcing factors : - Dukungan Keluarga

- Dukungan petugas kesehatan Enabling factors :

Gambar

Tabel 2.2. Tanda Lain yang Dapat Dipertimbangkan dalam Penentuan
Tabel 2.3. Situasi Kusta Menurut Regional WHO pada Awal Tahun 2012
Tabel 2.5. Penemuan Kasus Baru pada 17 Negara yang Melaporkan > 1000 Kasus Selama Tahun 2011 Dibandingkan dengan Tahun 2004  sampai dengan 2011
Tabel 2.6. Tren Kasus Kusta di Indonesia Tahun 2000-2011
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berfikir kritis matematis menggunakan model

Dengan demikian, penelitian ini berfokus untuk menganalisis dampak yang terjadi pada pasar ekspor perikanan dengan komoditas udang dan ikan ke Eropa bila

Hasil dari proses drilling yang pertama digunakan sebagai tempat untuk memasang nut yang selanjutnya akan berhubungan dengan roda, sedangkan hasil dari proses drilling

a) Variabel Kepemilikan manajerial pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2017 yang diukur dengan jumlah

Faktor yang menyebabkan anak terisolir pada usia 4-5 tahun di TK Barunawati pontianak adalah pola asuh orang tua, sifat pendiam dan manja serta ketergantungan yang tinggi

Selain itu kami juga memberikan pengetahuan sekaligus pelatihan kepada mayarakat mengenai pengoptimalan sumber daya yang ada di Desa ini yaitu penggunaan air nira dan batang pisang

Web informasi online dengan alamat situs jakarta banget.co.nr ini dibuat dengan menggunakan PHP yang merupakan script untuk pemrograman berbasis server. Serta untuk database

Provinsi Maluku Utara adalah seb agaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Propinsi Maluku Utara, Kab upaten Pulau Buru, Kab upaten Maluku