• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada Lansia Berobat Jalan di RSUD Langsa Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor Risiko Kejadian Penyakit Jantung Koroner (PJK) pada Lansia Berobat Jalan di RSUD Langsa Tahun 2014"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Lansia

Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia (lansia) apabila usianya 65 tahun ke atas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual (Efendi, 2009).

(2)

perawat harus memberikan pendekatan yang berbeda antara satu lansia dengan lansia lainnya (Eko,2012)

2.1.1. Klasifikasi Lansia

Batasan Lansia menurut WHO meliputi usia pertengahan (middle age) antara 45-59 tahun, usia lanjut (Elderly) antara 60-74 tahun dan usia lanjut tua (Old) antara 75-90 tahun, serta usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun ( Nugroho, 2008 ). Seseorang yang berusia antara 45-59 tahun ( prasenilis ), seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih ( lansia ), seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih ( lansia resiko tinggi ), lansia yang mampu melakukan pekerjaan dan / atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang / jasa (lansia Potensial), lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain atau lansia tidak potensial ( Maryam, 2008 ).

2.1.2. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, mental, psikologi (Nugroho, 2008).

2.1.2.1. Perubahan-perubahan Fisik a. Sel

(3)

b. Sistem Persyarafan

Sistem panca indra mengecil sehingga fungsinya menurun serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang berhubungan dengan stress. Berkurang atau hilangnya lapisan myelin akson, sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik dan reflek (Nugroho, 2008).

c. Sistem Pendengaran

Gangguan pendengaran, membran timpani menjadi artropi menyebabkan otosklerosis, terjadi pengumpalan serumen, fungsi pendengaran semakin menurun, tinnitus, vertigo (Nugroho, 2008).

d. Sistem Penglihatan

Spingter pupil timbul sklerosis dan respon terhadap sinar menghilang, kornea lebih berbentuk speris (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, meningkatnya ambang, pengamatan sinar, daya adaptasi terhadap kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam gelap, penurunan / hilangnya daya akomodasi, dengan manifestasi presbiopia, seseorang sulit melihat dekat yang dipengaruhi berkurangnya elastisitas lensa, lapang pandang menurun, daya membedakan warna menurun (Nugroho, 2008).

e. Sistem Kardiovaskuler

(4)

jantung lebih rentan terhadap kondisi dehidrasi dan pendarahan, tekanan darah meningkat akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat (Nugroho, 2008). f. Sistem Pengaturan Suhu Tubuh

Yang sering ditemui antara lain temperature tubuh menurun (hipotermia) secara fisiologis lebih kurang ± 35ºC ini akibat metabolism yang menurun,keterbatasan reflex menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak seningga terjadi penurunan aktivitas otot (Nugroho, 2008).

g. Sistem Pernapasan

Otot pernapasan mengalami kelemahan akibat atropi, kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, aktivitas silia menurun, paru kehilangan elastisitas, ukuran alveoli melebar, berkurangnya elastisitas bronkus, oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbon dioksida pada arteri tidak berganti, reflek dan kemampuan untuk batuk berkurang, sensitivitas terhadap hipoksia dan hiperkarbia menurun, sering terjadi emfisema senilis (Nugroho, 2008).

h. Sistem Pencernaan

(5)

i. Sistem Reproduksi

Pada wanita terjadi penciutan ovary, uterus, payudara, vulva mengalami atropi, selaput lender vagina menurun sedangkan pada pria testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun ada penurunan secara berangsur-angsur (Nugroho, 2008).

j. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun,penyaringan di glomerulus menurun,dan fungsi tubulusmenurun sehingga kemampuan mengonsentrasi urine ikut menurun (Nugroho, 2008).

k. Sistem Integument

Kulit mengerut atau keriput,permukaan kulit cendrung kusam, kasar dan bersisik, timbul bercak pigmentasi, terjadi perubahan pada daerah sekitar mata, respon terhadap trauma menurun, mekanisme proteksi kulit menurun, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu, rambut dalam hidung dan telinga menebal, berkurangnya elastisitas akibat menurunnya cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku jari menjadi keras dan rapuh, jumlah dan fungsi kelenjar keringat berkurang (Nugroho, 2008).

l. Sistem Musculoskeletal

(6)

2.2. Penyakit Jantung Koroner 2.2.1. Definisi

Menurut WHO, PJK adalah penyakit yang disebabkan oleh gangguan jantung dan pembuluh darah, dan termasuk penyakit jantung koroner (serangan jantung), penyakit serebrovaskular (stroke), peningkatan tekanan darah (hipertensi), penyakit arteri perifer, penyakit jantung rematik, penyakit jantung bawaan dan gagal jantung. Penyebab utama penyakit kardiovaskular adalah penggunaan tembakau, aktivitas fisik, diet yang tidak sehat dan penggunaan berbahaya alcohol (WHO,2013).

Menurut National Library of Medicine (NLM 2012) penyakit jantung koroner (coronary heart diseases) merupakan suatu penyempitan dari pembuluh darah kecil yang menyuplai darah dan oksigen ke jantung. Penyakit jantung koroner juga disebut penyakit arteri koroner (Fatimah,2012).

Menurut National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI 2011), penyakit jantung koroner, disebut juga penyakit arteri koroner, yaitu suatu kondisi dimana terbentuknya plak pada bagian dalam arteri koronaria. Arteri ini menyuplai darah yang kaya akan oksigen untuk otot jantung.

(7)

Proses arterosklerosis ini sudah dimulai pada masa kanak-kanak dan menjadi nyata secara klinik pada kehidupan dewasa. Lebih dari setengah insiden penyakit ini dapat diterangkan kejadiannya oleh hiperkolesterolemia, hipertensi, dan merokok. Terdapat beberapa faktor risiko lain yang juga berperan akan tetapi dalam derajat yang lebih kecil misalnya obesitas, dan aktiviitas fisik yang kurang. Pengendalian terhadap faktor risiko kardiovaskular dihubungkan dengan pencegahan PJK harus sudah dimulai sedini mungkin sebelum terjadi perubahan yang irreversibel pada dinding pembuluh darah (Yusnidar,2010).

2.2.2. Patogenesis

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti perubahan pembuluh darah yang mengurangi kemampuannya untuk melebar. Dan kebutuhan oksigen menjadi tidak stabil sehingga akan membahayakan miokardium yang terletak di sebelah distal dari daerah lesi (Jeini,2011).

(8)

Pembuluh koroner pada penampang lintang akan terlihat 3 lapisan, yaitu tunika intima (lapisan dalam), tunika media (lapisan tengah), dan tunika adventitia (lapisan luar). Permukaan pembuluh darah bagian dalam dilapisi dengan lapisan sel-sel yang disebut endothelium (Jeini,2011).

Tunika intima terdiri dari 2 bagian. Lapisan tipis sel-sel endotel merupakan lapisan yang memberikan permukaan licin antara darah dan dinding arteri serta lapisan subendothelium. Sel-sel endothel ini memproduksikan zat-zat seperti prostaglandin, heparin dan activator plasminogen yang membantu mencegah agregasi trombosit dan vasokonstriksi. Selain itu endotel juga mempunyai daya regenerasi cepat untuk memelihara daya anti trombogenik arteri. Jaringan ikat menunjang lapisan endotel dan memisahkannya dengan lapisan lain (Jeini,2011).

Tunika media merupakan lapisan otot di bagian tengah dinding arteri yang mempunyai 3 bagian : bagian sebelah dalam disebut membran elastis internal, kemudian jaringan fibrous otot polos dan sebelah luar membrane jaringan elastic eksterna. Lapisan tebal otot polos dan jaringan kolagen, memisahkan jaringan membrane elastik eksterna dan yang terakhir ini memisahkan tunika media dan adventisia.Tunika adventitia umumnya mengandung jaringan ikat dan dikelilingi oleh vasa vasorum yaitu jaringan arteriol (Furqan,2011).

(9)

Berbagai teori telah dilontarkan untuk menerangkan pathogenesis aterosklerosis ini. Seperti teori infiltrasi/incrustation, dan teori pertumbuhan klonal/clonal growth yang dikemukakan oleh Benditt.12 Pada tahun 1976, Russel Ross mengemukakan aterosklerosis bukan merupakan suatu proses degeneratif, tetapi merupakan proses inflamasi kronik yang diikuti oleh suatu proses reparasi di dinding arteri. Hal inilah yang mendasari hipotesis response to injury yang dikemukakan olehnya. Hipotesis ini menyatakan bahwa lesi aterosklerosis terjadi sebagai respons platelet karena kerusakan sel endothel oleh hiperkolesterolemi. Hipotesis ini telah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan jaman (Rizki,2012).

(10)

meningkat aliran. Iskemia adalah kekurangan oksigen yang bersifat sementara dan reversible. Iskemia yang lama akan menyebabkan kematian oto atau nekrosis.secara klinis, nekrosis miokardium dikenal dengan nama infark miokardium.(Yusndar,2012).

Gambar 2.1. Proses Aterosklerosis

Pada proses aterosklerosis ada 3 tahap dan ketiga tahap ini dapat dijumpai pada satu penderita (gambar 2).

1) Tahap I-Lapisan berlemak (fatty streak)

(11)

Sel endothelial yang dilapisi oleh fatty streak akan memberikan gambaran histologi dan fungsi yang abnormal. Fatty streak biasanya berkembang pada lokasi dimana terjadi sel endothel yang luka, sehingga menyebabkan molekulmolekul besar seperti LDL dan dapat masuk ke dalam jaringan subendothelium. Jika LDL sudah masuk ke dalam jaringan subendothelium, maka akan terjebak dan akan tetap berada di dalam jaringan subendothelium hal ini disebabkan karena terikatnya LDL dengan glikomynoglikan. LDL yang terjebak ini lama kelamaan akan mengalami modifikasi karena adanya radikal oksigen yang bebas di sel endothelial, yang merupakan inhibisi dari aterosklerosis (Agri,2012).

Modifikasi LDL in akan mengalami 3 proses penting yaitu (a) mereka akan dimakan oleh monosit menjadi makrofag, (b) makrofag ini akan menetap pada jaringan subendothelium dan (c) modifikasi LDL ini akan membantu sel mengambil lipid dalam jumlah yang besar (Yusnidar,2012).

2) Tahap II-Fibrous plaque

(12)

Salah satu penyebab terjadinya perubahan dari fatty streak ke lesi fibrotic adalah adanya lesi fokal yaitu hilangnya jaringan endothelial yang melapisi fatty streak. Hilangnya lapisan tersebut disebabkan oleh adanya peregangan dari sel-sel yang mengalami gangguan fungsi pada deformasi dinding arteri atau karena toksin oleh sel busa. Pada lokasi sel yang hilang ini, platelet akan melekat dan akan terjadi pengeluaran faktor-faktor yang akan menyebabkan perkembangan dari lesi (Eko,2012).

Heparinase, merupakan salah satu enzim yang memecah heparin sulfat (sebuah polisakarida pada matriks ekstraselular) yang menghambat migrasi dan proliferasi dari sel otot polos. Kombinasi dari penurunan kadar heparin dan kurangnya PGI2 dan EDRF-NO karena el endothelial yang luka menyebabkan sel otot polos berubah dari sel yang dapat berkontraksi menjadi sel tidak dapat berkontraksi lagi sehingga terjadi pengeluaran sekresi enzim-enzim pada matriks ekstraselular, yang membuat mereka dapat bermigrasi ke dalam intima dan berproliferasi. Migrasi sel otot polos ke dalam intima dibantu oleh (Plattelet Derived Growth Factor) PDGF yang mengalami mitosis (Eko,2012).

3) Tahap III-Plak yang mengalami komplikasi

(13)

Faktor-faktor yang menyebabkan pecahnya plak adalah adanya aliran turbulensi atau mekanisme stress peregangan, perdarahan intraplak karena rupturnya vasa vasorum, peningkatan stress pada dinding sirkumferensial dinding arteri pada penutup fibrotik karena adanya penimbunan lipid, dan adanya pengeluaran enzim-enzim yang dikeluarkan oleh makrofag untuk memecah matriks (Yusnidar,2012).

Sejalan dengan pecahnya plak maka proses lainnya seperti thrombosis, adhesi platelet, agregasi platelet dan koagulasi akan terjadi. Koagulasi akan dimulai oleh karena bercampurnya darah dengan kolagen di dalam plak dan factor jaringan tromboplastin yang diproduksi oleh sel endothelial dan makrofag di dalam lesi fibrotik (Yusnidar,2012).

Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteria koronaria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteria koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti dengan perubahan vascular yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar (Yusnidar,2012).

(14)

Dalam periode tersebut deposit ini tertimbun secara perlahan-lahan yang akhirnya diameter di arteri koroner yang masih dapat dilalui darah makin lama semakin sempit, sampai pembuluh tersebut tidak dapat dilewati darah sesuai dengan kebutuhan otot jantung. Terhalangnya aliran darah seperti di atas disebut sebagai fixed blockage13. Plak sering timbul pada tempat-tempat dimana terjadi turbulensi maksimum seperti pada percabangan, daerah dengan tekanan tinggi, daerah yang pernah terkena trauma dimana terjadi deskuamasi endothel yang menyebabkan adesi trombosit (Agri,2102).

a. Epidemiologi Penyakit Jantung Koroner

(15)

Di Amerika Serikat sejak tahun 1960 tingkat kematian penyakit jantung koroner (PJK) berdasarkan usia sudah mengalami penurunan secara terus menerus. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan angka kematiaan akibat PJK ini, termasuk pengontrolan yang baik akan faktor risiko yang menyebabkan penurunan insidensi PJK, ditambah lagi ada nya kemajuan dalam terapi yang dilakukan. Di tahun 2010, prevalensi terjadinya penyakit jantung koroner meningkat pada usia ,65 tahun (19,8%), diikuti dengan usia 45-64 tahun (7,1%), dan usia 18-44 tahun (1,2%). Prevalensi penyakit jantung koroner juga meningkat pada laki-laki (7,8%) dibandingkan dengan wanita (4,6%), tetapi akan terjadi peningkatan yang drastis pada wanita setelah menopause (CDC, 2011).

(16)

Gambar 2.2. Jantung Koroner di Sebabkan oleh Penyempitan dan Penyumbatan Pembuluh Arteri

2.2.3. Sirkulasi Koroner

Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung. Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil (Agri ,2012).

1) Arteria Koronaria

(17)

Gambar 2.3. Anatomi Arteri Koronaria

(18)

2.2.4. Klasifikasi PJK

Klasifikasi penyakit jantung koroner (PJK) sampai saat ini masih belum ada yang spesifik, hal ini disebabkan karena manifestasi klinisnya yang berbeda dan bervariasi diantara satu penderita dengan penderita yang lain. Saat timbulnya juga tidak menentu, gejala yang ditimbulkan juga tidak sesuai dengan penemuan patologik. Dengan demikian penderita PJK mungkin tampil dengan : (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) 1) Angina Pektoris Stabil

2) Angina Pektoris Tidak Stabil (ATS)

3) Infark Miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI) 4) Infark Miokard dengan ST-elevasi (STEMI)

Selain bisa juga bermanifestasi sebagai payah jantung atau gangguan irama jantung.

(1) Angina Stabil

Disebut juga angina klasik, terjadi jika arteri koronaria yang arterosklerotik tidak dapat berdilatasi untuk meningkatkan alirannya sewaktu kebutuhan oksigen meningkat. Peningkatan kerja jantung dapat menyertai aktivitas misalnya berolah raga atau naik tangga.

(19)

nitrat, lamanya serangan tidal lebik dari 5 menit, tidak disertai keluhan sistemik, gejala angina pektoris sudah dialami lebih dari 1 bulan, dan beratnya tidak berubah dalam masa beberapa tahun terakhir.

(2) Angina Pektoris tidak Stabil (ATS)

Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri dada yang khas, yaitu seperti ditekan atau terasa berat di dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan segera hilang bila aktivitas dihentikan. Merupakan kompleks gejala tanpa kelainan morfologik permanen miokardium yang disebabkan oleh insufisiensi relatif yang sementara di pembuluh darah koroner.

Angina pektoris dapat menyebar ke lengan kiri, ke punggung, ke rahang atau ke daerah abdomen. Penyebab angina pektoris adalah suplai oksigen yang tidak adekuat ke sel-sel miokardium dibandingkan kebutuhan. Jika beban kerja suatu jaringan meningkat maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Pada jantung yang sehat, arteria koronaria berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Namun jika arteria koronaria mengalami kekakuan atau menyempit akibat arterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon peningkatan kebutuhan akan oksigen, maka terjadi iskemi miokardium.

(20)

energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat. Dengan hilangnya penimbunan asam laktat, maka nyeri angina pektoris berkurang. Dengan demikian, angina pektoris merupakan suatu keadaan yang berlangsung singkat.

Angina pektoris tidak stabil adalah kombinasi angina stabil dengan angina prinzmetal. Dijumpai pada individu dengan perburukan penyakit arteri koronaria. Angina ini biasanya menyertai peningkatan beban kerja jantung. Hal ini tampaknya terjadi akibat arterosklerosis koronaria, yang ditandai oleh trombus yang tumbuh dan mudah mengalami spasme. Apabila keadaan plak pada arteria koronaria menjadi tidak stabil, misalnya mengalami pendarahan, ruptur atau terjadi fissura, sehingga terbentuk trombus di daerah plak yang menghambat aliran darah koronaria dan terjadi serangan angina pektoris. Serangan angina pektoris jenis ini datangnya tidak tentu waktu, dapat terjadi pada waktu penderita sedang melakukan aktivitas fisik atau dalam keadaan istirahat, dan gejalanya bervariasi tergantung bentuk ukuran dan keadaan trombus.

Beberapa kriteria dapat dipakai untuk mendiagnosis angina pektoris tidak stabil, yaitu:

a. Angina pektoris kresendo yaitu angina yang terjadi peningkatan dalam intensitas, frekuensi, dan lamanya episode angina pektoris yang dialami selama ini.

(21)

c. ”new-onset exertional Angina” yaitu yang baru timbul dalam kurang 2 bulan. d. Nyeri dada yang timbul 2 minggu sebelum kejadian infark miokard akut

(IMA).

(3) Infark Miokard tanpa ST-elevasi (NSTEMI)

Angina tidak stabil dikelompokkan bersama-sama NSTEMI dimana NSTEMI ditemukan bukti kimiawi yang menunjukkan adanya nekrosis miokard.

(4) Infark Miokard dengan ST-elevasi (STEMI / IMA)

Infark miokard akut (IMA) adalah nekrosis miokard akibat aliran darah ke otot jantung terganggu.

a. Infark Subendokard

Infark yang terjadi pada sepertiga sampai seperdua dari ketebalan dinding ventrikel. Umumnya diakibatkan oleh hipoperfusi dari jantung seperti pada stenosis aorta, syok hemoragik, dan dapat pula akibat trombus pada arteri koronaria yang lisis sebelum terjadi nekrosis pada miokard.

b. Infark Transmural

Nekrosis miokard yang terjadi pada seluruh atau hampir seluruh ketebalan dinding miokard (endokardium sampai epikardium). Umumnya disebabkan oleh aterosklerosis arteri koronaria, perubahan plak secara akut, dan trombosis.

Pada publikasi akhir-akhir ini lebih lazim dipergunakan sebutan Infark Miokard Non Q wave daripada Infark Miokard Subendokard, atau

(22)

Transmural. Sebutan ini juga membedakan diri daripada infark miokard dengan gelombang Q yang patologis.

2.2.5. Gejala Klinis

Gejala umum dari penyakit jantung koroner adalah angina. Angina adalah nyeri atau ketidaknyamanan di dada jika pada daerah otot jantung tidak mendapatkan cukup darah yang kaya oksigen. Angina mungkin terasa seperti tertekan atau seperti diremas di daerah dada. Dapat juga dirasakan di bahu, lengan, leher, rahang, atau punggung. Nyeri cenderung memburuk saat aktivitas dan hilang saat istirahat. Stress emosional juga dapat memicu rasa sakit. (Agri,2012)

Gejala umum lain PJK adalah sesak napas. Gejala ini terjadi jika PJK menyebabkan gagal jantung. Bila memiliki gagal jantung, jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Sehingga terbentuk cairan didalam paru-paru, yang mengakibatkan sulit untuk bernapas.(Fatimah,2012)

(23)

1) Serangan Jantung

Sebuah serangan jantung terjadi jika aliran darah yang kaya oksigen ke bagian otot jantung tiba-tiba menjadi tersumbat. Hal ini dapat terjadi jika daerah plak dalam arteri koroner pecah. Fragmen sel darah yang disebut platelet menempel ke lokasi cedera dan dapat mengumpul untuk membentuk bekuan darah. Jika bekuan menjadi cukup besar, maka sebagian besar atau benar-benar akan memblokir aliran darah di arteri koroner. Jika sumbatan itu tidak ditangani dengan cepat, bagian dari otot jantung yang diberi makan oleh arteri tersebut akan mulai mati. Jaringan jantung sehat digantikan dengan jaringan parut. Kerusakan jantung ini mungkin tidak jelas, atau mungkin menjadi parah atau menimbulkan masalah yang lama.

2) Kerusakan otot jantung dan arteri yang terblokir

Gambar 2.4. Kerusakan Otot Jantung dan Arteri yang Terblokir

(24)

Gejala serangan jantung yang paling umum adalah nyeri dada atau rasa yang tidak nyaman. Sebagian besar serangan jantung melibatkan ketidaknyamanan seperti tekanan yang tidak nyaman, seperti diremas-remas, terasa penuh, atau rasa nyeri di daerah tengah atau samping kiri dada yang sering berlangsung selama lebih dari beberapa menit, dan dapat hilang dan muncul kembali.

Nyeri serangan jantung kadang terasa seperti terbakar atau heartburn. Gejala-gejala angina mirip dengan Gejala-gejala serangan jantung. Nyeri angina biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan hilang dengan istirahat. Nyeri dada atau perasaan tidak nyaman tidak hilang begitu saja atau berubah dari pola yang biasa (misalnya, terjadi lebih sering atau saat sedang istirahat) hal ini dapat menjadi tanda serangan jantung.

Tanda-tanda umum dan gejala serangan jantung lainnya mencakup: (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) a) Ketidaknyamanan tubuh bagian atas pada satu atau kedua lengan,punggung,

leher, rahang, atau bagian atas dari lambung.

b) Sesak napas, yang mungkin terjadi dengan atau sebelum rasa tidak nyaman pada dada.

(25)

3) Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu kondisi di mana jantung tidak dapat memompa cukup darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Gagal jantung tidak berarti bahwa jantung telah berhenti atau akan berhenti bekerja. Tanda-tanda dan gejala paling umum gagal jantung adalah sesak napas atau kesulitan bernapas, kelelahan, dan pembengkakan di kaki, pergelangan kaki, tungkai kaki, perut, dan vena di leher. Semua gejala ini adalah hasil dari penumpukan cairan dalam tubuh. Ketika gejala dimulai, maka akan merasa lelah dan sesak napas setelah melakukan.

4)Aritmia

Aritmia adalah sebuah masalah dengan irama detak jantung. Bila memiliki aritmia, jika diperhatikan jantung akan melewatkan ketukannya atau berdenyut terlalu cepat. Beberapa orang menggambarkan perasaan aritmia dengan pulsasi yang cepat dan terus menerus di daerah dada. Perasaan ini disebut palpitasi. Beberapa aritmia dapat menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti berdetak. Kondisi ini disebut serangan jantung mendadak (SCA). SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak diobati dalam hitungan menit.

2.2.6. Penyakit Jantung Koroner pada Lansia

(26)

kontraktilitas (daya pompa otot jantung) menurun dan para lansia merasa cepat lelah jika berjalan jauh, dan mengeluh sesak nafas jika menaiki beberapa anak tangga (Hanna Santoso, Andar Ismail (2008).

Dinding pembuluh darah juga mengalami penebalan dan pergeseran sehingga menjadi kaku. Diameter rongga pembuluh darah mengecil atau menyempit sehingga aliran darah tidak selancar pada orang yang berusia muda. Hal ini menyebabkan kelenturan pembuluh darah berkurang. Sehingga mengakibatkan pengerasan pembuluh darah (Arteriosklerosis). Terkadang terasa nyeri di dada kiri karena ada penyempitan pembuluh darah jantung, sehingga aliran darah kurang lancer. Penebalan dan pengerasan dinding pembuluh darah ini terjadi karena adanya penambahan jaringan ikat, klasifikasi, dan penimbunan lemak. Kolesterol darah yang tinggi serta faktor-faktor berisiko lain, misalnya merokok, kurangnya latihan fisik atau olahraga, mengidap penyakit darah tinggi, diabetes, dan alin-lain, sangat berperan dalam mempercepat proses arterosklerosis dan penyakit jantung koroner. (Hanna Santoso, Andar Ismail (2008). Memahami krisis lanjut usia. Jakarta

(27)

dasar lain yang membuat interpretasi gejala iskemi menjadi sulit. Komorbid yang telah ada, turut membuat tes diagnostik dan terapi di bidang kardiologi lebih menantang untuk mereka yang berusia lanjut. (Lakatta, 2008,dalam Eko ,2011)

a. Perubahan Arteri pada Usia Lanjut

Secara alami tubuh manusia akan mengalami proses penuaan termasuk system kardiovaskuler. Pengetahuan mengenai perubahan struktur dan fungsi arteri terkait usia dapat menjelaskan mengapa penuaan merupakan prediktor komplikasi penyakit kardiovaskuler. Penuaan vaskuler ditandai oleh adanya proses degeneratif, penurunan fungsi endotel dan kekakuan arteri. Perubahan tersebut dapat merupakan refleksi adaptatif atau proses degeneratif.

1) Perubahan Degeneratif dan Remodeling Arteri

Penebalan intima-media pada arteri sering disebut arterosklerosis subklinis. Pada individu tanpa penyakit kardiovaskuler, penebalan intima-media yang berlebihan pada usianya dapat memprediksi penyakit arteri koroner asimptomatis (silent) dan dapat berkembang menjadi penyakit jantung iskemi yang simptomatis. Menurut Cardiovascular Health study (CHS), pada usia diatas 65 tahun, penebalan intima-media adalah prediktor independen kejadian infark miokard dan stroke dimasa mendatang. (Rizky,2012).

(28)

intercellular cell adhesion molecules, produksi kolagen serta collagen cross-linking, dan hilangnya serat elastik peningkatan fibronektin dan kalsifikasi. (Eko,2011)

Penurunan rasio elastin dan kolagen yang menjadi kunci viskoelastisitas pembuluh darah menyebabkan kekakuan arteri. Kekakuan arteri terjadi pada seluruh lanjut usia, tak terkecuali normotensi, perbedaan etnis maupun gaya hidup. Kekakuan arteri (arterial stiffness) berhubungan dengan struktur intrinsik dinding pembuluh darah yang berkaitan dengan peningkatan pulse wave velocity dan semakin dini dan kuatnya pulse wave reflection yang kembali ke jantung. (Eko, 2011)

2) Disfungsi Endotel

Sel endotel merupakan regulator vaskuler yang kuat dan sangat penting. Penurunan control endotel pada tonus vasomotor menggagalkan adaptasi vaskuler terhadap perubahan aliran terutama saat aktivitas atau iskemia. Selain itu penurunan makromolekul transport dan sintesis prostasiklin (PGI2) memfasilitasi pembentukan atherosklerosis dan thrombosis (Agri,2012).

Fungsi barier sel endotel menurun seiring usia sehingga terjadi peningkatan permeabilitas. Akibatnya terjadi perpindahan makromolekul plasma melalui endotel lalu terperangkap di intima yang pada akhirnya member kontribusi terhadap modifikasi intima. (Agri, 2012)

(29)

substansi vasoreaktif diantaranya NO (nitric oxide) dan endothelin. Substansi ini menurun seiring dengan penambahan usia. (Eko, 2012)

Pemendekan telomer juga dikaitkan dengan proses atherosklerosis. Fungsi telomer yang terhenti akibat penuaan menginduksi terjadinya disfungsi endotel pada pembuluh darah. Kemampuan regenerasi sel juga terhenti sehingga menyebabkan kegagalan angiogenesis. Proses angiogenesis memerlukan sel endotel yang berproliferasi dan bermigrasi sebagai respon terhadap sitokin. (Lakatta, 2008 dalam Eko, 2012).

Perubahan lingkungan intravaskular turut dipengaruhi oleh usia seperti fibrinogen, 38actor koagulasi (V, VII, IX dan XIIa) dan faktor von Willebrand yang meningkat tanpa diimbangi oleh peningkatan factor antikoagulasi. Peningkatan plasminogen activator inhibitor (PAI-1) terutama saat stress mengakibatkan gagalnya fibrinolisis. (Scwart, 2011 dalam Eko, 2012)

2.2.7. Faktor Risiko Penyakit Jantung Koroner (PJK) a. Definisi Risiko

(30)

Faktor usia, jenis kelamin dan keluarga) dan kebiasaan (seperti aktivitas seksual, merokok dan penyalahgunaan narkoba) yang lebih umum di antara orang yang terkena penyakit tertentu dibandingkan orang yang tidak terjangkit penyakit itu. Faktor risiko biasanya tidak menyebabkan penyakit tetapi hanya mengubah probabilitas seseorang (atau risiko) untuk mendapatkan penyakit.(

b. Etiologi

Penyebab penyakit jantung koroner secara umum dibagi atas dua, yakni menurunnya asupan oksigen yang dipengaruhi oleh aterosklerosis, tromboemboli, vasopasme, dan meningkatnya kebutuhan oksigen miokard. Dengan perkataan lain, ketidak seimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dengan masukannya. Dikenal 2 keadaan ketidakseimbangan masukan terhadap kebutuhan oksigen itu, yaitu hipoksemia (iskemia) yang ditimbulkan oleh kelainan vaskuler (arteri koronaria) dan hipoksia (anoksia) yang disebabkan kekurangan oksigen dalam darah. Perbedaannya ialah pada iskemia terdapat kelainan vaskuler sehingga perfusi ke jaringan berkurang dan eliminasi metabolit yang ditimbulkannya (misal asam laktat) menurun juga sehingga gejalanya akan lebih cepat muncul. (Rizki,2012)

(31)

normal. Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi, dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi timbulnya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan menyebabkan infark dengan elevasi segmen, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100%, dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

2.2.8. Faktor Risiko PJK yang tidak Dapat di Modifikasi

Menurut Smeiltzer and Bare (2002), Faktor resiko penakit jantung koroner yang tidak dapat dimodifikasi meliputi keturunan (riwayat keluarga), jenis kelamin , umur dan suku bangsa/ ras. Penjelasan dari faktor-faktor resiko tersebut yaitu : 1. Umur

Aterosklerosis merupakan penyakit yang mengikuti pertambahan umur dan seluruh faktor-faktor yang menyertainya, umur mempunyai hubungan yang kuat. Fatty streak muncul di aorta pada akhir dekade awal umur seseorang dan terdapat progresi pengerasan dari aterosklerosis pada sebagian besar arteri dengan bertambahnya umur. Sehubungan dengan konsep terkini pathogenesis aterosklerosis, terdapat respon inflamasi fibroproliferatif terhadap suatu injury dalam proses degeneratif yang berhubungan dengan usia.(Yusnidar,2012)

(32)

sampai menopause, dan kemudian meningkatkan risiko mereka. Risiko aterosklerosis meningkat setelah usia 45 pada pria dan setelah usia 55 tahun pada wanita. Perempuan dengan umur 65 tahun atau lebih tua memiliki risiko penyakit kardiovaskular yang sama dengan laki-laki dari usia yang sama (Yusnidar,2012).

Menurut yang dilansir oleh CDC (Centers for Disease Control and Prevention), Prevalence of Coronary Heart Disease, United States, 2006-2010. Pada tahun 2010, prevalensi PJK terbesar terjadi diantara orang berusia ≥ 65 tahun (19,8%), diikuti oleh orang-orang berusia 45 – 64 tahun (7,1%) dan mereka yang berusia 18 – 44 tahun (1,2%). Prevalensi PJK lebih besar pada laki-laki (7,8%)

(33)

Dari penelitian Cooper pada 2000 laki-laki yang sehat didapatkan peningkatan kadar kolesterol total dengan bertambahnya umur. Akan tetapi kadar HDL(High- Density Lipoprotein). Kolesterol akan tetap konstan sedangkan kadar LDL (Low- Density Lipoprotein) Kolesterol cenderung meningkat (Agri,2012).

Penelitian Cooper pada 589 perempuan didapatkan respons peningkatan kolesterol sedikit berbeda yaitu kadar LDL (Low- Density Lipoprotein) kolesterol cenderung meningkat lebih cepat sedangkan kadar HDL (High- Density Lipoprotein) kolesterol juga meningkat sehingga rasio kadar kolesterol total/HDL (High- Density Lipoprotein) menjadi rendah. Rasio yang rendah tersebut akan mencegah penebalan dinding arteri sehingga perempuan cenderung lebih sedikit terjadi risiko penyakit jantung koroner (Agri,2012).

Karena risiko penyakit jantung koroner terutama meninggi pada akhir dekade kehidupan, maka menurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Beberapa penelitian membuktikan bahwa penderita dengan kadar kolesterol yang tinggi bila dapat menurunkan kadar kolesterol total 1%, maka terjadi penurunan 2% serangan jantung. Jadi bila kadar kolesterol dapat diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30% (Rizki,2012).

2. Jenis Kelamin

(34)

cepat dan sebanding dengan insidensi pada laki-laki. Perokok mengalami menopause lebih dini daripada bukan perokok. Di Amerika serikat gejala penyakit jantung koroner umur 60 tahun didapatkan pada 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 17 perempuan. Ini menunjukkan risiko penyakit jantung koroner lebih tinggi daripada perempuan (Furqan,2011).

Gejala PJK pada perempuan dapat atipikal: hal ini, bersama dengan bias jender, kesulitan dalam interpretasi pemeriksaan standart (misalnya tes latihan treadmill) menyebabkan perempuan lebih jarang diperiksa dibandingkan laki-laki. Selain itu, manfaat prosedur revaskularisasi lebih menguntungkan pada laki-laki dan berhubungan dengan tingkat komplikasi periopratif yang lebih tinggi pada perempuan. Penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko penyakit jantung koroner sekitar tiga kali lipat tetapi beberapa bukti menunjukkan bahwa risiko preparat generasi ketiga terbaru lebih rendah. Terdapat hubungan sinergis antara pengguna kontrasepsi oral dan merokok, dengan risiko relatif infark miokard lebih dari 20:1 (Fatimah,2012).

(35)

Tabel 2.1. Golongan Usia Penderita Penyakit Jantung Koroner dan Kontrol

Golongan Umur PJK Kontrol

n % n %

30-39 6 12,8 6 12,8

40-49 8 17,0 8 17,0

50-59 20 42,5 20 42,5

60-69 6 12,8 6 12,8

≥70 7 14,9 7 14,9

Jumlah 47 100,0 47 100,0

Risiko penyakit jantung koroner pada penurunkan kadar kolesterol pada usia tua sangat bermanfaat. Hal tersebut dibuktikan dengan penurunkan kadar kolesterol total 1% pada penderita, maka terjadi penurunan 2% serangan jantung sehingga bila kadar kolesterol dapat diturunkan 15% maka risiko penyakit jantung koroner akan berkurang 30%. (Fuqan,2011)

2.2.9. Faktor-faktor Resiko PJK yang Dapat di Modifikasi 1. Merokok

Pada saat ini merokok telah dimasukkan sebagai salah satu faktor resiko utama Penyakit Jantun Koroner disamping hipertensi dan hiperkolesterolami. Orang yang merokok > 20 batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua faktor utama resiko lainnya. (Rizki,2012)

(36)

lain dapat menyebabkan Tahikardi, vasokonstrisi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 % Hb menjadi carboksi – Hb. Disamping itu dapat menurunkan HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas . Makin banyak jumlah rokok yang dihidap, kadar HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterol makin menurun. Perempuan yang merokok penurunan kadar HDL (High-Density Lipoprotein) kolesterolnya lebih besar dibandingkan proinflamasi.(Yusnidar,2010)

Disamping itu meningkatkan level produk oksidasi termasuk (Low-Density Lipoprotein) LDL-Oks dan menurunkan kolesterol HDL (High-Density Lipoprotein). Tobacco glycoprotein juga menunjukkan sebagai bahan mitogenik pada kultur pembuluh darah halus sel otot sapi dan terdapat perubahan factor hemostasis seperti meningkatnya faktor VIII RAGE (Receptor Advance Glycation End Products) dan agregasi trombosi terhadap adenosine diphosphate.(Yusnidar,2010)

(37)

2. Hipertensi 1. Pengertian

Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg (Milimeter Hidragirum) dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg (Milimeter Hidragirum). Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg (Milimeter Hidragirum) dan tekanan diastolik 90 mmHg (Milimeter Hidragirum). Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output (Fatimah,2012)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malau Mutiara Aini, (2010) mengenai Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi di RSUP H.ADAM MALIK, menunjukkan hasil bahwa pada pasien rawat inap penyakit jantung koroner dan Hipertensi di RSUP H. Adam Malik tahun 2010 yang positif mengalami PJK dan memiliki riwayat Hipertensi dijumpai sebanyak 32%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian PJK dengan tingkat Hipertensi (p = 0,001 < p = 0,1).

2. Klasifikasi Hipertensi

(38)

sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasus-kasus hipertensi (Furqan,2011).

Berdasarkan bentuk hipertensi, yaitu hipertensi diastolic, campuran, dan sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik Umumnya ditemukan pada usia lanjut (Agri,2012).

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer untuk membedakan dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi.(Rizki,2012).

(39)

Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7

Klasifikasi Tekanan Darah TDS (mmHg) TDD(mmHg)

Normal <120 Dan <80

Prahipertensi 120-139 Atau 80-90

Hipertensi Derajat 1 140-159 Atau 90-99

Hipertensi Derajat 2 ≥160 Atau ≥100

Masih terdapat beberapa klasifikasi menurut WHO dan International Society Organition , dari European Society of Hypertension (ESH) bersama European Society of Cardiology. British Hypertension Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP) tetapi umumnya digunakan (Joint National Committee ) JNC 7.(Agri,2012)

Risiko terjadinya penyakit jantung koroner dua kali lipat pada pasien hipertensi. Hipertensi kurang menunjukkan risiko penyakit jantung iskemik pada populasi risiko rendah seperti pada negara berkembang, dimana hipertensi berhubungan dengan stroke hemoragik dan gagal ginjal.(Rizki,2012)

a. Mekanisme kerusakan vaskular pada hipertensi.

(40)

Peran Renin-Angiotensin System (RAS) sebagai sistem endokrin yang mempengaruhi tekanan darah dan regulasi elektrolit sudah diketahui sebelumnya. Gangguan pada sistem ini dapat menyebabkan hipertensi, penyakit ginjal, dan gagal jantung kongestif. .(Agri,2012)

Perkembangan terbaru menjelaskan bahwa Ang II lebih dari sekedar hormon yang bekerja pada sistem hemodinamik dan ginjal tetapi juga bersifat lokal, mediator aktif yang secara langsung berpengaruh pada endotel dan sel otot polos (SMC /smooth muscle cell). Ang II merupakan sebagian besar mediator dari stress oksidatif dan menurunkan aktivitas (Nitrous Oxidase) NO. Ang II mengaktifkan oksidasi membrane (Agri,2012).

NADPH (Nikotinamid adenin dinukleotida pospat tereduksi oksidasi) yang menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) berupa superokside dan hidrogen perokside. Dengan demikian , Ang II memacu ekspresi MCP-1 mRNA pada monosit dan VSMC (Vascular Cell Adhesion Molecule) keadaan ini dihambat oleh antioksidan intrasel. Ang II memicu terjadinya disfungsi endotel dan mengaktifkan proinflamator VSMC. Mengaktifkan NF-kB (nuclear factor) dan menstimulasi ekspresi VCAM (Vascular Cell Adhesion Molecule) dan mengeluarkan sitokin (IL-6 dan TNF-α) , kondisi ini bersinergi pada keadaan dislipidemia dan diabetes mellitus (DM) (Yusnidar,2010).

(41)

factor, insulin-like growth factor, dan transforming growth factor- β 1 (TGF- β1)) di VSMC (Vascular smooth muscle cell). Mekanisme lain peran Ang II dalam vascular remodelling dan pembentukan lesi vakular dengan memodulasi migrasi sel vaskular, menurunkan apoptosis VSMC (Vascular smooth muscle cell) dan merubah komposisi matrik ekstrasel. Ang II memang dapat mensintesis dan melepaskan matrik glikoprotein dan MMP. Oleh karena itu Ang II merupakan mediator lokal vascular remodeling dan pembentukan lesi (Agri,2012).

Ang II juga dapat menggangu keseimbangan antara fibrinolitik dan system koagulasi melalui pengaruhnya terhadap endotel. Ang II memacu pembentukan PAI 1 yang di perantarai oleh reseptor angiotensin spesifik di sel endotel. Tissue ACE juga menurunkan produksi tPA melalui degradasi bradikinin yang merupakan stimulator kuat produksi tPA di endotel. Aksi dari tissue ACE/Ang II pada sistem fibrinolitik dan mempercepat perkembangan keadaan protrombik (Yusnidar,2010).

(42)

3. Aktifitas Fisik

Kurang melakukan aktivitas fisik juga merupakan sebab timbulnya PJK. Sejumlah riset menyimpulkan bahwa orang yang kurang berolah raga memiliki resiko relatif 2 kali lebih besar di bandingkan orang yang secara teratur berolah raga. Manfaat utama kegiatan fisik adalah untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium untuk suatu beban kerja sub maksimal yang berarti meningkatkan kapasitas fungsional jantung. (Agri,2012)

Ditinjau dari fisiologis, kegiatan jasmani dengan cara berolah raga akan meningkatkan rasa percaya diri, menstabilkan emosi, mengurangi depresi, dan kecemasan. Dampak positif lainnya adalah mengendalikan faktor resiko seperti dislipidemia, mengurangi rokok, kadar gulah darah, dan mengurangi hipertensi (Rizki,2012).

Aktivitas fisik berupa olahraga, kegiatan harian bahkan menari yang dilakukan secara rutin bermanfaat untuk mencegah aterosklerosis (timbunan lemak di dinding pembuluh darah). Hal itu terbukti dari autopsy juara maraton Boston tujuh kali, Clarence deMar, yang menunjukkan ukuran pembuluh darah koronernya dua sampai tiga kali ukuran normal serta tak ditemukan adanya stenosis (penyempitan pembuluh darah) yang signifikan meski meninggal dalam usia 69 tahun (Eko,2012).

(43)

derive relaxing factor (EDRF), yang merelaksasi dan melebarkan pembuluh darah (Agri,2012).

Aliran darah koroner dalam keadaan istirahat sekitar 200 ml per menit (empat persen dari total curah jantung). Penelitian di laboratorium menunjukkan, peningkatan aliran darah 4 ml per menit sudah mampu menghasilkan NO untuk merangsang perbaikan fungsi endotel (lapisan dinding) pembuluh darah. Aktivitas fisik sedang berupa senam atau jalan kaki yang meningkatkan aliran darah menjadi 350 ml per menit (naik 150 ml per menit) sudah lebih dari cukup untuk menghindarkan endotel pembuluh darah dari proses aterosklerosis. Namun, manfaat itu baru bisa didapat jika peningkatan aliran darah lewat aktivitas fisik berlangsung secara teratur dalam waktu cukup lama (20 menit sampai satu jam) serta dilakukan secara teratur seumur hidup (Eko ,2012).

4. Obesitas

(44)

kolesterol 11 mg/dl, glukosa 2 mg/dl, asam urat 0,4 mg/dl dan tekanan darah sistolik 5 mg/dl (Rizki,2012).

Obesitas menjadi epidemi global pada anak-anak dan orang dewasa. Hal ini terkait dengan berbagai komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular (Cardiovaskular Diseeses) (CVD), diabetes tipe 2, hipertensi, kanker tertentu, dan apnea tidur / tidur-gangguan pernapasan. Bahkan, obesitas merupakan faktor risiko independen untuk (Cardiovaskular Diseeses) CVD, dan risiko (Cardiovaskular Diseeses) CVD juga telah didokumentasikan pada anak-anak obesitas. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko morbiditas dan mortalitas serta harapan hidup berkurang Disease: Pathophysiology, Evaluation, and Effect of Weight Loss).

(45)

penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan kematian mendadak karena dampaknya terhadap sistem kardiovaskular.(

5. Diabetes Melitus (DM)

http://circ.ahajournals.org/content/113/6/898.long).

Diabetes Melitus (DM) adalah suatu keadaan yang ditandai dengan kadar gula darah yang melebihi normal. Menurut kriteria WHO (1985), kadar gula darah normal waktu puasa tidak boleh melebihi 120 mg/dl dan kadar gula darah 2 jam setelah makan kurang dari 200 mg/ dl. Penderita diabetes mellitus (DM) memiliki resiko relatif 2 kali lebih besar terkena penyakit jantung koroner (PJK) dibandikan yang bukan diabetes mellitus (Agri,2012).

Menurut smeiltzer and bare (2002), Hubungan antara tingginya kadar glukosa dan meningkatnya penyakit jantung koroner telah terbukti. Hiperglikemia menyebabkan peningkatan agregasi trombosit, yang dapat menyebabkan pembentukan trombus. Control hiperglikemia tanpa modifikasi faktor resiko lainnya tidak akan menurunkan resiko penyakit jantung koroner (Rizki,2012).

(46)

metabolisme lipid, obesitas, hipertensi sistemik dan peningkatan trombogenesis (peningkatan tingkat adhesi platelet dan peningkatan kadar fibrinogen).

2.2.10. Pencegahan

Pencegahan merupakan salah satu upaya menurunkan angka kejadian suatu penyakit. Pencegahan penyakit jantung koroner meliputi atas pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer bertujuan untuk mencegah terjadinya proses patologis yang mendasari penyakit jantung koroner, mencegah timbulnya aterosklerosis, dengan cara memberantas faktor-faktor risiko, dan mencegah timbulnya hipertensi dengan membatasi konsumsi garam (Furqan,2011).

Pencegahan sekunder bertujuan untuk mencegah timbulnya serangan ulang atau progresifitas penyakit jantung koroner, pencegahan penyakit kardiovaskuler harus dimulai sejak umur 20 tahun. Riwayat keluarga dengan penyakit jantung koroner, merokok, diet, dan aktivitas fisik harus secara rutin dipantau. Tekanan darah, kadar kolesterol, kadar gula darah (KGD puasa) <110 mg/dL) dan indeks masa tubuh harus diperiksa 2 tahun (Furqan,2011).

Upaya pencegan terhadap penyakit jantung koronerdapat meliputi dalam 4 tingkatan.: (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

1. Pencegahan Primordial

(47)

jantung. Cara hidup sehat mencakup mengkonsumsi makanan yang sehat, tidak merokok, beraktivitas fisik dan berolahraga, menghindari dan mencegah ketegangan batin (stres), dan memelihara lingkungan hidup yang sehat.

2. Pencegahan Primer

Pencegahan primer melipiti segala usaha yang dilakukan sebelum timbulnya gejala proses penyakit (Smeiltzer and Bare, 2002). Pencegahan primer ditunjukkan kepada masyarakat yang telah memiliki resiko untuk terkena penyakit jantung koroner (PJK).

3. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder meliputi segala usaha yang dilakukan untuk mengurangi perkembangan atau mencegah kekambuhan proses penyakit (Smeiltzer and Bare, 2002,dalam Rizky,2012).

a. Pemeriksaan PJK 1) Anamnesis

Anamnesis merupakan cara untuk mendapatkan keterangan dan data klinis tentang keadaan penyakit seorang pasien melalui Tanya-jawab lisan. Anamnesis terdiri atas:

(48)

lelah, kemampuan fisik menurun dan badan sering terasa lemas, sering berkeringat dingin dan lemas dengan perasaan tidak enak pada perut bagian atas.

b) Keluhan dan keterangan tambahan ialah keterangan yang menjelaskan keadaan klinis pasien baik yang ada hubungannya dengan kelainan utama atau hal lain yang mengganggu kesehatan pasien saat ini (present illnes)

c) Riwayat penyakit pasien yaitu menyangkut riwayat penyakit dahulu dan kebiasaan hidup yang ada hubungannya dengan penyakitnya.

d) Riwayat kelurga yaitu riwayat penyakit dominan yang terdapat dalam keluarga dan riwayat perkawinannya untuk mencari faktor familiar yang mungkin merupakan faktor predisposisi.

2) Elektrokardiogram (EKG)

(49)

EKG penting untuk diagnosis dan penatalaksanaan kelainan irama jantung. EKG membantu mendiagnosis penyebab nyeri dada; dan ketepatan penggunaan trombolisis pada infark miokard tergantung padanya. EKG dapat membantu mendiagnosis penyebab sesak nafas (Udjianti,2010).

3) Foto Rontgen Dada

Foto rontgen dada merupakan metoda untuk mendapatkan gambaran jantung untuk menentukan secara keseluruhan dari ukuran jantung dan untuk mendeteksi bendungan di paru-paru. Meskipun demikian, gambaran jantung yang didapat bersifat statik, dan informasi yang lebih terperinci dapat diperoleh dari ekokardiografi (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

Kelainan pada koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat dinilai apakah seorang penderita sudah berada pada penyakit jantung koroner lanjut. Mungkin saja penyakit jantung koroner lama yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung terlihat membesar (Iman Soeharto, 2004, Jantung Koroner dan Serangan Jantung, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama).

4) Pemeriksaan laboratorium

(50)

untuk menemukan faktor resiko seperti hiperlipidemia. Dan pemeriksaan gula darah juga perlu dilakukan untuk menentukan Diabetes Mellitus yang juga merupakan faktor resiko terjadinya PJK.

5) Uji Latihan Jasmani

Uji latihan jasmani dilakukan dengan alat treadmill atau sepeda Ergometer yang dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG sampai pasien mencapai kecepatan jantung maksimal. Prinsipnya adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan karena jantung mempunyai tenaga serap, hingga pada keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.(Rizki,212)

6) Kateterisasi Jantung

(51)

b. Pengobatan PJK

Menurut Brunner & Suddarth, 2001 obat-obat yang diberikan pada penderita PJK, yaitu :

1) Analgetik

Pemberian analgetik dibatasi hanya untuk pasien yang tidak efektif diobati dengan nitrat dan anti koagulan. Analgetik pilihan masih tetap morfin sulfat yang diberikan secara intra vena dengan dosis meningkat 1 sampai 2 mg. Respon kardiovaskular terhadap morfin dipantau dengan cermat, khususnya tekanan darah, yang sewaktu-waktu dapat turun. Tetapi karena morfin dapat menurunkan preload dan afterload dan merelaksasi bronkus sehingga oksigenasi meningkat, maka tetap ada keuntungan terapeutik selain menghilangkan nyeri pada pemberian obat ini.

2) Betablocker

(52)

3) Nitrogliserin

Nitrogliserin adalah bahan vasoaktif yang berfungsi melebarkan baik vena maupun arteria sehingga mempengaruhi sirkulasi perifer. Dengan pelebaran vena terjadi pengumpulan darah vena diseluruh tubuh. Akibatnya hanya sedikit darah yang kembali ke jantung dan terjadilah penurunan tekanan pengisian (preload). Nitrat juga melepaskan arteriol sistemik dan menyebabkan penurunan tekanan darah (penurunan afterload). Semuanya itu berakibat pada penurunan kebutuhan oksigen jantung, menciptakan suatu keadaan yang lebih seimbang antara suplai dan kebutuhan.

4) Aspirin

(53)

4. Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier ditunjukkan kepada penderita jantung koroner yang keadaannya sudah tidak mengkhawatirkan lagi dengan tujuan agar mereka secepat mungkin dapat beraktifitas.(Agri,2012)

Pencegahan dalam tingkatan ini bisa berupa rehabilitasi jantung. Rehabilitasi jantung, seperti yang didefinisikan oleh American Heart Association dan The Task Force on Cardiovaskular Rehabilitation of The National Heart, Lung, and Blood Institute, adalah proses untuk memulihkan dan memelihara potensi fisik, psikologis, social, pendidikan, dan pekerjaan pasien. Program rehabilitasi jantung memang terutama ditunjukan kepada penderita PJK atau pasca operasi jantung.(Yusnidar,2010)

(54)

2.3. Landasan Teori

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Malau Mutiara Aini, (2010) mengenai Hubungan Penyakit Jantung Koroner dengan Tingkat Hipertensi di RSUP H.Adam Malik, menunjukkan hasil bahwa pada pasien rawat inap penyakit jantung koroner dan Hipertensi di RSUP H. Adam Malik tahun 2010 yang positif mengalami Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan memiliki riwayat Hipertensi dijumpai sebanyak 32%. Dari hasil uji Chi Square diperoleh adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kejadian PJK dengan tingkat Hipertensi (p = 0,001 < p = 0,1).

Penelitian yang dilakukan oleh Pane, 2013 mengenai Perilaku Merokok Pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK) di Klinik Bambu Dua Medan, menunjukkan hasil bahwa, dari 97 pasien Penyakit Jantung Koroner (PJK), diperoleh hasil bahwa tingkat pengetahuan terhadap rokok berada dalam kategori baik, yaitu 81.4%, sedangkan kategori cukup 14.4% dan kategori kurang 4.1%. Hasil uji sikap diperoleh kategori cukup sebesar 56.7%, baik 43.3%, serta tidak ada dalam kategori kurang. Untuk tindakan merokok sebelum dan sesudah PJK diperoleh hasil berturut-turut adalah 36.1% dan 93% dalam kategori baik, 15.5% dan 3.1% dengan kategori cukup, serta 48.5% dan 3.1% untuk kategori kurang.

(55)

mellitus (DM) sementara 11 orang pasakit jantung lainnya yang merupakan pasien diabetes mellitus (DM). Penelitian menunjukkan bahawa terdapat hubungan yang bermakna antara Diabetes Melitus dan kejadian penyakit jantung koroner.

(56)

2.4. Kerangka Teori

Gambar 2.5. Kerangka Teori Sumber : (Mira Rosmiatin, 2012. Yusnidar,2010)

Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi.

Merokok Hipertensi Obesitas Aktivitas Fisik Diabetes Melitus

LANSIA

Menurunnya HDL Menigkatnya LDL

Mengurangi Oksidasi LDL oleh Radikal Bebas di Intima Meningkat

Disfungsi Endotel Sel-sel busa dalam jumlah besar

Migrasi Sel-sel Otot Polos Kedalam Intima

Migrasi Sel-sel Otot Polos ke Dalam Intima

Resistensi Pembuluh Darah Meningkat dan Aliran Darah Berkurang

Aterosklerosis Koroner

(57)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain) (Soeparto, dkk 2005, dalam Nursalam,2003).

Variabel Independent Variabel Dependent

Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian Ket : : Yang tidak diteliti

: Yang diteliti Faktor risiko yang dapat di

modifikasi : Merokok Obesitas Aktivitas Fisik Hipertensi Diabetes Melitus

Kejadian penyakit Jantung koroner Faktor risiko yang tidak dapat

dimodifikasi : Umur

Gambar

Tabel 2.1. Golongan Usia Penderita Penyakit Jantung Koroner dan Kontrol
Tabel 2.2. Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC 7
Gambar 2.5. Kerangka Teori
Gambar 2.6. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

terjadinya PJK pada DM, maka peneliti ingin meneliti hubungan kadar HDL pada pasien diabetes melitus Tipe 2 dengan kejadian penyakit jantung koroner melalui

HUBUNGAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN PROFIL LIPID PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER (PJK) DI POLIKLINIK.. JANTUNG

American Heart Association (2018) menjelaskan bahwa usia merupakan faktor risiko yang tidak dapat diubah dan mayoritas orang meninggal akibat jantung koroner

Besemah Pagar Alam Tahun 2017. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara Hipertensi dengan Penyakit Jantung Koroner terbukti

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor risiko dengan kejadian penyakit jantung koroner pada pasien usia 45-65 tahun di Klinik

EVALUASI RISIKO HIPOKALEMIA DAN ARITMIA AKIBAT PENGGUNAAN INSULIN PADA PASIEN PENYAKIT JANTUNG KORONER KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS DI PUSAT JANTUNG TERPADU RUMAH

Kejadian komplikasi karena diabetes mellitus lebih tinggi pada wanita kemungkinan disebabkan karena diabetes mellitus pada wanita banyak yang disertai dengan faktor

Menurut data rekam medis RSUD Kabupaten Subang tahun 2020, kasus penyakit jantung yang ditangani oleh RSUD Kabupaten Subang tahun 2020 sebanyak 8.104 kasus dan mengalami peningkatan