BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Telinga
Secara anatomi telinga dibagi menjadi tiga bagian yaitu: telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.
2.1.1 Anatomi Telinga Luar
Telinga luar terdiri dari daun telinga (aurikula), liang telinga sampai membrana timpani. Aurikula dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh
perikondrium dan bagian terluar dilapisi oleh kulit. Aurikula dibagi atas bagian tulang rawan (1/3 luar) dan bagian tulang (2/3 dalam), panjangnya kira-kira 2½ - 3 cm (Ellis, 2006).
2.1.2. Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah
berbatasan dengan membran timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam. Teinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan langsung dengan membran timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic tube) pada bagian
anterior. Kondisi ini memungkinkan transmisi getaran dari membran timpani melalui telinga tengah hingga mencapai telinga dalam. Hal ini dapat tercapai oleh adanya tulang-tulang yang dapat bergerak dan saling terhubung sehingga menjembatani ruang di antara membran timpani dan telinga tengah. Tulang-tulang ini disebut juga osikulus auditorius, terdiri dari malleus (terhubung dengan
membran timpani), incus (terhubung dengan malleus melalui persendian sinovial), dan stapes (terhubung dengan incus melalui persendian sinovial dan melekat pada bagian lateral telinga dalam pada jendela oval). Osikulus auditorius tersebut berfungsi untuk mentransmisikan getaran suara yang dihantarkan dari membran timpani ke telinga dalam (Tortora, 2009; Drake, 2010).
Dinding lateral dari telinga tengah adalah membran timpani, sedangkan bagian medial berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semisirkularis horizontal, kanalis fasialis, tingkap lonjong (fenestra ovalis), tingkap bundar (fenestra
rotundum) dan yang paling dominan adalah promontorium. Di dinding anterior
terdapat pintu ke tuba Eustachius, sedangkan di dinding posterior terdapat aditus
ad antrum, yaitu saluran yang menuju ke rongga mastoid. Bagian dasar telinga tengah adalah bulbus jugularis (dipisahkan dengan vena jugularis oleh tulang tipis). Dinding superior berbatasan dengan lantai fosa kranii media yang disebut tegmen timpani (Soetirto, 2007).
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
liang telinga, bagian tengah berupa jaringan ikat yang lentur, dan lapisan dalam ialah sel kubik bersilia. Bagian atas membran timpani disebut pars flaksida yang mengandung dua lapisan yaitu bagian luar dan dalam, sedangkan bagian bawah disebut pars tensa yang mengandung ketiga lapisan tersebut. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut sebagai umbo.
Dari umbo bermula suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah yaitu pada jam 7 untuk membran timpani kiri dan jam 5 untuk membran timpani kanan (Soetirto, 2007).
Tuba Eustachius ialah suatu saluran yang menghubungkan nasofaring
dengan telinga tengah yang berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. Terdiri dari tulang rawan pada 2/3 ke arah nasofaring dan 1/3 sisanya terdiri dari tulang. Pada anak-anak tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa hingga infeksi dari nasofaring lebih mudah masuk ke telinga tengah. Panjang tuba orang
Gambar 2.2. Anatomi Telinga Tengah 2.1.3. Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setangah lingkaran dan vesitubuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung
atau puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani di sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah
Gambar 2.3. Antomi Telinga Dalam
2.2. Definisi OMA
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan akut sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid yang berlangsung kurang dari tiga minggu. Bila OMA berlanjut dengan keluarnya
sekret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan sekret tetap keluar lebih dari 1½ bulan atau 2 bulan , maka keadaan ini disebut Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK). Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani (Djaafar, 2007).
2.3. Etiologi OMA
Penyebab otitis media akut ialah disfungsi tuba Eustachius. Obstruksi tuba
Eustachius merupakan suatu faktor penyebab dasar. Dengan hilangnya sawar
utama telinga tengah terhadap invasi bakteri, dan spesies bakteri yang tidak
Infeksi telinga tengah terutama berasal dari saluran pernafasan bagian atas, masuk ke kavum timpani melalui tuba Eustachius. Segala sesuatu yang mengganggu fungsi tuba dapat menyebabkan otitis media (Soetirto, 2007). Salah satu penyebab OMA yang cukup sering adalah bakteri piogenik. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Ramakrishnan et al. (2007) menyatakan bahwa S. pneumoniae, H. influenzae, dan
M. catarrhalis merupakan penyebab utama OMA. S. pneumoniae dan H.
influenzae merupakan patogen yang paling sering menyebabkan OMA dan invasif
pada anak-anak dan paling sering menyebabkan rekurensi OMA. S. pneumoniae sendiri sebenarnya merupakan patogen yang paling sering menjadi penyebab OMA untuk berbagai usia. Sementara itu, H. influenzae terutama terjadi pada anak-anak usia pra-sekolah. M. catarrhalis juga dilaporkan menyebabkan OMA,
meskipun tidak sering dan pada dasarnya merupakan flora normal dari traktus respiratorius atas. Streptococcus pyogenes merupakan patogen yang juga
dilaporkan memicu OMA, meskipun tingkat kekerapannya tidak setinggi tiga patogen sebelumnya. Meskipun demikian, patogen ini dapat memicu nekrosis yang cukup cepat dan signifikan dibandingkan patogen lainnya pada telinga tengah, yaitu perforasi yang moderat atau besar. Patogen lain yang pernah
ditemukan memicu OMA adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans,
M. tuberculosis, Chlamydia pneumonia, dan Pseudomonas aeruginosa.
Selain bakteri, virus juga memiliki asosiasi yang cukup kuat dengan terjadinya OMA, yaitu Respiratory Syncytial Virus (RSV), Influenza virus dan
Adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai Parainfluenza virus,
Rhinovirus dan Enterovirus. Infeksi virus di daerah nasofaring merupakan salah
satu bagian dari patogenesis OMA, meskipun peran virus ini secara lengkap belum sepenuhnya dimengerti. Invasinya di daerah tersebut akan menyebabkan inflamasi pada bagian orifisium dan mukosa tuba Eustachius dan memfasilitasi bakteri lain untuk menginvasi telinga tengah. Infeski saluran nafas atas yang sering disebabkan oleh virus ini sering berkembang menjadi OMA. Meskipun
tengah OMA. Umumnya, infeksi virus terjadi pada kasus OMA secara koinfeksi dengan bakteri tertentu dan kasus OMA seperti ini telah terjadi sebanyak lebih dari 40% anak-anak yang mengalami OMA. Kondisi ini juga diperkirakan suatu bukti bahwa kondisi sinergi antara infeksi virus dan bakteri secara bersamaan merupakan salah satu dasar terjadinya OMA (Buchman, 2003).
2.4. Faktor Risiko OMA
Faktor umur berperan dalam terjadinya OMA. Khususnya pada bayi dan
anak-anak, disebabkan oleh struktur dan fungsi immature tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Infeksi saluran nafas atas dapat menyebabkan kongesti dan pembengkakan dari mukosa nasal, nasofaring, dan tuba Eustachius. Hal ini dapat memicu obstruksi tuba Eustachius dan membuat cairan sekresi di telinga tengah
terakumulasi. Infeksi sekunder oleh bakteri dan virus pada efusi tersebut dapat menghasilkan supurasi dan tanda-tanda OMA (Ramakrishnan et al., 2007).
Status sosio-ekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak-anak. ASI dapat membantu meningkatkan pertahanan tubuh. Sehingga, anak-anak yang
kurang asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak yang jarang terpapar asap rokok. Riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, juga meningkatkan insidens OMA. Anak-anak dengan abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA
Tabel 2.1. Faktor Resiko yang Berkaitan dengan Kejadian OMA
Faktor Resiko Keterangan
Usia
Insidensi maksimal berkisar antara enam sampai 24 bulan, karena tuba Eustachius lebih pendek dan
lebih landai. Fungsi fisiologis dan imunologi yang masih rendah membuat anak rentan terkena infeksi
Pemberian ASI
Menyusui minimal tiga bulan dapat memberikan proteksi pada anak, disamping kandungan yang
ada pada ASI
Penitipan anak Kontak dengan beberapa anak dapat meningkatkan penyebaran virus dan bakteri
Paparan asap rokok Insidensi meningkat dengan adanya asap rokok dan polusi udara
Jenis kelamin Laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi
Pemakaian dot Insidensi meningkat
Riwayat antibiotik Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat
Riwayat OMA Resiko kegagalan pengobatan antibiotik meningkat
Patologi lain yang mendasari Insidensi meningkat pada anak-anak dengan rinitis alergi, cleft palate, dan Down syndrome
(sumber: Adaptasi dari Ramakrishnan, K., et al., 2007. Diagnosis and Treatment
of Otitis Media. American Family Physician, 76 (11): 1651.)
2.5. Patogenesis OMA
tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007). Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring. Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan
masuknya mikroba ke dalam telinga tengah oleh silia mukosa tuba Eustachius, enzim dan antibodi. Karena ada sesuatu yang mengganggu tuba Eustachius, maka fungsinya akan terganggu, sehingga pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga terganggu, akibatnya kuman masuk ke dalam telinga tengah dan
terjadi peradangan. Infeksi pertama hanya mengenai lapisan mukosa dan submukosa kavum timpani, tidak mengenai tulang. Pada anak-anak infeksi dapat mengenai kedua telinga. Infeksi mukosa akan menimbulkan edema, sehingga silia paralise dan tuba Eustachius tertutup. Udara dalam kavum timpani diabsorbsi,
hingga menyebabkan tekanan negatif dalam kavum timpani. Hal ini menyebabkan retraksi membran timpani dan mengiritasi membran mukosa untuk memproduksi
cairan eksudat (Djaafar, 2007).
Bila volume eksudat bertambah banyak akan menaikan tekanan cairan dalam kavum timpani dan menyebabkan bertambahnya rasa sakit pada telinga. Absorbsi toksin menyebabkan pireksia dan malaise. Bertambahnya tekanan dalam
kavum timpani akan menyebabkan gangguan peredaran darah ke membran timpani. Bagian dari membran timpani yang mendapat tekanan yang terbesar akan
menjadi neksosis, trombosis kapiler dan akhirnya pecah. Nanah yang bercampur darah keluar dari telinga, menyebabkan sakit pada telinga hilang dan suhu tubuh kembali normal (Nelson et al., 2007).
2.6. Stadium OMA
Gambar 2.4. Membran Timpani Normal
1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorbsi udara. Retraksi membran timpani terjadi
dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang-kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media
serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).
2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi
Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani,
yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berkepanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang
menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga terasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).
Gambar 2.6. Membran Timpani Hiperemis
3. Stadium Supurasi
Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau
bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial hancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga
disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang. Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya
nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau
yellow spot (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).
Gambar 2.7. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen
4. Stadium Perforasi
Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Jika membran timpani tetap perforasi dan
Gambar 2.8. Membran Timpani Peforasi
5. Stadium Resolusi
Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali
normal. Stadium ini terjadi walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.
Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul (Djaafar, 2007; Dhingra, 2010).
2.7. Gejala Klinis OMA
Gejala klinis otitis media akut tergantung pada umur dan stadium penyakit. Pada bayi dan anak kecil gejala khas otitis media akut adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur,
telinga. Disamping itu juga didapat sensasi penuh di telinga, gangguan pendengaran, sering timbul tinitus pulsatil dan demam. Ruptur spontan membran timpani, dengan hasil sekret purulen, berdarah, akan mengurangi rasa nyeri secara dramatis (Djaafar, 2007).
2.8. Diagnosis OMA
Kriteria diagnostik OMA mencakup adanya onset gejala yang cepat atau akut, efusi telinga tengah, dan tanda serta gejala inflamasi telinga tengah, seperti
eritema membran timpani atau otalgia yang mempengaruhi tidur dan aktivitas sehari-hari. OMA juga ditandai dengan kelainan pada membran timpani, yaitu adanya penonjolan membran timpani, keterbatasan atau ketidakmampuan pergerakan membran timpani, atau adanya air-fluid level di belakang membran timpani. Pemeriksaan membran timpani untuk mengetahui kondisi tersebut dapat diketahui dengan menggunakan kombinasi otoskopi, otoskopi pneumatik, dan
timpanometri. Gejala non-spesifik seperti demam, sakit kepala, iritabilitas, batuk, rinitis, anoreksia, emesis, dan diare umum terjadi pada bayi dan anak-anak
(Ramakrishnan, 2007).
Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau, serta membran
timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging.
Pada kebanyakan kasus OMA, pemeriksaan lebih lanjut tidak dibutuhkan karena diagnosis bisa dilihat dari gejala dan tanda klinis. Bila gejala berat, hitung darah sering menunjukkan leukositosis, dan kultur darah dapat mendeteksi bakteremia selama periode demam tinggi. Kultur dari sekret telinga dapat
2.9. Penatalaksanaan OMA 2.9.1. Farmakologi
Pengobatan otitis media akut tergantung dari stadium penyakitnya. Pada stadium oklusi pengobatan terutama untuk membuka kembali tuba Eustachius, untuk itu diberikan dekongestan nasal (HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak < 12 tahun, dan HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik bagi yang berumur > 12 tahun). Disamping itu dapat diberikan antibiotika untuk infeksinya.
Sesuai prevalensi organisme penyebab otitis media akut, maka terapi terpilihnya adalah ampisilin (50 – 100 mg/kg BB/hari) yang diberikan setiap 6 jam selama 10 hari. Terapi terpilih lainnya kombinasi penisilin dan sulfisoksazol (120 mg/kg BB/hari) dalam dosis terbagi setiap 6 jam selama 10 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, dapat diberikan eritromisin (50 mg/kg BB/hari). Pada stadium hiperemis pengobatan diberikan antibiotika, analgetika untuk nyeri, serta
dekongestan nasal dan antihistamin atau kombinasi keduanya. Pada stadium supurasi disamping diberikan terapi seperti pada stadium hiperemis, idealnya
harus disertai dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis lebih cepat hilang dan ruptur dapat dihindari.
Pada stadium perforasi membran timpani telah pecah dan terdapat sekret purulen, biasanya analgetika tidak diperlukan, tetapi diperlukan perawatan lokal
bagi telinga. Telinga harus dibersihkan 3 – 4 kali sehari dengan lidi kapas steril, dan berikan sumbatan kapas di telinga untuk menyerap sekret tersebut. Pemberian antibiotika harus adekuat. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi dapat menutup kembali dalam waktu 7 – 10 hari. Harus dihindarkan masuknya air ke dalam liang telinga sampai penyembuhan sempurna, karena dapat disertai
kontaminasi mikroorganisme. Pada stadium resolusi, maka membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan tampak sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membrana timpani. Keadaan ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan demikian
2.9.2. Pembedahan
Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dilihat langsung, anak harus tenang sehingga
membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringotomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan
infeksi sistem saraf pusat. Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk mengidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).
2. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi
supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Pipa timpanostomi dapat menurunkan morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga
tengah, dan gangguan pendengaran secara signifikan (Titisari, 2015).
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan nafas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).
2.10. Komplikasi OMA
Menurut Ghanie (2010), komplikasi dari OMA dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui erosi tulang, invasi langsung dan
tromboflebitis. Komplikasi ini dibagi menjadi komplikasi intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal terdiri dari mastoiditis akut, petrositis, labirintitis, perforasi pars tensa, atelektasis telinga tengah, paresis fasialis, dan gangguan pendengaran. Komplikasi intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, encefalitis, hidrosefalus otikus, abses otak, abses epidural, empiema subdural, dan trombosis sinus lateralis. Komplikasi tersebut umumnya
sering ditemukan sewaktu belum adanya antibiotik, tetapi pada era antibiotik semua jenis komplikasi itu biasanya didapatkan sebagai komplikasi dari Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK).
2.11. Pencegahan OMA
Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah