• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIPLOMATIK DAN PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK A. Sejarah Diplomatik - Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Atas Duta Besar Itali Yang Ditahan Di India Ditinjau Dari Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DIPLOMATIK DAN PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK A. Sejarah Diplomatik - Pelanggaran Hak Kekebalan Diplomatik Atas Duta Besar Itali Yang Ditahan Di India Ditinjau Dari Hukum Internasional"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG DIPLOMATIK DAN PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK

A. Sejarah Diplomatik

Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin pesat yang memacu semakin intensifnya interaksi antarnegara dan antarbangsa di dunia. Meningkatnya interaksi tersebut telah mempengaruhi perkembangan ekonomi, politik, sosial, budaya dengan negara lain. Interaksi dengan negara lain disebut dengan hubungan Internasional.

Sejarah mencatat bahwa kegiatan hubungan diplomatik telah dikenal sebelum dibuatnya ketentuan-ketenatuan mengenai hubungan diplomatik ini. Pada zaman India kuno dikenal ketentuan-ketentuan antara raja-raja maupun dengan kerajaan. Hukum pada zaman itu mengenalnya dengan nama duta.18 Pengiriman duta-duta kenegara lain telah dilakukan sejak Zaman India Kuno dan sudah dipraktekkan oleh banyak negara asia dan negara arab sebelum negara eropa mengenalnya. Sejarah ini salah satunya ditulis oleh Mohammad Jamin dalam karangannya yang berjudul: Hukum Duta Indonesia dalam Zaman Madjapahit 1293-1525. Dikatakan pada tahun 1286, Maharaja Tiongkok Kubilaikan mengutus duta-dutanya ke Singosari, namun Kerajaan Singosari tidak menerima baik kedatangan duta-duta

18

(2)

tiongkok yang menyebabkan adanya permusuhan antara tiongkok dan singosari.

Di benua eropa, mengenal pengiriman duta ini setelah abad ke 16, dimana diatur menurut hukum kebiasaan, namun hukum kebiasaan internasional jelas mengatur masalah hubungan diplomatik ini sejak abad 19, sebagai bukti pengaturan hubungan diplomatik dan perwakilan diplomatik mulai dibicarakan pada Kongres Wina 1815, kemudian diubah dan disempurnakan oleh Protocol Aix-La-Chapelle 1818. Kongres Wina tersebut merupakan awal baru bagi ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik, dimana menghasilkan aturan-aturan dan prinsip-prinsip secara sistematis, klasifikasi jabatan kepala perwakilan diplomatik dan mengatur prosedur dan mekanisme diplomatik. Dengan demikian ketentuan-ketentuan hubungan diplomatik masih bersumber hukum kebiasaan internasional.

(3)

hukum diplomatik tidak hanya hukum kebiasaan tetapi sudah menjadi hukum tertulis, sehingga lebih terjamin kepastian hukumnya.19

Pada tahun 1927, diupayakan untuk melakukan kodifikasi yang sesungguhnya terhadap hukum diplomatik dalam ketentuan tentang hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik. Namun dewan LBB menolak atas hasil-hasil yang telah dicapai oleh komisi ahli, dengan alasan belum waktunya untuk merumuskan ketentuan-ketentuan mengenai hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang dianggap sangat kompleks. Sehingga, dewan LBB memutuskan tidak memasukkan masalah tersebut kedalam agenda konferensi Den Haag yang diselenggarakan pada tahun 1930 untuk kodifikasi Hukum Internasional. disamping itu, pada tahun 1829 di Havana Organitation America State(OAS)melakukan pertemuan yang menghasilkan konvensi dengan nama Convention on Diplomatic Officers. Konvensi ini diratifikasi oleh 12 negara Amerika, kecuali Amerika Serikat yang hanya menandatangani namun tidak meratifikasinya, dengan alasan menolak ketentuan-ketentuan yang menyetujui pemberian suara politik. Dikarenakan konvensi ini bersifat regional dan tidak menyeluruh membuat konvensi yang dihasilkan tidaklah begitu efektif untuk diangkat kepermukaan internasional.20

19

Baca, Gerhard von Galhn, Law Among Nations, An Introduction to public International Law, 2nd, ed,(New York:Mac Millan Publishing Co, Inc, 1970), hal 376.

20

(4)

Pada tahun 1947, Komisi Hukum Internasional yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB atas amanat Pasal 13 Piagam PBB.21Komisi Hukum Internasional tersebut menetapkan empat belas topik pembahasan yang didalamnya juga termasuk topik hubungan diplomatik terutama mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Namun topik mengenai hubungan diplomatik ini bukanlah hal yang utama dibahas sehingga tidak mendapatkan hasil yang maksimal. Pada saat terjadi perang dingin sering terjadinya pelanggaran akan hukum diplomatik yang membuat delegasi Yugoslavia mengusulkan kepada Majelis Umum PBB agar Komisi Hukum Internasional memberikan prioritasnya untuk melakukan kodifikasi mengenai hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik.

Pada tahun 1954, komisi mulai membahas masalah-masalah ketentuan tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik, dan sebelum akhir 1959 Majelis Umum melalui Resolusi 1450(XIV) memutuskan untuk menyelenggarakan koferensi internasional guna untuk membahas masalah-masalah seputar hubungan dan hak-hak kekebalan dan keistimewaan diplomatik. Konferensi tersebut dinamakan “the United Nations Conference on Diplomatic Intercourse and Immunities”, mengadakan sidangnya di Wina pada 2 Maret-14 April 1961. Kota Wina ditunjuk kembali dengan pertimbangan historis karena kongres pertama mengenai hubungan diplomatik diselenggarakan di kota tersebut pada 1815. Konferensi

21

Panitia Hukum Internasional tersebut dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1974, beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari pelbagai bangsa dan

berbagai system hukum di dunia. Lihat buku Syahmin AK, Hukum Perjanjian Internasional:

(5)

menghasilkan instrument-instrument, yaitu : Vienna Convention on Diplomatic Relation, Optional Protocol Concerning Acquisitionof Nationality, Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes. Diantara ketiga instrument tersebut Konvensi Wina tentang hubungan Diplomatik (Convention on Diplomatic Relations), 18 April 1961 merupakan yang terpenting.22

Konvensi Wina 1961 mendapatkan respon baik dari negara-negara,

dimana konvensi ini diterima oleh 72 negara, tidak ada yang menolak dan

hanya satu negara yang abstain. Pada tanggal 18 April 1961, wakil dari 75

negara menandatangani konvensi tersebut, yang terdiri dari mukadimah, 53

pasal, dan 2 protokol. Tiga tahun kemudian tepatnya tanggal 24 April 1964,

Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik resmi dinyatakan mulai

berlaku. Kini, hampir setiap negara didunia telah meratifikasi konvensi

tersebut, termasuk Indonesia yang meratifikasinya dengan UU no. 1 Tahun

1982 pada januari 1982. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Konvensi

Wina tersebut digaris bawahi oleh Mahkamah Internasional dalam kasus

United States Diplomatic and Consular Staff in Teheran melalui

ordonansinya tertanggal 15 Desember 1979.23 Konvensi Wina inilah

merupakan kode Diplomatik yang sebenarnya. Walaupun hukum kebiasaan

tetap berlaku dalam konvensi ini, namun perannya disini hanyalah sebagai

tambahan. Hal ini tertuang dalam alinea terakhir mukadimahnya: “… that

22

Syahmin, AK,S.H, M.H,Op. Cit, hal 16. 23

(6)

the rules of customary international law should continue to govern question

not expressly regulated by the provisions of the present Convention.”

Hukum diplomatik telah mencatat kemajuan yang pesat selain

Konvensi Wina 1961, hukum diplomatik disempurnakan dengan

diadakannya Konvensi New York 1969, ditambah protocol. Tercatat juga

dilakukannya sebuah pertemuan yang membicarakan tentang kewajiban

yang penting bagi negara penerima untuk mencegah setiap serangan yang

ditujukan kepada seseorang, kebebasan dan kehormatan para diplomat, serta

untuk melindungi gedung perwakilan diplomatik. Dalam sidangnya yang

ke-24 pada 1971, dengan meningkatnya kejahatan yang dilakukan terhadap misi

diplomatik, termasuk juga para diplomatnya, dan untuk menghukum para

pelanggarnya, maka Majelis Umum PBB meminta Komisi Hukum

Internasional untuk membuat draft tentang pencegahan dan penghukuman

kepada para pelanggar yang melakukan kejahatan terhadap orang-orang

yang dilindungi secara hukum internasional. Konvensi New York 1973 pun

dilakukan untuk membahas mengenai pencegahan dan penghukuman

kejahatan terhadap orang-orang yang dilindungi menurut hukum

Internasional, dan diterima dan disetujui oleh Majelis Umum PBB di New

York pada 14 Desember 1973, konvensi ini kemudian diberlakukan pada 2

februari 1977, dan tercatat sekitar 79 negara sudah menjadi anggotanya.24

Pengembangan hukum diplomatik pun semakin disempurnakan

dengan adanya Konvensi Wina 1975. Namun Konvensi Wina 1975 tidaklah

24

(7)

seperti Konvensi Wina 1961. Komisi Hukum Internasional menyetujui beberapa draft artikel konvensi ini yaitu mengenai kekebalan, keistimewaan, dan fasilitas diplomatik bagi perwakilan tetap, termasuk kedudukan, kekebalan, keistimewaan, dan kemudahan bagi perwakilan peninjauan tetap, serta delegasi ke berbagai badan dan konferensi. Konvensi ini terdiri dari 92 pasal dan dihadiri oleh 81 negara, 2 negara peninjau, 7 badan khusus, 3 organisasi antar pemerintah, dan 7 wakil dari Organisasi Pembebasan Nasional yang diakui oleh Organisasi Persatuan Afrika atau Liga Arab. B. Sumber Hukum Diplomatik dan Pelaksanaan Hukum Diplomatik.

A. Sumber Hukum Diplomatik

Berbicara tentang sumber hukum diplomatik, maka tidak akan terlepas dari hukum internasional publik. Hukum Internasional Publik diibaratkan seperti pohon dan hukum diplomatik merupakan cabangnya. Untuk itu, sumber hukum diplomatik tidak dapat dipisahkan dari ketentuan pasal 38 (1) Statuta ICJ yang telah diakui oleh para ahli hukum internasional sebagai sumber hukum internasional yang berbunyi sebagai berikut.25

Bagi Mahkamah Internasional yang fungsinya memutuskan perkara-perkara yang diajukan kepadanya sesuai dengan hukum internasional, akan menetapkan:

1) Perjanjian-perjanjian internasional, baik yang umum maupun khusus yang secara tegas mengatur dan diakui oleh negara-negara pihak;

2) Kebiasaan internasional yang terbukti merupakan praktik umum yang diterima sebagai hukum;

25

(8)

3) Prinsip-prinsip Hukum Umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;dan

4) Sesuai ketentuan-ketenatuan pasal 59, keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran para ahli hukum ternama dari berbagai bangsa, sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.”

Selain hukum internasional publik, hukum diplomatik juga

memiliki kekhususan tersendiri. Kekhususan hukum diplomatik ini

terdiri dari beberapa bentuk:

1. The Final Act of the Congress of Vienna (1815) on diplomatic

ranks;

2. Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional

Protocols (1961), beserta:

a) Vienna Convention on Diplomatic Relations;

b) Optional Protocol Concerning Acquisition of nationality;

c) Optional Protocol Concerning the Complusory Settlement

of Disputes.

3. Vienna Convention on Consular Relations and optional protocol

(1963), beserta:

a) Vienna Convention on Consular Relations;

b) Optional Protocol Concerning Acquisition of Nationality;

c) Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement

of Disputes.

4. Convention on Special Mission and Optional Protocol (1969)

beserta:

(9)

b) Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes.

5. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internasionally Protected Persons, Including Diplomatic Agents (1973).

6. Vienna Convention on the Representation of States in their Relations with International Organization of a Universal Character (1975).

Selain konvensi-konvensi diatas, terdapat juga resolusi-resolusi dan deklarasi yang dikeluarkan oleh organ-organ PBB. Namun masalahnya apakah resolusi dan deklarasi tersebut dapat dikatakan suatu hukum, hal ini dikarenakan resolusi maupun deklarasi tidak memiliki kekuatan mengikat dan berkekuatan hukum karena tidak menciptakan hukum (law making treaties). Di lain pihak, tampaknya kini berkembangnya kecendrungan “teori” dari hasil kesepakatan sampai kepada konsensus yang menjadi dasar bagi negara-negara penerimaan beban kewajiban-kewajiban hukum.26

Resolusi dan deklarasi memang masih belum jelas batasannya dan daya pengikatnya. Resolusi yang dihasilkan juga tidak dapat menjadikan, merumuskan, dan mengubah resolusi itu menjadi hukum internasional. namun resolusi-resolusi ini dapat menjadi sumbangan

26

(10)

yang ikut mengisi hukum internasional apabila resolusi ini mendapatkan

dukungan secara universal, resolusi ini menciptakan hukum, dan resolusi

ini tercermin dari kebiasaan umum yang diakui oleh negara-negara yang

berdaulat. Salah satu contoh Resolusi Majelis Umum 3166 yang memuat

“konvensi mengenai pencegahan dan penghukuman kejahatan-kejahatan

yang ditujukan terhadap orang-orang yang secara internasional

dilindungi, termasuk para pejabat diplomatik” (Convention on the

Prevention and Punishment of Crimes against internationally protected

persons, including diplomatic agents 1973).27 Dengan hal-hal diatas

menjadikan sebuah langkah resolusi-resolusi tersebut menjadi suatu

aturan baru, terutama apabila resolusi tersebut merupakan sumber dari

kebiasan internasional yang dapat mendorong perkembangan kemajuan

hukum internasional dalam usaha kodifikasi aturan-aturan kebiasaan

internasional.

Kebiasaan internasional juga merupakan bagian dari sumber

hukum diplomatik, walaupun kebiasaan internasional ini tidak

terkodifikasi secara tertulis, namun banyak negara-negara yang

mematuhi kebiasaan internasional ini banyaknya negara yang mematuhi

kebiasaan internasional namun juga ada negara yang tidak menerima

kebiasaan internasional sebagai suatu hukum dikarenakan kebiasaan

internasional tidak secara tertulis sehingga hukumnya tidak begitu

mengikat.

27

(11)

Prinsip-prinsip hukum umum dan keputusan pengadilan juga

merupakan sumber hukum diplomatik. Khusus mengenai keputusan

pengadilan ini pada hakikatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat

kecuali pihak-pihak yang bersangkutan.sebagai contoh, enam keputusan

Mahkamah Internasional pada 24 Mei 1980, dalam kasus yang

menyangkut staf perwakilan diplomatik dan konsuler Amerika Serikat di

Teheran, yang disetujui oleh 13 suara dan 2 suara menolak. Hal-hal

diatas inilah yang menjadi sumber hukum diplomatik untuk mengatur

berjalannya hubungan diplomatik yang berada di dunia.

B. Pelaksanaan Hukum Diplomatik

Tahun 1980-an tindakan terorisme cukup menonjol. Hal ini dapat

mengancam para diplomat-diplomat asing didalam menjalankan

tugas-tugasnya. Tercatat empat ratus terorisme yang ditujukan kepada

diplomat dan konsuler yang meliputi enam puluh negara,

tindakan-tindakan yang ditimbulkan para teroris ini tercatat menelan banyak

korban dan kerusakan-kerusakan harta benda dan bangunan pada

perwakilan asing. Dengan situasi membahayakan yang telah terjadi

membuat Majelis Umum PBB membuat tindakan yang tegas dan

langkah cepat agar tidak terjadi pelanggaran hukum diplomatik lagi.

Majelis Umum PBB pun mendesak kepada setiap anggotanya untuk

mematuhi setiap peraturan-peraturan hukum diplomatik dan konsuler

serta menghimbau bagi negara-negara yang belum meratifikasi hukum

(12)

Majelis Umum PBB juga menghimbau apabila terjadi

pelanggaran hukum diplomatik maka kepada negara-negara yang

bersangkutan diminta untuk melaporkannya kepada sekjen PBB. Dengan

maksud agar PBB dapat turut campur menangkap dan mengadili para

pelanggar dan mengambil usaha-usaha agar tidak terjadi pelanggaran

yang serupa. Di samping itu negara-negara yang menjadi korban

peristiwa tersebut diminta untuk memberikan laporan tentang hasil-hasil

terakhir mengenai proses pradilan local (exhaustion of local remedies).28

Untuk mengetahui pelaksanaan hukum diplomatik, penulis akan

mengulas cara Indonesia dalam menyingkapi kasus pelanggaran

diplomatik yang ada.

Kasus pengusiran seorang agen diplomatik dari kedutaan besar

USSR untuk Indonesia di Jakarta yaitu letkol Sergei P. Egorov, atas

tindakan yang dilakukannya pemerintah Indonesia melakukan tindakan

Deportasi. Tiga pokok yang menjadikan alasan Indonesia melakukan

tindakan deportasi yaitu tindakan spionisme (memata-matai), mencuri

dokumen rahasia negara, dan mencampuri urusan dalam negeri

Indonesia.

Sergei egorovatas tindakannya dilakukan penahanan atas dirinya

namun dikarenakan ia berstatus sebagai diplomatik maka ia dilepaskan

dari tahanan. Sesuai pasal 29 Konvensi Wina 1961, Indonesia tidak

dapat menangkap maupun menahannya, bukan hanya itu Indonesia juga

28

(13)

harus melindungi diplomatik tersebut dari serangan balik terhadap

dirinya maupun kehormatannya. Sebagai agen diplomatik dia bebas dari

yuridiksi pidana, perdata, maupun administrasi negara Indonesia. Oleh

karena itu, Indonesia tidak dapat menangkap dan mengadilinya di

Indonesia, namun Indonesia dapat menyatakan persona non-grata

ataupun menyuruh negara pengirim untuk menarik diplomatnya

meninggalkan Indonesia.

Mengenai kasus diplomatik, maka kasus menarik lainnya yaitu

penolakan atau persona non-grata calon duta besar RI untuk KBRI di

Canberra, Australia, yaitu letjen H.B.L.Mantiri. Pemerintah Australia

menyatakan alasan kondisi hak-hak asasi manusia disuatu negara, hal ini

berkaitan dengan peristiwa tragedi berdarah di Dili pada 12 November

1991 yang dinilai merupakan pelanggaran HAM. Kaitannya dengan

letjen H.B.L. Mantiri dikarenakan mantan pangdam meliputi provinsi

timor-timur, pada waktu terjadi kejadian, yang mengakibatkan sejumlah

korban meninggal. Meskipun secara pribadi Mantiri tidak terlibat

langsung namun tetap dianggap bertanggung jawab untuk wilayah Timor

Timur. Hal lain yang ikut memperburuk situasi dan kondisi pencalonan

Dubes RI untuk Australia adalah hasil wawancara yang dilakukan

Mantiri. Dalam wawancara Mantiri mengatakan: “…terjadinya

bentrokan antara para pengunjuk rasa dengan pasukan pengamanan

yang memakan korban lebih dari lima puluh orang di Dili setahun

(14)

Mantiri yang mengundang pro dan kontra di Australia, yaitu: “…kita

tidak menyesali apa-apa.Apa yang terjadi sudah semestinya..mereka

menentang kita, berdemonstrasi, dan meneriakkan yel-yel anti

pemerintah. Untuk saya ini sama dengan pemberontakan, karena ini kita

mengambil tindakan yang tegas.”

Mendengar hasil wawancara H.B.L.Mantiri Menlu Australia pun

bereaksi dan berkomentar agar Letjen H.B.L.Mantiri setibanya di

Australia meminta maaf dan menyatakan bahwa masyarakat Australia

sulit menerima pengangkatan itu. Letjen H.B.L Mantiri menolak nasehat

dari Menlu Australia untuk meminta maaf. Melihat kondisi tersebut

Menlu RI yang pada saat itu Ali Alatas pun mengumumkan bahwa

pemerintah Indonesia memutuskan tidak melanjutkan pencalonan Letjen

H.B.L Mantiri sebagai Dubes RI untuk Canberra dan post Duta Besar di

Canberra untuk sementara dikosongkan.

Kasus lain tentang Diplomatik terjadi pada 7 Februari 1994

mengenai tertangkapnya dua orang staf Kedutaan Besar Amerika

Serikat, Steven Joseph Bryner dan Peter M. Karajin atas kasus

pengedaran dan penjualan narkoba, dengan barang bukti sebanyak 160

butir ekstasi. Dari hasil yang didapat kedua orang tersebut dilepaskan

dari jeratan hukum Indonesia dikarenakan status diplomat keduanya.

Atas kasus ini Pemerintah Amerika meminta agar kedua staf Kedutaan

Besar Amerika Serikat tersebut diadili di negara mereka. Atas

(15)

agar pemerintah amerika menanggalkan hak kekebalan dan Istimewa dan

membiarkan Amerika yang mengadili diplomatnya tersebut. Menurut

berita terakhir mereka telah diadili dan dijatuhi hukuman masing-masing

7 tahun penjara, dan mereka harus melakukan kerja paksa.

Melihat kasus diatas dapat kita ketahui bahwa kekebalan

diplomatik itu mempunyai sifat fungsional, artinya setiap diplomat

menikmati kekebalan demi kelancaran pelaksanaan fungsi misi

diplomatik negaranya secara efisien di negara penerima dan bukan untuk

keuntungan pribadi. Dapat kita lihat negara penerima juga memiliki

kewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengamanan pada para

diplomatik beserta keluarganya dan termasuk kantor perwakilannya dari

campur tangan yang tidak sah. Dengan hak kekebalan dan keistimewaan

yang dimiliki para diplomatik bukan berarti para diplomat dapat

melanggar peraturan negara penerima, sesuai dengan Konvensi Wina

196129, yaitu tanpa mengurangi kekebalan dan keistimewaan diplomatik

mereka, merupakan kewajiban bagi semua orang yang menikmati

kekebalan dan keistimewaan untuk menghormati peraturan-peraturan

perundang-undangan negara penerima. Bahkan mereka juga

berkewajiban untuk tidak mencampuri masalah-masalah dalam negeri

tuan rumah.

29

(16)

C. Pengangkatan dan Penerimaan Kepala Perwakilan Diplomatik.

Pengangkatan seorang Duta Besar biasanya dilakukan atas nama

kepala negara. Calon-calon Duta Besar dipilih oleh Mentri Luar Negeri

kepada Kepala Negara untuk mendapatkan persetujuannya. Pemilihan Duta

Besar berbeda disetiap negara.

Di Indonesia, menurut ketentuan pasal 29 UU No.37/1999 tentang

hubungan luar negeri, Duta Besar adalah pejabat negara yang diangkat dan

diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara. Hal ini dikarenakan Duta

Besar merupakan wakil pribadi presiden di suatu negara atau organisasi

internasional. dalam hal pengangkatan walapun presiden berperan

mengangkat namun presiden juga mempertimbangkan Dewan Perwakilan

Rakyat. Bila penunjukan calon Duta Besar telah diputuskan maka namanya

akan dikirimkan kepada pemerintah negara penerima untuk mendapatkan

agreement. Permintaan agreement kepada pemerintah negara penerima

dilakukan secara konfidensial mengingat kemungkinan ditolaknya calon

yang diajukan.

Negara penerima berhak menolak seorang calon diplomat, apakah

didasarkan atas perilaku maupun kebijakan profesionalnya di masa lalu,

memungkinkan apabila calon diplomat mempunyai sikap dan pandangan

yang berbeda dengan negara penerima dan dalam hal ini calon diplomat

dapat ditolak negara penerima. Alasan lain apabila calon diplomat

melakukan tindakan-tindakan maupun kegiatan-kegiatan yang antinegara

(17)

memberikan alasan penolakan secara resmi, namun hanyalah isyarat secara

halus. Hal ini dilakukan untuk menghindari menyinggung kehormatan

negara pengirim.

Beberapa contoh penolakan calon diplomat yang terjadi:30

1. Penolakan Iran terhadap Walter Cutler sebagai calon Duta Besar

Amerika Serikat pada 1979, yang dituduh mencampuri urusan

dalam negeri Zaire saat bertugas di negara tersebut.

2. Penolakan Kuwait terhadap Brandon H.Grove, sebagai calon

Duta Besar Amerika Serikat pada Agustus 1983 karena

sebelumnya bertugas di Israel sebagai konsul jenderal di

Jerusalem, kota yang dituntut Israel sebgai ibukotanya.

3. Penolakan Australia terhadap H.B.L.Mantiri, sebagai calon Duta

Besar Indonesia, karena tragedi di Timor Timur akibat kasus

yang menelan banyak korban dan menurut pemerintahan

Australia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia.

4. Pada 1968 Raja Faisal menarik agreement atas pengangkatan Sir

Horace Philip dari Inggris sebagai duta besar untuk Saudi Arabia

dengan alasan dia keturunan Yahudi.

5. Penolakan Yunani terhadap Mr. William Schaufele sebagai calon

Duta Besar Amerika Serikat pada 1977, hanya karena ucapannya

pada debat pendapat di Komite Luar Negeri Senat mengenai

sengketa antara Yunani dan Turki tentang Lat Aegean.

30

(18)

Dari contoh-contoh diatas dapat kita lihat penolakan seorang calon

duta besar mempunyai alasan yang berbeda-beda, tergantung bagaimana

negara penerima melihat seorang calon duta besar. Bila terjadi penolakan,

maka hal ini didasari latar belakang calon duta besar itu sendiri dan bukan

karena sengketa negara.

D. Tugas dan Fungsi Pejabat Diplomatik

Tugas seorang duta besar dan para diplomatik adalah mewakili

kepentingan negara pengirim di negara penerima (akreditas) dan sebagai

penghubung antar pemerintahan kedua negara. Di negara penerima, mereka

mengikuti perkembangan yang terjadi serta melaporkannya ke negara

pengirin dan juga bertugas untuk melindungi warga negaranya serta

berbagai kepentingan warga negaranya di negara penerima. Tugas-tugas

perwakilan diplomatik ini, sebagai berikut:

The function of a diplomatik mission consist inter alia in:

a) Representing the sending state in the receiving state (mewakili

negara pengirim di negara penerima);

b) protecting in the receiving state the interests of the sending state

and of its nationals, withinthe limits permitted by international law

(melindungi kepentingan negara pengirim dan kepentingan warga

negaranya di negara penerima dalam batas-batas yang

diperkenankan oleh hukum internasional);

c) negotiating with the government of the receiving state (melakukan

(19)

d) ascertaining by all lawful means conditions and developments in

the receiving state, and reporting there on to the government of the

sending state (memperboleh kepastian dengan semua cara yang sah

tentang keadaan dan perkembangan negara penerima dan

melaporkannya kepada pemerintah negara pengirim);

e) promoting friendly relations between the sending state and

receiving state, and developing their economic, cultural and

scientific relations (meningkatkan hubungan persahabatan antara

negara pengirim dan negara penerima serta mengembangkan

hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.31

Dewasa ini, teknologi semakin pesat membuat hubungan kerjasama

antarnegara dan antarbangsa menjadi mudah. Banyaknya organisasi

pemerintah maupun non pemerintah yang melakukan kerjasama dalam

berbagai aspek untuk tercapainya tujuan yang bersama. Hal inilah

mendorong para diplomatik dalam mengemban tugasnya bukan hanya untuk

hal-hal regional tetapi juga hal-hal yang berhubungan internasional dan

bukan hanya berhubungan dengan hal bilateral melainkan bersama dengan

negara pengirim bertukar pemikiran untuk mengatur masalah global yang

bersifat demi kepentingan umum.

a) Representasi

fungsi perwakilan para diplomatik dapat kita lihat dalam pasal 3

Konvensi Wina 1961 yaitu “mewakili negara pengirim di negara

31

(20)

penerima”. Namun kata mewakili disini memiliki pengertian yang

berbeda-beda dari para ahli hukum. Seperti dikemukakan oleh Gerhard

von Glahn, “seorang wakil diplomatik itu selain mewakili pemerintah

negaranya, ia juga tidak hanya bertugas dalam kesempatan serelonial

saja, melainkan juga dapat melakukan protes atau mengadakan

penyelidikan ‘inquires’ atau meminta penjelasan pada pemerintah

setempat. Ia mewakili kebijaksanaan politik pemerintah negara

pengirimnya.”32

Sementara menurut B.Sen, batasan mewakili adalah:

“Fungsi yang utama dari seorang wakil diplomatik adalah mewakili negara pengirim di negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antarpemerintah kedua negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antarnegara yang menyangkut fasilitas komunikasi kedua negara. Pejabat diplomatik sering kali melaksanakan tugas, mengadakan perundingan, dan menyampaikan pandangan pemerintahnya di beberapa kesempatan yang penting dan berharga kepada pemerintah negara penerima.”33

b) Proteksi

Sesuai dengan Konvensi Wina 1961 pasak 3 ayat 1,b Gerhard

von Glahn mengartikan istilah proteksi disini adalah: “The diplomatic

has a duty to look after the interest person and property of citizens of his

own state in the receiving state. He must be ready to assist them, they get

into trouble abroad, my have to take charge of their bodies and effects if

32

Gerhard von Glahn,Op.Cit, hal 385. 33

(21)

they happen to die on a trip amd in general act as a trouble shooter for

his fellow nationals in the receiving state.”34

Dari apa yang coba dijelaskan Von Glahn disini tentang istilah

proteksi adalah setiap perwakilan diplomatik memiliki fungsi untuk

melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim dan warga

negaranya yang berada di negara penerima untuk itu sudah menjadi

kewajiban negara penerima untuk melindungi para pejabat diplomatik di

dalam menjalankan tugas-tugasnya dan bukan hanya negara penerima

namun negara ketiga dimana para pejabat diplomatik in transit, negara

ketiga harus melindungi para diplomatik tersebut.

Perlindungan terhadap para pejabat diplomatik harus memiliki

ketegasan, hal ini dikarenakan seringnya terjadi pelanggaran hukum

diplomatik yang banyak menyerang para pejabat diplomatik, keluarga

pejabat diplomatik serta gedung-gedung kedutaan. Terutama dengan

banyaknya aksi terorisme yang banyak mengancam para diplomatik. Hal

ini dikarenakan tugas-tugas yang dibebankan kepada para pejabat

diplomatik serta misinya maka negara penerima disini memiliki

tangggung jawab untuk melindungi para diplomatik yang berada di

negaranya.

c) Negosiasi

Setiap antarnegara sering melakukan negosiasi dalam melakukan

hubungan antarnegara. Negosiasi ataupun perundingan dapat dilakukan

34

(22)

oleh dua negara atau lebih. Negosiasi ini merupakan salah satu misi

diplomatik, seperti dalam ketentuan Konvensi Wina pasal 3 ayat 1c,

Negotiating with the government of the receiving state”. Diplomatik

disini mewakili negaranya dalam melakukan perundingan di negara

penerima. Oleh karena itu, dikatakan oleh Von Glahn: “The original

reason for the rise of diplomats the intention of having a representative

in a foreign capital compowered to negotiable agreements with the

receiving states, was to “deal” directly with the foreign government.”35

Dengan demikian, maksud diadakan perundingan antarnegara

beraneka ragam baik urusan ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan,

serta untuk suatu perjanjian mengenai hal-hal penting bagi antarnegara

bersahabat yang bersangkutan.

d) Mengumpulkan Data dengan Cara yang Sah dan Melaporkannya kepada

Pemerintah Negara Pengirim

Para pejabat diplomatik memiliki kewajiban untuk melaporkan

segala yang terjadi di negara penerima kepada negara pengirim. Hal ini

dapat kita lihat dalam Konvensi Wina pasal 3 ayat 1d. perlunya

pelaporan ini adalah berfungsi untuk memperlancar kepengurusan dan

kepentingan negaranya di luar negeri. Seperti perkataan Von Glahn,

yaitu: “The basic duty of a diplomat is to report to his government on

political event, policies, and other related matters”. Tugas yang paling

mendasar dari seorang pejabat diplomatik adalah melaporkan kepada

(23)

pemerintahannya mengenai peristiwa politik, kebijakan-kebijakan, dan

masalah lainnya yang sedang terjadi di negara penerima kepada

pemerintahannya. Segala pelaporan yang dilakukan pejabat diplomatik

adalah sah asalkan dalam membuat laporan tersebut dalam

mengumpulkan datanya tidak dilakukan secara diam-diam atau disebut

dengan ‘spionase’, atau data yang diperoleh secara tidak sah menurut

hukum dan kebiasaan internasional.

e) Meningkatnya Hubungan Persahabatan Antarnegara

Fungsi seorang diplomatik salah satu yang terpenting adalah

meningkatkan hubungan persahabatan antarnegara. Hal ini tegas ditulis

dalam Konvensi Wina pasal 3 ayat 1e. dengan meningkatkan hubungan

persahabatan dengan negara lain, hal ini dapat memudahkan didalam:

1) Memadukan seluruh potensi kerja sama daerah agar tercipta

sinergi dalam penyelenggaraan Hubungan Luar Negeri

(coordinator);

2) Mencari terobosan baru (inisiator);

3) Menyediakan data yang diperlukan (informatory);

4) Mencari mitra kerja diluar negeri (mediator);

5) Mempromosikan potensi daerah di luar negeri (promotor);

6) Memfasilitasi penyelenggaraan Hubungan luar Negeri

(fasilitator);

7) Memberi perlindungan kepada semua kepentingan nasional

(24)

8) Mengarahkan kerjasama agar lebih efektif (supervisor).

Untuk itulah, para diplomatik sebagai wakil negara di luar negeri

harus membangun persahabatan yang baik dengan negara penerima

Referensi

Dokumen terkait

Sekretariat : Gedung B Lantai II Sekretariat Daerah Kabupaten Klaten Jl. Adapun Daftar Paket Pekerjaan sebagaimana dalam lampiran dengan ketentuan sebagai berikut :.. I. 11.00 WIB )

dilakukan ketika mereka saling bertemu sesama anggota entah mereka saling mengenal atau tidak mereka di haruskan saling tegur sapa tersebut, hal ini cara mereka

Tresya May Fayanti, Strategi Guru dalam Mengatasi Kesulitan Belajar Peserta Didik pada Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) MI Irsyadut Tholibin Tugu

Dengan menggunakan ambient media pengiklan bertujuan agar produk atau jasa pengiklan dapat lebih diingat diruang publik dan dapat mengatahui potensi pendapatan iklan serta

Dalam penentuan awal bulan Qamariyah pemerintah yang diwakili oleh Kementrian Agama menggunakan metode rukyatul hilal dengan kreteria yang telah disepakati

özümsemesi için, astral olarak İlahi bir Gücün veya Tanrının majikal formuna bürünmesi ve aynı zamanda bir invokasyon davetini beyan ederek zihin ve ruhu huzuruna

Semangat bermusyawarah untuk mufakat yang telah dilakukan oleh warga sekolah Sudin merupakan pencerminan dari pengamalan sila keempat Pancasila “Kerakyatan yang dipimpin oleh