• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Kedudukan Dan Kewenangan Lembaga Ombudsman Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Kedudukan Dan Kewenangan Lembaga Ombudsman Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ciri negara demokrasi berdasarkan hukum, antara lain adalah jaminan bagi setiap orang untuk “memperkarakan”1

Jaminan yang memberikan hak seperti diutarakan di atas sangat penting disebabkan ; Pertama : secara preventif, jaminan dan hak tersebut akan memberikan dorongan yang kuat kepada pemerintah atau negara untuk bertindak hati-hati. Agar negara atau pemerintah tidak melakukan suatu tindakan yang tidak perlu, sehingga menimbulkan kerugian apalagi sewenang-wenang terhadap warganya. Kedua : secara represif, jaminan dan hak tersebut bertalian pula dengan salah satu watak kekuasaan yang selalu melekat pada pemerintah atau negara. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu, pada kekuasaan sangat besar potensi watak hitam, yaitu mengandung sifat tamak. Setiap pemegang kekuasaan cenderung ingin membesarkan

pemerintah atau negara yang melakukan atau dianggap melakukan tindakan yang merugikan baik secara materil ataupun immaterial. Memperkarakan pemerintah adalah dalam pengertian luas, yaitu mulai dari keluhan, keberatan, sampai kepada tingkat mempersengketakan secara hukum. Jaminan memperkarakan ini disertai dengan tersedianya kelembagaan dan mekanisme penyelesaian yang tidak memihak, walaupun yang dihadapi adalah pemerintah atau negara.

1

Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Madju, Bandung, 2002, hal. 105.

(2)

kekuasaan dan menggunakannya menurut kemauannya. Karl Marx lebih tegas menyatakan, bahwa kekuasaan dapat merupakan alat penindas.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, sangat penting jaminan hak, serta mekanisme dan kelembagaan yang dapat mencegah dan melakukan pemulihan dari tindakan negara atau pemerintah yang salah atau keliru. Pada saat seseorang mengeluh atau menerima keluhan atas suatu tindakan pemerintah atau negara yang merugikan atau mengurangi hak-haknya secara sewenang-wenang, baginya tersedia berbagai pilihan :2

a. Pemeriksaan melalui pengadilan yang akan menggunakan dasar tuntutan seperti pengujian (judicial review), perbuatan melawan hukum (onrect matigedaad), penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir), sewenang-wenang (willekeur, arbitrary), atau dasar-dasar lain. Dalam hubungan yang bersifat keperdataan dapat dilakukan atas dasar cidera janji (wanprestasi).

b. Penyelesaian di luar pendadilan dengan menggunakan pranata alternative dispute resolution (ADR) seperti arbitrase, mediasi, konsiliasi.

c. Penyelesaian melalui badan peradilan semu (quasi administratief rechtsprak, tribunal) seperti sengketa pajak melalui peradilan pajak.

2

(3)

d. Penyelesaian melalui upaya administrative, hal ini terbatas pada sengketa kepegawaian.

e. Penyelesaian melalui Ombudsman.

Pascaperubahan (amandemen) UUD 1945, banyak undang-undang yang lahir hanya dalam periode lima tahun. Muncul pula banyak konstitusi-konstitusi independen karena dilatarbelakangi oleh ketidakpercayaan kepada eksekutif yang konon di waktu yang lalu memiliki kekuatan yang besar. Setelah masa reformasi sejak tahun 1998, banyak sekali lembaga-lembaga dan komisi-komisi independen yang dibentuk. Menurut Jimly Assshiddiqie, beberapa di antara lembaga-lembaga atau komisi-komisi independen dimaksud dapat diuraikan di bawah ini dan dikelompokkan sebagai berikut.3

1. Lembaga Tinggi Negara yang sederajat dan bersifat independen, yaitu: a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); c. Dewan Perwakilan Daerah (DPD);

d. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); e. Mahkamah Konstitusi (MK);

f. Mahkamah Agung (MA);

g. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

2. Lembaga Negara dan Komisi-Komisi Negara yang bersifat independen berdasarkan konstitusi atau yang memiliki konstitusi penting (constitutional importance)

3

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. viii-ix.

lainnya, seperti:

(4)

a. Komisi Yudisial (KY);

b. Bank Indonesia (BI) sebagai Bank sentral; c. Tentara Nasional Indonesia (TNI);

d. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI); e. Komisi Pemilihan Umum (KPU);

f. Kejaksaan Agung yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat penegak hukum di bidang pro justisia, juga memiliki konstitusi penting (constitutionalimportance)

g. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dibentuk berdasarkan UU tetapi memiliki sifat

yang sama dengan kepolisian;

konstitusi penting (constitutionalimportance)

h. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) yang dibentuk berdasarkan undang-undang tetapi juga memiliki sifat

berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;

konstitusi penting

(constitutionalimportance)

3. Lembaga-Lembaga Independen lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti:

.

a. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); b. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU);

c. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI);

4. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti Lembaga, Badan, Pusat, Komisi, atau Dewan yang bersifat khusus di dalam lingkungan pemerintahan, seperti:

a. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI); b. Komisi Pendidikan Nasional;

c. Dewan Pertahanan Nasional;

d. Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas); e. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI);

f. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); g. Badan Pertanahan Nasional (BPN);

h. Badan Kepegawaian Nasional (BKN); i. Lembaga Administrasi Negara (LAN); j. Lembaga Informasi Nasional (LIN).

5. Lembaga-lembaga dan komisi-komisi di lingkungan eksekutif (pemerintah) lainnya, seperti:

a. Menteri dan Kementerian Negara; b. Dewan Pertimbangan Presiden;

(5)

c. Komisi Hukum Nasional (KHN); d. Komisi Ombudsman Nasional (KON); e. Komisi Kepolisian;

f. Komisi Kejaksaan.

6. Lembaga, Korporasi, dan Badan Hukum Milik Negara atau Badan Hukum yang dibentuk untuk kepentingan negara atau kepentingan umum lainnya, seperti:

a. Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA; b. Kamar Dagang dan Industri (KADIN);

c. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI); d. BHMN Perguruan Tinggi;

e. BHMN Rumah Sakit;

f. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI); g. Ikatan Notaris Indonesia (INI);

h. Persatuan Advokat Indonesia (Peradi);

Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri atau apa pun namanya di Indonesia dibentuk karena lembaga-lembaga negara yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring dengan munculnya era demokrasi. Selain itu, kelahiran lembaga-lembaga negara mandiri itu merupakan sebentuk ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada dalam menyelesaikan persoalan ketatanegaraan yang dihadapi.4

Secara lebih lengkap, pembentukan lembaga-lembaga negara mandiri di Indonesia dilandasi oleh lima hal penting. Pertama, tidak adanya kredibilitas

4

T.M. Luthfi Yazid, “Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, (makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pascaamandemen UUD 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004), hal. 2.

(6)

lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi dan bukti mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas(institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.5

Institusi Ombudsman telah memiliki sejarah yang cukup lama, dilahirkan pertama kali di Stockholm, Swedia pada tahun 1809. Selanjutnya Ombudsman modern yaitu Parliamentary Ombudsman (Folketing) pertama kali diintrodusir oleh Denmark pada tahun 19556

5 Ibid., hal. 59-60.

, kemudian New Zealand pada tahun 1962 dan saat ini telah berkembang menjadi institusi sekurang-kurangnya di 107 negara. Pada akhir

6

Summary Annual Report 1996, Folketingets Ombudsman (Copenhagen, September 1997), hal. 17.

(7)

tahun 2000 institusi Ombudsman di seluruh Afrika telah mencapai 26 buah dan segera menyusul pembentukan Ombudsman di Ethopia dan Maroko.7

Istilah Ombudsman pertamakali dikenalkan dalam konstitusi Swedia pada tahun 1718 dengan sebutan umbudsman yang berarti “perwakilan”, yaitu menunjuk seorang pejabat atau badan yang independen bertugas menampung keluhan warga negara atas penyimpangan atau pekerjaan buruk yang dilakukan pejabat atau lembaga pemerintah. Sebelumnya, fungsi pengawasan atas tindakan penyelenggara negara dan perlindungan terhadap hak-hak warga juga telah diperkenalkan dalam sistem tata negara kekaisaran Romawi dengan Tribunal Plebis melindungi hak-hak masyarakat lemah dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan, kekaisaran China 221 SM dengan membentuk Control Yuan bertugas melakukan pengawasan terhadap pejabat-pejabat kekaisaran (pemerintah) dan bertindak sebagi perantara bagi masyarakat yang ingin melaporkan keluhan dan aspirasi kepada Kaisar, kekhalifahan Umar Bin Khathab (634-644 M) yang memposisikan diri sebagai muhtasib (orang yang menerima keluhan) kemudian membentuk Qadi al Quadat (Ketua Hakim Agung) dengan mandat khusus melindungi masyarakat dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan pemerintah. 8

Contoh dari negara-negara di atas menunjukkan bahwa lembaga yang berfungsi menjalankan mandat untuk pengawasan dan menerima keluhan masyarakat

7

Antonius Sujata dan RM Surachman, Comparative Study on The Ombudsman System in Africa and Europe – Kajian Komparatif atas Sistem Ombudsman di Afrika dan Eropa (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2000).

8

(8)

usianya sudah tua, hanya saja Swedia negara yang pertama kali memasukkan dalam konsitusinya. Sekarang Ombudsman telah berkembang dan menjadi kecenderungan ketatanegaraan sebagai pilar demokrasi dan perlindungan terhadap HAM dimana lebih dari 140 negara telah memilikinya. Negara-negara seperti Philipina, Afrika Selatan, Thailand juga telah memasukkannya dalam konstitusi. Sistem Parliamentary Ombudsman disebut juga sebagai Ombudsman Klasik karena sejak mula yaitu di Swedia (1809), Finlandia (1911) dan Denmark (1955) memang merupakan Ombudsman Parlementer. Beberapa ciri model Ombudsman Parlementer adalah :

1. Pemilihannya dilakukan oleh parlemen (meskipun pengangkatan ditetapkan oleh Kepala Negara/Raja).

2. Menyampaikan laporan kepada parlemen.

3. Sasaran pengawasan adalah mal-administrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan ataupun aparat peradilan.

Bentuk lain adalah model yang dianut oleh Perancis dan negara-negara jajahannya (Francophone Countries)9

9

Junaidi Suwartoyo, Korupsi, Pola Kegiatan dan Penindakannya serta Peran Pengawasan dalam Penanggulangannya, Jakarta: Restu Agung, 1995.

yang disebut sebagai Le Médiateur de la République. Para anggotanya tidak dipilih oleh parlemen (dipilih oleh kabinet) dan dalam menyelesaikan pengaduan boleh melakukan mediasi. Persamaannya dengan Parliamentary Ombudsman adalah mengenai sasaran pengawasan yaitu mal-administrasi.

(9)

Dalam perkembangan lebih lanjut Parliamentary Ombudsman dalam arti penambahan area tugas/fungsi yang tidak hanya mencakup pengawasan terhadap mal-administrasi tetapi juga pengawasan atas pelanggaran HAM (Negara-negara Amerika Latin dan Eropa Timur) serta menangani kasus korupsi (Philipina, Uganda, Zambia, Ghana, Macao). Parliamentary Ombudsman yang tidak semata-mata melakukan pengawasan mal-administrasi yang memiliki mandat serta fungsi yang bersifat operasional substansial karena itu merupakan model Ombudsman parlemen yang non-klasik.

Bentuk lain yang sedikit berbeda adalah institusi semacam Ombudsman di Jerman yang disebut Petitiobsausschus atau Petition Commission atau Komisi Petisi Permanen Parlemen Federal yang menampung pengaduan dari para pelapor dan kemudian menanganinya (di Inggris disebut: Public Commission for Administration=Komisi Administrasi Publik). Dalam prakteknya,10 di dunia terdapat tiga macam Ombudsman, Executive Ombudsman (Ombudsman Eksekutif), Parliementary Ombudsman (Ombudsman Parlementer), dan Civil Society Ombudsman (Ombudsman Masyarakat Sipil). Perbedaaan utamanya terdapat pada pembentukannya dan kedudukannya. Executive Ombudsman

10

(Ombudsman Eksekutif) kedudukannya berada di bawah presiden sebagai pemerintah, seperti di Indonesia sekarang ini.

Perlu UU Freedom of Information untuk Efektifkan Ombudsman, hari Sabtu, 06 April 2002

(10)

Parliementary Ombudsman (Ombudsman Parlementer) adalah ombudsman yang kedudukannya berada di bawah parlemen, sedangkan Civil Society Ombudsman (Ombudsman Masyarakat Sipil) adalah ombudsman yang dibentuk atas inisiatif masyarakat sipil dengan wilayah kerja yang khusus. Di negara-negara yang urusan pemerintahannya sudah dialihkan kepada swasta, jenis Civil Society Ombudsman

Di Indonesia sendiri, menurut Ketua Badan Pekerja lah yang perlu dikedepankan.

Indonesian Corruption

Watch (ICW) dan anggota KON, Teten Masduki, sudah ada contoh ombudsman yang dibentuk oleh masyarakat sipil. Di bidang pers, sudah ada ombudsman seperti yang dibentuk oleh Kompas di Jakarta dan Jawa Pos di Surabaya. Tugasnya adalah mengawasi penggunaan standar yang lazim di media pers dalam penyajian karya jurnalistik, mengawasi penataan media pers dan wartawan terhadap etika pers. Serta menyelesaikan kasus gugatan atau pengaduan masyarakat terhadap sajian pers yang dianggap merugikan mereka. Hal ini tentu menjadi peringatan bagi wartawan agar tidak sembarang membuat berita.11

Di masa yang akan datang, saat Indonesia mulai menyerahkan pelayanan publiknya pada swasta, diperlukan jenisCivil Society Ombudsman

11

(Ombudsman Masyarakat Sipil) untuk menyelesaikan masalah yang timbul antara masyarakat dengan penyedia layanan publik. Namun, harus dengan jaminan bahwa kasus ditangai secara jujur, transparan, akuntabel, dan diselesaikan.

Peringatan Hari Pers, Solo, Jum’at, 09 Februari 2001.

(11)

Upaya pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia oleh pemerintah dimulai ketika Presiden B.J. Habibie berkuasa, kemudian dilanjutkan oleh penggantinya, yakni K.H. Abdurrahman Wahid. Masa pemerintahan dapat disebut sebagai masa K.H. Abdurrahman Wahid, yang dapat disebut sebagai tonggak sejarah pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia, sedangkan pada masa pemerintahan B.J. Habibie dapat disebut sebagai masa rintisan dalam pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia.

Lengsernya Soeharto dari kursi Kepresidenan pada tahun 1998, menyebabkan keinginan untuk membentuk lembaga Ombudsman seolah-olah mendapatkan momentum. Pemerintah pada waktu itu nampak sadar akan perlunya lembaga Ombudsman di Indonesia menyusul adanya tuntutan masyarakat yang amat kuat untuk mewujudkan pemerintah yang bersih dan penyelenggaraan negara yang baik atau clean government dan good governance.12

Setelah Presiden B.J. Habibie lengser, pemerintahan dilanjutkan oleh Gus Dur dan Mega yang pada saat itu harus menanggung politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah memberantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah juga

(12)

semakin kehilangan kewibawaan karena terus-menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakatnya.

Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintah saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional (untuk selanjutnya disingkat dengan KON).

Pengawasan terhadap pemerintah dapat diuraikan sebagai berikut :13 1. Bentuk Pengawasan

Pengawasan atau control terhadap tindakan aparatur pemerintah diperlukan agar pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan dapat mencapai tujuan dan terhindar dari penyimpangan-penyimpangan. Berdasarkan bentuknya pengawasan dapat dibedakan, sebagai berikut :

a. Pengawasan Internal

Pengawasan internal, adalah pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan atau organ yang secara organisatoris/structural termasuk dalam lingkungan pemerintahan itu sendiri. Misalnya pengawasan yang dilakukan pejabat atasan terhadap bawahannya sendiri, contoh : suatu instansi membentuk inspektorat, tim verifikasi atau panitia pemeriksa.

13

Solly Lubis, Op.Cit., hal. 100.

(13)

Pengawasan jenis ini termasuk pengawasan teknis administrative atau “built-in control”.

b. Pengawasan Eksternal

Pengawasan eksternal dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/structural berada di luar Pemerintah dalam arti eksekutif. Misalnya, pengawasan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan politis yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk hearing dan hak bertanya. Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat melalui pers/media massa, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Pengawasan yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan apabila timbul sengketa terhadap pemerintah, misalnya melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. 2. Jenis-jenis Pengawasan

Penyelenggaraan pengawasan dapat dilakukan berdasarkan jenis-jenis pengawasan, yaitu :

a. Pengawasan dari segi waktunya

Pengawasan ditinjau dari segi waktunya dibagi dalam dua kategori :

(1) Pengawasan a-priori atau pengawasan preventif yaitu, pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan-keputusan dari aparatur pemerintah yang lebih rendah.

(14)

Pengawasan dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan administrasi Negara atau peraturan lainnya, dengan cara pengesahan terhadap ketetapan atau peraturan tersebut. Apabila ketetapan atau peraturan tersebut belum disahkan maka ketetapan atau peraturan tersebut belum mempunyai kekuatan hokum.

(2) Pengawasan a-posteriori atau pengawasan represif, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah yang lebih tinggi terhadap keputusan aparatur pemerintah yang lebih rendah. Pengawasan dilakukan setelah dikeluarkannya keputusan atau ketetapan pemerintah atau sudah terjadinya tindakan pemerintah. Tindakan dalam pengawasan represif dapat berakibat pencabutan apabila ketetapan pemerintah tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam keadaan yang mendesak tindakan dapat dilakukan dengan cara menangguhkan ketetapan yang telah dikeluarkan sebelum dilakukan pencabutan.

b. Pengawasan dari segi sifatnya

Pengawasan terhadap aparatur pemerintah apabila dilihat dari segi sifat pengawasan itu, terhadap obyek yang diawasi dapat dibedakan dalam dua kategori :

(15)

(1) Pengawasan dari segi hukum (rechtmatigheidstoetsing), misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan peradilan pada prinsipnya hanya menitik beratkan pada segi legalitas. Contoh : Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara bertugas menilai sah tidaknya suatu ketetapan pemerintahan. Selain itu tugas hakim adalah memberikan perlindungan (law protection) bagi rakyat dalam hubungan hukum yang ada di antara Negara/pemerintah dengan warga masyarakat.

(2) Pengawasan dari segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing), yaitu pengawasan teknis administrative intern dalam lingkungan pemerintah sendiri (builtincontrol) selain bersifat legalitas juga lebih menitik beratkan pada segi penilaian kemanfaatan dari tindakan yang bersangkutan.

Sistem pengawasan secara internal yang diterapkan oleh suatu lembaga cenderung tidak objektif.14

14

Karena itulah suatu lembaga, khususnya badan-badan peradilan, tetap membutuhkan lembaga-lembaga pengawas yang bersifat eksternal. Sebenarnya jika dilakukan sesuai aturan, pengawasan yang dilakukan secara internal oleh suatu lembaga cukup efektif. Pasalnya, pihak yang menyelenggarakan pengawasan dalam lembaga tersebut merupakan bagian dari struktur organisasi yang diawasi oleh para aparatnya. Terlebih lagi, badan atau pejabat yang diserahi

Pengawasan Lembaga Peradilan di Jakarta, Senin, 22 Juli 2002.

(16)

menangani pengawasan lebih mengenali sistem dan mekanisme kerja tatanan organisasi lembaga tersebut. Hal tersebut berpengaruh positif bagi aspek subordinasi dan koordinasi dari penyelenggaraan tugas-tugas pengawasan.

Pengawasan internal MA sendiri, menurut Laica, sekarang ini tengah menangani kasus-kasus yang diduga merupakan pelanggaran administratif dan disiplin. Di antaranya, terdapat juga kasus-kasus dengan dugaan pelanggaran yang bersifat kriminalitas. Tugas pengawasan ini dilaksanakan oleh Ketua Muda MA urusan Pengawasan dan Pembinaan.

Pengawasan internal juga mempunyai sisi negatif. Menurut Laica, pengawasan internal kadang kala rentan dirasuki solidaritas. Faktor tenggang rasa dan kesetiakawanan serta belas-asih kepada rekan-rekan. Terutama, rekan seprofesi dan bawahan ada kalanya menguasai pertimbangan pengenaan sanksi. Pengawasan internal tidak efektif dalam suatu tatanan organisasi yang korup. Seperti istilah “tidak mungkin membersihkan lantai dengan sapu yang kotor. Penyelenggara pengawasan harus pertama-tama bersih tatkala melakukan pengawasan. Karena itulah dalam kondisi lembaga peradilan saat ini, maka pengawasan dari lembaga eksternal tetap diperlukan. Lembaga-lembaga ekternal yang dimaksud Laica misalnya seperti KON, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Anti Korupsi, Indonesia Corruption Watch

Keberadaan lembaga pengawas eksternal memang sedikit banyak bisa menciptakan kondisi yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih transparan. Namun,

(ICW), dan lain-lain.

(17)

yang perlu juga diketahui adalah bahwa lembaga pengawasan eksternal hanya mempunyai kewenangan untuk mengawasi proses pelaksanaan prosedur saja. Jadi, belum mempunyai kekuatan untuk menentukan output

Dalam sambutannya yang dibacakan oleh stafnya,

yang seharusnya dikeluarkan suatu lembaga.

15

ketua KON Antonius Sujata mengatakan bahwa Ombudsman sebagai salah satu lembaga pengawas berwenang untuk melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara. Ombudsman bukanlah pelaksana kekuasaan, wewenang yang dimiliki hanyalah aspek pengawasannya saja. Misalnya, pada proses pengadilan. Ombudsman tidak mempunyai wewenang untuk menilai putusan yang dihasilkan oleh majelis hakim. Pasalnya, hal itu adalah kewenangan dari majelis hakim. Namun jika dalam pelaksanaan fungsi tersebut hakim melakukan penyimpangan, lalai, meminta uang, atau cenderung memihak, maka masyarakat melalui Ombudsman masuk untuk melakukan pengawasan. Jadi yang diawasi bukan output

Pada awal November 1999, Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut

dari aparatur penyelenggara negara, tetapi proses yang dilakukan olehnya. Walaupun, tidak jarang proses tersebut mempengaruhi output.

15

Antonius Sujata dalam Seminar Sehari tentang Pengawasan Lembaga Peradilan di Jakarta, Senin, 22 Juli 2002.

(18)

juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden yaitu Antonius Sujata (Jaksa bidang tindak pidana khsusus). Akhirnya pada tanggal 17 November 1999 diadakan pertemuan dan menyepakati untuk membentuk sebuah lembaga pengawasan yang bersifat independen. Lembaga yang dimaksud itu dinamakan “ombudsman” dengan alasan, nama itu sudah dikenal secara internasional.16

Kemudian pada tanggal 20 Maret 2000 Ombudsman didirikan di Indonesia berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000 dengan sekaligus mengangkat anggota Ombudsman sebanyak 8 orang yang diketuai oleh mantan ketua tim pengkajian pembentukan lembaga Ombudsman, Antonius Sujata.17

1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

Keberadaan Ombudsman Nasional dilandasi oleh filosofi dasar sebagai berikut :

2. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang atupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;

3. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khusunya penyelenggaraan pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mencptakan keadilan dan kesejahteraan;

4. Adanya aspirasi yang berkembang dalam masyarakat untuk membuka suatu institusi pengawasan oleh masyarakat yang bersifat mandiri.18

Sedangkan menurut Solly Lubis, Filosofi dasar KON dilandasi :19

16

Muchsin, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Ombudsman menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 28 Mei 2009, hal. 10.

17

18

Konsiderans Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional.

(19)

1. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan Negara yang jujur, bersih, transparansi, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat dalam penyelenggaraan Negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi.

2. Bahwa dalam penyelenggaraan Negara khususnya penyelenggaraan pemerintah memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Pengawasan yang dilakukan oleh KON adalah pengawasan riel, yaitu pengawasan untuk memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari aparatur pemerintahan. KON dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000, dengan tujuan untuk :20

1. Menghadapi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparatur pemerintah.

2. Membantu aparatur Negara dalam melaksanakan pemerintahan secara efisien dan adil.

3. Memaksa para pemegang kekuasaan untuk melaksanakan pertanggung jawaban dengan baik.

Dalam praktek pemerintahan dapat terjadi keputusan-keputusan pejabat publik berupa tindakan yang janggal (inappropriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular/illegitimate),

19

Solly Lubis, Op. Cit. hal. 110. 20

Ibid. hal. 111.

(20)

penyalahgunaan wewenang (abuse of power), atau keterlambatan yang tidak perlu (undue delay), merupakan bentuk-bentuk maladministration. Selain itu jika terjadi pelanggaran kepatutan (equity) yaitu sekalipun menurut hukum dapat dibenarkan, akan tetapi nyata-nyata atau dapat dirasakan ketidakadilan, maka dalam situasi ini Komisi Ombudsman sebagai Magistrate of Influence akan memberikan pertimbangan dan rekomendasi.

Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional tidak secara spesifik mengatur fungsi Ombudsman, fungsi tersebut terintegrasi dalam wewenang sub komisi, yaitu :21

1. Sub Komisi Kalarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan.

a. Melaksanakan klarifikasi atau monitoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukum.

b. Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau monitoring.

c. Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti.

e. Melakukan tindakan-tindakan lain guna mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara.

2. Sub Komisi Penyuluhan dan Penyidikan

21 Ibid.

(21)

a. Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat.

b. Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan tindakan konkrit anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

c. Mendorong anggota masyarakat untuk lebih menyadari akan hak-haknya dalam memperoleh pelayanan.

d. Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman Nasional.

e. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan para petugas Ombudsman Nasional.

f. Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional dalam waktu paling lambat enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.

3. Sub Komisi Pencegahan

a. Melakukan kerjasama dengan perseorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan Negara.

b. Memonitoring dan mengawasi tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada lembaga terkait.

4. Sub Komisi Khusus

a. Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan insidentil.

b. Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara khusus oleh Rapat Paripurna.

(22)

independen.22

Setelah lebih dari 10 tahun Ombudsman telah didirikan di Indonesia, masih banyak penyelenggara negara yang belum memahami tentang peran dan arti penting institusi Ombudsman. Di mana pemahaman akan tugas dan fungsi Ombudsman sangat mempengaruhi tingkat partisipasi mereka guna mendukung eksistensi dan perkembangan Ombudsman pada masa yang akan datang demi terwujudnya cita-cita bangsa yang menjadi latar belakang perumusan judul “Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Ombudsman dalam Sistem Ketatanegaraan RI”.

Artinya, tidak ada seorang pun atau satu institusi apapun yang boleh mengendalikan atau mengarahkan Ombudsman.

Sejak ditetapkannya Keppres No. 44 Tahun 2000 pada tanggal 20 Maret 2000 berdirilah lembaga Ombudsman Indonesia dengan nama KON. Menurut Keppres Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia dilatarbelakangi oleh tiga pemikiran dasar sebagaimana tertuang di dalam konsiderannya, yakni:23

a. Bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peranserta mereka melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme;

b. Bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokrasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi;

c. Bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan

22

Antonius Sujata dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional., hal. 67.

23

http://rangerwhite09-artikel.blogspot.com/2010/04/kedudukan-dan-kewenangan-ombudsman.html

(23)

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.

Pada lampiran Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Pembangunan Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman Nasional. Arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN 1999-2004 yang relevan dengan eksistensi Ombudsman adalah:24

1. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai Hak Asasi Manusia;

2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia.

3. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.

Pada matriks Program Nasional pembentukan peraturan perundangan secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-undang tentang Ombudsman merupakan indikator kerja Kebijakan Program Pembangunan Hukum tahun 1999-2004. Dengan ditetapkannya penyusunan Undang-undang Ombudsman tersebut maka hal ini menjadi salah satu bagian untuk menilai keberhasilan kinerja Pemerintah.

Selanjutnya pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme.

24

Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Pembangunan Hukum BAB III Pembangunan Hukum

(24)

Pasal 2 Ketetapan tersebut berbunyi sebagai berikut:

Arah kebijakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah:25

1. Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.

2. Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus-kasus korupsi termasuk korupsi yang terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.

3. Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara Negara dan anggota masyarakat.

4. Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundangundangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme,

5. Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.

6. Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi:

a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Perlindungan Saksi dan Korban;

c. Kejahatan Terorganisasi;

d. Kebebasan mendapatkan informasi; e. Etika Pemerintahan;

f. Kejahatan Pencucian Uang; g. Ombudsman

7. Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan atau /nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Menurut Keppres No. 44 Tahun 2000 Tentang KON merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Pada Keppres ini banyak pengaturan yang masih bersifat umum. Pada Keppres ini kewenangan Ombudsman masih sangat

25

Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme.

(25)

terbatas sehingga ruang geraknya pun sangat sempit. Apalagi Komisi ini, hanya berada di Ibukota Jakarta padahal kewenangannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, Ombudsman belum diatur dalam UUD 1945. Sebenarnya desakan agar Ombudsman dimasukkan dalam UUD 1945 saat dilakukan perubahan juga telah ada, namun tidak direspon oleh fraksi-fraksi di MPR saat itu. Usulan pengaturan Ombudsman dalam Amandemen UUD 1945 oleh Komisi Konstitusi dimasukkan dalam Pasal 24 G ayat (1), yang berbunyi : Ombudsman Republik Indonesia adalah ombudsman yang mandiri guna mengawasi penyelenggaraan pelayanan umum kepada masyarakat, dan ayat (2) berbunyi : Susunan, kedudukan dan kewenangan Ombudsman Republik Indonesia diatur dengan undang-undang.26

Dalam perkembangan terakhir KON dengan suratnya No. 105/KON-Srt/IX/2001 telah mengusulkan kepada Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR untuk memasukkan eksistensi Lembaga Ombudsman ke dalam UUD. Adapun yang menjadi landasan dasar pertimbangan usul tersebut adalah sebagai berikut :

27

Pertama, dengan mengutip pendapat seorang Sarjana Hukum Belgia, André Molitor, yang menyatakan bahwa oleh karena rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, lembaga ini merupakan “Magistrature of Influence” (Mahkamah Pemberi Pengaruh) bukan

26

Antonius Sujata dan RM Surachman, Op. Cit., hal. 68. 27

Ombudsman Republik Indonesia, Ombudsprudensi, Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2009, hal. 39.

(26)

Magitrature of Sanctions” (Mahkamah Pemberi Sanksi). Efektifitasnya sangat tergantung pada kemampuannya melakukan persuasi, kewenangannya yang diberikan kepadanya, serta bobot dan kualitas rekomendasi yang diberikannya. Oleh sebab itu, suatu Ombudsman Nasional harus diberi landasan konstitusional, yaitu dengan dicantumkannya di dalam UUD. Adapun alasannya menyangkut dua hal, yaitu :

(1) Hak para warga untuk memperoleh perlindungan dari lembaga semacam Ombudsman mendapat pengakuan UUD (constitutional recognition);

(2) Lembaga Ombudsman sendiri memperoleh landasan UUD (constitutional basis).

Kedua, dalam sistem demokrasi yang menjunjung asas negara hukum (rule of law), yang salah satu elemennya adalah “supremasi hukum”, yang dilengkapi dengan sistem “pengawasan/kontrol dan keseimbangan” (checks and balances), sehingga dengan sendirinya Lembaga Ombudsman perlu diberi landasan konstitusional, yaitu dengan dicantumkannya dalam UUD. Dalam hubungan ini, menurut Montesquieu, bukan sekedar undang-undang, melainkan harus UUD yang digunakan, dalam melakukan pengawasan/kontrol (check) terhadap pemerintahan berdasarkan pemisahan kekuasaan (separation of powers). Ombudsman Nasional Indonesia tidak dapat diragukan lagi merupakan salah satu “pengawas/pengontrol” (checks) yang dimaksud, sehingga dicantumkannya dalam UUD akan memperkokoh stabilitasnya.

Ketiga, seorang pakar Ombudsman dari Kalifornia Amerika Serikat, Dean Gottehrer telah meneliti sebanyak 54 konstitusi yang mencantumkan lembaga

(27)

Ombudsman dalam dua atau tiga pasal, bahkan tidak sedikitnya hanya dalam satu pasal saja, menandaskan bahwa pengaturan konstitusi itu hanya meliputi empat hal, yaitu :28

(1) Alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman,

(2) Perintah pengaturan lebih lanjut dalam undang-undang, (3) Syarat-syarat pemberhentian Ombudsman, dan

(4) Independensi Ombudsman.

Menurut Gottehrer, alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman dimaksudkan untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terhadap perorangan; sedangkan, perintah pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang (lebih baik lagi suatu UU Organik tentang Ombudsman) adalah untuk merinci tugas, kekuasaan, dan pertanggungjawaban Ombudsman menurut undang-undang. Mengenai pemberhentian Ombudsman diperlukan suara mayoritas yang besar pula dan hanya atas dasar yang sangat terbatas, yaitu manakala Ombudsman tidak mampu lagi menjalankan jabatannya, baik karena kesehatan jasmani maupun rohani atau sebab lain yang diperinci, biasanya karena berprilaku yang sangat tercela. Akhirnya, di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Ombudsman harus independen. Artinya, tidak ada seorang pun atau satu institusi apapun yang boleh mempengaruhi, mengintervensi, apalagi mendikte Ombudsman di dalam menjalankan tugasnya.

28

(28)

Keempat, lembaga Ombudsman yang berasal dari Swedia (1809) melalui Finlandia (1911) dan Denmark (1954) memang didirikan guna memberantas mal-administrasi (maladministration) dan KKN, baik di kalangan aparatur pemerintah (Public Administration), birokrasi (Bureaucracy) dan peradilan (Judiciary), agar aparat pemerintah, birokrasi, dan peradilan tadi (termasuk polisi, jaksa, panitera, hakim, dan petugas lembaga permasyarakatan) senantiasa memperhatikan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance), supremasi hukum, keadilan (fairness) dan sikap santun, karena tindak tanduknya selalu dipantau dan diawasi Ombudsman.

Kelima, KON yang sudah berdiri lebih dari 16 bulan, berdasarkan Keppres No. 44 tahun 1999 nampaknya seperti institusi-institusi baru lain di Indonesia (Komnas HAM, KPU, dan lain-lain), baru dianggap sebagai institusi bantuan (auxiliary agency), bukan institusi yang utama (principal agency) dan sangat vital terutama di abad ke 21 ini yang merupakan “abad globalisasi” dan terutama bagi sebuah negara seperti Indonesia, di mana mal-administrasi dan KKN sedang merajalela. Padahal komisi ini tidaklah terlalu jauh berbeda dari lembaga Ombudsman lain di 107 negara, yaitu merupakan salah satu pilar utama pemerintahan yang demokratis.

Kemudian untuk lebih mengoptimalkan fungsi, tugas, dan wewenang KON, perlu dibentuk Undang-undang tentang Ombudsman Republik Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan ORI) sebagai landasan hukum yang lebih jelas dan kuat. Hal ini sesuai pula dengan amanat ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(29)

Nomor/MPR/2001 tentang rekomendasi arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang salah satunya memerintahkan dibentuknya Ombudsman dengan Undang-undang. Akhirnya keinginan untuk mempunyai undang-undang tersebut terwujud pada tanggal 7 Oktober 2008 yaitu terbentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2008 Tentang ORI.

Pengaturan Ombudsman dalam Undang-undang tidak hanya mengandung konsekuensi posisi politik kelembagaan, namun juga perluasan kewenangan dan cakupan kerja Ombudsman yang akan sampai di daerah-daerah. Dalam undang-undang ini dimungkinkan mendirikan kantor perwakilan Ombudsman di daerah Propinsi, Kabupaten/Kota. Dalam hal penanganan laporan juga terdapat perubahan yang fundamental karena Ombudsman diberi kewenangan besar dan memiliki kekuatan memaksa (subpoena power), rekomendasi yang bersifat mengikat, investigasi, serta sanksi pidana bagi yang mengahalang-halangi ombudsman dalam menangani laporan.29

Melalui UU No. 37 Tahun 2008, sekarang Indonesia telah memiliki Ombudsman, yang disebut ORI yang telah diperkuat kedudukan dan kewenangannya. Meskipun sangat lambat, karena tercatat tidak kurang delapan tahun rancangannya “ngendon” di DPR. Setelah berlakunya Undang-Undang ORI, maka KON berubah

29

Muchsin, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Ombudsman menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV No. 28 Mei 2009, hal. 10.

(30)

menjadi ORI.30

Table 1

Perubahan nama tersebut mengisyaratkan bahwa Ombudsman tidak lagi berbentuk Komisi Negara yang bersifat sementara, tapi merupakan lembaga negara yang permanen sebagaimana lembaga-lembaga negara yang lain, serta dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan kekuasaan lainya.

Perbandingan antara Komisi Ombudsman Nasional dan Ombudsman Republik Indonesia

Komisi Ombudsman Nasional Ombudsman Republik Indonesia

Landasan Hukum

Keputusan Presiden RI No. 44 Tahun 2000

Undang-undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2008

Status Lembaga Komisi Lembaga Negara

Objek BUMD, BHMN, Badan Swasta dan

Perorangan yang diberi Tugas Menyelenggarakan Pelayanan Publik

Tertentu dengan Anggaran Sebagian atau Seluruhnya Bersumber dari

APBN/APBD.

Wewenang

Tidak mengatur tentang wewenang melakukan pemanggilan terhadap Terlapor, serta melakukan review

terhadap organisasi/prosedur pelayanan publik, undang-undang

maupun peraturan lainnya dalam rangka pencegahan mal-administrasi

a. Berwenang melakukan

pemanggilan terhadap Terlapor

b. Berwenang member saran

kepada Presiden, Kepala Daerah atau Pimpinan Instansi lain guna perbaikan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik

c. Berwenang memberi saran

kepada DPR, DPRD, Kepala Daerah terhadap UU atau peraturan lainnya.

Imunitas Tidak diatur

Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenangnya, Ombudsman tidak

dapat ditangkap, ditahan, diinterogasi, dituntut, atau digugat di

muka pengadilan.

Rekomendasi Tidak diatur a. Terlapor dan Atasan

30

Ibid.hal. 11.

(31)

Ombudsman Terlapor wajib melaksanakan rekomendasi

Ombudsman b. Instansi yang melanggar

ketentuan akan dikenakan sankasi administrasi sesuai

dengan perundang-undangan

Ketentuan

Pidana Tidak diatur

Penjara 2 (dua) tahun atau denda maksimal Rp. 1 milyar bagi yang

menghalangi pemeriksaan Ombudsman

Susunan Organisasi

Pengaturan Sub komisi klarifikasi, monitoring dan pemeriksaan, penyuluhan dan pendidikan, serta sub

komisi khusus.

Tidak diatur

Sekretariat

Jenderal Tidak diatur Diatur dalam Peraturan Presiden

Perwakilan

Ombudsman Tidak diatur

Perwakilan Ombudsman dapat dibentuk di tingkat Propinsi,

Kabupaten/Kota.

Sumber : Pembahasan Ombudsman Republik Indonesia mengenai perbandingan Ombudsman dari Keppres No. 44 Tahun 2000 kepada UU No. 37 Tahun 2008.

Keenam,31

31

Ombudsman Republik Indonesia, Op. Cit., hal. 42.

(32)

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan di atas, maka dibuat perumusan masalah yang bekenaan dengan dibentuknya Lembaga Ombudsman Republik Indonesia, sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan dan kewenangan Lembaga Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia ?

2. Bagaimana peran, tugas dan fungsi Lembaga Ombudsman dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme?

3. Bagaimana kendala yang dihadapi oleh Ombudsman dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas terhadap pelayanan publik?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara mendalam hal-hal yang telah dirumuskan sebagai permasalahan penelitian di atas, yaitu :

1. Untuk mengetahui kedudukan dan kewenangan Lembaga Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

2. Untuk mengetahui peran, tugas dan fungsi Lembaga Ombudsman dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme.

3. Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh Ombudsman dalam menjalankan tugasnya sebagai lembaga pengawas terhadap pelayanan publik.

(33)

D. Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan ini antara lain adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat yaitu memberikan sumbangan pemikiran, menambah khasanah ilmu hukum serta memperkaya kajian hukum di bidang Hukum Tata Negara khususnya mengenai kedudukan dan kewenangan Lembaga Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan kepada : a. Kalangan akademisi untuk menambah wawasan khususnya dalam bidang

Hukum Tata Negara yang menyangkut pada perkembangan kedudukan dan kewenangan Lembaga Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

b. Masyarakat umum yang ingin mengetahui bagaimana kedudukan dan kewenangan Lembaga Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

E. Keaslian Penelitian

(34)

sistem ketatanegaraan Republik Indonesia” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama khususnya di Program Magister Ilmu Hukum USU seperti yang telah dirumuskan. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Berikut ini akan diuraikan pemikiran-pemikiran serta teori yang akan menjadi dasar kerangka bagi penelitian ini yang awalnya lahir dari adanya hubungan antara negara, rakyat dengan pemerintahan.

a. Teori Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari perkataan “constitution” (bahasa Jerman), “constitution” (bahasa Inggris dan Perancis), “constitution” (bahasa Latin) yang berarti Undang-undang Dasar atau Hukum Dasar, atau Dasar Susunan Badan. Konstitusi yaitu susunan bagian organ-organ yang masing-masing mempunyai kedudukan dan fungsinya sendiri-sendiri, tetapi bersama-sama merupakan satu rangkaian kerja sama yag harmonis, demikian halnya dengan negara.

Konstitusi menurut makna katanya berarti “dasar susunan badan politik” yang bernama negara. Pertama-tama konstitusi menggambarkan keseluruhan sistem

(35)

ketatanegaraan suatu negara, yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara. Peraturan-peraturan tersebut ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang berwenang dan ada yang tidak tertulis. Walaupun peraturan-peraturan ini tidak merupakan undang-undang, tetapi tidak berarti tidak efektif dalam mengatur negara.

Istilah konstitusi dalam perkembangannya mempuyai dua pengertian, yaitu :32

1) Dalam pengertian yang luas, konstitusi berarti keseluruhan dari ketentuan-ketentuan dasar atau hukum dasar

2) Dalam pengertian yang sempit (terbatas) konstitusi berarti piagam dasar atau Undang-undang Dasar, ialah suatu dokumen lengkap mengenai peraturan-peraturan dasar negara, misalnya Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, Konstitusi Amerika Serikat tahun 1787; Konstitusi Perancis tahun 1789; Konstitusi Konfederasi Swiss tahun 1848. Jadi konstitusi dalam arti yang sempit (terbatas) berarti sebagian dari hukum dasar, yang merupakan satu dokumen tertulis yang lengkap.

b. Teori Fungsi Negara

Teori fungsi negara yang digunakan yaitu teori fungsi negara menurut Montesquieu. Tiga fungsi negara menurut Montesquieu ialah :33

1. Fungsi Legislatif, membuat undang-undang.

2. Fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan

32

Samidjo, Ilmu Negara, CV. Armico, Bandung, 1986, hal. 297-299. 33

Abu Daus Busroh, Ilmu Negara, Penerbit: Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 85-87.

(36)

3. Fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili), yang popular dengan teori Trias Politika.

Oleh Montesquieu fungsi federative disatukan dengan fungsi eksekutif, dan fungsi eksekutif, dan fungsi mengadili dijadikan fungsi yang berdiri sendiri. Hal tersebut, dapat dimengerti bahwa tujuan dari Montesquieu untuk memperkenalkan trais politika adalah untuk kebebasan berpolitik (melindungi hak-hak asasi manusia) yang hanya dapat dicapai dengan kekuasaan mengadili (lembaga yudikatif) yang berdiri sendiri.

c. Teori Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan Negara

Ismail Sunny berpendapat; pemisahan kekuasaan secara material disebut

separation ofpowers (pemisahan kekuasaan), sedangkan dalam arti formal disebut

division of power (pembagian kekuasaan). Pemisahan kekuasaan daam arti material dijumpai dalam pemerintahan Amerika Serikat, seangkan di Inggris dan Uni Sovyet terdapat pemisahan kekuasaan dalam arti formal.

Jhon Lock pada tahun 1690 menghasilkan karangannya “Two Triatises on Civil Government”, di antaranya memuat teori kekuasaan negara yang harsu dibagi dalam tiga kekuasaan, yaitu:

1. Kekuasaan Legislatif, meliputi wewenang membuat undang-undang. 2. Kekuasaan Eksekutif, meliputi wewenang mempertahankan dan

melaksanakan undang-undang serta mengadili perkara.

(37)

Jhon Lock melihat wewenang mengadil itu sebagai suatu “pelaksanaan” karenanya merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif.

3. Kekuasaan Federatif, meliputi wewenang yang tidak termasuk dalam kekuasaan legislatif dan eksekutif. Misalnya hubungan dengan luar negeri. 2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting untuk dirimuskan agar tidak tersesat kepemahaman yang lain di luar maksud di dalam penelitian ini. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping unsur lainnya seperti asas dan standart. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu inti sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.34

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefInisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Adapun konsep yang dimaksud pada penelitian ini antara lain :

1. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh BUMN, BUMD, dan BHMN, serta badan swasta atau perorangan yang

34

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 48.

(38)

diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.35

2. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) merupakan suatu konsep yang akhir-akhir ini dipergunakan secara reguler dalam ilmu politik dan administrasi publik. Konsep ini lahir sejalan dengan konsep-konsep dan terminologi demokrasi, masyarakat sipil, partisipasi rakyat, hak asasi manusia, dan pembangunan masyarakat secara berkelanjutan.

3. Pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan seluruh kegiatan

organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan.36

4. Mal-administrasi, Soenaryati Hartono mengartikan mal-administrasi dengan perilaku yang tidak wajar (termasuk penundaan pemberian pelayanan), kurang sopan dan tidak peduli terhadap masalah yang menimpa seseorang disebabkan penggunaan kekuasaan secara semena-mena atau kekuasaan yang digunakan untuk perbuatan yang tidak wajar, tidak adil, intimidatif atau diskriminatif, dan tidak patut didasarkan seluruhnya atau sebagian atas ketentuan undang-undang atau fakta tidak termasuk akal, atau berdasarkan tindakan undereasonable, unjust, oppresive, dan diskriminatif.37

35

Pasal 1 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman. 36

Sondang P.Siagian, Filsafat Administrasi, Gunung Agung, Jakarta 1970, hal.107 37

(39)

G. Metode Penelitian

1. Tipe atau Jenis Penelitian

Penelitian akan mengkaji pokok-pokok permasalahan sesuai dengan ruang lingkup dan identifikasi masalah sebagaimana yang telah disebut di atas melalui pendekatan yuridis-normatif. Metode penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun sebagai law as it decided by judge through judicial process.38

Adapun sifat penelitian yang dilakukan adalah deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum.39

2. Pendekatan Penelitian

Di dalam kaitan dengan penelitian normatif, maka dipergunakan beberapa pendekatan keilmuan, yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach), yaitu :40

a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)

Populer, Arkola, Surabaya, 1994, hal. 451), dan (Soenaryati Hartono, Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia, (Jakarta : Komisi Ombudsman Nasional, 2003, hal. 6).

38

Ronald Dwokrin, dalam Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum dan Hasil pada Majalah Akreditasi, Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2003, hal. 2.

39

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986, hal. 6. 40

Ibid, hal.8.

(40)

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena menelaah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.41

b) Pendekatan Konseptual (conceptual approach)

Analisa hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Ombudsman dalam Ketatanegaraan RI.

Pendekatan ini dilakukan berkenaan dengan konsep hukum yang mengatur perlindungan, kesejahteraan, kebebasan dan ketertiban yang harus diwujudkan oleh para penyelenggara negara, agar mekanisme sistem ketatanegaraan dapat berjalan secara konstitual, serta upaya menegakkan keadilan sosial, ketertiban dan perlindungan hukum terhadap warga negara dapat ditegakkan menurut UUD 1945.

3. Sumber Data Penelitian

Penelitian hukum normatif menitikberatkan pada penelitian kepustakaan dan berdasarkan pada data sekunder. Untuk memperoleh hasil data yang akurat dan signifikan, data dikumpulkan melalui studi pustaka yang dihimpun dan diolah dengan

41

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Malang : Penerbit Bayumedia, 2008, hal. 302.

(41)

melakukan pendekatan yuridis normatif.42 Data sekunder merupakan bahan-bahan pustaka yang sudah tersedia dan dikumpulkan berdasarkan kebutuhan dari penelitian ini, mencakup :43

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat, dan terdiri dari : 1) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu : Pembukaan UUD 1945 2) Peraturan Dasar :

a) Batang Tubuh UUD 1945 beserta perubahannya; b) Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3) Pertaturan perundang-undangan :

a) Undang-undang dan peraturan yang setaraf;

- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945

- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemda jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah.

- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.

- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik - Surat Keputusan Ketua Ombudsman Republik Indonesia Nomor 30 /

ORI –SK / VIII / 2009 tentang Kode Etik Ombudsman Republik Indonesia.

42

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan di dalam Penelitian Hukum, Jakarta : Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979, hal. 3.

43

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1985, hal. 13.

(42)

- Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 001 Tahun 2009 tentang Syarat, Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian serta Tugas dan Taggung Jawab Asisten Ombudsman.

- Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 002 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan.

b) Peraturan Pemerintah yang setaraf;

c) Keputusan Presiden dan peraturan yang setaraf;

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2009 tentang Sekretariat Jenderal Ombudsman Republik Indonesia.

d) Keputusan Menteri dan Peraturan yang setaraf; dan e) Peraturan-peraturan Daerah.

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan 5) Yurisprudensi

6) Traktat

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan perundang-undangan, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

c. Bahan hukum tertier; bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia dan lain-lain.44

44

Ibid, hal. 14.

(43)

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan pengumpulan data studi dokumen, yaitu dilakukan dengan menginventarisir berbagai bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tertier melalui riset kepustakaan (library research). Seluruh bahan dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dipandang relevan dengan Kedudukan dan Kewenangan Lembaga Ombudsman dalam Ketatanegaraan RI.

5. Analisis Data

Dengan mengkaji hukum normatif, analisis bahan hukum hakekatnya kegiatan untuk mengadakan sistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan kontruksi.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam analisis data, yaitu :

a) Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur masalah eksistensi, kedudukan, tugas, fungsi dan kewenangan Ombudsman. b) Membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga menghasilkan

klasifikasi tertentu.

c) Bahan hukum yang berupa peraturan perudang-undangan.

(44)

Selanjutnya dilakukan interpretasi terhadap bahan hukum untuk menemukan asas, kaidah, doktrin, ataupun konsep hukum yang lebih umum, yaitu kepastian hukum, keadilan hukum, perlindungan hukum, dan lain-lain.

Gambar

Table 1

Referensi

Dokumen terkait

Didapati daripada ujian ciri-ciri kejuruteraan, penggunaan debu kaca tempatan sebagai bahan pengganti kepada simen di dalam konkrit adalah sangat berpotensi.. Kesemua campuran

Salah satu benda bergerak yang dapat dijadikan harta benda wakaf yaitu hak atas kekayaan intelektual sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 16 ayat (3) huruf e

Berdasarkan penelitian dan analisis data yang dilakukan peneliti menarik kesimpulan bahwa penelitian pendidikan matematika UMN AL-Washliyah tahun 2015/2016 didominasi

coli O157:H7 hasil isolasi dari feses ayam memiliki sifat virulensi yang secara fenotipe sama dengan isolat kontrol. McKane dan Kandel (1998) menyatakan bahwa

Konstitusi juga mempunyai kegunaan bagi penguasa sebagai alat mewujudkan cita-cita dari tujuan Negara yang sesuai dengan kaedah Negara pembuatnya.Tampak bahwa begitu banyak

Hasil penelitian menunjukkan sapi-sapi endometritis pada K1 mengalami regresi CL rata-rata 32 jam setelah terapi, sedangkan pada K2, CL tidak langsung regresi setelah

Kalau sudah ada penjatuhan hukumannya, kemudian dibuatkan SK ROHK :DOLNRWD GLHNVHNXVL ROHK %.'' ´ Berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa penerapan sanksi

24 tahun 2009 dapat meminimalisir terjadinya tindak pidana terhadap kehormatan simbol- simbol Negara akan tetapi undang undang tersebut masih perlu dicermati