• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIASAAN MAKAN PADA ANAK ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEBIASAAN MAKAN PADA ANAK ANAK"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIASAAN MAKAN PADA ANAK-ANAK

oleh : Mira Suprayatmi

Kebiasaan makan dipengaruhi oleh contoh tingkah laku seseorang. Bagi seorang anak kebiasaan ini akan berkembang sesuai dengan lingkungan yang dimasukinya, baik itu dalam keluarga, grup bermain (Play grup),

taman kanak-kanak, sekolah atau iklan-iklan yang ditawarkan melalui mass media.

Orang-orang yang terdekatnyalah yang akan dicontoh anak-anak, gambaran kebiasaan orangtua, kakek-neneknya, pengasuhnya, gurunya akan dengan mudah ditirunya.

Pengaruh Keluarga, Sekolah dan Iklan

Suatu kebiasaan makan yang teratur dalam keluarga akan membentuk kebiasaan yang baik bagi anak-anak. Pembiasaan makan pagi di rumah atau membawa bekal dari rumah adalah salah satu contoh pembiasaan yang baik. Anak-anak tidak dibiasakan jajan di warung kala mereka istirahat sekolah. Selanjutnya pola makan dalam keluarga harus juga diperhatikan, frekwensi makan bersama dalam keluarga,

pembiasaan makan yang seimbang gizinya, tidak membiasakan makanan-makanan atau minuman manis, membiasakan banyak makan buah-buahan atau sayuran diantara waktu-waktu makan dsb.

Lingkungan sekolah dapat membentuk kebiasaan makan bagi anak-anak. Untuk anak Taman Kanak-kanak, biasanya mereka membawa bekal dari rumah kemudian makan bersama di kelas. Dalam hal ini kebiasaan dari rumah yang di bawanya. Akan tetapi jika pulang sekolah, biasanya di luar sudah menunggu para penjual makanan yang menawarkan jajanannya. Sehingga kadang membuat anak merengek ingin dibelikan. Jika kebiasaan membelikan jajanan pulang sekolah ini diteruskan, akhirnya anak menjadi terbiasa jajan makanan yang belum tentu baik gizi maupun kebersihannya. Di samping itu permintaan mereka bukan karena lapar. Nasihat yang baik dan pemberian pengertian di rumah sangat disarankan bagi para orang tua.

Bagi anak sekolah dasar lebih sukar lagi, karena mereka sudah tidak diawasi lagi oleh orang tua. Peranan guru dan kebijaksanaan sekolah sangat berarti sekali di sini. Misalnya bagaimana seorang guru memotivasi bahwa membawa bekal dari rumah itu lebih baik dari pada jajan, kemudian memberi penerangan bekal mana yang baik dan sehat untuk dibawa. Hal lain yang dapat dilakukan sekolah, misalnya membatasi dan menyeleksi jajanan yang disodorkan penjual di sekolah. Selain itu para gurupun harus memberi teladan yang baik dalam menerapkan kebiasaan makan, misalnya tidak turut pula jajan di luar.

(2)

misalnya terlalu tingginya kadar lemak, kadar garam, kadar gula, kadar asam atau berbagai bahan makanan tambahan sintetis seperti bahan pewarna, bahan penyedap (natrium glutamat, misalnya), bahan pengawet, bahan pemanis sintetis dsb. Hal yang lebih buruk lagi dalam produk makanan yang ditawarkan tidak mengandung gizi yang cukup, terutama bagi anak-anak. Jika iklan-iklan di televisi, radio, mass media atau plakat-plakat tidak diseleksi, terutama oleh orang tua dan para pendidik, akan mudah sekali membentuk kebiasaan makan yang tidak menyehatkan.

Dari beberapa penelitian Gizi yang dilakukan di Indonesia, menyatakan bahwa salah satu penyebab Kekurangan Energi Protein (KEP), anemia, dan kekurangan Iodium pada anak-anak karena faktor ekonomi (pendapatan rendah). Sebenarnya faktor lain yang dirasa cukup penting adalah kurangnya penyuluhan tentang makanan sehat, sehingga terbentuk pola-pola makan yang salah. Makanan sehat tidak selalu berasal dari bahan yang mahal. Dari bahan nabati sayuran, buah dan biji-bijian atau kacang-kacangan yang relatif murah dan mudah diperoleh, dapat menghasilkan makanan sehat.

Sebagai bahan perbandingan, dinegara maju, yang dapat dikatakan tingkat pendapatan relatif tinggi, pada sebagian mayarakat yang salah menerapkan pola makan,

menghadapi masalah pula dalam soal kesehatan, misalnya; terlalu gemuk, darah tinggi, terlalu tinggi kolesterol, penyakit gula, kurangnya pertahanan tubuh, dan berbagai gangguan metabolisma lainnya. Mereka bukan tidak mampu membeli makanan sehat, tetapi salah memilihnya, misalnya anak-anak terlalu banyak dibiarkan makanan-makan “fast food”, seperti Kentang goreng (pommes), Hamburger, sosis, coklat, minuman-minuman penyegar berkadar gula tinggi, es krim dsb.

Makan Pagi dan Makan diantara Pagi dan Siang

Pada beberapa keluarga, makan pagi (sarapan) kadang “dianaktirikan”, karena tidak selera atau terlambat bangun. Anak-anak akan cepat meniru kelakuan orangtuanya, sehingga ke sekolah tanpa sarapan terlebih dahulu. Padahal makan pagi ini sangat berarti karena memberikan asupan energi untuk kegiatannya selama di sekolah sebelum waktu makan siang, di samping itu mencegah terjadinya tekanan darah rendah, yang menyebabkan anak lemas, lesu, pusing atau tak dapat berkonsntrasi.

(3)

terlihat, kebutuhan akan makan pagi atau makan diantara pagi dan siang yang dapat kita penuhi dengan membawakannya bekal ke sekolah.

Mengenai selera makan pada pagi hari belum timbul, karena belum banyak aktivitas yang dilakukan. Apalagi bagi anak-anak, mereka hanya mau makan yang menurutnya enak dan menimbulkan selera. Di sinilah orangtua diminta lebih banyak

mengeluarkan ide untuk merangsang selera makan anak-anak. Waktu makan pagi bersama keluarga adakalanya dapat menambah selera makan bagi anak-anak. Jika terlambat bangun atau tidak ada waktu untuk hal tersebut, dicoba mengisi dulu perut walaupun sedikit sebagai sumber energi pertama, apakah cukup dengan secangkir susu atau segelas teh manis serta sepotong roti, sebuah pisang matang atau ubi goreng. Namun selanjutnya anak-anak yang sudah sekolah dibawakan bekal, agar pada jam-jam istirahatnya kembali dapat meneruskan makan diantara pagi dan siang (sarapan ke 2). Sehingga kebutuhan akan energi untuk segala aktivitasnya di sekolah sebelum makan siang dapat dipenuhi. Sedangkan bagi anak-anak pra sekolah, dapat diberikan lagi makan pagi antara pukul 9 dan 10 pagi, karena pada jam-jam itulah daya kerja sangat optimum dan memerlukan asupan energi yang cukup (Lihat Gambar 1.).

Suatu kebiasaan yang salah dari para orangtua adalah memberinya uang jajan sebagai pengganti makan paginya di rumah, dengan alasan tidak sempat menyiapkan makan pagi. Padahal makan pagi atau bekal ke sekolah itu dapat disiapkan hari sebelumnya. Aneka makanan dapat diusahakan untuk menaikkan selera makan si anak. Jika nasi dan lauk tidak memenuhi selera mereka, dapat diganti dengan arem-arem yang sudah dibuat sehari sebelumnya, atau jika penganan nasi bosan mereka makan, dapat diganti dengan aneka roti yang dilengkapi dengan isinya, bihun, mie goreng, kentang, serabi misalnya.

Hal yang sangat membantu jika sekolah mengadakan waktu istirahat antara pukul 9 dan 10 pagi, kemudian gunakan sebagian waktu itu untuk membuka bekal bersama dalam kelas. Sehingga ketika keluar kelas anak-anak tidak disibukkan lagi mencari jajanan, waktu istirahat yang tersisa dapat digunakan untuk bermain. Kemudian masuk kelas kembali sudah cukup energi untuk menerima pelajaran selanjutnya. Jika kebiasaan ini belum diterapkan di sekolah-sekolah, melalui POM (Persatuan Orangtua Murid), dapat didiskusikan dan diusulkan. Disamping itu dapat pula diusulkan

adanya upaya penyuluhan bagi para pendidik dan orangtua tentang makanan sehat dan menyehatkan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah).

Makan Siang , Makan Sore dan Makan Malam

(4)

hangat yang disajikan, selain memenuhi rasa laparnya juga memenuhi kebutuhan gizinya. Jika pada pagi hari sulit untuk menerima sayur dan buah, maka pada saat ini lengkapi menu makanan dengan bahan tersebut, selain makanan utamanya (nasi dan lauk pauknya).

Waktu kapankah yang tepat untuk makan siang?. Hal ini sangat relatif tergantung situasi dan kebiasaan yang diterapkan. Adakalanya pukul 12 siang anak-anak sudah merasa lapar, terutama jika pagi hari tidak cukup terpenuh kebutuhannya. Tetapi pada beberapa anak dapat dilakukan antara pukul 12.00 sampai 13.30. Hanya jangan dibiasakan terlalu telat, dan dibiarkan mereka menyela dengan makanan-makanan kecil dahulu. Makan siang ini sangat penting karena mengganti energi yang terbuang, dengan kegiatan-kegiatan pagi hari dan menjelang siang, serta menyiapkan energi untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya, yang biasanya cukup padat pula. Hanya perlu juga mendapat perhatian, bahwa makan itu tidak terlalu kenyang, karena kerja alat-alat tubuh terlalu dipaksakan, akibatnya perasaan ngantuk akan datang.

Jika pada sianghari tidak memungkinkan untuk makan bersama dalam keluarga, tetapi diusahakan agar mereka dapat makanan yang sehat. Artinya jangan dibiarkan untuk mengganjal perutnya yang lapar, hanya dengan sepiring nasi atau mie “instant” tanpa campuran lauk atau sayur. Biasanya karena lapar, anak-anak akan menyantap apa saja yang tersedia di meja. Jika tak siap menyiapkan makanan baru pada siang itu, dapat berupa makanan hangatan yang telah dipersiapkan sehari sebelumnya, dengan tidak lupa melengkapinya dengan sayur segar atau buah sebagai “makanan pencuci mulut”nya.

Kebiasaan makan diantara makan siang dan makan malam (makan sore) ini memang belum umum dilakukan. Padahal secara tidak langsung hal tersebut dilakukan juga, misalnya dengan jajan pada sore hari atau sering didengar istilah „minum kopi sore“. Memang tubuh pada waktu-waktu tersebut tidak terlalu banyak memerlukan energi, apalagi jika anak biasa tidur siang. Kebutuhan waktu makan ini sebagai pengisian jeda waktu antara makan siang dan makan malam sehingga perut tidak dibiarkan kosong terlalu lama. Kebutuhan ini meningkat, jika pada siang hari banyak dilakukan aktivitas-aktivitas, misalnya : anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah, atau ekstra kulikuler lain, atau kegiatan-kegiatan hobbi dan pengisian waktu luang lainnya.

Waktu yang tepat untuk makan diantara siang dan malam ini pun sangat relatif. Akan tetapi orang yang makan siangnya cepat (pukul12.00 misalnya), maka antara pukul 3 dan 4 sore sudah membutuhkan makanan selingan kembali. Makanan pada waktu ini tidak perlu terlalu berat seperti halnya makan siang. Secangkir coklat susu dan

sepotong kuepun sudah dapat memenuhi kebutuhan. Hal yang lebih baik lagi jika pemenuhan kebutuhan waktu ini dengan aneka panganan dari buah, selain

(5)

serat kasar pada anak-anak. Pada musim hujan dapat dengan semangkuk kecil bubur kacang hijau misalnya. Jika anak-anak sekolah siang hari, bawakanlah juga bekal untuk kebutuhannya di waktu istirahat sore hari.

Makan malam adalah waktu yang biasanya dapat diharapkan seluruh anggota keluarga berkumpul. Sehingga pada beberapa keluarga, jenis menu pada waktu ini sangat istimewa dibandingkan waktu-waktu makan lainnya. Kebiasaan makan bersama ini sangat baik dilakukan, tetapi ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama siapkan menu yang mudah dicerna oleh perut, ke dua jangan terlalu terlambat waktunya supaya tidak tidur dengan perut penuh. Ke dua hal tersebut bertujuan agar dapat tidur sebagai sarana istirahat dan melepaskan lelahyang tenang dan pemulihan kembali tenaga yang cukup.

Gambar 2. Prosentasi pembagian energi pada 5 kali waktu makan

Pembagian waktu makan sebagai suatu kebiasaan yang diterapkan pada keluarga tentu saja tidak semua harus sama. Akan tetapi pembagian 5 waktu makan seperti yang telah dipaparkan di atas, selain menyatakan jumlah yang dimakan, berapa sering, juga berhubungan dengan kebutuhan manusia itu sendiri (Lihat Gambar 1., Kurva Daya Kerja).

Beberapa pakar Gizi menyatakan beberapa kelebihan dengan pembagian 5 kali waktu makan antara lain

 Peredaran darah dan pertukaran zat makanan menjadi lebih ringan kerjanya

(6)

Pada Gambar 2. dapat dilihat porsentase pembagian energi melalui 5 kali waktu makan.

Sayur dan Buah

Bahan-bahan bergizi ini seringkali dilupakan oleh para orangtua. Sayur dan buah hanya diberikan sebagai selingan kalau ada dan tidak dianggap sebagai makanan penting. Sehingga anak-anak menjadi tidak terbiasa makan malah pada sebagian anak menjadi tidak menyukainya. Padahal sayur atau buah sebaiknya dijadikan makanan utama disamping makanan-makanan penghasil tenaga atau protein lainnya. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dengan membiasakan makan sayur dan buah tersebut, diantaranya : pertama memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral yang penting bagi tubuh, kedua sebagai sumber serat kasar yang dapat membantu

mengaktifkan fungsi usus dan melancarkan pembuangan sisa-sisa pencernaan, ketiga mencegah kegemukan (obesitas), karena untuk mengurangi lapar dapat dipenuhi, akan tetapi tidak menimbulkan kelebihan lemak, kolesterol dsb, keempat dapat digunakan untuk sarana menambah selera makan melalui aneka warna dan rasa sayur dan buah-buahan tersebut.

Sebaiknya sejak bayi, anak sudah dikenalkan akan kedua jenis bahan ini. Pada bayi kurang lebih empat bulan, di samping Air susu ibu (ASI) sudah memerlukan makanan pelengkap. Pertama bayi dikenalkan makanan pelengkap dapat diberikan sayur, misalnya bubur lembut wortel yang telah direbus, dicampur sari tomat, dapat juga bubur lembut pisang, lumatan pepaya matang dan sari buah-buahan segar lainnya. Kemudian meningkat diberikan makanan lain seperti bubur tepung, biskuit, kemudian bubur lunak dan selanjutnya makanan sapihan, akan tetapi kedua jenis bahan tersebut tidak lupa diberikan. Akhirnya anak menjadi terbiasa makan sayur dan buah.

Sayur biasanya digunakan sebagai makanan pendamping nasi dan lauk, dan buah hanya diberikan sebagai tambahan setelah makan. Pola ini dapat kita ubah dengan membiasakan memakannya disela-sela waktu makan, sehingga lebih banyak

(7)

Minum dan Minuman

Masalah ini kadang kurang menjadi perhatian. Dari beberapa penelitian yang di lakukan di beberapa negara Eropa, menyatakan bahwa anak-anak sangat sedikit

minum. Padahal minum bagi manusia demikian pula bagi anak-anak sama pentingnya seperti asupan gizi lainnya. Kebiasaan yang dilakukan selanjutnya akan berpengaruh pada perasaan haus seseorang. Jika anak dibiasakan minum 1 sampai 1.5 liter sehari, dengan sendirinya perasaan hausnya akan datang untuk memenuhi kebutuhan cairan bagi tubuhnya. Pada anak-anak yang sedikit minumnya, orangtuanya perlu selalu mengingatkan atau menawarkan akan hal tersebut.

Cairan dalam tubuh merupakan bagian yang terbesar, karena sebagian cairan ada yang terbuang melalui ginjal sebagai urine atau melalui kulit sebagai keringat, maka perlu adanya pemasukan kembali untuk menjaga keseimbangannya. Cairan atau air dalam tubuh mempunyai banyak tugas yang penting, diantaranya;

 Sebagai bagian penting dalam darah, cairan pencernaan dan juga pengeluaran air mata.

 Sebagai bahan pelarut bagi bahan-bahan makanan yang dicerna

 Sebagai alat tranportasi bahan-bahan makanan ke dalam seluruh sel tubuh  Sebagai pengatur suhu tubuh, terutama yang tengah mengalami demam atau influensa disarankan banyak minum.

 Sebagai pengantar bahan buangan sebagai produk akhir dari metabolisma. Akibat langsung yang banyak diderita orang yang kurang minum adalah penyakit pada saluran kencing atau ginjal, kencing batu misalnya.

Melihat begitu kompleknya tugas air dalam tubuh, maka kurang lebih 2-3 liter air dibutuhkan orang dewasa per harinya dan 1 - 1.5 liter bagi anak-anak. Kebutuhan ini memang sangat relatif, jika hari panas dan banyaknya aktifitas yang mengeluarkan keringat dilakukan, maka makin banyak air dibutuhkan oleh tubuh. Pemenuhan air ini tidak selalu dari minum, tapi juga melalui makanan-makanan yang mengandung air, misalnya berbagai jenis sup atau sayur berkuah, buah-buahan, kue-kue bersaus dsb. Semakin sedikit makan makanan yang mengandung air, makin banyak diperlukannya asupan air melalui minum .

(8)

Limun, sirop, minuman penyegar , atau saribuah buatan, mengandung terlalu banyak gula dan berbagai bahan tambahan makanan lain seperti bahan pengawet, bahan pewarna atau bahan pemanis sintetis, hal ini tidak baik untuk kesehatan. Demikian pula “Cola” tidak baik jika dibiasakan diberikan pada anak-anak. Minuman tersebut mengandung kofein (seperti pada kopi), gula yang sangat tinggi, bahan pewarna, aroma, asam dan tidak mengandung vitamin ataupun mineral. Mungkin pada saat-saat tertentu saja mereka diberikan minuman-minuman tersebut, misalnya ketika ada perayaan-perayaan , tapi tidak khusus menyediakannya sebagai alternatif minuman di rumah.

Biasanya anak hanya minum ketika ia telah makan, kebiasaan ini harus dirubah. Karena jika hanya mengandalkan pada waktu-waktu makan terlalu sedikit asupan air, disamping itu, mereka kenyang dengan makanan, perut sulit menampung air lagi, untuk satu gelas sekalipun. Untuk itulah diantara waktu-waktu makan utama anak perlu disodorkan minuman, dapat berupa perasan sari buah misalnya atau secangkir air putih biasa yang dilengkapi sedotan. Untuk bekal ke sekolahpun, tak lupa dilengkapi dengan minuman, sehingga jika mereka haus bukan jajan es yang

dilakukannya, yang tidak dapat dijamin kebersihannya, dan dapat menyebabkan sakit tenggorokan.

Demikian apa yang dikemukakan di atas beberapa contoh kebiasaan makan sehat yang dapat diterapkan dalam keluarga. Jika ingin menerapkannya pada anak-anak, maka orangtuanya dululah yang memberi tauladan. Anak-anak tidak akan gemar sayur atau buah, jika tidak dilihatnya orangtuanya memakannya. Demikian pula, bagaimana anak tidak menjadi biasa jajan, jika orangtuanyapun untuk makan sehari-hari terbiasa dengan membeli makanan jadi atau makanan cepat hidang (Fast food).

Daftar Pustaka

 Szwillus, Marlisa. 1984. 1x1 der richtigen Ernahrung. BLV Verlagsgesellschaft mbH. Munchen. Germany

(9)

Anak menempati posisi strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia di masa depan. Anak merupakan kelompok penduduk yang peling rentan terhadap gangguan kesehatan dan gizi. Status imunitas, diet dan psikologi anak belum matang atau masih dalam taraf kelangsungan serta kualitas hidup anak sangat tergantung pada penduduk dewasa, dalam hal ini ibu atau orang tuanya (Utomo dalam Mariani, 2004). Orang tua pada dasarnya berkewajiban untuk menyajikan kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan bagi anaknya. Begitu juga dalam hal pemenuhan kebutuhan jasmani, dalam hal ini berkaitan dengan pemenuhan gizi pada makanan yang dikonsumsi sehari – hari oleh anak. Masa kanak – kanak paling sering

dikeluhkan oleh orang tua adalah sebagai masa dimana anak sangat sulit untuk makan, apalagi makanan rumahan yang diracik sendiri oleh ibunya. Bahkan, terdapat banyak orang tua yang putus asa karena anaknya sangat sulit makan sehingga mereka

membiarkan anak-anaknya membeli jajanan yang memang mereka sukai

dibandingkan dengan makanan olahan ibunya sendiri yang menurut mereka kurang lezat. Hal ini menjadi faktor yang menyebabkan permasalahan gizi pada anak yang tidak tercukupi.

Berbagai jenis jajanan yang di sajikan secara menarik banyak ditawarkan oleh penjual yang diedarkan di sekolah-sekolah maupun warung-warung yang tersebar di penjuru pemukiman warga. Namun, tidak banyak masyarakat yang tahu kandungan gizi yang ada dalam makanan yang di jual belikan dan sangat laris manis dibeli oleh anak-anak. Di sisi lain, orang tua selalu memberikan uang jajan untuk anaknya ketika hendak berangkat sekolah maupun sekedar pergi bermain. Hal ini dilakukan dengan alasan para orang tua tidak tega melihat anaknya menangis ketika merengek meminta jajan karena permintaannya tidak dipenuhi. Orang tua akan merasa bersalah jika tidak dapat memenuhi permintaan anaknya tersebut, karena mereka bekerja mencari uang juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan anak mereka.

Selain rasanya yang lezat dan dikemas secara menarik, faktor lain yang membuat anak lebih menyukai untuk jajan dari pada makan makanan yang disajikan ibu dirumah adalah langkanya bahan makanan yang mengandung nutrisi yang baik bagi tubuh untuk diolah dan menurunnya keterampilan para ibu dalam mengolah bahan makanan menjadi sesuatu yang sehat dan menarik bagi anak-anak mereka. Moehdji (dalam Mariani) mengatakan bahwa sebagian besar kejadian gizi buruk pada anak dapat dihindari apabila ibu mempunyai cukup pengetahuan tentang bagaimana cara mengolah bahan makanan dan cara mengatur menu.

Pangan sebagai kebutuhan pokok manusia harus selalu diupayakan untuk dicukupi dan tersedia setiap waktu di setiap rumahtangga. Pangan yang kita konsumsi di samping sebagai sumber karbohidrat, juga sebagai sumber protein, vitamin dan mineral. Sebenarnya bahan makanan yang kaya nutrisi dapat dengan mudah

(10)

dihalaman atau kebun rumah. Kalsium dan zat besi juga bisa diperoleh dari kacang-kacangan dan sayuran hijau yang biasa ditanam dikebun-kebun milik warga.

Psikolog Universitas Indonesia, Mayke S. Tedjasaputra (dalam

http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/) mengatakan, untuk mencegah kebiasaan jajan anak harus dimulai dari pola makan keluarga. Salah satu cara adalah membuat “kudapan tandingan” yang tidak kalah enak dari jajanan yang dapat dibeli di luar rumah. Hal ini sudah sangat langka ditemui pada keluarga-keluarga yang ada didalam masyarakat. Sebagian besar ibu-ibu merelakan uang mereka untuk membeli makanan jadi dengan alasan lebih menghemat waktu atau tidak sempat masak. Padahal, anak akan lebih terkontrol keamanan makanan dan gizi terjamin. Apalagi pada anak usia sekolah yang sangat membutuhkan segala makanan yang memberikan asupan gizi yang mencukupi kebutuhannya untuk

beraktivitas di sekolah. Tumbuh kembang anak usia sekolah sangat bergantung pada pemberian gizi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar dalam

meningkatkan status gizi. Dalam kasus pada film Dilarang Makan Kerupuk, kritik yang besar bagi masyarakat adalah untuk memberikan pembinaan kepada orang tua dan anak-anak mereka mengenai pengetahuan bagaimana memilih jajanan yang sehat baik dilingkungan sekolah, rumah, dan lingkungan masyarakat yang lebih luas,

mengingat bahwa anak-anak merupakn infestasi bangsa yang petut untuk dijaga. Masalah keamanan pangan jajanan disekitar sekolah maupun yang dijajakan pada warung-waarung dekat pemukiman warga antara lain ditemukannya (1) produk olahan yang tercemar bahan berbahaya (mikrobiologis & kimia), (2) panga siap saji yang belum memenuhi syarat higiene & sanitasi, dan sumbangan pangan yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Penyebabnya, tata cara penanganan pangan yang mengabaikan aspek keamanan pangan dan ketidak tahuan konsumen (anak-anak sekolah, orang tua dan masyarakat sekitar) mengenai pangan jajan yang aman (Arista dalamhttp://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/). Beberapa penelitian mengatakan bahwa banyak jajanan yang dijual disekitar sekolah maupun warung-warung di pemukiman warga yang tidak sehat seperti tercemar bakteri patogen, menggunakan pewarna yang dilarang (Rhodamin B, dll) atau bahkan menggunakan bahan pengawet makanan (Borax, dll), dan hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar jajanan yang digemari anak-anak tersebut sangat tidak mengandung gizi. Bahkan sangat berbahaya bagi kesehatan anak.

Status gizi merupakan hasil konsumsi pangan dan pemanfaatannya di dalam tubuh. Untuk mencapai status gizi yang baik, diperlukan pangan yang mengandung zat gizi cukup dan aman untuk dikonsumsi. Selain faktor konsumsi pangan dan faktor

kesehatan, faktor pola pengasuhan anak juga merupakan faktor yang berhubungan dengan status gizi anak (Engle, Menon & Haddad dalam Marani, 2004).

(11)

kasih sayang dan sebagainya. Semua faktor yang berhubungan dengan status gizi anak juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya keluarga seperti pendidikan dan pengetahuan ibu, pendapatan keluarga, status bekerja ibu, sanitasi dan kesehatan rumah. Menurut Murniati Sulastri ( dalam Palupi, 2007), tingkat pendidikan ibu juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan anak. Hal ini disebabkan ibu yang berendidikan akan memberi motivasi, mengarahkan dan mengasuh anak. Menurut Astuti (dalam Palupi, 2007), semakin tinggi tingkat pendidikan pada umumnya, makin pula mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang lebih besar. Dengan penghasilan yang memadahi diharapkan anggota keluarga memperoleh makanan bergizi yang relatif lebih sesuai dengan harapan.

Seseorang akan maju dan berhasil bila ditunjang dengan pendidikan yang memadahi atau baik. Demikian juga dengan pendidikan orang tua mempyunyai katan yang erat dengan tugasnya sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak. Melalui

pendidikan akan di peroleh perkembangan masyarakat, sehingga dapat diduga bahwa penambahan waktu untuk mngikuti pendidikan akan menambah kesadaran satu pihak dan perkembangan dipihak lain. Apabila orang tua tidak memiliki pengetahuan atau tingkat pendidikan yang cukup baik dan luas tentang kesehatan, makanan/gizi, cara mendidik anak, cara bergaul dengan masyarakat sekitar, maupun pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan, sehingga dalam memberikan pendidikan kepada anak tentu juga sesuai dengan apa yang dimiliki. Namun

sebaliknya jika orang tua memiliki pengetahuan atau pendidkan yang cukup tinggi ataupun baik, wawasannya luas, maka dalam memberikan pendidikan kepada anak akan baik pula sesuai dengan apa yang dimiliki.

Menurut Karyadi (dalam Maryati, 2004), pola asuh makan adalah praktik-praktik pengasuhan yang diterapkan oleh ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makan. Tujuan memberi makanan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas

pertumbuhan dan perkembangan. Jika asupan gizi pada anak dapat terpenuhi dengan baik maka anak pun dapat mengikuti segala kegiatan sehari-hari untuk

mengaktualisasikan dirinya dan siap bersaing dengan teman sebaya pada umumnya. Pengaruh lingkungan masyarakat juga membawa dampak pada kebiasaan untuk jajan. Anak-anak sekolah misalnya, akan merasa iri jika teman-temannya membeli jajanan ketika jam istirahat tiba namun dia sendiri tidak membelinya. Mereka akan merasa berbeda dengan teman-temannya yang lain. Masyarakat mempunyai pengaruh

perkembangan yang sangat besar dalam kehidupan individu. Kegiatan jajan bagi anak kadang dapat diartikan sebagai proses untuk menyamakan dirinya dengan teman-teman yang ada disekitarnya, dan sebagai ajang untuk mendapatkan teman-teman.

(12)

masyarakat. Jadi keluarga dapat diartikan inti dari masyarakat. Maka segala tindak perilaku dalam keluarga juga tidak dipungkiri bisa jadi adalah pengaruh dari masyarakat sekitar. Jika keluarga pada umumnya sudah membatasi jajan anak perharinya, belum tentu anak akan menuruti. Dia pasti akan terpengaruh teman-temannya yang membeli jajan lebih dari dirinya dan pasti dia akan meminta kepada orang tuanya untuk ddisamakan dengan teman-teman yang lainnya. Disinilah betapa perlunya sinergi antara keluarga dan masyarakat sekitar.

Selain kandungan yang ada didalam makanan tersebut dapat membahayakan tubuh, kebiasaan jajan anak-anak dapat pula mngakibatkan konsumerisme secara tidak langsung bagi rumah tangga. Pengeluaran yang dlakukan tiap bulannya dapat

dipastikan membengkak hanya karena digunakan untuk memenuhi keinginan si anak. Jika fenomena jajan anak ini dikaitkan dengan teori konsumerisme, Marx mengatakan bahwa hasil produksi tidak secara langsung terkait dengan kebituhan masyarakat. Barang produksi adalah komoditas yang mendahulukan nilai tukar dari pada nilai guna. Dalam kondisi demikian, masyarakat merupakan objek yang didorong produsen untuk mengkonsumsi, dimana produsen mampu menciptakan kebutuhan masyarakat sedangkan masyarakat berada dalam subordinat kebutuhan masyarakat. Dalam pemutaran film Dilarang Makan Kerupuk, ditunjukkan bahwa pengeluaran pertahun setiap rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan anaknya, dalam hal ini jajan (junk food) melebihi APBD daerah tempat tinggal mereka. Betapa sia-sianya uang mereka hanya terbuang begiu saja untuk membeli makanan yang menurut anak-anak mereka enak, lezat namun tidak mengandung manfaat bahkan berbahaya bagi tubuh.

Banyaknya organisasi yang ada dalam masyarakat bisa dijadikan sebagai sarana untuk memberikan penyuluhan mengenai makanan atau jajanan yang sehat bagi anak. Sehingga keterampilan dalam memilih dan mengolah bahan makanan dapat dimiliki semua lapisan masyarakat. Melalui penyulihan di desa-desa saat KKN mahasiswa misalnya, materi penyampaian juga dapat sekitar bahaya jajan sembarangan, dll. Kegiatan pengajian yang rutin didatangi ibu-ibu juga cukup efektif untuk diselingi materi tersebut. Yang menjadi poin penting disini adalah bagaimana

pengkomunikasian materi yang dsampaikan kepada para pendengar, sehingga mereka benar-benar memahami dan melakukan apa yang menjadi saran dari pemateri, dan warga benar-benar dapat melakukan kerja nyata setelah mendapatkan

penyuluhan.Pada kegiatan PKK (atau yang serupa), selain melakukan penyuluhan juga dapat melakukan pelatihan membuat aneka kue atau makanan untuk disajikan pada keluarga. Dengan seperti ini, kemampuan ibu-ibu untuk mengolah bahan makanan akan semakin terasah dan semakin kreatif untuk mengolah bahan makan menjadi makanan yang sehat dan terjamin.

Jika perlu, dibentuk organisasi masyarakat. Sebagai organisasi yang berbasis pranata dalam masyarakat, institusi ini biasanya kuat eksistensinya termasuk pola

(13)

dlam komunitas tersebut. Hal ini tentu lebih efektif karena semua lapisan masyarakat akan terliat langsung dalam berbagai kegiatan. Biasanya organisasi seperti ini bersifat swadaya dari masyarakat, sehingga mereka terlepas dari pemerintah karena tumbuh dari dalam dan atas prakarsa dari masyarakat sendiri.

Di lingkungan sekolah, pengetahuan mengenai jajanan sehat juga penting dilakukan. Hal ini dapat dilakukan melalui praktek UKS yang ada di sekolah. Sekolah-sekolah secara berkala pasti akan mendapat pantauan dari unit kesehatan setempat

(Puskesmas), dan guru berperan untuk menginternalisasikan nilai yang disampaikan agar benar-benar dipatuhi oleh para siswanya. Lalu peran sekolah, yang dapat

dilakukan adalah melakukan pengawasan terhadap jajanan anak, menyediakan sarana kantin yang bersih, layak dan sehat, mengedukasi siswa tentang makanan yang aman dan sehat. Pengelola kantin juga harus memperhatikan kebersihan kantinnya, higienis dan baik sanitasinya, menghindari penggunaan zat berbahaya dalam makanannya. Dalam keluarga, orangtua juga perlu mengawasi kebiasaan jajan anaknya,

mengarahkan dan memberikan pemahaman tentang jajanan yang aman, sehat dan bergizi. Membiasakan anaknya sarapan di rumah sebelum berangkat sekolah, atau memberi bekal makanan dari rumah yang bersih, sehat, aman dan bergizi.

Memberikan pengetahuan atau sosialisasi mengenai makanan sehat juga menjadi kewajiban bagi orang tua agar anak dapat memilih makanan sejak dini. Mulai dari si ibu sebagai orang pertama yang menjadi lawan interaksi dari si anak, kemudian anggota-anggota keluarga lainnya dan seterusnya nanti dalam masyarakat. Proses sosialisasi yaitu proses membantu individu melalui proses belajar dan penyesuaian diri bagaimana cara hidup, bagaimana cara berpikir dari kelompok. Dari berbagai defini tentang sosisalisai, Vembriarto (dalam Khairuddin, 1985) menyimpulkan bahwa sosialisasi:

(1) Proses sosialisasi adalah proses belajar, yaitu proses akomodasi dengan mana individu menahan, mengubah impuls dalam dirinya dan mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakat disekitarnya;

(2) Dalam proses sosialisasi itu individu mempelajari kebiasaan, sikap, ide, pola, nilai dan tingkah laku, serta standar tingkah laku pada masyarakat dimana dia hidup;

(3) Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesuatuan sistem dalam pribadinya.

Apabila di implementasikan, jika keluarga terbiasa mengkonsumsi makanan rumah, sangat jarang jajan, maka secara tidak langsung si anak akan belajar kebiasaan yang ada dalam keluarga tersebut. Dan dapat dipastikan anak akan jarang meminta untuk jajan.

(14)

instan dan memperbanyak bahan makanan yang bergizi. Pengefektifan lahan yang ada dirumah-rumah warga juga membantu warga untuk dapat menanam bahan makanan yang diperlukan.

Sumber referensi:

Mariani. 2004. Hubungan Pola Asuh Makan, Konsumsi Pangan Dan Infeksi Dengan Status Gizi Anak Balita. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Tahun ke-10 No. 049 Hal 564

Palupi, Sri. 2007. Hubungan Tingkat Pendidikan Orang Tua dengan Pola Hidup Sehat Anak, Cakrawala Pendidikan, Th. XXVI, No. 2 Hal 309

Puspitaningrum, Dwi Aulia. 2008, Ketahanan Pangan dan Peran Wanita untuk Mewujudkannya (Suatu Studi di Tingkat Rumahtangga Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta), Paradigma, Volume 12, Nomor 2 Hal 102

Citrobroto, R.I Suhartin. 1984. Cara Mendidik Anak Dalam Keluarga Masa Kini. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara

Khairuddin. 1985. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Nur Cahya

Anonim.http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/12436/BAB%20I %20Pendahuluan_I09rwi.pdf?sequence=7

Anonim. 2011. Waspadai Makanan Berbahaya di

Sekolah.http://www.dinaspendidikan-parepare.info/index.php?

option=com_content&view=article&id=478:waspadai-makanan-berbahaya-di-sekolah&catid=56:highlight-news diunduh pada tanggal 25 Oktober 2011

Anonim. 2011. Bahaya Junk Food atau Makanan Cepat Saji pada Anak (Bagian 2). http://id.shvoong.com/medicine-and-health/2199139-bahaya-junk-food-atau-makanan/ di unduh pada tanggal 25 Oktober 2011

Kliniksehatmadani. 2009. Jangan Biarkan Anak Suka

Jajan.http://kliniksehatmadani.wordpress.com/2009/05/18/jangan-biarkan-anak-suka-jajan/ di unduh pada tanggal 27

Soejadmiko, Haryanto. 2009. Konsumerisme dan Sosiologi

Konsumsi.http://haryantosujatmiko.multiply.com/journal/item/30 di unduh pada tanggal 27 Oktober 2011

(15)

Tuesday, 6 November 2012 | By : admin 1

Dalam prinsip pola makan seimbang menganjurkan porsi yang berimbang antara sumber-sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Sebagai bahan perbandingan, beberapa komunitas masyarakat menikmati usia tua yang produktif (hidup sehat hingga 100 tahun), seperti suku Hunza di Himalaya dan Okinawa di Jepang. Mereka memiliki pola makan yang lebih sehat yaitu dengan mengonsumsi sayur dan buah lebih banyak, mengonsumsi makanan segar (fresh, bukan olahan pabrik), sedikit mengonsumsi daging dan lemak, serta sering beraktivitas fisik. Namun seiring perkembangan waktu, prinsip pola makan seimbang mulai banyak ditinggalkan. Bahkan pola konsumsi anak-anak, khususnya untuk makanan jajanan, makanan instan dan junk food semakin meresahkan. Tidak jarang ditemukan, anak-anak kecil dengan lahapnya mengonsumsi makanan cepat saji. Lebih celaka, sistem pemasaran restoran junk food menarik perhatian anak-anak dengan memberikan hadiah.

Strategi marketing dengan memanfaatkan kelemahan anak-anak telah menggiring pola konsumsi yang tidak berimbang dan konsumtif. Tak berlebihan jika kemudian anak-anak akan memilih restoran cepat saji ketika lapar menyerang ketimbang rumah makan tradisional. Berdasarkan pantauan YLKI, strategi pemasaran yang kerap diterapkan oleh restoran cepat saji diantaranya gencarnya iklan yang menyasar

segmen anak-anak, menyediakan tempat bermain anak di restoran fast food, ikon yang lekat dengan anak-anak seperti badut, artis anak-anak, tokoh kartun dan sebagainya, pemberian hadiah khusus untuk anak-anak di dalam kemasan produk serta promosi ke sekolah-sekolah.

Sementara, anak-anak adalah golongan konsumen yang rentan terhadap dampak strategi marketing yang tidak etis oleh produsen pangan tidak sehat. Menghadapi kekuatan ini berbagai pihak harus bersinergi untuk mengupayakan perlindungan maksimal kepada anak-anak.

Kebiasan mengonsumsi makanan cepat saji inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk mulai meminggirkan makanan sehat dan seimbang. Guna mendapatkan gambaran bagaimana masyarakat memahami makanan seimbang, baru-baru ini YLKI mengadakan survei tentang pola konsumsi keluarga. Dan berikut Telaah hasil survey yang dilakukan YLKI.

(16)

Survei yang dilakukan pada Mei 2012, menyasar di 5 wilayah DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat). Survei

difokuskan pada 60 sekolah yang terdiri dari 20 sekolah taman kanak-kanak (TK); 30 sekolah dasar negeri (SDN) dan 10 sekolah dasar swasta (SDS). Setiap sekolah yang disurvei, diambil responden 10 – 11 orang tua murid. Kuesioner diisi langsung oleh orang tua murid, karena yang mengambil keputusan di dalam keluarga, khususnya untuk makanan yang akan dikonsumsi adalah orang tua.

Jumlah responden yang terlibat dalam survei ini sebanyak 204 responden (34%) untuk tingkat TK, 300 responden (49%) untuk SDN dan 105 responden (17%) untuk SDS. Total responden adalah 609 orang yang melibatkan responden laki-laki (6 orang; 1%) dan responden perempuan (603 orang; 99%).

Berdasarkan usia, responden berkisar antara kurang dari 25 tahun sebanyak 14 orang (2%), usia 25 – 30 tahun sebanyak 111 orang (18%), usia 31 – 35 tahun, 188 orang (31%) dan lebih dari 35 tahun sebanyak 296 orang (49%).

Produk Segar

Survei menemukan sebanyak 66% responden membeli produk segar di pasar tradisional, hanya 14% yang berbelanja di swalayan (ritel modern). Sedangkan, beberapa responden masih memanfaatkan tukang sayur keliling dan warung yang biasa menjual produk segar untuk kebutuhan keluarga. Ini menunjukkan bahwa animo masyarakat mengunjungi pasar tradisonal untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari masih mendominasi. Khususnya untuk berbelanja produk segar, kendati swalayan/ritel modern tersebar luas di wilayah pemukiman.

Label Kemasan

Setiap produk kemasan yang beredar harus dilengkapi dengan label. Label merupakan media komunikasi, informasi dan edukasi antara produsen dan konsumen. Keterangan yang terlampir dalam label mengenai pangan dapat berbentuk gambar, tulisan atau kombinasi keduanya yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan atau merupakan bagian dari kemasan.

Sebagai konsumen sangat penting untuk memperhatikan, membaca dan memahami informasi pada label yang tercantum di kemasan. Dengan membaca label, konsumen akan mengonsumsi pangan yang sesuai dengan keinginannya. Secara umum,

informasi dasar pada label yang kerap diperhatikan konsumen sebelum membeli produk kemasan, antara lain; nama pangan olahan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen atau importir yang memasukkan pangan ke wilayah Indonesia, bahan yang digunakan, tanggal kadaluarsa, kode produksi serta nomor registrasi. Selain informasi tersebut, sebenarnya penting juga bagi konsumen untuk

(17)

Kesadaran konsumen dalam membaca label pangan kemasan memang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei YLKI, 96 persen responden membaca informasi yang

tercantum pada kemasan ketika membeli produk, kendati tidak membaca secara detail. Hanya sebagian kecil responden yang tidak membaca label. Salah satu alasan tidak membaca label karena produk yang dibeli sudah rutin dikonsumsi.

Pertanyaan terbuka diberikan kepada responden terkait informasi apa saja dari label kemasan yang di baca, mayoritas responden menjawab tanggal kadaluarsa (545 orang). Sedangkan informasi terkait nomor registrasi produk (nomor pendaftaran produk) sangat kecil nilainya (2 orang). Padahal, nomor pendaftaran merupakan informasi penting yang menyatakan bahwa produk tersebut merupakan legal, terdaftar di Badan POM atau Dinas Kesehatan terkait. Selain itu, dengan adanya nomor

registrasi, tanggung jawab dari produsen lebih jelas.

Survei juga menemukan bahwa mayoritas (449 responden) konsumen memilih produk kemasan dilandasi oleh faktor manfaat.

Bekal Makanan

Bagaimana cara anak makan dan apa yang dimakan oleh anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Jika menginginkan anak yang sehat, perhatikanlah jenis, sumber dan proses dari makanan tersebut. Sebagai orang tua, menyiapkan makanan yang sehat merupakan tanggung jawab yang besar. Masih banyak masyarakat kita yang tidak mengetahui dengan jelas apa bekal makanan itu? Apakah dengan

membawa kotak makan dan membeli makanan di kantin sekolah itu termasuk bekal? Atau jika kita membuatnya sendiri di rumah, itulah yang disebut bekal? Membawa mie instan, nugget dan sosis juga bolehkah disebut sebagai bekal sehat? Definisi ini masih belum jelas.

Bekal makanan seharusnya terdiri dari makanan yang kaya akan gizi, dibuat sendiri di rumah dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia tambahan yang tentunya akan berbahaya bagi anak-anak kita dan keluarga yang mengonsumsinya.

Menyiapkan bekal makanan untuk anak dan keluarga merupakan tantangan tersendiri. Tidak sedikit orang tua, yang akhirnya memutuskan untuk memberikan uang jajan sebagai pengganti bekal makanan. Asupan gizi anak-anak paling banyak dibutuhkan pada siang hari. Bisa dibayangkan, jika anak-anak tidak membawa bekal, maka mereka akan jajan berbagai jenis makanan yang tidak sehat yang ada di lingkungan sekolah, misalnya: minuman dingin dengan beragam pewarna buatan, gorengan, makanan instan dan berbagai jenis makanan yang tidak terdaftar.

Dari hasil survei YLKI, sebanyak 84 persen responden membiasakan anggota

(18)

yaitu: mie instan, nugget, sosis, nasi dan lauk pauk, roti, susu kotak, biskuit, dan makanan ringan.

Jika melihat jenis bekal makanan yang dominan dengan makanan instan,

pertanyaannya seberapa sering mereka memberikan asupan tersebut kepada buah hati mereka?. Hasilnya 93% dari 609 reponden mengonsumsi makanan kemasan cepat saji (instan) dengan frekuensi yang berbeda-beda, yaitu: 8 persen (43 responden) mengonsumsi setiap hari; 48 persen (274 responden) mengonsumsi dalam waktu 2-3 kali dalam seminggu; dan sisanya sekitar 44 persen (252 responden) mengonsumsi dengan rentang waktu yang berbeda-beda.

Pola konsumsi makanan kemasan instan yang tinggi, tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan. Ini dikarenakan makanan instan banyak mengandung bahan pengawet, pewarna, pemanis buatan yang lama kelamaan akan terakumulasi dan berpotensi menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan, terutama anak-anak yang masih sangat rentan. Produk kemasan instan tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga bagi lingkungan, kemasan plastik, kaleng yang dibuang secara

sembarangan dapat menimbulkan tumpukan sampah dan menyumbang polusi terbesar bagi climate change (perubahan iklim).

Alasan responden mengonsumsi makanan kemasan cepat saji (instan): 82% responden menjawab karena praktis dan cepat, 12% (69 responden) memberikan alasan lain yaitu: karena permintaan anak, bosan dengan menu yang ada, malas masak.

Fast Food Restaurant

Banyak ahli gizi mengelompokkan makanan fast food sebagai makanan junk

food (makanan sampah), dalam artian makanan dan minuman dengan komposisi tidak seimbang karena tingginya kandungan lemak, garam, gula dan serat yang rendah. Dari hasil survei ditemukan: 94% (574 responden) pernah mengunjungi Fast Food Restaurant(restoran siap saji) dengan frekuensi: 2 – 3 kali dalam seminggu (7%); sekali dalam seminggu (13%); sebulan sekali (47%) dan 33% dengan jawaban lain (jarang, setahun sekali).

Efek Samping

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, masalah gizi pada anak-anak merupakan masalah yang mendasar di Indonesia, yang antara lain: kekurangan gizi, kelebihan berat badan dan obesitas. Data ini menunjukkan 14% anak mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Anak yang kegemukan cenderung membawa keadaan ini hingga dewasa, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, stroke, dan diabetes tipe 2.

Dari berbagai penelitian kesehatan di seluruh dunia, dampak dari junk food ini

(19)

diduga kuat karena pola makan yang salah. Maraknya iklan-iklan pangan yang ditujukan untuk anak, serta promosi-promosi pangan siap saji untuk anak, berperan mengacaukan pola makan anak.

Ketika responden ditanyakan mengenai pengetahuannya tentang efek samping dari makanan kemasan cepat saji (instan); makan di fast food restaurant dan makanan yang menggunakan pengawet, menyatkan 72% mengetahui dan menyebutkan efek samping yang bisa terjadi, seperti: kegemukan, menjadikan anak hiperaktif,

menimbulkan penyakit kanker, mengakibatkan kolesterol tinggi, makanan tersebut juga mengandung banyak pengawet, lemak, garam, gula dan pemanis buatan.

Anak-anak yang tergila-gila dan “doyan” pada junk food disebut pula “generasi junk food”. Anak-anak kita akan menjadi generasi yang tidak sehat pada 20 – 30 tahun ke depan. Generasi tidak sehat, produktivitasnya rendah dan kurang mampu

berkontribusi pada negara dan tidak mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia.

Simpulan dan Saran

Pemerintah seharusnya menyusun kebijakan, peraturan dan kode etik yang ketat sekaligus pengawasannya tentang periklanan/promosi pangan tidak sehat kepada anak-anak, sesuai dengan rekomendasi WHO, serta standar tentang bahan tambahan pangan sintetis/kimiawi (zat pewarna, pemanis, pengawet, penggurih, pengental, hormon, antibiotik).

Sementara bagi orang tua perlu untuk menyediakan pangan sehat di rumah dan menyiapkan bekal makanan sehat sebagai pengganti jajan. Anak-anak dilatih untuk kritis terhadap segala bentuk promosi/iklan pangan tidak sehat serta mulai mengurangi jajan junk food.

Semua lapisan masyarakat harus terlibat dalam mendukung kampanye Gerakan Indonesia Cinta Sehat melalui pola hidup sehat, konsumsi pangan yang sehat dan menghindari junk food.

NOOR JEHAN

http://www.ylki.or.id/seimbangkah-pola-makan-keluarga-anda.html

(20)

Gambar dan Peringatan seperti ini mungkin sudah sering kita lihat dan dengar, kalau timbul masalah keracunan makanan karena jajanan sekolah yang mengandung

formalin, boraks, pewarna makanan, pemakaian minyak goreng yang berulang kali, makanan kadaluarsa yang diolah kembali, air minuman yang tidak direbus de

ngan benar, pencemaran timbal (Pb) pada makanan yang dijajakan di pinggir jalan, hingga makanan jajanan yang tidak higienis dan tercemar bakteri E.coli……..baru kita tersadar lagi………begitulah kodratnya manusia………. ingat ingat lupa (seperti judul lagu yang dinyanyikan grup musik Kuburan).

Bila kita melintas di depan sebuah sekolah dasar negeri di daerah Kelapa Gading Timur Jakarta Utara tampak pemandangan yang menyenangkan, melihat anak-anak kecil bergerak kesana kemari penuh keceriaan dan pedagang kaki lima yang

menjajakan makanannya.

Pedagang kaki lima kebanyakan ditemukan di sekolah dasar negeri, tapi ada juga beberapa sekolah swasta yang memperbolehkan pedagang ini menggelar dagangannya. Jajanan waktu kita di sekolah dasar itu sangat menarik bila diamati, sebab ide makanannya kebanyakan sangat sederhana dan penuh

kreativitas. Mulai dari sosis kiloan yang disulap jadi sate sosis dan diberi siraman kuah cabe merah sampai gulali dengan beragam bentuk yang menarik.

Pada dasarnya anak-anak sekolah dasar kebanyakan suka makanan jajanan, dibanding makanan berat. Mereka menghabiskan uang jajannya untuk membeli jajanan di kantin sekolah maupun pedagang kaki lima di sekitar sekolah dasar.

(21)

banyak kawan-kawannya yang lain. Dilain sisi, jajanan ini diperlukan sebagai makanan tambahan anak.

Coba kita perhatikan, ada berapa macam jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh anak-anak sekolah? Jajanan anak sekolah dasar biasanya lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, es sirop, sate sosis dengan saus, empek-empek dan lain sejenisnya. Selain kontaminasi mikrobiologis, kontaminasi kimiawi yang umum ditemukan pada makanan jajanan kaki lima adalah penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) ilegal seperti boraks (mengandung logam berat Boron), formalin (pengawet mayat), rhodamin B ( pewarna merah pada tekstil), dan methanil yellow (pewarna kuning pada tekstil). Bahan-bahan ini terakumulasi pada tubuh manusia dan bersifat karsinogenik yang dalam jangka panjang menyebabkan penyakit-penyakit antara lain kanker dan tumor pada organ tubuh manusia.

Belakangan juga terungkap bahwa dampak makanan tertentu ternyata mempengaruhi fungsi otak termasuk gangguan perilaku pada anak sekolah. Gangguan perilaku tersebut meliputi gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, gangguan bicara, hiperaktif hingga memperberat gejala pada penderita autis.

Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum seperti pusing, mual, muntah, diare atau kesulitan buang air besar. Joint Expert Committee on Food Additives(JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan bahan kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.

Pedagang kaki Lima (PKL) mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP ilegal pada bahan baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi bahan tambahan di jajanan kaki lima karena harganya murah, memberikan penampilan makanan yang menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan mudah didapat. Makanan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan secara baik dan bersih. Sebagian besar PKL mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang mempunyai akses terhadap air bersih serta fasilitas cuci dan buang sampah.

(22)

1999 tentang Perlindungan Konsumen , Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996

tentang Pangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, tetapi tetap saja sanksi dari pelanggaran peraturan ini belum diterapkan dengan tegas.

Sekolah dan pemerintah sebaiknya menyusun program untuk penelitian dan

pengawasan terhadap pangan/jajanan anak di sekolah. Teknisnya dengan mengambil sampel jajanan anak sekolah yang kemudian diteliti di laboratorium atau BPOM untuk mengetahui kandungan campuran produk makanan olahan yang di perdagangkan di sekolah. Selanjutnya melakukan sosialisasi dan himbauan ataupun kampanye terhadap konsumen dan produsen jajanan anak untuk tidak memakai campuran barang yang berbahaya dan dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 722 Tahun 1988 yang berisi daftar bahan campuran makanan yang diproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 239 Tahun 1985 yang berisi tentang bahan campuran makanan yang dilarang.

Sekolah dan pemerintah juga perlu menggiatkan kembali UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) dan memanfaatkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas kantin sekolah.Upaya ini dilakukan agar keberadaan jajanan di kantin sekolah layak dikonsumsi siswa. Adanya koordinasi antara pihak sekolah, persatuan orang tua murid dibawah konsultasi dokter sekolah atau Pusat Kesehatan Masyarakat setempat sehingga dapat menyajikan makanan ringan pada waktu istirahat sekolah yang bisa diatur porsi dan nilai gizinya.Upaya ini tentunya akan lebih murah dibanding anak jajan diluar disekolah yang tidak ada jaminan gizi dan kebersihannya.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa usia anak adalah periode yang sangat menentukan kualitas seorang manusia dewasa nantinya. Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah generasi penerus bangsa. Kualitas bangsa di masa depan

ditentukan kualitas anak-anak saat ini. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia harus dilakukan sejak dini, sistematis dan berkesinambungan. Tumbuh berkembangnya anak usia sekolah yang optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik serta benar. ▄(drg. R. Edi Setiawan-Dit. Bina

Kesehatan Anak)

Referensi

Dokumen terkait

demonstrasi adalah siswa akan lebih fokus pada materi yang diberikan dengan. metode demonstrasi, dan akan tahan lama daya ingatnya pada siswa

Bersama ini dengan hormat disampaikan Peraturan Pemerintah No 58 Tahun 2013 tentang Bentuk dan Mekanisme Pendanaan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang

Uraian teori yang disusun bisa dengan kata-kata penulis secara bebas dengan tidak mengurangi makna teori tersebut; dapat juga dalam bentuk kutipan dari tulisan orang lain, yaitu

Informan dalam penelitian ini terdiri atas 10 orang mahasiswa prodi bimbingan dan konseling semester dua yang sedang mengampuh mata kuliah antropologi semester Genap

Bab II, merupakan kajian pustaka yang berkaitan dengan penerapan metode bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas v yang meliputi a pembelajaran bahasa

Rendahnya persentase jawaban responden yang mengatakan terumbu karang bukan sebagai makhluk hidup dan bahkan ada responden yang tidak paham apakah terumbu karang itu merupakan

 Kebijakan fiskal adalah kebijakan pemerintah dalam bidang anggaran dan belanja negara yang bertujuan untuk mempengaruhi

Lebih dari itu, jika kita fanatik bahwa panca indera sebagai satu- satunya sarana perolehan ilmu, sikap tersebut mendorong kepada ideologi realisme ( wāqi’iyah ) hingga materialisme