BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Keberadaan bank dalam perekonomian modern merupakan kebutuhan
yang sulit dihindari karena bank telah menyentuh pada semua kebutuhan
masyarakat. Bila zaman purba masyarakat menyimpan uang di bawah bantal atau
dalam celengan, saat ini masyarakat lebih percaya menyimpan uangnya di bank
karena selain aman, uang tersebut dapat menghasilkan bunga. Demikian pula bagi
masyarakat yang memerlukan dana akan lebih mudah datang ke bank daripada
mencari orang yang bersedia meminjamkan dana kepada orang yang
memerlu-kan. Dalam perkembangannya, bank tidak semata hanya menjalankan fungsi
intermediasi, tetapi juga memberikan jasa dan pelayanan lain kepada masyarakat,
seperti dalam lalu lintas pembayaran maupun jasa keuangan lainnya.
Sebagian besar bank di Indonesia berasal dari lembaga keuangan Belanda
yang telah beroperasi antara dua hingga tiga dekade di Indonesia.
Lembaga-lembaga tersebut digunakan untuk mengeksploitasi Indonesia bagi keuntungan
Belanda VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie) pada waktu itu. Bank-bank
Indonesia sendiri baru mulai didirikan pada tahun 50-an dengan adanya ketentuan
pemerintah pada saat itu, untuk menasionalisasikan dan menyita ratusan
Munculnya industri perbankan Indonesia secara garis besar adalah karena
dikeluarkannya Paket Deregulasi Sektor Keuangan 27 Oktober 1988 (PAKTO
88), dan krisis moneter hanya merupakan pencetus yang mempercepat berdirinya
sektor perbankan. Dengan dikeluarkannya PAKTO 88, jumlah bank dan kantor
cabang meningkat tajam antara tahun 1989 dan 1990. Jumlah bank komersial naik
50 persen dari 111 bank pada Maret 1989 menjadi 176 bank.
Pada tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami krisis ekonomi.
Minimnya likuiditas dan hilangnya kepercayaan masyarakat pada sektor
perbankan menghasilkan saldo negatif (negative balance) pada clearing account
bank-bank tersebut dengan Bank Indonesia. Kepailitan sektor keuangan di
Indonesia terlihat dengan adanya likuidasi terhadap 16 bank swasta oleh Bank
Indonesia pada tahun 1998. Masyarakat banyak yang menarik uang dari
tabungannya dan membuat masalah likuiditas pada bank-bank tersebut. Untuk
mengantisipasi kondisi tersebut, pemerintah memberikan Bantuan Likuiditas
kepada bank-bank yang mengalami masalah dan Program Garansi kepada
deposito masyarakat (mymoneyskills.com).
Munculnya kembali industri perbankan Indonesia setelah krisis ekonomi
juga tidak dapat dipisahkan dengan didirikannya Badan Penyehatan Perbankan
nasional (BPPN). Lembaga ini didirikan pada tahun 1998 untuk mendapatkan
kembali kepercayaan masyarakat pada industri ini, merestrukturisasi, menjual aset
dan memulihkan kembali dana bantuan pemerintah yang telah disuntikkan untuk
mencegah keterpurukan industri perbankan serta menutup defisit anggaran negara
telah berhasil memprivatisasikan semua bank-bank pemerintah besar yang selama
ini dikenal sebagai pondasi industri perbankan Indonesia (mymoneyskills.com).
Untuk memperbaiki fundamental industri perbankan secara nasional dan
kelanjutan dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun
1998, maka Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan
Arsitektur Perbankan Indonesia (API) sebagai suatu kerangka menyeluruh arah
kebijakan pengembangan industri perbankan Indonesia ke depan. Dalam API arah
dan kebijakan pengembangan industri dimasa datang dilandasi oleh visi mencapai
suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna mencapai kestabilan
sistem keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Hingga saat ini kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski
tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari
berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit
perbankan. Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah
melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara
bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari
kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu
sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated
terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal
tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi
perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan
Bank adalah salah satu lembaga keuangan di dalam perekonomian sesuatu
negara yang berfungsi sebagai penunjang kelancaran sistem pembayaran,
pelaksana kebijakan moneter, dan sarana untuk mencapai stabilitas sistem
keuangan yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip kepercayaan. Oleh
karena itu dalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut, bank dituntut untuk berada
dalam kondisi yang sehat.
Akhir-akhir ini istilah bank sehat atau tidak sehat semakin populer.
Berbagai kejadian aktual, tentang perbankan seperti merger dan likuidasi selalu
dikaitkan dengan kesehatan bank tadi. Oleh karenanya sebuah bank tentunya
memerlukan suatu analisis untuk mengetahui kondisinya setelah melakukan
kegiatan operasionalnya dalam jangka waktu tertentu. Analisis yang dilakukan
disini berupa penilaian tingkat kesehatan bank. Kesehatan suatu bank adalah
kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara
normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara
yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.
Tingkat kesehatan bank dapat dinilai dari beberapa indikator. Salah satu
indikator utamanya adalah laporan keuangan bank yang bersangkutan.
Berdasar-kan laporan tersebut, dapat dihitung sejumlah rasio keuangan yang lazim
dijadi-kan dasar penilaian tingkat kesehatan bank. Dengan melakudijadi-kan analisis
rasio-rasio keuangan terhadap komponen laporan keuangan dapat diketahui seberapa
Bank Indonesia selaku Bank Sentral mempunyai peranan yang penting
dalam penyehatan perbankan, karena Bank Indonesia bertugas mengatur dan
mengawasi jalannya kegiatan operasional bank. Untuk itu Bank Indonesia
menetapkan suatu ketentuan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh lembaga
perbankan, yaitu berdasarkan surat keputusan Direksi Bank Indonesia nomor
30/12/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB tanggal 30
April 1997 yaitu tentang Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Indonesia.
Pelaksanaan penilaian dilakukan dengan cara mengkualifikasikan
beberapa komponen dari masing-masing faktor yaitu komponen Capital
(Permodalan), Asset (Aktiva), Management (Manajemen), Earning (Rentabilitas),
Liquidity (Likuiditas) atau disingkat dengan istilah CAMEL. CAMEL merupakan
faktor yang sangat menentukan predikat kesehatan suatu bank.
Struktur kepemilikan suatu bank juga dapat mempengaruhi kinerja bank
tersebut. Pengaruh dari perbedaan struktur kepemilikan pada bank dapat dilihat
dari kinerja keuangan bank, jumlah aset yang dimiliki bank, pangsa pasar
produk-produk bank tersebut, dan banyaknya jumlah kredit yang disalurkan bank kepada
masyarakat, dimana persentasenya berbeda-beda pada masing-masing jenis bank
berdasarkan struktur kepemilikannya.
Berikut adalah data yang menggambarkan perbedaan kinerja perbankan
ber-dasarkan kelompok bank yang dalam hal ini pengelompokkan bank
Tabel 1.1. Indikator kinerja perbankan per kelompok bank
(Sumber data: SPI BI Februari 2012, diolah)
Berdasarkan Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa setiap kelompok bank
mempunyai kinerja yang berbeda-beda. Perbedaan hasil data pada setiap
kelompok bank tersebut bisa saja menunjukkan gambaran yang positif maupun
gambaran yang negatif akan kinerja perbankan pada masing-masing kelompok.
Dominasi bank asing di Indonesia menguat. Indikasinya ialah pangsa pasar
aset, kredit, dan dana pihak ketiga (DPK) bank asing terus meningkat. Ekspansi
bisnis bank asing mulai meluas setidaknya sejak 10 tahun lalu. pangsa pasar aset
bank asing pada 1999 sebesar 11,6 persen dan pada 2009 menjadi 45,1 persen.
Dalam kurun waktu yang sama, pangsa pasar kredit bank asing naik pesat dari
20,3 persen menjadi 44,6 persen. Pangsa pasar DPK juga meningkat dari 11,3
persen menjadi 45,5 persen. Lembaga keuangan itu bukan hanya bank asing,
tetapi juga berbentuk joint venture dan badan umum swasta yang dimiliki oleh
Hal ini berbanding terbalik dengan pangsa pasar bank umum swasta
nasional (BUSN) dan bank badan usaha milik negara (BUMN) yang mengalami
penurunan. Pada 2009, pangsa pasar aset BUSN domestik dan bank BUMN,
masing-masing sebesar 8,5 persen dan 38,5 persen. Jumlah itu menurun
dibandingkan 10 tahun sebelumnya, yang sebesar 36,2 persen dan 49,5 persen.
Pangsa pasar kredit BUSN domestik dan bank BUMN juga turun dari 23,4 persen
dan 53,2 persen menjadi hanya 9,5 persen dan 37,6 persen. Pangsa pasar DPK
BUSN domestik dan bank BUMN turun dari 39,5 persen dan 46,8 persen menjadi
8,9 persen dan 39,8 persen. Selain itu, lima dari 10 bank terbesar di Indonesia
adalah milik pihak asing, dan sisanya empat bank terbesar yang bukan milik pihak
asing adalah bank pemerintah dan hanya satu bank swasta nasional. (Kompas, 15
Oktober 2010).
Keberadaan modal asing pada perekonomian suatu negara seringkali
menimbulkan pro-kontra. Bukan hal yang mengherankan, jika pada saat yang
hampir bersamaan, kehadiran asing bisa dibenci sekaligus dirindukan. Saat
ekonomi sedang mengalami perlambatan, modal asing diperlukan untuk suatu aksi
ekspansi. Kesempatan investasi dibuka lebar-lebar, pemerintah pun mengeluarkan
berbagai jurus untuk menarik masuknya investor asing. Berbagai kebijakan baru
sebagai insentif investasi diterbitkan. Namun, masuknya asing juga membawa
ketakutan sektor domestik. Kehadiran investasi asing dianggap bisa mengancam
Namun demikian, dalam menyusun arsitektur perbankan Indonesia,
kepen-tingan investor asing tidak bisa diabaikan begitu saja. Kebijakan yang diterbitkan
BI sebagai otoritas pengawasan perbankan perlu melindungi kepentingan dan
kepastian bisnis investor asing karena tidak dapat dipungkiri bahwa investor asing
memberikan nilai tambah dalam sistem perbankan nasional. Seperti diketahui,
bank-bank asing yang masuk ke Indonesia pada umumnya adalah bank-bank besar
dunia, seperti HSBC, ANZ, Standard Chartered, Bank Of Tokyo, Citibank, JP
Morgan, dll. Bank- bank tersebut sudah sangat dikenal memiliki competitive
advantage berupa source of fund dalam valas yang kuat, implementasi teknologi
yang canggih, pengetahuan terhadap produk structured finance yang luas, serta
manajemen risiko yang kuat. Berbagai kompetitif advantage tersebut secara
langsung memberi tekanan kepada bank pemerintah dan bank swasta nasional
untuk terus meningkatkan kualitas service, mengembangkan SDM serta
meng-upgrade teknologinya agar tidak ketinggalan dengan bank asing (wordpress.com).
Pro-kontra keberadaan modal asing kembali mengemuka dalam industri
perbankan nasional. Tentu saja isunya bukan lagi soal boleh tidaknya investor
asing berinvestasi pada bank nasional, tapi seberapa besar modal asing boleh
menguasai struktur permodalan di suatu bank nasional. Seperti diketahui 14 dari
20 bank terbesar di Indonesia saat ini telah dikuasai oleh bank asing, namun
demikian peran bank asing tersebut dalam perekonomian nasional masih belum
optimal dan tidak sebanding dengan keuntungan yang mereka dapatkan atas
Tabel 1.2. 20 Bank Terbesar di Indonesia Berdasarkan Aset Tahun 2011
Sumber: Data BI 2011
Sebagai konsekuensi atas berbagai akuisisi bank asing atas bank nasional
tersebut, maka penguasaan aset perbankan nasional oleh pemerintah dan swasta
nasional semakin tahun kian menyusut. Sebaliknya, porsi penguasaan aset bank
nasional oleh asing meningkat tajam dan semakin mendominasi pasar. Sebagai
informasi, pangsa aset bank nasional yang dimiliki pemodal swasta lokal terus
merosot dari 42 persen pada tahun 1998 menjadi 19 persen pada tahun 2011.
Begitu pula pangsa aset bank BUMN yang terus tergerus dari 44 persen pada
swasta milik asing melonjak tajam dari hampir nol persen menjadi 21 persen,
bahkan apabila ditotal dengan kantor cabang bank asing dan bank campuran,
maka total pangsa aset bank milik asing di Indonesia sudah mencapai 34 persen di
tahun 2011 (wordpress.com).
Gambar 1.1. Penguasaan Aset dan Pengucuran Kredit Sektor Perbankan Tahun 2011
Dampak lain dari masuknya bank asing ke Indonesia adalah membuat
masyarakat menjadi konsumtif. Hal ini karena semakin gencarnya bank asing
mengucurkan kredit ke segmen konsumen, seperti kredit kendaraan bermotor,
kredit perumahan, kredit multiguna, kredit tanpa agunan, dan kartu kredit.
Kelompok bank asing dan bank campuran menawarkan bunga kredit yang
termurah untuk beberapa jenis bunga kredit bila dibandingkan dengan kelompok
Mengutip dari Statistik Ekonomi dan Keuangan terbaru per Desember
2009 yang dirilis oleh Bank Indonesia, rata-rata bunga kredit modal kerja yang
ditawarkan oleh kelompok bank asing dan campuran hanya sebesar 11,73%. Nilai
ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat bunga kredit sejenis yang
ditawarkan oleh kelompok bank lain. Bank pemerintah misalnya, rata-rata bunga
kredit modal kerja yang ditawarkan masih sebesar 13,63%, sedangkan pada bank
pemerintah daerah sebesar 13.91%, bahkan bank swasta nasional tercatat
menawarkan bunga kredit modal kerja termahal yakni sebesar 14,09% (Kontan,
09 Februari 2010).
Di Indonesia bank-bank dengan kepemilikan asing terbagi dalam tiga
kelompok, yaitu yang beroperasi: (i) sebagai kantor cabang (disebut sebagai bank
asing); (ii) sebagai anak perusahaan (subsidiary), baik melalui joint venture
dengan bank domestik (disebut bank campuran), atau melalui merger dan akuisisi
pada bank domestik yang terjadi pada periode paska krisis 1997 (program
divestasi); dan (iii) sebagai kantor perwakilan. Sampai dengan Juni 2007, jumlah
bank asing di Indonesia sebanyak 11 bank, hanya bertambah 1 bank dengan
beroperasinya kembali Bank of China pada April 2003.
Kontribusi perbankan asing dalam mendukung pertumbuhan ekonomi
nasional sangat kecil. Hal ini karena, fokus bank asing yang beroperasi di
Indonesia lebih pada upaya menghasilkan keuntungan (fee based income).
Ekspansi perbankan asing di Indonesia kian meluas. Dari total aset perbankan,
dikuasai investor asing mencapai 47 bank dari 121 bank umum di Indonesia
(Okezone, 19 Maret 2012).
Berdasarkan permasalahan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “Analisis Komparatif Kinerja Keuangan Pada Bank Pemerintah dan Bank Asing di Indonesia”.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan
sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah terdapat perbedaan antara kinerja keuangan Bank Pemerintah dengan kinerja keuangan Bank Asing di Indonesia”.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan dan menganalisis kinerja
keuangan antara bank-bank yang dikelola oleh pemerintah dengan bank-bank
yang dikelola oleh pihak asing di Indonesia.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
a. Bagi Penulis
Memberikan pengetahuan tentang perbedaan kinerja keuangan pada
perbankan yang berbeda struktur kepemilikannya.
b. Bagi Investor
Dapat menjadi rekomendasi, sumber informasi dan bahan pertimbangan
dalam pengambilan keputusan investasi pada saham industri perbankan.
c. Bagi Perusahaan (Emiten)
Dapat dijadiakan sebagai bahan perbandingan untuk mengetahui kinerja
keuangannya di bandingkan dengan bank-bank lain, dan dapat menjadi
sebagai bahan pertimbangan kepada pihak manajemen ataupun pengambil
keputusan dari perusahaan (Bank Pemerintah dan Bank Asing) dalam
menetapkan kebijakan selanjutnya dalam rangka meningkatkan kinerja
keuangannya.
d. Bagi Akademisi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang
kinerja keuangan pada perbankan. Serta dapat menjadi acuan,