• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH

DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI

(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

SKRIPSI

OLEH:

JATMIKO

K1208028

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH

DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI

(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)

Oleh:

JATMIKO

K1208028

Skripsi

diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar

Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(3)

commit to user

(4)

commit to user

(5)

commit to user

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Jatmiko. KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN

CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juni 2012.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang; (2) mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh-tokoh di dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud; (3) mendeskripsikan

bagaimana persepsi pembaca terhadap cerpen Madre dan Menunggu

Layang-layang.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra karena penelitian ini berfokus pada konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Penelitian ini

mengambil sampel dua buah cerpen, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang

karena dua cerpen tersebut merupakan cerpen yang sama-sama memiliki konflik batin mengingat kumpulan cerita Madre ini terdiri dari cerpen, puisi, dan lagu. Sumber data berasal dari dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka dan wawancara. Validitas data menggunakan teknik triangulasi teori dan sumber. Analisis data di dalam penelitian ini menggunakan analisis data interaktif.

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan tiga hal berikut ini. Pertama, tokoh Tansen sebagai sosok pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras; Pak Hadi sebagai sosok pria yang memegang teguh prinsip; Mei sebagai wanita pekerja keras meskipun dibayangi rasa bersalah; Bu Cory dan Bu Sum sebagai pekerja yang memiliki loyalitas tinggi kepada pemimpinnya; Christian sebagai pria pekerja keras dan memiliki kehidupan teratur; Starla sebagai wanita pekerja keras yang tidak diimbangi dengan kepribadian yang baik; dan Rako sebagai pria yang takut dengan komitmen. Kedua, konflik batin yang dialami tokoh: Tansen karena ketidakjelasan silsilah keluarga dan pemerolehan warisan dari orang yang tidak dikenal; Pak Hadi sebagai orang yang mengetahui sejarah kehidupan Tansen; Mei terhadap kesalahan masa kecil; Christian yang takut perubahan dan ketidakpastian; Starla yang takut dengan komitmen; keinginan Rako untuk memiliki Starla tidak tercapai. Ketiga, konflik batin yang terjadi di dalam cerpen tersebut dapat terjadi di dunia nyata dan Madre lebih memiliki nilai perjuangan daripada Menunggu Layang-layang.

(7)

commit to user

vii MOTTO

Sekali dalam hidup orang harus menentukan sikap

Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.

(8)

commit to user

viii

PERSEMBAHAN

Dengan rasa syukur kepada Allah, kupersembahkan skripsi ini untuk:

1. Bapak dan Ibu, yang selalu mendukung dan menyemangatiku untuk dapat

memberikan yang terbaik dalam hidup;

2. Mbak Sirih Purwanti, Mas Maryanto, Mas Joko Nofianto yang selalu

memberikan semangat di setiap langkahku untuk menggapai impian;

3. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa Motivasi FKIP UNS;

4. Bastind’08; terima kasih telah memberikan warna hidupku untuk menempuh

(9)

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.

Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

2. Dr.Muh.Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang

telah memberikan persetujuan skripsi;

3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Seni yang telah memberikan izin penulisan skripsi;

4. Dra.Sumarwati,M.Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M.Hum.

selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan

dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan

lancar;

5. Dr.Andayani,M.Pd., Pembimbing Akademik yang telah memberikan

bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia FKIP UNS;

6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang

telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;

7. Dewi Lestari, Dra.Murtini,M.S., Amiliya S.H., Christin C., Aprilia P.S., Nurul

R., Retno P.L., Arnellis M. yang telah bersedia menjadi narasumber penelitian

skripsi ini;

8. Bapak, Ibu, Mas Maryanto, Mas Joko, Mbak Sirih, dan saudara di rumah yang

selalu memberikan semangat untukku;

9. Helmi, Cini, Rina, Ellysa, Norma, Alfira, Erma, Santi, Fitri, dan teman-teman

Bastind 2008 yang telah memberikan warna di perjalanan ini;

10.Mbak Nisa, Mbak Tutut, Mbak Septi, Mas Hanif, Mas Tisna, Mas Anjar, Mas

(10)

commit to user

x

kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang telah membuatku menjadi orang

yang kuat.

Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah pengetahuan bagi pembaca.

Surakarta, Juni 2012

(11)

commit to user

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

HALAMAN ABSTRAK ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ... 6

B. Kerangka Berpikir ... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 20

C. Data dan Sumber Data ... 20

D. Teknik Sampling ... 21

E. Pengumpulan Data ... 21

F. Uji Validitas Data ... 22

(12)

commit to user

xii

H. Prosedur Penelitian ... 23

BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 25

B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen ... 26

C. Konflik Batin yang Dialami oleh Tokoh ... 41

D. Persepsi Pembaca terhadap Konflik ... 68

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 72

B. Implikasi ... 74

C. Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 76

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR GAMBAR

Bagan 1. Kerangka Berpikir ... 18

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR TABEL

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Profil Dewi Lestari ... 76

Lampiran 2. Sinopsis Madre ... 78

Lampiran 3. Sinopsis Menunggu Layang-layang ... 82

Lampiran 4. Transkrip Wawancara Dewi Lestari ... 84

Lampiran 5. Daftar Pertanyaan untuk Dra.Murtini,M.S. ... 87

Lampiran 6. Transkrip Wawancara Dra.Murtini,M.S. ... 89

Lampiran 7. Daftar Pertanyaan untuk April dkk ... 93

Lampiran 8. Transkrip Wawancara Aprilia ... 94

Lampiran 9. Transkrip Wawancara Nurul ... 97

Lampiran 10. Transkrip Wawancara Retno ... 99

Lampiran 11. Transkrip Wawancara Christin ... 102

Lampiran 12. Transkrip Wawancara Amiliya ... 105

Lampiran 13. Transkrip Wawancara Arnellis ... 110

(16)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra merupakan jagad realita

yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat oleh

manusia (tokoh) (Siswantoro, 2005:29). Sebagai bagian dari karya sastra, novel

atau cerpen yang muncul tak hanya digunakan sebagai hiburan, tetapi novel atau

cerpen tersebut dapat juga digunakan sebagai media pendidikan. Kehadiran novel

atau cerpen sebagai bagian karya sastra tak terlepas dari unsur intrinsik. Unsur

intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri

(Nurgiyantoro, 2009:23). Unsur tersebut, misalnya plot, penokohan, tema, latar,

sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.

Sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia

dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sebagai seni

kreatif yang mengungkapkan kehidupan manusia, karya sastra tidak hanya

merupakan media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir, tetapi juga

merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Oleh

karena itu, sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi

yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping

itu, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan

dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Semi, 1993:8).

Sebuah karya sastra akan menjadi lebih hidup ketika didukung dengan

kehadiran tokoh-tokoh di dalamnya. Setiap tokoh dilengkapi dengan jiwa dan raga

untuk mendukung cerita, meskipun cerita tersebut fiktif. Hal ini terlihat dari sifat

atau karakter yang melekat pada tokoh tersebut. Meskipun masing-masing tokoh

memiliki karakter pribadi, dalam kehidupannya tokoh-tokoh tersebut senantiasa

berhubungan dengan tokoh yang lain. Tak jarang hubungan tersebut dapat

menimbulkan sebuah konflik, baik konflik antarindividu, konflik antarkelompok,

bahkan konflik pribadi yang sering disebut sebagai konflik batin. Seperti

(17)

commit to user

konflik merupakan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua

kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan

kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup. Di dalam

menghadapi persoalan tersebut, manusia tidak akan terlepas dari jiwa manusia itu

sendiri.

Tokoh-tokoh sebagai pemegang alur akan menghidupkan peristiwa atau

kejadian di dalam cerita tersebut. Seperti disebutkan oleh Nurgiyantoro

(2009:167) bahwa tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan

penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan

kepada pembaca. Melalui tokoh-tokoh inilah pengarang akan melukiskan

kehidupan manusia dengan segala problematikanya dan konflik-konfliknya.

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2009:165), tokoh cerita merupakan

orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas nilai moral dan kecenderungan tertentu yang

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan selalu menampilkan tokoh

yang memiliki karakter sehingga karya sastra tersebut menggambarkan tentang

kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara

fiktif. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek

kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari

pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas

jiwa dan raga.

Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra

merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi.

Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka

semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut

pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan

manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan mengenai hidup dan kehidupan

(Hardjana, 1985:60).

Hartoko dalam Endraswara (2008:70) menyebutkan bahwa psikologi sastra

(18)

commit to user

dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah

karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi

tuntutan psikis. Oleh karena itu, muncullah psikologi sastra yang berfungsi

sebagai jembatan dalam interpretasi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan

pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada

tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh-tokoh, baik yang

tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2009:350).

Di dalam ilmu psikologi, terdapat teori yang mengusulkan bagaimana

mempelajari tentang aspek kejiwaan maupun penokohan dalam karya sastra. Teori

ini digunakan untuk mempelajari tentang kesadaran dan ketidaksadaran pada

manusia. Teori psikologi tersebut diperkenalkan oleh Sigmund Freud.

Menurutnya, semua gejala mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam

kesadaran (Schellenberg dalam Ratna, 2009:62). Freud membagi teori kepribadian

menjadi tiga, yaitu id atau es; ego atau ich; dan superego atau uber ich. Selain itu,

psikologi Freud juga memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite. Hal tersebut

merupakan masalah pokok dalam sastra. Ratna (2009:342) juga menyebutkan

bahwa secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek

kejiwaan yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.

Kumpulan cerita Madre adalah sebuah kumpulan cerita yang ditulis oleh

Dewi Lestari. Sebagai seorang penulis dan penyanyi, Dee, sapaan akrab Dewi

Lestari dapat dikatakan sebagai seorang penyanyi yang sukses di bidang

kepenulisan. Novel pertamanya Supernova mampu menembus angka penjualan

75.000 eksemplar yang pada akhirnya mengantarkan novel ini untuk

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Supernova pun masuk dalam nominasi

Katulistiwa Literary Award (KLA) yang diadakan oleh QB World Books.

Bersaing dengan sastrawan kenamaan, seperti Goenawan Mohamad, Danarto,

Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamsad Rangkuti. Tahun 2009, Dee menerbitkan

novel Perahu Kertas. Tahun 2011, kumpulan cerita Madre pun terbit.

Kumpulan cerita Madre ini menyampaikan cerita yang lebih detil dan

(19)

commit to user

oleh penulis tidak berbelit-belit karena tokoh yang dihadirkan dalam cerita pun

tidak terlalu banyak.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti terdorong untuk meneliti

tentang konflik batin yang dialami tokoh dari sisi psikologi sebagai bagian dari

sastra. Judul penelitian ini, yaitu “Konflik Batin Tokoh-tokoh dalam Kumpulan Cerita Madre Karya Dewi Lestari (Pendekatan Psikologi Sastra)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan

sebagai berikut.

1. Bagaimana penggambaran kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan

Menunggu Layang-layang?

2. Bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen

Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian

psikoanalisis Sigmund Freud?

3. Bagaimana persepsi pembaca terhadap konflik batin yang digambarkan dalam

cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian

ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Menggambarkan kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan

Menunggu Layang-layang.

2. Menggambarkan konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen

Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian

psikoanalisis Sigmund Freud.

3. Menggambarkan persepsi pembaca terhadap konflik batin dalam cerpen

(20)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis

maupun praktis.

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia

khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini juga diharapkan

dapat digunakan sebagai pemacu di bidang pendidikan untuk mulai

menggunakan cerpen sebagai media pendidikan di sekolah. Selain itu juga

untuk memberikan sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam

mengungkap konflik batin tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Penelitian ini diharapkan mampu digunakan untuk menggambarkan

bagaimana contoh penganalisisan sebuah karya sastra sehingga dapat

mendorong peserta didik untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya

sastra.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh oleh siswa bagaimana

cara menganalisis konflik yang dialami oleh tokoh di dalam karya sastra.

Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa menjadi produktif untuk

menghasilkan karya.

c. Bagi Peneliti Lain

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang

penelitian dalam multidisiplin ilmu. Selain itu, penelitian ini dapat

dijadikan sebagai acuan untuk melaksanakan penelitian-penelitian

(21)

commit to user

6 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

1. Hakikat Cerpen

Munculnya berbagai karya sastra saat ini menunjukkan bahwa

perkembangan dunia sastra Indonesia kian membaik. Karya sastra yang

banyak bermunculan merupakan karya-karya fiksi. Fiksi merupakan hasil

dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan

kehidupan (Nurgiyantoro, 2009:3). Tarigan (1991:120) juga menyebutkan

bahwa fiksi adalah sesuatu yang dibentuk; sesuatu yang dibuat; sesuatu yang

diciptakan; sesuatu yang diimajinasikan. Karya fiksi sering disebut sebagai

karya rekaan yang digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan

tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Cerita rekaan tersebut menyaran pada sesuatu

yang tidak nyata dan tidak terjadi sungguh-sungguh. Namun, sebagai sebuah

cerita, fiksi tetap memiliki tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca

di samping tujuan estetik. Contoh cerita fiksi, yaitu novel dan cerpen. Namun,

cerpen dan novel memiliki berbagai perbedaan. Menurut Nurgiyantoro

(2009:10) perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang

terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita.

Stanton pun menyatakan hal yang sama bahwa perbedaan yang paling jelas

adalah dari segi panjang (1965:37).

Marsli (2008) menyebutkan bahwa cerpen adalah sebuah dunia baru

yang dibangunkan dari himpunan realita yang dibaur dan dicernakan di dalam

imajinasi pengarang. Beach (Tarigan, 1991:176) menyatakan bahwa

mengingat batas-batasnya maka cerita pendek termasuk bentuk yang

sederhana dari fiction. Namun, berbeda dengan buku roman, cerita pendek

kurang tepat untuk memecahkan suatu keadaan yang ruwet. Dari pengertian

tersebut jelas bahwa cerpen merupakan hasil olahan ide yang didapatkan dari

kehidupan nyata yang dipadukan dengan imajinasi pengarang sehingga

(22)

commit to user

disampaikan di dalam cerpen pun lebih ringkas dan tidak berbelit-belit.

Namun, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak

ada satu kesepakatan di antara pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro,

2009:10).

Poe dalam Nurgiyantoro (2009:10) menyebutkan bahwa cerpen adalah

sebuah cerita yang dibaca selesai dalam sekali duduk, kira-kira berkisar

antara setengah sampai dua jam. Sementara itu, Camby (Tarigan, 1991:176)

mengatakan bahwa kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari

cerita pendek. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa sebuah cerita pendek

haruslah singkat, padat, dan jelas. Konflik yang disajikan pun tidak melebar

dan fokus pada sebuah permasalahan sehingga penyelesaian cerita yang

hendak disampaikan penulis tidak berbelit-belit. Secara tidak langsung, hal

tersebut akan menyebabkan singkatnya membaca cerita.

Cerita pendek sebagai bagian dari fiksi tidak hanya memiliki satu

bentuk. Namun, cerita pendek juga memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk

cerita pendek tersebut dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu (a) short short

story (Berkisar 500 kata); (b) midle short story; (c) long short story

(Nurgiyantoro, 2009:10). Berbeda dengan Nurgiyantoro yang menyatakan

short short story berkisar 500 kata, pendapat lain muncul dari Tarigan.

Menurut Tarigan (1991:178), short short story adalah cerita pendek yang

jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5000 kata, maksimum 5000

kata, atau kira 16 halaman kuarto spasi rangkap yang dapat dibaca

kira-kira seperempat jam. Namun, meskipun kedua pendapat tersebut berbeda,

dinyatakan bahwa maksimal 5000 kata dan 500 berada di bawah 5000.

Setidaknya, pengertian yang dimaksud oleh Nurgiyantoro dapat dimasukkan

ke dalam pengertian cerita pendek menurut Tarigan. Selain itu, sebuah cerita

pendek tidak hanya dilihat dari panjang pendeknya cerita maupun jumlah

suku kata. Lebih dari itu, cerita pendek juga tetap memiliki unsur-unsur

pembangun cerita yang padu. Unsur-unsur tersebut sering disebut struktur di

dalam karya sastra. Unsur-unsur pembangun dari dalam (intrinsik) yang

(23)

commit to user

Abbasi (2011:51), strukturalisme telah didefinisikan sebagai ilmu yang

digunakan sebagai landasan untuk memahami secara sistematis semua

pengalaman manusia, termasuk tingkah lakunya. Secara tersirat pendapat

tersebut menggambarkan tentang penokohan yang ada di dalam karya sastra.

Penokohan sebagai bagian dari karya sastra merupakan bagian dari cipta

pengarang termasuk tingkah laku dan pengalaman yang ada di dalam cerita.

2. Unsur Tokoh dan Penokohan

Kehadiran tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra sangat penting

terutama untuk menghidupkan cerita yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh

dalam karya sastra memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga membentuk

sebuah jalinan cerita dan konflik yang padu.

Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Tokoh dalam suatu cerita

rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Di dalam sebuah

karya sastra biasanya terdapat beberapa tokoh. Namun, di antara beberapa

tokoh tersebut, salah satu tokoh akan berperan menjadi tokoh utama. Tokoh

utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan di dalam

karya sastra. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya

konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita

rekaan (Nurgiyantoro, 2009:164).

Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat

dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku

dalam cerita, sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau

karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan

gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita

(Jones dalam Nurgiyantoro, 2009:165). Penokohan dapat juga dikatakan

sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam

suatu cerita. Stanton (1965:17) juga menyebutkan bahwa di dalam fiksi yang

baik, setiap perkataan, setiap tindakan tidak hanya mendukung plot, tetapi

juga penjelmaan dari penokohan atau karakter. Tihenea (2011:59) juga

menyebutkan bahwa mental, kelas sosial, jenis kelamin, dan bangsa dapat

(24)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan

merupakan cara pengarang untuk menggambarkan dan mengembangkan

watak tokoh yang mendukung cerita. Watak yang ditampilkan merupakan

keinginan pengarang yang disesuaikan dengan jalan cerita yang diinginkan.

Watak yang dimiliki setiap tokoh akan memacu timbulnya perilaku tokoh di

dalam cerita karena watak dan tokoh dapat berjalan secara beriringan.

Pengarang memiliki beberapa teknik atau cara-cara untuk menampilkan

tokoh, yaitu teknik ekspositori (teknik analitis) dan teknik dramatik

(Nurgiyantoro, 2009:195). Pertama, teknik analitis, yaitu cara menampilkan

tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan

ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Pengarang memberikan komentar

tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku,

bahkan ciri fisiknya. Kedua, cara dramatik, yaitu cara menampilkan tokoh

tidak secara langsung, tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan

komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita. Metode tidak

langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan

membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya

masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun

nonverbal, seperti tingkah laku, sikap, dan peristiwa yang terjadi.

Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Satoto dalam

Parwanti (2006:12) menyatakan,

Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :

1) Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.

2) Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, aktivitas sosial, suku bangsa, dan keturunan.

(25)

commit to user

Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu

penggambaran yang jelas mengenai posisi tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh

menurut Nurgiyantoro (2009:176-190) dapat dibagi menjadi beberapa jenis,

yaitu berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya; berdasarkan segi

fungsi penampilan tokoh; berdasarkan segi perwatakan; berdasarkan segi

berkembang atau tidaknya perwatakan; berdasarkan segi kemungkinan

pencerminan tokoh.

Berdasarkan segi peranannya, tokoh dibagi menjadi tokoh utama dan

tokoh tambahan. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya

dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.

Sedangkan tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit

dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara

langsung atau tidak langsung.

Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh

protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang

merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Sedangkan

tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik. Antara tokoh

protagonis dan antagonis ini saling mengimbangi dan biasanya memiliki

watak yang berbeda sehingga mengimbangi jalannya cerita.

Berdasarkan segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi tokoh sederhana

dan tokoh bulat atau kompleks. Tokoh sederhana (simple atau flat character),

yaitu tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu

sifat-watak tertentu saja. Tokoh bulat (complex atau round character), yaitu tokoh

yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi

kepribadian dan jati dirinya.

Berdasarkan segi berkembang atau tidaknya perwatakan, penokohan

dapat dibagi menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis (static

character), yaitu tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami

perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya

(26)

commit to user

mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan

perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.

Berdasarkan segi pencerminan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh

tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit

ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas

pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili.

Sedangkan tokoh netral, yaitu tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu

sendiri.

Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas memainkan perannya

sendiri-sendiri untuk mendukung jalannya cerita. Setiap tokoh akan dilengkapi

dengan watak, jiwa, dan raga yang berbeda-beda tiap individunya oleh

pengarang. Seperti disebutkan oleh Banda (1999:49) bahwa pengarang

merupakan suatu respon terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan.

Kondisi sosial sebagai bagian dari dimensi sosiologis pun diberikan oleh

pengarang untuk mendukung berbagai karakter yang muncul. Hal ini

bertujuan untuk melahirkan sebuah karya yang baik dengan adanya

pengimbangan berbagai unsur dan karakter.

3. Pendekatan Psikologi Sastra

a. Pengertian Psikologi

Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan

logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologis (menurut arti

kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai

macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Ahmadi,

1979:1).

Walgito mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang

membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki

serta mempelajari tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup

kejiwaan (1997:9). Siswantoro (2005:26) menyebutkan bahwa psikologi

sebagai ilmu jiwa yang menekankan perhatian studinya pada manusia,

terutama pada perilaku manusia (human behaviour or action). Kamus

(27)

commit to user

ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik normal

maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan

tentang gejala dan kegiatan jiwa (2008:1109).

Jadi, berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa

psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia baik

gejala, proses, maupun latar belakang yang berpengaruh pada perilaku

manusia tersebut.

b. Pengertian Psikologi Sastra

Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang

mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia

di dalam sebuah karya sastra. Hadirnya psikologi sastra dapat digunakan

untuk memahami karakter-karakter tokoh di dalam sebuah karya sastra.

Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra

adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan

sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya

sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia

(Hardjana, 1985:66). Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang

mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi mencoba memahami

karya sastra dari sudut yang berbeda, mulai dari karakter sampai dengan

konflik yang dialami tokoh karena ilmu psikologi sangat erat dengan

kondisi kejiwaan. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang dan

pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri

(Hartoko & Rahmanto, 1986:126). Apabila seorang pengarang

mencipta-kan karya sastra, karya tersebut merupamencipta-kan monumentalisasi verbal dari

aktivitas budaya pengarang (Banda, 1999:46). Jadi, baik secara langsung

ataupun tidak, kondisi pengarang dapat memengaruhi karya sastra yang

akan ditulisnya.

Psikologi sastra bertujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan

yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti

bahwa psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.

(28)

commit to user

memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain

yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan kejiwaan

(Ratna, 2009:342-343).

Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan

antara psikologi dan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan

pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan

tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (3) memahami unsur-unsur

kejiwaan pembaca. Pembicaraan pertama berhubungan dengan peranan

pengarang sebagai pencipta. Jadi, karya sastra dibicarakan sebagai hal

yang berhubungan dengan proses kreatif. Oleh karena itu, Wellek dan

Warren membedakan analisis psikologis yang pertama ini menjadi dua

macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan

pengarang dan studi yang berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan

kekuatan supernatural lainnya.

Psikologi sastra sebenarnya lebih memberikan perhatiannya pada

masalah yang kedua, yaitu pembicaraan yang berhubungan dengan

unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.

Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek

kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek

kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab

semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh, aspek kejiwaan

diinvestasikan dan dicangkokkan. Di dalam analisis, pada umumnya yang

menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan

seterusnya (Ratna, 2009:343).

Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan

menetapkan karya sastra dengan posisi yang lebih dominan. Cerpen tidak

melukiskan tokoh-tokoh dari semestaan yang sama. Cerpen juga tidak

menampilkan tokoh sebagai manusia secara individual. Sebagai sistem

simbol, dalam cerpen terkandung keberagaman tokoh sebagai representasi

(29)

commit to user

karakterisasi dibangun atas dasar dan dipahami melalui hakikat

multikultural dan spesies.

Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan

relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian

pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin

saja bertentangan dengan teori psikologis.

Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian,

yaitu (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi

proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan

pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada

pembaca atau psikologi pembaca (Wellek & Warren, 1990:90).

Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada

kumpulan cerita Madre ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu

pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang

diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan, bahwa

analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan

tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita untuk mengungkap

kepribadiannya secara menyeluruh.

4. Teori Kepribadian

Teori kepribadian merupakan sebuah teori yang digunakan untuk

memahami kondisi kejiwaan seseorang. Di dalam psikologi banyak teori yang

memberikan pemahaman terhadap teori kepribadian. Teori psikologi yang

paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori psikologi yang

disampaikan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Freud adalah psikolog

pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud

mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di

permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat

yang lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah

ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan,

nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang

(30)

commit to user

penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan sadar manusia (Hall & Gardner,

1993:60).

Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut

sebagai psikoanalisis yang menekankan penyelidikannya pada proses

kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Di dalam ketidaksadaran inilah

menurut Freud berkembang insting hidup yang paling berperan dalam diri

manusia, yaitu insting seks dan selama tahun-tahun pertama perkembangan

psikoanalisis, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari

dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk

energi yang menopangnya, yaitu libido (Hall & Gardner, 1993:73).

Freud mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga, yaitu struktur

kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.

Selanjutnya, Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga sistem, yaitu

id, (das es), ego (das ich), dan superego (das ueber ich). Perilaku manusia

pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian

manusia id, ego, dan superego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu

di antaranya terlepas atau bekerja sendiri. Penjelasan dari tiga sistem tersebut

adalah sebagai berikut.

a. Id adalah sistem kepribadian yang asli yang dibawa sejak lahir (Alwisol,

2011:14). Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan,

seperti insting, impuls, dan drives. Dari sini aspek kepribadian yang lain

tumbuh yang kemudian muncul ego dan superego. Id berfungsi untuk

menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk

mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu tindakan refleks

dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan

proses primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan. Alwisol

(2011:15) juga menyebutkan bahwa id hanya mampu membayangkan

sesuatu tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang

benar-benar memuaskan kebutuhan.

b. Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego

(31)

commit to user

Hal ini menyebabkan aspek psikologis dari kepribadian timbul karena

kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Ego dapat

pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian karena ego mengontrol

jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi

serta cara-cara memenuhinya. Dalam fungsinya seringkali ego harus

mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego. Peran

ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan

keadaan lingkungan.

c. Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi

memakai prinsip idealistik (idealistic principle) (Alwisol, 2011:16). Aspek

kepribadian ini, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita

masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat

perintah-perintah atau larangan-larangan. Superego dapat pula dianggap

sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu

baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan

moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok superego adalah

merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang

ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal

yang moralistis dari pada realistis dan mengejar kesempurnaan. Jadi,

superego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat

konsepsi yang ideal.

Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari

tiga aspek, yaitu id, ego, dan superego yang ketiganya tidak dapat

dipisahkan. Secara umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis

kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya, sedangkan superego

adalah komponen sosialnya.

5. Penelitian yang Relevan

Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian

dengan judul Konflik Tokoh Utama dalam Kumpulan Novelet Tulalit Karya

Putu Wijaya: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra oleh Rosid Wuryanto

(32)

commit to user

amanat terdapat jalinan erat dan bermakna. Adanya konflik menyebabkan

tokoh utama dipojokkan oleh pikiran dalam lamunan. Tokoh mempunyai

naluri dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada tokoh meliputi

kecemasan realitas, neurotik, dan moral.

Penelitian yang lain, yaitu Religiositas dalam Novel Fatimah Chen

Chen Karya Motinggo Busye (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra) oleh

Indah Kusumaningtyas tahun 2002 (UNS). Hasil penelitian menyebutkan

bahwa melalui pendekatan struktural dapat diperoleh kesimpulan adanya

unsur-unsur pembangun novel FCC, yaitu penokohan, alur, latar, tema, dan

amanat. Dalam analisis psikologi sastra dapat disimpulkan bahwa

tokoh-tokohnya mengalami fase perkembangan yang berbeda-beda, dimulai fase

pubertas sampai dengan mengalami kedewasaan. Dengan demikian, watak

dasar yang dimiliki juga berbeda.

Penelitian dengan judul Aspek Penokohan dalam Cerbung Tembang

Katresnan Karya Atas S. Danusubroto (Tinjauan Psikologi Sastra) oleh

Syamsul Huda tahun 2010 juga menjadi bagian dari penelitian yang relevan.

Menurut penelitian ini, unsur-unsur yang terdiri dari tema, alur, penokohan,

latar, dan amanat tersebut bersama-sama membentuk totalitas makna. Selain

itu, penelitian ini mengungkapkan tentang dinamika dan proses kejiwaan

tokoh-tokoh yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial kehidupan

seseorang yang berlatar belakang masyarakat desa.

B. Kerangka Berpikir

Kumpulan cerita Madre merupakan kumpulan cerita yang terdiri dari

puisi, lagu, dan cerpen. Penelitian ini akan membahas cerpen Madre dan

Menunggu Layang-Layang yang merupakan bagian dari kumpulan cerita terbaru

Dewi Lestari tersebut. Cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang merupakan

totalitas yang dibangun secara koherensif.

Pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan psikologi sastra.

Pendekatan psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan yang memandang

(33)

commit to user

Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung

dalam suatu karya (Ratna, 2009:342). Analisis yang dilakukan berada pada tiga

aspek, yakni (1) kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan Menunggu

Layang-layang, (2) konflik batin yang dialami tokoh-tokoh tersebut, dan (3)

persepsi pembaca terhadap konflik yang muncul.

Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir tersebut dapat dilihat dalam

bagan berikut.

Bagan 1. Kerangka Berpikir Cerpen Madre

Konflik batin yang dialami tokoh.

Persepsi pembaca terhadap konflik. Kepribadian

tokoh-tokoh cerpen.

Cerpen Menunggu Layang-layang Kumpulan Cerita

(34)

commit to user

19 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan karya sastra sebagai

objek kajiannya sehingga penelitian ini tidak ada pembatasan khusus terhadap

tempat dan waktu. Peneliti menggunakan kajian pustaka dan interpretasi atau

penafsiran sehingga penelitian dapat dilakukan kapan saja tanpa harus terikat

dengan tempat penelitian.

Penelitian ini direncanakan dilaksanakan selama empat bulan dengan

menggunakan analisis dokumen kumpulan cerita Madre pada bulan Maret-Juni

2012 sebagai data utama. Selain itu, untuk mendukung data yang diperoleh dan

penguatan analisis, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa

narasumber.

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Mar April Mei Juni

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

A. Persiapan

1. Penyusunan proposal

dan revisi.

2. Pengumpulan data

(dokumen)

B. Pelaksanaan penelitian

1. Analisis dokumen

2. Wawancara

C. Penyusunan laporan

D. Pelaksanaan ujian skripsi

(35)

commit to user

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh peneliti di dalam penelitian ini adalah

pendekatan psikologi sastra. Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra,

psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang

ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi

dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre

yang berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca

terhadap konflik tersebut.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakannya

pun metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan

tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang

dapat diamati. Hal tersebut seperti pendapat dari Moleong (2005:6) berikut ini.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang

dikumpulkan berbentuk kata-kata, frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan

angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang

sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis, dan menafsirkan.

C. Data dan Sumber Data

Kumpulan cerita yang menjadi sumber data, yaitu kumpulan cerita Madre

karya Dewi Lestari yang merupakan cetakan pertama bulan Juni 2011. Kumpulan

cerita Madre ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Yogyakarta. Objek penelitian

ini lebih menitikberatkan pada kepribadian tokoh-tokoh dalam cerita Madre dan

Menunggu Layang-layang, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca

terhadap konflik di dalam cerita tersebut.

Dokumen utama yang menjadi kajian adalah cerpen Madre dan Menunggu

(36)

commit to user

narasumber sebagai bentuk penguatan analisis peneliti. Dokumen-dokumen lain

berupa buku-buku penunjang materi dan tulisan atau artikel ilmiah yang didapat

dari studi pustaka maupun internet pun digunakan untuk melengkapi penelitian

ini.

D. Teknik Sampling

Kumpulan cerita Madre adalah kumpulan cerita yang memiliki beberapa

genre, yaitu puisi, lagu, dan cerpen. Untuk menganalisis tentang konflik batin

yang dialami oleh tokoh maka peneliti memfokuskan penelitiannya pada genre

cerpen. Teknik pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu

purposive sampling. Purposive sampling, yaitu pengambilan cuplikan yang

didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu (Sutopo, 2002:64). Dengan

menggunakan teknik purposive sampling maka cerpen yang dikaji dalam

penelitian ini, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang.

E. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yaitu

pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh

data. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode

analisis dokumen. Metode ini diambil peneliti karena data utama yang dikumpulkan

berupa teks-teks yang terdapat dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang.

Selain itu, teknik pengumpulan data yang lain, yaitu dengan menggunakan

wawancara terhadap informan. Informan-informan tersebut, yaitu Dewi Lestari

(Penulis Madre), Dra.Murtini,M.S. (Dosen Psikologi Sastra pada Fakultas Sastra dan

Seni Rupa UNS), Amiliya Setiya Rina H. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia), dan Christin Cahyoningrum (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia),

Aprilia Puspita S. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Nurul

Rismayanti (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Retno Puji L.

(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan Arnellis Mellema (Penulis

novel Now and Then). Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan penguatan dan

keabsahan analisis yang dilakukan. Wawancara terhadap penulis dan dosen

(37)

commit to user

wawancara terhadap mahasiswa digunakan untuk memperkuat hasil analisis rumusan

masalah pertama dan ketiga.

F. Uji Validitas Data

Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang

kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang. Untuk

menentukan keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut

Moleong (2005:330) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Denzin dalam Moleong (2005:330) menyebutkan ada empat macam

triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan

sumber; (2) metode; (3) penyidik; (4) teori. Triangulasi sumber berarti

membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang

diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton

dalam Moleong, 2005:330). Triangulasi metode menurut Patton (Moleong,

2005:331), yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian

beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa

sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi penyidik (Moleong,

2005:331) ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk

keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Triangulasi teori

menurut Lincoln dan Guba (Moleong, 2005:331), yaitu berdasarkan anggapan

bahwa fakta tidak dapat diperiksa dengan satu atau lebih teori.

Di dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan adalah teknik

triangulasi teori dan sumber. Triangulasi teori diperoleh dari teori-teori yang

digunakan dalam penelitian ini. Triangulasi sumber diperoleh dari dokumen dan

wawancara dengan informan.

G. Analisis Data

Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Data utama di dalam

penelitian ini adalah teks cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang. Teknik

(38)

commit to user

dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:15-21). Langkah-langkah analisis,

yaitu sebagai berikut.

1. Pengumpulan data, yaitu kegiatan pengumpulan data dengan mengadakan kajian

pustaka. Selain itu, data juga didapatkan dari wawancara dengan narasumber.

2. Reduksi data, yaitu kegiatan pengumpulan data yang hasilnya berupa catatan

lengkap dan akan direduksi yang hasilnya akan direduksi menjadi inti temuan

dengan rumusan pendek.

3. Sajian data, yaitu proses pendeskripsian lengkap berupa narasi dengan bahasa

kalimat peneliti sehingga dapat ditarik simpulan awal yang bersifat sementara.

4. Verifikasi merupakan langkah lanjutan dari simpulan awal tersebut untuk

semakin memantapkan atau menguji kebenaran informasinya.

Secara lebih jelas, model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan

berikut.

Bagan 2. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992:20)

H. Prosedur Penelitian

Tahapan-tahapan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan data untuk menganalisis tentang konflik batin dari

kumpulan cerita Madre. Selain itu, data juga diperoleh dari hasil wawancara

terhadap beberapa narasumber. Pengumpulan data

Reduksi data

Penyajian data

(39)

commit to user

2. Reduksi Data

Peneliti menyederhanakan tentang data yang didapat untuk dapat direduksi

sehingga memperjelas tentang permasalahan yang dikaji, yaitu konflik batin

tokoh dalam kumpulan cerita Madre.

3. Penyajian Data

Setelah dilakukan reduksi data, peneliti menyusun data-data yang

diperoleh kemudian mengklasifikasikan data-data tersebut.

4. Penarikan Simpulan

Penarikan simpulan merupakan langkah terakhir dari proses penelitian.

Setelah semua data dikumpulkan dan dianalisis serta dicek kebenarannya maka

langkah berikutnya, yaitu penarikan simpulan berdasarkan data-data yang

(40)

commit to user

25 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data

Cerpen selalu identik dengan cerita yang singkat, padat, dan jelas.

Konflik-konflik yang terjadi pun disampaikan dengan ringkas, tetapi tidak berbelit-belit.

Oleh karena itu, setiap penulis cerpen harus mampu mengubah konflik yang

panjang menjadi ringkas. Adanya konflik yang padat membuat sebuah cerpen

menjadi menarik karena selesai dalam sekali baca.

Pengarang di dalam menulis sebuah cerpen harus mampu memunculkan

hal-hal baru yang tidak diketahui oleh pembaca sebelumnya. Pengarang harus mampu

membawa pembaca sehingga seolah-olah pembaca masuk di dalam cerita tersebut

meskipun sebenarnya pembaca tidak terlibat secara langsung. Hal ini bukanlah

sesuatu yang mudah bagi pengarang. Namun, Dewi Lestari mencoba menawarkan

sesuatu yang baru di dalam kumpulan cerita Madre.

Di dalam kumpulan cerita Madre ini, Dewi Lestari mencoba memberikan

hal-hal baru yang mungkin tidak pernah terlintas di dalam pikiran pembaca.

Diawali dengan Madre, Dewi Lestari mencoba menyampaikan sebuah kisah

perjuangan anak muda dengan menggunakan bahasa yang ringan dan mudah

dipahami. Tak hanya itu, Dewi Lestari juga mencoba menuliskan sebuah kisah

yang banyak dialami remaja, yaitu cinta.

Madre dan Menunggu Layang-layang sebagai bagian dari kumpulan cerita

Madre sama-sama memiliki konflik batin yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan

tokohnya. Konflik batin-konflik batin yang dialami tokoh digambarkan oleh Dewi

Lestari dengan sangat baik. Setiap tokoh yang ditampilkan memiliki karakternya

masing-masing untuk mendukung jalannya cerita.

Madre dan Menunggu Layang-layang ini dianalisis berdasarkan pendekatan

psikologi sastra. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui konflik batin

yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam cerita karena setiap konflik batin

(41)

commit to user

Kajian ini menitikberatkan pada analisis teks dengan didukung hasil

wawancara untuk menguatkan data yang diperoleh. Unsur-unsur intrinsik, yaitu

tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat tidak

semuanya dianalisis dan dideskripsikan oleh peneliti karena penelitian ini

menggunakan pendekatan psikologi sastra. Namun, peneliti hanya memfokuskan

analisis unsur intrinsik pada tokoh dan penokohan cerpen Madre dan Menunggu

Layang-layang.

B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen

Tokoh dan penokohan sebagai bagian dari karya sastra memiliki perannya

sendiri di dalam mendukung alur dan jalannya cerita. Tokoh di dalam sebuah

cerita memiliki karakternya masing-masing. Karakter-karakter tersebut diciptakan

oleh pengarang untuk menyampaikan pesan dari cerita. Dari tokoh dan karakter

inilah sebuah konflik mampu tercipta sehingga pembaca bisa masuk ke dalam

cerita meskipun tidak mengalaminya secara langsung.

Cerpen Madre karya Dewi Lestari memiliki beberapa tokoh sentral, yaitu

Tansen, Pak Hadi, dan Mei. Tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak pengaruh

terhadap jalannya cerita. Konflik yang muncul juga lebih banyak dilakukan oleh

tokoh-tokoh tersebut. Di samping tokoh-tokoh sentral tersebut, cerpen Madre juga

didukung oleh tokoh-tokoh yang lain, yaitu Pak Joko, Bu Dedeh, Bu Cory, Bu

Sum, dan pengacara.

1. Tokoh Tansen

Dewi Lestari menggambarkan tokoh Tansen sebagai orang yang

memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya meskipun di Bali tansen

hidup bebas. Tanggung jawab Tansen terhadap kehidupannya ini terlihat

ketika Tansen rela untuk tinggal di Jakarta sampai urusannya dengan Mei

selesai. Selain itu, Tansen juga digambarkan sebagai orang yang pekerja

keras. Tansen berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan toko roti tersebut

meskipun hal itu dilakukan dengan bantuan dan dukungan Mei.

(42)

commit to user

a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan fisik. Tokoh

Tansen di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai sosok pria yang

memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu

lentik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bagian kutipan cerita berikut ini.

Keganjilan itu sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa, muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan, jins sobek-sobek. Sendirian. ... Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan.

Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”,

hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padaku. (Lestari, 2011:3)

b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kehidupan

sosial tokoh di dalam cerita. Tokoh Tansen di dalam cerita memiliki

kehidupan yang bebas dan tidak terikat pada siapapun, bahkan dalam hal

pekerjaan. Namun, kehidupan bebas itu memang harus berubah ketika

Tansen memperoleh warisan untuk merawat madre. Hal tersebut dapat

seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.

Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)

Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi.

“Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya.

“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis

kadang-kadang, ... .” ketidakjelasannya. Tidak tahu pasti. (Lestari, 2011:17)

Kutipan di atas menegaskan secara tersirat bahwa Tansen memiliki

kehidupan yang bebas, seperti ayahnya. Tansen pun memiliki protes

(43)

commit to user

Tansen menganalogikan hal tersebut seolah-olah dirinya adalah sebuah

tumbuhan. Namun, Tansen tetap menjalani apa yang memang telah

menjadi jalan hidupnya.

c. Dimensi psikologis, yaitu sebuah dimensi yang mana digunakan untuk

menggambarkan tentang kejiwaan tokoh di dalam cerita. Di dalam cerpen

Madre, Tansen digambarkan memiliki jiwa yang kuat. Kondisi kejiwaan

tersebut digambarkan ketika Tansen memang harus hidup sendiri. Tansen

pun mencoba untuk tetap maju setelah ia mengalami kebingungan

terhadap warisan yang baru diperolehnya dari orang yang tak pernah dia

kenal sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.

Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal. Siapa aku? Itu pertanyaan pertamaku. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya. (Lestari, 2011:1)

“Nak Tansen ndak pulang ke Bali, toh?” tanya Pak Joko.

“Saya bakal tinggal sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan Mei,” jawabku. “Saya juga masih harus tanggung jawab soal modal

produksi. Terus terang, modal uang saya nggak punya, Pak. Tapi mungkin saya bisa cari pinjaman ke teman-teman saya di Bali.” (Lestari, 2011:36)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tansen tetap berusaha untuk

menghidupkan kembali toko roti meskipun sebenarnya ia tidak memiliki

cukup modal untuk melakukan itu. Namun, kelemahan dalam hal modal

tersebut tidak menyurutkan niat Tansen untuk menghidupkan kembali toko

roti. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari pinjaman.

Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, kepribadian

Tansen disebutkan sebagai orang yang bebas dan mengalir. Selain itu,

pertemuannya dengan Pak Hadi dan Mei juga membuat Tansen menjadi orang

yang bertanggung jawab dan mau belajar. Responden pun menyebutkan

bahwa Tansen memiliki keinginan yang kuat untuk menghidupkan kembali

toko roti itu.

2. Tokoh Pak Hadi

Selain Tansen, tokoh lain di dalam cerpen Madre, yaitu Pak Hadi. Pak

(44)

commit to user

latar belakang tentang kehidupan Tansen yang justru tidak pernah diketahui

oleh Tansen sebelumnya. Di dalam cerpen tersebut, Pak Hadi digambarkan

sebagai orang yang pekerja keras, sabar, dan ulet untuk menjalani

kehidupannya. Itu ia buktikan dengan baktinya kepada Tuan Tan dan tetap

mempertahankan untuk merawat madre di usia senjanya. Penggambaran Pak

Hadi di dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai berikut.

a. Dimensi fisiologis yang berkaitan dengan fisik, Pak Hadi digambarkan

sebagai seseorang yang sudah tua, berusia sekitar 80 tahun, memiliki muka

yang mulai keriput, kedua cuping telinga yang melebar, di seputar pipi

terdapat vlek, dan memiliki tubuh yang kurus, tetapi tegap. Hal tersebut

dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

Laki-laki Cina tua berbaju olahraga menyambutku. Usianya mungkin sudah 80-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai lipatan, taburan vlek di seputar pipinya, dan kedua cuping telinga yang melebar. Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Anehnya, ia melihatku dengan muka bosan seolah kami sudah bertemu ratusan kali, atau sudah ratusan hari dia menungguku. (Lestari, 2011:6)

“Baru bangun? Waduh. Kalau tukang bikin roti harusnya bangun dari Subuh.”

“Anak muda itu, kalau pekerjaannya bukan satpam shift malam ya,

bangun pagilah. Ikut tai chi dulu sama saya di lapangan dekat sini.”

“Rajin juga Pak Hadi,” aku nyengir. (Lestari, 2011:19)

b. Dimensi sosiologis yang berkaitan dengan tingkah laku sosial Pak Hadi di

dalam cerpen Madre digambarkan sebagai orang yang memiliki prinsip

dan sabar. Selain itu, Pak Hadi merupakan seorang yang beretnis Cina.

Sikap taat dan patuh pada pemimpinnya juga melekat dalam diri Pak Hadi.

Namun, di sisi lain Pak Hadi juga memiliki sifat sebagai pengalah ketika

memang sesuatu bukan lagi menjadi haknya. Kutipan yang menegaskan

penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.

“Kan saya udah bilang. Buat Pak Hadi aja.”

“Ndak bisa. Cuma kamu yang boleh mengurus madre.” (Lestari,

(45)

commit to user

“Besok saya ajarken bikin roti. Sayang. Sudah punya madre tapi ndak

dijadiken apa-apa. Nih, tolong kembaliken ke kulkas.” (Lestari,

2011:16)

“Semua harus ditimbang. Persis. Kalau mau rasa konsisten, jangan

pakai ilmu kira-kira. Ayo, kamu yang timbang.”

“Berapa roti yang kamu tahu?” tanya Pak Hadi. “Roti keju, cokelat, kacang, susu, ... .”

“Itu isinya!” Pak Hadi setengah mengomel. “Yang saya maksud itu:

roti putih, roti gandum utuh, bagel, foccacia, pita, baguette... tahu ndak?

“Nggak,” jawabku ketus, “Terus, habis ini apa?” “Kita campur semua.”

“Pakai itu, Pak?” Aku melirik mixer besar yang nganggur di pojok

lemari.

“Pakai tangan. Kamu harus belajar nguleni. Madre juga perlu kenal

tanganmu.” (Lestari, 2011:21)

Penjelasan di atas menegaskan bahwa meskipun Pak Hadi sudah tua,

ia tetap mengajari Tansen untuk membuat roti sebagaimana mestinya. Hal

itu menunjukkan bahwa Pak Hadi seorang penyabar. Model didikan yang

kuat pun diberikan Pak Hadi kepada Tansen dengan tegas, terutama dalam

hal membuat roti.

c. Dimensi psikologis berkaitan dengan kejiwaan tokoh. Pak Hadi memiliki

jiwa yang setia kepada pemimpinnya. Hal itu dibuktikannya selama

bertahun-tahun kepada Tan meskipun kerja tanpa digaji ketika memang

omzet Tan de Bakker sudah tak banyak. Tan juga mau menjaga madre

sampai menemukan keturunan Tan, Tansen. Dia rela untuk menetap di

ruko tua itu sendirian. Namun, Tan memiliki karakter yang tegas. Hal

tersebut dibuktikan dalam bagian kutipan berikut ini.

“Toko sudah ndak ada untung, cuma cukupan buat gaji pegawai, tapi Tan terus bertahan. Katanya, madre jangan dibikin nganggur.”

“Madre?”

“Karyawan di sini cuma lima orang. Bisnis nyusut terus. Lama-lama

kami kerja ndak digaji. Akhirnya nyerah juga dia. Ndak tega sama

kami,” Pak Hadi tersenyum kecut. “Yang penting, madre jangan

Gambar

Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian .........................................................
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

sendiri dan juga orang di sekelilingnya. Konflik batin yang dialami oleh tokoh tersebut juga akan mempengaruhi perasaan psikis tokoh. Berdasarkan latar belakang di atas,

Konflik batin tokoh utama dalam novel Bidadari Tak Bersayap karya. Budi Satrio tinjauan

Berdasarkan analisis psikologi sastra, konflik batin tokoh utama dalam novel Pusparatri karya Nurul Ibad meliputi: (1) konflik mendekat-menjauh, yaitu konflik batin

Konflik batin kedua yang disebabkan faktor dari dalam diri individu adalah perasaan bimbang yang dialami Tokoh Saya karena harus pulang tetapi ia ingin terus bersama

Hasil dari penelitian ini adalah bentuk konflik batin tokoh utama dalam novel Rindu karya Tere Liye adalah konflik mendekat-mendekat (approach-approach

novelAda Tasbih di Hati Aisya karya Wien Oktadatu Setyawati. 2) Mendeskripsikan penyebab terjadinya konflik batin yang dialami tokoh. Aisya. 3) Mendeskripsikan sikap

Manfaat penelitian ini untuk memperkaya pengkajian dan pengapresian karya sastra Indonesia, serta membantu pembaca memahami bentuk-bentuk konflik batin tokoh Tari

Hasil dari penelitian ini adalah mengungkapkan konflik batin Id yaitu konflik dengan dirinya sendiri , konflik batin Ego yaitu konflik dirinya dengan orang lain, dan konflik