commit to user
KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH
DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI
(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)
SKRIPSI
OLEH:
JATMIKO
K1208028
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH
DALAM KUMPULAN CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI
(PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA)
Oleh:
JATMIKO
K1208028
Skripsi
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
commit to user
commit to user
commit to user
vi ABSTRAK
Jatmiko. KONFLIK BATIN TOKOH-TOKOH DALAM KUMPULAN
CERITA MADRE KARYA DEWI LESTARI (PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juni 2012.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang; (2) mendeskripsikan konflik batin yang dialami tokoh-tokoh di dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori psikoanalisis Sigmund Freud; (3) mendeskripsikan
bagaimana persepsi pembaca terhadap cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi sastra karena penelitian ini berfokus pada konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Penelitian ini
mengambil sampel dua buah cerpen, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang
karena dua cerpen tersebut merupakan cerpen yang sama-sama memiliki konflik batin mengingat kumpulan cerita Madre ini terdiri dari cerpen, puisi, dan lagu. Sumber data berasal dari dokumen dan informan. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik pustaka dan wawancara. Validitas data menggunakan teknik triangulasi teori dan sumber. Analisis data di dalam penelitian ini menggunakan analisis data interaktif.
Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan tiga hal berikut ini. Pertama, tokoh Tansen sebagai sosok pria yang bertanggung jawab dan pekerja keras; Pak Hadi sebagai sosok pria yang memegang teguh prinsip; Mei sebagai wanita pekerja keras meskipun dibayangi rasa bersalah; Bu Cory dan Bu Sum sebagai pekerja yang memiliki loyalitas tinggi kepada pemimpinnya; Christian sebagai pria pekerja keras dan memiliki kehidupan teratur; Starla sebagai wanita pekerja keras yang tidak diimbangi dengan kepribadian yang baik; dan Rako sebagai pria yang takut dengan komitmen. Kedua, konflik batin yang dialami tokoh: Tansen karena ketidakjelasan silsilah keluarga dan pemerolehan warisan dari orang yang tidak dikenal; Pak Hadi sebagai orang yang mengetahui sejarah kehidupan Tansen; Mei terhadap kesalahan masa kecil; Christian yang takut perubahan dan ketidakpastian; Starla yang takut dengan komitmen; keinginan Rako untuk memiliki Starla tidak tercapai. Ketiga, konflik batin yang terjadi di dalam cerpen tersebut dapat terjadi di dunia nyata dan Madre lebih memiliki nilai perjuangan daripada Menunggu Layang-layang.
commit to user
vii MOTTO
Sekali dalam hidup orang harus menentukan sikap
Kalau tidak, dia takkan menjadi apa-apa.
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Dengan rasa syukur kepada Allah, kupersembahkan skripsi ini untuk:
1. Bapak dan Ibu, yang selalu mendukung dan menyemangatiku untuk dapat
memberikan yang terbaik dalam hidup;
2. Mbak Sirih Purwanti, Mas Maryanto, Mas Joko Nofianto yang selalu
memberikan semangat di setiap langkahku untuk menggapai impian;
3. Kawan-kawanku di Lembaga Pers Mahasiswa Motivasi FKIP UNS;
4. Bastind’08; terima kasih telah memberikan warna hidupku untuk menempuh
commit to user
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi sebagian persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak.
Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof.Dr.H.M.Furqon Hidayatullah,M.Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
2. Dr.Muh.Rohmadi,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni yang
telah memberikan persetujuan skripsi;
3. Dr.Kundharu Saddhono,S.S.,M.Hum., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Seni yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dra.Sumarwati,M.Pd. selaku Pembimbing I dan Dra. Raheni Suhita, M.Hum.
selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan
dorongan kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan
lancar;
5. Dr.Andayani,M.Pd., Pembimbing Akademik yang telah memberikan
bimbingan selama penulis menjadi mahasiswa di Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia FKIP UNS;
6. Bapak dan Ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
telah membantu penulis selama menimba ilmu di FKIP UNS;
7. Dewi Lestari, Dra.Murtini,M.S., Amiliya S.H., Christin C., Aprilia P.S., Nurul
R., Retno P.L., Arnellis M. yang telah bersedia menjadi narasumber penelitian
skripsi ini;
8. Bapak, Ibu, Mas Maryanto, Mas Joko, Mbak Sirih, dan saudara di rumah yang
selalu memberikan semangat untukku;
9. Helmi, Cini, Rina, Ellysa, Norma, Alfira, Erma, Santi, Fitri, dan teman-teman
Bastind 2008 yang telah memberikan warna di perjalanan ini;
10.Mbak Nisa, Mbak Tutut, Mbak Septi, Mas Hanif, Mas Tisna, Mas Anjar, Mas
commit to user
x
kawan-kawan lainnya di LPM Motivasi yang telah membuatku menjadi orang
yang kuat.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan bagi pembaca.
Surakarta, Juni 2012
commit to user
xi DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERNYATAAN ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iv
HALAMAN PENGESAHAN ... v
HALAMAN ABSTRAK ... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ... 6
B. Kerangka Berpikir ... 18
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 19
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 20
C. Data dan Sumber Data ... 20
D. Teknik Sampling ... 21
E. Pengumpulan Data ... 21
F. Uji Validitas Data ... 22
commit to user
xii
H. Prosedur Penelitian ... 23
BAB IV PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ... 25
B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen ... 26
C. Konflik Batin yang Dialami oleh Tokoh ... 41
D. Persepsi Pembaca terhadap Konflik ... 68
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Simpulan ... 72
B. Implikasi ... 74
C. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 76
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Bagan 1. Kerangka Berpikir ... 18
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Profil Dewi Lestari ... 76
Lampiran 2. Sinopsis Madre ... 78
Lampiran 3. Sinopsis Menunggu Layang-layang ... 82
Lampiran 4. Transkrip Wawancara Dewi Lestari ... 84
Lampiran 5. Daftar Pertanyaan untuk Dra.Murtini,M.S. ... 87
Lampiran 6. Transkrip Wawancara Dra.Murtini,M.S. ... 89
Lampiran 7. Daftar Pertanyaan untuk April dkk ... 93
Lampiran 8. Transkrip Wawancara Aprilia ... 94
Lampiran 9. Transkrip Wawancara Nurul ... 97
Lampiran 10. Transkrip Wawancara Retno ... 99
Lampiran 11. Transkrip Wawancara Christin ... 102
Lampiran 12. Transkrip Wawancara Amiliya ... 105
Lampiran 13. Transkrip Wawancara Arnellis ... 110
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Novel atau cerpen sebagai bagian bentuk sastra merupakan jagad realita
yang di dalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan diperbuat oleh
manusia (tokoh) (Siswantoro, 2005:29). Sebagai bagian dari karya sastra, novel
atau cerpen yang muncul tak hanya digunakan sebagai hiburan, tetapi novel atau
cerpen tersebut dapat juga digunakan sebagai media pendidikan. Kehadiran novel
atau cerpen sebagai bagian karya sastra tak terlepas dari unsur intrinsik. Unsur
intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri
(Nurgiyantoro, 2009:23). Unsur tersebut, misalnya plot, penokohan, tema, latar,
sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya bahasa.
Sastra adalah hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Sebagai seni
kreatif yang mengungkapkan kehidupan manusia, karya sastra tidak hanya
merupakan media untuk menyampaikan ide, teori, atau sistem berpikir, tetapi juga
merupakan media untuk menampung ide, teori serta sistem berpikir manusia. Oleh
karena itu, sebagai karya kreatif, sastra harus mampu melahirkan suatu kreasi
yang indah dan berusaha menyalurkan kebutuhan keindahan manusia. Di samping
itu, sastra harus mampu menjadi wadah penyampaian ide-ide yang dipikirkan dan
dirasakan oleh sastrawan tentang kehidupan umat manusia (Semi, 1993:8).
Sebuah karya sastra akan menjadi lebih hidup ketika didukung dengan
kehadiran tokoh-tokoh di dalamnya. Setiap tokoh dilengkapi dengan jiwa dan raga
untuk mendukung cerita, meskipun cerita tersebut fiktif. Hal ini terlihat dari sifat
atau karakter yang melekat pada tokoh tersebut. Meskipun masing-masing tokoh
memiliki karakter pribadi, dalam kehidupannya tokoh-tokoh tersebut senantiasa
berhubungan dengan tokoh yang lain. Tak jarang hubungan tersebut dapat
menimbulkan sebuah konflik, baik konflik antarindividu, konflik antarkelompok,
bahkan konflik pribadi yang sering disebut sebagai konflik batin. Seperti
commit to user
konflik merupakan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertarungan antara dua
kekuatan yang seimbang dan menyiratkan adanya aksi dan aksi balasan. Dengan
kata lain, manusia selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup. Di dalam
menghadapi persoalan tersebut, manusia tidak akan terlepas dari jiwa manusia itu
sendiri.
Tokoh-tokoh sebagai pemegang alur akan menghidupkan peristiwa atau
kejadian di dalam cerita tersebut. Seperti disebutkan oleh Nurgiyantoro
(2009:167) bahwa tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan
penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan
kepada pembaca. Melalui tokoh-tokoh inilah pengarang akan melukiskan
kehidupan manusia dengan segala problematikanya dan konflik-konfliknya.
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2009:165), tokoh cerita merupakan
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas nilai moral dan kecenderungan tertentu yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan selalu menampilkan tokoh
yang memiliki karakter sehingga karya sastra tersebut menggambarkan tentang
kejiwaan manusia, walaupun pengarang hanya menampilkan tokoh itu secara
fiktif. Dengan kenyataan tersebut, karya sastra selalu terlibat dalam segala aspek
kehidupan, tidak terkecuali ilmu jiwa atau psikologi. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan dualisme yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya terdiri atas
jiwa dan raga.
Penelitian yang menggunakan pendekatan psikologi terhadap karya sastra
merupakan bentuk pemahaman dan penafsiran karya sastra dari sisi psikologi.
Alasan ini didorong karena tokoh-tokoh dalam karya sastra dimanusiakan, mereka
semua diberi jiwa, mempunyai raga bahkan untuk manusia yang disebut
pengarang mungkin memiliki penjiwaan yang lebih bila dibandingkan dengan
manusia lainnya terutama dalam hal penghayatan mengenai hidup dan kehidupan
(Hardjana, 1985:60).
Hartoko dalam Endraswara (2008:70) menyebutkan bahwa psikologi sastra
commit to user
dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah
karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi
tuntutan psikis. Oleh karena itu, muncullah psikologi sastra yang berfungsi
sebagai jembatan dalam interpretasi. Penelitian psikologi sastra memfokuskan
pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada
tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh-tokoh, baik yang
tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2009:350).
Di dalam ilmu psikologi, terdapat teori yang mengusulkan bagaimana
mempelajari tentang aspek kejiwaan maupun penokohan dalam karya sastra. Teori
ini digunakan untuk mempelajari tentang kesadaran dan ketidaksadaran pada
manusia. Teori psikologi tersebut diperkenalkan oleh Sigmund Freud.
Menurutnya, semua gejala mental bersifat tak sadar yang tertutup oleh alam
kesadaran (Schellenberg dalam Ratna, 2009:62). Freud membagi teori kepribadian
menjadi tiga, yaitu id atau es; ego atau ich; dan superego atau uber ich. Selain itu,
psikologi Freud juga memanfaatkan mimpi, fantasi, dan mite. Hal tersebut
merupakan masalah pokok dalam sastra. Ratna (2009:342) juga menyebutkan
bahwa secara definitif, tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek
kejiwaan yang terkandung di dalam sebuah karya sastra.
Kumpulan cerita Madre adalah sebuah kumpulan cerita yang ditulis oleh
Dewi Lestari. Sebagai seorang penulis dan penyanyi, Dee, sapaan akrab Dewi
Lestari dapat dikatakan sebagai seorang penyanyi yang sukses di bidang
kepenulisan. Novel pertamanya Supernova mampu menembus angka penjualan
75.000 eksemplar yang pada akhirnya mengantarkan novel ini untuk
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Supernova pun masuk dalam nominasi
Katulistiwa Literary Award (KLA) yang diadakan oleh QB World Books.
Bersaing dengan sastrawan kenamaan, seperti Goenawan Mohamad, Danarto,
Sutardji Calzoum Bachri, dan Hamsad Rangkuti. Tahun 2009, Dee menerbitkan
novel Perahu Kertas. Tahun 2011, kumpulan cerita Madre pun terbit.
Kumpulan cerita Madre ini menyampaikan cerita yang lebih detil dan
commit to user
oleh penulis tidak berbelit-belit karena tokoh yang dihadirkan dalam cerita pun
tidak terlalu banyak.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti terdorong untuk meneliti
tentang konflik batin yang dialami tokoh dari sisi psikologi sebagai bagian dari
sastra. Judul penelitian ini, yaitu “Konflik Batin Tokoh-tokoh dalam Kumpulan Cerita Madre Karya Dewi Lestari (Pendekatan Psikologi Sastra)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dirumuskan permasalahan
sebagai berikut.
1. Bagaimana penggambaran kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan
Menunggu Layang-layang?
2. Bagaimana konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian
psikoanalisis Sigmund Freud?
3. Bagaimana persepsi pembaca terhadap konflik batin yang digambarkan dalam
cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Menggambarkan kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan
Menunggu Layang-layang.
2. Menggambarkan konflik batin yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen
Madre dan Menunggu Layang-layang berdasarkan teori kepribadian
psikoanalisis Sigmund Freud.
3. Menggambarkan persepsi pembaca terhadap konflik batin dalam cerpen
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoretis
maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan mengenai studi sastra Indonesia
khususnya dengan pendekatan psikologi sastra. Penelitian ini juga diharapkan
dapat digunakan sebagai pemacu di bidang pendidikan untuk mulai
menggunakan cerpen sebagai media pendidikan di sekolah. Selain itu juga
untuk memberikan sumbangan dalam teori sastra dan teori psikologi dalam
mengungkap konflik batin tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA
Penelitian ini diharapkan mampu digunakan untuk menggambarkan
bagaimana contoh penganalisisan sebuah karya sastra sehingga dapat
mendorong peserta didik untuk meningkatkan pemahaman terhadap karya
sastra.
b. Bagi Siswa
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan contoh oleh siswa bagaimana
cara menganalisis konflik yang dialami oleh tokoh di dalam karya sastra.
Hal ini dimaksudkan untuk mendorong siswa menjadi produktif untuk
menghasilkan karya.
c. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman tentang
penelitian dalam multidisiplin ilmu. Selain itu, penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan untuk melaksanakan penelitian-penelitian
commit to user
6 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan
1. Hakikat Cerpen
Munculnya berbagai karya sastra saat ini menunjukkan bahwa
perkembangan dunia sastra Indonesia kian membaik. Karya sastra yang
banyak bermunculan merupakan karya-karya fiksi. Fiksi merupakan hasil
dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan
kehidupan (Nurgiyantoro, 2009:3). Tarigan (1991:120) juga menyebutkan
bahwa fiksi adalah sesuatu yang dibentuk; sesuatu yang dibuat; sesuatu yang
diciptakan; sesuatu yang diimajinasikan. Karya fiksi sering disebut sebagai
karya rekaan yang digunakan oleh pengarang untuk menghidupkan
tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Cerita rekaan tersebut menyaran pada sesuatu
yang tidak nyata dan tidak terjadi sungguh-sungguh. Namun, sebagai sebuah
cerita, fiksi tetap memiliki tujuan untuk memberikan hiburan kepada pembaca
di samping tujuan estetik. Contoh cerita fiksi, yaitu novel dan cerpen. Namun,
cerpen dan novel memiliki berbagai perbedaan. Menurut Nurgiyantoro
(2009:10) perbedaan antara novel dengan cerpen yang pertama (dan yang
terutama) dapat dilihat dari segi formalitas bentuk dan segi panjang cerita.
Stanton pun menyatakan hal yang sama bahwa perbedaan yang paling jelas
adalah dari segi panjang (1965:37).
Marsli (2008) menyebutkan bahwa cerpen adalah sebuah dunia baru
yang dibangunkan dari himpunan realita yang dibaur dan dicernakan di dalam
imajinasi pengarang. Beach (Tarigan, 1991:176) menyatakan bahwa
mengingat batas-batasnya maka cerita pendek termasuk bentuk yang
sederhana dari fiction. Namun, berbeda dengan buku roman, cerita pendek
kurang tepat untuk memecahkan suatu keadaan yang ruwet. Dari pengertian
tersebut jelas bahwa cerpen merupakan hasil olahan ide yang didapatkan dari
kehidupan nyata yang dipadukan dengan imajinasi pengarang sehingga
commit to user
disampaikan di dalam cerpen pun lebih ringkas dan tidak berbelit-belit.
Namun, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak
ada satu kesepakatan di antara pengarang dan para ahli (Nurgiyantoro,
2009:10).
Poe dalam Nurgiyantoro (2009:10) menyebutkan bahwa cerpen adalah
sebuah cerita yang dibaca selesai dalam sekali duduk, kira-kira berkisar
antara setengah sampai dua jam. Sementara itu, Camby (Tarigan, 1991:176)
mengatakan bahwa kesan yang satu dan hidup, itulah seharusnya hasil dari
cerita pendek. Pengertian tersebut menyiratkan bahwa sebuah cerita pendek
haruslah singkat, padat, dan jelas. Konflik yang disajikan pun tidak melebar
dan fokus pada sebuah permasalahan sehingga penyelesaian cerita yang
hendak disampaikan penulis tidak berbelit-belit. Secara tidak langsung, hal
tersebut akan menyebabkan singkatnya membaca cerita.
Cerita pendek sebagai bagian dari fiksi tidak hanya memiliki satu
bentuk. Namun, cerita pendek juga memiliki berbagai macam bentuk. Bentuk
cerita pendek tersebut dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu (a) short short
story (Berkisar 500 kata); (b) midle short story; (c) long short story
(Nurgiyantoro, 2009:10). Berbeda dengan Nurgiyantoro yang menyatakan
short short story berkisar 500 kata, pendapat lain muncul dari Tarigan.
Menurut Tarigan (1991:178), short short story adalah cerita pendek yang
jumlah kata-katanya pada umumnya di bawah 5000 kata, maksimum 5000
kata, atau kira 16 halaman kuarto spasi rangkap yang dapat dibaca
kira-kira seperempat jam. Namun, meskipun kedua pendapat tersebut berbeda,
dinyatakan bahwa maksimal 5000 kata dan 500 berada di bawah 5000.
Setidaknya, pengertian yang dimaksud oleh Nurgiyantoro dapat dimasukkan
ke dalam pengertian cerita pendek menurut Tarigan. Selain itu, sebuah cerita
pendek tidak hanya dilihat dari panjang pendeknya cerita maupun jumlah
suku kata. Lebih dari itu, cerita pendek juga tetap memiliki unsur-unsur
pembangun cerita yang padu. Unsur-unsur tersebut sering disebut struktur di
dalam karya sastra. Unsur-unsur pembangun dari dalam (intrinsik) yang
commit to user
Abbasi (2011:51), strukturalisme telah didefinisikan sebagai ilmu yang
digunakan sebagai landasan untuk memahami secara sistematis semua
pengalaman manusia, termasuk tingkah lakunya. Secara tersirat pendapat
tersebut menggambarkan tentang penokohan yang ada di dalam karya sastra.
Penokohan sebagai bagian dari karya sastra merupakan bagian dari cipta
pengarang termasuk tingkah laku dan pengalaman yang ada di dalam cerita.
2. Unsur Tokoh dan Penokohan
Kehadiran tokoh-tokoh di dalam sebuah karya sastra sangat penting
terutama untuk menghidupkan cerita yang ada di dalamnya. Tokoh-tokoh
dalam karya sastra memiliki karakter yang berbeda-beda sehingga membentuk
sebuah jalinan cerita dan konflik yang padu.
Tokoh ialah pelaku dalam karya sastra. Tokoh dalam suatu cerita
rekaan merupakan unsur penting yang menghidupkan cerita. Di dalam sebuah
karya sastra biasanya terdapat beberapa tokoh. Namun, di antara beberapa
tokoh tersebut, salah satu tokoh akan berperan menjadi tokoh utama. Tokoh
utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan di dalam
karya sastra. Kehadiran tokoh dalam cerita berkaitan dengan terciptanya
konflik, dalam hal ini tokoh berperan membuat konflik dalam sebuah cerita
rekaan (Nurgiyantoro, 2009:164).
Pembicaraan mengenai penokohan dalam cerita rekaan tidak dapat
dilepaskan hubungannya dengan tokoh. Istilah ‘tokoh’ menunjuk pada pelaku
dalam cerita, sedangkan ‘penokohan’ menunjukkan pada sifat, watak atau
karakter yang melingkupi diri tokoh yang ada. Penokohan adalah pelukisan
gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita
(Jones dalam Nurgiyantoro, 2009:165). Penokohan dapat juga dikatakan
sebagai proses penampilan tokoh sebagai pembawa peran watak tokoh dalam
suatu cerita. Stanton (1965:17) juga menyebutkan bahwa di dalam fiksi yang
baik, setiap perkataan, setiap tindakan tidak hanya mendukung plot, tetapi
juga penjelmaan dari penokohan atau karakter. Tihenea (2011:59) juga
menyebutkan bahwa mental, kelas sosial, jenis kelamin, dan bangsa dapat
commit to user
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan
merupakan cara pengarang untuk menggambarkan dan mengembangkan
watak tokoh yang mendukung cerita. Watak yang ditampilkan merupakan
keinginan pengarang yang disesuaikan dengan jalan cerita yang diinginkan.
Watak yang dimiliki setiap tokoh akan memacu timbulnya perilaku tokoh di
dalam cerita karena watak dan tokoh dapat berjalan secara beriringan.
Pengarang memiliki beberapa teknik atau cara-cara untuk menampilkan
tokoh, yaitu teknik ekspositori (teknik analitis) dan teknik dramatik
(Nurgiyantoro, 2009:195). Pertama, teknik analitis, yaitu cara menampilkan
tokoh secara langsung melalui uraian pengarang. Jadi pengarang menguraikan
ciri-ciri tokoh tersebut secara langsung. Pengarang memberikan komentar
tentang kedirian tokoh cerita berupa lukisan sikap, sifat, watak, tingkah laku,
bahkan ciri fisiknya. Kedua, cara dramatik, yaitu cara menampilkan tokoh
tidak secara langsung, tetapi melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan
komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam suatu cerita. Metode tidak
langsung (dramatik) adalah teknik pengarang mendeskripsikan tokoh dengan
membiarkan tokoh-tokoh tersebut saling menunjukkan kediriannya
masing-masing, melalui berbagai aktivitas yang dilakukan baik secara verbal maupun
nonverbal, seperti tingkah laku, sikap, dan peristiwa yang terjadi.
Setiap tokoh mempunyai wataknya sendiri-sendiri. Satoto dalam
Parwanti (2006:12) menyatakan,
Tokoh adalah bahan yang paling aktif menjadi penggerak jalan cerita karena tokoh ini berpribadi, berwatak, dan memiliki sifat-sifat karakteristik tiga dimensional, yaitu :
1) Dimensi fisiologis ialah ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuhnya, ciri muka dan ciri-ciri badani yang lain.
2) Dimensi sosiologis ialah ciri-ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan atau peran dalam masyarakat, tingkat pendidikan, pandangan hidup, agama, aktivitas sosial, suku bangsa, dan keturunan.
commit to user
Tokoh berkaitan dengan orang atau seseorang sehingga perlu
penggambaran yang jelas mengenai posisi tokoh tersebut. Jenis-jenis tokoh
menurut Nurgiyantoro (2009:176-190) dapat dibagi menjadi beberapa jenis,
yaitu berdasarkan segi peranan atau tingkat pentingnya; berdasarkan segi
fungsi penampilan tokoh; berdasarkan segi perwatakan; berdasarkan segi
berkembang atau tidaknya perwatakan; berdasarkan segi kemungkinan
pencerminan tokoh.
Berdasarkan segi peranannya, tokoh dibagi menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan. Tokoh utama, yaitu tokoh yang diutamakan penceritaannya
dalam novel dan sangat menentukan perkembangan alur secara keseluruhan.
Sedangkan tokoh tambahan, yaitu tokoh yang permunculannya lebih sedikit
dan kehadirannya jika hanya ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara
langsung atau tidak langsung.
Berdasarkan segi fungsi penampilan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis, yaitu tokoh utama yang
merupakan pengejawantahan nilai-nilai yang ideal bagi pembaca. Sedangkan
tokoh antagonis, yaitu tokoh penyebab terjadinya konflik. Antara tokoh
protagonis dan antagonis ini saling mengimbangi dan biasanya memiliki
watak yang berbeda sehingga mengimbangi jalannya cerita.
Berdasarkan segi perwatakan, tokoh dibagi menjadi tokoh sederhana
dan tokoh bulat atau kompleks. Tokoh sederhana (simple atau flat character),
yaitu tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu
sifat-watak tertentu saja. Tokoh bulat (complex atau round character), yaitu tokoh
yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi
kepribadian dan jati dirinya.
Berdasarkan segi berkembang atau tidaknya perwatakan, penokohan
dapat dibagi menjadi tokoh statis dan tokoh berkembang. Tokoh statis (static
character), yaitu tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami
perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya
commit to user
mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan
perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Berdasarkan segi pencerminan tokoh, tokoh dibagi menjadi tokoh
tipikal dan tokoh netral. Tokoh tipikal, yaitu tokoh yang hanya sedikit
ditampilkan keadaan individualitasnya dan lebih banyak ditonjolkan kualitas
pekerjaan atau kebangsaannya atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili.
Sedangkan tokoh netral, yaitu tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu
sendiri.
Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas memainkan perannya
sendiri-sendiri untuk mendukung jalannya cerita. Setiap tokoh akan dilengkapi
dengan watak, jiwa, dan raga yang berbeda-beda tiap individunya oleh
pengarang. Seperti disebutkan oleh Banda (1999:49) bahwa pengarang
merupakan suatu respon terhadap berbagai persoalan dalam kehidupan.
Kondisi sosial sebagai bagian dari dimensi sosiologis pun diberikan oleh
pengarang untuk mendukung berbagai karakter yang muncul. Hal ini
bertujuan untuk melahirkan sebuah karya yang baik dengan adanya
pengimbangan berbagai unsur dan karakter.
3. Pendekatan Psikologi Sastra
a. Pengertian Psikologi
Psikologi berasal dari bahasa Yunani psyche yang artinya jiwa dan
logos yang artinya ilmu pengetahuan. Jadi, secara etimologis (menurut arti
kata) psikologi artinya ilmu yang mempelajari tentang jiwa, baik mengenai
macam-macam gejalanya, prosesnya, maupun latar belakangnya (Ahmadi,
1979:1).
Walgito mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu yang
membicarakan tentang jiwa. Ia merupakan suatu ilmu yang menyelidiki
serta mempelajari tingkah laku serta aktivitas itu sebagai manifestasi hidup
kejiwaan (1997:9). Siswantoro (2005:26) menyebutkan bahwa psikologi
sebagai ilmu jiwa yang menekankan perhatian studinya pada manusia,
terutama pada perilaku manusia (human behaviour or action). Kamus
commit to user
ilmu yang berkaitan dengan dengan proses-proses mental baik normal
maupun abnormal yang pengaruhnya pada perilaku atau ilmu pengetahuan
tentang gejala dan kegiatan jiwa (2008:1109).
Jadi, berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia baik
gejala, proses, maupun latar belakang yang berpengaruh pada perilaku
manusia tersebut.
b. Pengertian Psikologi Sastra
Psikologi sastra merupakan suatu pendekatan yang
mempertimbangkan segi-segi kejiwaan dan menyangkut batiniah manusia
di dalam sebuah karya sastra. Hadirnya psikologi sastra dapat digunakan
untuk memahami karakter-karakter tokoh di dalam sebuah karya sastra.
Lewat tinjauan psikologi akan nampak bahwa fungsi dan peran sastra
adalah untuk menghidangkan citra manusia yang seadil-adilnya dan
sehidup-hidupnya atau paling sedikit untuk memancarkan bahwa karya
sastra pada hakikatnya bertujuan untuk melukiskan kehidupan manusia
(Hardjana, 1985:66). Psikologi sastra sebagai cabang ilmu sastra yang
mendekati sastra dari sudut psikologi. Psikologi mencoba memahami
karya sastra dari sudut yang berbeda, mulai dari karakter sampai dengan
konflik yang dialami tokoh karena ilmu psikologi sangat erat dengan
kondisi kejiwaan. Perhatiannya dapat diarahkan kepada pengarang dan
pembaca (psikologi komunikasi sastra) atau kepada teks itu sendiri
(Hartoko & Rahmanto, 1986:126). Apabila seorang pengarang
mencipta-kan karya sastra, karya tersebut merupamencipta-kan monumentalisasi verbal dari
aktivitas budaya pengarang (Banda, 1999:46). Jadi, baik secara langsung
ataupun tidak, kondisi pengarang dapat memengaruhi karya sastra yang
akan ditulisnya.
Psikologi sastra bertujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti
bahwa psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.
commit to user
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain
yang terjadi dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan kejiwaan
(Ratna, 2009:342-343).
Terdapat tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan
antara psikologi dan sastra, yaitu (1) memahami unsur-unsur kejiwaan
pengarang sebagai penulis, (2) memahami unsur-unsur kejiwaan
tokoh-tokoh fiksional dalam karya sastra, dan (3) memahami unsur-unsur
kejiwaan pembaca. Pembicaraan pertama berhubungan dengan peranan
pengarang sebagai pencipta. Jadi, karya sastra dibicarakan sebagai hal
yang berhubungan dengan proses kreatif. Oleh karena itu, Wellek dan
Warren membedakan analisis psikologis yang pertama ini menjadi dua
macam, yaitu studi psikologi yang semata-mata berkaitan dengan
pengarang dan studi yang berhubungan dengan inspirasi, ilham, dan
kekuatan supernatural lainnya.
Psikologi sastra sebenarnya lebih memberikan perhatiannya pada
masalah yang kedua, yaitu pembicaraan yang berhubungan dengan
unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra.
Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek
kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada umumnya, aspek-aspek
kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra, sebab
semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh, aspek kejiwaan
diinvestasikan dan dicangkokkan. Di dalam analisis, pada umumnya yang
menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga, dan
seterusnya (Ratna, 2009:343).
Psikologi sastra adalah model penelitian interdisiplin dengan
menetapkan karya sastra dengan posisi yang lebih dominan. Cerpen tidak
melukiskan tokoh-tokoh dari semestaan yang sama. Cerpen juga tidak
menampilkan tokoh sebagai manusia secara individual. Sebagai sistem
simbol, dalam cerpen terkandung keberagaman tokoh sebagai representasi
commit to user
karakterisasi dibangun atas dasar dan dipahami melalui hakikat
multikultural dan spesies.
Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan
relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian
pada tokoh-tokoh maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin
saja bertentangan dengan teori psikologis.
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian,
yaitu (1) Studi psikologi pengarang sebagai tipe atau pembeda, (2) Studi
proses kreatif, (3) Studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan
pada karya sastra, dan (4) Studi yang mempelajari dampak sastra pada
pembaca atau psikologi pembaca (Wellek & Warren, 1990:90).
Berdasarkan pendapat Wellek dan Warren di atas, penelitian pada
kumpulan cerita Madre ini mengarah pada pengertian ketiga, yaitu
pendekatan psikologi sebagai studi tipe dan hukum-hukum yang
diterapkan pada karya sastra. Secara spesifik dapat dijelaskan, bahwa
analisis yang akan dilakukan terutama diarahkan pada kondisi kejiwaan
tokoh-tokoh yang berperan dalam cerita untuk mengungkap
kepribadiannya secara menyeluruh.
4. Teori Kepribadian
Teori kepribadian merupakan sebuah teori yang digunakan untuk
memahami kondisi kejiwaan seseorang. Di dalam psikologi banyak teori yang
memberikan pemahaman terhadap teori kepribadian. Teori psikologi yang
paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori psikologi yang
disampaikan oleh Sigmund Freud (1856-1939). Freud adalah psikolog
pertama yang menyelidiki aspek ketidaksadaran dalam jiwa manusia. Freud
mengibaratkan kesadaran manusia sebagai gunung es, sedikit yang terlihat di
permukaan adalah menunjukkan kesadaran, sedangkan bagian tidak terlihat
yang lebih besar menunjukkan aspek ketidaksadaran. Dalam daerah
ketidaksadaran yang sangat luas ini ditemukan dorongan-dorongan,
nafsu-nafsu, ide-ide dan perasaan-perasan yang ditekan, suatu dunia dalam yang
commit to user
penting atas pikiran-pikiran dan perbuatan sadar manusia (Hall & Gardner,
1993:60).
Ajaran-ajaran Freud di atas, dalam dunia psikologi lazim disebut
sebagai psikoanalisis yang menekankan penyelidikannya pada proses
kejiwaan dalam ketidaksadaran manusia. Di dalam ketidaksadaran inilah
menurut Freud berkembang insting hidup yang paling berperan dalam diri
manusia, yaitu insting seks dan selama tahun-tahun pertama perkembangan
psikoanalisis, segala sesuatu yang dilakukan manusia dianggap berasal dari
dorongan ini. Seks dan insting-insting hidup yang lain, mempunyai bentuk
energi yang menopangnya, yaitu libido (Hall & Gardner, 1993:73).
Freud mendeskripsikan kepribadian menjadi tiga, yaitu struktur
kepribadian, dinamika kepribadian, dan perkembangan kepribadian.
Selanjutnya, Freud membagi struktur kepribadian menjadi tiga sistem, yaitu
id, (das es), ego (das ich), dan superego (das ueber ich). Perilaku manusia
pada hakikatnya merupakan hasil interaksi substansi dalam kepribadian
manusia id, ego, dan superego yang ketiganya selalu bekerja, jarang salah satu
di antaranya terlepas atau bekerja sendiri. Penjelasan dari tiga sistem tersebut
adalah sebagai berikut.
a. Id adalah sistem kepribadian yang asli yang dibawa sejak lahir (Alwisol,
2011:14). Saat dilahirkan, id berisi semua aspek psikologi yang diturunkan,
seperti insting, impuls, dan drives. Dari sini aspek kepribadian yang lain
tumbuh yang kemudian muncul ego dan superego. Id berfungsi untuk
menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar kenikmatan. Untuk
mengejar kenikmatan itu id mempunyai dua cara, yaitu tindakan refleks
dan proses primer, tindakan refleks seperti bersin atau berkedip, sedangkan
proses primer seperti saat orang lapar membayangkan makanan. Alwisol
(2011:15) juga menyebutkan bahwa id hanya mampu membayangkan
sesuatu tanpa mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang
benar-benar memuaskan kebutuhan.
b. Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego
commit to user
Hal ini menyebabkan aspek psikologis dari kepribadian timbul karena
kebutuhan individu untuk berhubungan baik dengan dunia nyata. Ego dapat
pula dipandang sebagai aspek eksekutif kepribadian karena ego mengontrol
jalan yang ditempuh, memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi
serta cara-cara memenuhinya. Dalam fungsinya seringkali ego harus
mempersatukan pertentangan-pertentangan antara id dan superego. Peran
ego ialah menjadi perantara antara kebutuhan-kebutuhan instingtif dan
keadaan lingkungan.
c. Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang beroperasi
memakai prinsip idealistik (idealistic principle) (Alwisol, 2011:16). Aspek
kepribadian ini, merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orang tua kepada anaknya lewat
perintah-perintah atau larangan-larangan. Superego dapat pula dianggap
sebagai aspek moral kepribadian, fungsinya menentukan apakah sesuatu itu
baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak, sesuai dengan
moralitas yang berlaku di masyarakat. Fungsi pokok superego adalah
merintangi dorongan id terutama dorongan seksual dan agresif yang
ditentang oleh masyarakat. Mendorong ego untuk lebih mengejar hal-hal
yang moralistis dari pada realistis dan mengejar kesempurnaan. Jadi,
superego cenderung untuk menentang id maupun ego dan membuat
konsepsi yang ideal.
Demikianlah struktur kepribadian menurut Freud, yang terdiri dari
tiga aspek, yaitu id, ego, dan superego yang ketiganya tidak dapat
dipisahkan. Secara umum, id bisa dipandang sebagai komponen biologis
kepribadian, ego sebagai komponen psikologisnya, sedangkan superego
adalah komponen sosialnya.
5. Penelitian yang Relevan
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini, yaitu penelitian
dengan judul Konflik Tokoh Utama dalam Kumpulan Novelet Tulalit Karya
Putu Wijaya: Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra oleh Rosid Wuryanto
commit to user
amanat terdapat jalinan erat dan bermakna. Adanya konflik menyebabkan
tokoh utama dipojokkan oleh pikiran dalam lamunan. Tokoh mempunyai
naluri dan kecemasan. Kecemasan yang terjadi pada tokoh meliputi
kecemasan realitas, neurotik, dan moral.
Penelitian yang lain, yaitu Religiositas dalam Novel Fatimah Chen
Chen Karya Motinggo Busye (Sebuah Pendekatan Psikologi Sastra) oleh
Indah Kusumaningtyas tahun 2002 (UNS). Hasil penelitian menyebutkan
bahwa melalui pendekatan struktural dapat diperoleh kesimpulan adanya
unsur-unsur pembangun novel FCC, yaitu penokohan, alur, latar, tema, dan
amanat. Dalam analisis psikologi sastra dapat disimpulkan bahwa
tokoh-tokohnya mengalami fase perkembangan yang berbeda-beda, dimulai fase
pubertas sampai dengan mengalami kedewasaan. Dengan demikian, watak
dasar yang dimiliki juga berbeda.
Penelitian dengan judul Aspek Penokohan dalam Cerbung Tembang
Katresnan Karya Atas S. Danusubroto (Tinjauan Psikologi Sastra) oleh
Syamsul Huda tahun 2010 juga menjadi bagian dari penelitian yang relevan.
Menurut penelitian ini, unsur-unsur yang terdiri dari tema, alur, penokohan,
latar, dan amanat tersebut bersama-sama membentuk totalitas makna. Selain
itu, penelitian ini mengungkapkan tentang dinamika dan proses kejiwaan
tokoh-tokoh yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial kehidupan
seseorang yang berlatar belakang masyarakat desa.
B. Kerangka Berpikir
Kumpulan cerita Madre merupakan kumpulan cerita yang terdiri dari
puisi, lagu, dan cerpen. Penelitian ini akan membahas cerpen Madre dan
Menunggu Layang-Layang yang merupakan bagian dari kumpulan cerita terbaru
Dewi Lestari tersebut. Cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang merupakan
totalitas yang dibangun secara koherensif.
Pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan psikologi sastra.
Pendekatan psikologi sastra merupakan sebuah pendekatan yang memandang
commit to user
Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya (Ratna, 2009:342). Analisis yang dilakukan berada pada tiga
aspek, yakni (1) kepribadian tokoh-tokoh dalam cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang, (2) konflik batin yang dialami tokoh-tokoh tersebut, dan (3)
persepsi pembaca terhadap konflik yang muncul.
Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir tersebut dapat dilihat dalam
bagan berikut.
Bagan 1. Kerangka Berpikir Cerpen Madre
Konflik batin yang dialami tokoh.
Persepsi pembaca terhadap konflik. Kepribadian
tokoh-tokoh cerpen.
Cerpen Menunggu Layang-layang Kumpulan Cerita
commit to user
19 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan karya sastra sebagai
objek kajiannya sehingga penelitian ini tidak ada pembatasan khusus terhadap
tempat dan waktu. Peneliti menggunakan kajian pustaka dan interpretasi atau
penafsiran sehingga penelitian dapat dilakukan kapan saja tanpa harus terikat
dengan tempat penelitian.
Penelitian ini direncanakan dilaksanakan selama empat bulan dengan
menggunakan analisis dokumen kumpulan cerita Madre pada bulan Maret-Juni
2012 sebagai data utama. Selain itu, untuk mendukung data yang diperoleh dan
penguatan analisis, peneliti juga melakukan wawancara terhadap beberapa
narasumber.
Tabel 1. Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Mar April Mei Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
A. Persiapan
1. Penyusunan proposal
dan revisi.
2. Pengumpulan data
(dokumen)
B. Pelaksanaan penelitian
1. Analisis dokumen
2. Wawancara
C. Penyusunan laporan
D. Pelaksanaan ujian skripsi
commit to user
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti di dalam penelitian ini adalah
pendekatan psikologi sastra. Hardjana (1985:60) mengatakan bahwa dalam sastra,
psikologi merupakan ilmu bantu dan memasuki sastra di dalam bahasan tentang
ajaran dan kaidah yang dapat ditimba dari karya sastra. Pendekatan psikologi
dilakukan untuk mengetahui psikologi tokoh-tokoh dalam kumpulan cerita Madre
yang berkaitan dengan kepribadian, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca
terhadap konflik tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metode yang digunakannya
pun metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan
tentang sifat-sifat suatu individu, keadaan atau gejala dari kelompok tertentu yang
dapat diamati. Hal tersebut seperti pendapat dari Moleong (2005:6) berikut ini.
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.
Data deskriptif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah data yang
dikumpulkan berbentuk kata-kata, frasa, klausa, kalimat atau paragraf dan bukan
angka-angka. Dengan demikian, hasil penelitian ini berisi analisis data yang
sifatnya menuturkan, memaparkan, memerikan, menganalisis, dan menafsirkan.
C. Data dan Sumber Data
Kumpulan cerita yang menjadi sumber data, yaitu kumpulan cerita Madre
karya Dewi Lestari yang merupakan cetakan pertama bulan Juni 2011. Kumpulan
cerita Madre ini diterbitkan oleh Penerbit Bentang Yogyakarta. Objek penelitian
ini lebih menitikberatkan pada kepribadian tokoh-tokoh dalam cerita Madre dan
Menunggu Layang-layang, konflik yang dihadapi, serta persepsi pembaca
terhadap konflik di dalam cerita tersebut.
Dokumen utama yang menjadi kajian adalah cerpen Madre dan Menunggu
commit to user
narasumber sebagai bentuk penguatan analisis peneliti. Dokumen-dokumen lain
berupa buku-buku penunjang materi dan tulisan atau artikel ilmiah yang didapat
dari studi pustaka maupun internet pun digunakan untuk melengkapi penelitian
ini.
D. Teknik Sampling
Kumpulan cerita Madre adalah kumpulan cerita yang memiliki beberapa
genre, yaitu puisi, lagu, dan cerpen. Untuk menganalisis tentang konflik batin
yang dialami oleh tokoh maka peneliti memfokuskan penelitiannya pada genre
cerpen. Teknik pengambilan sampel yang digunakan di dalam penelitian ini, yaitu
purposive sampling. Purposive sampling, yaitu pengambilan cuplikan yang
didasarkan atas berbagai pertimbangan tertentu (Sutopo, 2002:64). Dengan
menggunakan teknik purposive sampling maka cerpen yang dikaji dalam
penelitian ini, yaitu Madre dan Menunggu Layang-layang.
E. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik pustaka, yaitu
pengumpulan data yang menggunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh
data. Selain itu, peneliti juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode
analisis dokumen. Metode ini diambil peneliti karena data utama yang dikumpulkan
berupa teks-teks yang terdapat dalam cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang.
Selain itu, teknik pengumpulan data yang lain, yaitu dengan menggunakan
wawancara terhadap informan. Informan-informan tersebut, yaitu Dewi Lestari
(Penulis Madre), Dra.Murtini,M.S. (Dosen Psikologi Sastra pada Fakultas Sastra dan
Seni Rupa UNS), Amiliya Setiya Rina H. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia), dan Christin Cahyoningrum (Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia),
Aprilia Puspita S. (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Nurul
Rismayanti (Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), Retno Puji L.
(Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan Arnellis Mellema (Penulis
novel Now and Then). Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan penguatan dan
keabsahan analisis yang dilakukan. Wawancara terhadap penulis dan dosen
commit to user
wawancara terhadap mahasiswa digunakan untuk memperkuat hasil analisis rumusan
masalah pertama dan ketiga.
F. Uji Validitas Data
Uji validitas data dilakukan dengan mengumpulkan data di lapangan yang
kemudian dilanjutkan dengan melihat teori-teori yang telah berkembang. Untuk
menentukan keabsahan sebuah data digunakan teknik triangulasi. Menurut
Moleong (2005:330) triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Denzin dalam Moleong (2005:330) menyebutkan ada empat macam
triangulasi sebagai teknik pemeriksaan, yaitu: (1) pemanfaatan menggunakan
sumber; (2) metode; (3) penyidik; (4) teori. Triangulasi sumber berarti
membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang
diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton
dalam Moleong, 2005:330). Triangulasi metode menurut Patton (Moleong,
2005:331), yaitu pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data dan pengecekan derajat kepercayaan beberapa
sumber data dengan metode yang sama. Triangulasi penyidik (Moleong,
2005:331) ialah dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk
keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data. Triangulasi teori
menurut Lincoln dan Guba (Moleong, 2005:331), yaitu berdasarkan anggapan
bahwa fakta tidak dapat diperiksa dengan satu atau lebih teori.
Di dalam penelitian ini, uji validitas data yang digunakan adalah teknik
triangulasi teori dan sumber. Triangulasi teori diperoleh dari teori-teori yang
digunakan dalam penelitian ini. Triangulasi sumber diperoleh dari dokumen dan
wawancara dengan informan.
G. Analisis Data
Analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Data utama di dalam
penelitian ini adalah teks cerpen Madre dan Menunggu Layang-layang. Teknik
commit to user
dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:15-21). Langkah-langkah analisis,
yaitu sebagai berikut.
1. Pengumpulan data, yaitu kegiatan pengumpulan data dengan mengadakan kajian
pustaka. Selain itu, data juga didapatkan dari wawancara dengan narasumber.
2. Reduksi data, yaitu kegiatan pengumpulan data yang hasilnya berupa catatan
lengkap dan akan direduksi yang hasilnya akan direduksi menjadi inti temuan
dengan rumusan pendek.
3. Sajian data, yaitu proses pendeskripsian lengkap berupa narasi dengan bahasa
kalimat peneliti sehingga dapat ditarik simpulan awal yang bersifat sementara.
4. Verifikasi merupakan langkah lanjutan dari simpulan awal tersebut untuk
semakin memantapkan atau menguji kebenaran informasinya.
Secara lebih jelas, model analisis data tersebut dapat disajikan dalam bagan
berikut.
Bagan 2. Analisis Interaktif (Miles & Huberman, 1992:20)
H. Prosedur Penelitian
Tahapan-tahapan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data untuk menganalisis tentang konflik batin dari
kumpulan cerita Madre. Selain itu, data juga diperoleh dari hasil wawancara
terhadap beberapa narasumber. Pengumpulan data
Reduksi data
Penyajian data
commit to user
2. Reduksi Data
Peneliti menyederhanakan tentang data yang didapat untuk dapat direduksi
sehingga memperjelas tentang permasalahan yang dikaji, yaitu konflik batin
tokoh dalam kumpulan cerita Madre.
3. Penyajian Data
Setelah dilakukan reduksi data, peneliti menyusun data-data yang
diperoleh kemudian mengklasifikasikan data-data tersebut.
4. Penarikan Simpulan
Penarikan simpulan merupakan langkah terakhir dari proses penelitian.
Setelah semua data dikumpulkan dan dianalisis serta dicek kebenarannya maka
langkah berikutnya, yaitu penarikan simpulan berdasarkan data-data yang
commit to user
25 BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Cerpen selalu identik dengan cerita yang singkat, padat, dan jelas.
Konflik-konflik yang terjadi pun disampaikan dengan ringkas, tetapi tidak berbelit-belit.
Oleh karena itu, setiap penulis cerpen harus mampu mengubah konflik yang
panjang menjadi ringkas. Adanya konflik yang padat membuat sebuah cerpen
menjadi menarik karena selesai dalam sekali baca.
Pengarang di dalam menulis sebuah cerpen harus mampu memunculkan
hal-hal baru yang tidak diketahui oleh pembaca sebelumnya. Pengarang harus mampu
membawa pembaca sehingga seolah-olah pembaca masuk di dalam cerita tersebut
meskipun sebenarnya pembaca tidak terlibat secara langsung. Hal ini bukanlah
sesuatu yang mudah bagi pengarang. Namun, Dewi Lestari mencoba menawarkan
sesuatu yang baru di dalam kumpulan cerita Madre.
Di dalam kumpulan cerita Madre ini, Dewi Lestari mencoba memberikan
hal-hal baru yang mungkin tidak pernah terlintas di dalam pikiran pembaca.
Diawali dengan Madre, Dewi Lestari mencoba menyampaikan sebuah kisah
perjuangan anak muda dengan menggunakan bahasa yang ringan dan mudah
dipahami. Tak hanya itu, Dewi Lestari juga mencoba menuliskan sebuah kisah
yang banyak dialami remaja, yaitu cinta.
Madre dan Menunggu Layang-layang sebagai bagian dari kumpulan cerita
Madre sama-sama memiliki konflik batin yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan
tokohnya. Konflik batin-konflik batin yang dialami tokoh digambarkan oleh Dewi
Lestari dengan sangat baik. Setiap tokoh yang ditampilkan memiliki karakternya
masing-masing untuk mendukung jalannya cerita.
Madre dan Menunggu Layang-layang ini dianalisis berdasarkan pendekatan
psikologi sastra. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mengetahui konflik batin
yang terjadi pada tokoh-tokoh di dalam cerita karena setiap konflik batin
commit to user
Kajian ini menitikberatkan pada analisis teks dengan didukung hasil
wawancara untuk menguatkan data yang diperoleh. Unsur-unsur intrinsik, yaitu
tema, tokoh dan penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat tidak
semuanya dianalisis dan dideskripsikan oleh peneliti karena penelitian ini
menggunakan pendekatan psikologi sastra. Namun, peneliti hanya memfokuskan
analisis unsur intrinsik pada tokoh dan penokohan cerpen Madre dan Menunggu
Layang-layang.
B. Kepribadian Tokoh-tokoh dalam Cerpen
Tokoh dan penokohan sebagai bagian dari karya sastra memiliki perannya
sendiri di dalam mendukung alur dan jalannya cerita. Tokoh di dalam sebuah
cerita memiliki karakternya masing-masing. Karakter-karakter tersebut diciptakan
oleh pengarang untuk menyampaikan pesan dari cerita. Dari tokoh dan karakter
inilah sebuah konflik mampu tercipta sehingga pembaca bisa masuk ke dalam
cerita meskipun tidak mengalaminya secara langsung.
Cerpen Madre karya Dewi Lestari memiliki beberapa tokoh sentral, yaitu
Tansen, Pak Hadi, dan Mei. Tokoh-tokoh tersebut memiliki banyak pengaruh
terhadap jalannya cerita. Konflik yang muncul juga lebih banyak dilakukan oleh
tokoh-tokoh tersebut. Di samping tokoh-tokoh sentral tersebut, cerpen Madre juga
didukung oleh tokoh-tokoh yang lain, yaitu Pak Joko, Bu Dedeh, Bu Cory, Bu
Sum, dan pengacara.
1. Tokoh Tansen
Dewi Lestari menggambarkan tokoh Tansen sebagai orang yang
memiliki tanggung jawab terhadap kehidupannya meskipun di Bali tansen
hidup bebas. Tanggung jawab Tansen terhadap kehidupannya ini terlihat
ketika Tansen rela untuk tinggal di Jakarta sampai urusannya dengan Mei
selesai. Selain itu, Tansen juga digambarkan sebagai orang yang pekerja
keras. Tansen berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan toko roti tersebut
meskipun hal itu dilakukan dengan bantuan dan dukungan Mei.
commit to user
a. Dimensi fisiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan fisik. Tokoh
Tansen di dalam cerpen Madre digambarkan sebagai sosok pria yang
memiliki kulit gelap, rambut gimbal, hidung panjang, mata besar berbulu
lentik. Hal tersebut dapat dibuktikan pada bagian kutipan cerita berikut ini.
Keganjilan itu sebegitu mencoloknya. Di tengah TPU etnis Tionghoa, muncul seorang pria berkulit gelap, rambut gimbal, kaus tanpa lengan, jins sobek-sobek. Sendirian. ... Jadilah aku. Tansen Roy Wuisan.
Kulitku menggelap lebih karena jejak matahari. Nama “Tansen”,
hidung panjang, dan mata besar berbulu lentik, adalah jejak India yang tersisa padaku. (Lestari, 2011:3)
b. Dimensi sosiologis, yaitu dimensi yang berhubungan dengan kehidupan
sosial tokoh di dalam cerita. Tokoh Tansen di dalam cerita memiliki
kehidupan yang bebas dan tidak terikat pada siapapun, bahkan dalam hal
pekerjaan. Namun, kehidupan bebas itu memang harus berubah ketika
Tansen memperoleh warisan untuk merawat madre. Hal tersebut dapat
seperti terlihat dalam kutipan berikut ini.
Ayahku, seorang yang berjiwa bebas, melepasku besar begitu saja. Seolah aku ini anak tumbuhan yang bisa cari makan sendiri tanpa diurusi. Masa remaja hingga kini kuhabiskan di Bali. Sendirian. Aku mewarisi jiwa bebas ayahku, kata orang-orang. Kendati batas antara kebebasan dan ketidakpedulian terkadang saru. (Lestari, 2011:3)
Seolah membaca muka laparku, Pak Hadi mengiriskan roti lagi.
“Kerjamu apa di Bali?” ia bertanya.
“Macam-macam. Guide, ngajar surfing, desainer lepasan, penulis
kadang-kadang, ... .” ketidakjelasannya. Tidak tahu pasti. (Lestari, 2011:17)
Kutipan di atas menegaskan secara tersirat bahwa Tansen memiliki
kehidupan yang bebas, seperti ayahnya. Tansen pun memiliki protes
commit to user
Tansen menganalogikan hal tersebut seolah-olah dirinya adalah sebuah
tumbuhan. Namun, Tansen tetap menjalani apa yang memang telah
menjadi jalan hidupnya.
c. Dimensi psikologis, yaitu sebuah dimensi yang mana digunakan untuk
menggambarkan tentang kejiwaan tokoh di dalam cerita. Di dalam cerpen
Madre, Tansen digambarkan memiliki jiwa yang kuat. Kondisi kejiwaan
tersebut digambarkan ketika Tansen memang harus hidup sendiri. Tansen
pun mencoba untuk tetap maju setelah ia mengalami kebingungan
terhadap warisan yang baru diperolehnya dari orang yang tak pernah dia
kenal sebelumnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut ini.
Tepat saat aku tiba di pemakaman orang yang tak kukenal. Siapa aku? Itu pertanyaan pertamaku. Kenapa aku? Itu pertanyaanku berikutnya. (Lestari, 2011:1)
“Nak Tansen ndak pulang ke Bali, toh?” tanya Pak Joko.
“Saya bakal tinggal sampai semua urusan lancar antara Pak Hadi dan Mei,” jawabku. “Saya juga masih harus tanggung jawab soal modal
produksi. Terus terang, modal uang saya nggak punya, Pak. Tapi mungkin saya bisa cari pinjaman ke teman-teman saya di Bali.” (Lestari, 2011:36)
Kutipan di atas menjelaskan bahwa Tansen tetap berusaha untuk
menghidupkan kembali toko roti meskipun sebenarnya ia tidak memiliki
cukup modal untuk melakukan itu. Namun, kelemahan dalam hal modal
tersebut tidak menyurutkan niat Tansen untuk menghidupkan kembali toko
roti. Hal ini dibuktikan dengan usahanya untuk mencari pinjaman.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden, kepribadian
Tansen disebutkan sebagai orang yang bebas dan mengalir. Selain itu,
pertemuannya dengan Pak Hadi dan Mei juga membuat Tansen menjadi orang
yang bertanggung jawab dan mau belajar. Responden pun menyebutkan
bahwa Tansen memiliki keinginan yang kuat untuk menghidupkan kembali
toko roti itu.
2. Tokoh Pak Hadi
Selain Tansen, tokoh lain di dalam cerpen Madre, yaitu Pak Hadi. Pak
commit to user
latar belakang tentang kehidupan Tansen yang justru tidak pernah diketahui
oleh Tansen sebelumnya. Di dalam cerpen tersebut, Pak Hadi digambarkan
sebagai orang yang pekerja keras, sabar, dan ulet untuk menjalani
kehidupannya. Itu ia buktikan dengan baktinya kepada Tuan Tan dan tetap
mempertahankan untuk merawat madre di usia senjanya. Penggambaran Pak
Hadi di dalam cerpen tersebut, yaitu sebagai berikut.
a. Dimensi fisiologis yang berkaitan dengan fisik, Pak Hadi digambarkan
sebagai seseorang yang sudah tua, berusia sekitar 80 tahun, memiliki muka
yang mulai keriput, kedua cuping telinga yang melebar, di seputar pipi
terdapat vlek, dan memiliki tubuh yang kurus, tetapi tegap. Hal tersebut
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
Laki-laki Cina tua berbaju olahraga menyambutku. Usianya mungkin sudah 80-an, terbaca dari keriput mukanya yang sudah menyerupai lipatan, taburan vlek di seputar pipinya, dan kedua cuping telinga yang melebar. Meski bola matanya mulai kelabu, sorot tatapannya tetap tajam. Tubuhnya kecil ramping dan posturnya tegap. Anehnya, ia melihatku dengan muka bosan seolah kami sudah bertemu ratusan kali, atau sudah ratusan hari dia menungguku. (Lestari, 2011:6)
“Baru bangun? Waduh. Kalau tukang bikin roti harusnya bangun dari Subuh.”
“Anak muda itu, kalau pekerjaannya bukan satpam shift malam ya,
bangun pagilah. Ikut tai chi dulu sama saya di lapangan dekat sini.”
“Rajin juga Pak Hadi,” aku nyengir. (Lestari, 2011:19)
b. Dimensi sosiologis yang berkaitan dengan tingkah laku sosial Pak Hadi di
dalam cerpen Madre digambarkan sebagai orang yang memiliki prinsip
dan sabar. Selain itu, Pak Hadi merupakan seorang yang beretnis Cina.
Sikap taat dan patuh pada pemimpinnya juga melekat dalam diri Pak Hadi.
Namun, di sisi lain Pak Hadi juga memiliki sifat sebagai pengalah ketika
memang sesuatu bukan lagi menjadi haknya. Kutipan yang menegaskan
penjelasan tersebut adalah sebagai berikut.
“Kan saya udah bilang. Buat Pak Hadi aja.”
“Ndak bisa. Cuma kamu yang boleh mengurus madre.” (Lestari,
commit to user
“Besok saya ajarken bikin roti. Sayang. Sudah punya madre tapi ndak
dijadiken apa-apa. Nih, tolong kembaliken ke kulkas.” (Lestari,
2011:16)
“Semua harus ditimbang. Persis. Kalau mau rasa konsisten, jangan
pakai ilmu kira-kira. Ayo, kamu yang timbang.”
“Berapa roti yang kamu tahu?” tanya Pak Hadi. “Roti keju, cokelat, kacang, susu, ... .”
“Itu isinya!” Pak Hadi setengah mengomel. “Yang saya maksud itu:
roti putih, roti gandum utuh, bagel, foccacia, pita, baguette... tahu ndak?
“Nggak,” jawabku ketus, “Terus, habis ini apa?” “Kita campur semua.”
“Pakai itu, Pak?” Aku melirik mixer besar yang nganggur di pojok
lemari.
“Pakai tangan. Kamu harus belajar nguleni. Madre juga perlu kenal
tanganmu.” (Lestari, 2011:21)
Penjelasan di atas menegaskan bahwa meskipun Pak Hadi sudah tua,
ia tetap mengajari Tansen untuk membuat roti sebagaimana mestinya. Hal
itu menunjukkan bahwa Pak Hadi seorang penyabar. Model didikan yang
kuat pun diberikan Pak Hadi kepada Tansen dengan tegas, terutama dalam
hal membuat roti.
c. Dimensi psikologis berkaitan dengan kejiwaan tokoh. Pak Hadi memiliki
jiwa yang setia kepada pemimpinnya. Hal itu dibuktikannya selama
bertahun-tahun kepada Tan meskipun kerja tanpa digaji ketika memang
omzet Tan de Bakker sudah tak banyak. Tan juga mau menjaga madre
sampai menemukan keturunan Tan, Tansen. Dia rela untuk menetap di
ruko tua itu sendirian. Namun, Tan memiliki karakter yang tegas. Hal
tersebut dibuktikan dalam bagian kutipan berikut ini.
“Toko sudah ndak ada untung, cuma cukupan buat gaji pegawai, tapi Tan terus bertahan. Katanya, madre jangan dibikin nganggur.”
“Madre?”
“Karyawan di sini cuma lima orang. Bisnis nyusut terus. Lama-lama
kami kerja ndak digaji. Akhirnya nyerah juga dia. Ndak tega sama
kami,” Pak Hadi tersenyum kecut. “Yang penting, madre jangan