TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP
PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS
( NOODWEER EXCES
) DALAM PIDANA PEMBUNUHAN
( Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013.PN JTH )
SKRIPSI
Oleh :
Mochamad Roikhul K
NIM. C03213036
Prodi Hukum Pidana Islam
Jurusan Hukum Publik Islam
Fakultas Syari
’
ah Dan Hukum
ABSTRAK
Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH), merupakan hasil penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: pertama, Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana
pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH), dan Bagaimana
Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH).
Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya
diolah dengan beberapa tahap yaitu editing, yaitu pemeriksaan kembali
terhadap semua data yang telah diperoleh. Organizing, yaitu menyusun dan
mensistematika data yang telah diperoleh, dan analyzing, yaitu menganalisis
data yang telah dihimpun, berupa Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH dari Pengadilan Negeri Jantho dengan menggunakan Metode Deskriptif Analisis. Selanjutnya menyimpulkan dan dianalisis dari sudut pandangan hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana islam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim kurang tepat menjatuhkan putusan 7 (tujuh) tahun penjara terhadap terdakwa karena terdakwa merupakan orang yang melakukan pembelaan diri. Majelis hakim dalam memutuskan perkara tidak memperhatikan fakta – fakta persidangan, karena dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat (visum et repertum) kesemuanya menyatakan bahwa terdakwa melakukan pembelaan diri yang dilakukan secara berlebihan untuk menghindari serangan korban yang sudah berulang. Dalam kondisi demikian majelis hakim harus memutuskan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan penuntut umum karena adanya alasan pemaaf (Noodweer Exes).
Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan semua hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, seperti halnya tujuan Pengadilan Negeri Jantho adalah untuk memberikan keadilan mengenai perdata dan pidana. Maka dari itu, disarankan bagi para legislator dan penegak hukum agar dapat memasukkan dua unsur
penting dalam perundang – undangan atau putusan – putusannya, yakni
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 9
C. Batasan Masalah ... 10
D. Rumusan Masalah ... 11
E. Kajian Pustaka ... 11
F. Tujuan Penelitian ... 12
G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13
H. Definisi Operasional ... 14
I. Metode Penelitian ... 15
BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Islam ... 21 1. Pengertian Pembunuhan ... 21
2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana
Islam ... 22 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan ... 25
B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana
Islam ... 26
1. Pengertian Daf’u al-sail (menolak penyerangan atau pembelaan
diri) ... 26
2. Syarat-syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana ...
Islam ... 29
3. Pembelaan Diri Melampaui Batas Yang Diperbolehkan ... 32
4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum ... 34
BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR
201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN
A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho ... 36
B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor
C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.JTH... 43
D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor .. 201/Pid.B/2013/PN.JTH... 46
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 49
B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 55
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri,
dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum
diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan
kebenaran,kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup
di dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi
manusia terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan
hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara
kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi
yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran
mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.1
Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah
laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya
tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata
tertib di dalam masyarakat.2 Namun dengan adanya statemen di atas
bukan berarti seseorang tidak akan melakukan suatu tindak kejahatan
yang merugikan orang lain.
Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan
larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah.
2
Pakar fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan
tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman
h}ad atau takzir. Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha
memaknai kata tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau
anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan
kandungan dan sebagainya.3
Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan
berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk
mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut
al-maqasidu al-khamsah yaitu yang terdiri dari h}ifz} al-nafs (menjaga jiwa),
h}ifz} al-‘aql (menjaga akal), h}ifz} al-d>in (menjaga agama), h}ifz} al-m>al
(menjaga harta) dan h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan). Lima hal pokok ini,
wajib diwujudkan dan dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan
yang bahagia di dunia dan diakhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan
memelihara lima pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus
dilakukan oleh umat Islam.4 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup
dalam masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan
seperti hukum barat, konsepsi hukum islam yaitu dasar dan kerangkanya
ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia dengan
3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 2.
3
Tuhannya, manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan
manusia dengan lingkungannya.5
Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup
merdeka dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri ataupun
pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa
alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia.
Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka ia diibaratkan memelihara seluruh manusia. Jika terjadi
pembunuhan, maka pelaku wajib bertanggungjawab. Permasalahannya,
adalah jika pembunuhan yang disengaja tersebut dilakukan dalam upaya
membela jiwa, kehormatan, maupun harta benda baik milik sendiri
ataupun orang lain.
Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah
daf‘us sha’il, dalam hukum Islam, pertanggung jawaban pidana dapat
dihapus karena pertama, hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan yang
dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asba>b al-iba>hah
atau sebab diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu
pembelaan yang sah, mendidik, pengobatan, permainan kesatriaan,
halalnya jiwa,anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban
penguasa. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pelaku atau perbuatan
yang dilakukan tetap dilarang tapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman
4
yang disebut asba>b raf‘i al-u‘qu>bah atau sebab dihapusnya hukuman. Diantaranya yaitu paksaan, mabuk, gila dan anak kecil (bawah umur).
Utrecht menyatakan bahwa, semua perbuatan yang bertentangan
dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum
pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melanggar hukum
(wederrechtelijke handeling). Di antara pelanggaran hukum itu ada
beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan
suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh
KUHPidana dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana (strafbaar feit).
Tetapi kadang-kadang dilakukan sesuatu perbuatan yang konkrit tidak
dipandang sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum, walaupun
KUHPidana menyebutkan sebagai suatu peristiwa pidana. Perbuatan itu
tidak dapat dikenai hukuman, karena suatu sebab yang dapat
menghapuskan suatu sifat melawan hukum itu. Di sini ada alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukum itu (rechtvaardigings ground).
Karena alasan ini maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan
hukuman, yaitu perbuatan konkrit itu bukan peristiwa pidana (geen
strafbaar feit).6
Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan
dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman atau pidana kepada
pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah
melakukan suatu tindak atau perbuatan pidana. Alasan-alasan tersebut
5
dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah
peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini
menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan
delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang yang
seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini,
menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang
konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus
dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.7
Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat
melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka
alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga
dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada
umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait
justificatief.
Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB III Pasal 49 Ayat 1
yang berbunyi :
“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda baik untuk diri sendiri
maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.8
Pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP Pasal
49 Ayat 2 yang berbunyi :
7 Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014), 27.
6
“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh goncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan
itu, tidak dipidana”.9
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van
Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa
yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”.
Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak
dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan
kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan
pembelaan terpaksa yang melampaui batas sedangakan dalam hukum
Islam tidak diatur secara jelas pembelaan yang diperbolehkan dan juga
sanksi bagi pelaku pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya
berdasarkan firman Allah :
ِبَِهيَلعْاودتعآفَمُكيَلعَىدتعآَِنمَف
مُكيَلعَىَدتعآَامَِلْثِم
َ
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.” 10
Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran
menyerang balik ketika diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan
sanksi bagi penyerang jika melebihi batas serangan. Alasan penghapus
pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang
harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa),
9 Ibid.
7
meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi
tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik
dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran
daaddaderstrafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :11
a. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan
tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di
Negara Anglo saxon.
b. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang
menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggung
jawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens
rea di Negara Anglo saxon.
Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk
membahas judul tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam
Tindak Pidana Pembunuhan. Yang pertama, Islam sangat melindungi hak
hidup seseorang. Hal ini terbukti dalam tujuan syarak atau yang lebih
dikenal dengan al-maqashidu al-khamsah (panca tujuan) salah satunya
memelihara jiwa. Alquran telah banyak menjelaskan tentang sanksi
berkenaan dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Diantara jenis-jenis
hukum kisas disebutkan dalam Alquran ialah kisas pembunuh, kisas
anggota badan dan kisas dari luka. Semua kejahatan yang menimpa
8
seseorang hukumanya adalah dianalogikan dengan kisas yakni berdasar
atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah
tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman kisas.12 Begitupun dalam hukum
positif juga diatur sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang
terberat.
Kedua, dalam KUHP BAB III tentang pembebasan hukuman
pidana Pasal 49 Ayat 1 tetang pembelaan terpaksa, dan juga dalam hukum
pidana Islam diatur pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab
diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui
apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya,
maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal
tersebut dan tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaan yang
diperbolehkan. Begitu juga dalam KUHP Pasal 49 Ayat 2 tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan
batas yang diperbolehkan.
Terdapat kasus pembelaan diri yang menimpa Jabar dari Jantho
Aceh Besar, pada saat dia mau kembali ke rumah adiknya dia bertemu
dengan Muzakir yang memang telah mencarinya berulang kali. Muzakir
memang sudah emosi dengan Jabar yang telah membawa pergi adik
iparnya ke Medan, Muzakir memang sudah bermaksud untuk membunuh
Jabar dan pada saat itu terjadilah pertengkaran. Dalam pertengkaran
tersebut Muzakir membawa parang dan langsung membacok Jabar
9
berulang kali dan mengenai tangan dan kepalanya, Jabar menangkis lagi
dengan helm dan merebut parang dari Muzakir dan membalas membacok
hingga hilangnya nyawa karena untuk membela diri.
Di kasus ini Jabar dinyatakan bersalah dan dihukum 7 tahun
penjara. Tetapi jika dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi
syarat pembelaan terpaksa, seharusnya Jabar bebas dari segala tuntutan
hukum. Berarti di sini Jabar yang melakukan pembelaan diri yang
melampaui batas tetapi pada dasarnya tidak menginginkan akibat hukum
terhadap seseorang karena dia dalam keadaan darurat, sehingga terpaksa
melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan
kehormatannya.
Dari persoalan diatas, penulis merasa perlu untuk meneliti
masalah diatas menjadi sebuah penelitian berjudul : Tinjauan Hukum
Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas
(Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.Jantho).
B. Identifikasi Masalah
Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis
mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:
1. Seseorang bisa dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa
10
2. Sanksi apa yang dijatuhkan kepada pelaku tindakan terpaksa
berlebihan.
3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.
4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.
5. Tinjauan Hukum Pidana Islam dalam kasus pembelaan terpaksa
melampaui batas.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar
permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan
karya ilmiah dengan batasan:
1. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam tindak pidana
pembunuhan karena membela diri dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN-JTH.
2. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
Pengadilan Negeri Jantho pada Putusan Nomor
11
D. Rumusan Masalah
Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran
yang tertuang dalam latar belakang masalah tersebut maka diperlukan
adanya rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa
melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana pembunuhan
( Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?
2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan
hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces)
bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti
dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pembahasan dan
topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada
pengulangan materi secara mutlak. Dalam penelusuran awal, sampai saat
ini penulis menemukan penelitian atau tulisan yang sedikit kemiripan
dalam penelitian yang dilakukan penulis, diantaranya yaitu penelitian :
Skripsi karya Khusnul Hotimah tahun 2013 dari UIN Syarif
12
MA Nomor 1445K/Pid/2011)”13. Pada skripsi ini membahas tentang alasan pemaaf bagi pelaku pembunuhan.
Skripsi karya Tathmainul Qulub tahun 2011 dengan judul
“Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP”.14 Penulis skripsi ini lebih membahas secara umum, tidak membahas secara spesifik. Sedangkan pada skripsi ini
penulis menganalisis dari sisi Putusan hakim Nomor 201/Pid.B/2013 PN
Jantho dan sisi hukum pidana Islam, jadi dalam skripsi ini lebih spesifik
langsung dalam contoh kasus.
Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan
dari penelitian sebelumnya. Dan menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa
pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana
pembunuhan perlu diteliti lebih lanjut.
F. Tujuan Penelitian
Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, maka tujuan penelitian
yang ingin dicapai penulis antara lain:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan
Negeri Jantho terhadap tindak pidana pembunuhan karena membela
diri Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.
13 Khusnul Hotimah, “Alasan Pemaaf Atas Tindak Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan MA No. 1445K/Pid/2011)” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013).
13
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana islam terhadap
pertimbangan hakim dalam tindak pidana pembunuhan karena
membela diri pada Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor
201/Pid.B/2013/PN-JTH.
G. Kegunaan Hasil Penelitian
1. Secara teorotis (keilmuan)
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan
pemikiran bagi mahasiswa fakultas Syariah khususnya prodi Hukum
Pidana Islam dan sebagai bahan informasi pendahuluan yang penting
bagi peneliti yang mungkin mirip di masa mendatang atau sebagai
bahan informasi pembanding bagi peneliti lama yang serupa namun
berbeda sudut pandang. Serta berfungsi juga sebagai tambahan
literatur Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya.
2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dalam menganalisis dan argumentasi hukum yang
diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegak
hukum bagi terciptanya suasana yang adil dan kondusif serta
menjamin kepastian hukum bagi hak-hak rakyat. Dengan demikian,
dapat ikut memberikan andil mengupayakan pemikiran ilmiah dalam
bidang hukum yang diharapkan bermanfaat untuk terciptanya
14
Undang Dasar serta alquran dan alhadis. Serta sebagai bahan acuan
atau literatur bagi praktisi hukum, dosen, peneliti, mahasiswa hukum,
dan para pembaca yang secara umum bergelut dalam bidang hukum.
H. Definisi Operasional
Adapun untuk mempermudah pemahaman serta terhindar dari
salah pengertian terhadap istilah dalam penelitian ini, maka perlu
dijelaskan sebagai berikut :
1. Hukum pidana Islam adalah ilmu tentang hukum syarak yang
berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan
hukumannya (Uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.
Dalam hal ini subyek pemikiran yang digunakan pada skripsi ini
adalah hukum pidana islam tentang pembunuhan.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah Tindakan yang
dilakukan untuk membela diri sendiri maupun orang lain secara
berlebihan terhadap kehormatan kesusilan karena ada serangan atau
ancaman serang yang sangat dekat pada saat itu juga, dan serangan
tersebut bias mengakibatkan goncangan jiwa. Serta yang akan diteliti
adalah Putusan hakim pada kasus tindak pidana pembunuhan karena
membela diri di Pengadilan Negeri Jantho Nomor
15
I. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan
data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian sendiri berarti
sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina,
serta mengembangkan ilmu pengetahuan.15 Dalam hal ini, dapat dipahami
bahwa metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu
serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan
menggunakan metode atau teori ilmiah sehingga mendapat kesimpulan
yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang
dihadapi, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Metode penelitian dalam hal ini akan mengarahkan penelitian
tersebut sehingga penelitian dapat mengungkap kebenaran secara
sistematis dan konsisten.
Metode yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan cara
penelitian yuridis, yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai
analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur permasalahan diatas.
16
1. Data yang dikumpulkan
a. Data primer
Data primer dari penelitian ini adalah kronologi kasus, fakta-fakta
persidangan, pertimbangan hakim dan putusan hakim dari
Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH tentang
pidana pembunuhan karena membela diri.
b. Data sekunder
Data sekunder dari penelitian ini beberapa bahan bacaan dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.
2. Sumber data
a. Sumber primer
Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data16, serta yang akan ditulis
pada bab III yaitu salinan putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor
201/Pid.B/2013/PN.JTH.
b. Sumber sekunder
Adapun bahan sekunder adalah bahan yang diambil dari
bahan bacaan yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat
penulis berupa: surat kabar, jurnal, makalah, ensiklopedia dan
lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.
Diantaranya :
17
1) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005).
2) Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008).
3) Ahmad Hanafi, M.A, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1967 ).
4) Achmad Djazulli, Fikih Jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada,
2000).
5) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1992).
6) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012).
7) Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam.
3. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini meliputi :
a. Dokumentasi, yaitu teknik mencari data dengan cara membaca dan
menelaah data dalam hal ini Direktori Putusan Pengadilan Negeri
Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013. Teknik ini digunakan untuk
memperoleh data tentang dasar hakim tentang putusan kasus
tindak pidana pembunuhan.
b. Kepustakaan, yaitu teknik menggali data dengan cara menelaah
buku-buku dan literatur-literatur. Teknik ini digunakan untuk
18
4. Teknik pengolahan data
Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut
kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:17
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang berkaitan
dengan tindak pidana pembunuhan yang diperoleh dari berbagai
buku dan dokumen-dokumen mengenai topik penelitian terutama
kejelasan makna, dan keselarasan antara data satu dengan yang
lainnya.
b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis mengenai kajian
hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas
(Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan (Analisis putusan
putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013).
c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap putusan hakim
Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013 dan fikih jinayah
dengan hasil pengorganisasian dalam data dengan menggunakan
kaidah, teori, dalil hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai
jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.
5. Teknik analisis data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan
mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar
19
sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan seperti yang
dibutuhkan oleh data.
Teknik analisis penelitian ini menggunakan teknik deskriptif
analisis dengan pola pikir deduktif.
a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan dan
menjelaskan data apa adanya data tentang pembunuhan karena
membela diri direktori Pengadilan Negeri Jantho Nomor:
201/Pid.B/2013, kemudian dianalisa dengan menggunakan teori
hukum pidana islam tentang pembunuhan.
b. Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari variabel yang
bersifat umum dalam hal ini teori jinayah pembunuhan, kemudian
diaplikasikan pada variabel yang bersifat khusus dalam hal ini ini
dasar putusan hakim dalam kasus pembunuhan karena membela
diri.
J. Sistematika Pembahasan
Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka
pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing
mengandung sub bab penulis membuat sistematika pembahasan sebagai
berikut :
Bab pertama menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam
meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang
20
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan
hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua berisi tentang landasan teori tentang pembunuhan
dalam ruang lingkup hukum pidana islam. Serta membahas tentang
landasan teori tentang pembelaan terpaksa melampaui batas.
Pembahasan ini juga meliputi pengertian pembelaan melampui batas dan
batasannya, macam – macam pembelaan, syarat pembelaan, alasan penghapus hukuman dalam pertanggung jawaban pidana.
Bab ketiga ini membahas tentang putusan hakim terhadap pelaku
tindak pidana pembuhuan karena membela diri direktori putusan
Pengadilan Negeri Nomor 201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar, isi
putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.
Bab keempat ini membahas tentang analisis masalah Tinjauan
Hukum Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam
Tindak Pidana Pembunuhan terhadap putusan Pengadilan Negeri Nomor
201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar.
Bab kelima ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
BAB II
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian Pembunuhan
Pembunuhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar
“bunuh” yang artinya mencabut nyawa. Setelah mendapatkan imbuhan
berupa awalan dan akhiran (pe-an) yang menyebabkan membentuk kata
“pembunuhan”, memiliki arti proses, perbuatan, atau cara membunuh.18 Sedangkan dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut dengan istilah al-qatl
yang berasal dari kata dasar qatala yang berarti mematikan.
Menurut Syarbini Khatib, sebagaimana dikutip oleh Wahbah
Zuhaili, pembunuhan adalah “perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.19Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah,
pembunuhan adalah “perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan
yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan
sebab perbuatan manusia yang lain”.20
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa definisi pembunuhan
adalah cara untuk menghilangkan nyawa manusia yang dilakukan oleh
manusia lainnya dengan adanya suatu sebab perbuatan.
22
2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam
Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua
golongan, yaitu: 21
a. Pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur
permusuhan dan penganiayaan.
b. Pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak
dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang
dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman kisas.
Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa
tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1) Pembunuhan sengaja ( qatl al’- amd )
Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan
terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya
mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung
atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti
menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang
vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum
menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan
memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa
pada kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan
tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan menggunakan
23
alat yang dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban,
merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.22
Al-Quran dan Al-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini
secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah
berfirman dalam al-Quran :
ُهل مكمح يِتلل مسُف للُل تُقمت امو
ِقمحُلِاب َاِإ
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.23 Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :
a) Korban adalah orang yang hidup.
b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.
c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.24
Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan
sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf
kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat
yang pada umumnya dapat menyebabkan mati.25 Sedangkan menurut
Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh,
artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang
itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan.
22 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012), 24.
23 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 285.
24
24
2) Pembunuhan menyerupai sengaja ( qatl syibh al-‘amd )
Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi
sengaja yaitu :
a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.
b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.
c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan
kematian korban.26
3) Pembunuhan kesalahan ( qatl al-khata’ )
Menurut Sayid Sabiq, pembunuhan karena kesalahan adalah
apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang boleh dikerjakan,
seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi
kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatanya dan
membunuhnya.27
Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan karena kesalahan adalah
pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik dalam
perbuatannya maupun obyeknya.28
Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu :
a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian.
b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan.
c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan
kematian korban.29
26
H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000), 132. 27 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II.... ,438.
25
3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan
a. Sanksi pembunuhan sengaja
Pelaku pembunuhan sengaja, pihak keluarga korban dapat
memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu :30
1) Kisas, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan
korban.
2) Diat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor
unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk
lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan
kepada pihak keluarga korban.
3) Pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau
tanpa syarat.
b. Sanksi pembunuhan semi sengaja
Hukuman pokok pada pembunuhan sengaja adalah diat dan
kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir
dan hukuman tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan
dan wasiat.31
Adapun jenis – jenis diat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan jenis diat dam pembunuhan sengaja, yaitu menurut
Imam syafi’i adalah unta, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam
29
H.A. Djazulli, Fikih Jinayah ...,134 – 135.
26
Malik adalah unta, emas, dan perak, sebagaimana dijelaskan di
depan.
Adapun waktu pembayaran diat pembunuhan semi sengaja
adalah tiga tahun sejak meninggalnya korban menurut Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah
mulai jatuh vonis atas pembunuhan. Kafarat merupakan hukuman
pokok dalam pembunuhan semi sengaja.
c. Sanksi pembunuhan kesalahan
Hukuman pokok dalam pembunuhan kesalahan adalah diat dan
kafarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan
hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak
mendapat wasiat.32
B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam
1. Pengertian daf’u al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri)
Menurut istilah yang dinamakan daf’u al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya
atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya
atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran
dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat
wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai
hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat
27
penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.33 Dasar pembelaan
diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT :
َ كَي مع مدمتَعآ ام ِلُثِ ِب ِهَي معُلو دمتَع ف َ كي مع مدمتَعآ ِ م ف
“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.”34
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah
suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang
lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi
berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak.
Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka
seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya,
tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila
dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan
berdosa ketika meninggalkannya.35
Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, dalam kaidah-kaidah fikih
dijelaskan, yaitu :
حَيب ت تلمرَو كضل
ِتلمرَ ظَحم ُلل
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”.36
33 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy...., 138.
34 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 30. 35 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). 211.
28
QS Al Baqarah ayat 173 :
مو ٍ امبمكَي غ ك طَضل ِ م ف
ِِهَي مع م ُثِْ ا فا اع ا
Artinya: Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tidak dosa baginya.37
Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan
yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang
benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam
kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan
maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk
membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak
bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban
hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap
jiwanya.38
Ulama yang mengatakan ditegakkannya pembelaan diri
menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain,
pengertian tersebut mengarah dalam segala keadaan bahwa manusia
berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan
terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta
29
pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan
terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.39
2. Syarat-Syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam
a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan
yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan
yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh
dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik
oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan
oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh
orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau
pendidikan atau algojo yang melaksanakan tangan terhadap
terhukum sebagai pelaksanaan tugas.40
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang
diancam dengan hukuman, cukup dengan perbuatan yang tidak sah
(tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan
dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat
dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan
harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan
oleh orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi,
39 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum . . . , 213.
30
apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan
hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya
tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya
berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan
gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus
berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya
tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban
pidana.41
Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang,
bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan
pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai
penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan
dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka
tindakan itu dapat dibenarkan.42
b. Penyerangan harus terjadi seketika
Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang
baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan
dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila
benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila
terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum
terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika
41 Ibid., 480.
31
ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus
dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau
melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.43
c. Tidak ada jalan lain untuk mengelak serangan
Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara
tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak
serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan
senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat
membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah
dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut
dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha
berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari
serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan
sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu
dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut
sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk
membela diri.44
d. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu
bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan
demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara
43 Ibid., 91.
32
pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa
dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.45
Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang
sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam
perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya
penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang
yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai
berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang,
dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan bahkan bila
diperlukan maka boleh membunuhnya.46
3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan
Seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih
besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas
tindakannya itu. Sebagai berikut :47
a. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun
orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus
tanggungjawab atas pemukulan tersebut.
b. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang
yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab
atas pelukaan itu.
45 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 91. 46 Ibid., 93.
33
c. Jika serangan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang
diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas
pembunuhan itu.
d. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar
lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.
e. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang
diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka
harus bertanggungjawab atas tindakannya itu.
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan)
dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan
mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah
lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya:
apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah
karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan
membunuhnya, si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan
atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja
melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang
tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah
perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab
atas penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.48
34
4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum
Adapun sumber hukum pembelaan umum, atau amar ma’ruf dan nahi munkar ialah ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW diantara
ayat-ayat Alquran tersebut ialah :
ُللمو ِ ُثْإل ى مع لَ مو اممت امو م ُقتللمو ِكِبُلل ى مع لَ مو اممت مو
ِ لمو َد
Artinya : Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa, dan janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya. (Al-Maidah,2).49
Dari hadits ialah hadits riwayat Abu sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran), kemudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya (mulut). Kalau tidak dapat maka dengan hatinya, dan ini adalah iman selemah-lemahnya.50
Di kalangan fuqaha sudah disepakati bahwa pembelaan umum
atau amar ma’ruf nahi mungkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan. Pembelaan umum tersebut diadakan dengan maksud agar
masyarakat berdiri di atas kebajikan dan supaya anggota-anggotanya
35
ditumbuhkan atas keutamaan dan dengan demikian maka angka-angka
jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.51
Menyuruh kebaikan (amar ma’ruf) bisa berupa perkataan seperti
ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan
seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga
gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk
mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang
kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang
orang lain minum-minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan
adalah menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang
seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain
agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.52
Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam
pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan
orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan
tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan dengan prinsip dasar
syariat, yaitu dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya
kesanggupan, adil dan izin (persetujuan).53
51 Ahmad Hanafi, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),219. 52 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 95.
BAB III
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG
PIDANA PEMBUNUHAN
A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho
Pengadilan Negeri Jantho terletak di Jalan.T. Bakhtiar P. Polem,
SH, Kota Jantho Kab Aceh Besar. Pengadilan Negeri Jantho termasuk
dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Wilayah hukum Pengadilan Negeri Jantho meliputi seluruh daerah
di Kabupaten Aceh Besar yang memiliki 23 kecamatan, meliputi
Kecamatan Baitusslam, Kecamatan Blang Bintang, Kecamatan Darul
Imarah, Kecamatan Darul Kamal, Kecamatan Darussalam, Kecamatan
Indrpuri, Kecamatan Ingin Jaya, Kecamatan Kota Jantho, Kecamatan
Krueng Barona Jaya, Kecamatan Kuta Baro, Kecamatan Kuta Cot Glie,
Kecamatan Kuta Malaka, Kecamatan Lembah Seulawah, Kecamatan
Leupung, Kecamatan Lhoong, Kecamatan Masjid Raya, Kecamatan
Montasik, Kecamatan Peukan Bada, Kecamatan Pulo Aceh, Kecamatan
37
B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.JTH
Dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana terungkapnya
terdakwa melakukan pidana pembunuhan dan bagaimana cara membela
diri dalam kasus ini. Isi pokok dalam kasus ini adalah :
Bahwa terdakwa Muhammad Jabar Bin (alm) Mahmud Pada hari
Selasa tanggal 09 Juli 2013 sekitar pukul 17.00 wib atau setidak-tidaknya
pada waktu lain, dalam bulan Juli Tahun 2013 bertempat di Desa Lamcot
Kec. Darul Imarah Kab.Aceh Besar, atau setidak-tidaknya pada suatu
tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jantho,
dengan merampas nyawa orang lain dengan cara sebagai berikut :
Pada hari selasa tanggal 09 juli 2013 sekira pukul 17.00 wib di
Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar, pada awalnya
terdakwa mengendarai sepeda motor yang tujuannya untuk mengambil
obeng di rumah terdakwa, kemudian pada saat sampai di persimpangan Lr
Tgk Hamid Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar terdakwa
melihat ada kerbau milik korban Muzakir lalu terdakwa berpikir kalau ada
kerbau pasti ada korban Muzakir dan kemudian terdakwa langsung
berhenti lalu pada saat terdakwa berhenti keluar dari belakang kedai kopi
korban muzakir sambil menenteng sebilah parang, lalu pada saat itu juga
terdakwa berniat akan pergi dengan memutarkan sepeda motor yang di
kendarai terdakwa di karenakan korban muzakir sudah dekat dan
38
sepeda motor terdakwa lalu mendatangi korban sambil membuka helm
dan pada saat itu korban mengatakan “ MATI KAU NI HARI “ lalu
korban langsung membacok kepala korban dengan parang sebanyak satu
kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi pada saat itu juga
terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu pada saat itu juga
terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang ke arah parang
yang di pegang oleh korban sehingga parang yang dipegang oleh korban
terjatuh kemudian parang tersebut terjatuh dan terdakwa mengambil
parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian
leher sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban
terjatuh terdakwa berupaya untuk melarikan diri dengan menggunakan
sepeda motor milik terdakwa sendiri.
Fakta – fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut – turut berupa, Keterangan saksi – saksi :
1. Saksi Nurdin Bin M. Mahadi adalah abang korban dan berikut
keterangan saksi :
a. Saksi mengetahui ada permasalahan antara korban dan
terdakwa yaitu isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim yang
bernama Nurlina selingkuh dengan terdakwa dan terdakwa
melarikan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim ke medan lalu
menikah di sana. Bahwa perselingkuhan antara terdakwa dan
isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim diketahui saksi Aji
39
melihat terdakwa dan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim
sedang berhubungan badan di dapur rumah saksi Aji Ibrahim
Bin Ibrahim pada malam hari.
b. Bahwa korban saat ini telah meninggal dunia akibat dibacok
oleh terdakwa, saksi juga mengetahui bahwa sebelum kejadian
ini telah terjadi perkelahian. Saat saksi tiba di tempat kejadian,
terdakwa tidak ada di sana, serta mengetahui bahwa parang
yang berada disana adalah milik korban dan kejadian sekitar
pukul 16.00 WIB. Saksi juga mengetahui bahwa terdakwa
yang membacok korban.
2. Saksi Muhammad Yahya Bin (alm) Usman, pada pokoknya
menerangkan, Saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah
mengganggu istri saksi Aji Ibrahim dan mengetahui korban sangat
marah dan mengejar terdakwa. Saksi juga ikut memandikan
korban dan melihat bekas bacokan di leher korban.
3. Saksi Bunawar Bin (alm) Arafat, menerangkan bahwa mengetahui
koban sudah ada dendam pada terdakwa karena melarikan istri Aji
selama 2 tahun. Pada saat saksi tiba di tempat kejadian korban
sudah berdarah dan meninggal.
4. Saksi Aji Ibrahim Bin (alm) Ibrahim, pada pokoknya menerangkan
sebagai berikut:
a. Saksi adalah adik kandung korban dan suami perempuan yang
40
Pada hari dan tanggal yang tidak saksi ingat lagi, saksi pulang
ke rumah untuk mengambil air dan Kartu Keluarga yang
disimpan di rumah. Setibanya di rumah saksi langsung masuk
dan menuju dapur. Ketika itu lampu dapur dalam keadaan
mati. Saat lampu telah menyala saksi melihat celana
perempuan yang ternyata celana isteri saksi dan celana
terdakwa.
b. Atas kejadian tersebut saksi ada melapor ke pihak kepolisian,
karena pada saat itu antara saksi dan isteri saksi masih
berstatus suami isteri sedangkan terdakwa masih bujangan.
c. Bahwa saksi tidak melihat kejadiannya. Saksi mengetahui
kejadian tersebut setelah diberitahukan oleh keluarga melalui
handphone. Ketika saksi tiba di tempat kejadian korban sudah
meninggal dunia
d. Bahwa di tempat kejadian ditemukan sebuah helm milik
terdakwa dan sebilah parang tetapi bukan milik korban tetapi
milik pak ciknya. Bahwa antara keluarga terdakwa dan
keluarga korban tidak ada perdamaian.
5. Saksi Siti Rahmah Binti (alm) Muhammad Amin, pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut:
a. Saksi mengetahui tentang adanya perkelahian antara terdakwa
dan korban. Ketika itu saksi hendak pergi ke rumah saudara,
41
samping toko dan melihat terdakwa dan korban sedang
berkelahi di belakang toko, perkelahian tersebut kira – kira sekitar 5 menit
b. Pada saat itu juga saksi berhenti dan melihat ditangan
keduanya masing-masing memegang parang, tetapi saksi tidak
dapat memastikan apakah parang yang dipegang keduanya
sama atau tidak. Yang pasti keduanya memegang parang;
c. Saksi melihat keduanya terjatuh ke tanah dan mengeluarkan
darah, kemudian saksi menutup mata, pada saat membuka
mata saksi melihat korban sudah tertidur dan terdakwa sudah
tidak ada lagi di tempat kejadian.
d. Setibanya di tempat kejadian saksi melihat terdakwa turun
dari sepeda motor merk Honda Shogun milik adik terdakwa
dan helm berwarna putih bergambar, korban lebih dahulu
mendekati terdakwa dengan berjalan terburu-buru sambil
membawa dan mengacungkan parang, terdakwa turun dari
sepeda motor dan berjalan juga mendekati korban.
e. Bahwa yang pertama kali mengayunkan parang adalah korban
sebanyak beberapa kali, yang pertama kali jatuh adalah
terdakwa karena terkena parang di kepalanya. Terdakwa juga
menangkis dengan menggunakan jaket.
6. Saksi Yusran Mahmud Bin (alm) Mahmud, menerangkan 2 hari
42
dengan cara memotong – motong ban sepeda motor. Saksi juga mengetahui bahwa keluarga terdakwa pernah berusaha untuk
melakukan perdamaian tetapi keluarga korban tidak mau
berdamai. Terdakwa ditangkap pada malam hari itu juga dan
setelah 5 hari baru dilakukan penahanan.
7. Saksi Khaira Binti Mahmud, adalah kakak terdakwa dan
menerangkan sebagai berikut :
a. Pada saat kejadian sekitar pukul 17.30 Wib hari dan tanggal
tidak saksi ingat lagi, terdakwa pulang ke rumah saksi dalam
keadaan lemas dan terluka di bagian kepala dan berdarah.
Kemudian adik ipar saksi mengantarkan terdakwa ke rumah
sakit, terdakwa mengatakan bahwa terdakwa berkelahi dan
menyuruh membawa ke rumah di Indrapuri karena takut
dikejar oleh keluarga korban.
b. Saksi melihat terdakwa terluka di tangan dan di kepala,
terdakwa dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil
bak terbuka, selanjutnya terdakwa dibawa ke rumah sakit
Zainal abidin karena rumah sakit Indrapuri tidak sanggup
merawatnya.Terhadap keterangan saksi, Terdakwa
menyatakan tidak keberatan.
8. Saksi Zarnuji Indonesia (alm) Mahmud, pada pokoknya
menerangkan sebagai berikut bahwa saksi adalah adik kandung
43
menggunakan sepeda motor milik saksi tanpa meminta izin saksi.
Terdakwa langsung mengambil kunci sepeda motor dan pergi dari
rumah. Saksi mengetahui tentang kejadian pembacokan korban
dari orang kampung.
C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.JTH
Berdasarkan uraian kasus tersebut di atas, maka landasan hukum
yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam menyelesaikan
perkara tersebut sebagai berikut :
1. Pasal 338 KUHP (Dakwaan Primer)
Pasal 338 KUHP tersebut berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan
yang menyebabkan kematian, karena sulitnya untuk mengukur unsur
subjektif ini maka dalam praktek peradilan ukurannya dapat
menggunakan berbagai teori, misalnya : tentang cara, alat yang
digunakan, sasarannya dan lain sebagainya.
Bahwa dalam perkara ini apakah perbuatan itu disengaja tentu
yang lebih mengetahui adalah terdakwa sendiri karena itu menyangkut
44
sengaja tersebut diatas dapat juga diketahui apakah perbuatan itu masuk
kepada kesengajaan.
2. Pasal 351 ayat 3 KUHP (Dakwaan Subsidair)
Pasal 351 ayat 3 KUHP berbunyi : “(1) Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana
dendapaling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara palinglama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.
Bahwa menurut Yurisprudensi, pengertian penganiayaan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau
luka (R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta
komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia-Bogor 1995,
hal.245).
Bahwa apa yang diuraikan dalam unsur ketiga ini pada dasarnya
bersifat alternatif, sehingga tidak harus kesemuanya dipenuhi, cukuplah
bila salah satu terpenuhi, maka unsur ini dianggap terpenuhi.
Bahwa korban langsung membacok kepala terdakwa dengan
parang sebanyak satu kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi
pada saat itu juga terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu
pada saat itu juga terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang
45
dipegang oleh korban terjatuh kemudian terdakwa mengambil parang
tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian leher
sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban terjatuh
lalu terdakwa melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor milik
terdakwa sendiri. Sebagaimana hasil Visum et Repertum No Ver :
831/VER/SK-04/KFM?VII/2013 tanggal 09 Juli 2013 dari Rumah Sakit
Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin yang dibuat dan ditandatangani oleh
dr.H. Taufik Suryadi, Sp.F Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan
tersebut diatas, menurut Majelis Hakim unsur dengan sengaja melakukan
penganiayaan yang menjadikan matinya orang telah terbukti.
Bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal
-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai
alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mem
pertanggungjawabkan perbuatannya.
Bahwa dengan telah terpenuhinya unsur dalam Dakwaan subsidair
pasal 351 ayat 3 KUHP Penuntut Umum, maka terdakwa haruslah
dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana Penganiayaan yang
menyebabkan mati.54
54
46
D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor
201/Pid.B/2013/PN.JTH
Adapun isi Putusan Pengadilan Negeri Jantho tentang tindak
pidana Pembunuhan sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri
Jantho, adalah sebagai berikut :55
Setelah mendengar tuntutan jaksa penuntut umum yang
menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melanggar pasal 338 Dengan adanya unsur-unsur,
keterangan para saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti
serta perilaku terdakwa di dalam persidangan, KUHP, dan menuntut
pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan
sementara.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,
Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur dengan “sengaja menghilangkan
jiwa orang lain” telah terpenuhi menurut hukum.
Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 338
KUHP telah terpenuhi, maka maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah
terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.
Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak
menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban
55