• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan : Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa yang melampaui batas (Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan : Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH."

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP

PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS

( NOODWEER EXCES

) DALAM PIDANA PEMBUNUHAN

( Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013.PN JTH )

SKRIPSI

Oleh :

Mochamad Roikhul K

NIM. C03213036

Prodi Hukum Pidana Islam

Jurusan Hukum Publik Islam

Fakultas Syari

ah Dan Hukum

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Skripsi yang berjudul Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH), merupakan hasil penelitian kepustakaan yang bertujuan untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut: pertama, Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana

pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH), dan Bagaimana

Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH).

Data dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks, yang selanjutnya

diolah dengan beberapa tahap yaitu editing, yaitu pemeriksaan kembali

terhadap semua data yang telah diperoleh. Organizing, yaitu menyusun dan

mensistematika data yang telah diperoleh, dan analyzing, yaitu menganalisis

data yang telah dihimpun, berupa Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH dari Pengadilan Negeri Jantho dengan menggunakan Metode Deskriptif Analisis. Selanjutnya menyimpulkan dan dianalisis dari sudut pandangan hukum pidana di Indonesia dan hukum pidana islam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa majelis hakim kurang tepat menjatuhkan putusan 7 (tujuh) tahun penjara terhadap terdakwa karena terdakwa merupakan orang yang melakukan pembelaan diri. Majelis hakim dalam memutuskan perkara tidak memperhatikan fakta – fakta persidangan, karena dari keterangan saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat (visum et repertum) kesemuanya menyatakan bahwa terdakwa melakukan pembelaan diri yang dilakukan secara berlebihan untuk menghindari serangan korban yang sudah berulang. Dalam kondisi demikian majelis hakim harus memutuskan terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan penuntut umum karena adanya alasan pemaaf (Noodweer Exes).

Berdasarkan kesimpulan diatas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan semua hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan, seperti halnya tujuan Pengadilan Negeri Jantho adalah untuk memberikan keadilan mengenai perdata dan pidana. Maka dari itu, disarankan bagi para legislator dan penegak hukum agar dapat memasukkan dua unsur

penting dalam perundang – undangan atau putusan – putusannya, yakni

(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 9

C. Batasan Masalah ... 10

D. Rumusan Masalah ... 11

E. Kajian Pustaka ... 11

F. Tujuan Penelitian ... 12

G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

H. Definisi Operasional ... 14

I. Metode Penelitian ... 15

(8)

BAB II TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Islam ... 21 1. Pengertian Pembunuhan ... 21

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana

Islam ... 22 3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan ... 25

B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana

Islam ... 26

1. Pengertian Daf’u al-sail (menolak penyerangan atau pembelaan

diri) ... 26

2. Syarat-syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana ...

Islam ... 29

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas Yang Diperbolehkan ... 32

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum ... 34

BAB III PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN

PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR

201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG TINDAK PIDANA

PEMBUNUHAN

A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho ... 36

B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor

(9)

C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH... 43

D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor .. 201/Pid.B/2013/PN.JTH... 46

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG PEMBELAAN TERPAKSA DALAM PIDANA PEMBUNUHAN A. Analisis Hukum Pidana Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 49

B. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH ... 55

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 64

B. Saran ... 65

DAFTAR PUSTAKA ... 67

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri,

dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum

diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan

kebenaran,kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup

di dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi

manusia terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan

hukum Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara

kebutuhan rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi

yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran

mengerjakan maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.1

Hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah

laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya

tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata

tertib di dalam masyarakat.2 Namun dengan adanya statemen di atas

bukan berarti seseorang tidak akan melakukan suatu tindak kejahatan

yang merugikan orang lain.

Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan larangan

larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah.

(11)

2

Pakar fikih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan

tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman

h}ad atau takzir. Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha

memaknai kata tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau

anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan

kandungan dan sebagainya.3

Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan

berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk

mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut

al-maqasidu al-khamsah yaitu yang terdiri dari h}ifz} al-nafs (menjaga jiwa),

h}ifz} al-aql (menjaga akal), h}ifz} al-d>in (menjaga agama), h}ifz} al-m>al

(menjaga harta) dan h}ifz} al-nasl (menjaga keturunan). Lima hal pokok ini,

wajib diwujudkan dan dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan

yang bahagia di dunia dan diakhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan

memelihara lima pokok tadi merupakan amalan saleh yang harus

dilakukan oleh umat Islam.4 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup

dalam masyarakat seperti hukum adat, peraturan perundang-undangan

seperti hukum barat, konsepsi hukum islam yaitu dasar dan kerangkanya

ditetapkan oleh Allah, yang mengatur hubungan manusia dengan

3 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 2.

(12)

3

Tuhannya, manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan

manusia dengan lingkungannya.5

Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup

merdeka dan merasakan keamanan. Ia melarang bunuh diri ataupun

pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia tanpa

alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia.

Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,

maka ia diibaratkan memelihara seluruh manusia. Jika terjadi

pembunuhan, maka pelaku wajib bertanggungjawab. Permasalahannya,

adalah jika pembunuhan yang disengaja tersebut dilakukan dalam upaya

membela jiwa, kehormatan, maupun harta benda baik milik sendiri

ataupun orang lain.

Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah

dafus sha’il, dalam hukum Islam, pertanggung jawaban pidana dapat

dihapus karena pertama, hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan yang

dilakukan adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asba>b al-iba>hah

atau sebab diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu

pembelaan yang sah, mendidik, pengobatan, permainan kesatriaan,

halalnya jiwa,anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban

penguasa. Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan pelaku atau perbuatan

yang dilakukan tetap dilarang tapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman

(13)

4

yang disebut asba>b raf‘i al-u‘qu>bah atau sebab dihapusnya hukuman. Diantaranya yaitu paksaan, mabuk, gila dan anak kecil (bawah umur).

Utrecht menyatakan bahwa, semua perbuatan yang bertentangan

dengan azas-azas hukum menjadi pelanggaran hukum. Dalam hukum

pidana, suatu pelanggaran hukum disebut perbuatan melanggar hukum

(wederrechtelijke handeling). Di antara pelanggaran hukum itu ada

beberapa yang diancam dengan hukuman (pidana), yaitu diancam dengan

suatu sanksi istimewa. Pelanggaran hukum semacam inilah yang oleh

KUHPidana dikualifikasikan sebagai peristiwa pidana (strafbaar feit).

Tetapi kadang-kadang dilakukan sesuatu perbuatan yang konkrit tidak

dipandang sebagai suatu perbuatan yang melawan hukum, walaupun

KUHPidana menyebutkan sebagai suatu peristiwa pidana. Perbuatan itu

tidak dapat dikenai hukuman, karena suatu sebab yang dapat

menghapuskan suatu sifat melawan hukum itu. Di sini ada alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukum itu (rechtvaardigings ground).

Karena alasan ini maka perbuatan tersebut tidak dapat dikenakan

hukuman, yaitu perbuatan konkrit itu bukan peristiwa pidana (geen

strafbaar feit).6

Hukum pidana mengenal beberapa alasan yang dapat dijadikan

dasar bagi hakim untuk tidak menjatuhkan hukuman atau pidana kepada

pelaku atau terdakwa yang diajukan ke pengadilan karena telah

melakukan suatu tindak atau perbuatan pidana. Alasan-alasan tersebut

(14)

5

dinamakan alasan penghapus pidana. Alasan penghapus pidana adalah

peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim. Peraturan ini

menetapkan berbagai keadaan pelaku, yang telah memenuhi perumusan

delik sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang yang

seharusnya dipidana, akan tetapi tidak dipidana. Hakim dalam hal ini,

menempatkan wewenang dalam dirinya (dalam mengadili perkara yang

konkret) sebagai pelaku penentu apakah telah terdapat keadaan khusus

dalam diri pelaku, seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.7

Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat

melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka

alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga

dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada

umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait

justificatief.

Dalam Hukum Pidana Indonesia, pembelaan terpaksa diatur dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) BAB III Pasal 49 Ayat 1

yang berbunyi :

“Tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda baik untuk diri sendiri

maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.8

Pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP Pasal

49 Ayat 2 yang berbunyi :

7 Hamdan . M, Alasan Penghapus Pidana Teori dan Studi Kasus (Bandung: PT. Refika Aditama, 2014), 27.

(15)

6

“Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh goncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan

itu, tidak dipidana”.9

Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang

pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van

Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa

yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”.

Yang dimaksud terdapat kegoncangan jiwa yang hebat tidak

dijelaskan dalam KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan

kegoncangan jiwa yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan

pembelaan terpaksa yang melampaui batas sedangakan dalam hukum

Islam tidak diatur secara jelas pembelaan yang diperbolehkan dan juga

sanksi bagi pelaku pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya

berdasarkan firman Allah :

ِبَِهيَلعْاودتعآفَمُكيَلعَىدتعآَِنمَف

مُكيَلعَىَدتعآَامَِلْثِم

َ

“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.” 10

Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran

menyerang balik ketika diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan

sanksi bagi penyerang jika melebihi batas serangan. Alasan penghapus

pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang

harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa),

9 Ibid.

(16)

7

meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi

tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik

dalam KUHP, doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran

daaddaderstrafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi :11

a. Alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan

tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di

Negara Anglo saxon.

b. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang

menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggung

jawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens

rea di Negara Anglo saxon.

Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk

membahas judul tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap

Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam

Tindak Pidana Pembunuhan. Yang pertama, Islam sangat melindungi hak

hidup seseorang. Hal ini terbukti dalam tujuan syarak atau yang lebih

dikenal dengan al-maqashidu al-khamsah (panca tujuan) salah satunya

memelihara jiwa. Alquran telah banyak menjelaskan tentang sanksi

berkenaan dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Diantara jenis-jenis

hukum kisas disebutkan dalam Alquran ialah kisas pembunuh, kisas

anggota badan dan kisas dari luka. Semua kejahatan yang menimpa

(17)

8

seseorang hukumanya adalah dianalogikan dengan kisas yakni berdasar

atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah

tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman kisas.12 Begitupun dalam hukum

positif juga diatur sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang

terberat.

Kedua, dalam KUHP BAB III tentang pembebasan hukuman

pidana Pasal 49 Ayat 1 tetang pembelaan terpaksa, dan juga dalam hukum

pidana Islam diatur pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab

diperbolehkannya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui

apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya,

maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal

tersebut dan tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaan yang

diperbolehkan. Begitu juga dalam KUHP Pasal 49 Ayat 2 tentang

pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan

batas yang diperbolehkan.

Terdapat kasus pembelaan diri yang menimpa Jabar dari Jantho

Aceh Besar, pada saat dia mau kembali ke rumah adiknya dia bertemu

dengan Muzakir yang memang telah mencarinya berulang kali. Muzakir

memang sudah emosi dengan Jabar yang telah membawa pergi adik

iparnya ke Medan, Muzakir memang sudah bermaksud untuk membunuh

Jabar dan pada saat itu terjadilah pertengkaran. Dalam pertengkaran

tersebut Muzakir membawa parang dan langsung membacok Jabar

(18)

9

berulang kali dan mengenai tangan dan kepalanya, Jabar menangkis lagi

dengan helm dan merebut parang dari Muzakir dan membalas membacok

hingga hilangnya nyawa karena untuk membela diri.

Di kasus ini Jabar dinyatakan bersalah dan dihukum 7 tahun

penjara. Tetapi jika dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi

syarat pembelaan terpaksa, seharusnya Jabar bebas dari segala tuntutan

hukum. Berarti di sini Jabar yang melakukan pembelaan diri yang

melampaui batas tetapi pada dasarnya tidak menginginkan akibat hukum

terhadap seseorang karena dia dalam keadaan darurat, sehingga terpaksa

melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan

kehormatannya.

Dari persoalan diatas, penulis merasa perlu untuk meneliti

masalah diatas menjadi sebuah penelitian berjudul : Tinjauan Hukum

Pidana Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas

(Noodweer Exes) Dalam Pidana Pembunuhan (Analisis Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.Jantho).

B. Identifikasi Masalah

Berangkat dari uraian pada latar belakang masalah di atas, penulis

mengidentifikasi beberapa masalah yang timbul sebagai berikut:

1. Seseorang bisa dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa

(19)

10

2. Sanksi apa yang dijatuhkan kepada pelaku tindakan terpaksa

berlebihan.

3. Pertimbangan yang digunakan oleh hakim dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.

4. Dasar hukum hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.Jantho dalam pidana pembunuhan.

5. Tinjauan Hukum Pidana Islam dalam kasus pembelaan terpaksa

melampaui batas.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dan juga bertujuan agar

permasalahan ini dikaji dengan baik, maka penulis membatasi penulisan

karya ilmiah dengan batasan:

1. Pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam tindak pidana

pembunuhan karena membela diri dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN-JTH.

2. Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hakim

Pengadilan Negeri Jantho pada Putusan Nomor

(20)

11

D. Rumusan Masalah

Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran

yang tertuang dalam latar belakang masalah tersebut maka diperlukan

adanya rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap pembelaan terpaksa

melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana pembunuhan

( Putusan Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?

2. Bagaimana Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan

hakim dalam pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces)

bagi pelaku pidana pembunuhan (Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN-JTH) ?

E. Kajian Pustaka

Kajian pustaka pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti

dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai pembahasan dan

topik yang akan diteliti dengan penelitian yang sejenis yang mungkin

pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada

pengulangan materi secara mutlak. Dalam penelusuran awal, sampai saat

ini penulis menemukan penelitian atau tulisan yang sedikit kemiripan

dalam penelitian yang dilakukan penulis, diantaranya yaitu penelitian :

Skripsi karya Khusnul Hotimah tahun 2013 dari UIN Syarif

(21)

12

MA Nomor 1445K/Pid/2011)”13. Pada skripsi ini membahas tentang alasan pemaaf bagi pelaku pembunuhan.

Skripsi karya Tathmainul Qulub tahun 2011 dengan judul

“Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Pasal 49 KUHP”.14 Penulis skripsi ini lebih membahas secara umum, tidak membahas secara spesifik. Sedangkan pada skripsi ini

penulis menganalisis dari sisi Putusan hakim Nomor 201/Pid.B/2013 PN

Jantho dan sisi hukum pidana Islam, jadi dalam skripsi ini lebih spesifik

langsung dalam contoh kasus.

Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan pengulangan

dari penelitian sebelumnya. Dan menjadi alasan kuat bagi penulis bahwa

pembelaan terpaksa melampaui batas (Noodweer Exces) dalam pidana

pembunuhan perlu diteliti lebih lanjut.

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Rumusan Masalah diatas, maka tujuan penelitian

yang ingin dicapai penulis antara lain:

1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan

Negeri Jantho terhadap tindak pidana pembunuhan karena membela

diri Nomor 201/Pid.B/2013/PN-JTH.

13 Khusnul Hotimah, “Alasan Pemaaf Atas Tindak Pidana Pembunuhan Kajian Hukum Islam dan Hukum Positif (Analisis Putusan MA No. 1445K/Pid/2011)” (Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2013).

(22)

13

2. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana islam terhadap

pertimbangan hakim dalam tindak pidana pembunuhan karena

membela diri pada Putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor

201/Pid.B/2013/PN-JTH.

G. Kegunaan Hasil Penelitian

1. Secara teorotis (keilmuan)

Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan

pemikiran bagi mahasiswa fakultas Syariah khususnya prodi Hukum

Pidana Islam dan sebagai bahan informasi pendahuluan yang penting

bagi peneliti yang mungkin mirip di masa mendatang atau sebagai

bahan informasi pembanding bagi peneliti lama yang serupa namun

berbeda sudut pandang. Serta berfungsi juga sebagai tambahan

literatur Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam menganalisis dan argumentasi hukum yang

diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegak

hukum bagi terciptanya suasana yang adil dan kondusif serta

menjamin kepastian hukum bagi hak-hak rakyat. Dengan demikian,

dapat ikut memberikan andil mengupayakan pemikiran ilmiah dalam

bidang hukum yang diharapkan bermanfaat untuk terciptanya

(23)

14

Undang Dasar serta alquran dan alhadis. Serta sebagai bahan acuan

atau literatur bagi praktisi hukum, dosen, peneliti, mahasiswa hukum,

dan para pembaca yang secara umum bergelut dalam bidang hukum.

H. Definisi Operasional

Adapun untuk mempermudah pemahaman serta terhindar dari

salah pengertian terhadap istilah dalam penelitian ini, maka perlu

dijelaskan sebagai berikut :

1. Hukum pidana Islam adalah ilmu tentang hukum syarak yang

berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (Jarimah) dan

hukumannya (Uqubah), yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Dalam hal ini subyek pemikiran yang digunakan pada skripsi ini

adalah hukum pidana islam tentang pembunuhan.

2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas adalah Tindakan yang

dilakukan untuk membela diri sendiri maupun orang lain secara

berlebihan terhadap kehormatan kesusilan karena ada serangan atau

ancaman serang yang sangat dekat pada saat itu juga, dan serangan

tersebut bias mengakibatkan goncangan jiwa. Serta yang akan diteliti

adalah Putusan hakim pada kasus tindak pidana pembunuhan karena

membela diri di Pengadilan Negeri Jantho Nomor

(24)

15

I. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan

data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Penelitian sendiri berarti

sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina,

serta mengembangkan ilmu pengetahuan.15 Dalam hal ini, dapat dipahami

bahwa metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu

serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan

menggunakan metode atau teori ilmiah sehingga mendapat kesimpulan

yang sesuai dengan kebenaran ilmiah untuk menjawab isu hukum yang

dihadapi, pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Metode penelitian dalam hal ini akan mengarahkan penelitian

tersebut sehingga penelitian dapat mengungkap kebenaran secara

sistematis dan konsisten.

Metode yang digunakan dalam skripsi ini yaitu dengan cara

penelitian yuridis, yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai

analisa terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang

mengatur permasalahan diatas.

(25)

16

1. Data yang dikumpulkan

a. Data primer

Data primer dari penelitian ini adalah kronologi kasus, fakta-fakta

persidangan, pertimbangan hakim dan putusan hakim dari

Pengadilan Negeri Jantho Nomor 201/Pid.B/2013/PN.JTH tentang

pidana pembunuhan karena membela diri.

b. Data sekunder

Data sekunder dari penelitian ini beberapa bahan bacaan dan

lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

2. Sumber data

a. Sumber primer

Sumber primer adalah sumber data yang langsung

memberikan data kepada pengumpul data16, serta yang akan ditulis

pada bab III yaitu salinan putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH.

b. Sumber sekunder

Adapun bahan sekunder adalah bahan yang diambil dari

bahan bacaan yang berhubungan dengan tema judul yang diangkat

penulis berupa: surat kabar, jurnal, makalah, ensiklopedia dan

lain-lain yang berhubungan dengan masalah yang dikaji.

Diantaranya :

(26)

17

1) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2005).

2) Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta:

Bumi Aksara, 2008).

3) Ahmad Hanafi, M.A, Asas – Asas Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1967 ).

4) Achmad Djazulli, Fikih Jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada,

2000).

5) Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: Rieneka Cipta, 1992).

6) Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012).

7) Muhammad Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini meliputi :

a. Dokumentasi, yaitu teknik mencari data dengan cara membaca dan

menelaah data dalam hal ini Direktori Putusan Pengadilan Negeri

Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013. Teknik ini digunakan untuk

memperoleh data tentang dasar hakim tentang putusan kasus

tindak pidana pembunuhan.

b. Kepustakaan, yaitu teknik menggali data dengan cara menelaah

buku-buku dan literatur-literatur. Teknik ini digunakan untuk

(27)

18

4. Teknik pengolahan data

Setelah semua data yang terkait dengan permasalahan tersebut

kemudian akan diolah dengan beberapa teknik sebagai berikut:17

a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang berkaitan

dengan tindak pidana pembunuhan yang diperoleh dari berbagai

buku dan dokumen-dokumen mengenai topik penelitian terutama

kejelasan makna, dan keselarasan antara data satu dengan yang

lainnya.

b. Organizing, yaitu menyusun data secara sistematis mengenai kajian

hukum pidana islam terhadap pembelaan terpaksa melampaui batas

(Noodweer Exes) dalam pidana pembunuhan (Analisis putusan

putusan Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013).

c. Analizing, yaitu melakukan analisis terhadap putusan hakim

Pengadilan Negeri Jantho Nomor: 201/Pid.B/2013 dan fikih jinayah

dengan hasil pengorganisasian dalam data dengan menggunakan

kaidah, teori, dalil hingga diperoleh kesimpulan akhir sebagai

jawaban dari permasalahan yang dipertanyakan.

5. Teknik analisis data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan

mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar

(28)

19

sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan seperti yang

dibutuhkan oleh data.

Teknik analisis penelitian ini menggunakan teknik deskriptif

analisis dengan pola pikir deduktif.

a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan dan

menjelaskan data apa adanya data tentang pembunuhan karena

membela diri direktori Pengadilan Negeri Jantho Nomor:

201/Pid.B/2013, kemudian dianalisa dengan menggunakan teori

hukum pidana islam tentang pembunuhan.

b. Deduktif, yaitu pola pikir yang berangkat dari variabel yang

bersifat umum dalam hal ini teori jinayah pembunuhan, kemudian

diaplikasikan pada variabel yang bersifat khusus dalam hal ini ini

dasar putusan hakim dalam kasus pembunuhan karena membela

diri.

J. Sistematika Pembahasan

Agar memudahkan dalam pembahasan dan mudah dipahami, maka

pembahasannya dibentuk dalam bab-bab yang masing-masing

mengandung sub bab penulis membuat sistematika pembahasan sebagai

berikut :

Bab pertama menguraikan alasan dan ketertarikan penulis dalam

meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, seperti yang

(29)

20

masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan

hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab kedua berisi tentang landasan teori tentang pembunuhan

dalam ruang lingkup hukum pidana islam. Serta membahas tentang

landasan teori tentang pembelaan terpaksa melampaui batas.

Pembahasan ini juga meliputi pengertian pembelaan melampui batas dan

batasannya, macam – macam pembelaan, syarat pembelaan, alasan penghapus hukuman dalam pertanggung jawaban pidana.

Bab ketiga ini membahas tentang putusan hakim terhadap pelaku

tindak pidana pembuhuan karena membela diri direktori putusan

Pengadilan Negeri Nomor 201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar, isi

putusan, dasar, pertimbangan, putusan dan implikasi.

Bab keempat ini membahas tentang analisis masalah Tinjauan

Hukum Islam Terhadap Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam

Tindak Pidana Pembunuhan terhadap putusan Pengadilan Negeri Nomor

201/Pid.B/2013 di Jantho Aceh Besar.

Bab kelima ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan

(30)

BAB II

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DAN PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

A. Ketentuan Tindak Pidana Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian Pembunuhan

Pembunuhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar

“bunuh” yang artinya mencabut nyawa. Setelah mendapatkan imbuhan

berupa awalan dan akhiran (pe-an) yang menyebabkan membentuk kata

“pembunuhan”, memiliki arti proses, perbuatan, atau cara membunuh.18 Sedangkan dalam bahasa Arab, pembunuhan disebut dengan istilah al-qatl

yang berasal dari kata dasar qatala yang berarti mematikan.

Menurut Syarbini Khatib, sebagaimana dikutip oleh Wahbah

Zuhaili, pembunuhan adalah “perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang”.19Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah,

pembunuhan adalah “perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan

yakni pembunuhan itu adalah menghilangkan nyawa manusia dengan

sebab perbuatan manusia yang lain”.20

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa definisi pembunuhan

adalah cara untuk menghilangkan nyawa manusia yang dilakukan oleh

manusia lainnya dengan adanya suatu sebab perbuatan.

(31)

22

2. Klasifikasi Delik Pembunuhan Menurut Hukum Pidana Islam

Pada dasarnya delik pembunuhan terklasifikasi menjadi dua

golongan, yaitu: 21

a. Pembunuhan yang diharamkan, setiap pembunuhan karena ada unsur

permusuhan dan penganiayaan.

b. Pembunuhan yang dibenarkan, setiap pembunuhan yang tidak

dilatarbelakangi oleh permusuhan, misalnya pembunuhan yang

dilakukan oleh algojo dalam melaksanakan hukuman kisas.

Adapun secara spesifik mayoritas ulama berpendapat bahwa

tindak pidana pembunuhan dibagi dalam tiga kelompok, yaitu:

1) Pembunuhan sengaja ( qatl al’- amd )

Yaitu menyengaja suatu pembunuhan karena adanya permusuhan

terhadap orang lain dengan menggunakan alat yang pada umumnya

mematikan, melukai, atau benda-benda yang berat, secara langsung

atau tidak langsung (sebagai akibat dari suatu perbuatan), seperti

menggunakan besi, pedang, kayu besar, suntikan pada organ tubuh yang

vital maupun tidak vital (paha dan pantat) yang jika terkena jarum

menjadi bengkak dan sakit terus menerus sampai mati, atau dengan

memotong jari-jari seseorang sehingga menjadi luka dan membawa

pada kematian. Atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan

tujuan untuk menghilangkan nyawa seseorang dengan menggunakan

(32)

23

alat yang dipandang layak untuk membunuh. Jadi matinya korban,

merupakan bagian yang dikehendaki si pembuat jarimah.22

Al-Quran dan Al-Sunnah mengharamkan pembunuhan sengaja ini

secara tegas dan termasuk perbuatan haram sebagaimana Allah

berfirman dalam al-Quran :

ُهل مكمح يِتلل مسُف للُل تُقمت امو

ِقمحُلِاب َاِإ

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”.23 Adapun unsur-unsur dalam pembunuhan sengaja yaitu :

a) Korban adalah orang yang hidup.

b) Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban.

c) Ada niat bagi si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban.24

Sedangkan menurut al-Sayyid Sabiq, yang dimaksud pembunuhan

sengaja adalah pembunuhan yang dilakukan oleh seseorang mukallaf

kepada orang lain yang darahnya terlindungi, dengan memakai alat

yang pada umumnya dapat menyebabkan mati.25 Sedangkan menurut

Abdul Qodir ‘Audah, pembunuhan sengaja adalah perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang disertai dengan niat membunuh,

artinya bahwa seseorang dapat dikatakan sebagai pembunuh jika orang

itu mempunyai kesempurnaan untuk melakukan pembunuhan.

22 Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam , ( Sinar Grafika, 2012), 24.

23 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 285.

24

(33)

24

2) Pembunuhan menyerupai sengaja ( qatl syibh al-‘amd )

Menurut Prof. H.A. Jazuli, ada 3 (tiga) dalam pembunuhan semi

sengaja yaitu :

a. Pelaku melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan kematian.

b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan.

c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan

kematian korban.26

3) Pembunuhan kesalahan ( qatl al-khata’ )

Menurut Sayid Sabiq, pembunuhan karena kesalahan adalah

apabila seorang mukallaf melakukan perbuatan yang boleh dikerjakan,

seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu sasaran, tetapi

kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatanya dan

membunuhnya.27

Menurut Wahbah Zuhaili, pembunuhan karena kesalahan adalah

pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik dalam

perbuatannya maupun obyeknya.28

Adapun unsur-unsur pembunuhan tidak sengaja yaitu :

a) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian.

b) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan.

c) Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan

kematian korban.29

26

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah (PT. Raja Grafindo Persada , 2000), 132. 27 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II.... ,438.

(34)

25

3. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan

a. Sanksi pembunuhan sengaja

Pelaku pembunuhan sengaja, pihak keluarga korban dapat

memutuskan salah satu dari tiga pilihan, yaitu :30

1) Kisas, yaitu hukuman pembalasan setimpal dengan penderitaan

korban.

2) Diat, yaitu pembunuh harus membayar denda sejumlah 100 ekor

unta, atau 200 ekor sapi atau 1.000 ekor kambing, atau bentuk

lain seperti uang senilai harganya. Diat tersebut diserahkan

kepada pihak keluarga korban.

3) Pihak keluarga memaafkannya apakah harus dengan syarat atau

tanpa syarat.

b. Sanksi pembunuhan semi sengaja

Hukuman pokok pada pembunuhan sengaja adalah diat dan

kafarat, sedangkan hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir

dan hukuman tambahannya adalah terhalangnya menerima warisan

dan wasiat.31

Adapun jenis – jenis diat untuk pembunuhan semi sengaja sama dengan jenis diat dam pembunuhan sengaja, yaitu menurut

Imam syafi’i adalah unta, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam

29

H.A. Djazulli, Fikih Jinayah ...,134 – 135.

(35)

26

Malik adalah unta, emas, dan perak, sebagaimana dijelaskan di

depan.

Adapun waktu pembayaran diat pembunuhan semi sengaja

adalah tiga tahun sejak meninggalnya korban menurut Imam Syafi’i

dan Imam Ahmad. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah adalah

mulai jatuh vonis atas pembunuhan. Kafarat merupakan hukuman

pokok dalam pembunuhan semi sengaja.

c. Sanksi pembunuhan kesalahan

Hukuman pokok dalam pembunuhan kesalahan adalah diat dan

kafarat. Hukuman penggantinya adalah puasa dan takzir dan

hukuman tambahannya adalah hilangnya hak waris dan hak

mendapat wasiat.32

B. Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut Hukum Pidana Islam

1. Pengertian dafu al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri)

Menurut istilah yang dinamakan daf’u al-sail (menolak penyerang atau pembelaan diri) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya

atau jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya

atau harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran

dan penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat

wajib maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai

hukuman atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat

(36)

27

penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.33 Dasar pembelaan

diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT :

َ كَي مع مدمتَعآ ام ِلُثِ ِب ِهَي معُلو دمتَع ف َ كي مع مدمتَعآ ِ م ف

“Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang

dengan serangannya terhadapmu.”34

Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri adalah

suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri orang

lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda. Tetapi

berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau hak.

Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak, maka

seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya,

tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila

dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan

berdosa ketika meninggalkannya.35

Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, dalam kaidah-kaidah fikih

dijelaskan, yaitu :

حَيب ت تلمرَو كضل

ِتلمرَ ظَحم ُلل

Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan

keharaman”.36

33 Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy...., 138.

34 Departemen Agama R I, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Quran, 2010), 30. 35 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana (Jakarta: Bulan Bintang, 1993). 211.

(37)

28

QS Al Baqarah ayat 173 :

مو ٍ امبمكَي غ ك طَضل ِ م ف

ِِهَي مع م ُثِْ ا فا اع ا

Artinya: Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tidak dosa baginya.37

Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan

yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang

benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam

kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.

Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat

bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan

maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk

membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak

bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban

hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap

jiwanya.38

Ulama yang mengatakan ditegakkannya pembelaan diri

menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain,

pengertian tersebut mengarah dalam segala keadaan bahwa manusia

berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan

terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta

(38)

29

pribadinya dan harta orang lain dari semua serangan yang ditujukan

terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.39

2. Syarat-Syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Hukum Pidana Islam

a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum

Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah perbuatan

yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan perbuatan

yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan tidak boleh

dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan kewajiban baik

oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang diperbolehkan

oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti pemukulan oleh

orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan pengajaran atau

pendidikan atau algojo yang melaksanakan tangan terhadap

terhukum sebagai pelaksanaan tugas.40

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad

penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang

diancam dengan hukuman, cukup dengan perbuatan yang tidak sah

(tidak benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan

dan oleh karenanya serangan orang gila dan anak kecil dapat

dilawan. Menurut Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan

harus berupa jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan

oleh orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi,

39 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum . . . , 213.

(39)

30

apabila perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan

hukuman, melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya

tidak memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya

berada dalam keadaan terpaksa. Imam Abu Yusuf berbeda dengan

gurunya Imam Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus

berupa jarimah yang diancam dengan hukuman tetapi pelakunya

tidak perlu harus orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban

pidana.41

Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang,

bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan

pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai

penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan

dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka

tindakan itu dapat dibenarkan.42

b. Penyerangan harus terjadi seketika

Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan orang yang

baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang berlawanan

dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan apabila

benar-benar telah terjadi serangan atau diduga kuat akan terjadi. Apabila

terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman dan belum

terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi jika

41 Ibid., 480.

(40)

31

ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus

dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau

melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.43

c. Tidak ada jalan lain untuk mengelak serangan

Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka cara

tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak

serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan

senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat

membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah

dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut

dianggap sebagai serangan dan termasuk jarimah. Para fuqaha

berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk menghindari

serangan. Sebagaian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa digunakan

sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena itu

dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi menurut

sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk

membela diri.44

d. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya

Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan, hal itu

bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan

demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara

43 Ibid., 91.

(41)

32

pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa

dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.45

Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang

sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam

perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya

penyerang yang membawa harta rampasannya. Dalam hal ini, orang

yang diserang harus berupaya mencari dan menyelidikinya sampai

berhasil mengembalikan harta yang dirampas oleh penyerang,

dengan menggunakan kekuatan yang diperlukan bahkan bila

diperlukan maka boleh membunuhnya.46

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan

Seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang lebih

besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggungjawab atas

tindakannya itu. Sebagai berikut :47

a. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun

orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus

tanggungjawab atas pemukulan tersebut.

b. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang

yang diserang melukai si penyerang maka harus bertanggungjawab

atas pelukaan itu.

45 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 91. 46 Ibid., 93.

(42)

33

c. Jika serangan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang

diserang itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas

pembunuhan itu.

d. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar

lalu melukainya maka harus bertanggungjawab atas pelukaan itu.

e. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang

diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka

harus bertanggungjawab atas tindakannya itu.

Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan)

dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan

mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah

lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya:

apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah

karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan

membunuhnya, si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan

atau pembunuhan tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja

melakukan pembelaan diri. Hal ini disamakan dengan berburu binatang

tapi tersalah sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah

perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggungjawab

atas penembakan tersalah yang mengenai manusia tersebut.48

(43)

34

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum

Adapun sumber hukum pembelaan umum, atau amar ma’ruf dan nahi munkar ialah ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi SAW diantara

ayat-ayat Alquran tersebut ialah :

ُللمو ِ ُثْإل ى مع لَ مو اممت امو م ُقتللمو ِكِبُلل ى مع لَ مو اممت مو

ِ لمو َد

Artinya : Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa, dan janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya. (Al-Maidah,2).49

Dari hadits ialah hadits riwayat Abu sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda :

Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran), kemudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendaklah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidak dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya (mulut). Kalau tidak dapat maka dengan hatinya, dan ini adalah iman selemah-lemahnya.50

Di kalangan fuqaha sudah disepakati bahwa pembelaan umum

atau amar ma’ruf nahi mungkar adalah suatu kewajiban yang tidak boleh di tinggalkan. Pembelaan umum tersebut diadakan dengan maksud agar

masyarakat berdiri di atas kebajikan dan supaya anggota-anggotanya

(44)

35

ditumbuhkan atas keutamaan dan dengan demikian maka angka-angka

jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.51

Menyuruh kebaikan (amar maruf) bisa berupa perkataan seperti

ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan

seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga

gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk

mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang

kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang

orang lain minum-minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan

adalah menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang

seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain

agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.52

Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam

pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan

orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan

tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan dengan prinsip dasar

syariat, yaitu dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya

kesanggupan, adil dan izin (persetujuan).53

51 Ahmad Hanafi, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),219. 52 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum . . ., 95.

(45)

BAB III

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN PENGADILAN

NEGERI JANTHO NOMOR 201/Pid.B/2013/PN.JTH TENTANG

PIDANA PEMBUNUHAN

A. Sekilas Pengadilan Negeri Jantho

Pengadilan Negeri Jantho terletak di Jalan.T. Bakhtiar P. Polem,

SH, Kota Jantho Kab Aceh Besar. Pengadilan Negeri Jantho termasuk

dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi Banda Aceh.

Wilayah hukum Pengadilan Negeri Jantho meliputi seluruh daerah

di Kabupaten Aceh Besar yang memiliki 23 kecamatan, meliputi

Kecamatan Baitusslam, Kecamatan Blang Bintang, Kecamatan Darul

Imarah, Kecamatan Darul Kamal, Kecamatan Darussalam, Kecamatan

Indrpuri, Kecamatan Ingin Jaya, Kecamatan Kota Jantho, Kecamatan

Krueng Barona Jaya, Kecamatan Kuta Baro, Kecamatan Kuta Cot Glie,

Kecamatan Kuta Malaka, Kecamatan Lembah Seulawah, Kecamatan

Leupung, Kecamatan Lhoong, Kecamatan Masjid Raya, Kecamatan

Montasik, Kecamatan Peukan Bada, Kecamatan Pulo Aceh, Kecamatan

(46)

37

B. Deskripsi Kasus Tentang Pidana Pembunuhan Dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH

Dalam skripsi ini akan dijelaskan bagaimana terungkapnya

terdakwa melakukan pidana pembunuhan dan bagaimana cara membela

diri dalam kasus ini. Isi pokok dalam kasus ini adalah :

Bahwa terdakwa Muhammad Jabar Bin (alm) Mahmud Pada hari

Selasa tanggal 09 Juli 2013 sekitar pukul 17.00 wib atau setidak-tidaknya

pada waktu lain, dalam bulan Juli Tahun 2013 bertempat di Desa Lamcot

Kec. Darul Imarah Kab.Aceh Besar, atau setidak-tidaknya pada suatu

tempat yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jantho,

dengan merampas nyawa orang lain dengan cara sebagai berikut :

Pada hari selasa tanggal 09 juli 2013 sekira pukul 17.00 wib di

Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar, pada awalnya

terdakwa mengendarai sepeda motor yang tujuannya untuk mengambil

obeng di rumah terdakwa, kemudian pada saat sampai di persimpangan Lr

Tgk Hamid Desa Lamcot Kec. Darul Imarah Kab. Aceh Besar terdakwa

melihat ada kerbau milik korban Muzakir lalu terdakwa berpikir kalau ada

kerbau pasti ada korban Muzakir dan kemudian terdakwa langsung

berhenti lalu pada saat terdakwa berhenti keluar dari belakang kedai kopi

korban muzakir sambil menenteng sebilah parang, lalu pada saat itu juga

terdakwa berniat akan pergi dengan memutarkan sepeda motor yang di

kendarai terdakwa di karenakan korban muzakir sudah dekat dan

(47)

38

sepeda motor terdakwa lalu mendatangi korban sambil membuka helm

dan pada saat itu korban mengatakan “ MATI KAU NI HARI “ lalu

korban langsung membacok kepala korban dengan parang sebanyak satu

kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi pada saat itu juga

terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu pada saat itu juga

terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang ke arah parang

yang di pegang oleh korban sehingga parang yang dipegang oleh korban

terjatuh kemudian parang tersebut terjatuh dan terdakwa mengambil

parang tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian

leher sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban

terjatuh terdakwa berupaya untuk melarikan diri dengan menggunakan

sepeda motor milik terdakwa sendiri.

Fakta – fakta yang terungkap dalam pemeriksaan dipersidangan secara berturut – turut berupa, Keterangan saksi – saksi :

1. Saksi Nurdin Bin M. Mahadi adalah abang korban dan berikut

keterangan saksi :

a. Saksi mengetahui ada permasalahan antara korban dan

terdakwa yaitu isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim yang

bernama Nurlina selingkuh dengan terdakwa dan terdakwa

melarikan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim ke medan lalu

menikah di sana. Bahwa perselingkuhan antara terdakwa dan

isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim diketahui saksi Aji

(48)

39

melihat terdakwa dan isteri saksi Aji Ibrahim Bin Ibrahim

sedang berhubungan badan di dapur rumah saksi Aji Ibrahim

Bin Ibrahim pada malam hari.

b. Bahwa korban saat ini telah meninggal dunia akibat dibacok

oleh terdakwa, saksi juga mengetahui bahwa sebelum kejadian

ini telah terjadi perkelahian. Saat saksi tiba di tempat kejadian,

terdakwa tidak ada di sana, serta mengetahui bahwa parang

yang berada disana adalah milik korban dan kejadian sekitar

pukul 16.00 WIB. Saksi juga mengetahui bahwa terdakwa

yang membacok korban.

2. Saksi Muhammad Yahya Bin (alm) Usman, pada pokoknya

menerangkan, Saksi mengetahui bahwa terdakwa pernah

mengganggu istri saksi Aji Ibrahim dan mengetahui korban sangat

marah dan mengejar terdakwa. Saksi juga ikut memandikan

korban dan melihat bekas bacokan di leher korban.

3. Saksi Bunawar Bin (alm) Arafat, menerangkan bahwa mengetahui

koban sudah ada dendam pada terdakwa karena melarikan istri Aji

selama 2 tahun. Pada saat saksi tiba di tempat kejadian korban

sudah berdarah dan meninggal.

4. Saksi Aji Ibrahim Bin (alm) Ibrahim, pada pokoknya menerangkan

sebagai berikut:

a. Saksi adalah adik kandung korban dan suami perempuan yang

(49)

40

Pada hari dan tanggal yang tidak saksi ingat lagi, saksi pulang

ke rumah untuk mengambil air dan Kartu Keluarga yang

disimpan di rumah. Setibanya di rumah saksi langsung masuk

dan menuju dapur. Ketika itu lampu dapur dalam keadaan

mati. Saat lampu telah menyala saksi melihat celana

perempuan yang ternyata celana isteri saksi dan celana

terdakwa.

b. Atas kejadian tersebut saksi ada melapor ke pihak kepolisian,

karena pada saat itu antara saksi dan isteri saksi masih

berstatus suami isteri sedangkan terdakwa masih bujangan.

c. Bahwa saksi tidak melihat kejadiannya. Saksi mengetahui

kejadian tersebut setelah diberitahukan oleh keluarga melalui

handphone. Ketika saksi tiba di tempat kejadian korban sudah

meninggal dunia

d. Bahwa di tempat kejadian ditemukan sebuah helm milik

terdakwa dan sebilah parang tetapi bukan milik korban tetapi

milik pak ciknya. Bahwa antara keluarga terdakwa dan

keluarga korban tidak ada perdamaian.

5. Saksi Siti Rahmah Binti (alm) Muhammad Amin, pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut:

a. Saksi mengetahui tentang adanya perkelahian antara terdakwa

dan korban. Ketika itu saksi hendak pergi ke rumah saudara,

(50)

41

samping toko dan melihat terdakwa dan korban sedang

berkelahi di belakang toko, perkelahian tersebut kira – kira sekitar 5 menit

b. Pada saat itu juga saksi berhenti dan melihat ditangan

keduanya masing-masing memegang parang, tetapi saksi tidak

dapat memastikan apakah parang yang dipegang keduanya

sama atau tidak. Yang pasti keduanya memegang parang;

c. Saksi melihat keduanya terjatuh ke tanah dan mengeluarkan

darah, kemudian saksi menutup mata, pada saat membuka

mata saksi melihat korban sudah tertidur dan terdakwa sudah

tidak ada lagi di tempat kejadian.

d. Setibanya di tempat kejadian saksi melihat terdakwa turun

dari sepeda motor merk Honda Shogun milik adik terdakwa

dan helm berwarna putih bergambar, korban lebih dahulu

mendekati terdakwa dengan berjalan terburu-buru sambil

membawa dan mengacungkan parang, terdakwa turun dari

sepeda motor dan berjalan juga mendekati korban.

e. Bahwa yang pertama kali mengayunkan parang adalah korban

sebanyak beberapa kali, yang pertama kali jatuh adalah

terdakwa karena terkena parang di kepalanya. Terdakwa juga

menangkis dengan menggunakan jaket.

6. Saksi Yusran Mahmud Bin (alm) Mahmud, menerangkan 2 hari

(51)

42

dengan cara memotong – motong ban sepeda motor. Saksi juga mengetahui bahwa keluarga terdakwa pernah berusaha untuk

melakukan perdamaian tetapi keluarga korban tidak mau

berdamai. Terdakwa ditangkap pada malam hari itu juga dan

setelah 5 hari baru dilakukan penahanan.

7. Saksi Khaira Binti Mahmud, adalah kakak terdakwa dan

menerangkan sebagai berikut :

a. Pada saat kejadian sekitar pukul 17.30 Wib hari dan tanggal

tidak saksi ingat lagi, terdakwa pulang ke rumah saksi dalam

keadaan lemas dan terluka di bagian kepala dan berdarah.

Kemudian adik ipar saksi mengantarkan terdakwa ke rumah

sakit, terdakwa mengatakan bahwa terdakwa berkelahi dan

menyuruh membawa ke rumah di Indrapuri karena takut

dikejar oleh keluarga korban.

b. Saksi melihat terdakwa terluka di tangan dan di kepala,

terdakwa dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan mobil

bak terbuka, selanjutnya terdakwa dibawa ke rumah sakit

Zainal abidin karena rumah sakit Indrapuri tidak sanggup

merawatnya.Terhadap keterangan saksi, Terdakwa

menyatakan tidak keberatan.

8. Saksi Zarnuji Indonesia (alm) Mahmud, pada pokoknya

menerangkan sebagai berikut bahwa saksi adalah adik kandung

(52)

43

menggunakan sepeda motor milik saksi tanpa meminta izin saksi.

Terdakwa langsung mengambil kunci sepeda motor dan pergi dari

rumah. Saksi mengetahui tentang kejadian pembacokan korban

dari orang kampung.

C. Dasar Hukum Hakim Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH

Berdasarkan uraian kasus tersebut di atas, maka landasan hukum

yang dipakai oleh hakim Pengadilan Negeri Jantho dalam menyelesaikan

perkara tersebut sebagai berikut :

1. Pasal 338 KUHP (Dakwaan Primer)

Pasal 338 KUHP tersebut berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja

merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan

pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana penganiayaan

yang menyebabkan kematian, karena sulitnya untuk mengukur unsur

subjektif ini maka dalam praktek peradilan ukurannya dapat

menggunakan berbagai teori, misalnya : tentang cara, alat yang

digunakan, sasarannya dan lain sebagainya.

Bahwa dalam perkara ini apakah perbuatan itu disengaja tentu

yang lebih mengetahui adalah terdakwa sendiri karena itu menyangkut

(53)

44

sengaja tersebut diatas dapat juga diketahui apakah perbuatan itu masuk

kepada kesengajaan.

2. Pasal 351 ayat 3 KUHP (Dakwaan Subsidair)

Pasal 351 ayat 3 KUHP berbunyi : “(1) Penganiayaan diancam

dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana

dendapaling banyak empat ribu lima ratus rupiah (2) Jika perbuatan

mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara palinglama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Bahwa menurut Yurisprudensi, pengertian penganiayaan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat (1) KUHP yaitu sengaja

menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijn) atau

luka (R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta

komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal, Politeia-Bogor 1995,

hal.245).

Bahwa apa yang diuraikan dalam unsur ketiga ini pada dasarnya

bersifat alternatif, sehingga tidak harus kesemuanya dipenuhi, cukuplah

bila salah satu terpenuhi, maka unsur ini dianggap terpenuhi.

Bahwa korban langsung membacok kepala terdakwa dengan

parang sebanyak satu kali lalu pada saat korban membacok sekali lagi

pada saat itu juga terdakwa menangkis dengan tangan kiri terdakwa lalu

pada saat itu juga terdakwa mengayunkan helm terdakwa yang dipegang

(54)

45

dipegang oleh korban terjatuh kemudian terdakwa mengambil parang

tersebut dan langsung mengayunkan parang tersebut ke bahagian leher

sebelah kiri korban dan mengenai leher korban sampai korban terjatuh

lalu terdakwa melarikan diri dengan menggunakan sepeda motor milik

terdakwa sendiri. Sebagaimana hasil Visum et Repertum No Ver :

831/VER/SK-04/KFM?VII/2013 tanggal 09 Juli 2013 dari Rumah Sakit

Umum Daerah Dr. Zainoel Abidin yang dibuat dan ditandatangani oleh

dr.H. Taufik Suryadi, Sp.F Oleh karena itu berdasarkan pertimbangan

tersebut diatas, menurut Majelis Hakim unsur dengan sengaja melakukan

penganiayaan yang menjadikan matinya orang telah terbukti.

Bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak menemukan hal

-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana, baik sebagai

alasan pembenar dan atau alasan pemaaf, maka Terdakwa harus mem

pertanggungjawabkan perbuatannya.

Bahwa dengan telah terpenuhinya unsur dalam Dakwaan subsidair

pasal 351 ayat 3 KUHP Penuntut Umum, maka terdakwa haruslah

dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana Penganiayaan yang

menyebabkan mati.54

54

(55)

46

D. Amar Putusan Pengadilan Negeri Jantho Dalam Putusan Nomor

201/Pid.B/2013/PN.JTH

Adapun isi Putusan Pengadilan Negeri Jantho tentang tindak

pidana Pembunuhan sebagaimana dalam Putusan Pengadilan Negeri

Jantho, adalah sebagai berikut :55

Setelah mendengar tuntutan jaksa penuntut umum yang

menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melanggar pasal 338 Dengan adanya unsur-unsur,

keterangan para saksi-saksi, keterangan terdakwa, barang-barang bukti

serta perilaku terdakwa di dalam persidangan, KUHP, dan menuntut

pidana penjara selama 10 tahun dikurangi selama terdakwa dalam tahanan

sementara.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas,

Majelis Hakim berkeyakinan bahwa unsur dengan “sengaja menghilangkan

jiwa orang lain” telah terpenuhi menurut hukum.

Menimbang, bahwa oleh karena semua unsur dari Pasal 338

KUHP telah terpenuhi, maka maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah

terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana

sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer.

Menimbang, bahwa dalam persidangan, Majelis Hakim tidak

menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban

55

Referensi

Dokumen terkait

Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana kepada terdakwa di Pengadilan Negeri Bandung dengan memeriksa fakta-fakta di persidangan melalui keterangan

Berdasarkan fakta-fakta dipersidangan dengan keterangan saksi dan alat bukti yang begitu banyak bahwa tepat dikenakan Terdakwa Yudi hasmir Siregar dengan pasal 112 ayat (2) UU No

Kesimpulan Pertama, bahwa sesuai dengan fakta persidangan, Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan bebas tidak tepat, seharusnya terdakwa dapat dipidana

Oleh karena itu Mahmud Syaltut menjelaskan tidak termasuk kriteria pembunuhan apabila pembunuhan itu dilakukan bukan pada nyawa manusia, membunuh yang belum jelas

16 Dalam uraian di atas bahwa diperoleh suatu fakta hukum bahwa saksi korbanlah yang terlebih dahulu menyerang terdakwa dengan cara beberapa kali mencoba

Berdasarkan fakta yang terungkap dimuka persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi serta keterangan terdakwa bahwa benar terdakwa telah melakukan

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dimuka persidangan yang diperoleh dari keterangan Saksi-saksi, serta keterangan terdakwa bahwa benar pada

Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, yang telah dibenarkan para terdakwa serta keterangan para terdakwa sendiri dipersidangan dan barang bukti diperoleh fakta