• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik akad utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo: studi analisis hukum Islam.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Praktik akad utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo: studi analisis hukum Islam."

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh

Lona Edria Intan Subrata NIM. C32213088

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Perdata Islam

Program Studi Hukum Ekonomi Syariah (Muamalah) Surabaya

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

v ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) yang berjudul Praktik Akad Hutang Piutang Berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo (Studi Analisis Hukum Islam) untuk menjawab pertanyaan bagaimana praktek akad hutang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dan bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktek hutang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

Data penelitian dihimpun melalui observasi, dokumentasi dan wawancara dan selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif analisis dengan pola pikir

deduktif yaitu dengan menganalisis hukum Islam tentang al-qarḍ, riba dan hadiah

yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

Praktik hutang piutang berhadiah yang terjadi di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ini berawal dari inisiatif para anggota ibu-ibu PKK di lingkungan RT 12 RW 03. mereka mengumpulkan dana dalam bentuk investasi sejumlah Rp. 50.000 dari setiap anggota, kemudian dari perolehan dana tersebut disalurkan kembali kepada anggotanya melalui akad hutang piutang, dan dalam praktiknya, akad hutang piutang ini disertai dengan tambahan dalam pengembalian hutangnya sebesar 10% dari hutang pokok, namun tambahan tersebut sebagian dipergunakan untuk pemberian hadiah berbentuk paket sembako bagi setiap anggota pada setiap tahunnya atau saat mendekati hari raya idul fitri, pemberian hadiah tersebut sesuai dengan besar kecilnya hutang. serta sisa dari tambahan hutang yang telah dipotong dengan pembagian hadiah tersebut pada akhirnya akan dikembalikan lagi kepada para anggotanya dalam bentuk uang sesuai dengan besar kecilnya hutang pula.

Menurut hukum Islam bahwa praktik hutang piutang berhadiah yang terjadi di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo telah memenuhi rukun

dan syarat sahnya akad al-qar dalam Islam. Dan menurut syariat Islam dijelaskan

bahwa tidak setiap tambahan dalam hutang termasuk kategori riba. Karena tambahan hutang dapat dinyatakan dalam kategori riba apabila tambahan tersebut tidak ada transaksi pengganti didalamnya. Sedangkan dalam praktik hutang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras tersebut terdapat transaksi pengganti seperti pemberian hadiah pada setiap tahunnya dan sisa dari pembagian hadiah tersebut juga akan dibagi kembali kepada pihak peminjam. Maka dilihat dari Pratik tersebut dan jika disesuaikan dengan hukum Islam maka praktik tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai suatu riba, dan transaksi tersebut tidak dilarang menurut hukum Islam.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka disarankan bagi para pihak yang ingin melakukan kegiatan hutang piutang hendaknya selalu memperhatikan prinsip

muamalah dalam syari’at Islam agar tidak terjerumus dalam praktek yang dilarang

(7)

viii DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

MOTTO ...xiv

PERSEMBAHAN ...xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 7

C. Rumusan Masalah ... 8

D. Kajian Pustaka ... 9

E. Tujuan Penelitian ... 12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 13

G. Definisi Operasional ... 13

H. Metode Penelitian ... 14

I. Sistematika Pembahasan ... 19

(8)

ix

A. Utang Piutang (al- qar ) Dalam Islam ... 21

1. Pengertian Utang Piutang (al- qar ) ... 21

2. Dasar Hukum Utang Piutang (al- qar ) ... 23

3. Rukun dan Syarat Utang piutang (al- qar ) ... 29

4. Adab dalam Transaksi Utang Piutang (al- qar ) ... 33

B. Riba Dalam Islam ... 34

1. Pengertian Riba ... 34

2. Dasar Hukum Riba ... 35

3. Macam-Macam Riba ... 37

4. Hal-hal yang Menimbulkan Riba ... 39

5. Alasan pembenaran pengambilan tambahan ... 41

C. Hadiah Dalam Islam ... 47

1. Pengertian Hadiah ... 47

2. Dasar Hukum Hadiah ... 49

3. Rukun dan Syarat Hadiah ... 51

BAB III PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO ... 55

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55

1. Sejarah Desa ... 55

2. Keadaan Geografis, Demografis dan Susunan Pemerintahan ... 56

3. Keadaan Sosial Ekonomi ... 58

4. Keadaan Sosial Keagamaan ... 59

(9)

x

B. Praktik Utang Piutang Berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ... 62

1. Latar Belakang dan Tujuan pengadaan praktik utang piutang di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ... 62

2. Praktik Pelaksanaan akad utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ... 65

3. Pendapat Masyarakat Terhadap Praktik Utang piutang Berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ... 68

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTIK AKAD UTANG PIUTANG BERHADIAH DI DESA SUGIHWARAS KECAMATAN CANDI KABUPATEN SIDOARJO ... 70

A. Analisis Terhadap Praktik Utang Piutang Berhadiah Di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo . 70 B. Analisis Hukum Islam Terhadap Praktik Utang Piutang Berhadiah Di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ... 72

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(10)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 ...57

Tabel 2 ...59

Tabel 3 ...60

Tabel 4 ...61

Tabel 5 ...61

(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sering kali disebut makhluk sosial dengan artian bahwa manusia

saling membutuhkan satu sama lain antara manusia satu dengan manusia yang

lain baik dalam hal tolong menolong maupun dalam hal bekerja sama untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagaimana yang sudah tertera dalam firman

Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 2, sebagai berikut:



‚…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan

takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah Amat berat

siksa-Nya.‛1

Sebagaimana penjelasan ayat diatas, maka manusia dianjurkan untuk

saling tolong menolong dalam hal kebaikan sejalan dengan kenyataan itu

kehidupan manusia sejatinya tidak akan pernah lepas dari kegiatan

bermuamalah untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Muamalah

merupakan kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan tata cara

1

(12)

hidup sesama manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.2 Adapun

kegiatan bermuamalah yang sering dilakukan di masyarakat diantaranya jual

beli, sewa menyewa dan hutang piutang dan pemberian hibah atau hadiah

Utang piutang atau sering juga disebut dengan istilah qarḍ di dalam

hukum Islam yang mempunyai arti secara terminologis memberikan harta

kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di

kemudian hari.3 Dengan kata lain disebut meminjamkan tanpa mengharapkan

imbalan. Dalam literatur fiqih klasik, qarḍ dikategorikan dalam aqd tathawwi

atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.4

Dalam praktik akad utang piutang biasanya disertai dengan akad

pemberian imbalan atau pemberian hadiah. Pemberian hadiah ini diberikan

sebagai perwujudan rasa terimakasih atas pemberian pinjaman oleh kreditur

kepada debitur, karena pinjaman tersebut telah membantu meringankan dan

mencukupi segala kebutuhannya. Dan akad pemberian hadiah itu diberikan

secara sukarela dan tanpa paksaaan dari pihak manapun.

Di kehidupan bermasyarakat pemberian hadiah adalah sesuatu yang

dianggap umum yang sudah sering dilakukan didalam kegiatan bermuamalah.

Pemberian hadiah atau hibah adalah pemberian sukarela seseorang kepada orang

lain, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu

2Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah,

Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 4.

3

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), 334. 4

(13)

dari pemberi kepada seseorang yang diberi dan hal semacam ini dilakukan

semata-mata mendekatkan diri kepada Allah tanpa mengharapkan imbalan

apapun. Namun, dari segi kebiasaan hadiah lebih dimotivasi oleh rasa terima

kasih dan kekaguman seseorang.5 Seperti yang sudah dijelaskan dalam firman

Allah dalam surat al-Baqoroh ayat 177:

…

‚…dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak

yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) …‛6

Akad utang piutang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam

urusan manusia itu sendiri serta memberikan jalan keluar dari masalah yang

sedang dihadapi oleh mereka. Sedangkan akad pemberian hadiah bertujuan

untuk perwujudan rasa terima kasih seseorang yang telah membantu

meringankan kehidupannya. Dan keduanya bertujuan semata-mata untuk saling

tolong menolong dan mendekatkan diri kepada Allah.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, permasalahan juga semakin

kompleks seperti sering terjadinya ketidaksesuaian antara norma dengan

perilaku dalam masyarakat itu sendiri. Sekarang ini kesenjangan derajat

seseorang juga diperhitungkan dalam kegiatan bermuamalah padahal dalam

kegiatan bermuamalah harusnya tanpa memandang derajat, agama, suku bangsa

dan status sosialnya karena setiap kegiatan bermuamalah hanya semata-mata

5

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Graha Media Pratama, 2007), 6

(14)

karena saling tolong menolong antara manusia yang satu dengan manusia yang

lain.

Dan dalam setiap kegiatan bermuamalah yang sudah dilandasi dengan

dasar tolong menolong sebisa mungkin tidak menimbulkan kerugian yang

memberatkan kedua belah pihak sesuai dengan firman An-Nisa ayat 29 :



sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.‛7

Pada dasarnya setiap kegiatan bermuamalah termasuk utang piutang dan

pemberian hadiah adalah sama-sama atas dasar tolong menolong dan mencari

ridho Allah SWT. Jika semua kegiatan bermuamalah menggunakan dasar

tersebut, maka akan tercipta suatu tatanan masyarakat yang peduli terhadap

nasib orang-orang yang kesulitan dan kesusahan serta menghilangkan adanya

tingkat derajat atau status sosial yang ada di lingkungan masyarakat.

Seperti yang terjadi dalam akad utang piutang berhadiah pada masyarakat

Desa Sugihwaras RT 12 RW 03 Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo ini pada

awalnya modal dalam akad utang piutang ini berasal dari uang yang

dikumpulkan dari anggota arisan itu sendiri yang biasa disebut masyarakat

7

(15)

sebagai saham. Dan setiap orang yang berhutang wajib membayar hutangnya

disertai dengan uang tambahan wajib yang sudah disyaratkan pada awal akad

dan pengembalian hutangnya dilakukan dengan cara mengansur. Setiap anggota

arisan itu sediri secara bergiiliran melakukan akad utang piutang dengan kisaran

hutang sesuai keinginan dan kebutuhannya. Kisaran hutangnya minimal Rp.

300.000 dan maksimal Rp. 2.000.000 dan diangsur selama 10 kali. Dan dalam

setiap angsurannya disertai tambahan wajib yang telah disyaratkan dalam

kesepakatan awal dan uang tambahan yang didapatkan dari masyarakat itu di

kumpulkan dan disimpan kemudian dikeluarkan dalam waktu mendekati hari

raya Idul Fitri dalam bentuk sembako dan diberikan berdasarkan kisaran

hutangnya, jadi paket sembako yang diberikan kepada seseorang yang berhutang

Rp. 2.000.000 berbeda dengan pemberian sembako dengan kisaran hutang

Rp.300.000. Dan sisa uang yang telah dibelikan sembako itu disimpan dan pada

akhir periode arisan sekitar 2-3 tahun, sisa uang tersebut diperuntukkan untuk

kegiatan rekreasi para anggota arisan itu sendiri.

Ilustrasinya seperti berikut: si A pada awal periode menaruh saham Rp

50.000 dan setelah mendapatkan giliran berhutang si A berhutang Rp 500.000,

si A mengangsur setiap minggunya dengan membayar Rp.55.000 selama 10 kali

dengan total pelunasan menjadi Rp. 550.000 dan beberapa bulan selanjutnya si

A kembali mendapat giliran berhutang, si A berhutang kembali Rp. 1.000.000

(16)

menjadi 1.100.000. dan mendekari waktu hari raya si A mendapat bingkisan

lumayan besar karena berhutang lebih dari 1 kali.8

Berdasarkan ilustrasi diatas jika disesuaikan dengan syarat-syarat sahnya

utang piutang dalam syari’ah, terdapat hal yang kurang sesuai karena sesuai

dengan pengertiannya utang piutang merupakan kegiatan pinjam meminjam

uang atau barang antara orang yang membutuhkan (debitur) dengan orang yang

memiliki uang atau barang kemudian dipinjamkan (kreditur) dan pada kemudian

hari uang atau barang tersebut akan dikembalikan dengan jumlah atau barang

yang sama. Dan apabila dikembalikan dengan tambahan bisa diketegorikan

sebagai riba.

Secara etimologi riba berarti kelebihan atau tambahan. Para ulama fiqh

mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak

ada imbalan/ gantinya yang dibenarkan oleh syariah. Dan para ulama fiqh

sepakat bahwa muamalah dengan cara riba ini hukumnya haram.9 Allah

menunjukkan bahwa riba itu bersifat negatif, pernyataan ini disampaikan Allah

dalam surat Ar-rum ayat 39 yang berbunyi:

‚dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada

harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. …‛10

8

Sulianah, Wawancara, Desa Sugihwaras Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, 11 September 2016

9

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Graha Media Pratama, 2007), 181.

10

(17)

menurut beberapa warga Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo adanya akad utang piutang ini bisa dikatakan sebagai sesuatu yang

dapat meringankan beban hidup dan sebagai investasi sembako pada waktu

mendekati hari raya Idul Fitri dan mereka menganggap tambahan tersebut

adalah sebagai suatu tabungan yang nantinya juga akan kembali lagi ke

peminjam baik berbentuk sembako setiap tahunnya dan pada akhirnya sisanya

akan dikembalikan lagi kepada peminjam.

Namun demikian, untuk mengetahui bagaimana praktik pelaksanaannya

dan keadaan yang sebenarnya dalam pandangan hukum Islam terhadap transaksi

akad utang piutang berhadiah ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut.

Untuk itu maka penulis mengambil judul ‚Praktik Akad Utang Piutang

Berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo (Studi

Analisis Hukum Islam‛.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas terdapat beberapa masalah

dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut diidentifikasikan

sebagai berikut:

1. Pelaksanaan transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Akad dalam transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

(18)

3. Hadiah dalam transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo

4. Riba dalam transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

5. Analisis hukum Islam terhadap praktik transaksi utang piutang berhadiah di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

Agar menghasilkan penelitian yang lebih fokus, maka diperlukan batasan

masala dalam penelitian sehingga hanya terbatas pada:

1. Praktik transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan

Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Analisis hukum Islam terhadap praktik transaksi utang piutang berhadiah di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut ada beberapa permasalahan yang

dirumuskan, sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik transaksi utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo?

2. Bagaimana analisis hukum Islam terhadap praktik transaksi utang piutang

(19)

D. Kajian Pustaka

Kajian Pustaka adalah Deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian

yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan

pengurangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.11 Dalam

penelusuran awal sampai saat ini, penulis telah mencari karya ilmiah yang mirip

dengan kajian yang sedang dilakukan oleh penulis yang mengkaji tentang,

‚Praktik Utang Piutang Berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi

Kabupaten Sidoarjo (Studi Analisis Hukum Islam)‛.

Kemudian dari hasil pengamatan peneliti tentang kajian-kajian

sebelumnya, peneliti temukan beberapa kajian diantaranya:

1. Skripsi berjudul, ‚Tinjauan Hukum islam Terhadap Praktik Pinjam

meminjam uang di Desa Nglorog Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen‛

oleh Adi Wibowo. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa praktik hutang

piutang dengan adanya potongan dan tambahan yang terjadi di Desa

nglorog Kecamatan Sragen Kabupaten Sragen tidak mengandung unsur

penganiayaan karena kedua belah pihak saling diuntungkan, yaitu kreditur

mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya dan debitur juga

mendapatkan apa yang menjadi haknya, tambahan dalam hutang tersebut

dipergunakan untuk kelancaran kreditur dalam menyetorkan ke pihak

11

(20)

bank/koperasi tidak hanya itu usaha kreditur disini juga memakai agunan

(jaminan) miliknya, sehingga kreditur berhak atas keuntungan jaminan

tersebut. Pinjam meminjam uang ini boleh dilakukan dengan syarat hasil

pinjaman dipergunakan untuk kepentingan usaha yang bersifat produktif

dan dalam pinjaman ini tidak bersifat eksploitasi.12 Dari uraian diatas jelas

adanya perbedaan antara skripsi penulis dengan skripsi sebelumnya, yakni

apabila di skripsi sebelumnya tambahan dalam pinjaman itu dipergunakan

demi kelancaran kreditur untuk menyetorkan uang ke bank dan disini juga

terdapat jaminan dari kreditur sedangkan dalam skripsi penulis adanya

tambahan dalam hutang piutang ini tidak dipergunakan untuk kepentingan

produktif melainkan dimasukkan ke dalam kas dan juga tidak terdapat

jaminan apapun dalam akad hutang piutang tersebut.

2. Skripsi yang berjudul ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tambahan

Pembayaran Dalam Hutang Konsumtif Pada Arisan Kurban di Desa

Tanjungan Kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik ‛ oleh Lilik Zainyah.

Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa praktik hutang piutang dengan

menggunakan potongan dan tambahan yang terjadi di Desa Tanjungan

kecamatan Driyorejo Kabupaten Gresik menurut hukum Islam

menunjukkan bahwa tidak setiap tambahan atas jumlah pinjaman yang

berhutang itu dikatakan riba, tetapi lebih tergantung pada latar belakang

12

Adi Wibowo, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praaktik Pinjam Meminjam Uang Di Desa Nglorog

(21)

dan akibat yang ditimbulkan. Tambahan dalam transaksi hutang tersebut

adalah potongan saat pertama kali meminjam dan tambahan 5 % untuk

tambahan hutangnya merupakan tambahan yang boleh saja diambil karena

rata-rata pinjaman tersebut untuk modal usaha serta dengan tambahan

tersebut tidak menimbulkan keterpurukan dalam kehidupan ekonominya

dan mayoritas hutang tersebut digunakan untuk modal usaha.13 Disini

terdapat perbedaan antara skripsi penulis dengan skripsi yang sebelumnya

yaitu apabila dalam skripsi tersebut potongan dan tambahan tersebut

diberikan kepada pemegang arisan. Tetapi dalam skripsi penulis tambahan

dalam hutang piutang itu diberikan kembali kepada yang berhutang dalam

bentuk sembako dan bingkisan hari raya, serta tambahan dalam hutangnya

kadar tambahannya juga berbeda.

3. Skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Utang Piutang pada

gabungan kelompok Tani‛ oleh M. Ainul Yaqin. Dalam skripsi tersebut

diuraikan bahwa jika terdapat tambahan yang direncanakan dan menjadi

salah satu syarat bagi peminjam untuk bisa mendapat pinjaman, maka

hukumnya dilarang dan termasuk riba. Terdapat sistem riba di dalam

praktek qar di Desa babatan Lor, karena ada kelebihan pengembalian yang

disepakati dan disyaratkan bagi peminjam, jelas ini hal yang dilarang dalam

13

Lilik Zainyah, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tambahan Pembayaran dalam Hutang Konsumtif

(22)

hukum Islam, meskipun untuk kepentingan sosial, tidak dibenarkan

mengambil keuntungan mengatasnamakan kepentingan sosial dengan cara

yang dilarang dan bertentangan dengan syariat.14 Berdasarkan uraian

tersebut disini terdapat perbedaan yang signifikan antara skripsi ini dengan

skripsi sebelumnya dalam hal penggunaan tambahan dan indikasi adanya

riba, karena jika pada skripsi sebelumnya tambahan tersebut

mengatasnamakan kepentingan sosial, tetapi pada skripsi ini tambahan

dalam pinjaman tersebut pada akhirnya diakumulasikan dan diberikan

kembali kepada peminjam dalam bentuk hadiah sembako meskipun

tambahan uang tidak diterima sepenuhnya.

E. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk menemukan jawaban-jawaban

kualitatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tersimpul dalam rumusan

masalah. Tujuan penelitian antara lain :

1. Untuk mengetahui praktik utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Untuk mengetahui analisis hukum Islam terhadap praktik utang piutang

berhadiah di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

14

M.Ainul Yaqin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Utang Piutang Pada Gabungan Kelompok Tani”,

(23)

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu

secara teoritis dan secara praktis.

1. Secara teoritis yaitu:

a. Sebagai sumbangan pemikiran pada kepustakaan hukum Islam.

b. Dapat dijadikan rujukan pemantapan kehidupan beragama khususnya

yang berkaitan dengan masalah qar (hutang).

2. Secara praktis yaitu:

a. Dapat digunakan sebagai perbandingan bagi penelitian berikutnya untuk

membuat karya ilmiah yang lebih sempurna.

b. Sebagai sumbangan pemikiran dan informasi bagi pihak-pihak yang

berkepentingan dalam rangka menyelesaikan kasus-kasus yang serupa

pada suatu saat terjadi di tengah-tengah masyarakat.

G. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesulitan dan memudahkan pemahaman daam

penelitian ini, maka perlu dijelaskan istilah pokok yang menjadi bahasan yang

terdapat dalam judul penelitian ini.

Hukum Islam :Hukum-hukum (peraturan-peraturan) yang

(24)

Nabi Muhammad Saw baik berupa Al-Qur’an

maupun sunnah dan Ijma’ Para ulama.15

Utang Piutang berhadiah : Pemberian harta kepada orang lain yang akan

memanfaatkannya dan mengembalikannya di

kemudian hari disertai dengan sejumlah

tambahan dari hutang pokok dan pada akhir

periode akan diberikan hadiah berupa paket

sembako dari akumulasi uang hasil tambahan

hutang tersebut. Dalam skripsi ini hutang piutang

berhadiah yang terjadi di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

H. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) yakni

penelitian yang dilakukan di lapangan.16 Dalam penelitian ini. Penulis hendak

menganalisis dan menggambarkan praktik utang piutang berhadiah di Desa

Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo dengan menggunakan studi

analisa hukum Islam. Selanjutnya untuk dapat memberikan deskripsi yang baik,

dibutuhkan serangkaian langkah yang sistematis. Langkah-langkah tersebut

terdiri atas:

15

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 849.

16

(25)

1. Data yang dikumpulkan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan, maka data

yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas:

a. Data tentang praktik utang piutang (qarḍ) berhadiah yang terjadi di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

b. Data mengenai sirkulasi hasil utang piutang (qarḍ) dan pemanfaatannya

yang diterapkan di Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten

Sidoarjo.

c. Data tentang ketentuan hukum Islam terkait dengan utang piutang

(qar) berhadiah yang terjadi di masyarakat Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

2. Sumber Data

Sumber data adalah subyek dari mana data bisa diperoleh.17 Ada dua

macam sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Sumber primer yaitu data yang diperoleh dari sumber asli yang

memberikan informasi atau data yang berkaitan dengan penerapan

hutang. Ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang

valid. Sumber ini diperoleh dari:

17

(26)

1. Wawancara kepada pengurus atau pengelola uang utang piutang di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo yaitu

Sulianah, Rida dan Sayuti.

2. Wawancara dari peminjam yaitu Satumi, Isiyah dan Sri.

b. Sumber sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dari

sumber-sumber yang telah ada. Data ini diperoleh dari perpustakaan

atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu18

Data yang diambil dari literature-literatur berupa buku-buku

dan kitab-kitab yang terkait dengan penelitian ini, diantaranya:

1. Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah. Fikih Muamalah.

2. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah.

3. Nasrun Haroen. Fiqh Muamalah.

4. Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah

3. Teknik Pengumpulan Data

Terdapat beberapa macam teknik pengumpulan data, salah satunya

adalah teknik dokumentasi, dan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Observasi

18

(27)

Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan cara

mengadakan pengamatan langsung pada objek yang diteliti dengan

jalan pengamatan dan pencatatan.19

b. Studi Dokumentasi

Dalam teknik dokumentasi, peneliti menyelidik benda-benda

tertulis, seperti buku-buku, dokumen.20 Dari hasil pengumpulan

dokumentasi yang telah diperoleh peneliti maka akan dapat

meningkatkan keabsahan penelitian, karena peneliti betul-betul

melakukan penelitian secara langsung.

c. Wawancara

Dalam penelitian ini juga digunakan teknik wawancara.

Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi

dan ide melalui Tanya jawab sehingga dapat dikontruksikan makna

dalam suatu topik tertentu.21 Teknik ini digunakan untuk menggali data

atau informasi dari perwakilan baik dari pengurus maupun dari pihak

peminjam. Melalui wawancara tersebut, dapat diharapkan diperoleh

data atau informasi tambahan yang mendukung data utama yang

diperoleh dari sumber primer.

19

Masruhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustaka, 2013), 213

20

Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), `158.

21

(28)

4. Teknik Pengelolaan Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penggalian terhadap

sumber-sumber data akan diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali semua data-data yang diperoleh

dengan memilih dan menyeleks data tersebut dari berbagai segi yang

meliputi kesesuaian keselarasan satu dengan yang lainnya, keaslian,

kejelasan serta relevansinya dengan permasalahan.22 Teknik ini

digunakan penulis untuk memeriksa kelengkapan data-data yang sudah

penulis dapatkan dan akan digunakan sebagai sumber-sumber studi

dokumentasi.

b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun data sumber dokumentasi

sedemikian rupa sehingga dapat memperoleh gambaran yang sesuai

dengan rumusan masalah, serta mengelompokkan data yang

diperoleh.23 Dengan teknik ini diharapkan penulis dapat memperoleh

gambaran tentang praktik utang piutang berhadiah di Desa Sugihwaras

Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

c. Analyzing, yaitu dengan memberikan Analisis lanjutan terhadap hasil

editing dan organizing data yang telah diperoleh dari sumber-sumber

penelitian, dengan menggunakan teori dan dalil-dalil lainnnya24;

22

Chalid Narbuko Dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), 153.

23

Ibid., 154. 24

(29)

sehingga diperoleh kesimpulan pada praktik utang piutang berhadiah di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini teknik analisis datanya adalah dengan

menggunakan metode deskriptif kualitatif25 yaitu dengan menggambarkan

atau menjelaskan data pada praktik utang piutang berhadiah di Desa

Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo secara jelas sesuai

dengan pembahasan. Kemudian memberikan pendapat dengan

menggunakan pendekatan logika deduktif,26 yakni penalaran yang

digunakan untuk mengemukakan kenyataan dari hasil penelitian tentang

praktik hutang piutang berhadiah yang bersifat umum untuk kemudian

ditarik kesimpulan yang bersifat khusus.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pembahasan skripsi ini, maka penulis

membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab Pertama, dalam bab ini berisi pendahuluan yang memaparkan

tentang latar belakang masalah, identifikasi dan batasan masalah, rumusan

masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi

operasional, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

25

Burhan Buingin, Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Kencana, 2007), 150.

26

(30)

Bab Kedua berisi tentang penjelasan tinjauan teoritis yang membahas

tentang utang piutang yang meliputi tentang pengertian utang piutang, Dasar

hukum utang piutang, rukun dan syarat utang piutang, adab dalam transaksi

utang piutang, serta tentang riba dalam Islam yang meliputi pengertian riba,

dasar hukum riba, macam-macam riba, hal-hal yang menimbulkan riba, alasan

pembenaran pengambilan kelebihan pembayaran. Selain itu juga akan dibahas

tentang hadiah dalam islam meliputi pengertian hadiah, dasar hukum hadiah,

syarat dan rukun hadiah.

Bab ketiga, membahas tentang hasil penelitian yang berisi gambaran

umum Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo serta praktik

akad hutang piutang berhadiah di desa tersebut.

Bab keempat, Bab ini memuat tentang analisis praktik transaksi utang

piutang berhadiah di desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo

dan analisis hukum Islam terhadap praktik transaksi utang piutang berhadiah di

Desa Sugihwaras Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo.

Bab kelima, bab ini merupakan penutup yang tersdiri dari kesimpulan

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Adi Wibowo, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praaktik Pinjam Meminjam Uang

Di Desa Nglorog Kecmatan Sragen Kabupaten Sragen‛. Skripsi— UIN

SUNAN KALIJAGA, 2013.

Arikunto Suharsimi. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Burhan Buingin. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana, 2007

Chalid Narbuko Dan Abu Achmadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara,

1997.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Mekar Surabaya,

2002.

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel. Petunjuk Teknis Penulisan Skripsi. Surabaya: Fakultas Syariah dan Hukum, 2016.

Iqbal Hasan. Analisis Data Penelitian Dengan Statistika. Jakarta: Bumi Aksara,

2006.

Lilik Zainyah, ‚Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tambahan Pembayaran dalam

Hutang Konsumtif Pada Arisan Kurban di Desa Tanjungan Kecamatan

Driyorejo Kabupaten Gresik‛. Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2014.

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2012.

Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah. Jakarta: Gema Insani, 2001.

M.Ainul Yaqin, ‚Analisis Hukum Islam Terhadap Utang Piutang Pada Gabungan

Kelompok Tani‛. (Skripsi—UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.

M. Dahlan Al Barry, Pius A Partanto. Kamus Ilmiah popular. Surabaya: Arloka,

1994.

Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana, 2012.

Mardalis. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Masruhan. Metodologi Penelitian Hukum. Surabaya: Hilal Pustaka, 2013.

(32)

Sohari Sahrani dan Ruf’ah Abdullah. Fikih Muamalah. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Sulianah, Pengurus Kas, Wawancara, Desa Sugihwaras Kecamatan Candi,Kabupaten Sidoarjo, 11 September 2016.

Sumadi Suryabrata. Metodologi Penelitian cet. VII. Jakarta: Rajawali Pers, 1992.

Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfa Beta, 2008

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

(33)

21 BAB II

UTANG PIUTANG, HADIAH DAN RIBA DALAM HUKUM ISLAM

A. Utang Piutang (Al-qarḍ ) Dalam Islam

1. Pengertian utang piutang (al-qarḍ )

Al- qar disebut juga qardan diambil dari kata (qaraa- yaqruu-

qarḍan) yang artinya memotong, memakan dan menggigit.1 al-qarḍ menurut

bahasa artinya al-qaţ’u yang artinya memotong. Dinamakan demikian

karena pemberi hutang memotong sebagian hartanya dan memberikannya

kepada penghutang.2

Sedangkan menurut terminologi, al-qar adalah suatu akad antara

dua pihak, dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepada

pihak kedua untuk dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang

tersebut harus dikembalikan persis seperti yang ia terima dari pihak

pertama.3 Jadi al-qar adalah salah satu bentuk taqarrub kepada Allah SWT,

karena al-qar berarti berlemah lembut dan mengasihi sesama manusia,

memberikan kemudahan dan solusi dari duka dan kesulitan yang menimpa

orang lain.

Hakikat al-qar adalah pertolongan dan kasih sayang bagi yang

meminjam, ia bukan sarana untuk mencari keuntungan bagi yang

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif,1999),319.

2

Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 410.

3

(34)

meminjamkan, di dalamnya tidak ada imbalan dan kelebihan pengembalian.

Ia mengandung nilai kemanusiaan dan sosial yang penuh kasih sayang untuk

memenuhi hajat peminjam. Pengambilan keuntungan oleh yang

meminjamkan (muqtariḍ) harta membatalkan kontrak al-qarḍ. Hal ini sesuai

dengan kaidah yang mengatakan, setiap pinjaman yang mengandung unsur

pengambilan keuntungan yang dilakukan oleh yang meminjamkan adalah

haram. 4

Terdapat perbedaan pandangan antara para ulama tentang al-qarḍ

antara lain:

a. Menurut ulama hanafiyah, al-qar adalah harta yang diserahkan kepada

orang lain untuk diganti dengan harta yang sama. Atau dalam arti lain

al-qar merupakan suatu transaksi yang dimaksudkan untuk

memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk

dikembalikan yang sepadan dengan itu5

b. Menurut ulama Malikiyah, al-qar adalah menyerahkan sesuatu yang

bernilai harta kepada orang lain untuk mendapatkan manfaat, dimana

harta yang diserahkan tadi tidak boleh diutangkan lagi dengan cara

yang tidak halal, dengan ketentuan barang itu harus diganti pada waktu

4

Atang Abd.Hakim, Fiqih Perbankan Syariah, (Bandung: PT.Refika Aditama, 2011), 267.

5

(35)

yang akan datang, dengan syarat gantinya tidak beda dengan yang

diterima.6

c. Menurut ulama Syafi’iyah, al-qarḍ adalah penyerahan sesuatu untuk

dikembalikan dengan sesuatu yang sejenis atau sepadan.

d. Menurut ulama Hanabillah, al-qarḍ adalah penyerahan harta kepada

seseorang untuk dimanfaatkan dan ia wajib mengembalikan dengan

harta yang serupa dengan gantinya.

Dari beberapa pengertian al-qarḍ diatas, dapat disimpulkan bahwa

al-qar adalah memberikan harta dengan cara menghutangkan atau memberi

pinjaman kepada orang lain yang membutuhkan pinjaman atau hutang dan

dikembalikan dengan jumlah dan nilai yang sama pada awal pemberian

hutang tanpa membebankan kelebihan yang memberatkan pihak yang

berhutang.

2. Dasar Hukum Utang Piutang (al-qar )

Hikmah dan manfaat disyariatkannya al-qar adalah untuk

melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling menolong dalam

hal kebaikan dan ketakwaan serta menguatkan ikatan ukhuwah

(persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang

6

Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqih Empat Madzab Bagian Muamalat II, Penterjemah Chatibul Uman dkk,

(36)

membutuhkan dan mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang

tengah dilanda kesulitan. 7

Secara umum hukum memberi utang itu sunnah karena memberi

hutang merupakan salah satu cara untuk membantu orang lain. Memberi

hutang hukumnya wajib jika orang yang hendak berhutang sedang berada

dalam keadaan darurat bagi kelangsungan hidupnya, yakni jika tidak diberi

hutang maka akan terjadi sesuatu yang membahayakan bagi orang tersebut.

Dan hukum memberi utang bisa menjadi haram jika ia yakin bahwa yang

diberi hutang akan menggunakannya untuk kemaksiatan. Hukumnya

menjadi makruh jika benda yang akan dihutangkan itu akan digunakan

untuk sesuatu yang makruh.8 Serta hutang piutang hukumnya menjadi boleh

apabila telah terpenuhi syarat dan rukunnya.

Akad al-qardiperbolehkan dengan dua syarat:

a. Pinjaman itu tidak memberikan nilai manfaat (bonus atau hadiah yang

dipersyaratkan) bagi muqri, Sesungguhnya Nabi Saw melarang

pinjaman yang mengandung unsur manfaat, atau setiap pinjaman yang

mengandung manfaat, maka itu merupakan riba.

7

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: kencana, 2012),336.

8

(37)

b. Akad Al- qarḍ tidak digabungkan dengan akad lain, seperti akad jual beli. Terkait dengan bonus/hadiah, mayoritas ulama membolehkan

sepanjang tidak dipersyaratkan.9

Landasan hukum diperbolehkannya transaksi dalam bentuk hutang

piutang terdapat dalam al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’ sebagai berikut:

a. Al-Qur’an

baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu

untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak‛ (al Hadid:

11)10

‚dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah

tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian

atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui‛.11

b. Al-Hadist

Dimyauddin Djuwaini, Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 257.

10

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Mekar Surabaya, 2002), 786.

11

(38)

Ibnu mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi Saw berkata bahwa ‚bukan

seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim lainnya dua kali

kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah‛ (HR Ibnu Majah

no.2421, kitab al-ahkam; Ibnu Hibban dan Baihaqi).12

Riwayat Imam Muslim yangbersumber dari Abu Rafi’ r.a.,

sebagai berikut: ‚sesungguhnya Rasulullah Saw berutang seekor unta

muda kepada seorang laki-laki. Kemudian diberikan kepada beliau

seekor unta shadaqah. Beliau memerintahkan Abu Rafi’ kembali

kepada beliau dan berkata, saya tidak menemukan di antara unta-unta

tersebut kecuali unta yang usianya menginjak tujuh tahun. Beliau

menjawab, berikanlah unta itu kepadanya karena sebaik-baik orang

adalah orang yang membayar hutang.13

c. Ijma

Para ulama telah menyepakati bahwa Al-qar boleh dilakukan.

Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup

tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun

yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam

meminjam sudah menjadi bagian dari kehidupan ini. Islam adalah

agama yang sangat memperhatikan segenap kehidupan umatnya. 14

12

Muhammad Naruddin al-Albani, Ṣahih Sunan Ibnu Majjah, No. 2421, (Penterjemah: Ahmad Taufiq Abdurrahman). (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 414.

13

Al-Hafizh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Ṣahih Muslim, No.957, (Penterjemah: Syingithy Djamaluddin dan Mochtar Zoerni), (Bandung: Mizan, 2002), 518.

14Muhammad Syafi’i Antonio,

(39)

Selain dasar hukum dari al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama. Qarḍ juga diatur dalam ketentan fatwa DSN MUI No.19/DSN-MUI/IV/2001

yang menyebutkan bahwa:

Pertama : Ketentuan Umum Al-Qarḍ

1. Al-qarḍ adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah

yang memerlukan.

2. Nasabah al-qar wajib mengembalikan jumlah poko yang

diterima pada waktu yang disepakati bersama

3. Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah. LKS dapat

meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.

4. Nasabah al-qar dapat memberikan tambahan (sumbangan)

dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan

dalam akad.

5. Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau

seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan

LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:

a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau

b) Menghapus sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua : Sanksi

1. Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan

(40)

bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan

sanksi kepada nasabah.

2. Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana yang

dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada

penjualan barang jaminan.

3. Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus

memenuhi kewajibannya secara penuh.

Ketiga : Sumber dana al-qarḍ dapat bersumber dari:

1. Bagian modal LKS

2. Keuntungan LKS yang disisihkan

3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaliran

infaqnya kepada LKS

Keempat :

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau

jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka

penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah

setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan

jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan

diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.15

15

(41)

3. Rukun dan Syarat Utang Piutang

Islam menganjurkan dan menyukai orang yang meminjamkan dan

membolehkan bagi orang yang diberikan pinjaman, serta tidak

menganggapnya sebagai sesuatu yang makruh, karena dia menerima harta

untuk dimanfaatkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya dan

peminjam tersebut mengembalikan harta seperti semula. Dengan demikian,

agar akad yang dilakukan dalam hutang piutang menjadi sah, maka berikut

adalah rukun dan syarat hutang piutang16:

a. Muqri

Muqri adalah orang yang memberikan pinjaman harus ahliya

tabarru’. Artinya muqrid harus mempunyai hak atau kecakapan dalam

mengunakan hartanya secara mutlak menurut pandangan syara’ tanpa

paksaan, dan dalam memberikan pinjaman harus berdasarkan

kehendaknya sendiri, tidak ada tekanan dari pihak lain atau pihak

ketiga.

b. Muqtari

Muqtari adalah orang yang meminjam suatu benda atau harta

dan harus merupakan orang yang ahliyah mu’āmalah. Maksudnya

adalah sudah baligh, berakal sehat dan tidak mahjur (bukan orang yang

oleh syari’at tidak diperkenankan untuk mengatur sendiri hartanya

16 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Mu’amalah,……

(42)

karena faktor-faktor tertentu). Sehingga anak kecil atau orang gila yang

melakukan pinjaman tidak sah dan tidak memenuhi syarat.

c. Qarḍ (harta yang dipinjamkan atau obyek akad)

Menurut ulama Hanafiyah, harta yang dipinjamkan haruslah

harta mithli. Sedangkan dalam pandangan jumhur ulama dibolehkan

dengan harta apa saja yang bisa dijadikan tanggungan, seperti uang,

biji-bijian dan harta mithli seperti hewan, barang tidak bergerak dan

sebagainya. Harta yang dipinjamkan harus jelas ukurannya, baik dalam

takaran, timbangan, bilangan, maupun ukuran panjang supaya mudah

dikembalikan. Dan dari jenis yang belum tercampur dengan jenis

lainnya seperti gandum yang bercampur dengan jelai karena sukarnya

mengembalikan gantinya. 17

Secara umum rukun harta yang dipinjamnkan dijelaskan sebagai

berikut:

1) Harta berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang satu

sama lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang

mengakibatkan perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang

ditakar, ditimbang, ditanam dan dihitung.

2) Harta yang dihutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah

mengutangkan manfaat (jasa).

17

(43)

3) Harta yang dihutangkan diketahui, yaitu kadarnya dan diketahui

sifatnya.18

d. Sighat (ijab dan kabul)

Sighat akad merupakan ijab, pernyataan pihak pertama

mengenai perjanjian yang diinginkan sedangkan kabul merupakan

pernyataan pihak kedua untuk menerimanya. Sighat akad dapat

dilakukan secara lisan, tulisan atau isyarat yang memberikan pengertian

dengan jelas tentang adanya ijab dan kabul dan dapat juga dengan

perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan kabul. Sighat

akad sangat penting dalam rukun akad, karena melalui akad tersebut

maka akan diketahui maksud dari setiap pihak yang melakukan

transaksi. Sighat akan dinyatakan melalui ijab dan kabul sebagai

berikut:

1) Tujuan akad harus jelas dan dapat dipahami

2) Antara ijab dan kabul harus ada kesesuaian

3) Pernyataan ijab dan kabul harus sesuai dengan kehendak

masing-masing dan tidak boleh ada yang meragukan.19

Di zaman modern perwujudan ijab dan kabul tidak lagi

diucapkan, tetapi dilakukan dengan sikap mengambil barang dan

18

Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana, 2012), 335

19

(44)

membayar uang dari pembeli, serta menerima yang dn menyerahkan

barang oleh penjual tanpa ucapan apapun. Dalam fiqh Islam, hal seperti

ini disebut dengan al-mu’athah.

Dalam kasus perwujudan ijab dan kabul melalui sikap ini

(al-mua’athah) terdapat perbedaan pendaat di kalangan ulama fiqh. Jumhur

ulama berpendapat bahwa jual beli seperti ini hukumnya boleh, apabila

hal itu sudah menjadi kebiasaan suatu masyarakat di suatu negeri.

Karena hal itu telah menunjukkan unsur rida dari kedua belah pihak.

Menurut mereka, diantara unsur yang terpenting dalam transaksi adalah

suka sama suka. Dan sikap mereka telah menunjukkan bahwa ijab dan

kabul dan telah mengandung unsur kerelaan.20

Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam akad (al-qar)

adalah sebagai berikut:

a. Besarnya pinjaman harus diketahui dengan jelas takaran, timbangan

dan jumlahnya.

b. Sifat pinjaman harus diketahui jika dalam bentuk hewan

c. Pinjaman berasal dari orang yang layak dimintai pinjaman. Jadi tidak

sah apabila berasal dari orang yang tidak memiliki sesuatu yang tidak

bisa dipinjam atau orang yang tidak normal akalnya. 21

20

Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007), 117.

(45)

4. Adab dalam transaksi hutang piutang

Di dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan manusia tidak terlepas

dari yang namanya hutang piutang, sebab di antara mereka ada yang

membutuhkan dan ada yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia

sebagaimana Allah SWT tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga

berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya sehingga tidak

dapat mencukupi kebutuhan pokok maupun mendesaknya sehingga

mendorong seseorang dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari

pinjaman dari orang yang dipandang mampu dan bersedia memberi

pinjaman.

Adapun terdapat adab atau etika dalam hutang piutang antara lain:

a. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan yang telah dipertegas

dalam surat al Baqoroh ayat 282

b. Muqri tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang

yang berhutang. Dengan kata lain, bahwa pinjaman berbunga atau yang

mendatangkan manfaat adalah haram berdasarkan al-qur’an, as-sunnah

dan ijma’ ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau

manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman

adalah mengasihi dan menolong orang yang meminjam. Tujuannya

(46)

c. Melunasi hutang dengan cara yang baik, hal ini sebagaimana dalam keras sehingga membangkitkan rasa kesal sahabat-sahabat nabi Saw kepadanya. Akan tetapi Nabi bersabda, sesungguhnya orang yang mempunyai hak, dia berhak menuntut haknya. Lalu beliau bersabda kepada mereka (para sahabat beliau) belikanlah untuknya seekor unta muda, kemudian berikanlah unta itu padanya. Mereka berkata, kami tidak mendapatkan seekor unta yang lebih baik daripadanya. Beliau bersabda, belikanlah unta yang lebih baik untuknya dan berikanlah kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kamu ialah orang-orang yang

membayar unta (HR Muslim)‛22

Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah

melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan

disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang). 23

B. Riba dalam Islam

1. Pengertian riba

Riba secara bahasa berarti meningkat, tambahan, perluasan ataupun

peningkatan. Dalam Islam riba dapat didefinisikan sebagai ‚premi‛ yang

harus dibayar dari si peminjam kepada yang meminjamkan bersama dengan

22

Al-Hafizh Zaki Al-Din Abd Al-Azhim Al-Mundziri, Ringkasan Ṣahih Muslim, No.957, (Penterjemah: Syingithy Djamaluddin dan Mochtar Zoerni)…. 518.

(47)

jumlah pokoknya sebagai kondisi dari jatuh tempo atau berakhirnya masa

pinjaman. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara

umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah

pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam

meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam

Islam. 24

Pengertian riba di dalam kamus adalah kelebihan atau peningkatan

atau surplus. Tetapi dalam ilmu ekonomi, riba merujuk pada kelebihan

pendapatan yang diterima oleh si peminjam, kelebihan dari jumlah uang

pokok yang dipinjam, yaitu sebagai upah atas dicairkannya sebagian harta

dalam waktu yang ditentukan. Dalam Islam riba secara khusus merujuk

pada kelebihan yang diminta dengan cara yang khusus.25

2. Dasar hukum riba

Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa muamalah dengan cara

riba ini hukumnya haram. Keharaman riba ini dapat dijumpai dalam

ayat-ayat al-Qur’an dan hadist Rasulullah Saw.

a. Al-Qur’an

1) Ar-rum ayat 39

24Muhammad Syafi’i Antonio,

Bank Syariah,...37.

25

(48)

‚dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah

pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS.Ar

rum:39).‛26

‚dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya

mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang

pedih.‛27

b. Al hadist

Alasan keharaman riba dalam sunnah Rasulullah Saw,

diantaranya dalam sabda Rasulullah Saw. Dari Abu Hurairah yang

diriwayatkan Muslim tentang tujuh dosa besar, diantaranya adalah

memakan riba. Dalam riwayat Ibn Mas’ud dikatakan:

َُلِكْوُمَو اَبِرلا ُلِكا ملسو ها ىلص هاوسر َنَعَل

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,….575.

27

(49)

‚Rasulullah Saw melaknat para pemakan riba, yang memberi makan

dengan cara ribā, para saksi dalam masalah riba dan penulisnya. (HR

Abu Daud dan hadist yang sama juga diriwayatkan oleh Muslim dari

Jabir Ibn’Abdillah)‛28

3. Macam-Macam riba

Menurut Ibnu al-Jauziyah dalam kitabnya yang dikutip oleh Hendi

Suhendi mengemukakan, bahwa riba dibagi menjadi dua bagian, ribā jali

dan ribā khafī. Ribā jali sama dengan ribā nasī’ah, sedangkan ribā khafī.

merupakan jalan yang menyampaikan kepada ribā jali. Dan ribā khafī.

disini adalah sama dengan ribā fali.

Ribā fali adalah berlebih salah satu dari dua pertukaran yang

diperjualbelikan. Bila yang diperjualbelikan sejenis. Berlebih timbangan

pada barang yang ditakar dan berlebihan ukurannya pada

barang-barang yang ditukar.

Ribā nasī’ah adalah riba yang membayarnya atau penukarannya

berlipat ganda karena waktunya diundurkan, sedangkan ribā fali

semata-mata berlebihan pembayaran, baik sedikit maupun banyak. Ribā jali dan

ribā khafī yang dijelaskan pula bahwa menurut beliau riba jali adalah riba

yang nyata bahaya dan mudaratnya, sedangkan ribā nasī’ah dan riba khafi

adalah riba yang tersembunyi bahaya dan mudaratnya. Inilah yang disebut

ribā faḍli yang besar kemungkinan membawa kepada ribā nasī’ah

28

(50)

Selanjutnya Ibn Qayyim menyatakan, dilarang berpisah dalam perkara

tukar-menukar sebelum ada timbang terima. Menurut Sulaiman Rasyid, dua

orang yang bertukar barang atau jual beli berpisah sebelum timbang terima

disebut ribā yad. Menurut Ibn Qayyim, perpisah dua orang yang melakukan

jual beli sebelum serah terima mengakibatkan perbuatan tersebut menjadi

riba. 29

Menurut sebagian ulama, riba dibagi menjadi empat macam yaitu

sebagai berikut:

a. Ribā fali, yaitu pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau

takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu

termasuk jenis barang ribawi. Namun karena sulitnya menentukan

harga yang seimbang pada satu barang walaupun sejenis, harga yang

tidak seimbang dapat terjadi. Misalnya menukar 10 kg beras dengan 11

kg beras. Barang yang sejenis, misalnya beras dengan beras, uang

dengan uang, emas dengan emas.

b. Ribā qari, yaitu utang piutang dengan suatu manfaat atau tingkat

kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang.30 Dalam

hal ini para pihak menyepakati besarnya tambahan yang akan

dibayarkan antara mereka. Walaupun sudah merupakan kesepakatan,

namun kesepakatan itu tidak menghilangkan sifat pelanggarannya.

29

Sohari Sahrani, Fikih Muamalah, ( Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), 58-59.

30Muhammad Syafi’I Antonio,

(51)

misalnya, seorang berutang Rp. 25.000,00 dengan perjanjian akan

dibayar Rp. 26.000,00. Ataupun seperti rentenir yang meminjamkan

uangnya dengan pengembalian 30 % perbulan.

c. Ribā yadh, yaitu jual beli yang dilakukan seseorang sebelum menerima

barang yang dibelinya dari si penjual dan tidak boleh menjualnya lagi

kepada siapapun, sebab barang yang dibeli belum diterima dan masih

dalam ikatan jual beli yang pertama.

d. Ribā nasa’ī, yaitu melebihkan pembayaran barang yang

diperjual-belikan atau diutangkan karena dilambatkan waktu pembayarannya.

Misalnya menjual emas seharga Rp.20.000,00. Jika dijual tunai, dan

menjual seharga Rp. 300.000,00 jika diangsur (kredit).31

4. Hal-hal yang menimbulkan riba

Dalam pelaksanaannnya, masalah riba diawali dengan adanya

rangsangan seseorang untuk mendapatkan keuntungan yang dianggap besar

dan menggiurkan. Dalam kaitan ini Hendi Suhendi mengemukakan, bahwa

jika seseorang menjual benda yang mungkin mendatangkan riba menurut

jenisnya seperti seseorang menjual salah satu dari dua mata uang, yaitu,

emas dan perak dengan yang sejenis atau bahan makanan seperti beras

dengan beras, gabah dengan gabah, dan yang lainnya, maka disyaratkan

sebagai berikut:

(52)

a. Sama nilainya

b. Sama ukurannya menurut syara’, baik timbangannya, takarannya

maupun ukurannya.

c. Sama-sama tunai di majelis akad.

Berikut ini merupakan contoh-contoh riba pertukaran:

a. Seseorang menukar langsung uang kertas Rp. 10.000,00 dengan uang

recehan Rp. 9.950.000,00 uang Rp.50,00 tidak ada imbangannya atau

tidak tamasul, maka uang Rp. 50,00 adalah riba.

b. Seseorang meminjamkan uang sebanyak Rp.100.000,00 dengan syarat

dikembalikan ditambah 10 persen dari pokok pinjaman, maka 10 persen

dari pokok pinjaman adalah riba sebab tidak ada imbangannya.

c. Seseorang menukarkan seliter beras ketan dengan dua liter beras dolog,

maka pertukaran tersebut adalah riba sebab beras harus ditukar dengan

beras sejenis dan tidak boleh dilebihkan salah satunya. Jalan keluarnya

ialah beras ketan dijual terlebih dahulu dan uangnya digunakan untuk

memberi beras dolog.

d. Seseorang yang akan membangun rumah membeli batu bata, uangnya

diserahkan tanggal 5 desember 1996, sedangkan batu batanya diambil

nanti ketika pembangunan rumah dimulai, maka perbuatan tersebut

adalah perbuatan riba sebab terlambat salah satunya dan berpisah

(53)

e. Seseorang yang menukarkan 5 gram emas 22 karat dengan 5 gram emas

12 karat termasuk riba walaupun sama ukurannya tetapi berbeda nilai

(harganya). 32

5. Alasan pembenaran pengambilan kelebihan pembayaran

Sekalipun ayat-ayat dan hadist riba sudah sangat jelas tetapi masih

saja ada beberapa cendekiawan yang mencoba untuk memberikan

pembenaran atas pengambilan bunga uang. Diantaranya karena alasan

berikut:

1. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya

2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang. Sedangkan suku

bunga yang ‚wajar‛ dan tidak mendzalimi, diperkenankan.

3. Bank, sebagai lembaga tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan

demikian, tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadist riba.33

Alasan pembenaran yang dimaksud, perlu diuraikan sebagai berikut:

1. Darurat

Untuk memahami pengertian darurat, kita seharusnya melakukan

pembahasan yang komprehensif tentang pengertian darurat yang

dinyatakan oleh syara’ bukan pengertian sehari-hari terhadap istilah ini.

Imam Suyuti menegaskan bahwa darurat adalah suatu keadaan

emergency, yaitu seseorang yang tidak segera melakukan sesuatu

32

Sohari Sahrani, Fikih Muamalah,... 60.

33Muhammad Syafi’I Antonio,

(54)

tidakan dengan segera maka akan membawanya ke jurang kehancuran

atau kematian. Darurat dimaksud dalam litelatur klasik disebut sebagai

suatu keadaan emergency yang sering dicontohkan dengan sesorang

yang tersesat di dalam hutan dan tidak ada makanan lain kecuali daging

babi yang diharamkan.34 Maka dalam keadaan demikian Allah

menghalalkan daging babi dengan dua batasan yang dijelaskan dalam

surat Al Baqoroh ayat 173, sebagai berikut:



‚Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,

darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.

Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‛35

Pembatasan yang pasti terhadap pengambilan dispensasi darurat

ini harus sesuai dengan metodologi ushul fiqh, terutama penetapan al-

qawā’id al-fiqhiyyah seputar kadar darurat. Berdasarkan ayat al-qur’an

yang dimaksud, para ulama merumuskan kaidah fikih sebagai berikut:

اَِرْدَقِب ُرِدَقُ ت ُتا َرُرضلا

‚ Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya‛

34 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, …….

107.

35

(55)

Pengertian darurat dimaksud, ada masa berlakunya serta ada

batasan ukuran dan kadarnya. Contohnya seandainya di hutan ada sapi

atau ayam maka dispensasi untuk memakan daging babi menjadi

hilang. Demikian juga seandainya untuk mempertahankan hidup cukup

dengan tiga suap maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau

sepuluh suap. Apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada

tetangga.

2. Berlipat ganda

Ada beberapa pendapat bahwa bunga hanya dikategorikan riba

bila sudah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan bila kecil dan

wajar-wajar saja dibenarkan.36 Pendapat ini berasal dari pemahaman

yang keliru atas surat Ali Imron ayat 130:



dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah

supaya kamu mendapat keberuntungan.‛37

Sepintas, surah ali Imran ayat 130 ini memang cenderung hanya

melarang riba yang berlipat ganda. Akan tetapi, memahami kembali

ayat tersebut secara cermat termasuk mengaitkannya dengan ayat-ayat

36 Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syari’ah, ……

108.

37

(56)

riba yang lainnya secara komprehensif, serta pemahaman terhadap

fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh, akan sampai pada kesimpulan

bahwa riba dalam segala bentuk dan jenisnya mutlak diharamkan.

Menanggapi pembahasan surah ali Imran ayat 130 ini, Syekh

Umar bin Abdul Aziz al-Matruk menegaskan bahwa adapun yang

dimaksud dalam ayat 130 dalam surah ali imron, termasuk redaksi

berlipat ganda dan penggunaannya sebagai dalil, sama sekali tidak

bermakna bahwa riba harus sedemikian banyak. Ayat ini menegaskan

tentang karakteristik riba secara umum bahwa ia mempunyai

kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai dengan

berjalannya waktu. Dengan demikian, redaksi ini (berlipat ganda)

menjadi sifat umum dari riba dalam terminolohi syara’ (Allah dan

Rasulnya)

3. Badan hukum dan hukum taklīf

Ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ketika ayat riba

turun dan disampaikan di Jazirah Arabia, belum ada bank atau lembaga

keuangan, yang ada hanyalah individu-individu. Dengan demikian bank

yang mengambil bunga tidak terkena hukum taklif karena pada saat

Nabi hidup belum ada.

Pendapat ini jelas memiliki banyak kelemahan, baik dari sisi

(57)

a. Tidaklah benar bahwa pada zaman pra-Rasulullah tidak ada ‚badan hukum‛ sama sekali. Sejarah romawi, Persia, dan yunani

menunjukkan ribuan lembaga keuangan yang mendapat pengesahan

dari pihak penguasa. Dengan kata lain, perseroan mereka telah

masuk ke lembaran Negara.

b. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut

sebagai juridical personality yang secara hukum adalah sah dan

dapat mewakili individu- individu secara keseluruhan.

Dilihat dari segi mudharat dan manfaat, perusahaan dapat

melakukan mudharat jauh lebih besar dari perseorangan. Kemampuan

seseorang pengedar narkotika dibandingkan dengan sebuah lembaga

mafia dalam produksi, mengekspor, dan mendistribusikan obat-obat

terlarang bukanlah sama. Lembaga mafia jauh lebih besar bahayanya.

Alangkah naifnya bila kita menyatakan bahwa sesuatu yang dilakukan

lembaga mafia tidak dapat terkena hukum taklif karena bukan

mukallaf. Memang ia bukan insan mukallaf, tetapi melakukan fi’il

mukallaf yang jauh lebih besar dan berbahaya. Demikian juga dengan

lembaga keuangan, apa bedanya antara seorang rentenir dan lembaga

Gambar

Tabel 4 ................................................................................................................61
Tabel 1 Jumlah Penduduk
Tabel 2 Mata Pencaharian
Tabel 3 Agama/ aliran kepercayaan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hardness Rockwell C Test (HRC) : pengujian untuk mendapatkan nilai kekerasan material. Material outer link Chain Beumer BZK1200 dilakukan pengujian hardness

SeP kontrapozicija yra ne-P o ne-S (sprendinio „Nė vienas S nėra P“ kontrapozicija yra sprendinys „Bent vienas ne-P nėra ne-S“).. SoP kontrapozicija yra ne-P o ne-S

Dalam penelitian dalam waktu yang singkat (7 hari) tanpa adanya induksi stress oksidatif maka pengaruh pemberian ekstrak tape ubi tidak bermakna.Penurunan kadar AST dan

Simulasi space-time diversity dengan modulasi QPSK melalui kanal AWGN Dari gambar 8 diperlihatkan bahwa untuk mencapai BER 10 −3 , sistem transmisi tanpa coding

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun urang aring memiliki efektivitas dalam menghambat pertumbuhan E.coli, diameter zona hambat menunjukkan seiring dengan

Perlu mengefektifkan penegakan hukum oleh penyidik terhadap tindak pidana korupsi di Kabupaten Pinrang, melalui upaya peningkatan kualitas aparat penegak hukum termasuk

Faktor-faktor yang menghambat upaya pengintegra- sian wayang beber ke dalam mata pelajaran seni bu- daya berbasis keunikan dan kearifan lokal di SMA Negeri Punung Kabupaten

Pada kegiatan inti pelajaran, guru memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran Fisika dengan Kompetensi Dasar Menerapkan gerak parabola dengan menggunakan