• Tidak ada hasil yang ditemukan

JAS Vol 15 No 1 Aksi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan 14-Review_Buku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JAS Vol 15 No 1 Aksi Petani dan Gerakan Politik Pedesaan 14-Review_Buku"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

“PEMBANGUNAN”, KESENJANGAN,

MENTALITAS, DAN DEMOKRATISASI

Dede Mulyanto

1

“Pembangunan”

Warna yang tak lekang melekati gam-baran negara-negara Dunia Ketiga adalah kemiskinan sebagian (besar) penduduknya. Di Indonesia, kemis-kinan bukan hanya laporan tahunan, melainkan berita harian; bukan pula cuma catatan statistik, melainkan ju-ga potret pilu kelaparan para peng-huni tepi meja kemakmuran. Peng-huni pinggir meja itu begitu mudah-nya terjatuh lalu terlindas gerak peru-bahan yang kian lama kian

dikenda-Judul Buku

Penulis Penerbit Tahun Jml Halaman

Yang Berkuasa, Yang Tersisih, Yang Tak Berdaya: Demokratisasi yang bagaimana di Indonesia?

Ina E. Slamet

Yayasan AKATIGA Bandung 2005

xii + 92 halaman :

: : : :

likan kapitalisme global dalam laju yang tak secuilpun terpikir oleh mere-ka. Bagi Ina Slamet, keberadaan me-reka di pinggir kemakmuran dan per-caturan politik-ekonomi-budaya na-sional bukanlah suratan tangan Tu-han. Mereka adalah yang tak berdaya karena proses peminggiran yang ber-ulang kali terjadi sejak langkah perta-ma perjalanan historik Indonesia se-bagai negara-bangsa.

(2)

masyara-kat suku di pedalaman yang terjebak dalam hujan lebat penetrasi kapita-lisme dan terpaksa basah kuyup lalu terancam influenza. Memang Ina Slamet, yang dalam buku ini berperan sebagai antropolog, banyak meng-angkat persoalan ketersisihan yang dialami suku-suku pedalaman seperti suku-suku Dayak di pedalaman Kali-mantan atau suku-suku pedalaman Papua. Tetapi, penulis juga mengi-ngatkan bahwa keterpinggiran sosial-ekonomi-politik juga dialami sebagian orang 'sial' dari suku bangsa Jawa yang secara politik menguasai 'pusat' kesatuan politik bernama Indonesia. Peminggiran memang bercokol di ta-kota dengan jembel penghuni ko-long jembatan dan penggusuran se-bagai lambangnya. Hal ini disadari Ina Slamet sepenuhnya. Tetapi, penga-laman bertahun-tahun meneliti dan hidup bersama suku-suku pedalaman Papua membuat Ina memusatkan perhatiannya pada ketersisihan yang menghantui suku pedalaman.

Masyarakat suku, seperti di peda-laman Papua dan Kalimantan, terpak-sa menjadi bagian dari sebuah terpak-satuan politik negara. Ketika negara menjadi sekadar kantor penjaga kepentingan kapitalis yang berjuang tak kenal lelah untuk membuka dan mengembang-kan daerah-daerah 'tak-bertuan', ma-ka masyarama-kat suku yang meninggali

(3)

menjelma menjadi sumber kera-cunan. Binatang buruan juga jarang, dan kalau pun ada, biasanya berke-liaran di lahan yang dimiliki suku lain atau tercemar racun tambang.

Berbagai pihak yang berkepentingan atas pembangunan wilayah 'suku ter-asing' ternyata tidak hanya membawa baju, uang, dan beras, tetapi juga perpecahan dalam masyarakat. Suku Nawapiri terpilah-pilah ke dalam ber-bagai orientasi kesetiaan baru. Seba-gian 'dibina' gereja dan berbagai or-ganisasi misi atau zending. Sebagian 'dididik' agar sedikit lebih modern oleh NGO, pemerintah, ataupun pihak Freeport. Patronase dibangun antara beberapa pihak yang sadar betapa murahnya tenaga kerja tidak terdidik dengan keluarga-keluarga yang kebi-ngungan di dunia yang tunggang-langgang ini. Keadaan ini tidak jarang menimbulkan konflik internal. Bila di masa lalu perselisihan bisa ditengahi oleh para tetua suku, kini kumpulan lelaki tua mereka tidak akan sanggup lagi menjadi penengah dan pendamai. Konsekuensi menjadi bagian dari satuan politik negara adalah bahwa semua perselisihan harus diserahkan kepada penegak ketertiban dan keamanan berwenang: tentara atau polisi. Seikat sapu lidi telah kehi-langan tali pengikatnya; bercerai-be-rai dan mudah patah.

Dalam kasus ini, pertanyaan tentang sebab kemiskinan dan keterbela-kangan mereka seperti menabur ga-ram di lautan: tiada guna dan terlihat bodoh. Yang mungkin adalah perta-nyaan tentang kemungkinan jalan ke-luar bagi yang tersisih dan yang tak berdaya ini. Mungkin Daud memang mampu mengalahkan Goliath. Tapi itu karena Tuhan berada di pihak Daud. Kini tampaknya Tuhan lebih memihak kapitalis. Kekuasaan yang dihadapi kaum tersisih dan tertindas ini terlam-pau besar dibanding ukuran tombak mereka yang kini tiada guna selain sebagai hasil kerajinan tangan yang dijual di pameran seni. Oleh karena itu, tidak terlalu mengherankan bila Ina Slamet hanya bisa menawarkan solusi ideal dan normatif. Nada pesi-mis Ina Slamet sudah terdengar dari bait awal elegi dalam buku ini. Misal-nya dia menulis “Secara lokal, demo-krasi formal tidak pula akan mem-bantu mereka, karena mudah dimani-pulasi oleh pemimpin dan elit yang ada” (hal. 12). Meski demikian, Ina Slamet masih percaya pada cita-cita pencerahan, yaitu demokrasi, sebagai pengganti sistem politik negara yang sentralistik-birokratik.

(4)

mereka yang tersisih dan tak berdaya. Demokrasi ini harus meliputi adanya pembagian kekuasaan lebih luas, ter-bukanya akses kepada sarana-sarana produksi dan distribusi bagi rakyat, terbukanya akses bagi rakyat untuk memperoleh perlindungan hukum yang layak, dan terciptanya keadaan yang di situ semua orang setara dalam membela, mengembangkan, dan mengekspresikan identitas serta har-ga dirinya.

Dalam bidang politik, demokrasi harus dimulai dengan mengikis sisi buruk sentralisasi kekuasaan. Berkenaan dengan sentralisasi kekuasaan yang selama ini menjadi moda reproduksi kekuasaan negara yang menindas rakyat sepanjang sejarah Indonesia, Ina Slamet memang belum sepenuh-nya percaya bahwa desentralisasi me-rupakan obat mujarab satu-satunya bila diterapkan secara membabi-buta. Salah-salah, desentralisasi yang diter-jemahkan ke dalam otonomi daerah malah memunculkan preman-preman baru yang bisa lebih kejam daripada ibukota. Menurutnya, harus ada per-hatian terhadap situasi lokal yang ber-beda-beda. Setiap lokalitas menyim-pan beragam potensi dan karakteris-tik. Desentralisasi bisa diharapkan berdampak seperti 'obat mujarab' asal tidak dilupakan bahwa masyarakat lokal itu “...sudah dengan seribu satu

cara terjalin dengan kesatuan yang lebih luas di segala bidang dan jalinan ini tidak semua bersifat negatif; ada cukup banyak juga yang saling meng-untungkan” (hal. 41). Ina Slamet, de-ngan mengutip buku Seeing Like State

karya James Scott, mengemukakan bahwa negara otokratik dan sentralis-tik selalu terobsesi pada keseragam-an. Bagi negara, daripada membiar-kan hutan dengan keanekaragaman hayatinya, lebih baik menebangi dan menanaminya secara monokultur. Hal ini dilakukan karena akan mengun-tungkan perusahaan-perusahaan ka-yu dan orang-orang yang mewakili ne-gara berkat penarikan pajaknya. Wa-lau hasil positifnya masih terbatas, de-sentralisasi bukannya tidak perlu. Pa-ling tidak agar suara-suara lokal ter-dengar dalam simfoni 'masyarakat adil dan makmur'.

Kesenjangan

(5)

Kali-mantan, Sulawesi, dan Papua menjadi miskin dan terlunta-lunta dalam mo-dernisasi justru karena tanah mereka mengandung tembaga, perak, emas, atau kayu. Sebaliknya, penduduk per-bukitan kapur di bagian selatan Jawa tetap mendekam di penjara kemis-kinan karena tanah mereka hanya mengandung secuil 'sumber daya'. Jadi, bukan semata ketidaktersediaan sumber daya yang membuat suatu masyarakat terpinggir, melainkan ba-gaimana hubungan antara masyara-kat dengan sumber daya tersebut. Se-kaya apapun alam tempat suatu ma-syarakat tinggal, bila pemanfaatannya dimonopoli oleh segelintir kapitalis serakah jangan harap 'pembangunan' akan menyejahterakan rakyat jelata. Rakyat tidak hanya tidak sejahtera, tetapi juga tersisih secara sosial-politik-budaya. Tersingkirnya banyak orang dari produksi kemakmuran di daerah asal melahirkan jelata tak berdaya yang hampir-hampir tidak punya pilihan: menjadi gelandangan di kampung sendiri atau hijrah men-cari peruntungan di kota. Jelata yang tersisih oleh modernisasi di peda-laman pun berduyun-duyun ke kota. Bila boleh berburuk sangka, proses 'desa mengepung kota' ini sepertinya sudah suratan tangan Kapitalisme. Armada cadangan tenaga kerja murah untuk kerja-kerja nista begitu melim-pah. Betapa fungsionalnya struktur

timpang ini. Ketergusuran, baik yang dialami masyarakat suku di peda-laman Papua maupun yang dialami pencari remah-remah kemakmuran di kota besar, bersama-sama dengan bi-rokrasi sentralistik yang korup dan penetrasi kapitalisme internasional, bersatu-padu menciptakan ketim-pangan. Mungkin kenyataan inilah yang mendorong Ina Slamet menga-jukan demokrasi rakyat, baik politik maupun ekonomi, sebagai satu-satu-nya solusi.

(6)

kolo-sepertinya masih berkeliaran dan siap menjadi bahan bakar yang cukup un-tuk meledakkan suatu konflik terbuka. Dari kisah di atas, tampak bahwa Ina Slamet ingin menunjukkan bahwa ke-senjangan sosial yang dibiarkan tanpa upaya untuk menguranginya akan menjadi batu sandungan besar dalam mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Pemusatan dominasi atas orang (kekuasaan) dan dominasi atas kekayaan (ekonomi) pada sege-lintir orang harus diwaspadai, bukan hanya karena tidak sesuai dengan se-mangat demokrasi rakyat, tetapi juga bisa menjelma menjadi monster me-ngerikan dalam konflik.

Mentalitas

Dalam hitungan jangka panjang, ke-senjangan sosial-ekonomi justru be-rada di sisi 'rugi' dalam perhitungan bisnis. Menurut Ina Slamet, kedu-dukan kaum pekerja di Indonesia sa-ngat lemah dengan jaminan sosial yang tidak memadai. Peningkatan upah sebenarnya tidaklah merugikan pengusaha secara mutlak, hanya saja mengurangi keuntungan jangka pen-deknya. Dalam jangka panjang justru akan menguntungkan dunia usaha dan negara. Sayangnya, tidak semua orang bisa menerima teori ini, dan, nial, monopoli perdagangan kopi

me-mang dipegang pemerintah kolonial Belanda, namun struktur sosial tetap tidak berubah. Kesenjangan sosial di-pertajam oleh masuknya sumber identitas baru, yaitu agama. Di utara, bangsawan kaya masuk Kristen be-serta klien-klien mereka. Di selatan, yang dekat dengan Makassar, bang-sawan rendahan, seperti Kahar Muza-kar misalnya, masuk Islam yang diba-wa misi Muhammadiyah. Ketegangan sosial yang kronis meledak pada ta-hun-tahun awal revolusi republik ketika milisi-milisi, yang sebagian be-sar berasal dari kalangan jelata dan dipimpin bangsawan rendahan, ter-masuk dua kesatuan komunis, mem-proklamirkan pemberontakan kepada pemerintah RI setelah dikecewakan oleh program rasionalisasi. Pembu-nuhan, balas dendam, pembakaran lumbung, dan aksi-aksi pengambil-alihan lahan menjadi warna dominan hingga dekade 1950-an. Puncak le-dakan kemarahan anti-elit feodal ini terjadi pada tahun 1953. Namun de-mikian, dengan digantinya Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya—

yang cenderung 'kiri’—yang

(7)

menurut Ina Slamet, kelompok pre-man dan mafia adalah kelompok yang sulit untuk berpikir demikian. Kese-diaan berpikir untuk jangka panjang, memang, memerlukan keadaan yang relatif stabil dan adanya kepercayaan pada diri sendiri yang mantap; dan ini adalah persoalan mentalitas.

Tata nilai, norma, dan mentalitas bangsa yang berbeda menurut tempat dan golongan bersangkutan, telah mengalami perubahan sepanjang se-jarah bangsa. Sese-jarah kita memang dilumuri banyak kesuraman. Konflik, pembantaian, dan penindasan seper-tinya telah menjadi moda interaksi yang paling dominan dalam kehidup-an bkehidup-angsa kita. Tetapi bkehidup-angsa mkehidup-ana yang sejarahnya tidak bernoda? Yang terpenting saat ini adalah “kita perlu membuka tabir dan mengakui sifat-sifat kurang baik yang telah melekat pada diri kita... namun yang lebih pen-ting adalah usaha untuk menanggal-kannya” (hal. 79). Menurut Ina Sla-met, selama lebih dari tiga puluh ta-hun kekuasaan rezim otoriter, gam-baran keadaan kehidupan sosial bang-sa telah ditutup-tutupi. Ilmuwan so-sial dan wartawan sebisa mungkin 'didisiplinkan' agar tidak menyingkap kebenaran. Ideologi yang tidak sesuai dengan kenyataan diindoktrinasikan kepada masyarakat dan aparat peme-rintah. Hal ini memunculkan

“keko-songan dan kemunafikan” yang beru-jung pada formalitas hambar. Di sini-lah peran peneliti dan penelitian di-anggap penting oleh Ina Slamet. Me-nurutnya, ada banyak hal yang perlu berubah dalam paradigma penelitian kemasyarakatan di Indonesia. Pene-litian diharapkan mampu menjem-batani kesenjangan antara ketidak-tahuan yang berujung pada salah suai pembangunan dengan pencarian jalan terbaik. Penelitian juga jangan sampai terjebak pada perampatan ( generali-sasi) dan prasangka yang seram-pangan. Kekhasan latar belakang so-sial-budaya-sejarah-ekologik mem-buat “kebenaran yang ditemukan di satu tempat belum tentu mewakili kebenaran dalam keseluruhannya” (hal. 79).

Kenyataan yang seringkali tabu untuk dipercaya adalah bahwa peneliti sosial sendiri kadang menjadi bagian dari masalah dan seringkali justru menjadi sarana pengaburan gambaran senya-tanya kehidupan orang yang tersisih dan tak berdaya. Dampaknya, setiap kebijakan yang diilhami oleh laporan penelitian selalu salah sasaran dan malah melanggengkan struktur sosial yang menindas kaum pinggiran. D.N. Aidit, dalam buku Kaum Tani

(8)

mengidentifikasi tujuh jenis orang yang menindas rakyat jelata perde-saan dan menyebutnya dengan 'Tujuh Setan Desa'. Mereka adalah pemilik lahan yang jahat, tukang riba, tukang ijon, makelar yang jahat, kapitalis birokrat, bandit pedesaan, dan pem-besar (bangsawan) yang jahat.

Pembacaan atas kasus-kasus yang diangkat Ina Slamet membuat kita harus mengakui bahwa Aidit ada benarnya meski masih terlalu menye-derhanakan kenyataan yang penuh warna. 'Setan-setan desa' masih ber-gentayangan. Sarana-sarana produk-si dikuasai segelintir orang yang juga berkuasa dalam politik sehingga me-nutup akses sebagian besar kaum ter-sisih dari meja “adil dan makmur”. Ka-pitalis-kapitalis besar seperti 'pemilik lahan yang jahat' yang tetap men-cengkeramkan kukunya atas hutan-hutan dan sumber daya mineral sam-bil menyingkirkan masyarakat suku yang menggantungkan kehidupan so-sial-budayanya pada keberadaan hu-tan tersebut. Bank-bank perkredihu-tan masih mirip 'tukang riba' yang ber-gentayangan mencari mangsa di an-tara massa bingung yang tertatih-ta-tih terseret modernisasi dan ekonomi serba-uang. Tukang ijon masih berke-liaran hingga ke ujung-ujung desa mencari petani-petani miskin yang mau menggadaikan nyawanya untuk

sekadar memperpanjang penderita-an. Para bandar penampung dan teng-kulak masih mirip gambaran tentang 'makelar yang jahat' yang semakin canggih membungkus praktik mono-poli lewat lembaga-lembaga mente-reng seperti koperasi atau kelompok usaha untuk tetap menjerat usaha-usaha kecil dan petani dalam keter-gantungan yang merugikan. Kapitalis birokrat yang menguasai lahan atau alat produksi tidak berkurang dan tetap menjadi golongan kaya yang memanfaatkan kedudukannya seba-gai birokrat untuk mengeruk keun-tungan lewat hubungan kolusifnya de-ngan 'pejuang-pejuang pemba-ngunan'.

(9)

menjadi sosok setan-setan baru. Me-reka tumbuh besar di kota-kota dalam asuhan lembaga pendidikan borjuis. Mereka adalah peneliti sosial yang jahat dan aktivis LSM yang jahat. Keduanya menjadi setan keenam dan ketujuh; menggenapi tujuh setan de-sa kontemporer di Indonesia.

Peneliti yang jahat datang tidak diun-dang dan pergi membawa pesanan 'orang luar'. Mereka mengulang kebo-hongan yang romantis tentang ma-syarakat harmonis. Mereka menutup mata dari penderitaan rakyat dengan lembar-lembar penghitungan statis-tik. Membuat 'kualitas' ketersisihan hanya sekadar angka. Angka-angka sejuk nan menyenangkan dibawa ke kota yang di situ perancang pem-bangunan mengolahnya menjadi ke-bijakan. Di masa Orde Baru, tradisi Asal Bapak Senang juga berkenaan dengan angka-angka kemiskinan. Angka kemiskinan yang rendah menunjukkan keberhasilan pem-bangunan. Pejabat desa yang ber-sangkutan tidak akan malu berha-dapan dengan pejabat atasannya bila mempunyai angka kemiskinan yang rendah. Kebiasaan itu berubah ketika reformasi. Karena adanya dana Jaring Pengaman Sosial (JPS), para pejabat desa berlomba-lomba memperbesar angka kemiskinan di desanya. Peneliti yang jahat cenderung malas mencari

tahu yang sebenarnya. Mereka puas dengan angka-angka yang ada di kantor desa. Inilah yang oleh Ina Sla-met disebut sebagai penelitian yang menghasilkan 'kekosongan dan ke-munafikan'.

Dengan kejahatannya, 'gagasan dan citra yang menyesatkan' direproduksi terus oleh peneliti yang jahat dan hal ini mengaburkan gambaran nyata dari penderitaan kaum pinggiran di antara pertarungan golongan yang diuntung-kan keadaan. Peneliti-peneliti jahat datang ke masyarakat selama bebe-rapa hari; mendatangi tokoh-tokoh masyarakat; bertandang ke rumah-rumah aktivis LSM jahat; mengutak-atik angka-angka yang disodorkan kantor desa dan PPL; menyeleng-garakan 'temu wicara' dengan me-manggil birokrat desa, ketua-ketua kelompok, rentenir, tukang ijon kaya; lalu pulang menulis laporan sesuai de-ngan prasangka pesanan. Sungguh suatu kerjasama tujuh setan yang produktif.

(10)

saja dalam proses demokratisasi. Penelitian menjadi bagian dari, dalam istilah Ina, “upaya korektif terhadap ekses-ekses jelek dari sistem kapi-talis”.

Akhirnya

Dalam buku ini Ina Slamet menggam-barkan betapa kekuatan-kekuatan kapitalisme global dengan kelaparan kronisnya merambahi pedalaman Ka-limantan, Sulawesi, atau Papua sejak jaman kolonial hingga saat ini. Mereka mengeruk kekayaan alam sedalam-dalamnya lalu memuntahkan limbah, kemiskinan, kemerosotan harga diri, dan ketimpangan struktur sosial ke

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

S etelah peserta lulus evaluasi kualifrkasi m aka dilakukan klarifrkasi teknis dan negosiasi harga dengan ketentuan:a. hasil negosiasi harga m enjadi nilai harga penetapan pem enang

[r]

Nama Paket Pekerjaan :Perencanaan Teknis Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan Kota Wilayah Tengah Tahun Anggaran 2014.. Nilai Total HPS

Metode latihan merupakan cara mengajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Metode ini digunakan untuk memperoleh suatu ketangkasan, ketepatan, kesempatan

Nama Paket Pekerjaan :Perencanaan Teknis Rehabilitasi / Pemeliharaan Jalan Lingkungan Wilayah Selatan Tahun Anggaran 2014.. Nilai Total HPS

Mengungkapkan informasi secara tertulis dalam kalimat sederhana sesuai konteks, yang mencerminkan kecakapan menggunakan kata, frasa dengan huruf, ejaan, tanda baca dan struktur