• Tidak ada hasil yang ditemukan

NEGARA DAN KEBEBASAN BERAGAMA ABU ROKHMAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "NEGARA DAN KEBEBASAN BERAGAMA ABU ROKHMAD"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

NEGARA DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Perspektif Filsafat Politik Hukum Islam (Siyasah Syar’iyyah) Oleh Abu Rokhmad

Abstraksi

Artikel ini mengkaji tentang negara dan kebebasan beragama perspektif siyasah

syar’iyyah. Secara normatif, kebebasan beragama dijamin keberadaannya, baik oleh intrumen hukum nasional maupun internasional. Sekalipun demikian, implementasi kebebasan beragama di masyarakat masih banyak menimbulkan problem yang belum tuntas. Di satu sisi, negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan warga untuk menjalankan agamanya. Di sisi lain, kebebasan beragama menimbulkan implikasi negatif di masyarakat yang tidak mudah dipahami. Sebagian masyarakat belum sepakat tentang definisi dan batas-batas kebebasan beragama. Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi dan peraturan lainnya yang intinya adalah Negara menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing. Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara untuk mengimplementasikan peraturan tersebut. Negara yang demokratis sama sekali tidak bisa mengekang pikiran-pikiran warganya dalam menafsirkan pokok-pokok ajaran suatu agama. Tetapi negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban. Apa saja yang memungkinkan suatu tertib hukum dan sosial terganggu, negara harus hadir dan wajib mencegah dan menindaknya.

Kata Kunci: Negara, Kebebasan Beragama, Siyasah Syar’iyyah

A.Latar Belakang

Peningkatan tuntutan sosial dan global atas realisasi hak Asasi manusia (HAM) memperlihatkan semakin kuatnya legitimasi politik HAM sebagai kerangka konseptual, gagasan dan paradigma yang harus menjadi acuan dalam pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional.1 Tuntutan itu semakin tidak bisa ditawar ketika Indonesia mengklaim diri sebagai negara demokrasi yang harus mengakomodasi nilai-nilai universal HAM.

Hubungan demokratisasi dan HAM sesungguhnya sangat nyata. Untuk dapat disebut pemerintahan demokratis, maka sejumlah elemen HAM khususnya yang menyangkut hak-hak sipil harus ada. George Soreson misalnya, mengemukakan

1Mulyana W. Kusuma, ”Menuju Pembangunan Berwawasan HAM,” dalam E. Sobirin Najd dan

(2)

elemen dasar demokrasi; yaitu kompetisi ekstensif, partisipasi politik yang sangat inklusif dan kebebasan sipil dan politik.2

Jalan demokrasi3 yang telah disepakati untuk dianut oleh bangsa Indonesia memunculkan banyak implikasi yang membutuhkan kedewasan berpikir, bersikap dan bertindak segenap rakyatnya. Nilai-nilai dasar (core values) demokrasi4 yang berhubungan dengan promosi dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) misalnya, memiliki implikasi ikutan yang tidak mudah diterapkan di masyarakat. Contoh soal tentang kebebasan (berekspresi, menyampaikan pendapat, berkeyakinan dan seterusnya) yang disandarkan pada demokrasi dan HAM, tentulah tidak sama dengan berpikir dan bersikap semaunya dan suka-suka sendiri. Implementasi kebebasan sebagai bagian kecil dari nilai HAM semakin tidak mudah diwujudkan di semua tempat karena perbedaan geografis, kultur, agama, pendidikan, dan mungkin juga politik.

Setidaknya ada dua masalah filosofis terkait dengan HAM yang perlu dijelaskan. Pertama, apakah benar keseluruhan konsep HAM hanya ditujukan sebagai perlindungan warga terhadap kekuasaan negara (maksudnya: pelanggaran HAM oleh negara kepada rakyat), ataukah juga terhadap kemungkinan pelanggaran oleh sesama individu di dalam masyarakat? Kedua, apakah HAM yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi hak perorangan tersebut tidak mengharuskan adanya kewajiban bagi penyandang hak untuk juga menghormati hak orang lain serta masyarakat sekitarnya?5

Pertanyaan filosofis di atas menempatkan negara pada dua posisi sekaligus; (1) negara dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM; dan (2) negara wajib melindungi warga

2 Robert Robinson (ed.), Pathways to Asia: The Politics of Engagement, (New South Wales: Allen

& Unwin Pty. Ltd, 1996), h. 114-5. 3

Demokrasi merupakan suatu terminology yang sarat makna dan tafsir. Pengertiannya berkait erat (linkage) dengan sistem sosial yang mendukungnya. Selain memiliki unsur-unsur yang bersifat universal (universal common denominator), demokrasi juga mengusung unsur-unsur kontekstual (cultural relativism). Dalam kerangka ini, muncul pelbagai usaha untuk mencari standar demokrasi (standard of democracy), walaupun diakui bahwa demokrasi sendiri bukanlah suatu kesatuan yang statis (democracy is not a static entity) dan menunjukkan lebih dari sekedar ”political machinary”, tapi juga mengandung pandangan hidup (way of life) suatu masyarakat. Tinggi dan rendahnya standar demokrasi sangat tergantung dari berbagai faktor pendukung (facilitating conditions) seperti kemajuan sosial-ekonomi, kualitas golongan menengah,

kualitas kepemimpinan atau negara yang berdaulat. Muladi, ”Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia,” Makalah dalam Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progressif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan PDIH Undip, tanggal 8 Desember 2004.

4 Nilai-nilai dasar demokrasi atau standar demokrasi universal (disebut pula indeks demokrasi/

(3)

negara yang hak-haknya dirampas atau diganggu oleh penyandang hak lainnya. Padahal perbedaan atau persamaan antara ‟melanggar‟ dan ‟melindungi‟ tersebut setipis benang dan sangat tergantung dari konteks dan motif yang diinginkan. Atas nama melindungi kepentingan sebagian warga, negara dapat menginjak HAM milik sebagian warga lainnya.

Keyakinan keagamaan kelompok Lia “Eden” Aminuddin misalnya, dituduh melakukan penodaan agama oleh negara dan divonis 2 tahun penjara karena melanggar KUHP pasal 156a. Hal ini merupakan contoh betapa melanggar dan melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan sangat problematis penerapannya.6 Setiap pihak dapat menafsirkan sendiri HAM-nya yang kemungkinan besar dapat bersinggungan dengan HAM milik orang lain. Kebebasan beragama sebagai HAM-nya Lia Eden, telah mengganggu ketertiban yang menjadi HAM-nya (menodai ajaran) umat agama lain. Inilah dilema filosofis dan praktis yang perlu dikaji lebih serius supaya penggunaan ‟atas nama HAM dan demokrasi‟ untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak dilakukan secara anarkis dan sewenang-wenang. Bagaimanakah sejatinya kebebasan beragama itu?

B.Pembahasan

1. Norma Kebebasan Beragama

Secara normatif, kebebasan beragama dijamin oleh konvensi internasional dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM/ The Universal Declaration of Human Rights). Deklarasi ini terdiri dari 30 pasal dan memuat bermacam-macam hak yang dapat dikategorikan ke dalam: hak personal, hak legal, hak sipil, hak politik, hak subsistensi, hak ekonomi, hak sosial dan hak kultural. Pasal 2 DUHAM menegaskan bahwa diskriminasi7 atas dasar agama tidak dibenarkan. Beragama atau tidak beragama, menafsirkan dan meyakini apa yang dianggap benar merupakan bagian HAM seseorang yang harus dihormati.

Tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international seperti dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

6 Untuk sebagian dari itu, negara perlu mengawasi aliran-aliran kepercayaan, gerakan sempalan

yang dianggap dapat mengganggu ketertiban dan keamanan. Tugas mengawasi ini diformalkan dengan nama PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat) di bawah lembaga kejaksaan di seluruh wilayah Indonesia.

7 Dalam pasal 1c UU No. 39 Tahun 1999 dijelaskan bahwa “diskriminasi adalah setiap pembatasan,

(4)

on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR.

Kovenan tersebut menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).

Dalam UUD Republik Indonesia, jaminan perlindungan kebebasan beragama untuk warga negara dapat dilihat pada Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2:

1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali”;

2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,

menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

Hal tersebut ditegaskan lagi dalam pasal 29 (1) UUD RI: "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.", dan (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar manusia yang tidak bisa ditawar. Dalam pasal 22 ditegaskan:

1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;

2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.

Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara,

terutama pemerintah”.

(5)

berkeyakinan selesai. Setidaknya ada banyak faktor yang membuat implementasi jaminan kebebasan beragama tidak mudah dilakukan;

Pertama, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama dan keyakinan itu? Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk memeluk atau tidak memeluk suatu agama tertentu, hemat saya tidak menjadi masalah. Jika yang dimaksud adalah kebebasan untuk membuat agama baru dan meyakininya sebagai agama yang benar, hemat saya juga tidak masalah.

Yang menjadi problem adalah jika kebebasan beragama yang dimaksud dilakukan secara anarkis tanpa memperhatikan koridor ilmu penganut agama yang dianut oleh mayoritas pemeluk agama tersebut. Misalnya, seorang pemeluk agama Islam menafsirkan diri dan mengakui sebagai malaikat, atau imam Mahdi atau mengaku sebagai Rasulullah. Sementara menurut mayoritas umat Islam (yang bersumber dari ketentuan normatif al-Qur‟an dan al-Hadits) meyakini tidak mungkin ada malaikat yang turun ke bumi menjelma sebagai manusia atau setelah Nabi Muhammad Saw tidak ada lagi Rasul yang turun ke dunia.

Apa yang dianggap sebagai HAM-nya orang yang mengaku sebagai rasul, adalah penodaan terhadap kesucian ajaran suatu agama. Oleh karena itu, pelakunya dianggap telah menodai dan menyebarkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari ajaran mainstream. Penyebaran ajaran yang dianggap sesat akan menimbulkan kerawanan sosial dan menganggu ketertiban umum. Jika kebebasan beragama dan berkeyakinan telah menimbulkan ketidakketertiban (disorder) masyarakat, maka negara berkewajiban mengharmoniskan kembali, misalnya melalui penegakan hukum.

Kedua, perbedaan definisi tentang apa yang dimaksud dengan HAM. Apakah HAM identik dengan kebebasan sebebas-bebasnya, sehingga setiap orang bebas dan berhak mengaku sebagai tuhan, rasul dan nabi yang sedang menyampaikan risalah kepada manusia. Kebebasan beragama yang diyakini seperti ini adalah bagian dari HAM yang anarkis; identik dengan kehidupan di rimba raya. Padahal, masyarakat yang lain juga memiliki HAM yang perlu dihormati pula.

(6)

pasti berbenturan dengan keyakinan bagi orang lain yang menjadi HAM-nya. Benturan ide, negara tidak berwenang untuk melerainya. Tapi benturan ide yang menjurus pada meresahkan masyarakat, akan mengundang negara untuk hadir menertibkannya.

Ketiga, apa yang dimaksud dengan melindungi HAM sama saja artinya dengan melanggar sebagian HAM milik orang lain. Batas-batas HAM yang dimiliki setiap orang adalah ketika kebebasan beragama dan keyakinannya telah membuat orang lain (yang seagama dengannya) merasa tidak nyaman dan terganggu karenanya. Oleh karena itu, dalam HAM dan juga demokrasi, setiap orang harus berani mengorbankan HAM dirinya untuk menghormati HAM orang lain. Dengan cara ini, kehidupan sosial yang harmonis akan tercapai.

Setiap orang bisa merasa ternodai jika ajaran agama yang diyakini ditafsirkan secara radikal dan anarkis oleh orang lain. Sebab, kebebasan berpikir bagi dirinya, bisa jadi adalah penodaan dan penistaan bagi orang lain. Sesuatu yang sangat logis untuk dimengerti. Oleh karena itu, bagi pengamal kebebasan beragama, hargai pula HAM milik orang lain agar tidak dicap sebagai penoda dan penista agama.

2. Penodaan dan Delik Agama

Kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari demokrasi dan HAM yang harus dihormati. Agar kebebasan beragama tidak berlangsung secara anarkis, maka perlu diadakan peraturan yang menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dapat berlangsung secara tertib. Di sini peran negara diundang, ketika kebebasan beragama menjadi masalah sosial di ranah publik.

Peran negara ini diamanatkan pada Pasal 29 (2) UUD RI yang menegaskan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu." Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi

(7)

Atas dasar ini, negara merasa perlu untuk mengatur masalah delik8 agama dalam suatu undang-undang, misalnya dalam KUHP. Istilah delik agama pertama kali dikenalkan oleh Oemar Seno Adji, dan memang dapat menimbulkan kebingungan karena mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama.9

Berbeda dengan yang di atas, Surat Kejaksaan Agung RI No. B-1177/D.1/101982 tanggal 30 Oktober 1982 tentang Tindak Pidana Agama dala UU No. 1/PNPS/1965 menyebut istilah delik penyelewengan agama dan delik antiagama. Penyelewengan agama berarti perbuatan menafsirkan atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama yang bersangkutan. Sedangkan dalam delik antiagama meliputi dua hal, yaitu delik penodaan/ penghinaan agama dan delik agar orang tidak menganut suatu agama.

Di negara-negara Eropa seperti Inggris, istilah delik agama itu dikenal dengan istilah ”blashphemy.” Black’s Law Dictionary mengartikan: ”the offence of speaking matter relating to god, Jesus Christ, or the book of common prayer, intended to wound the feelings of mindkind or to excite contempt a nd hatred againts the crurch by law established or to promote immorality.

Pasal 156a KUHP sering disebut sebagai pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik kategori c tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/ upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan/ upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.

8 Delik (delict, actus reus) atau tindak pidana (criminal act) atau perbuatan pidana adalah perbuatan

atau tindakan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana bagi barangsiapa (orang atau badan hukum) yang melanggar larangan tersebut. Pengertian yang sama diperoleh dari J. Dressler yang mengartikan criminal act sebagai actus reus may be defined as such result of human conduct as the law seeks to prevent. Untuk dapat dipidana, seseorang tidak cukup hanya karena melanggar aturan hokum (crimincal act). Orang tersebut harus juga mempunyai kesalahan (mens rea) yang dapat berupa kesengajaan (intention) atau kealpaan, yang merupakan unsure utama dalam criminal responsibility. Dikutip dari Ifdhal Kasim,

“Perkembangan Delik Agama dari Masa ke Masa”, makalah dalam Konsultasi Publik RUU KUHP: Perlindungan HAM Melalui Reformasi Hukum Pidana, Hotel Santika Jakarta, 3-4 Juli 2007.

9 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

(8)

Pasal 156a yang sering dijadikan rujukan hakim untuk memutus kasus penodaan agama, berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;

b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga,

yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.”

Pasal ini bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Asumsinya, yang ingin dilindungi oleh pasal ini adalah agama itu sendiri. Agama, menurut pasal ini, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama.10

Pasal tersebut masuk dalam Bab V KUHP tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Di sini tidak ada tindak pidana yang secara spesifik mengatur tindak pidana terhadap agama. Pasal 156a merupakan tambahan untuk men-stressing-kan tindak pidana terhadap agama. Dalam pasal 156 disebutkan:

”Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaa n atau kedudukan menurut hukum tata negara.11

Benih-benih delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi:

"Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan

10Prof. H. Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, (Jakarta: Erlangga, 1981),

cet. 3, h. 79-80. 11

(9)

kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu".

Mengapa aturan tentang penodaan agama perlu dimasukkan dalam KUHP? Pertanyaan ini barangkali bisa dijawab dengan memperhatikan konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut. Di sana disebutkan beberapa hal, antara lain:

Pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan nasional dimana penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman revolusi.

Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini.

Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan; dan aturan ini melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.

Pasal 156a dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga Negara. Ancaman itu terutama bila digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam pratiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas.12

12Rumadi, ”Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP,” makalah dalam

(10)

Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh Polisi maupun Hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.13

Kerisauan sebagian kalangan terhadap pasal penodaan agama ini diwujudkan dalam pengajuan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yang tergabung dalam Tim Advokasi Kebebasan Beragama, yang terdaftar dengan nomor 140/PUU-VII/2009 perihal Pengajuan UU No. 1/PNPS/1965 terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam putusan yang dibacakan pada tanggal 19 April 2010, MK memutuskan menolak seluruh permohonan Judicial Review UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/ atau Penodaan Agama yang diajukan oleh Tim Advokasi Kebebasan Beragama (TAKB).

Dalam ringkasan pertimbangan hukum yang diajukan MK, antara lain dinyatakan bahwa:14

(1) UU tersebut di atas tetap dipertahankan berdasarkan suatu pertimbangan filosofis bahwa ”praktik keberagamaan yang terjadi di Indonesia adalah berbeda dengan praktik keberagamaan di negara lain yang tidak dapat disamakan dengan Indonesia.

(2) Bahwa ”kebebasan beragama merupakan salah satu HAM yang sangat fundamental. Bahwa ”penafsiran keyakinan atas ajaran agama merupakan bagian dari kebebasan yang berada pada forum internum.

(3) Bahwa kebebasan beragama tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab sosial dan kewajiban dasar untuk mewujudkan HAM bagi setiap orang, sebab hanya dengan cara inilah ”kebebasan beragama seseorang tidak melukai kebebasan beragama orang lain.

13 Ibid.

(11)

(4) Bahwa penafsiran yang bebas dilakukan tetap ”harus berkesesuaian dengan pokok-pokok ajaran agama melalui metodologi yang benar berdasarkan sumber ajaran agama yang bersangkutan sehingga kebebasan melakukan penafsiran terhadap suatu agama tidak bersifat mutlak atau absolut.

Beberapa pertimbangan hukum yang diajukan MK cukup memuaskan pihak-pihak yang masih mempertahankan keberadaan UU tersebut. Tetapi di pihak lain, kritik pedas diarahkan kepada MK yang dianggap tetap melanggengkan UU yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia.

3. Politik Hukum dan Siyasah Syar’iyyah

Kebebasan beragama dan berkeyakinan di satu sisi, dan pengaturan tentang penodaan agama di sisi lain, secara hukum sudah final putusannya berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi. Pada artikel ini, saya akan memberikan analisis dengan acuan yang berbeda berdasarkan perspektif politik hukum dan Siyasah Syar‟iyyah terhadap peraturan dan kebijakan negara tentang kebebasan beragama. Sebelumnya akan diuraikan lebih dulu tentang apa yang dimaksud dengan politik hukum dan Siyasah Syar‟iyyah itu.

a. Politik Hukum

Para ahli hukum memberikan definisi dan deskripsi yang beragam tentang apa yang dimaksud dengan politik hukum. Soedarto memberikan pengertian politik hukum sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.15

Padmo Wahjono mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.16 Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum adalah aktivitas memilih

15 Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Hukum Pidana,

(Bandung: Sinar Baru, 1983), h. 20.

16 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

(12)

dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.17

Satjipto Rahardjo juga memberikan ancang-ancang tentang studi politik hukum ini, yaitu 1). Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada; 2). Cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai untuk mencapai tujuan tersebut; 3). Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan 4). Dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu dalam proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.18

Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, secara harfiah politik hukum dapat diartikan sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional dapat meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.19

Menurut Mahfudz MD, politik hukum adalah legal policy atau arah hukum yang diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini, politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara tersebut.20

Dari berbagai definisi politik hukum yang dikemukakan para ahli di atas, saya berpendirian bahwa politik hukum sesungguhnya adalah cita-cita yang diwujudkan dalam kebijakan negara untuk mensejahteran warganya melalui berbagai peraturan yang disusun. Pasal-pasal penodaan agama dalam

17 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991), h. 352. 18

Ibid, h. 352-3.

19 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op. Cit., h. 30-31.

(13)

KUHP maupun UU No. 1/ PNPS/ 1965 sesungguhnya didedikasikan negara untuk menjamin kehidupan beragama yang harmonis dan bersahabat.

Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi dan peraturan lainnya yang intinya adalah: ”Negara menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing.” Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara untuk mengimplementasikan peraturan tersebut.

Negara yang demokratis sama sekali tidak bisa mengekang pikiran-pikiran warganya dalam menafsirkan pokok-pokok ajaran suatu agama. Tetapi negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban. Apa saja yang memungkinkan suatu tertib hukum dan sosial terganggu, negara harus hadir dan wajib mencegah dan menindaknya.

Dengan kata lain, sepanjang kebebasan beragama dan berkeyakinan seseorang atau kelompok tidak mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan orang atau kelompok lain, maka negara hanya diam saja. Namun, ketika kebebasan beragama telah menimbulkan masalah di masyarakat, atau terjadi benturan fisik akibat perbedaan pandangan di antara mereka, maka negara wajib menegakkan hukum yang berlaku.

b. Siyasah Syar’iyyah

Menurut rumusan ideal teori hukum Islam, pembuat hukum atau Syari’ sejati (the law maker) adalah Allah Swt. Tugas ini kemudian diemban oleh Rasulullah Muhammad Saw selama masih hidup. Selanjutnya hukum Islam dilaksanakan oleh para ulama, khususnya para ahli fikih (fukaha). Sedangkan otoritas hukum Islam dalam dunia peradilan berada di tangan para qadhi. Para qadi yang bertanggung jawab dan berwenang dalam mengadili perkara sesuai dengan shari‟ah.

(14)

pemerintahan (al-imamah) adalah menjaga agama dan menjalankan politik dunia (harasat al-din wa siyasat al-dunya).21

Penguasa masyarakat Muslim dari waktu ke waktu berperan penting dalam perumusan dan pelaksanaan Syari‟at Islam. Banyak cara yang ditempuh, antara lain dalam pengangkatan qadi dan nazir mahkamah mazhalim.22 Cara yang paling sering dilakukan dan memang diakui oleh teori hukum Islam adalah melalui doktrin siyasah syar’iyyah. Doktrin ini memberikan otorisasi kepada penguasa untuk menentukan cara bagaimana syari‟at harus dirumuskan dan diterapkan.23 Siyasah Syar‟iyyah merupakan bagian dari kajian fikih siyasah. Kedua hal ini kadang dimaknai dalam pengertian yang sama atau dengan sebutan fiqh siyasah syar‟iyyah. 24

Secara bahasa, siyasah syar’iyyah berarti kebijakan yang berorientasi pada syari‟at (syari’ah-oriented policy) atau pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip syari‟at. Dalam arti literalnya, siyasah syar‟iyyah mencakup seluruh kebijakan pemerintahan, apakah ia dalam bidang yang diatur jelas oleh syariat ataupun tidak.25 Al-siyasah juga berarti kewajiban menangani sesuatu yang mendatangkan kemaslahatan. Artinya, mengatur rakyat dan menangani urusan mereka dan mendatangkan kemaslahatan bagi mereka.26

Menurut istilah ahli fikih, siyasah syar’iyyah merupakan keputusan dan langkah kebijakan yang diambil oleh pemimpin dan ulil amri dalam permasalahan yang tidak diatur secara spesifik oleh syari‟ah. Menurut Ibn al -Qayyim, siyasah syar‟iyyah tidak harus berarti ketentuan yang eksplisit syari‟at. Menurutnya, setiap langkah yang secara aktual membawa manusia lebih dekat kepada kebaikan (shalah) dan lebih jauh dari kerusakan (fasad) merupakan

21 Al-Mawardi, Al-Ahkam Sulthaniyyah fi Wilayah Diniyyah, (Beirut: Dar Kutub

al-„Arabiyyah, 1990), h. 5.

22 Wilayah al-mazalim bertindak dalam perkara-perkara yang tidak dapat diputuskan oleh para

qadi, yaitu perkara-perkara yang menyangkut penolakan pengadilan, kesulitan melakukan eksekusi, dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa. Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University Press, 1964), h. 51.

23Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam: Dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia ,

(Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), h. 37.

24 A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 2-3.

25 Ibid, h. 38.

(15)

bagian dari siyasah yang adil meski pun hal itu tidak disuruh langsung oleh Allah dan rasul-Nya.27

Abdul Wahhab Khallaf menyatakan siyasah syar‟iyyah (atau fikih siyasah) adalah pengelolaan masalah umum bagi Negara bernuansa Islam yang menjamin terealisirnya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan dengan tidak melanggar ketentuan dan prinsip-prinsip syari‟at yang umum meskipun tidak sesuai dengan sesuai dengan pendapat para imam mazhab. Menurutnya, yang dimaksud masalah umum bagi Negara adalah setiap urusan yang memerlukan pengaturan baik mengenai perundang-undangan Negara, kebijakan mengenai benda dan keuangan, penetapan hukum, peradilan, kebijaksanaan pelaksanaannya, maupun mengenai urusan dalam dan luar negeri.28

Dari beberapa definisi di atas, obyek kajian fikih siyasah adalah membuat peraturan perundang-undangan yang dibutuhkan untuk mengurus Negara sesuai dengan pokok-pokok ajaran agama. Realisasinya untuk tujuan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi kebutuhan mereka.29 Menurut J. Suyuthi Pulungan, berdasarkan beberapa pendapat para fuqaha, obyek kajian fikih siyasah secara garis besar meliputi 1) peraturan dan perundang-undangan Negara sebagai pedoman dan landasan idiil dalam mewujudkan kemaslahatan ummat; 2) pengorganisasian dan pengaturan untuk mewujudkan kemaslahatan; dan 3) mengatur hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajiban masing dalam usaha mencapai tujuan Negara.30

Dari definisi dan obyek kajian di atas, fikih siyasah dibagi menjadi beragam bidang. Al-Mawardi membaginya menjadi lima bidang: siyasah dusturiyyah (politik perundang-undangan), siyasah maliyyah (politik keuangan), siyasah qadaiyyah (politik peradilan), siyasah harbiyyah (politik humaniter/ peperangan) dan siyasah idariyyah (politik administrasi). Ibn Taymiyyah membagi kajiannya menjadi empat: siyasah dusturiyyah, siyasah idariyyat, siyasah dauliyyah (politik hubungan Internasional), dan siyasah maliyyah.

27 Ibn al-Qayyim, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Al-Qahirah: Muassasat

al-„Arabiyyah li al-Thab‟I wa al-Nasyr, 1961), h. 16. 28

Abdul Wahhab Khallaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (al-Qahirah: Dar al-Anshar, 1977), h. 15-16. 29 Ibid, h. 5.

30 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali dan

(16)

Abdul Wahhab Khallaf membidangkan fikih siyasah menjadi tiga bahasan: siyasah dusturiyyah, siyasah kharijiyah (politik hubungan luar negeri) dan siyasah maliyyah. Hasbi Ash Shiddieqy membagi fikih siyasah menjadi delapan bidang: siyasah dusturiyyah syar’iyyah, siyasah tasyri’iyyah

syar’iyyah, siyasah qadhaiyyah syar’iyyah, siyasah maliyyah syar’iyyah,

siyasah idariyyah syar’iyyah, siyasah kharijiyyah syar’iyyah/ siyasah dauliyyah, siyasah tanfidziyyah syar’iyyah dan siyasah harbiyyah syar’iyyah.31

Dari pembidangan di atas, pembuatan, perumusan dan pelaksanaan perundang-undangan merupakan kajian penting dalam fikih siyasah. Menurut pembidangan Hasbi Ash Shiddieqy, politik hukum kebebasan beragama dapat dikaji dalam kajian siyasah dusturiyyah syar’iyyah (politik hukum perundang-undangan dalam mengatur kebebasan beragama), siyasah tasyr’iyyah

syar’iyyah (politik hukum pembentukan perundang-undangan yang mengatur kebebasan beragama), siyasah qadaiyyah syar’iyyah (politik hukum peradilan kebebasan beragama) dan siyasah tanfidziyyah syar’iyyah (politik hukum pelaksanaan perundang-perundangan tentang kebebasan beragama).

Menurut Muhammad Hashim Kamali, siyasah shar‟iyyah ini beroperasi dengan mengikuti empat jalan. Pertama, dengan membatasi apa yang diperbolehkan untuk menjamin kemanfaatan atau mencegah bahaya. Contohnya seperti kebijakan Umar Ibn Khattab yang melarang penduduk makan daging dua hari berturut-turut dalam seminggu ketika pasokan daging di Madinah menipis. Kedua, dengan membuat legislasi baik di dalam maupun di luar wilayah yang diatur shari‟ah. Legislasi dapat dilakukan untuk melaksanakan keputusan al-Qur‟an melalu shura, kesederajatan, dan keadilan. Ketiga, dengan memilih satu diantara pemecahan-pemecahan yang tersedia. Jika ada beberapa pandangan hukum dalam isu tertentu, penguasa boleh memilih salah satu yang ia anggap paling sesuai. Keempat, dalam wilayah hukum pidana, yakni dengan melakukan ta‟zir yang memungkinkan hakim melakukan fleksibilitas dalam memilih jenis dan jumlah hukuman yang sesuai.32

31 Ibid, h. 39-40. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syar’iyyah, (Yogyakarta: Madah, tt), h. 8. Selain buku ini, Hasbi juga memiliki buku yang khusus membahas ilmu kenegaraan, yaitu Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Matahari Masa, 1969).

(17)

Dalam masalah kebebasan beragama, hukum Islam memberikan pedoman yang cukup detail mengenai hal ini (sebagian bersumber dari al-Qur‟an dan sebagian yang merupakan hasil ijtihad). Pemikiran politik Islam klasik mengenal adanya dar al-harb dan dar al-Islam untuk menyebut teritori yang telah tunduk di bawah kekuasaan Islam dan yang sebaliknya. Pembagian ini bukan berarti bahwa dar al-harb adalah daerah yang wajib diperangi.

Dalam fiqh, pemeluk agama lain dikategorikan menjadi empat golongan, yaitu ahl al-dhimmah (kelompok yang mendapat jaminan dari Tuhan dalam hak dan hukum negara; musta’man (pemeluk agama lain yang minta perlindungan keselamatan dan harta kepada penguasa muslim; mu’ahadah (perjanjian damai dan persahabatan antara negara Islam dan negara lain yang bukan negara Islam, baik disertai perjanjian saling tolong-menolong maupun tidak; harbi (pemeluk agama lain yang mengganggu keamanan dan ketertiban serta memaksa muslim untuk meninggalkan agamanya.33

Kebebasan beragama dalam arti kebebasan menafsirkan agama yang diyakini, Islam juga memberikan kemerdekaan. Perlu dipahami oleh penyokong kebebasan beragama, bahwa di dalam Islam ada dua hal yang dibedakan, yaitu masalah pokok-pokok agama (ushul) dan masalah-masalah cabang (furu). Masalah akidah dan ibadah adalah dua masalah ushul yang harus dibela keberadaannya karena sumber-sumber hukum Islam menegaskan tentang hal tersebut. Sedangkan masalah furu‟iyyah yang dapat menimbulkan perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara umat Islam, sudah banyak orang yang bisa memaklumi.

Seseorang yang mengaku muslim, seharusnya ia sadar bahwa dalam akidah Islam nabi Muhammad SAW adalah nabi terakhir dan tidak mungkin ada nabi akhir lainnya. Kalau ia mengaku diri sebagai nabi berarti ia menodai akidahnya, kecuali kalau ia keluar dari Islam dan membuat agama baru misalnya.

Dalam hal kebebasan untuk menafsirkan keyakinan agama, negara memang tidak berhak mencampuri. Namun, dalam perspektif siyasah

syar’iyyah, negara (sekalipun Indonesia bukan negara Islam) dapat menutup jalan menuju kerusakan jika kebebasan menafsirkan agama hanya akan

33 Ahmad Sukardja, Fikih Siyasah, dalam Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedis Tematis Dunia

(18)

berujung pada mafsadat. Kehidupan masyarakat menjadi tidak tenang karena masing-masing pemeluk agama terjebak pada rutinitas perdebatan tentang keabsahan suatu amalan tertentu.

C.Kesimpulan

Kajian tentang negara dan kebebasan beragama masih menyisakan banyak persoalan. Di satu sisi, negara berkewajiban untuk menjamin kebebasan warga untuk menjalankan agamanya. Di sisi lain, kebebasan beragama menimbulkan implikasi di masyarakat yang tidak mudah dipahami. Sebagian masyarakat belum siap menerima kebebasan beragama. Tampak masih kuat perbedaan tentang definisi dan batasan tentang apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama di kalangan masyarakat. Dalam masalah agama dan hal-hal yang berhubungan dengannya, peran negara sesungguhnya diatur secara jelas dalam konstitusi dan peraturan lainnya yang intinya adalah: ”Negara menjamin kebebasan warganya untuk menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing.” Secara filosofis, jaminan ini adalah komitmen dan janji agung negara kepada warganya yang wujud konkretnya berupa disusunnya berbagai peraturan organik dan kesediaan aparatus negara untuk mengimplementasikan peraturan tersebut. Negara yang demokratis sama sekali tidak bisa mengekang pikiran-pikiran warganya dalam menafsirkan pokok-pokok ajaran suatu agama. Tetapi negara memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban. Apa saja yang memungkinkan suatu tertib hukum dan sosial terganggu, negara harus hadir dan wajib mencegah dan menindaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana W. Kusuma, ”Menuju Pembangunan Berwawasan HAM,” dalam E. Sobirin Najd dan Naning Mardiniah (ed.), Diseminasi Hak Asasi Manusia: Perspektif dan Aksi, (Jakarta: Cesda LP3ES, 2000).

Robert Robinson (ed.), Pathways to Asia: The Politics of Engagement, (New South Wales: Allen & Unwin Pty. Ltd, 1996).

Muladi, ”Menggali Kembali Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia,” Makalah dalam Seminar Nasional Menggagas Ilmu Hukum Progressif Indonesia, Kerjasama IAIN Walisongo dengan PDIH Undip, tanggal 8 Desember 2004.

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia ( Jakarta: The Habibie Center, 2002).

Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan HAM, (Jakarta: Sinar Harapan, 2002).

(19)

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996).

Oemar Seno Adji, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, cet. 3 (Jakarta: Erlangga, 1981).

Rumadi, ”Delik Penodaan Agama dan Kehidupan Beragama dalam RUU KUHP,” makalah dalam Annual Conference Kajian Islam di Lembang Bandung, 26 – 30 November 2006.

Ioanes Rakhmat, “Catatan Kritis atas Keputusan MK,” dalam Koran Tempo, 12 Mei 2010. Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Hukum

Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983).

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986).

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004).

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1991).

Moh. Mahfudz MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: LP3ES, 2006).

Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayah al-Diniyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Arabiyyah, 1990).

Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (Oxford: Oxford University Press, 1964). Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam: Dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum

Indonesia, (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995).

A. Djazuli, Fiqh Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Ummat dalam Rambu-rambu

Syari’ah, (Jakarta: Kencana, 2003).

Yusuf al-Qardlawi, Al-Siyasah al-Shar’iyyah, terj. Kathur Suhardi, ”Pedoman Bernegara dalam Perspektif Islam,” cet. II, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999).

Ibn al-Qayyim, al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, (Al-Qahirah: Muassasat al-„Arabiyyah li al-Thab‟I wa al-Nasyr, 1961).

Abdul Wahhab Khallaf, al-Siyasah al-Syar’iyyah, (al-Qahirah: Dar al-Anshar, 1977). J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: Rajawali dan

LSIK, 1997).

Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Siyasah Syar’iyyah, (Yogyakarta: Madah, tt).

Ahwan Fanani, Menggugat Keadilan Politik Hukum Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Semarang: Walisongopress, 2009).

Ahmad Sukardja, “Fikih Siyasah,” dalam Taufik Abdullah, dkk, Ensiklopedis Tematis Dunia Islam, III, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002).

Referensi

Dokumen terkait

Karena peneliti menemukan satu perkawinan Samin Kudus yang tanpa melalui proses ngendek sebagaimana dilakukan pasangan Agus Gunawan (putra Bpk. Wargono, Ibu Niti Rahayu)

Pada kegiatan ini telah dilakukan desain dan pengembangan sistem magnetic field press, yang merupakan alat kombinasi sistem pencetakan magnet dalam kondisi

Air susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi baru lahir.Banyak penelitian yang membuktikan bahwa Air Susu Ibu merupakan makanan terbaik dan utama bagi bayi karena di dalam

Pada penelitian ini digunakan metode pill count untuk menilai kepatuhan pasien dalam penggunaan obat dengan cara peneliti mendatangi alamat pasien setelah didapat

Mitologi masyarakat Hindu di Bali yang juga hadir dalam ragam hias merupakan sebuah usaha untuk menggambarkan harmonisasi kehidupan manusia dan alam baik nyata (sekala)

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayahnya, serta senantiasa memberikan petunjuk besar kepada penulis sehingga penulis dapat

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya Laporan Kegiatan Pusat Perpustakaan IAIN Syekh Nurjati Cirebon Tahun 2019

Hal ini dibuktikan dengan hasil P value yaitu 0,000 < 0,05 yang menunjukan terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan penerapan perilaku hidup bersih