ii
1.4Definisi Operasional... 11
1.5Hipotesis Penelitian ... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 14
2.1 Belajar Matematika Sekolah dan Tujuan Pembelajarannya... 14
2.2 Pandangan Belajar Konstruktivisme ... 20
2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah ... 23
2.4 Kemampuan Komunikasi Matematis ... 29
2.5 Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 32
BAB III METODE PENELITIAN ... 35
3.1 Desain Penelitian ... 35
3.2 Populasi dan Sampel ... 36
3.3 Instrumen Penelitian... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51
4.1 Hasil Penelitian ... 51
4.2 Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 78
5.1 Kesimpulan ... 78
iii
iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Penskoran Kemampuan Komunikasi Matematis ... 39
Tabel 3.2 Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 40
Tabel 3.3 Hasil Analisis Validitas Butir Soal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 41
Tabel 3.4 Hasil Analisis Validitas Butir Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 42
Tabel 3.5 Klasifikasi Koefisien Reliabilitas... 43
Tabel 3.6 Hasil Analisis Reliabilitas Instrumen ... 43
Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda ... 44
Tabel 3.8 Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis... 45
Tabel 3.9 Daya Pembeda Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 45
Tabel 3.10 Klasifikasi Tingkat Kesukaran ... 46
Tabel 3.11 Tingkat Kesukaran Soal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 46
Tabel 3.12 Tingkat Kesukaran Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 47
Tabel 4.1 Rangkuman Data Kemampuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah Matematis ... 51
Tabel 4.2 Uji Normalitas Data Tes Awal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 56
Tabel 4.3 Uji Homogenitas Data Tes Awal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 57
Tabel 4.4 Uji Kesamaan Rata-rata Data Skor Tes Awal Kemampuan Komunikasi Matematis ... 58
Tabel 4.5 Uji Normalitas Data Tes Awal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 59
Tabel 4.6 Uji Homogenitas Data Tes Awal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 60
Tabel 4.7 Uji Kesamaan Rata-rata Data Skor Tes Awal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 60
Tabel 4.8 Uji Normalitas Data Tes Akhir Kemampuan Komunikasi Matematis ... 62
Tabel 4.9 Uji Homogenitas Data Tes AkhirKemampuan Komunikasi Matematis ... 63
Tabel 4.10 Uji Mann-Whitney U Skor Tes Akhir Kemampuan Komunikasi Matematis ... 64
Tabel 4.11 Uji Normalitas Data Tes Akhir Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 65
Tabel 4.12 Uji Homogenitas Data Tes Akhir Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 65
v
Tabel 4.14 Nilai Rata-rata Pencapaian Kemampuan Komunikasi
Matematis ... 67 Tabel 4.15 Nilai Rata-rata Pencapaian Kemampuan Pemecahan Masalah
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 4.1 Grafik Normal Quantile-Quantile Plot Pretes
Kemampuan Komunikasi Matematis ... 53 Gambar 4.2 Grafik Normal Quantile-Quantile Plot Postes
Kemampuan Komunikasi Matematis ... 54 Gambar 4.3 Grafik Normal Quantile-Quantile Plot Pretes
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis ... 55 Gambar 4.4 Grafik Normal Quantile-Quantile Plot Postes
1 BAB I PENDAHUUAN
1. 1. Latar Belakang Masalah
Standar kompetensi dan kompetensi dasar matematika dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) disusun sebagai landasan pembelajaran untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.
Pembelajaran matematika berdasarkan KTSP bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Dengan tidak mengabaikan kemampuan yang lain, kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis memegang peranan penting dalam aktivitas dan penggunaan matematika yang dipelajari siswa. Aktivitas yang dimaksud adalah aktivitas siswa baik dalam mengkomunikasikan matematika itu sendiri maupun dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapi siswa dalam matematika atau dalam kehidupannya sehari-hari. Bahkan dalam matematika, pemecahan masalah merupakan kompetensi dasar yang terintegrasi dalam setiap topik matematika yang diajarkan, sementara kemampuan komunikasi matematis merupakan kompetensi yang diperlukan untuk mengkomunikasikan serta memaknai hasil pemecahan masalah.
maupun tulisan dapat membawa siswa pada pemahaman yang mendalam tentang matematika dan dapat memecahkan masalah dengan baik.
Sejumlah pakar seperti Sulivan & Mousley (1996), Schoen, dkk (1996), Cai (1996), Baroody (1993) Miriam, dkk (2000) mengemukakan bahwa komunikasi matematis tidak hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih jauh lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama. Komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam hal menjelaskan suatu algoritma, mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata/kalimat, persamaan, tabel dan sajian secara fisik atau kemampuan siswa memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri.
Dalam kemampuan komunikasi, NCTM (1996) mengemukakan bahwa kita akan memerlukan komunikasi jika hendak meraih secara penuh tujuan sosial seperti memahami matematika, belajar seumur hidup dan matematika untuk semua orang. Hal senada dikemukakan Jacob (2003), dalam hal matematika sebagai bahasa, komunikasi matematis merupakan esensi dari mengajar, belajar, dan meng-assess matematika. Hal ini sejalan dengan Pugalee (2001) yang menyatakan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya serta memberikan tanggapan atas jawaban yang diberikan oleh orang lain, sehingga apa yang sedang dipelajari menjadi lebih bermakna baginya.
pemikiran matematis, (2) mengkomunikasikan pemikiran matematis siswa sampai masuk akal dan jelas pada kawannya, guru, dan yang lainnya, (3) menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematis, (4) menggunakan bahasa untuk mengekspresikan ide-ide matematis secara tepat.
Sama halnya dengan kemampuan komunikasi matematis, kemampuan pemecahan masalah merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran matematika. NCTM (2000) menyatakan bahwa pemecahan masalah bukanlah sekedar tujuan dari pembelajaran matematika tetapi juga merupakan alat utama untuk melakukan atau bekerja dalam matematika. Sumarmo (2006) menyatakan bahwa pemecahan masalah matematis sebagai pendekatan pembelajaran digunakan untuk menemukan kembali dan memahami materi atau konsep matematika dan pemecahan masalah sebagai kegiatan belajar akan menjadikan matematika secara bermakna. Sementara itu rekomendasi CUPM (Committee on the Undergraduate Program in Mathematics) (dalam Juandi, 2006) menegaskan bahwa yang sangat utama dalam pembelajaran adalah bagaimana guru dapat mempromosikan pemahaman siswa dengan berbagai metode pemecahan masalah. Jika guru dapat mempromosikan kegiatan pemecahan masalah ini secara bermakna, maka siswa akan lebih mudah memecahkan masalah matematiknya.
masalah merupakan suatu hal yang sangat esensial di dalam pembelajaran matematika, sebab: (1) siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan, kemudian menganalisanya dan akhirnya meneliti hasilnya, (2) kepuasan intelektual akan timbul dari dalam, (3) potensi intelektual siswa meningkat, (4) siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan.
NCTM (2000) pun merinci kemampuan pemecahan masalah yang harus dibangun siswa yang meliputi: (1) membangun pengetahuan matematika baru sampai dapat memecahkan masalah, (2) memecahkan masalah-masalah yang muncul pada matematis dan konteks lainnya, (3) menggunakan dan mengadaptasi variasi dari strategi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, (4) mengawasi dan merefleksi proses dari pemecahan masalah.
Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis perlu mendapat perhatian untuk ditingkatkan karena keduanya merupakan kemampuan yang diperlukan dalam belajar. Kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis dapat mendorong siswa dalam belajar bermakna dan belajar dalam kebersamaan, selain itu dapat membantu siswa dalam menghadapi permasalahan matematika dan permasalahan keseharian secara umum.
melakukan komunikasi matematis yang baik. Hal ini senada dengan Klopfer (1992) yang menyatakan bahwa guru harus memberikan kesempatan dan menilai kemampuan siswa dalam memecahkan masalah secara kritis dengan situasi yang kompleks, dan guru harus bekerja lebih subjektif pada sebuah evaluasi untuk memahami alasan siswa.
Pada kenyatannya di lapangan, pelaksanaan pembelajaran matematika sehari-hari jarang sekali meminta siswa untuk mengkomunikasikan ide-ide matematiknya sehingga siswa sangat sulit memberikan penjelasan yang tepat, jelas, dan logis atas jawabannya. Siswa pun tidak dibiasakan untuk memecahkan permasalahan-permasalahan matematis yang membutuhkan rencana, strategi, dan mengeksplorasi kemampuan menggeneralisasi dalam penyelesaian masalahnya. Proses pembelajaran yang tidak tepat di kelas memberikan dampak terhadap lemahnya kemampuan komunikasi matematis dan pemecahan masalah matematis siswa.
mana siswa bersangkutan mampu memetik pengetahuan matematikanya sehingga bermanfaat bagi kehidupannya nanti.
Lebih jauh PISA melaporkan bahwa, dari skala kecakapan 0 – 6, lebih dari 50% siswa Indonesia tidak mencapai level terendah. Pada survei tahun 2003, posisi siswa Indonesia berada pada posisi 38 dari 40 negara yang disurvei. Sementara laporan survei tahun 2006, siswa Indonesia berada pada urutan 52 dari 57 negara yang disurvei.
Hasil yang tidak jauh berbeda mengenai tingkat kemampuan matematika siswa Indonesia adalah data dari TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study). Laporan survei TIMSS menyebutkan bahwa pada tahun 1999, prestasi siswa Indonesia berada pada posisi 34 dari 38 negara yang disurvei. Dari kisaran rata-rata skor yang diperoleh oleh setiap negara 400 – 625 dengan skor ideal 1.000, nilai matematika Indonesia berada pada skor 411. Sementara itu pada laporan TIMSS tahun 2003, siswa Indonesia berada pada posisi 34 dari 45 negara yang disurvei, dan pada tahun 2007 Indonesia berada pada peingkat 36 dari 48 negara.
Hal yang sama terjadi pada kemampuan pemecahan masalah, kebanyakan siswa merasa kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan pemecahan masalah. Laporan TIMSS (dalan Suryadi, 2005) menyebutkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam pemecahan masalah hanya 25% dibanding dengan negara-negara seperti Singapura, Hongkong, Taiwan, dan Jepang yang sudah di atas 75%.
algoritma tertentu sehingga kurang memberikan kesempatan siswa untuk melakukan komunikasi matematiknya.
Untuk itu perlu usaha guru agar siswa belajar secara aktif. Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan setiap jawaban yang diberikan, serta memberikan alasan untuk setiap jawaban yang diajukan. Salah satu pendekatan yang cocok diberikan pada kondisi ini adalah Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM). Dalam KTSP, diungkapkan bahwa pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
Pada PBM ini siswa dihadapkan pada situasi atau masalah yang dapat mengantarnya untuk lebih mengenal objek matematika, melibatkan siswa melakukan proses doing math secara aktif, mengemukakan kembali ide matematika dalam membentuk pemahaman baru. Oleh karena itu, kecenderungan untuk meningkatnya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis menjadi lebih terbuka.
Kemampuan Komunikasi Matematik dan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematik Siswa SMP”. Strategi pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini mengharuskan siswa terlibat berpikir, berbicara, dan menulis dalam proses pembelajaran. Strategi yang diharapkan bisa dilakukan untuk membantu proses tersebut pada penelitian ini adalah strategi scaffolding dan probing sedangkan model pendekatan yang digunakan adalah pembelajaran berbasis masalah (PBM).
1. 2. Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini permasalahan dibatasi pada pengembangan aspek kemampuan komunikasi matematis siswa melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa
yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional?
3. Bagaimana peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah?
4. Bagaimana peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah?
1. 3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui apakah terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Mengetahui apakah perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Mengetahui peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.
4. Mengetahui peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah.
5. Mengetahui sikap siswa terhadap pembelajaran berbasis masalah untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis.
1. 4. Definisi Operasional
1. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan menjelaskan ide, situasi dan relasi matematika secara tertulis dengan grafik dan aljabar dan juga sebaliknya; menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
dirancang agar siswa mampu menyelesaikan masalahnya, meskipun siswa tidak tahu langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya akan tetapi dengan bekal materi prasyarat yang telah ia miliki, ia didorong untuk bisa keluar dari masalah tersebut.
3. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran dengan pendekataanya menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berfikir kritis dan pemecahan masalah.
4. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang diberikan secara menyeluruh dan merata kepada semua siswa dalam kelas dengan tahapan pembelajaran yang dilakukan meliputi pengenalan konsep, latihan dan tes.. 5. Peningkatan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis
dalam penelitian ini ditentukan dengan nilai gain ternormalkan yang dihitung dengan rumus Meltzer (Juandi, 2006):
pretest
dengan kriteria gain sebagai berikut:
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
1. 5. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, hipotesis penelitian ini adalah:
1. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara siswa yang
mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang mendapat
pembelajaran konvensional.
2. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematis antara
siswa yang mendapat pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang
35 BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi eksperimen dengan desain yang digunakan berbentuk randomized pretest-postest control group design dan dapat diformulasikan sebagai berikut:
Kelas Eksperimen A : O X O Kelas Kontrol A : O O Keterangan:
A = Pengambilan sampel kelas secara acak O = pretes sama dengan postes
X= pembelajaran matematika melalui pendekatan pembelajaran berbasis masalah
Berdasarkan desain di atas, langkah kerja yang ditempuh dalam penelitian ini adalah:
1. Menentukan tempat penelitian yang representatif dengan pembelajaran yang dikembangkan.
2. Merancang, mengkonsultasikan, mengujicobakan, menganalisis, merevisi dan menetapkan instrumen penelitian.
4. Melakukan tes awal 5. Melakukan eksperimen
6. Melakukan tes akhir untuk mengetahui kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah siswa dengan kelas eksperimen dan kelas kontrol.
7. Memberikan tes skala sikap. 8. Melakukan analisis semua data.
3. 2. POPULASI DAN SAMPEL
3. 3. INSTRUMEN PENELITIAN
Sesuai dengan jenis data yang diharapkan diperoleh dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang adalah tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis, lembar observasi aktivitas siswa dalam pembelajaran, tes skala sikap siswa terhadap kegiatan pembelajaran, wawancara dan catatan lapangan.
Soal tes digunakan untuk mengukur kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa. Soal disusun dalam dua paket masing-masing terdiri dari 5 soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis dan 5 soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis. Materi yang diuji pada kedua paket soal adalah dua bab materi di semester dua pada kelas VIII yaitu bab Kubus dan Balok, serta bab Prisma dan Limas.
Penyusunan soal tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang mencakup pokok bahasan, kemampuan komunikasi, pemecahan masalah, dan indikator. Setelah pembuatan kisi-kisi dilanjutkan dengan menyusun soal beserta kunci jawaban dan aturan pemberian skor tiap butir soal.
penimbang berlatar belakang pendidikan yang terdiri dari dua orang lulusan S3 UPI, satu orang lulusan S2 UPI, dan dua orang lulusan S1 UPI.
a. Soal Tes Kemampuan Komunikasi Matematis
Soal untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis disusun dalam bentuk esai. Kemampuan komunikasi matematis meliputi kemampuan mengungkap ide matematis dalam bentuk gambar, diagram atau grafik, membuat model matematis serta menuliskan penjelasan dan alasan dalam bahasa yang logis. Pemberian skor pada kemampuan komunikasi disesuaikan dengan pedoman yang diusulkan Cai, Lane dan Jakabcin (1996) seperti pada Tabel 3.1 konsep sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa.
1 Hanya sedikit dari
2 Penjelasan secara matematk masuk akal namun hanya sebagian yang lengkap dan benar
Melukiskan, diagram, gambar atau tabel namun kurang lengkap dan benar 3 Penjelasan secara matematis
masuk akal dan benar, meskipun tidak tersusun secara logis atau terdapat 4 Penjelasan secara matematis
masuk akal dan jelas serta tersusun secara logis
Skor
max 4 3 3
b. Soal Tes Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
Soal untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah matematis disusun dalam bentuk esai. Soal bentuk esai dianggap lebih cocok digunakan untuk mengukur sejauh mana tahapan pemecahan masalah matematis digunakan siswa dalam menyelesaikan masalahnya.
Penyusunan soal merujuk pada pendapat Brownell (dalam, Helmaheri 2004) yaitu masalah yang akan diajukan dalam tes pemecahan masalah harus dapat dipahami siswa, baik dari pertimbangan materi prasyarat, konsep yang sedang diuji, maupun penyusunan soal. Akan tetapi, dari apa yang mereka ketahui tersebut tidak secara langsung dapat diperoleh jawaban yang memuaskan. Pemberian skor atas jawaban siswa diadaptasi dari langkah-langkah pemecahan masalah model Polya dengan tahapan memahami masalah, menyusun rencana, melaksanakan penyelesaian dan melakukan pemeriksaan kembali terhadap jawaban seperti pada Tabel 3.2 berikut:
Tabel 3.2
Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
sehingga tidak dapat
Diadaptasi dari model Polya dalam Ratnaningsih (2003)
1. Validitas Butir Soal
Untuk Kepentingan pengujian validitas butir soal, digunakan uji korelasi produk moment Pearson, dengan rumus:
rxy =
( )( )
Tabel 3.3
Hasil Analisis Validitas Butir Soal Kemampuan Komunikasi Matematis
No Soal Nilai rxy Nilai rtabel Keterangan
1 0,692 0,381 Valid
2 0,827 Valid
3 0,737 Valid
4 0,870 Valid
5 0,684 Valid
Tabel 3.4
Hasil Analisis Validitas Butir Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis
No Soal Nilai rxy Nilai rtabel Keterangan
1 0,600 0,381 Valid
2 0,535 Valid
3 0,746 Valid
4 0,612 Valid
5 0,465 Valid
Berdasarkan Tabel 3.4 dan Tabel 3.4, dapat disimpulkan bahwa validitas butir soal kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis semua bersifat valid.
2. Reliabilitas
jika pengukurannya diberikan pada subyek yang sama meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda, waktu yang berbeda, tempat yang beda pula, alat ukur tidak terpengaruh oleh pelaku, situasi, dan kondisi.
Untuk mengetahui koefisien reliabilitas perangkat tes berupa bentuk uraian dipergunakan rumus Cronbach’s Alpha sebagai berikut
r = Reliabilitas butir soal secara keseluruhan n = Banyak butir soal (item)
∑
2 is = Jumlah varians skor tiap item s2t = Varians skor total
Dengan varian si2dirumuskan (Suherman, 1990 ):
( )
Tabel 3.5
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
Nilai r11 Klasifikasi
11
r ≤ 0,20 Sangat Rendah
0,20 < r11≤ 0,40 Rendah 0,40 < r11≤ 0,70 Sedang 0,70 < r11 ≤ 0,90 Tinggi 0,90 < r11 ≤ 1,00 Sangat Tinggi
Hasil analisis reliabilitas instrumen tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis dapat dilihat pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Hasil Analisis Reliabilitas Instrumen
Tes yang diujikan Nilai Reliabilitas Keterangan
Kemampuan Komunikasi Matematis 0,898 Tinggi
Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis 0,802 Tinggi
3. Daya Pembeda
Daya pembeda tes suatu butir soal menyatakan kemampuan butir soal tersebut membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang berkemampuan rendah. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
IA SB SA
DP= −
DP = Daya pembeda
SA = Jumlah skor kelompok atas SB = Jumlah skor kelompok bawah
IA = Jumlah skor ideal salah satu kelompok
Tabel 3.7
Klasifikasi Daya Pembeda
Nilai DP Klasifikasi
DP ≤ 0,00 Sangat jelek
0,00 < DP ≤ 0,20 Jelek
0,20 < DP ≤ 0,40 Cukup
0,40 < DP ≤ 0,70 Baik
0,70 < DP ≤ 1,00 Sangat baik
Tabel 3.8
Daya Pembeda Soal Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,47 Baik
2 0,67 Baik
3 0,37 Cukup
4 0,73 Sangat Baik
5 0,47 Baik
Tabel 3.9
Daya Pembeda Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Nomor soal Daya Pembeda Interpretasi
1 0,44 Baik
2 0,49 Baik
3 0,60 Baik
4 0,45 Baik
5 0,48 Baik
Berdasarkan Tabel 3.8 dan Tabel 3.9 di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum daya pembeda instrumen tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis tergolong baik.
4. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran suatu butir soal menunjukkan apakah butir soal tersebut tergolong mudah, sedang atau sukar. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
t t I S TK =
St = Jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal It = Jumlah skor ideal butir soal
Tabel 3.10
Klasifikasi Tingkat Kesukaran
Nilai TK Klasifikasi
TK = 0,00 Terlalu sukar
0,00 < TK ≤ 0,30 Sukar 0,30 < TK ≤ 0,70 Sedang 0,70 < TK < 1,00 Mudah
TK = 1,00 Sangat mudah
Hasil perhitungan diperoleh tingkat kesukaran soal kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.11 dan tingkat kesukaran soal kemampuan pemecahan masalah matematis dapat dilihat pada Tabel 3.12 sebagai berikut:
Tabel 3.11
Tingkat Kesukaran Soal Kemampuan Komunikasi Matematis Nomor soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 0,307 Sedang
2 0,427 Sedang
3 0,380 Sedang
4 0,387 Sedang
Tabel 3.12
Tingkat Kesukaran Soal Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Nomor soal Tingkat Kesukaran Interpretasi
1 0,313 Sedang
2 0,367 Sedang
3 0,407 Sedang
4 0,470 Sedang
5 0,287 Sukar
Berdasarkan Tabel 3.11 dan Tabel 3.12 di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum tingkat kesukaran instrumen tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis tergolong sedang.
c. Skala Sikap
Instrumen skala sikap digunakan untuk memperoleh informasi mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah yang telah dilaksanakan.
Penyusunan skala sikap berdasarkan pada beberapa indikator yang meliputi: (1) Sikap terhadap pembelajaran matematika, (2) Sikap terhadap pembelajaran berbasis masalah, (3) Sikap terhadap soal komunikasi matematis, (4) Sikap terhadap soal pemecahan masalah, (5) Sikap terhadap pembelajaran melalui kelompok kecil, (6) Sikap terhadap guru matematika.
d. Wawancara
Pedoman wawancara digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan mendalam mengenai sikap siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Wawancara juga digunakan untuk mengecek beberapa hasil skala sikap, apakah mereka konsisten dengan jawaban pada skala sikap.
e. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan untuk mengumpulkan semua data tentang aktivitas siswa dalam pembelajaran, interaksi antar siswa dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis masalah. Pedoman observasi yang digunakan berupa daftar ceklis untuk mendeteksi perilaku siswa selama pembelajaran. Observer yang melakukan pengamatan adalah guru matematika yang memahami pembelajaran berbasis masalah.
f. Bahan Ajar
Pada penelitian ini, konsep matematika yang menjadi dasar pengembangan bahan ajar adalah konsep garis singgung lingkaran, konsep kubus dan balok, serta konsep prisma dan limas yang berdasarkan KTSP. Bahan ajar ini dikembangkan dalam bentuk Rencana Pembelajaran (RP) yang disusun oleh peneliti dengan terlebih dahulu dikonsultasikan kepada dosen pembimbing.
permasalahan-permasalahan kontekstual yang harus dipecahkan yang penyusunannya disesuaikan dengan pendekatan pembelajaran berbasis masalah.
Bahan ajar yang dikembangkan pada penelitian ini setidaknya ditujukan
agar dalam pembelajaran tersebut dapat membantu siswa dalam: (1) mengembangkan kemampuan komunikasi matematis seperti memodelkan
situasi dengan lisan, tertulis, gambar, grafik dan secara aljabar, (2) mengembangkan kemampuan pemecahan masalah seperti memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematis atau di luar matematika, (3) memecahkan masalah non rutin yang memperlihatkan keluasan matematika, (4) mengembangkan kepercayaan diri, (5) melakukan komunikasi lisan maupun tulisan antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru.
Pada kegiatan pembelajaran, jika siswa mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan masalahnya maka guru berperan memberikan bantuan yang sifatnya mengarahkan siwa agar dapat menemukan ide penghubung untuk menyelesaikan permasalahan tadi yaitu dengan teknik probing atau scaffolding.
g. Kegiatan Pembelajaran
Fokus dari penelitian ini adalah mengkaji apakah terdapat dampak yang berbeda terhadap kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa antara siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
78 BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
5. 1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah disampaikan pada bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
2. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang memperoleh Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional.
3. Peningkatan kemampuan komunikasi matematis untuk kelas eksperimen termasuk dalam kategori sedang, sedangkan untuk kelas kontrol termasuk dalam kategori rendah.
4. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis untuk kelas eksperimen termasuk dalam kategori sedang, sedangkan untuk kelas kontrol termasuk dalam kategori rendah.
5. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) memberikan dampak positif terhadap pembentukan sikap siswa terhadap matematika.
5. 2. IMPLIKASI
menengah pertama melalui serangkaian aktivitas pemecahan masalah selama proses pembelajaran. Sajian utama PBM adalah bahan ajar yang berupa serangkaian masalah yang disiapkan unutk memacu siswa melakukan doing math, interaksi antar teman dan guru sehingga terjalin iklim belajar yang kondusif.
Pembelajaran dengan pendekatan berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berfokus pada kegiatan memecahkan masalah, dan masalah yang dihadapi merupakan masalah yang tidak rutin dihadapi siswa sehingga menantang siswa untuk berpikir dan melakukan pemikiran yang tepat. Pada proses pembelajaran berbasis masalah, pengetahuan siswa dibangun melalui serangkaian kegiatan penyelesaian permasalahan yang dihadapi siswa. Mereka menggali konsep dan prinsip melalui penelaahan terhadap permasalahan yang harus dilakukan secara tepat dengan pengetahuan awal yang telah mereka miliki.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan pembelajaran yang berbasis teori belajar konstruktivisme. Dalam teori pembelajaran konstruktivisme, guru lebih ditekankan untuk tidak hanya sekedar memberi pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Dengan kata lain guru mengajar peserta didik menjadi sadar dalam menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar menemukan pengetahuannya sendiri.
Slavin (1997) menyatakan bahwa pada pembelajaran konstruktivisme, siswa dimulai pada masalah yang kompleks untuk dipecahkan kemudian siswa memecahkan atau menemukan keterampilan dasar yang diperlukan dengan
belajar mengajar terletak pada siswa; (3) Proses belajar mengajar lebih ditekankan pada proses dan bukan pada hasil akhir; (4) Guru sebagai fasilitator.
Permasalahan pada proses pembelajaran berbasis masalah tidak dirancang untuk guru memberikan informasi yang sebanyak-banyaknya kepada siswa. Masalah yang disajikan lebih ditekankan untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam mengenali masalah dan merancang strategi pemecahannya.
Hasil penelitian ini pun menunjukkan bahwa ketika siswa diberikan keleluasaan untuk mengeksplorasi kemampuan matematis yang dipicu oleh permasalahan yang disajikan oleh guru (peneliti), maka dengan sendirinya siswa mampu membangun (mengkonstruksi) pengetahuan matematis. Selain itu tingkat kepercayaan diri dan menghargai matematika lebih terlihat dengan pembelajaran yang dirancang seperti itu.
5. 3. SARAN
Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Penelitian ini baru mengungkap peran PBM dalam meningkatkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematik siswa. Untuk melengkapi kajian peran PBM secara menyeluruh perlu dilakukan penelitian lanjutan diantaranya melihat peran PBM dalam meningkatkan kemampuan pemahaman, penalaran, dan konsep koneksi matematik.
pembentukan sikap siswa terhadap matematika. Oleh karena itu pembelajaran seperti ini disarankan untuk lebih dikembangkan lagi pada topik-topik matematika dan jenjang pendidikan yang berbeda.
3. Permasalahan yang ditampilkan pada PBM tidak dapat langsung diselesaikan siswa meskipun siswa memiliki pengetahuan awal yang cukup untuk menyelesaikan masalahnya. Maka diperlukan bantuan dari guru dalam proses menghubungkan pengetahuan awal tersebut dalam penyelesaian masalah mereka. Untuk itu, sebaiknya guru dalam memberikan bantuan terhadap siswa menggunakan teknik scaffolding atau probing.
82
DAFTAR PUSTAKA
Bell, F.H. (1978). Teaching and Learning Mathematics in Scondary School. New York: Wm C Brown Company Publiser.
Baroody, A.J. (1993). Problem Solving, Reasoning, and Communicating, K-8. Helping Children Think Mathematically. New York: Macmillan Publishing Company.
Brueckner, L.J. (1961). Developing Mathematical Understanding. Inggris: Great Britian and in The British Dominion.
Cai, J., Lane, S., dan Jakabcin, M.S. (1996). Assesing Student Mathematical Communication. Official Journal of The Science an Mathematics 238-246
Davis, P. (1996). How Children to Learn Mathematics. Journal of Research of Mathematics Education. No 1. Vol 27.
Fogarty, R. (1997). Problem-based learning and other curriculum models for the multiple intelligences classroom. Arlington Heights, Illionis: Sky Light.
Firdaus (2005). Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Melalui Pembelajaran Dalam Kelompok Kecil Tipe Team Assisted Individualization (TAI) dengan Pendekatan Berbasis Masalah. Tesis UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Helmaheri (2004). Mengembangkan Kemamapuan Komunikasi dan Pemecahan Masalah matematik Siswa SLTP melalui Strategi Thing-Talk-Write. Tesis UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Hudoyo, H. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Jakarta: Depdikbud.
Jacob, C. (2003). Pemecahan Masalah, Penalaran Logis, Berpikir Kritis dan Pengkomunikasian. Bandung: Tidak diterbitkan.
Karso (1986). Hubungan antara Siswa Terhadap Matematika dengan Prestasi Belajar Mahasiswa Matematika. Penelitian IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan.
Klopfer, L.E. (1992). Curriculum Change, Student Evaluation, and Teacher Practical Knowledge. Journal of Science Education. Vol. 76. N0.5.
Koedinger, K.R. (2000). Teachers' and researchers' beliefs of early algebra development. Journal for Research in Mathematics Education. No.2. Vol.31.
Marliyah, E. (1995). Pengaruh Frekuensi Latihan Terhadap Keterampilan Menginterpretasi Bagan. Skripsi IKIP Bandung: Tidak Diterbitkan. Mirriam, dkk. (2000). Using Communication to Develop Students’
Mathematical Literacy Mathematics Teaching in The Midle School. Virginia: NCTM.
Mulyasa, E (2003). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda
NCTM (1989). Curriculum and Evaluation Standard for School Mathematics. Virginia: Reston.
_____ (1996). Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Virginia: Reston.
_____ (2000). Principles and Standards for School Mathematics Virginia: Reston.
Pugalee, D.K. (2001). Using Communication to Develop Student Mathematical Literacy. Journal of Research of Mathematics Education 6(5). 296-299.
Ratnaningsih, N. (2003). Mengembangkan Kemampuan Berpikir Matematik Siswa SMU melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Skripsi UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Samhadi, S.H. (2007). Mengukur Kualitas [online]. Tersedia. http:www.kompascetak.com.
Schoen, dkk. (1996). Embedding Communication Throughout The Curriculum. Communication in Mathematics, K-12 and Beyond. Virginia: Reston.
Matematik Siswa Kelas 1 C SLTPN 15 Bandung. Skripsi UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Slavin, R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition.Boston : Allyn and Bacon.
Subagiyana (2007). Pembelajaran Matematika Berdasarkan Pemecahan Masalah.. Bandung: Tidak diterbitkan.
Suherman, E dan Kusumah, Y.K. (1990). Petunjuk Praktis untuk Melaksanakan Evaluasi Pendidikan Matematika untuk Guru dan Calon Guru Matematika. Bandung: Wijayakusumah.
Suherman, E. (2003). Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan Penelitian FPMIPA IKIP Bandung. Tidak diterbitkan. ______ (2003). Pembelajaran Matematika untuk Mendukung Pelaksanaan
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada pelatihan guru matematika di STKIP Siliwangi Cimahi. Bandung: Tidak diterbitkan.
______ (2006). Berpikir Matematik Tingkat Tinggi: Apa, Mengapa, dan Bagaimana Dikembangkan pada Siswa Sekolah Menengah dan Mahasiswa Calon Guru. Makalah disajikan seminar matematika di UNPAD. Bandung: Tidak diterbitkan.
Suryadi, D. (2005). Penggunaan Pendekatan Pembelajaran Tidak Langsung serta Pendekatan gabungan Langsung dan Tidak Langsung dalam rangka Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa SLTP. Disertasi UPIBandung: Tidak Diterbitkan.
Wahyudin (1999). Kemampuan Guru Matematika, Calon Guru Matematika dan Siswa dalam Pelajaran Matematika. Disertasi UPI Bandung: Tidak diterbitkan.