• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, berdasarkan Undang-undang dapat dipaksakan yang mana balas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat, berdasarkan Undang-undang dapat dipaksakan yang mana balas"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori 2.1.1.Pengertian Pajak

Pajak merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat, berdasarkan Undang-undang dapat dipaksakan yang mana balas jasanya tidak secara langsung dinikmati oleh wajib pajak. Pajak yang dipungut tersebut dipergunakan untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah seperti pembangunan sarana-sarana umum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban yang akhirnya dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat.

Menurut Andriani definisi mengenai pengertian Pajak adalah sebagai berikut: Pengertian Pajak adalah iuran pada negara (yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung bisa ditunjuk dan yang gunanya untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas pemerintahan.

Pengertian Pajak menurut Smeeths, pajak ialah prestasi pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal individual, yang dimaksud dalam hal ini yaitu membiayai pengeluaran pemerintah.

(2)

Soeparman memberikan definisi dari pengertian pajak adalah iuran wajib, berupa barang atau uang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Pengertian pajak menurut Soemitro, pajak ialah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan), yang langsung bisa ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pembangunan.

Pada tahun 1974, Prof. Dr. Rochmat Soemitro, dalam disertasinya dengan judul

"Pajak dan pembangunan" mengoreksi definisinya yang semula dan beliau memberikan definisi sebagai berikut: Pengertian Pajak adalah peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor publik berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) yang langsung dapat ditunjuk dan yang digunakan untuk membiayai keperluan umum.

Menurut Undang-undang nomor 16 Tahun 2009tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak sebagai salah satu penerimaan Negara yang sangat penting dalam pembangunan. Dalam hal pengertian pajak ini, para ahli telah memberikan suatu batasan. Darma Silen (2005) menyatakan : Pajak adalah iuran negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung, dapat ditunjuk dan

(3)

gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum yang berhubungan dengan tugas negara dalam melaksanakan pemerintahan.

Waluyo & Ilyas (2002) memberikan pengertian pajak sebagai berikut : Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pajak sendiri adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintah (Waluyo, 2005). Masyarakat enggan membayar pajak, dapat disebabkan karena perkembangan intelektual dan moral dari masyarakat, sistem perpajakan yang sulit dipahami masyarakat, dan sistem kontrol tidak dapat dilaksanakan dengan baik (Mardiasmo, 2001).

Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa pajak disamping sebagai iuran yang dapat dipaksakan maka pajak juga dipergunakan bagi Negara untuk pembangunan. Semakin besar pajak yang diterima suatu Negara maka

(4)

semakin tinggi kesempatan negera tersebut untuk membangun dan memfasilitasi berbagai kesempatan untuk mengembangkan Negara tersebut.

2.1.2. Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. sebagai salah satu jenis pajak yang merupakan sumber penerimaan Negara, PPh diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.

Subjek Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan, dalam Undang‐undang ini disebut Wajib Pajak. Wajib Pajak dikenakan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu tahun pajak atau dapat pula dikenakan pajak untuk penghasilan dalam bagian tahun pajak, apabila kewajiban pajak subjektifnya dimulai atau berakhir dalam tahun pajak.

Yang dimaksud dengan tahun pajak dalam adalah tahun takwim, namun Wajib Pajak dapat menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim, sepanjang tahun buku tersebut meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan.

Pajak Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif yang kewajiban pajaknya melekat pada Subjek Pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan untuk tidak dilimpahkan kepada Subjek Pajak lainnya.

Yang menjadi subjek pajak adalah:

1. a. orang pribadi;

(5)

b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;

2. badan; dan

3. bentuk usaha tetap.

Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.

Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan badan yang berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama satu Tahun pajak.

2.1.3.Objek Pajak Penghasilan (PPh)

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;

2. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

3. laba usaha;

4. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

(6)

a. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

b. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;

c. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;

d. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan e. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

Dalam hal terjadi pengalihan harta

perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan. (Pasal 3 PP 94 Tahun 2010)

5. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

• Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya pada saat menghitung Penghasilan Kena Pajak merupakan objek pajak. Sebagai contoh, Pajak Bumi dan Bangunan yang sudah dibayar dan dibebankan

(7)

sebagai biaya, yang karena sesuatu sebab dikembalikan, maka jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

• bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya "alimentasi" atau tunjangan seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

• keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

• Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan bagi pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibebankan sebagai biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra), Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

• keuntungan selisih kurs mata uang asing;

• Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

• selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

• premi asuransi;

(8)

• iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

• tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

• penghasilan dari usaha berbasis syariah;

• imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

• surplus Bank Indonesia.

2.1.4.Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU Nomor 36 Tahun 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Secara Umum metode penghitungan PKP dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : 1. Pembukuan, menggunakan Akuntansi

2. Pencatatan, menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) Untuk WP Badan wajib menggunakan pembukuan, sedangkan WP OP selain menggunakan pembukuan dapat memilih menggunakan NPPN apabila peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun tidak lebih dari 4,8 Milyar.

Gambar 1.1.

Metode Penghitungan PKP

(9)

Gambar 1.2.

Cara Penghitungan PKP

2.1.5. Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan dan Pencatatan

Menurut Suandy (2002), pengertian pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang.

(10)

Pengertian pembukuan menurut Suandy (2002) adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentang : (i) Keadaan harta; (ii) Kewajiban atau utang; (iii) modal; (iv) penghasilan dan biaya.

Pembukuan ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi padasetiap akhir tahun pajak.

Sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang nomor 16 Tahun 2009tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diatur bahwa Yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah :

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan

2. Wajib Pajak badan di Indonesia.

Yang tidak wajib menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan adalah : Pasal 28 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2009

1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto; dan

Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UU nomor 36 Tahun 2008, WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 Tahun kurang dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari

(11)

Tahun pajak yang bersangkutan. (Ketentuan lebih lanjut terkait Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

2. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Dasar Hukum Pencatatan

1. Pasal 28 UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan 2. Pasal 10 PP 74 Tahun 2011 (berlaku sejak 1 Januari 2012) tentang tata cara

pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan

3. PMK-197/PMK.03/2007 (berlaku sejak 1 Januari 2008) tentang bentuk dan tata cara pencatatan bagi WP OP

4. PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi WP OP

5. KMK-543/KMK.04/2000 (berlaku sejak 1 Januari 2001) tentang penggunaan bahasa asing dalam pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak Ketentuan Pelaksanaan Pembukuan dan Pencatatan adalah :

1. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. Pasal 28 ayat (3) UU Nomor 16 Tahun 2009

Pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan. (Pasal 4 ayat (5) PER- 4/PJ/2009)

(12)

2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. (Pasal 28 ayat (4) UU Nomor 16 Tahun 2009)

Bahasa asing yang dapat digunakan dalam pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) UU KUP adalah bahasa Inggris. (Pasal 1 KMK-543/KMK.04/2000)

Berdasarkan Pasal 2 KMK-543/KMK.04/2000

disebutkan bahwa : "Wajib Pajak yang akan menggunakan bahasa Inggris dalam pembukuan atau pencatatannya harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar, paling lama 3 (tiga) bulan setelah dimulainya Tahun buku yang diselenggarakan dalam bahasa Inggris tersebut".

3. Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.

(Pasal 28 ayat (9) UU Nomor 16 Tahun 2009)

pencatatan harus dapat menggambarkan antara lain: (Pasal 2 ayat (1) PMK-24/PMK.11/2012)

a. Peredaran atau penerimaan bruto dan/atau jumlah penghasilan bruto yang diterima dan/atau diperoleh;

b. Penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final.

(13)

Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk masing-masing jenis usaha dan/atau tempat usaha yang bersangkutan. (Pasal 2 ayat (2) PMK-24/PMK.11/2012)

Wajib Pajak Orang pribadi juga harus menyelenggarakan pencatatan atas harta dan kewajiban. (Pasal 2 ayat (3) PMK- 24/PMK.11/2012)

4. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) Tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. (Pasal 28 ayat (11) UU Nomor 16 Tahun 2009)

Dalam hal WP melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan WP, kewajiban menyimpan dokumen lain ini meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Pasal 10 ayat (2) PP 74 Tahun 2011)

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan dan tata cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan PMK. Pasal 10 ayat (3) PP 74 Tahun 2011)

(14)

5. Pencatatan harus dibuat dalam suatu Tahun Pajak, yaitu jangka waktu 1 (satu) Tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.

(Pasal 4 ayat (2) PER-4/PJ/2009)

Pencatatan harus dibuat secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran dan/atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto. (Pasal 4 ayat (3) PER-4/PJ/2009)

Pencatatan diselenggarakan dengan bentuk sesuai lampiran PER-4/PJ/2009 2.1.6. Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Norma Penghitungan Neto adalah norma atau metode yang dapat digunakan oleh wajib pajak dalam penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai dasar penghitungan PPh Pasal 25/29 terutang.

Menurut Pasal 14 UU Nomor 36 TAHUN 2008 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang perubahan keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-536/PJ./2000 (berlaku sejak tahun pajak 2001) tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk WP yang dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan, dan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-4/PJ/2009 (berlaku sejak 1 Januari 2009) tentang petunjuk pelaksanaan pencatatan bagi WP OP.

Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dalam menghitung penghasilan neto dalam satu tahun untuk penghitungan PPh Pasal 25/29 adalah hanya Wajib Pajak Orang Pribadi yang telah memenuhi syarat sebagai berikut :

WP OP yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam 1 Tahun kurang dari Rp.

(15)

4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 14 ayat (2) UU PPh)

Wajib Pajak yang tidak memberitahukan kepada

Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan. (Pasal 14 ayat (4) UU PPh)

WP yang dianggap memilih

menyelenggarakan pembukuan, yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyeIenggarakan pembukuan, penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. (Pasal 3 ayat (1) KEP- 536/PJ./2000)

WP ini dikenakan sanksi

administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam Tahun pajak yang bersangkutan. (Pasal 3 ayat (2) KEP-536/PJ./2000)

Pemberitahuan penggunaan Norma Penghitungan

Penghasilan Neto yang disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan dianggap disetujui kecuali berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

(Pasal 2 ayat (2) KEP-536/PJ./2000)

(16)

Dari uraian diatas dapat kita buat Formula menghitung Penghasilan Kena Pajak WP OP yang menggunakan NPPN sebagai berikut :

Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 tentang pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, diatur bahwa wajib pajak yang memiliki peredaran bruto selama 1 tahun tidak melebihi 4,8 milyar dikenakan PPh yang bersifat final dengan tarif 1%. Dan dikecualikan dari pengenaan PPh final tersebut adalah penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, yang diperoleh dari (a). tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris; (b). pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari; (c). olahragawan; (d). penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; (e). pengarang, peneliti, dan penerjemah; (f). agen iklan; (g). pengawas atau pengelola proyek; (h). perantara; (i).

petugas penjaja barang dagangan; (j). agen asuransi; (k). distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya. Oleh sebab itu populasi penelitian ini yang akan diteliti dalam penelitian ini, terbatas hanya pada wajib pajak yang termasuk dalam pengecualian PP 46 tahun 2013 tersebut.

Kewajiban Wajib Pajak Yang Menghitung Penghasilan Netonya Dengan Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

o Wajib Pajak yang menghitung penghasilan netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto wajib menyelenggarakan pencatatan

PKP = (% NPPN x Penghasilan Bruto) - PTKP

(17)

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.

Besarnya Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1) Norma penghitungan Penghasilan Neto dikelompokkan menurut wilayah sebagai berikut : (Pasal 4 KEP-536/PJ./2000)

a. 10 (sepuluh) ibukota propinsi yaitu Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar, dan Pontianak;

b. ibukota propinsi lainnya;

c. daerah lainnya

2) Daftar Persentase Penghasilan Neto adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I KEP-536/PJ./2000

Tarif Pajak Penghasilan

Tarif Pajak Penghasilan sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a UU Nomor 36 Tahun 2008 untuk Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut:

No. Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak 1. sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) 5%

2. di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

15%

3. di atas Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

25%

4. di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) 30%

Penghasilan Tidak kena Pajak (PTKP)

No. Status PTKP 2009 PTKP 2013 Keterangan 1 TK/0 15.840.000 24.300.000 tidak kawin tanpa tanggungan 2 TK/1 17.160.000 26.325.000 tidak kawin 1 tanggungan 3 TK/2 18.480.000 28.350.000 tidak kawin 2 tanggungan 4 TK/3 19.800.000 30.375.000 tidak kawin 3 tanggungan 5 K/0 17.160.000 26.325.000 kawin tanpa tanggungan 6 K/1 18.480.000 28.350.000 kawin 1 tanggungan 7 K/2 19.800.000 30.375.000 kawin 2 tanggungan

(18)

8 K/3 21.120.000 32.400.000 kawin 3 tanggungan

9 K/I/0 17.160.000 50.625.000 kawin pengh.isteri digab. tanpa tanggungan 10 K/I/1 34.320.000 52.650.000 kawin pengh.isteri digab. 1 tanggungan 11 K/I/2 35.640.000 54.675.000 kawin pengh.isteri digab. 2 tanggungan 12 K/I/3 36.960.000 56.700.000 kawin pengh.isteri digab. 3 tanggungan Tata Cara Penghitungan PPh menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

a .

Wajib Pajak A kawin dan mempunyai 3 (tiga) orang anak. Ia seorang dokter bertempat tinggal di Jakarta.

- Penerimaan bruto sebagai dokter (setahun)

di Jakarta Rp. 175.000.000,00

Penghasilan neto dihitung sebagai berikut :

- Sebagai dokter :

45% X Rp. 175.000.000,00 Rp. 78.750.000,00 Jumlah penghasilan Neto Rp. 78.750.000,00

Penghasilan Kena Pajak = Penghasilan Neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak

= Rp. 78.750.000,00 - Rp. 32.400.000,00 = Rp. 46.350.000,00 Pajak penghasilan yang terutang :

- 5% X Rp. 46.350.000,00 Rp. 2.317.500,00

2.1.7. Kebijakan Perpajakan

Mansury (1999), menyebutkan bahwa system perpajakan terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu Tax Policy, Tax Law, dan Tax Administration. Namun, karena dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kebijakan merupakan suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibusat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu, maka Rosdiana dan Irianto menyatakan bahwa undang-undang merupakan bagian dari kebijakan.

Sehingga, unsur pokok dalam sistem perpajakan menurut keduanya adalah kebijakan pajak (Tax Policy) dan administrasi pajak (Tax Administration).

Mansury mendefinisikan bahwa ada dua pengertian kebijakan fiskal, yaitu

(19)

berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit. Kebijakan fiskal berdasarkan pengertian luas adalah kebijakan untuk mempengaruhi produksi masyarakat, kesempatan kerja dan inflasi, dengan mempergunakan instrumen pemungutan pajak dan pengeluaran belanja negara. Adapun kebijakan fiskal berdasarkan pengertian sempit adalah kebijakan yang berhubungan dengan penentuan siapa,

Rosdiana dan Irianto (2012) menyatakan untuk membuat kebijakan fiskal harus didasarkan pada siapa yang akan dikenakan pajak, apa yang akan dijadikan dasar pengenaan pajak, bagaimana menghitung besarnya pajak yang harus dibayar, dan bagaimana tatacara pembayaran pajak yang terhutang. Kebijakan fiskal dalam arti sempit ini yang juga disebut sebagai kebijakan perpajakan.

Contoh kebijakan fiskal dalam arti sempit ini, misalnya ketentuan mengenai diperbolehkannya penggunaan norma penghitungan penghasilan netto atau yang dalam literatur disebut sebagai presumptive tax atau deemed profit.

Menurut Deveroux (1996), isu-isu penting dalam kebiajakan pajak adalah:

1. What should the tax base: Income, Expenditure, or a hybrid?

2. What should the tax rate schedule be?

3. How should international income flows be taxed?

4. How should environmental taxes be designed?

Konsep kebijakan publik sendiri didefinisikan oleh Dye (1981) sebagai apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (publik policy is whatever goverments choose to do or not to do).Konsep tersebut sangatlah luas karena kebijakan publik mencakup juga sesuatu yang tidak dilakukan pemerintah disamping hal-hal yang dilakukan pemerintah ketika pemerintah menghadapi masalah publik. Sebagai contoh, ketika pemerintah dihadapi pada pilihan untuk

(20)

memajaki penghasilan warga negara, pemerintah membuat batasan penghasilan tidak kena pajak, sehingga warga negara yang berpenghasilan di bawah batasan tidak dikenakan pajak, sedangkan yang menerima penghasilan melebihi PTKP akan dikenakan pajak. Definisi kebijakan publik yang diberikan oleh Dye mengandung makna bahwa (1) kebijakan publik dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta; (2) kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah. Meskipun, kebijakan publik merupakan kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah, seperti yang diungkapkan oleh Anderson (1979), tetapi harus dipahami bahwa kebijakan publik dipengaruhi oleh berbagai faktor dan para aktor di luar pemerintah. Untuk menghasilkan kebijakan publik terdapat beberapa tahap yang lazimnya harus dilewati. Anderson menetapkan proses kebijakan publik sebagai berikut:

1. Formulasi masalah (problem formulation). Di dalam tahap ini, ada beberapa hal yang harus dijawab yaitu, Apa masalahnya? Apa yang membuat hal tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?

2. Formulasi kebijakan (policy formulation). Hal-hal yang patut diperhatikan dalam proses ini adalah Bagaimana mengembangkan pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah tersebut? Siapa saja yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan?

3. Penentuan kebijakan (adoption). Dalam proses ini yang dilakukan yaitu Bagaimana alternatif ditetapkan? Persyaratan atau kriteria seperti apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau

(21)

strategi untuk melaksanakan kebijakan? Apa isi dari kebijakan yang telah ditetapkan?.

4. Implementasi (implementation), pada tahap ini harus diperhatikan: Siapa yang terlibat dalam implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak dari isi kebijakan?

5. Evaluasi (evaluation), di dalam proses kelima ini kebijakan ditinjau kembali dan dilihat: Bagaimana tingkat keberhasilan atau dampak kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan?

Menurut Nugroho (2011), suatu kebijakan publik tidak dapat dilepas begitu saja. Kebijakan harus diawasi dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut adalah evaluasi kebijakan. Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauh mana keefektifan kebijakan publik untuk dipertanggungjawabkan kepada konstituennya. Evaluasi baru dapat dilakukan apabila suatu kebijakan sudah berjalan cukup waktu, meskipun tidak ada batasan yang pasti kapan sebuah kebijakan harus dievaluasi. Evaluasi memiliki beberapa tujuan sebagai berikut:

1. Menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan. Melalui evaluasi dapat diketahui derajat pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan.

2. Mengukur tingkat efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan.

3. Mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan. Mengukur seberapa besar dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan.

4. Mengukur dampak suatu kebijakan, baik dampak positif maupun negatif.

5. Mengetahui adanya penyimpangan yang mungkin terjadi.

6. Sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan yang akan datang.

(22)

Ada tiga jenis pendekatan terhadap evaluasi yang dijelaskan oleh Dunn, yaitu: (1) evaluasi semu; (2) evaluasi formal; (3) evaluasi keputusan teoritis.

2.1.8. Administrasi Pajak

Kebijakan perpajakan hendaknya diikuti oleh administrasi perpajakan yang baik.

Suatu administrasi pajak akan menjadi penentu keberhasilan kebijakan perpajakan di dalam pengimplementasiannya. Menurut Mansury, administrasi pajak memiliki tiga pengertian, yaitu:

1. Suatu instansi atau badan yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan pemungutan pajak.

2. Orang-orang yang terdiri dari pejabat dan pegawai yang bekerja pada instansi perpajakan yang secara nyata melaksanakan kegiatan pemungutan pajak.

3. Kegiatan penyelenggaraan pungutan pajak oleh suatu instansi atau badan yang ditatalaksanakan sedemikian rupa sehingga dapat mencapai sasaran yang telah undang-undang dengan efisien.

Bird (1996) mengemukakan bahwa terdapat tiga tugas pokok administrasi perpajakan, yaitu :

1. Mengidentifikasikan pembayar pajak potensial 2. Menetapkan pajak secara tepat

3. Melakukan penagihan pajak

Menurut pendapat Nowak administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan perpajakan. Sementara, sistem informasi yang efektif adalah kunci terselenggaranya pemungutan pajak secara adil. Informasi yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan merupakan kunci dari administrasi perpajakan yang efektif dan efisien. Ada hubungan yang erat antara kebijakan perpajakan dengan administrasi perpajakan, seperti yang dikemukakan oleh Faria

(23)

dan Yocelik. Hubungan antara kebijakan perpajakan (tax policy) dan administrasi pajak (tax administration) adalah adanya ketergantungana yang kuat satu sama lainnya. Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan perpajakan harus diikuti dengan perhatian terhadap pelaksanaan administrasinya. Tax policy yang terlalu idealis dapat membuat administrasi pajak menjadi rumit, sedangkan administrasi pajak yang tidak efektif dapat melemahkan atau merusak pelaksanaan tax policy di lapangan.

2.2. Faktor-Faktor yang mempengaruhi wajib pajak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto

1. Kemudahan Penghitungan PPh

Menurut pendapat Nowak administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan dalam pelaksanaan perpajakan. Agar administrasi perpajakan dapat terselenggara dengan baik, maka terdapat beberapa dasar-dasar yang harus dipenuhi menurut Mansury:

1. Dari ketentuan undang-undang yang memudahkan bagi administrasi dan memberikan kejelasan kepada wajib pajak sehingga mewujudkan kepastian hukum.

2. Adanya kesederhanaan baik dalam perumusan yuridis yang memberikan kemudahan untuk dipahami, maupun kesederhanaan untuk dilaksanakan oleh aparat dan pemenuhan kewajiban oleh wajib pajak.

3. Adanya reformasi dalam bidang perpajakan yang realistis dengan mempertimbangkan tujuan tercapainya efisiensi dan efektifitas administrasi perpajakan

4. Informasi yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan merupakan kunci dari administrasi perpajakan yang efisien dan efektif.R Mansury, op,cit, hal 24-25

(24)

Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Nowak, administrasi perpajakan merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan perpajakan. Sementara, sistem informasi yang efektif merupakan kunci terselenggaranya pemungutan pajak secara adil. Informasi yang lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan merupakan kunci dari administrasi perpajakan yang efektif dan efisien.

Asas Kemudahan Administrasi (Ease of Administration)

Sistem perpajakan yang baik hendaknya mengandung kemudahan dalam administrasinya dan untuk dipatuhi. Ada empat syarat terpenuhinya asas kemudahan administrasi, yaitu the requirement of clarity, the requirement of continuity, the requirement of economy, dan the requirement of convenience.

1) The Requirement of Clarity

Ketentuan pajak, baik undang-undang pajak maupun peraturan pelaksanaannya), haruslah dapat dipahami, tidak boleh menimbulkan keraguraguan atau penafsiran yang berbeda. Peraturan perundang-undangan perpajakan haruslah memiliki kejelasan (must be unambiguous and certain) baik bagi Wajib Pajak maupun untuk fiskus sendiri.

2) The Requirement of Continuity

Kontinuitas disini maksudnya adalah undang-undangan perpajakan tidak boleh sering berubah. Apabila terjadi perubahan, perubahan tersebut haruslah dalam konteks pemberharuan undang-undang perpajakan (tax reform) secara umum dan sistematis.

3) The Requirement of Economy

Biaya penghitungan, penagihan, dan pengawasan pajak harus berada pada tingkat serendah-rendahnya dan konsisten dengan tujuan pajak yang lain. Biayabiaya

(25)

yang diminimalkan tidak hanya meliputi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah (administrative cost), tetapi juga biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban dan kepatuhan perpajakannya (compliance cost).

4) The Requirement of Convenience

Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak.

Pemerintah biasanya memperbolehkan pembayaran utang pajak dalam jumlah besar secara angsuran dan memberikan jangka waktu yang cukup untuk penundaan pelaporan SPT.

Di dalam The Encyclopedia Americana, asas certainty, convenience, dan economy dimasukkan dalam satu asas, yaitu the administrative principles. The Encyclopedia Britanicca juga memasukkan asas-asas tersebut sebagai criteria kemudahan administrasi dan kepatuhan, yang kemudian memperluas criteria kemudahan administrasi dan kepatuhan menjadi clarity, continuity, cost effectiveness, dan convenience. Berdasarkan referensi tersebut serta dengan menganalisa relevansi satu asas dengan asas lainnya, Rosdiana dan Tarigan mengusulkan agar asas certainty, efficiency, convenience, dan simplicity dijadikan sebagai unsur-unsur yang membentuk asas ease of administration.

2. Besarnya PPh terutang

Pembayaran pajak harus sedapat mungkin tidak memberatkan Wajib Pajak, Menurut Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta : Penerbit Andi, 2001, hal 2-3.

beberapa persyaratan agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak, maka pemungutan pajak harus adil dan tidak mengganggu perekonomian wajib pajak. Adil dalam artian wajib pajak membayar

(26)

sesuai dengan ketentuan yang seharusnya, tetapi tidak sampai menggangu aktivitas usaha/perekonomian wajib pajak, sehingga besarnya jumlah PPh yang harus dibayar oleh wajib pajak akan sangat mempengaruhi wajib pajak dalam memilih metode/cara penghitungan PPh terutang, dan kecenderungannya wajib pajak akan memilih metode/cara penghitungan yang lebih menguntungkan mereka dalam hal jumlah PPh yang harus dibayar. Wajib pajak juga menganggap bahwa pembayaran yang mereka lakukan harus mengarah pada pembangunan yang akan membuat aktivitas perekonomian semakin baik seiring dengan membaiknya infrastruktur yang menunjang percepatan laju perekonomian masyarakat.

Kepatuhan masyarakat membayar pajak akan semakin meningkat seiring turunnya tarif pajak yang ditetapkan, yang berdampak pada kecilnya pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh wajib pajak, sehingga wajib pajak akan lebih memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto dari pada menggunakan pembukuan di dalam menghitung besarnya PPh terutang setiap tahunnya.

3. Pengetahuan tentang pembukuan

Pengertian pembukuan menurut Suandy (2002) adalah proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi tentang : (i) Keadaan harta; (ii) Kewajiban atau utang; (iii) modal; (iv) penghasilan dan biaya.

Pembukuan ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan laba rugi padasetiap akhir tahun pajak.

Pengetahuan tentang pembukuan adalah sejauh mana wajib pajak mengetahui tentang penyusunan pembukuan.

Pada umumnya peraturan perpajakan yang lebih sederhana akan lebih pasti, jelas, dan mudah dimengerti oleh Wajib Pajak. Oleh karena itu, dalam

(27)

menyusun suatu undang-undang perpajakan harus memperhatikan pula asas kesederhanaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Brown dan Jackson berikut ini “taxes should be efficiently simple so that those affected can be understand them”.

Berdasarkan pernyataan tersebut, pemungutan pajak harus dilakukan dengan cara yang sesederhana mungkin, sehingga Wajib Pajak dapat memahaminya dengan baik dan benar, dan dapat melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan.

Dampak dari ketidakmengertian wajib pajak di dalam tata cara pemenuhan kewajiban perpajakanya, akan mengakibatkan wajib pajak tidak akan melaksanakan kewajibannya sebagaimana mestinya. Oleh sebab itu pemerintah membuat sebuah metode ataupun cara alternative penghitungan PPh terutang selain dengan menggunakan pembukuan, yaitu dengan pencatatan. Menurut Suandy (2002), pengertian pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan/atau penerimaan penghasilan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, mengingat mayoritas wajib pajak Indonesia khususnya orang pribadi tidak memahami cara penyusunan pembukuan.

Dan diharapkan dengan adanya metode norma penghitungan penghasilan neto, akan membuat wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya.

4. Kemampuan keuangan membayar penyelenggara pembukuan

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan dari pembayar pajak, maka pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2001), harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan)

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (syarat yuridis)

(28)

3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomis) 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial) 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Oleh sebab itu di dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, wajib pajak tidak suka dibebankan dengan berbagai macam biaya tambahan di dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar orang lain (penyelenggaran pembukuan) di dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya.

5. Pengetahuan tentang Peraturan Perpajakan

Pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan merupakan penalaran dan penangkapan makna tentang peraturan perpajakan. Masyarakat hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan peraturan perpajakan, karena untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, pembayar pajak harus mengetahui tentang pajak terlebih dahulu. Tanpa adanya pengetahuan dan pemahaman peraturan perpajakan yang dimiliki masyarakat, maka masyarakat tidak mungkin mau membayar pajak.

Menurut Nugroho (2012) Semakin tinggi pengetahuan dan pemahaman wajib pajak, maka wajib pajak dapat menentukan perilakunya dengan lebih baik dan sesuai dengan ketentuan perpajakan. Namun jika wajib pajak tidak memiliki pengetahuan mengenai peraturan dan proses perpajakan, maka wajib pajak tidak dapat menentukan perilakunya dengan tepat. Upaya untuk meningkatkan kesadaran wajib pajak sehingga wajib pajak semakin patuh adalah dengan meningkatkan pengetahuan di bidang perpajakannya. Penelitian di atas sejalan

(29)

dengan yang hasil penelitian ini bahwa semakin tinggi pengetahuan wajib pajak maka akan semakin meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.

Penelitian yang dilakukan Widayati dan Nurlis (2010), menunjukan bukti bahwa pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak. Penelitian ini didukung dengan penelitian yang diakukan Supriyati dan Nur Hayati (2008), juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang pajak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.

Penelitian Rantum dan Priyono (2009), menunjukkan sunset policy berpengaruh terhadap pengetahuan dan pemahaman terhadap peraturan perpajakan. Adanya pemahaman tentang perpajakan diharapkan dapat mendorong kesadaran wajib pajak untuk mau membayar pajak terutangnya. Semakin tinggi Pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan maka semakin tinggi pula kemauan wajib pajak dalam membayar pajak.

6. Tingkat Pendidikan

Pengetahuan dipengaruhi oleh banyak hal, antara lain faktor pendidikan formal. Pengetahuan seseorang tentang suatu objek mengandung dua aspek yaitu aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang, semakin banyak aspek positif makin positif terhadap objek tertentu (Fidel, 2004 dalam Ghoni, 2012).

Tingkat pendidikan yang tinggi tidak menjamin seseorang memahami peraturan dan ketentuan perpajakan dan memiliki kesadaran untuk mematuhinya.Hal ini bisa disebabkan disiplin ilmu yang dimiliki wajib pajak bukan dibidang perpajakan melainkan pada bidang ilmu yang lain.

(30)

Penelitian ini akan memperhatikan persepsi wajib pajak atas kebijakan publik, khususnya analisis di dalam mengkaji kebijakan pajak norma penghitungan penghasilan netto wajib pajak orang pribadi di Indonesia, apakah wajib pajak mempunyai pandangan yang sama dengan tujuan pemerintah membuat kebijakan norma penghitungan penghasilan neto. Penelitian ini menganalisis persepsi wajib pajak atas kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.

2.3. Review Penelitian Terdahulu

Di dalam melakukan penelitian “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Wajib Pajak Orang Pribadi memilih Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto”, peneliti perlu melakukan tinjauan atas penelitian-penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya. Peneliti mengambil lima penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian acuan ini, baik terkait waktu maupun cakupan daerah yang akan diteliti. Penelitian acuan dilaksanakan tahun 1996 sampai dengan tahun 2013 dimana semenjak saat itu telah terjadi perubahan dalam kondisi sosial, perekonomian, dan jumlah Wajib Pajak yang terdaftar. Cakupan pembahasan utama dalam penelitian ini juga berbeda.

Penelitiaan acuan pertama (Wulandari Kartika Sari) hanya memfokuskan pembahasan pada analisis kebijakan norma penghitungan penghasilan neto ditinjau dari Asas Kemudahan Administrasi dan Asas Keadilan. Hasil

(31)

penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan norma penghitungan penghasilan neto telah memenuhi azas kemudahan, tetapi belum memenuhi azas keadilan bagi wajib pajak

Penelitian kedua (Budi Eko) acuan memfokuskan penelitiannya pada pengaruh penerapan norma dengan pemenuhan kewajiban penyelenggaraan pembukuan dan pemenuhan prinsip keadilan Wajib Pajak Orang Pribadi di Kanwil XVII Direktorat Jenderal Pajak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Penerapan Norma Penghitungan Penghasila Neto berdampak cukup efektif dan positif terhadap pemenuhan kewajiban penyelenggaraan pembukuan, tetapi belum memenuhi prinsip keadilan bagi wajib pajak orang pribadi.

Penelitian acuan ketiga (Mohammad Sajran) hanya memfokuskan pada dokter yang berpraktik di Rumah Sakit, dan penelitian acuan ketiga yang memfokuskan pembahasan pada evaluasi desain kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1983 hingga 2011 berdasarkan asas keadilan dan kemudahan administrasi dalam sistem self-assessment di Indonesia. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Besarnya pemotongan/pemungutan PPh 21 berdasarkan KEP-545/PJ./2000 lebih besar dibandingkan dengan KEP- 536/PJ/2000, sehingga berakibat SPT tahunan para dokter menjadi lebih bayar dan harus dilakukan tindakan pemeriksaan. Juga ditemukan hasil penelitian bahwa KEP-545/PJ/2000 belum sepenuhnya mengikuti asas-asas pemungutan pajak yang baik yaitu equality, certainty, conviniency, dan efficiency.

Penelitian acuan keempat yang dilakukan Ade Viera Fransiska ( 2012) dengan judul Analisis Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Tingkat Pedidikan, Akses Informasi, Kualitas Pelayanan, Sosialisasi Peraturan, Perpajakan dan Akses

(32)

Fasilitas Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di KPP Pratama Medan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pengetahuan perpajakan secara parsial memiliki pengaruh negative terhadap tunggakan PPh Orang Pribadi, Tingkat pendidikan secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh Orang Pribadi, Akses Informasi memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP, Kualitas Pelayanan secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP, Sosialisasi Peraturan Perpajakan secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP, Akses Fasilitas secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP.

Penelitian acuan kelima yang dilakukan Widayati dan Nurlis (2010) dengan jududl Pengaruh pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan terhadap kemauan membayar pajak Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi yang baik atas efektifitas sistem perpajakan tidak berpengaruh terhadap kemauan membayar pajak. Persepsi yang baik akan memberikan pengaruh positif terhadap suatu peristiwa yang amatinya. Semakin baik persepsi atas efektifitas sistem perpajakan maka semakin tinggi kemauan wajib pajak dalam membayar pajak.

Penelitian acuan keenam yang dilakukan Sharifuddin Husen (1996) dengan judul Pemeriksaan Pajak Sebagai Tindakan Pengawasan Atas Pelaksanaan Sistem Self Assesment Dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa perilaku ketidakpatuhan wajib pajak masih sangat dominan, akibat dari sengaja tidak patuh, tidak memahami sistem self assessment, pelayanan yang tidak memuaskan, dan keinginan coba-coba untuk tidak patuh. Juga ditemukan perilaku ketidakpatuhan dalam melaksanakan penghitungan pajak

(33)

terutang, dimana dari hasil penelitian ditemukan besarnya nilai Koreksi terhadap SPT wajib pajak yang diperiksa.

Penelitian acuan ketujuh yang dilakukan Analisis Pemenuhan Kewajiban Perpajakan Dan Penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) Atau Pembukuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor sederhana dalam penggunaan, tidak perlu memahami akuntansi, adanya saran dari lingkungan sekitar, adanya kebiasaan dalam menggunakan pencatatan, masih memenuhi syarat dalam melakukan pencatatan, dan jawaban lain oleh responden berpengaruh positif dan signifikan, dan menjadi pendrong bagi para pemilik toko dalam pemilihan metode Penghitungan Penghasilan Neto adalah

Penelitian acuan kedelapan yang dilakukan Kusujarwati Anjarini, Buntoro Heri Prasetyo, dan Lia Dahlia Irani, (2012) dengan judul Analisis Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dalam Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada KPP Pratama Jakarta Sawah Besar Satu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terdapat hubungan positif antara pemeriksaan pajak dengan tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi, semakin naik pemeriksaan pajak maka semakin meningkat tingkat kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi

Persepsi merupakan proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, memahami, mengorganisir, menafsirkan yang memungkinkan situasi, peristiwa yang dapat memberikan kesan perilaku yang positif atau negatif (Robbins,1996).

Sedangkan, penelitian yang akan dilakukan akan memfokuskan pembahasan pada faktor-faktor yang mempengaruhi wajib pajak orang pribadi memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto di dalam pemenuhan kewajiban pajak penghasilan orang pribadi. Sehingga, penelitian ini

(34)

berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya memfokuskan pada kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto ditinjau dari Asas Kemudahan Administrasi dan Asas Keadilan (Wulandari Kartika Sari).

Tesis ini memiliki perbedaan dengan penelitian oleh Mohammad Sjafran, dimana Wajib Pajak yang diteliti adalah dokter, dan penelitian Sjafran hanya membahas dampak pemotongan PPh Pasal 21 saja di tahun 2004, telah terjadi beberapa kali perubahan peraturan mengenai pemotongan PPh Pasal 21.

Tesis ini juga memiliki perbedaan dengan penelitian Ade Vera Fransiska, dimana yang hanya memfokuskan pada analisis Analisis Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Tingkat Pedidikan, Akses Informasi, Kualitas Pelayanan, Sosialisasi Peraturan, Perpajakan dan Akses Fasilitas Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di KPP Pratama Medan.

Tinjauan penelitian sebelumnya disajikan di dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Theoritical Mapping (Review Peneliti Terdahulu)

No. Nama / Tahun Penelitian

Judul Penelitian Variabel yang dipakai Hasil 1. Wulandari Kartika

Sari, 2012 (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik)

Tinjauan Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan

NetoBerdasarkan Asas Kemudahan Administrasi dan Asas Keadilan,

Variabel X :

1. Azas Kemudahan 2. Azas Keadilan Variabel Y : 1. Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

1.Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto memenuhi azas kemudahan dalam segi administrasi

2.Kebijakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tidak memenuhi azas keadilan bagi Wajib Pajak orang pribadi

2. Budi Eko, 2006 (Tesis

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, tidak diterbitkan)

Pengaruh Penerapan

Norma Penghitungan Penghasilan

Netto terhadap Pelaksanaan Penyelenggaraan Pembukuan Wajib Pajak Orang Pribadi

Variabel X:

1. penggunaan pembukuan 2. pemenuhan rasa keadilan wajib pajak Variabel Y:

1. penerapan norma penghitungan penghasilan neto

Penerapan Norma Penghitungan Penghasila Neto berdampak cukup efektif dan positif terhadap pemenuhan kewajiban penyelenggaraan pembukuan.

(35)

3. Mohamad Sjafran, 2004 (Tesis Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2004)

Analisis Pemotongan/

Pemungutan PPh Pasal 21 Atas Honorarium Dokter yang Praktik Di Rumah Sakit Terhadap SPTTahunan PPh Orang Pribadi

Variabel X:

1. honorarium dokter Variabel Y:

2. Pemotongan/

Pemungutan PPh Pasal 21 (Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-

545/PJ./2000) Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif analitis.

Besarnya pemotongan/

pemungutan PPh 21 berdasarkan KEP- 545/PJ./2000 lebih besar dibandingkan dengan KEP- 536/PJ/2000, sehingga berakibat SPT tahunan para dokter menjadi

lebih bayar dan harus dilakukan tindakan pemeriksaan.

KEP-545/PJ/2000 juga belum sepenuhnya mengikuti asas-asas pemungutan pajak yang baik yaitu equality, certainty, conviniency, dan efficiency.

4. Ade Viera Fransiska ( 2012)

Analisis Pengaruh Pengetahuan Perpajakan, Tingkat Pedidikan, Akses Informasi, Kualitas Pelayanan, Sosialisasi Peraturan, Perpajakan dan Akses Fasilitas Terhadap Jumlah Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi di KPP Pratama Medan

Variabel X:

1.Pengetahuan Perpajakan

2.Tingkat Pedidikan 3.Akses Informasi 4.Kualitas Pelayanan 5.Sosialisasi Peraturan Perpajakan

6.Akses Fasilitas Variabel Y:

Jumlah Tunggakan Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1.Pengetahuan perpajakan secara parsial memiliki pengaruh negative terhadap tunggakan PPh Orang Pribadi.

2.Tingkat pendidikan, Akses Informasi, Kualitas Pelayanan, Sosialisasi Peraturan Perpajakan, dan Akses Fasilitas secara parsial memiliki pengaruh positif terhadap tunggakan PPh OP

5. Widayati dan Nurlis (2010)

Pengaruh pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan terhadap kemauan membayar pajak

Variabel X:

Pengetahuan dan Pemahaman peraturan perpajakan

Variable Y:

Kemauan membayar pajak

Hasil penelitian : Pengetahuan dan Pemahaman peraturan perpajakan tidak berpengaruh positif terhadap

Kemauan membayar pajak

6. Sharifuddin Husen (1996).

Pemeriksaan Pajak Sebagai Tindakan Pengawasan Atas Pelaksanaan Sistem Self Assesment Dan Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak.

Variabel X:

1.Sengaja tidak patuh 2.Tidak memahami sistem self assessment 3.pelayanan yang tidak memuaskan

4.coba-coba untuk tidak patuh 5.kolusi dengan pemeriksa pajak Variable Y:

Pemeriksaan Pajak

Hasil penelitian:

1.Perilaku ketidakpatuhan wajib pajak masih sangat dominan, akibat dari Sengaja tidak patuh, Tidak memahami sistem self assessment, pelayanan yang tidak memuaskan, coba- coba untuk tidak patuh 2.Ditemukan perilaku ketidakpatuhan dalam melaksanakan penghitungan pajak terutang, diman ditemukan besarnya nilai Koreksi terhadap SPT wajib pajak yang diperiksa .

7. Irene dan Amelia (2013).

Analisis Pemenuhan Kewajiban

Variabel X:

1.Sederhana dalam

Hasil penelitian : Faktor-faktor Sederhana dalam penggunaan, Tidak

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kajian ini adalah untuk mengkaji hubungan antara motivasi, persekitaran kerja, kerja berpasukan dan kepimpinan terhadap kepuasan pekerja di kalangan pekerja

Lakukanlah apa yang diperitahkan (Allah) kepadamu; Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia

NAMA PARTAI, NOMOR DAN NAMA CALON ANGGOTA DPRD

Berdasarkan hasil Finite Element Analysis (FEA) seperti yang diperlihatkan pada gambar 3 dan gambar 4, diperoleh komponen pencacah yang dipakai terdiri atas 14 buah shredder blade

Peneliti harus memenuhi tujuan umum dan tujuan khusus dari penelitian ini, Tujuan umum merupakan tujuan keseluruhan yang ingin dicapai dari penelitian yakni

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui kelayakan media pembelajaran menggunakan Macromedia Captivate pada mata pelajaran menggunakan alat-alat ukur,

Pihak-pihak lainnya yang biasanya terlibat untuk mendukung sistem pembayaran Internet adalah penyedia sertifikat digital, baik untuk Visa (misalnya VeriSign) maupun

Tugas dan Evaluasi Media & Buku sumber 2 Mahasiswa dapat menjelaskan konsep pendidikan dan masyarakat • Pendidikan dan lingkungan sosial • Pendidikan dan kebudayaan