• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Penyakit Parkinson Definisi Gangguan fungsi otak yang telah mengalami proses neurodegenerasi basal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Penyakit Parkinson Definisi Gangguan fungsi otak yang telah mengalami proses neurodegenerasi basal"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Parkinson 2.1.1 Definisi

Gangguan fungsi otak yang telah mengalami proses neurodegenerasi basal ganglia pada sel Substantia Nigra pars Compacta (SNc) disertai adanya protein α-synuclein yang berisi inklusi sitoplasma eosinofil (Lewy bodies) sehingga menurunkan neurotransmiter berupa dopamin yang berguna untuk meregulasi gerakan dan ditandai dengan karakteristik gejala motorik seperti tremor saat istirahat, kekakuan otot dan sendi (rigidity), kelambanan gerak dan bicara (bradykinesia) serta instabilitas posisi tegak (postural instability) (Kouli et al., 2018).

Gangguan neurodegenerative otak pada penyakit Parkinson berlangsung lambat pada kebanyakan orang dan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk berkembang yang mana tidak hanya muncul gejala motorik namun gejala non motorik juga kerapkali muncul yakni gangguan tidur (RBD), gangguan kognitif (demensia), defisit olfaktori, kelainan mood (depresi dan cemas), nyeri, hiposmia, konstipasi dan dysautonomia (Kouli et al., 2018).

Kerusakan dimulai dari sistem saraf otonom perifer atau olfactory bulb lalu menyebar ke sistem saraf pusat yang mempengaruhi struktur batang otak bagian bawah sebelum melibatkan substantia nigra. Akibat keadaan tersebut pasien lebih dahulu merasakan gejala non motorik sebelum gejala motorik muncul (Kouli et al., 2018).

(2)

Sedangkan Parkinsonisme termasuk ke dalam sindrom gangguan neurologi yang menyebabkan pergerakan menjadi bermasalah, memiliki gejala motorik yang menyerupai penyakit Parkinson seperti tremor, gerakan melamban (akinesia/bradykinesia-hipokinesia), rigiditas, dan hilangnya refleks postural yang dikarenakan berbagai macam sebab yang dapat mengakibatkan kadar dopamin menjadi menurun (Bahrudin, 2019). Parkinsonisme juga dikenal sebagai penyakit Parkinson atypical atau Parkinson plus atau Parkinsonian syndromes mewakili sekitar 10-15% dari seluruh kasus Parkinsonisme yang telah ditegakkan diagnosisnya (Parkinson’s Foundation, 2018).

2.1.2 Etiologi

Penyebab munculnya penyakit Parkinson yakni berbagai macam faktor baik faktor internal (genetik) maupun eksternal (lingkungan), sehingga dikatakan penyakit multi faktor. Adapun teori yang menjelaskan kerusakan substantia nigra disebabkan antara lain: 1) paparan neurotoxin dari lingkungan, 2) genetik, 3) gangguan fungsi mitokondria, 4) stres oksidatif, dan 5) gangguan α-synuclein protein (Bahrudin, 2019).

2.1.3 Epidemiologi

Penyakit kedua neurodegenerative yang sering ditemukan setelah Alzheimer’s Disease yakni Parkinson’s Disease (PD). Rata-rata puncak onset pada penyakit ini di usia 60 tahun dan terjadi perkembangan PD sebesar 80%

yang diantaranya berusia 40 tahun hingga 70 tahun (Ayano G., 2016). Penyakit Parkinson cepat berkembang prevalensinya, disabilitas pada pasiennya serta

(3)

peningkatan kematian yang paling cepat diantara penyakit neurologi lainnya (Dorsey et al., 2018).

Prevalensi penyakit Parkinson di Indonesia dapat diperkirakan akan semakin meningkat tiap tahunnya lebih dari dua kali lipat dari tahun 2005 yang prevalensinya sebesar 90.000 (Hanriko R., 2018). Peningkatan prevalensi pasien Parkinson meningkat seiring bertambahnya usia setelah umur 50 tahun yang puncak umurnya berada pada rentang usia 85-89 tahun dan menurun pasca usia 89 tahun. Sejumlah 3,2 juta orang yang berjenis kelamin pria lebih banyak kasusnya menderita Parkinson dibandingkan wanita yang berjumlah 2,9 juta orang (Dorsey et al., 2018).

Peningkatan prevalensi Parkinson terjadi pada enam negara Asia, terutama dua negara dengan jumlah penduduk yang tinggi yakni China dan India. Pasien Parkinson di negara China dan India meningkat sejumlah 40% dari populasi dunia, sementara empat negara Asia lainnya yaitu Pakistan, Jepang, Indonesia dan Bangladesh meningkat 20% (Yulianti A., 2016).

Menurut hasil studi mengenai jumlah orang dengan Parkinson di enam negara Asia tersebut yang diperkirakan akan meningkat dari tahun 2005 sebesar 2,57 juta hingga 6,17 juta pasien Parkinson pada tahun 2030 (Mahmood, 2021).

Di Indonesia, diperkirakan sebesar 876.665 orang dapat menderita penyakit Parkinson dari total jumlah penduduk sebesar 238.452.952 (Noviani E., 2010).

2.1.4 Faktor risiko a. Usia

(4)

Bertambahnya usia berpengaruh penting sebagai faktor risiko yang paling konsisten dalam perkembangan PD. Hal ini ditemukan dalam studi epidemiologi deskriptif dan cohort prospective dari berbagai belahan dunia bahwa sekitar 5% pasien PD memiliki onset sebelum usia 50 tahun sehingga prevalensi PD meningkat seiring bertambahnya usia mempengaruhi sekitar 2% dari orang yang berusia 65 tahun ke atas (Tan, 2013).

b. Jenis kelamin

Pria memiki peningkatan risiko terkena PD sebanyak 1,5 hingga 2 kali lipat (Tan, 2013). Hal tersebut dikarenakan hormon pada pria tidak ada hubungannya dengan fungsi protektif yang dimiliki oleh hormon wanita premenopause yaitu estrogen (Georgiev et al., 2017). Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Rajsombath Molly tahun 2019, menjelaskan bahwa hormon estrogen yang dimiliki wanita dapat berguna untuk mengatur sintesis dopamin dan melepaskan hormon dopamin yang berada di wilayah jalur nigrostriatal serta hormon estrogen sebagai antioksidan memberikan efek penurunan pembentukan neurotoxin hidrogen peroksida dan nitrat oksida radikal bebas pada neuron yang mengalami stres oksidatif. Tetapi, masih belum diketahui dengan jelas mekanisme estrogen yang berkaitan dengan penyakit ini (Rajsombath et al., 2019).

Selain itu, adanya kadar tinggi metabolit purin endogen yang bersifat antioksidan dan neuroprotector berupa asam urat endogen pada pria dapat memberikan efek neuroprotektif terutama dalam hal fungsi kognitif yang

(5)

berkaitan dengan pengaruh kemampuan otak dalam memberikan informasi secara spontan serta tidak spontan ke jaringan yang dalam keadaan istirahat atau Resting-State Networks (RSN). Oleh karena itu, kadar asam urat endogen yang tinggi pada pria dapat menurunkan risiko dan menurunkan progresivitas PD idiopatik (Cerri et al., 2019).

c. Pekerjaan

Pekerjaan berisiko terhadap munculnya dan meningkatnya progresivitas PD adalah petani kebun, petani sayur dan pekerja industri.

Beberapa penelitian dari berbagai negara menunjukkan orang-orang dengan paparan tinggi pestisida, insektisida, herbisida, 1-methyl-4-phenyl- 1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP), timah, mangan, magnesium, besi, dan logam berat lainnya yang terakumulasi menjadi potensi neurotoxin pada neuron dopaminergic di substantia nigra disertai peningkatan oksidatif stres. Disfungsi neuron dan mitokondria dapat terjadi karena neuroinflamasi pada otak yang terus-menerus menimbulkan patogenesis dari penyakit Parkinson (Tan, 2013 dan Cerri et al., 2019).

d. Merokok

Berdasarkan beberapa penelitian dari berbagai negara didapatkan bahwa senyawa kimia berupa nikotin sebagai faktor protektif dikaitkan dapat menurunkan risiko PD dikarenakan mampu menstabilkan dan menghambat pembentukan fibril a-synuclein. Dimana nikotin memberikan efek pada sistem saraf perifer dan pusat dengan merangsang reseptor asetilkolin nikotinat untuk memanajemen PD melalui stimulasi dopamin

(6)

dari neuron dopaminergic agar tereksresi (Li Xiao et al., 2015). Adapula, kandungan asap rokok berupa hidrogen peroksida, superoksida dan peroksinitrit sebagai zat radikal bebas memicu oksidatif stres sehingga kerusakan seluler terjadi dengan cepat sehingga dapat memicu reaksi peningkatan perkembangan PD yang dialami pula. Dengan demikian, penelitian mengenai hubungan merokok terhadap perkembangan PD masih menjadi perdebatan bagi peneliti (Ciobica et al., 2012 dan Kouli et al., 2018).

e. Kopi dan teh

Beberapa studi telah meneliti mengenai individu yang sering mengonsumsi kopi 784 mg/kg selama sehari dapat menurunkan 25%

progresivitas PD (Xiangpeng R., 2020). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Chao Zhen tahun 2019, menyatakan bahwa individu yang sering mengonsumsi teh non hitam yang mengandung flavonoid polifenol dapat menurunkan progresivitas PD sebesar 33% dan akan semakin menurun menjadi 62% apabila individu mengonsumsi lebih dari 1 cup perhari (Zhen Chao et al., 2019).

Metabolit utama pada kafein berupa paraxantine merupakan kandungan yang ada di dalam kopi dan teh dikenal sebagai zat stimulan sistem saraf pusat yang bertindak menginhibisi reseptor antagonis adenosin A2A guna mengobati gangguan pada basal ganglia dan melemahkan neurotoksisitas dopaminergic serta neurodegenerasi dopamin yang ditemukan di substantia nigra akibat paparan MPTP pada model hewan coba yang

(7)

diinduksi MPTP sebagai agen neurotoxin di mitokondria intracerebral.

Hasil dari pemberian kafein menunjukkan perbaikan fungsi kognitif yang signifikan pada hewan coba dengan PD, sehingga kafein pada kopi dan teh bersifat neuroprotektif untuk otak (Xiangpeng R., 2020). Namun, perlu adanya investigasi lebih lanjut mengenai jenis kopi dan teh apa saja yang berpengaruh dalam menurunkan faktor risiko munculnya PD di manusia dan mekanisme kerjanya (Zhen Chao et al., 2019 dan Xiangpeng R., 2020).

f. Obat-obatan

Parkinsonisme yang diinduksi oleh obat antipsikotik terutama antipsikotik tipikal berupa haloperidol dan chlorpromazine memberikan efek pada reseptor dopaminergic di sistem saraf pusat sehingga dapat menyebabkan Parkinsonisme dengan gejala tardive dyskinesia, akathisia dan distonia. Obat antipsikotik atypical seperti risperidone dan olanzapine juga berpengaruh pada extrapyramidal sehingga menjadi efek extrapyramidal yang memicu munculnya Parkinsonisme (Greenland J., 2018).

Obat lain yang memicu Parkinsonisme juga didapatkan pada obat golongan antiemetik yaitu metoklopramid dan domperidone, golongan calcium channel blockers yaitu flunarizine dan cinnarizine, golongan antiepileptik yaitu sodium valproate dan fenitoin, golongan deplesi dopamin yaitu tetrabenazine serta golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) antidepresan (Greenland J., 2018).

(8)

2.1.5 Klasifikasi

Menurut PERDOSSI tahun 2015, penyakit Parkinson dibagi menjadi 4 klasifikasi yaitu:

a. Idiopathic atau Primer Parkinsonism adalah penyakit Parkinson yang diakibatkan oleh genetik.

b. Simtomatik atau Secondary Parkinsonism adalah penyakit Parkinson yang diakibatkan oleh toksin (paparan timah, mangan, magnesium, kobalt, sianida, MPTP, etanol, metanol dll) infeksi (pasca ensefalitis), obat-obatan (neuroleptik atau antipsikotik, antiemetik, reserpine, litium dll), trauma craniocerebral, tumor otak, vaskular (cerebral multi-infarct), hipotiroid, obstructive hydrocephalus, hydrocephalus tekanan normal.

c. Parkinson plus syndrome (multiple system degeneration) adalah primer Parkinsonism disertai gejala-gejala tambahan. Termasuk demensia DLB, progressive supranuclear palsy, atrofi striatonigral, atrofi olivopontocerebelar, corticobasal degeneration, Parkinsonism-dementia- ALS complex of Guam (PDACG), dan atrofi pallidal progresif,.

d. Parkinsonisme herediter adalah penyakit Parkinson yang diakibatkan dari Hereditary juvenile dystonia Parkinsonism, penyakit Lewy bodies, penyakit Huntington, dan penyakit Wilson.

2.1.6 Patofisiologi

Penyakit Parkinson merupakan gangguan pada sistem extrapyramidal meliputi struktur motorik basal ganglia terdiri dari striatum (caudatus nucleus dan putamen), globus pallidus dan subthalamicus nucleus (STN) yang ditandai

(9)

dengan penurunan kontrol motorik akibat hilangnya fungsi dopaminergic (DeMaagd G., 2015).

Destruksi sel SNc mempengaruhi kadar sekresi dopamin yang masif mengalami penurunan sebagaimana normalnya berakhir mempersarafi jalur dopaminergic ke striatum (putamen dan caudatus nucleus) melalui jalur nigrostriatal. Progresivitas dari kejadian penyakit Parkinson stadium awal, dimulai dari penurunan kadar neurotransmiter dopamin yang memberikan abnormalitas respon motorik sebagai manifestasi klinis primer yang kerapkali terlihat, sehingga STN mengkompensasi melalui stimulasi secara terus menerus kadar dopamin terhadap reseptor dopamin D1 tipe eksitasi di Globus Pallidus Internus (GPi). GPi yang over-stimulasi juga akan menyebabkan inhibisi berlebih terhadap reseptor dopamin D2 di thalamus. Maka penyebab korteks motorik menjadi under-stimulation dikarenakan mekanisme tersebut (DeMaagd G., 2015).

SNc merupakan area otak yang memiliki neuron dopaminergic bertanggung jawab atas kontrol gerakan dan keseimbangan sebesar 40-50%. Pada gambaran makroskopik normal, tampak neuromelanin di substantia nigra berwarna hitam yang mengandung pigmen dopaminergic. Berbeda pada kejadian penyakit Parkinson, kematian melanin tampak di substantia nigra ditunjukkan adanya perubahan menjadi warna pucat dan sisa dari sel tersebut ditemukan Lewy bodies yang immunoreactive terhadap protein α-synuclein. Apabila agregasi α-synuclein berikatan dengan mitokondria akan meningkatkan reaksi oksidatif sehingga energi tidak terbentuk yang mengakibatkan sel-sel mati secara berantai. Maka, SNc di pasien Parkinson dapat dikatakan telah mengalami proses neurodegenerasi yang

(10)

berimbas pada penurunan kadar dopamin yang dapat menimbulkan gejala gangguan pada anggota gerak tubuh pasiennya (Kouli et al., 2018).

Dopamin disintesis oleh tiga kelompok neuron utama yaitu SNc, Ventral Tegmental Area (VTA), dan hipotalamus pada kelompok neuron yang lebih kecil melibatkan olfactory bulb dan retina. Fungsi dari dopamin yakni penghubung antara substantia nigra dan corpus striatum pada basal ganglia untuk menjalankan fungsinya sebagai pengatur motorik halus. Hubungan antar SNc dengan striatum dipengaruhi oleh dopamin sebagai neurotransmiter. Terdapat dua kelompok reseptor yang berikatan dengan dopamin yakni reseptor D1 untuk aktivasi jalur langsung dan reseptor D2 untuk aktivasi jalur tidak langsung dengan menghambat jalur langsung. Pada Parkinson, penurunan kadar dopamin yang diterima di striatum, reseptor D1 eksitatorik jalur langsung akan teraktivasi sedangkan reseptor D2 inhibitorik tidak teraktivasi (PERDOSSI, 2015).

Pembentukan jalur langsung dimulai dari reseptor D1 yang telah berikatan dengan dopamin di striatum akan mengaktifkan adenilsiklase agar menguatkan sinyal transmisi postsynaptic jalur ini, sehingga proyeksi impuls eksitasi yang sedikit diterima oleh Substantia Nigra pars Retikulata (SNr) dan GPi melalui gamma-aminobutyric acid (GABA) eksitatorik (PERDOSSI, 2015 dan Bahruddin, 2019).

Sedangkan striatum pada reseptor D2 inhibitorik yang berikatan dengan kadar dopamin yang sedikit tidak mengaktivasi jalur tidak langsung, dikarenakan reseptor D2 menekan kaskade biokimia postsynaptic dengan menghambat adenilsiklase sehingga proyeksi impuls inhibisi ke Globus Pallidus Externus

(11)

(GPe) meningkat. Akibatnya, GPe yang terinhibisi berlebihan dapat menurunkan regulasi GPe ke STN, STN yang tidak terkontrol menyebabkan peningkatan aktivitas STN yang berdampak pada impuls eksitasi STN ke GPi dan SNr yang menjadi semakin meningkat melalui glutaminergic sebagai fungsi inhibisi.

Kombinasi impuls eksitasi dari kedua jalur menghasilkan output impuls eksitasi yang lebih dominan dari jalur tidak langsung, sehingga impuls inhibisi yang berlebihan diproyeksikan menuju thalamus melalui GABA eksitatori sebagai jalur rangsang negatif glutaminergic. Thalamus yang terinhibisi melepaskan glutamat ke korteks serebri sehingga jalur thalamocortical menjadi terhambat. Akibatnya rangsangan fungsi motorik korteks serebri dan medula spinalis menjadi menurun sehingga timbul hipokinetik (PERDOSSI, 2015 dan Bahruddin, 2019).

2.1.7 Manifestasi klinis

Anamnesis dan pemeriksaan umum pada pasien Parkinson yang telah terdiagnosis menunjukkan gejala non spesifik berupa merasa kurang sehat disertai kecemasan, kelemahan ekstremitas, kekakuan pada otot, kram otot atau pegal- pegal, ketidakstabilan postur tubuh, distonia fokal, dan gejala prodromal yaitu penurunan fungsi penghidu, kantuk luar biasa pada siang hari, gangguan perilaku saat tidur, konstipasi, hipotensi ortostatik, dan gejala psikiatrik (ansietas atau depresi) (Armstrong M., 2020). Pasien Parkinson bermanifestasi klinis baik motorik atau karakteristik cardinal. Parkinson diikuti dengan gejala non motorik sebagai berikut:

1. Motorik:

a. Tremor

(12)

Gejala primer motorik pertama yang paling mudah dikenali pada penyakit Parkinson yaitu tremor khas “pill-rolling” (pronasi atau supinasi). Dimulai pada salah satu ekstremitas tangan lalu berkembang meluas pada tungkai sisi yang sama hingga sisi yang normal akan turut terkena. Stadium awal terkadang pasien sering melihat kejadian tremor saat sedang berisitirahat seperti melihat televisi bahkan sepanjang konsultasi ke dokter. Tremor akan terlihat menonjol bila pasien sibuk beraktivitas (Greenland J., 2018). Karakteristik frekuensi rendah pada tremor Parkinson sebesar 4-7 gerakan per detik dan timbul saat istirahat dan berkurang jika ekstremitas digerakan. Tremor akan meningkat pada keadaan emosi dan menghilang pada waktu tidur (PERDOSSI, 2015).

b. Rigiditas

Pasien biasanya mengeluh terjadi nyeri punggung dan atau bahu sebagai akibat dari tonus otot yang asimetris, kekakuan unilateral rigiditas terbatas pada ekstremitas atas, dan terdeteksi ada gerakan pasif. Rigiditas muncul disebabkan oleh motor neuron alfa mengalami peningkatan aktivitas, sehingga rigiditas yang lebih berat dan menyeluruh bila digerakkan secara pasif, akan timbul tahanan pada persendian pasien Parkinson stadium lanjut (PERDOSSI, 2015).

Rigiditas terpicu apabila ada regangan pada otot agonis (fleksor) dan antagonis (ekstensor), dimana saat pasien dalam kondisi rileks diminta untuk melakukan gerakan mengangkat lengan ke atas lalu ke bawah, maka akan didapatkan tahanan di sepanjang gerakan “Fenomena Pipa

(13)

Timah (Lead pipe)” bahkan tahanan yang bergantian tiap geraknya

“Fenomena Roda Gigi (Cogwheel phenomenon)” (Greenland J., 2018). Oleh karena itu, rigiditas termasuk ke dalam gejala motorik primer yang sering ditemui kedua setelah tremor (Varadi C., 2020).

c. Bradykinesia

Adanya kerusakan pada sirkuit neuron motorik berpengaruh terhadap kontrol motorik (Oroz et al., 2009). Kecepatan gerak spontan menjadi sangat berkurang. Dimana, terdapat perlambatan gerak volunter yang menyulitkan permulaan gerakan sehingga gerak semakin kecil (hipokinesia) yang dapat ditunjukkan dalam perubahan penulisan tangan dan langkah kaki yang mengecil atau sikap Parkinson (Armstrong M., 2020). Tampilan tulisan tangan yang kecil dan semakin mengecil, cenderung melewati garis pembatas kalimat (micrographia).

Sikap pasien Parkinson stadium lanjut terlihat sikap posisi kepala fleksi ke arah dada, bahu condong (bungkuk) ke depan diikuti dengan punggung yang melengkung ke depan, dan lengan tidak melenggang bila berjalan bicara juga ikut melambat, monoton dengan berkurangnya volume suara (seperti suara berbisik) termasuk halangan besar yang dialami oleh pasien karena kesulitan saat diajak berbicara (hipofonia) atau pasien mengalami keadaan jarang menelan sehingga air liur meningkat dan keluar dari mulut. Penurunan gerak mimik wajah atau ekspresi muka (hipomimia atau muka topeng) diikuti penurunan frekuensi kedipan mata (Greenland J., 2018).

(14)

d. Ketidakstabilan refleks postural

Gejala utama dari hilangnya refleks postural biasanya hanya bermanifestasi pada penyakit Parkinson stadium lanjut, bukan pada stadium awal. Pasien dengan penyakit Parkinson stadium lanjut selama 5 tahun hanya 37% yang mengalami gejala ini. Terganggunya posisi tubuh menjadi waspada disebabkan oleh kegagalan integrasi dari saraf proprioseptif, labirin dan sebagian kecil impuls mata pada level thalamus dan basal ganglia. Akibat dari gejala ini memberikan tanggung jawab pada kejadian patah tulang pinggul pasien penyakit Parkinson dikarenakan tubuh tidak stabil dan mudah terjatuh (Varadi C., 2020).

2. Non Motorik:

a. Disfungsi otonom

Progresivitas neurodegenerasi pasien penyakit Parkinson dalam menjalankan fungsi pengaturan sistem otonom pada nucleus dorsalis vagus, nucleus ambiguus dan pusat medullary lainnya seperti medulla ventrolateral, rostral medulla, medulla ventromedial, dan caudal nucleus raphe akan menghilang fungsinya dan berdampak pada sistem saraf otonom postganglion sentral dan perifer yang menunjukkan beberapa gejala disfungsi otonom di sistem kardiovaskular (hipotensi ortostatik dan aritmia jantung), sistem gastrointestinal (konstipasi, kegagalan fungsi menelan karena disfagia atau sialorrhea, penurunan berat badan, air liur yang menetes di malam hari atau drooling dan disfungsi defekasi), sistem urogenital (disfungsi urine seperti retensi

(15)

urine, disfungsi seksual seperti impoten dan penurunan hasrat seksual, disfungsi thermoregulator seperti hiperhidrosis nocturnal sweating dan intoleran suhu dingin atau panas) (Chen et al., 2020).

b. Demensia

Prevalensi gejala non motorik berupa demensia timbul setelah 20 tahun mengalami PD berkisar 83% (Kouli et al., 2018). Sindrom kemampuan intelektual yang menurun secara progresif menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional sehingga timbul gangguan fungsi sosial, aktivitas sehari-hari dan pekerjaan. Konsekuensi patologis dari penyakit Parkinson bersifat kompleks dikarenakan akan berkembang menjadi kompleks Parkinsonism demensia. Stadium lanjut pada penyakit Parkinson akan memunculkan gejala neuropsychiatry berupa demensia yang ditandai defisit fungsi luhur meliputi disfungsi fungsi kognisi di lobus temporalis dan disfungsi eksekutif di lobus frontalis pada stadium awal. Defisit fungsi luhur pasien PD ditemukan lebih berat dan sangat berpengaruh dampaknya terhadap memori jangka panjang pasien, fungsi eksekutif, fungsi visuospasial dan gangguan bahasa, bila dibandingkan dengan seseorang dengan proses penuaan yang normal (Oroz et al., 2009).

c. Depresi

Sekitar 40-50% gejala depresi tampak pada pasien penyakit Parkinson stadium lanjut. Depresi merupakan gangguan mood yang mempengaruhi perilaku pribadi (Varadi C., 2020). Depresi bersifat

(16)

endogen, adanya ketidakseimbangan neurotransmiter pada area otak yang mengalami degenerasi dalam menghasilkan dopamin, serotonin, dan norepinefrin berdampak pada perubahan emosi (timbul perasaan sedih, tidak berdaya dan cemas), motivasi (seperti kehilangan minat), penurunan nafsu makan, regulasi tidur yang kacau (timbul gangguan tidur) dan kehabisan energi (Schwarz et al., 2011). Penurunan kualitas hidup muncul seiring perasaan sedih yang berkepanjangan bagi pasien menyebabkan perbandingan kondisi fisik pasien dengan orang normal membuat pasien kehilangan motivasi dalam mengembangkan potensi diri, kehilangan harga diri dikarenakan selalu bergantung dengan orang lain, bahkan kehilangan pekerjaan (Menon et al., 2015).

(PERDOSSI, 2015)

Gambar 2.1

Jalur langsung dan tidak langsung di basal ganglia pada orang normal dan pasien Parkinson

(17)

2.1.8 Diagnosis

Penegakkan diagnosis penyakit Parkinson harus berdasarkan riwayat medis, gejala klinis, dan evaluasi pada reaksi pasien terhadap agen dopamin untuk melihat perkembangan motoriknya. Gejala klinis utama dikenal sebagai gejala primer yang berasal dari gejala motorik utama yakni rigiditas, tremor istirahat, bradykinesia, dan kegagalan refleks postural (Kouli et al., 2018). Menurut PERDOSSI tahun 2015, kriteria diagnosis yang digunakan di Indonesia dibagi menjadi 2, yakni kriteria Hughes dan kritera Koller. Berikut kriteria Hughes:

a. Possible: apabila ditemukan 1 dari gejala-gejala utama 1) Tremor istirahat

2) Rigiditas 3) Bradykinesia

4) Kegagalan refleks postural

b. Probable: apabila ditemukan 2 dari gejala-gejala utama (termasuk kegagalan refleks postural), alternatif lainnya berupa tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris, atau bradykinesia asimetris

c. Definite: apabila ditemukan 3 dari 4 gejala-gejala utama, atau 2 gejala dengan 1 gejala lain yang asimetris (3 tanda kardinal), atau 2 dari 3 tanda tersebut dengan 1 dari 3 tanda pertama asimetris. Jika didapatkan tanda- tanda yang tidak jelas sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang beberapa bulan kemudian.

Berikut kriteria Koller:

a. Possible:

(18)

1) Terdapat 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik yang berlangsung 1 tahun atau lebih

2) Ada respon terhadap terapi levodopa dan atau dopamin agonis

Kriteria klinis yang paling banyak diterima untuk diagnosis probable PD adalah kriteria UKPDS Brain Bank yang mencakup:

Step I: Diagnosis dari sindrom Parkinson a) Bradykinesia + setidaknya salah satu dari:

1) Rigiditas

2) 4-6 Hz tremor saat istirahat

3) Ketidakstabilan postural yang tidak disebabkan oleh disfungsi visual;

vestibular, cerebellar atau proprioseptif Step II: Kriteria eksklusi untuk penyakit Parkinson

1) Riwayat stroke berulang

2) Riwayat trauma kepala berulang 3) Riwayat ensefalitis

4) Dalam terapi neuroleptic saat onset gejala 5) Gejala terbatas pada satu sisi setelah 3 tahun 6) Supranuclear gaze palsy

7) Gejala cerebellar

8) Dementia berat onset awal 9) Babinski (+)

10) Adanya tumor otak pada CT-Scan

11) Tidak memberikan respon terhadap terapi levodopa

(19)

Step III: Minimal 3 dari kriteria suportif 1) Unilateral onset

2) Resting tremor

3) Perjalanan penyakit progresif

4) Gejala asimetris yang menetap pada sebagian besar onset 5) Memberikan respon yang baik (70-100%) pada levodopa 6) Timbul khorea berat yang diinduksi levodopa

7) Memberikan respon terhadap levodopa selama 5 tahun atau lebih 8) Perjalanan klinis 10 tahun atau lebih

Menurut PERDOSSI tahun 2015 untuk menentukan derajat berat ringannya penyakit stadium klinis dilihat berdasarkan Hoehn and Yahr yaitu:

a. Stadium I: didapatkan gejala unilateral ringan yang mengganggu tetapi belum menimbulkan kecacatan, biasanya terdapat tremor pada satu ekstremitas, gejala dapat dikenali orang terdekat.

b. Stadium II: didapatkan gejala bilateral dengan kecacatan minimal dan sikap atau cara berjalan terganggu.

c. Stadium III: didapatkan perlambatan gerakan tubuh, terganggunya keseimbangan dimulai saat berjalan atau berdiri, disfungsi umum sedang.

d. Stadium IV: didapatkan gejala berat, namun masih bisa berjalan pada jarak tertentu, rigiditas dan bradykinesia, tidak mampu berdiri sendiri, tremor berkurang dibandingkan stadium sebelumnya.

(20)

e. Stadium V: Cachactic stage, kecacatan total, tidak mampu berdiri dan berjalan walau dibantu.

(Parkinson dan Kelompok Studi Movement Disorder PERDOSSI, 2015).

(Mutari M.M.A et al., 2020) Gambar 2.2

Gambaran khas penyakit Parkinson

Pemeriksaan lanjutan untuk mendeteksi PD berupa Magnetic Resonance Imaging (MRI) ataupun Computed Tomography Scan (CT scan) tidak dapat membantu dalam menegakkan diagnosis PD termasuk pemeriksaan laboratorium juga tidak terdapat biomarker (Armstrong M., 2020).

2.1.9 Penatalaksanaan

Perlu diketahui bahwa penatalaksanaan penyakit Parkinson berbeda sesuai dengan penyebabnya, seperti halnya PD primer atau idiopatik dipertimbangkan

(21)

untuk pemberian simtomatik atau bahkan progresif sehingga pengobatan farmakologi dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu dopaminergic dan antikolinergik. Kelompok obat tersebut memiliki tujuan yang sama dalam mengurangi gejala motorik dari penyakit Parkinson (PERDOSSI, 2015). Selain itu, terapi non farmakologi yang bisa digunakan yaitu perawatan preventif seperti konsumsi produk diet serat tinggi juga minum air yang cukup, diet asam amino karena mampu mengganggu penyerapan levodopa sehingga pembatasan konsumsi protein diperlukan terutama pada pasien dengan penurunan respon penggunaan levodopa, latihan sebagai penanganan restorasi berupa yoga, tai chi, senam aerobik atau senam untuk program PD dan sebagainya, terapi wicara LSVT-LOUD (Lee Silverman Voice Treatment) dengan LOUD meningkatkan suara, menyaringkan vokal serta mengubah keterampilan fungsional komunikasi pasien PD. Pada terapi operatif bisa dilakukan deep brain stimulation terutama bagian pallidum dan STN serta bisa dilakukan ablasi (ablative/lesioning) thalamotomy dan pallidectomy (PERDOSSI, 2015 dan Church F., 2021).

(Church F., 2021)

Gambar 2.3

Penanganan pada pasien dengan Parkinson

(22)

Pada pasien Parkinson tahap awal kurang dari 5 tahun atau pasien yang belum berkembang komplikasi motoriknya dari penggunaan levodopa bisa tetap menggunakan levodopa atau agonis dopamin, tetapi bisa dipertimbangkan penggunaan monoamine oksidase B inhibitor (MAO-B Inhibitor) serta dipertimbangkan penggunaan antikolinergik terutama pada pasien lebih muda dari usia 70 tahun dengan dominan tremor istirahat yang melumpuhkan dan fungsi kognitif yang dipertahankan (Rao et al., 2006).

Pada pasien Parkinson tahap akhir yang telah menggunakan levodopa atau carbidopa lebih dari 5 tahun dan pada pasien usia muda mengalami efek samping neurotoksisitas sehingga komplikasi motorik berkembang seperti perubahan fluktuasi motorik (gangguan postural, gerak stereotipikal jadi pasien mudah jatuh,

“freezing”, disfungsi otonom otot pernapasan), dyskinesia dan neuropsychiatry maka dapat ditangani dengan penggunaan agonis dopamin, MAO-B Inhibitor, atau Catechol-O-methyltransferase Inhibitor (COMT Inhibitor) (Shobha et al., 2006).

(23)

(Shobha et al., 2006)

Gambar 2.4

Algoritma penatalaksanaan penyakit Parkinson

Perlu diperhatikan pada obat yang bekerja pada sistem kolinergik seperti obat trihexyphenidyl yang termasuk ke dalam kelompok antikolinergik akan berefek jangka panjang berupa gangguan kognitif yaitu gangguan daya ingat dan halusinasi juga gangguan lainnya yaitu konstipasi, mulut kering, mata kering, hipotensi dan retensi urine (Shobha S.R et al., 2006 dan Church F., 2021).

(24)

(Shobha S.R et al., 2006)

Gambar 2.5

Kelompok obat untuk penyakit Parkinson

2.1.10 Prognosis

Penyakit Parkinson apabila tidak ditangani dan dipantau selama perawatan dapat bersifat progresif terutama pada Parkinson primer atau idiopatik dikarenakan sel-sel pembentuk dopamin akan semakin hilang. Berbeda dengan Parkinson sekunder, jika penyakit primer atau etiologi yang menyebabkan Parkinson sekunder teratasi maka gejala akan semakin berkurang (PERDOSSI, 2015).

(25)

Prognosis risiko kematian terhadap PD berhubungan pada pasien diantaranya yang terdiagnosis di usia tua, jenis kelamin laki-laki, didapatkan gangguan kognitif dasar atau gejala demensia, stadium Hoehn and Yahr lebih tinggi, hasil skor motorik dan subskor bradykinesia UPDRS (Oosterveld et al., 2015). Selain itu, komplikasi berupa pneumonia aspirasi akibat disfungsi otonom gastrointestinal pasien Parkinson stadium V memiliki tingkat tinggi risiko kematian (Armstrong M., 2020).

2.2 Kualitas Tidur 2.2.1 Definisi

Tidur merupakan proses yang sangat rumit berhubungan dengan pengaktifan keadaan tidak sadar yang dihasilkan oleh tubuh dimana otak berada dalam keadaan relatif istirahat dan responsif terutama terhadap rangsangan internal yang ditandai dengan menutupnya kelopak mata selama periode tertentu agar memberikan istirahat total guna memperbaiki kesehatan mental dan aktivitas fisik manusia, kecuali fungsi beberapa organ vital seperti jantung, paru-paru, hati, sirkulasi darah, dan organ dalam lainnya (Brinkman J., 2018 dan Reza et al., 2019). Otak menjadi kurang responsif secara berangsur-angsur terhadap rangsangan eksternal seperti rangsangan auditory, visual ataupun rangsangan lingkungan. Tidur sebagai keadaan pasif dimulai dari masukan sensoris meskipun mekanisme insiasi aktif dapat mempengaruhi keadaan tidur pula. Faktor homeostatis (faktor S) maupun faktor sirkadian (faktor C) berinteraksi guna menentukan waktu dan kualitas tidur (Reza et al., 2019).

(26)

2.2.2 Fungsi tidur

Memperbaiki kembali organ-organ tubuh yang telah bekerja sepanjang waktu merupakan fungsi tidur sebagai fungsi restorasi. Dalam menjalankan kegiatan memperbaiki kembali organ-organ berbeda saat fase NREM dan REM.

NREM memiliki pengaruh pada proses anabolik serta sintesis asam makromolekul ribonukleat. Sedangkan REM memiliki pengaruh pada pembentukan hubungan baru di korteks otak dan sistem neuroendokrin yang menuju ke otak. Sehingga berpengaruh terhadap fungsi homeostasis, thermoregulation juga konservasi energi yang dapat membuat tubuh menjadi lebih segar dan sehat. Apabila seseorang merasa kesulitan tidur apalagi terdapat bawaan penyakit salah satunya Parkinson merupakan peringatan dini keadaan patologis yang terjadi di tubuh (Burhan E., 2010).

2.2.3 Teori dasar tidur

Tidur terjadi disebabkan oleh proses penghambatan yang aktif. Teori baru tercipta setelah dilakukan percobaan penting melalui bukti dari pemotongan batang otak setinggi regio midpons menciptakan korteks otak abnormal yang tidak pernah tidur. Oleh karena itu, suatu pusat yang berada di bawah tingkat midpons pada batang otak akan melakukan penghambatan bagian otak lainnya sebagai cara agar seseorang dapat tertidur. Berbeda dengan teori lama yang menyatakan bahwa keadaan seharian terjaga mampu mengakibatkan kelelahan pada sistem aktivasi retikuler yang berkaitan dengan area eksitasi batang otak bagian atas, sehingga keadaan tersebut disebut teori pasif dari tidur (John E. Hall, 2020).

(27)

Pemicu bangun dalam mengatur aktivitas otak dihasilkan oleh batang otak berupa neuromodulator monoaminergic yaitu serotonin, norepinefrin dan dopamin. Bahan kimia yang dihasilkan dari daerah batang otak ARAS (Ascending Reticular Activating System) dapat memproyeksikan serta mengaktifkan korteks serebral, sehingga batang otak dikatakan pusat regulasi sistem saraf otonom untuk mengendalikan aktivitas penunjang kehidupan seperti tekanan darah, pernapasan dan detak jantung (John E. Hall, 2020).

Mengenai kondisi tidur dan terjaga, ada tiga proses utama yang mendukung kondisi ini yaitu area hipotalamus. Waktu tidur diperlukan penyesuaian secara teratur yang dikendalikan oleh ritme sirkadian melalui suprachiasmatic nucleus (SCN) merupakan kejadian proses pertama area hipotalamus. Selanjutnya, regulasi suhu tubuh secara otomatis dilakukan oleh hipotalamus sebagai fungsi homeostatis penghubung sistem saraf otonom dan sistem endokrin. Fungsi tersebut dapat meningkatkan neuromodulator yang memicu bangun dari batang otak dengan dua bahan kimia tambahan berupa histamin dan oreksin (dikenal sebagai hipokretin), dimana pelepasan histamin dan oreksin dalam konsentrasi tinggi mendorong keadaan terjaga di siang hari, konsentrasi menurun jika di malam hari. Penurunan konsentrasi tersebut membuat kantuk dan mendorong untuk tidur (John E. Hall, 2020 dan Sherwood L., 2018).

Thalamus merupakan kumpulan inti sebagai stasiun pemancar (relay station) yang menerima informasi masukan dari masukan aferen berhubungan dengan sensoris, penglihatan, rasa dan suara kemudian tersaring secara ekstensif sebelum dipancarkan menuju ke korteks serebral. Kondisi eksternal yang tidak

(28)

mendukung (seperti suara bising dan penerangan ruangan yang berlebihan) untuk tidur dapat dihambat sebagian besar masukan aferennya oleh thalamus sebelum mencapai korteks, sehingga tercipta tidur dengan nyenyak (Sherwood L., 2018).

Serebrum tersusun atas korteks cerebri (kortikal) dan subkortikal, seperti korteks motorik, somatosensoris, hippocampus dan basal ganglia. Serebrum akan memproses memori, sensori, bahasa, emosi dan kontrol motorik dengan melibatkan seluruh saraf otak besar untuk menjalankan aktivitas keseharian.

Pada kondisi terjaga atau tidur terdapat milyaran neuron kortikal akan bekerja sama untuk menyesuaikan kondisi yang diinginkan. Seperti halnya pada keadaan terjaga, tuberomammillary nucleus melepaskan histamin lebih banyak daripada biasanya untuk mempertahankan keadaan terjaga. Diikuti oleh oreksin yang diproduksi oleh hipotalamus lateralis yang berperan mempertahankan keadaan terjaga.

Asetilkolin juga dilepaskan oleh basal otak besar (basal forebrain) untuk mendukung keadaan terjaga dan berperan pada tidur fase REM. Nucleus raphe dorsalis ikut melepaskan serotonin untuk membantu keadaan terjaga pula serta menghambat tidur fase REM. Perasaan tenang juga bahagia yang dirasakan atau bahkan self-reward merupakan pelepasan dopamin yang distimulasi terus menerus pada nucleus accumbens agar perasaan tersebut tetap ada. Terdorongnya keadaan sadar serta munculnya gerak volunter diinduksi oleh neuromodulator dopamin yang diproduksi oleh SNc di basal ganglia serta VTA. Untuk mengendalikan fungsi simpatis sistem saraf otonom diperlukan norepinefrin yang dilepaskan oleh locus coeruleus (Andrew S., 2021).

(29)

Sistem saraf otonom memiliki peranan penting dalam mengatur bawah sadar dari detak jantung, tekanan darah, pernapasan, suhu serta bagian fisiologi penting lainnya. Sistem saraf otonom membagi dua cabang berlawanan yakni cabang saraf simpatis (fight and flight) dan cabang saraf parasimpatis (rest and digest). Secara konstan dalam kondisi terjaga cabang saraf simpatis dan cabang saraf parasimpatis harus beradaptasi dengan lingkungan serta proses mental atau emosional. Begitupula, saat tidur NREM cabang saraf parasimpatis menjadi aktif sedangkan sebagian besar cabang saraf simpatis menjadi diam sementara. Oleh karena itu, denyut jantung, tekanan darah serta suhu menjadi menurun yang mampu mendorong juga mempertahankan aktivitas tidur fase NREM melalui NREM tahap N1-N3 (Andrew S., 2021).

2.2.4 Mekanisme fisiologi tidur dan bangun di otak

Mekanisme fisiologi tidur dibagi menjadi dua, yaitu homeostasis tidur dan irama sirkadian.

2.2.4.1 Homeostasis tidur

Dalam mempertahankan keseimbangan tubuh diperlukan homestasis tidur yang meliputi suhu tubuh, keseimbangan asam-basa, tekanan darah, serta jumlah tidur. Saat keadaan terjaga terdapat kadar adenosin dalam darah. Peningkatan akumulasi kadar adenosin selama terjadi peningkatan aktivitas metabolik dapat memberikan rasa ingin tidur yang kian bertambah. Dikarenakan adenosin bersifat sebagai neuromodulator faktor tidur baik secara langsung atau tidak langsung yang mampu mengatur aktivitas Ventrolateral Preoptic Area (VLPO) sehingga muncul rasa ingin tidur. Sebaliknya, kadar adenosin menurun apabila seseorang

(30)

dalam kondisi tidur (Holst dan Landolt, 2015). Kondisi tidur dimulai dari inhibisi area arousal otak termasuk tuberomammillary nucleus, hipotalamus lateral, locus coeruleus, raphe dorsalis, tegmental laterodorsal nucleus, dan tegmental pedunculopontine nucleus. Neuron hipokretin (oreksin) di hipotalamus lateral membantu memfasilitasi dengan memberikan efek sinergis komponen ARAS (Brinkman, 2018).

2.2.4.2 Irama sirkadian

Irama sirkadian berjalan bersamaan dengan homeostasis tidur membentuk regulasi waktu dan struktur siklus tidur-bangun pada orang usia muda dan orang tua baik pria ataupun wanita. Manusia merupakan spesies diurnal. Manusia dewasa tidur biasanya pada malam hari dan terjaga di siang hari dimana akses cahaya masuk ke dalam ruangan. Irama ini sangat erat kaitannya dengan melatonin dan suhu tubuh. Seseorang tanpa gangguan tidur, dorongan sirkadian meningkat selama hari terjaga dan mencapai maksimum di malam hari.

Irama sirkadian berguna untuk menjaga waktu tidur yang dikendalikan oleh pusat utama terletak di inti SCN dari bagian ventral anterior hipotalamus.

Ritme sirkadian adalah sifat siklus tubuh secara alamiah yang memberikan rasa ingin untuk tidur. Ritme sirkadian dikontrol oleh hipotalamus melalui SCN melalui masukan sensoris dari saluran retinohipothalamicus berdasarkan tingkat cahaya yang terdeteksi dari retina. Hal tersebut dijadikan penanda dan isyarat waktu yang berasal dari rangsangan lingkungan yang disebut zeitgeber. Ritme sirkadian kira-kira 24,2 jam per siklus.

(31)

Kelenjar pineal memproduksi melatonin agar dijadikan sebagai modulator ritme sirkadian yang memiliki variasi konsentrasi berdasarkan tingkatan cahaya.

Kadar melatonin paling tinggi pada malam hari dan menurun pada siang hari.

Ritme sirkadian berkaitan pula dengan suhu tubuh. Suhu tubuh seseorang di pagi hari secara umum diperkirakan lebih rendah bila dibandingkan suhu tubuh di malam hari, meskipun tiap orang mempunyai titik regulasi suhu yang berbeda- beda. Oleh karena itu, irama sirkadian pada manusia sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (zeitgeber) yang membantu untuk sinkronisasi atau desinkronisasi siklus tidur atau bangun yang diatur oleh bagian rostral medulo oblongata sebagai pusat penggugah atau arousal state.

2.2.4.3 Tipe dan siklus tidur

Seseorang yang mengalami tidur pada tiap malam akan melewati dua tahap terpenting yang satu sama lain saling bergantian. Tahap pertama disebut tidur gelombang-lambat atau NREM dimana gelombang otak menjadi sangat kuat dan frekuensi yang rendah. Jenis gelombang lambat ini dapat membuat seseorang dapat tidur nyenyak selama jam pertama tidur setelah terjaga berjam-jam.

Sedangkan tahap kedua disebut tipe tidur dengan mata yang bergerak cepat (tidur REM) berlangsung 5 sampai 30 menit pada orang dewasa muda.

Terpicunya tahap tidur REM mampu mengaktifkan neuron kolinergik secara maksimal sehingga neuron serotonergic dan neuron noradrenergic menjadi tidak aktif. Dalam hal ini, neuron kolinergik berfungsi sebagai penghambat koneksi timbal balik neuron serotonergic dan neuron noradrenergic. Maka, adanya hambatan timbal balik yang terjadi pada subset spesifik neuron kolinergik

(32)

di batang otak serta neuron monoaminergic mampu mengendalikan tahap pergantian tidur antara NREM dan REM. Tipe tidur REM tidak begitu tenang dan sering berkaitan dengan mimpi yang seakan-akan nyata. Episode ini terjadi meliputi 25% dari jumlah waktu tidur yang dimiliki pada orang dewasa, tiap episode normalnya dapat terjadi kembali setiap 90 menit. Apabila seseorang sangat mengantuk, serangan jenis tidur REM menjadi pendek bahkan mungkin tidak ada, sehingga orang tersebut menjadi lebih banyak beristirahat sepanjang malam. Ketika seseorang telah beristirahat terlalu lama maka serangan durasi REM perlahan-lahan meningkat (John E. Hall, 2020).

Menurut Krystle Minkoff tahun 2016 dan Joshua E. Brinkman tahun 2018, menjelaskan bahwa tidur berdasarkan pembagian kriteria perilaku dan fisiologis, yakni:

a. Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)

Pada jenis tidur ini didominasi oleh gelombang lambat. Hal ini ditimbulkan oleh aktivitas listrik di seluruh otak yang saling berkoordinasi antar neuronnya bertujuan untuk menurunkan frekuensi disertai gelombang osilasi amplitudo yang meningkat secara progresif setiap tahapan pada fase NREM. Beberapa informasi masukan aferen sensoris akan tersaring otomatis secara khusus di thalamus agar mempertahankan dan melindungi seseorang untuk tetap tidur tenang.

Tahap tidur ini memiliki hubungan dengan penurunan tonus pembuluh darah perifer serta fungsi vegetatif tubuh, seperti penuruan 10%-30% laju metabolisme basal, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah.

(33)

NREM memiliki pengaruh 75%-80% dari total tidur. Perkembangan melalui tahapan tidur terjadi dalam urutan yang berulang dengan jangka waktu yang dapat berbeda-beda. Ada 3 tahap pada NREM, yakni:

1. N1: tahap tidur dangkal dimana seseorang mudah untuk dibangunkan yang dapat bertahan selama 7 menit. Individu melalui episode ini sebagai transisi dalam siklus pratidur hingga tidur. Tahap ini juga sering dikatakan sebagai kejadian seseorang berada diantara tidur dan bangun tidur (wakefulness) serta tahap N1 ini terjadi antara periode tidur yang dalam dan periode REM.

Otot-otot mata yang aktif perlahan menurun, semula terbuka menjadi sedikit menutup sehingga otak mengalami transisi yang terlihat dari penurunan frekuensi gelombang alfa dan munculnya gelombang theta sebesar 4-7 Hz dengan 8-13 siklus/detik (cps) pada Electro Encephalo Gram (EEG). Onset tidur selama tahap N1 memiliki karakteristik yang terlihat pada seseorang yakni adanya usaha untuk masuk ke dalam keadaan tidur sementara, mioklonus (kedutan tiba-tiba dan sentakan hipnik), somnolen, mengantuk yang mencakup dari total tidur pada orang dewasa sebesar 5-10 persen.

2. N2: keadaan tidur yang jauh lebih dalam daripada tahap 1, berlangsung sekitar 10-25 menit pada siklus awal tidur namun berlanjut meningkat yang mengambil alih 50% total siklus tidur di malam hari. Tahap memiliki karakteristik aktivitas theta sebesar 4 dan 7 cps yang sering terlihat dan orang yang semula dalam keadaan

(34)

tidur secara bertahap menjadi sulit untuk dibangunkan dikarenakan aktivitas desinkronisasi di ARAS menghilang.

Masuknya seseorang ke tahap ini dibangunkan apabila diberi rangsangan yang lebih kuat dan berat. Gelombang alfa yang berada pada tahap sebelumnya (tahap N1) menjadi berkurang atau bahkan menghilang serta aktivitas yang mendadak biasa disebut sleep spindle atau thalamocortical spindle sebesar 12-14 cps dan muncul kompleks-K dengan tegangan rendah pada EEG.

Fase ini otak mulai aktif dengan ditandai adanya aktivitas frekuesi campuran bertegangan rendah sehingga menjalankan peran pentingnya pada bagian memori otak ingatan baru atau memori jangka pendek agar diproses untuk diintegrasikan ke dalam memori jangka panjang (konsolidasi memori). Paling umum sleep spindle memiliki frekuensi yang berkisar dari 12-14 Hz atau 11-16 Hz.

3. N3 dan N4: Tahap ini memiliki aktivitas gelombang lambat atau slow-wave-activity dan tidur gelombang lambat atau Slow-Wave- Sleep (SWS) atau keadaan tidur yang mendalam atau tidur nyenyak yang disekresikan sebagian besar dari hormon pertumbuhan. SWS dimulai di area preoptic yang tersusun dari 20%-50% aktivitas gelombang delta, gelombang amplitudo tinggi pada 0-4 Hz yang berlangsung sekitar 20-49 menit. Sedangkan N4 memiliki karakteristik lebih dari 50% gelombang delta.

(35)

Tidur pada tahap ini mengalami peningkatan tegangan diikuti aktivitas gelombang lambat yang sering dianggap sebagai bentuk tidur paling nyenyak yang ditandai minimal 20% gelombang delta dengan rentang 0,5-2 Hz serta amplitude puncak ke puncak >75µ.

Karakteristik dari N3 yakni tidur nyenyak dengan gelombang tidur lambat sebesar 15%-25% dari total tidur pada orang dewasa sehingga fungsi restorasi tercipta. Selain itu, mimpi yang muncul biasanya sulit diingat apabila seseorang terbangun dari tidurnya dikarenakan konsolidasi mimpi ke dalam memori tidak terbentuk.

Pada fase ini dapat terjadi gangguan tidur parasomnia seperti teror malam hari (night terrors), enuresis nokturnal (nocturnal enuresis), berjalan dalam tidur (sleepwalking), mengigau, berbicara tanpa sadar, tertawa tanpa sadar, dan menangis tanpa sadar (somniloquy) yang berakibat pada penurunan fungsi restorasi.

b. Tidur Rapid Eye Movement (REM)

Keadan tidur REM dimulai dari sekresi asetilkolin dengan kadar yang bisa sama atau melebihi dari kadar saat terjaga dan terhambatnya neuron yang mengeluarkan monoamin berupa serotonin. Hal ini bisa meningkatkan gelombang otak berfrekuensi tinggi diikuti dengan rendahnya amplitudo disertai gelombang osilasi otak tertentu, sehingga aktivitas otak perlahan-lahan meningkat. Osilasi otak yang dimaksud yakni tanda bahwa aktivitas otak didapati adanya gelombang otak yang berirama dan berulang. Peningkatan osilasi otak pada tahap tidur REM

(36)

menjadikan tidur paradoksal yang berarti ada gelombang aktivitas otak yang aktif selama tidur.

Selama tahap ini, tanda-tanda vital yang menunjukkan gairah (arousal) dan konsumsi oksigen otak lebih tinggi daripada saat bangun.

Oleh karena itu, fase tidur ini bersifat emosional berkaitan dengan sistem limbik juga membantu proses konsolidasi memori serta integrasi. Orang dewasa mampu mencapai REM berkisar setiap 90 menit, dimana tidur REM hanya berlangsung 5 sampai 30 menit dan terjadi sebanyak 4-6 episode. REM memiliki pengaruh 20%-25% dari sisa tidur dan jumlah REM setiap siklus berkembang sepanjang malam hingga mampu mencapai 30% dari siklus malam hari, yang berarti pada fase ini otak dalam keadaan aktif meskipun aktivitas otak tidak disalurkan ke arah yang tepat agar seseorang masuk ke fase siaga penuh terhadap sekelilingnnya dan benar-benar tertidur.

REM merupakan fase tidur yang bertanggung jawab untuk bermimpi.

Hambatan yang sangat kuat pada otot-otot perifer tubuh merupakan tanda seseorang telah masuk ke dalam fase ini, berupa tonus otot di seluruh tubuh mengalami penurunan sehingga terjadi kelumpuhan otot saat tidur (terutama pada area pengendalian otot di spinal), frekuensi denyut jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur kecuali otot ekstraokuler yang terlihat adanya gerak mata yang cepat dalam keadaan tidur.

Kelumpuhan otot tersebut menjadi mekanisme mencegah stimulus saraf untuk bangun dalam mewujudkan mimpi tidur dan melindungi organisme

(37)

dari kerusakan organ (utamanya otak) melalui aktivitas fisik yang berlebih tanpa istirahat.

Tipe tidur ini tidak begitu tenang dikarenakan ada hubungan dengan mimpi yang seolah-olah nyata sehingga dapat membangunkan seseorang apabila merasa terancam di dalam bunga tidur atau mimpi dengan melibatkan aktivitas otot tubuh. Karakteristik REM pada EEG yakni bentuk gelombang gigi gergaji (sawtooth waveforms), gelombang theta, dan gelombang alfa lambat dalam pola yang tidak sinkron.

(Wright K., 2009)

Gambar 2.6

Bentukan gelombang EEG tahapan tidur pada manusia

(38)

Tabel 2.1 Perbedaan fisiologis antara tidur NREM dan REM Proses Fisiologis Fase NREM Fase REM Aktivitas otak Menurun daripada

keadaan terjaga

Area motorik dan sensoris meningkat, sedangkan area lainnya sama seperti fase NREM Denyut jantung Lebih lamban daripada

keadaan terjaga

Cenderung bervariasi dan meningkat

Tekanan darah Menurun daripada keadaan terjaga

Meningkat hingga mencapai 30% dari fase NREM

Aktivitas saraf simpatik

Menurun daripada keadaan terjaga

Meningkat secara signifikan

Tonus otot Mirip saat keadaan terjaga

Berkurang (hambatan kuat di area regulasi otot spinal)

Aliran darah ke otak Menurun daripada keadaan terjaga

Meningkat, tergantung pada daerah otak

Respirasi Menurun daripada

keadaan terjaga

Meningkat dan bervariasi dari fase NREM

Resistansi saluran napas

Meningkat daripada keadaan terjaga

Meningkat dan bervariasi Suhu tubuh Diatur oleh set point

menjadi lebih rendah

Tidak beraturan

Gairah seksual Jarang Terjadi lebih besar

Sumber: (NHLBI, 2003; Somerz et al.,1993 dan Madsen et al., 1993)

2.3 Gangguan Tidur

Persentase kejadian gangguan tidur pada pasien dengan Parkinson Disease (PD) sebesar 96%, muncul dari perubahan kombinasi neurokimia dan neurodegenerative di pusat regulasi tidur seperti otak depan, thalamus, dan bagian neuron dopamin dari otak tengah (Bohnen N., 2019).

2.3.1 Tipe gangguan tidur

Menurut DSM-5, tipe gangguan tidur secara garis besar dibagi menjadi dua yakni gangguan tidur organik dan gangguan tidur non organik. Penyebab organik dari gangguan tidur organik salah satunya penyakit neurodegenerative yakni PD.

Terdapat dua kelompok dari gangguan tidur mencakup kelompok parasomnia dan

(39)

dissomnia. Parasomnia adalah peristiwa abnormal berupa perilaku atau kejadian lainnya yang terjadi selama tidur secara episodik yang terkadang dapat memicu pasien untuk bangun dari tidurnya dan kesulitan untuk tidur kembali. Parasomnia terdapat kategori antara lain yakni teror tidur, mimpi buruk dan somnabulisme (APA, 2013). Dimana pada pasien PD biasanya memiliki Parasomnia Overlap Disorder yang ditandai dengan manifestasi parasomnia REM dan NREM secara bersamaan disertai dengan gangguan RBD (Bargiotas et al., 2017). Dissomnia adalah gangguan utama yang berpengaruh pada kuantitas, kualitas atau waktu tidur (irama sirkadian) yang berkaitan dengan faktor emosional pasien. Dissomnia terdapat kategori antara lain yakni insomnia, hipersomnia dan gangguan jadwal tidur (APA, 2013).

2.3.2 Hubungan gangguan tidur pada pasien Parkinson terhadap kualitas tidur Dopamin memiliki peranan penting yang kompleks terhadap siklus bangun tidur. Pada pasien PD terjadi penurunan sensitivitas dopamin yang terletak di VTA otak tengah atau midbrain sebagai mediasi arousal dan wakefulness menerima proyeksi dari hipotalamus bagian neuron hipokretin, pedunculopontine nucleus (dapat menunjukkan gejala RBD) dan amygdala (Chaudhuri dan Schapira, 2009).

Gangguan tidur merupakan manifestasi gejala awal dari Parkinson fase prodromal atau bertindak sebagai faktor pengubah penyakit penting pada manusia yang rentan untuk berpotensi Parkinson (Bohnen N., 2019). Gangguan tidur dipengaruhi oleh beberapa aspek yang dialami pasien yakni insomnia, RBD, EDS, dan RLS (Stefani A., 2020).

(40)

a. Insomnia

Insomnia merupakan gejala non motorik yang paling banyak ditemui pada pasien PD. Kesulitan untuk segera tidur atau mempertahankan tidur dalam satu waktu, bangun terlalu dini atau bahkan kualitas tidur yang tidak menyegarkan biasa dialami oleh pasien salah satunya paling umum muncul pada PD yang bertahan selama tiga hari atau satu minggu bahkan bisa lebih dari tiga bulan (Garrison et al., 2021).

Ketika pasien PD telah tertidur akan terjadi insomnia onset mempertahankan tidur apabila muncul masalah berupa akinesia nokturnal, gejala motorik serta non motorik seperti RLS, PLM (Chaudhuri dan Schapira, 2009). Sehingga insomnia seringkali berkaitan dengan gangguan tidur lainnya berupa RBD, EDS, obstructive sleep apnea, dan gangguan ritme sirkadian yang dapat berkontribusi pada kualitas tidur yang buruk dan penurunan kualitas hidup (Garrison et al., 2021). Terdapat satu faktor penting atau lebih pada pasien yang mengalami perburukan insomnia yaitu lamanya PD yang dimiliki oleh pasien, wanita usia tua, depresi atau ansietas, penggunaan antidepresan, nyeri, nocturia, dan gejala motorik nokturnal (Garrison et al., 2021). Insomnia diklasifikasikan menjadi dua berdasarkan etiologi yakni insomnia primer yang penyebabnya belum diketahui secara pasti atau idiopatik dan insomnia sekunder yang penyebabnya dikarenakan faktor komorbid yang dimiliki oleh pasien usia lanjut didasari atas kondisi medis tertentu seperti penyakit jantung dan paru, nyeri kronis, gangguan psikiatri (cemas dan depresi), gangguan

(41)

neurologi (PD dan Alzheimer disease), serta obat-obatan (beta blocker, bronkodilator, dan nikotin) (Satela M., 2014).

b. EDS (Excessive Daytime Sleepiness)

Kantuk yang berlebihan di siang hari merupakan penyebab utama penyakit PD (Abbott et al., 2005). EDS didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam mempertahankan keadaan terjaga dan waspada selama episode bangun pada suatu hari yang mengakibatkan penyimpangan yang tidak diinginkan seperti kantuk atau tidur (Shen et al., 2018). Etiologi pasien PD yang mengalami EDS biasanya disebabkan oleh faktor multi faktor. Pertama, adanya neurodegenerasi pada batang otak bagian pusat kontrol bangun dan tidur dapat mempengaruhi fase tidur NREM dan REM melalui neurotransmiter berupa adenosin untuk fase NREM dan kolinergik untuk fase REM. Kedua, adanya hasil yang merugikan dari terapi dopaminergic yang dilakukan penelitian oleh Tanner tahun 2000 dan Cornella tahun 2002 menunjukkan bahwa agen dopaminergic seperti levodopa dan dopamin agonis seperti pramipexole, ropinirole, serta rotigotine dapat menyebabkan keadaan somnolen sehingga terapi kombinasi agen dopaminergic dan dopamin agonis mampu meningkatkan risiko EDS. Apabila terapi dopaminergic dosis tinggi diberikan pada pasien PD, pasien akan rentan terhadap serangan tidur yang tidak tertahankan (Shen et al., 2018). Ketiga, kualitas tidur malam yang buruk dikarenakan banyak gangguan tidur primer (seperti RLS, PLM, dan RBD), gangguan motorik (seperti akinesia nokturnal, bradykinesia, rest

(42)

tremor, dan ketidakmampuan membalikkan badan) serta gejala non motorik (seperti depresi, nyeri, nokturia, halusinasi, disregulasi suhu karena disautonomia) dapat menyebabkan pasien mengalami EDS (Shen et al., 2018).

c. RBD (REM Behaviour Disorder)

Gangguan perilaku tidur fase REM berupa RBD merupakan gejala prodromal neurodegenerative terkuat dan dijadikan gejala klasik pada pria dikarenakan adanya synucleinopathy. (Cerri et al., 2019). RBD muncul pada sepertiga pasien dengan PD ditandai dengan mimpi buruk dan perilaku yang terwujud saat seseorang sedang tertidur fase REM tanpa atonia otot (Bohnen N., 2019). Fase REM tanpa atonia otot tersebut muncul dikarenakan hasil dari ketidakseimbangan sirkuit antara inhibitori dan eksitatori batang otak yang melibatkan fungsinya sebagai pengatur aktivitas otot selama fase tidur REM (Lajoie et al., 2021). Oleh karena itu, RBD merupakan tanda pertama sebagai indikasi permulaan seseorang mengalami penyakit neurodegenerative yang dapat ditemukan alpha synuclein (APA, 2013). RBD dikenal dengan parasomnia yang ditandai dengan gerak bola mata cepat saat palpebra superior pars tarsalis tertutup, ada gerakan paradoksikal sederhana atau gerak kompleks seperti vokalisasi (berbicara, berteriak), perilaku agresif secara berulang (menendang, meninju, memukul, atau gerakan berkelahi) tanpa tujuan, dan tidak terkendali yang mampu menyakiti anggota tubuh pasien selama mimpi buruk berlangsung (Neikrug et al., 2014 dan Oliveira P., 2021).

(43)

Hilangnya atonia otot biasanya digambarkan oleh pasien dari mimpi yang terbentuk sebagai tindakan nyata penuh kekerasan yang mampu menyebabkan cedera terkait tidur pada pasien atau pasangan tidur (Korotun et al., 2021). Selain itu, untuk membantu diagnosis RBD diperlukan keterangan dari pasien bahwa mengalami gangguan tidur yang semakin memburuk berupa obstructive sleep apnea atau parasomnia alternatif fase NREM (St Louis et al., 2017).

RBD dapat diklasifikasikan menjadi bentuk primer atau idiopatik dan bentuk sekunder yang dapat terjadi pada pasien dengan PD sebesar 25- 58% kasus, pasien dengan DLB sebesar 70-80% kasus, pasien dengan MSA sebesar 90-100% kasus, pasien autoimun (narkolepsi, sindrom paraneoplastik, ensefalitis limbik, multiple sclerosis) dan lain-lain (Bohnen, 2019).

Menurut International Classification of Sleep Disorders Edisi Ketiga tahun 2014, dalam menegakkan diagnostik RBD terdapat kriteria yang harus ditemukan pada pasien:

a. Episode berulang saat tidur yang berkaitan dengan vokalisasi dan atau perilaku kompleks.

b. Perilaku pasien didokumentasikan dengan menggunakan polysomnography saat terjadi REM atau berdasarkan riwayat klinis berjalannya mimpi dianggap terjadi selama tidur REM.

c. Rekaman polysomnography menunjukkan tidur REM tanpa atonia.

(44)

d. Gangguan yang semakin memburuk dapat dijelaskan adanya gangguan tidur lainnya, gangguan kesehatan mental, dan penggunaan obat-obatan.

d. RLS (Restless-Leg Syndrome)

RLS atau Willis-Ekbom Disease (WED) merupakan gangguan gerakan yang berkaitan saat tidur, ditandai dengan seringnya pergerakan anggota badan disertai sensasi tidak nyaman dan tidak menyenangkan seperti rasa terbakar, berkedut atau nyeri di extremitas superior bahkan dapat dirasakan pula di extremitas inferior (Ferini-Strambi et al., 2018). Pasien merasakan sensasi tidak menyenangkan saat posisi tiduran atau bahkan posisi duduk (Munhoz et al., 2018). Dimana seringnya onset dari gejala ini ketika periode istirahat atau tidak aktif bergerak sehingga sensasi tidak menyenangkan cenderung sering muncul (Ferini-Strambi et al., 2018).

Kriteria pasien mengalami RLS biasanya terdapat dorongan tidak sadar untuk menggerakkan kaki atau tangan disertai sensasi tidak nyaman, terutama saat kondisi tidak aktif, biasanya gerakan bisa terjadi sebagian atau seluruhnya yang muncul pada sore atau malam hari (Satela M., 2014).

Adapun gejala yang mungkin mirip dengan gejala RLS, seperti arthritis, kram kaki dan mialgia (Satela M., 2014). Menurut Verbaan et al tahun 2010 dalam penelitian cohort, ada kemungkinan bahwa pasien PD yang diberikan terapi dosis relatif tinggi dopaminergic dapat menekan gejala RLS (Rijsman et al., 2014).

(45)

2.4 Parkinson Disease Sleep Scale 2 (PDSS 2)

PDSS merupakan alat ukur pertama yang mudah digunakan untuk menilai serta mengukur spektrum luas gejala nokturnal gangguan tidur pada pasien PD.

Metode penilaian analog visual melalui PDSS kuesioner berjumlah 15 pertanyaan mampu menangani gejala yang berkaitan dengan gangguan tidur pasien PD (Najafi et al., 2013). PDSS telah ditetapkan sebagai alat screening tidur yang penting dalam mengukur tingkat keparahan gangguan tidur pada pasien PD (Arnaldi et al., 2016). PDSS yang terbaru yakni PDSS 2 versi Italia menunjukkan akseptabilitas, reliabilitas, validitas konstruk, dan presisi yang memuaskan. Hal ini dapat berguna dalam penelitian untuk menilai kualitas tidur malam hari secara keseluruhan, mengidentfikasi penyebab potensial masalah tidur pada pasien PD seperti nyeri dan menetapkan prioritas untuk intervensi (Martinez-Martin et al., 2019).

Tiap pertanyaan dinilai menggunakan sistem skor dengan kisaran 0-4 yang berarti nilai 0 (tidak pernah) hingga nilai 4 (sangat sering). Total skor PDSS 2 dihitung keseluruhan itemnya sehingga didapatkan mulai dari nilai 0 (tidak ada gangguan) sampai nilai 60 (ada gangguan malam hari maksimum) dengan pembagian rentang 0 hingga 20 berarti kualitas tidur baik, rentang 21 hingga 40 berarti kualitas tidur sedang, dan rentang 41 hingga 60 berarti kualitas tidur buruk.

Hal ini diperlukan digunakan untuk mengetahui bagaimana keadaan tidur pasien Parkinson, apakah memiliki kualitas yang baik, sedang atau buruk yang mana dalam praktek klinisnya berpotensi untuk mengukur gangguan tidur (Arnaldi et al., 2016 dan Akbar et al., 2021).

(46)

Gejala gangguan tidur yang dialami pasien Parkinson diukur menggunakan PDSS 2 dengan melihat pertanyaan per item. Insomnia dapat dideteksi dengan melihat item pertanyaan nomor 1, 2, 3, dan 4 (Pushpanathan et al., 2018). Namun, gejala insomnia juga dapat dideteksi dari gejala nokturia yang berada pada item pertanyaan nomor 8 dan 9 (Eun Ja et al., 2014). RBD dan Obstructive Sleep Apnea bisa dideteksi pada item pertanyaan nomor 5, juga untuk nomor 6 dan 7 bisa berguna mendeteksi pengalaman mimpi serta halusinasi pasien Parkinson, serta nomor 8 (Pushpanathan et al., 2018). RLS juga dapat dideteksi pada item pertanyaan nomor 4 dan 5, tetapi gejala RLS juga dapat dideteksi dari gejala motorik nokturnal yang berapa pada item pertanyaan nomor 10, 11, dan 12 (Suzuki et al., 2014). EDS dideteksi pada item nomor 14 juga diketahui pada nomor 13 yang berada pada kelompok gejala motorik nokturnal. Untuk item pertanyaan terakhir yakni nomor 15 menunjukkan permasalahan bernapas yaitu SAHS (Suzuki et al., 2014).

2.5 Hoehn and Yahr Scale (H&Y)

Sistem penilaian tingkat keparahan PD dapat diperiksa melalui pemeriksaan fisik yang tampak gejala motorik pada pasien dengan menggunakan H&Y tahun 1967. Progresivitas dari pasien PD dapat dideskripsikan melalui skala derajat satu hingga lima. Pasien yang bisa hidup mandiri memiliki gejala pada stadium satu dan dua yang termasuk ke dalam kelompok disabilitas minimal dengan kelompok derajat Parkinson ringan, dimana pasien H&Y stadium 2 memiliki pengikatan dopamin lebih rendah di striatum bila dibandingkan pasien H&Y stadium 1 sehingga dapat dikaitkan stadium 2 memiliki pengaruh lebih besar pada kantuk di

(47)

siang hari. Pasien dengan gejala stadium tiga yang termasuk ke dalam kelompok derajat Parkinson disabilitas sedang, berbeda pada pasien gejala stadium empat dan lima yang termasuk ke dalam kelompok derajat Parkinson disabilitas berat.

Skor tertinggi pada skala H&Y pasien PD dikaitkan dengan masalah penurunan neurokognitif (demensia, depresi, dan halusinasi) serta penurunan kualitas hidup

(Modestino et al., 2018).

Referensi

Dokumen terkait

Gigitiruan sebagian lepasan (GTSL) adalah gigitiruan untuk menggantikan satu atau beberapa gigi yang hilang pada rahang atas atau rahang bawah dan dapat dibuka pasang oleh

Dalam penanganan pasien- pasien trauma, waktu menjadi hal yang sangat penting, maka diperlukan suatu cara penilaian yang cepat untuk menentukan tindakan perawatan yang harus

Untuk serangan rekuren demam rematik pada pasien yang sudah mengalami penyakit jantung rematik, WHO merekomendasikan menggunakan minimal dua kriteria minor disertai adanya