• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda lainnya, anak sebagai amanah Tuhan yang harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat dan hak-hak anak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak – hak anak. Dilihat dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah pewaris dan sekaligus potret masa depan bangsa dimasa datang, generasi penerus cita-cita bangsa sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Keinginan untuk memiliki anak adalah hal yang alami karena manusia memiliki akal sehat dan keinginan. Dengan akal fikiran manusia dapat menelaah serta mengkaji sesuatu agar terasa bermanfaat dan disisi lain keinginan tersebut mendorong manusia berusaha untuk memperolehnya bahkan terkadang menjurus kepada hal yang tidak mampu dan diluar kuasa manusia.

(2)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.1 Rangkaian kegiatan tersebut harus terus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial dan memiliki jiwa nasionalisme berdasarkan akhlak mulia dan nilai pancasila serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin yaitu sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun. Hal ini bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang utuh, menyeluruh dan komprehensif. Undang-undang perlindungan anak juga harus meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas non diskriminatif, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan serta penghargaan terhadap pendapat anak.

Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak diperlukan peran masyarakat baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa atau lembaga pendidikan.

1 Ahmad Kamil, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 5.

(3)

Pengangkatan anak dan anak angkat termasuk bagian substansi dari hukum perlindungan anak yang telah menjadi bagian dari hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sesuai dengan adat istiadat dan motivasi yang berbeda-beda serta perasaan hukum yang hidup dan berkembang di masing-masing daerah walaupun di Indonesia masalah pengangkatan anak belum diatur secara khusus dalam undang-undang tersendiri.

Hal penting yang harus digarisbawahi bahwa pengangkatan anak harus dilakukan dengan proses penetapan pengadilan. Jika hukum berfungsi sebagai penjaga ketertiban dan rekayasa sosial, maka pengangkatan anak yang harus dilakukan melalui penetapan pengadilan dimaksudkan untuk kemajuan kearah penertiban praktik hukum pengangkatan anak yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Agar peristiwa pengangkatan anak itu dikemudian hari memiliki kepastian hukum baik bagi anak angkat maupun bagi orang tua angkat. Praktik pengangkatan anak yang dilakukan melalui pengadilan tersebut telah berkembang baik dilingkungan Pengadilan Negeri maupun dalam lingkungan Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan/motivasi. Motivasinya antara lain untuk meneruskan keturunan jika dalam sebuah perkawinan tidak memperoleh keturunan2. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang tidak mungkin melahirkan anak. Tujuan pengangkatan

2 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 39 ayat 1.

(4)

anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku3. Ketentuan ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.

Adanya motivasi lain yang terjadi dimasyarakat misalnya adanya pasangan suami istri yang paham benar atas kondisi mereka masing-masing, dengan beberapa alasan mereka antara lain adanya keengganan memiliki anak setelah melewati batas usia yang aman untuk melahirkan, kurangnya keinginan untuk mengandung dan melahirkan dan kemampuan mereka sudah tidak memungkinkan lagi untuk melahirkan seorang anak, sehingga salah satu cara untuk memiliki anak dapat dilakukan dengan mengangkat anak.

Ada juga fakta nyata yang telah dialami beberapa waktu yang lalu dengan adanya bencana alam gempa bumi yang diikuti dengan tsunami, akibat bencana tersebut meninggalkan anak-anak yang kehilangan orang tuanya sehingga beberapa pasangan suami istri dengan itikad baik untuk mengasuh dan mendidik anak-anak korban gempa tersebut. Secara yuridis hal tersebut dapat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Secara sosiologi dan nilai-nilai kultur juga berpengaruh terhadap seorang anak yang di angkat oleh orang tua angkatnya yang bukan berkewarganegaraan dan keyakinan yang sama.

Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh anak kemudian anak angkat disia-

3 Ibid, Pasal 39 ayat 2.

(5)

siakan sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlindungan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik lagi.

Terhadap pengangkatan anak yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia dengan tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya4. Hal penting yang harus disadari bagi calon orang tua angkat dan orang tua kandung bahwa calon orang tua angkat haruslah seagama dengan agama yang di anut oleh calon anak angkat karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arah dari orang tua angkat dengan anak angkatnya dan jika hal ini terjadi maka sangat melukai hati nurani serta akidah orang tua kandung dari anak angkat tersebut5.

Pengangkatan anak juga dapat dapat dilakukan oleh Warga Negara Asing terhadap anak Indonesia. Namun harus sesuai dengan ketentuan hukum yang mengatur tentang pengangkatan anak antar warga Negara. Pasal 39 angka 4 Undang- Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Apabila asal usul anak yang akan diangkat tidak diketahui maka agama anak diseuaikan dengan agama penduduk disekitar anak tersebut ditemukan6.

4 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 39 ayat 3.

5 Fauzan, Pengangkatan Anak Bagi Keluarga Muslim Wewenang Absolute Peradilan Agama, Majalah Mimbar Hukum, Edisi Desember 1999, No.X, hal. 56.

6 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 39 ayat 5.

(6)

Adanya hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung. Maka, orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan ini dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan7.

Hubungannya dengan bimbingan dan pengawasan terhadap anak angkat, Pasal 41 Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak yang lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengangkatan anak merupakan hal yang wajar dilakukan sesuai dengan keadaan yang dialami oleh orang tua angkatnya sehingga yang menjadi perhatian dalam pengangkatan anak ini adalah pemberian hak untuk hidup bagi seorang anak, mereka masih membutuhkan kecukupan nafkah serta perlindungan hidup dan pendidikan.

Keberadaan lembaga pengangkatan anak di Indonesia sebagai lembaga hukum masih belum memadai sehingga penyelesaian masalah pengangkatan anak yang ada dimasyarakat dapat ditinjau dari berbagai aspek hukum. Hukum adat yang merupakan The Living Law berlaku bagi masyarakat adat setempat, hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist juga mengatur masalah ini bagi ummat Islam, ketentuan hukum

7 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 40.

(7)

barat yang bersumber dari Hukum Perdata BW (Burgerlijk Wetboek) berlaku juga di Indonesia.8

Ketentuan Hukum Perdata BW tidak mengatur tentang masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak namun beberapa pasal menjelaskan masalah pewarisan dengan istilah anak luar kawin atau anak yang diakui (Erkend kind) selain itu di Indonesia juga terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya sesuai dengan lingkungan hukum adatnya masing- masing yang berbeda pula pengaturan hukum masalah status anak angkat.9

Secara konstitusional keberadaan hukum Islam mendapat pengakuan dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945 hasil amandemen yang berbunyi : (1). Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, (2). Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pemaknaan Pasal 29 UUD 1945 diberikan oleh Wirjono Prodjodikoro. Ia menyebutkan bahwa pembentukan Departemen Agama di Indonesia yang mengurus persoalan yang berhubungan dengan kehidupan keagamaan memiliki dasar kuat dalam Pasal 29 UUD 1945.10 Dengan demikian kepentingan-kepentingan rakyat mengenai kehidupan keagamaan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini berarti penyelenggaraan kehidupan keagamaan termasuk positifikasi hukum agama menjadi tugas dan tangung jawab pemerintah.

8 Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Ummat Islam, UII Press, Yogyakarta, 1986, hal.10.

9 Ibid, hal.11.

10 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Sumur, Bandung, 1982, hal. 12.

(8)

Salah satu ajaran agama Islam adanya keharusan memberikan perhatian kepada fakir miskin dan anak terlantar. Keharusan bagi umat Islam seperti ini telah dikukuhkan dalam Pasal 34 UUD 1945. Pasal ini memperkuat dasar hukum kewajiban negara untuk mewujudkan pesan agama Islam. Agama Islam menganjurkan untuk memberikan perhatian kepada fakir miskin dan anak yatim.

Pasal 34 UUD 1945 bila dihubungkan dengan Pasal 29 UUD 1945 jelas menunjukkan bahwa pesan agama menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pesan yang di emban oleh UUD 1945. Maka, negara Republik Indonesia harus berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan harapan ini.

Dalam beberapa hal telah tampak adanya perhatian negara untuk mewujudkan cita-cita Pasal 34 UUD 1945 tersebut. Akan tetapi dalam hal perhatian kepada anak- anak yang telah kehilangan orang tua, dalam keadaan terlantar, belum ada usaha pemerintah untuk merumuskan suatu cara penanggulangannya. Untuk menanggulangi anak-anak yang telah kehilangan orangtua, cara yang paling aman adalah melalui pencarian orang tua pengganti dengan cara pengangkatan anak.

Dalam ajaran Islam “pengangkatan anak” sangat dilarang. Pelarangan ini erat kaitannya dengan larangan pemanggilan seseorang anak yang lepas dari identitas orang tua kandungnya. Pengangkatan anak dalam tradisi jahiliyah membawa konsekuensi saling mewarisi antara anak angkat dan orang tua angkat.

Pengangkatan anak dapat memutuskan hubungan hukum dengan orang tua kandungnya dan bahkan panggilan terhadap anak angkat dinasabkan kepada orang

(9)

tua angkat. Tradisi ini jelas tidak sesuai dengan Al-Qur’an dalam surah Al-Ahzab ayat (4) dan (5) yang artinya:

”... dan ia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu sendiri yang demikian ituhanyalah perkataan di mulut saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan yang benar. Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula (pengabdi) kamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Menurut ayat (4) Surat Al-Ahzab ini adalah bahwa anak angkat bukanlah anak kandung, menyebutkan namanya saja tidak boleh dinasabkan kepada ayang angkatnya dilanjutkan dengan ayat (5) yang maksudnya agar tidak menyesatkan hubungan darah karena tidak jelasnya hubungan darah yang dapat berakibat pada kelirunya rancangan perkawinan dan pada akhirnya dapat menyesatkan pembagian harta warisan. Gangguan seperti inilah yang ingin dihindari oleh ajaran Islam agar kedudukan nasab antara anak dan orang tua kandung tidak terputus.

Nabi Muhammad saw melakukan pengangkatan anak bukan bermaksud untuk memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandung tetapi karena didasarkan pada rasa belas kasihan. Ajaran ini menjadi dasar kuat bagi keberadaan anak angkat sepanjang tidak mengaburkan pertalian keturunannya. Pengangkatan anak atas dasar

(10)

belas kasihan merupakan bagian dari berbuat baik sesuai ajuran Al-Qur’an surat Al- Maidah ayat (2) yaitu:

”Berlomba-lombalah berbuat kebajikan dan bertolong-tolonglah dalam melakukan kebaikan dan jangan bertolong-tolongan dalam dosa dan permusuhan”.

Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 5 adalah pembatalan penyebutan dalam arti membangsakan seorang anak kepada selain ayahnya sendiri. Jadi, Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 dimaksudkan untuk menjawab beberapa persoalan hukum yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam mengakui adanya ketentuan peralihan hak anak angkat atau orang tua angkat.

Ketentuan ini sangat menggembirakan karena selama ini masyarakat melakukan pengangkatan anak secara diam-diam tanpa memahami adanya ketentuan tentang wasiat wajibah yang memberikan hak kepada anak angkat dan atau orang tua angkat atas harta peninggalan dari orang tua angkat atau anak angkat, pengangkatan anak itu harus dilakukan dengan penetapan pengadilan.

Pengangkatan anak yang dilarang dalam ajaran Islam adalah pengangkatan yang mengarah kepada putusnya hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandung termasuk dalam hal panggilan nasab. Namun, jika pengangkatan anak didasarkan pada rasa belas kasihan dan saling bantu membantu bukanlah sesuatu yang dilarang bahkan dianjurkan dalam agama Islam. Pengertian yang terakhir inilah

(11)

yang disimpulkan oleh pengkaji garis hukum yang sekarang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam ditengah-tengah masyarakat Indonesia merupakan suatu fakta bahwa masyarakat muslim Indonesia berkeinginan untuk melaksanakan ajaran Islam dengan sebenarnya, maka dalam Keputusan Menteri Agama RI Nomor 154 Tahun 1991 pada diktum pemerintah dinyatakan: seluruh lingkungan instansi tersebut dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang hukum perkawinan, kewarisan, perwakafan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam disamping peraturan perundang-undangan lainnya.

Pengakuan adanya anak angkat dalam perundang-undangan telah lebih konkrit dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memuat beberapa syarat pengangkatan anak dimaksud dalam Pasal 39 sampai dengan Pasal 41. Syarat dan kriteria yang dicantumkan dalam undang-undang ini sesuai dan sejalan dengan penafsiran-penafsiran yang sudah diyakini oleh umat Islam.

Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditinjaklanjuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai ,opaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk melaksanakan

(12)

pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berdasarkan adat kebiasaan setempat.

Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas pelaksanaan pengangkatan anak yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak bahkan telah terjadi jual beli organ tubuh anak.

Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak baik yang dilakukan pemerintah maupun oleh masyarakat yang dituangkan dalam bentuk peraturan pemerintah. Dengan berlakunya peraturan pemerintah ini dimaksudkan agar pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga dapat mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan meningkatkan kesejahteraan anak demi kepentingan terbaik bagi anak.

Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Undang-Undang ini tidak ada yang mengatur secara langsung tentang anak angkat tetapi apabila ditelusuri secara mendalam, peraturan ini dapat digunakan untuk menghindari kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga, bahkan seharusnya memberi peluang dalam hal pengangkatan anak.

Terhadap Anak tiri, anak orang miskin atau anak yang orangtuanya telah bercerai, jika mendapat jalan keluar melalui pengangkatan anak tentu saja kekerasan itu dapat dihindari atau dikurangi.

(13)

Masalah kewenangan Pengadilan Agama untuk melakukan penetapan anak angkat dipertegas kembali dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pada Pasal 49 huruf a angka (20) menyatakan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dibidang penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.

Banyaknya anak terlantar, anak miskin dalam aktivitas sosial tentu saja diperlukan walinya. Siapakah wali untuk anak terlantar, tentu saja jawabannya tidak ada wali untuk anak terlantar. Kalau rumus pengangkatan anak ditutup rapat, padahal setiap anak yang berurusan dengan hukum selalu ada pertanyaan atau pernyataan mengenai orang tua atau wali dan apabila wali nasabnya tidak ada, tentu saja perwalian akan beralih kepada wali yang lain. Satu-satunya cara yang lebih pasti dan meyakinkan untuk terwujudnya perlindungan anak dari tindak kekerasan terhadapnya adalah ketika anak yang bersangkutan memiliki orang tua angkat atau wali. Orang tua angkat dapat bertindak sebagai wali.

Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dilakukan penelitian ini dengan judul ”Perlindungan Hukum Anak Angkat Menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Ditinjau Dari Hukum Islam”.

(14)

B. Permasalahan

Bertitik tolak dari uraian diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari Hukum Islam dalam praktik hukum di Indonesia.

C. Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk menjelaskan ketentuan hukum pengangkatan anak menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

2. Untuk menjelaskan akibat hukum pengangkatan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

3. Untuk menjelaskan perlindungan hukum terhadap anak angkat menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari Hukum Islam dalam praktik hukum di Indonesia.

(15)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi manfaat dalam bidang ilmu pengetahuan dan menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan hukum hak anak angkat menurut Undang-Undang Perlindungan Anak maupun Hukum Islam.

2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi para pihak dalam menyelesaikan permasalahan terhadap pengangkatan anak dan bagi masyarakat sebagai bahan masukan untuk mengetahui tata cara pengangkatan anak, fungsi serta perlindungan hukum anak angkat.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai perlindungan hak anak angkat menurut Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 di tinjau dari Hukum Islam belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun beberapa penelitian yang membahas mengenai masalah hak anak angkat, antara lain diteliti oleh :

1. Tresna Hariadi, NIM 027011065, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2004, berjudul Hak Anak Angkat Dari Orang Tua Angkat dalam Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan). Permasalahan dalam tesis ini adalah :

(16)

1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan bagi Pengadilan Agama Medan dalam memberikan harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat ? 2. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan Pengadilan Agama Medan dalam

menentukan hak anak angkat atas harta peninggalan orang tua angkatnya ? 3. Bagaimanakah ukuran keadilan yang diterapkan Pengadilan Agama Medan

untuk menentukan hak anak angkat ?

2. T. Dewi Melfi Hamid, NIM 047011067, mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2006, berjudul Tinjauan Yuridis Terhadap Pengangkatan Anak (Adopsi) Warga Negara Indonesia Oleh Warga Negara Asing (Studi Kasus di Departemen Sosial Republik Indonesia).

Permasalahan dalam tesis ini adalah :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan seseorang melakukan pengangkatan anak ?

2. Bagaimanakah akibat hukum yang ada dari setiap pengangkatan anak menurut Hukum Perdata dan Hukum Islam ?

3. Bagaimanakah kedudukan Hukum Perdata dan Hukum Islam dalam melindungi hak anak angkat ?

Akan tetapi dari segi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dalam penelitiannya berbeda sama sekali, dengan demikian penelitian ini adalah asli.

(17)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan ”kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi bahan perbandingan , pegangan teoritis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui.11

Kerangka teori12 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan hipotesa-hipotesanya. Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti tetapi harus dianggap petunjuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.

Pembahasan mengenai keterlambatan negara merespon perlindungan hukum terhadap anak angkat, teori utama yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

11 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

Kemudian juga disebutkan teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetapi merupakan suatu abstaraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. Oleh karena itu, Soerjono Soekanto menyebutkan lima macam kegunaan dari teori yaitu: pertama, teori berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diteliti atau diuji kebenarannya.

Kedua, teori sangat berguna dalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi. Ketiga, teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti. Keempat, teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan kemungkinan faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa yang akan datang. Kelima, teori memberikan petunjuk terhadap kekurangan- kekurangan pada pengetahuan penelitian. Soerjono Soekanto, Beberapa Aspek Sosial Yuridis dan Mayarakat, Bandung, Alumni, 1983, hal. 111-112.

12 Ibid, hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa didalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti.

(18)

teori kedaulatan negara (Staats-Souvereiniteit)13 yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan George Jelinek.

Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara, negara mengatur dan melindungi kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi kehidupan anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Teori kedaulatan negara berhubungan dengan teori kedaulatan hukum (recht souvereiniteit) dan teori kedaulatan rakyat.

Menurut teori kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi ada ditangan rakyat14. Hukum dibuat oleh parlemen15 melalui wakil-wakil rakyat. Oleh karena itu, wajar bila rakyat menaati dan melaksanakan ketentuan hukum yang dibuat oleh wakil-wakil rakyat melalui organ-organ negara yang dibentuk berdasarkan hukum administrasi negara.

Organ-organ negara itu adalah lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya harus mengayomi

13 Soehino, Ilmu Negara, edisi ketiga, Yogyakarta, Liberty, 1998, hal.154-155. Teori kedaulatan rakyat akan berfungsi apabila didukung oleh teori pengayoman dan teori perlindungan.

14 Budi Ispriyarso, Hubungan Fungsional antara kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum terhadap Perkembangan Hukum Administrasi Negara, dalam Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Pers, 2001.

15 J.S Badudu dan S.M Zein, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet.2, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 1005, yang menyatakan bahwa parlemen adalah badan yang terdiri dari wakil- wakil yang terpilih melalui pemilihan umum. Hukum yang diciptakan melalui parlemen akan berkembang dan hidup dalam masyarakat karena dibuat dan diterima oleh anggota masyarakat . konsekuensinya, negara diterima oleh rakyat untuk intervensi dalam berbagi aktivitas keperdataan melalui keterlibatan organ-organ kekuasaan negara.

(19)

masyarakatnya terutama perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yatim dan anak miskin.

Anak yatim dan anak miskin yang telah ditentukan menjadi tanggung jawab negara harus ada jalan keluar yang realistik. Tanggung jawab negara tidak hanya dalam bentuk mendirikan panti asuhan tetapi juga merumuskan perundang-undangan yang dapat memberikan perlindungan keapda anak yatim dan anak miskin. Negara mempunyai kekuasaan untuk mewujudkan perlindungan hak dari anak angkat ini.

Di samping teori utama yang dipergunakan sebagai alat analisis penelitian ini, juga akan didukung dengan beberapa teori lain sebagai teori pendukung atau wacana yaitu teori kemaslahatan hukum dan teori perwalian. Setiap orang harus ada walinya.

Wali itu dapat terdiri dari orang tuanya atau orang lain yang ditunjuk oleh orang tuanya atau ditetapkan oleh pengadilan. Wali ini penting dalam hubungannya dengan perkawinan bila yang bersangkutan perempuan, berkaitan dengan harta benda dan pewarisan.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa teori perwalian sebagai teori pendukung, teori ini penting diikutsertakan karena pada dasarnya semua orang harus ada walinya. Wali terhadap anak secara realitas memang sangat dibutuhkan. Setiap ada urusan tentang anak selalu dikaitkan dengan orang tua atau walinya.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan16, merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak

16 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 8, Bandung, Al-Maarif, 1994, hal. 160, menyebutkan hadhanah berasal dari kata hidhan artinya lambung, seperti kata hadhana ath-thaa iru baidadu artinya

(20)

mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.17

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.

Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.

Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawai.

Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan,

burung itu mengepit telur di bawah sayapnya. Begitu pula dengan perempuan (ibu) yang mengasuh anaknya. Mengasuh anak yang masih kecil hukumnya wajib sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Lihat Mat Saad Abd. Rahman, Undang-Undang Keluarga Islam, Aturan Perkawinan, Shas Alam, Selangor Daerah Ehsan Malaysia, Hizbi, 2002, hal. 121, mengatakan hadhanah bermaksud pemeliharaan anak-anak yang masih kecil baik laki-laki atau perempuan.

17 A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, ringkasan hasil penelitian, USU, Medan, 2007, hal. 9.

(21)

menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.18

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang- Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dekungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

2. Konsepsi

Kerangka konsepsional ini penting dirumuskan agar tidak tersesat kepemahaman lain, diluar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping unsur lainnya seperti asas dan standar. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu sari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental

18 Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Pembangunan, Jakarta, 1993, hal. 245.

(22)

yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis.19

Dalam bahasa Latin, kata conceptus (dalam bahasa Belanda, begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan defenisi yang dalam bahasa Latin adalah defenitio. Defenisi tersebut berarti perumusan (dalam bahasa Belanda onschrijving) yang pada hakekatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian disamping aneka bentuk lain yang dikenal didalam epistimologi atau teori ilmu pengetahuan20. Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsional atau pengetian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.21

Di sini terlihat dengan jelas bahwa suatu konsepsional atau suatu kerangka konsepsional pada hakikatnya merupakan suatu pengarah atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun, suatu kerangka konsepsional terkadang dirasakan masih juga abstrak sehingga diperlukan defenisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit didalam proses penelitian.22 Maka konsepsional merupakan defenisi dari apa yang

19 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996 dan Aminuddin dan H.

Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 48- 49.

20 Konsep berbeda dengan teori, dimana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variable atau lebih. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta, Roke Sarasni, 1996, hal. 22-23 dan 58-59, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Ibid dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Ibid.

21 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 1986, hal. 21.

22 Satjipto Rahardjo, Op.cit, hal. 30 dan Aminuddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 48.

(23)

perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris.23

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini perlu didefenisikan beberapa konsep dasar sehingga diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Konsep tersebut yaitu:

1. Perlindungan hukum adalah kepastian akan perlindungan yang diberikan oleh aturan-aturan atau norma-norma yang telah dibuat dengan tujuan untuk menciptakan keamanan, ketertiban dan keadilan di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa membedakan suku, agama, ras, adat istiadat karena semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum24 .

Penyelenggaraan perlindungan hukum terhadap anak angkat meliputi berbagai aspek kehidupan dengan mengacu kepada hak-hak asasi anak yang melekat padanya sejak anak itu dilahirkan. Setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya25 .

23 Koentjaraningrat, et-al, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Cet 3, Jakarta, Gramedia, 1980, hal.21.

24 Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak dan Pasal 23 ayat (2) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Menurut penjelasan Pasal 22 disebutkan dukungan sarana dan prasarana misalnya sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, balai kesehatan dan lain-lain.

25 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, Pustaka Bangsa, Jakarta, 2003, hal. 86-87. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak juga menjelaskan tentang perlindungan anak yaitu segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dijelaskan juga mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal

(24)

2. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan.

4. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara. Hak mempunyai dua makna yang asasi yaitu: (1) sekumpulan kaidah dan nash yang mengatur dasar-dasar yang harus ditaati dalam hubungan manusia sesama manusia baik mengenai orang maupun harta bendanya, (2) kekuasaan menguasai sesuatu atau sesuatu yang wajib atas seseorang bagi selainnya26 .

5. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

22 Undang-Undang Perlindungan Anak bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak dan Pasal 23 ayat (2) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Lebih lanjut lagi disebutkan untuk dukungan sarana dan prasarana antara lain: sekolah, lapangan bermain, lapangan olahraga, rumah ibadah, balai kesehatan dan lain-lain.

26 Ibid, hal. 87. Menurut Tengku M Hasbi Ash Shiddieqy sebagaimana dikutip oleh Iman Jauhari, Hak menurut pengertian yang umum adalah suatu ketentuan yang dengannya syara menetapkan suatu kekuasaan atau suatu beban hukum.

(25)

6. Kompilasi Hukum Islam adalah aturan atau norma-norma yang berdasarkan Al- Qur’an, Al-Hadist dan Ijma’ para ulama yang hanya berlaku di Indonesia.

7. Peraturan perundang-undangan adalah aturan-aturan atau norma-norma yang diterbitkan atau dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur permasalahan yang berkembang didalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Peraturan hukum adalah memberikan tata tertib dan menjamin adanya kepastian hukum didalam masyarakat tetap dipelihara sebaik-baiknya dengan harapan setiap warga taat mematuhi peraturan hukum yang berlaku.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya suatu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek dari hasil penelitian di lapangan27tentang perlindungan hukum anak angkat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ditinjau dari hukum Islam. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, khususnya yang menyangkut Undang-Undang Perlindungan Anak dan peraturan pelaksanaannya. Sifat penelitian ini adalah juridis normatif yaitu penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau ditujukan hanya terhadap peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain28.

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,1986, hal. 63.

28 Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 13.

(26)

2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dari penelitian kepustakaan yang didukung penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier29. 1). Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yaitu

a). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b). Undang-Undang Dasar 1945.

c). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

d). Kompilasi Hukum Islam.

e). Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

f). Surat Edaran Mahkamah Agung RI Tentang Pengangkatan Anak.

2). Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukumprimer seperti hasil-hasil penelitian dan karya ilmiah dari kalangan hukum yang berhubungan dengan perlindungan hukum anak angkat.

3). Bahan hukum tertier adalah bahan pendukung di luar bidang hukum seperti kamus ensiklopedi atau majalah yang terkait dengan perlindungan hak anak angkat.

3. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan 2 (dua) alat pengumpulan data yaitu :

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal. 39.

(27)

1. Studi dokumen yaitu untuk mengumpulkan data sekunder yang terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan caramempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait selanjutnya digunakan untuk kerangka teoritis pada penelitian lapangan.

2. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan wawancara kepada informan yang terkait dengan perlindungan hukum anak angkat.

4. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah analisis data kualitatif yaitu analisis data yang tidak mempergunakan angka-angka tetapi berdasarkan atas peraturan perundang-undangan, pandangan-pandangan dari nara sumber sehingga dapat menjawab permasalahan dari penelitian ini.

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, diolah dan diteliti serta di evaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis. Sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif yang dicatat satu persatu untuk dinilai kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan deduktif. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

Referensi

Dokumen terkait

Keluhan klien pada waktu dikaji, klien mengeluh sesak, sesak ini bertambah bila klien turun dari tempat tidur dan berkurang bila klien tidur, sesak nafas ini

Pada tahun 2016 ini, sesuai dengan Surat Keputusan Rektor Unsyiah Nomor 503 Tahun 2016 tentang buku panduan penyusunan kurikulum Uiniversitas Syiah Kuala tahun 2016-2020

Padang lamun merupakan salah satu ekosistem perairan yang produktif dan penting, hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai stabilitas dan penahan sedimen,

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mengembangkan teknologi mobile dengan membangun aplikasi kamera pengintai yang dapat digunakan sebagai media

Metode: Penelitian cross-sectional dua kelompok tidak berpasangan. Subjek adalah 54 remaja putri berusia 13-15 tahun dibagi menjadi kelompok sarapan dan tidak sarapan, dan

Standar dan pedoman akuntansi yang dipergunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) bertujuan untuk menghasikan informasi keuangan yang dapat

Berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai hubungan tingkat kebugaran jasmani siswa dengan hasil

Konvensi Internasional yang mengatur warisan budaya dan sudah diratifikasi oleh Indonesia adalah Konvensi 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam, Konvensi