• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, khususnya Alinea ke-4 telah menggariskan bahwa tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam rangka mewujudkan dan mencapai tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia maka salah satu sarana untuk mewujudkan hal tersebut adalah melalui sistem pertahanan dan keamanan Negara.1

Sistem pertahanan dan keamanan Negara yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan nasional tersebut membutuhkan ketersediaan alat pertahanan dan keamanan serta harus didukung oleh kemampuan Industri Pertahanan dalam negeri yang mandiri.

Pemikiran inilah yang menjadi dasar pembentukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (UU No. 16 Tahun 2012). Hal ini tercermin dalam Ketentuan Pasal 3 dan 4 UU No. 16 Tahun 2012 yang mengatur mengenai tujuan dan fungsi penyelenggaraan Industri Pertahanan (beberapa di antaranya) yaitu mewujudkan KEMANDIRIAN PEMENUHAN Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan; meningkatkan KEMAMPUAN MEMPRODUKSI Alat Peralatan Pertahanan

1 Disarikan dari Bagian Menimbang Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.

(2)

2 dan Keamanan, jasa pemeliharaan yang akan digunakan dalam rangka membangun kekuatan pertahanan dan keamanan yang andal; dan MEMANDIRIKAN sistem pertahanan dan keamanan negara.

Hal yang menjadi penting dan perlu dipikirkan lebih lanjut adalah bagaimana mencapai kemandirian di bidang Industri Pertahanan di tengah situasi bahwa pengadaan alat utama sistem senjata (dapat dinyatakan hampir semuanya) masih diperoleh dari luar negeri. Adapun beberapa contoh pengadaan alat utama sistem senjata dari luar negeri adalah Armored Vehicle Tarantula, Helicopter Bell untuk jenis 412 EP dan Rhenmenttal AG untuk 1004 Leopard 2A4.

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2012, Industri Pertahanan diarahkan untuk mampu menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas alat utama sistem senjata dan alat material khusus yang baik serta ditujukan untuk meningkatkan pertahanan negara dan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat. Arah dan tujuan Industri Pertahanan ini mengandung dualisme, karena arah Industri Pertahanan dalam pengembangan industri strategis pertahanan jelas membutuhkan waktu yang lama sedangkan di sisi lain pembangunan kekuatan Industri Pertahanan tersebut tidak dapat menunggu waktu yang lama, bersifat segera dan membutuhkan Industri Pertahanan yang sudah kuat dan mapan. Pada akhirnya, guna menjembatani dualisme arah dan tujuan Industri Pertahanan ini maka Ketentuan Pasal 43 UU No. 16 Tahun 2012 telah menggariskan bahwa prioritas pengadaan alat utama sistem senjata harus berasal dari industri dalam negeri, namun jika industri dalam negeri belum dapat memenuhi kebutuhan

(3)

3 tersebut, maka pengadaan dari luar negeri dimungkinkan sepanjang memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:2

a. Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri;

b. Mengikutsertakan partisipasi Industri Pertahanan;

c. Kewajiban alih teknologi;

d. Jaminan tidak adanya potensi embargo, kondisionalitas politik dan hambatan penggunaan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan dalam upaya mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara;

e. Adanya imbal dagang, kandungan lokal dan/atau ofset paling rendah 85% (delapan puluh lima persen);

f. Kandungan lokal dan/atau ofset sebagaimana dimaksud pada huruf e paling rendah 35%

(tiga puluh lima persen) dengan peningkatan 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun; dan

g. Pemberlakuan ofset paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Persyaratan yang ditekankan dalam Ketentuan Pasal 43 Ayat (5) UU No. 16 Tahun 2012 di atas adalah adanya Ofset Pertahanan dalam bentuk alih teknologi, imbal dagang, kandungan lokal dan Ofset minimal 85% (delapan puluh lima persen) yang diperhitungkan dari nilai pengadaan alat utama sistem senjata.

2 Pasal 43 Ayat 5 UU No. 16 Tahun 2012.

(4)

4 Ofset merupakan konsep imbal dagang yang dipraktekkan oleh banyak negara di dunia. Konsep ini mulai berkembang pada era Perang Dingin sekitar akhir tahun 1950-an, dimana konsep ini ditawarkan oleh Amerika Serikat kepada negara aliansinya terutama negara anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) untuk meningkatkan kapabilitas industri dan memodernisasi peralatan militer dimana hal ini sekaligus merupakan bentuk kekhawatiran Amerika Serikat pada perkembangan kapabilitas militer Uni Soviet dan upaya mempromosikan serta meningkatkan pembelian persenjataan Amerika3. Berbagai macam tawaran ofset yang diberikan oleh Amerika Serikat adalah foreign assistance, pembuatan bagian-bagian persenjataan oleh industri aliansi dan dari segi diplomatis, kebijakan ini juga turut membantu menjaga hubungan politik dan keamanan di negara-negara ini4.

Dalam lingkup internasional, metode ofset merupakan salah satu bentuk imbal dagang sebagaimana diatur dalam Legal Guide International Countertrade UNCITRAL5, yaitu dalam Bab I Ruang Lingkup dan Terminologi Butir 17 bahwa yang dimaksud dengan ofset adalah mengikutkan partisipasi industri atau kerjasama industri, yang mengikutkan barang-barang dengan nilai tinggi atau teknologi canggih, dan mungkin

3 Balakrishnan, Kogila. 2007. Dalam disertasinya Evaluating the Effectiveness of Offsets as a Mechanism for Promoting Malaysian Defense Industrial and Technological Development. Cranfield University. Hal 153.

4 Brauer, Jurgen dan Dunne, J.Paul. 2004. Arms Trade and Economic Development: Theory and Policy in Offset Studies. Bab 16 Offset Policies and trends in Japan. South Korea, and Taiwan. Routledge:Taylor & Francis Group, Newyork. Hal 228-229.

5 UNCITRAL (United Nations Commissions on International Trade Law) merupakan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang memformulasikan dan meregulasi perdagangan internasional dalam bekerjasama dengan World Trade Organisation (WTO). UNICITRAL mengeluarkan aturan Legal Guide International Countertrade yang disahkan di Newyork 1993, yang mengatur dan harus menjadi rujukan setiap negara dalam transaksi perdagangan internasional.

(5)

5 juga memasukan alih teknologi dan know-how, mempromosikan investasi dan akses kepada pasar tertentu.

Kebutuhan akan ofset mulai mengalami perubahan pada tahun 1960 dan 1970 yaitu ketika negara industri di kawasan Eropa Barat menghadapi fakta tentang biaya yang semakin meningkat dalam pengembangan teknologi, sehingga biaya besar yang dikeluarkan untuk persenjataan diharapkan mampu dikembalikan lagi demi pembangunan ekonomi, sehingga tercipta efektivitas pertahanan6. Sejalan dengan perkembangan tersebut, ofset dengan transfer teknologi merupakan elemen strategis dalam pembangunan Industri Pertahanan domestik. Hal ini dilakukan guna memaksimalkan manfaat dari pembelian persenjataan yang juga mendukung produksi pertahanan, yaitu mendorong kerjasama produksi persenjataan dengan industri domestik serta komersialisasi industri.

Indonesia sudah mulai mengatur penerapan Ofset Pertahanan dimana setidaknya langkah awal itu telah ditunjuk-kan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 (Perpres No. 5 Tahun 2010) tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang mengatur bahwa modernisasi persenjataan militer dan revitalisasi Industri Pertahanan nasional merupakan prioritas di bidang pertahanan. Sebagai tindak lanjut dari rencana tersebut, Pemerintah telah membentuk Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) yang bertugas untuk mengkoordinasikan perumusan, pelaksanaan dan pengendalian kebijakan nasional Industri Pertahanan7. KKIP diharapkan dapat berperan strategis dalam

6 United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL), Legal Guide on International Countertrade Transaction. Hal 8-9 diakses pada 6 November 2013 dari http://www.uncitral.org/pdf/english/texts/sales/countertrade/countertrade-e.pdf

7 Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2013 tentang Organisasi, Tata Kerja dan Sekretariat Komite Kebijakan Industri Pertahanan.

(6)

6 penyelenggaraan Industri Pertahanan sehingga akan mendorong upaya pemenuhan kebutuhan alat peralatan yang mendukung pembangunan pertahanan nasional.

Sejalan dengan rencana pembangunan pertahanan tersebut, Pemerintah juga telah menetapkan Minimum Essential Force (MEF) 2005-2024 sebagai bentuk target rencana pemenuhan kapabilitas pertahanan kedepan, yang terbagi atas empat tahapan Rencana Strategis (Renstra) yaitu Renstra 2005-2009, Renstra 2009-2014, Renstra 2014-2019, dan Renstra 2019-2024. Untuk renstra tahun 2009-2014 saja anggaran yang direncanakan mencapai Rp 150 triliun (seratus lima puluh triliun rupiah)8. Besarnya komitmen anggaran ini mendorong Pemerintah untuk mencari opsi pengadaan alat persenjataan pertahanan yang paling efektif dan efisien untuk mencapai target MEF secara optimal sekaligus mendorong kemandirian Industri Pertahanan nasional.

Pengadaan persenjataan yang dilakukan oleh Pemerintah tidak hanya berupaya untuk memenuhi target MEF dan memodernisasi persenjataan militer tetapi juga untuk mendukung pengembangan Industri Pertahanan, dimana beberapa bentuk kerjasama yang dapat dilakukan untuk mendukung pengembangan Industri Pertahanan adalah joint production, joint research, lisensi dan alih teknologi. Pernyataan ini disampaikan oleh Menteri Pertahanan di era Kabinet Indonesia Bersatu II, Purnomo Yusgiantoro9 yaitu sebagai berikut:

8 Wibowo, Agus Tri, “Modernisasi Alutsista diiringi Peningkatan Mutu Prajurit” dalam Metrotvnews.com, 5

Oktober 2013, diakses pada 2 November 2013 pukul 19.30 WIB

http://m.metrotvnews.com/read/news/2013/10/05/186278/Modernisasi-Alutsista-Diiringi-Peningkatan-Mutu-Prajurit

9 Munawwaroh, “Presiden Larang Mark up di Bisnis Senjata.” Dalam Tempo.co, 11 November 2011, diakses pada tanggal 20 November 2013 pukul 18.57 WIB dari http://www.tempo.co/read/fokus/2011/11/10/2159/Presiden- Larang-Mark-Up-di-Bisnis-Senjata

(7)

7

“Kalau toh kita belum bisa memproduksi, maka jangka menengah, jangka panjang kita harus membangun satu kerangka kerja sama yang lebih, misalnya joint investment atau joint production, joint research development dan innovation."

Hal senada juga disampaikan oleh Wakil Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin10, yaitu

“Jadi, tahun 2012-2013 mendatang kami akan lakukan pemenuhan kebutuhan alutsista penerbangan secara cepat. Kami mendorong kerja sama pembuatan jet latih dengan Brazil dalam kerangka alih teknologi dengan PT DI."

Pernyataan para pelaku kebijakan tersebut merupakan bentuk harapan Pemerintah untuk mengembangkan Industri Pertahanan nasional serta memodernisasi persenjataan. Hal ini dapat dilakukan secara simultan hanya melalui skema ofset dimana dalam pelaksanaannya jika persenjataan yang diperlukan belum dapat disediakan dalam negeri, maka pengadaannya dapat dilakukan dari luar negeri dengan mekanisme joint production ataupun alih teknologi. Dengan demikian user akan mendapatkan manfaat secara maksimal11, baik dalam pemeliharaan, maupun sharing knowledge yang dapat memperkaya pengetahuan para pelaku Industri Pertahanan dalam mengejar perkembangan teknologi saat ini.

Dalam regulasi nasional sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Pasal 43 Ayat (5) UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan telah diatur bahwa Pemerintah harus mengikutsertakan Industri Pertahanan nasional dalam pengadaan Alat Peralatan Pertahanan

10 Gislina, Ira. “ Indonesia Beli lagi 6 Sukhoi Rusia.” Dalam Tempo.co, 30 Desember 2011, diakses pada 20 November 2013 pukul 19.07 WIB dari http://www.tempo.co/read/news/2011/12/30/078374471/Indonesia-Beli- Lagi-6-Sukhoi-Rusia

11 Fikri, Ahmad, “ PT Dirgantara Produksi 7 Helikopter TNI” dalam Tempo.co, 2 Maret 2012 diakses pada 20 November 2013 pukul 19.26 WIB http://www.tempo.co/read/news/2012/03/02/173387618/PT-Dirgantara-Produksi- 7-Helikopter-TNI

(8)

8 dan Keamanan dengan industri dari luar negeri, yang didalamnya juga menekankan adanya pemanfaatan konten lokal dan upaya alih teknologi. Pelaksanaan ofset harus dimulai pada bulan April tahun 201412 yaitu dengan menggunakan konten lokal sebanyak 35% (tiga puluh lima persen) dan meningkatkannya sebesar 10% (sepuluh persen) setiap 5 (lima) tahun. Di sisi lain, sampai dengan saat ini UU No. 16 Tahun 2012 belum dilengkapi dengan peraturan turunan yang secara khusus mengatur mengenai bentuk dan pelaksanaan ofset.

Walaupun persoalan teknis tersebut belum menemukan jalan keluar, pada kenyataannya, Industri Pertahanan nasional telah melakukan praktek ofset. Pada tahun 1974, Indonesia melakukan joint venture dengan CASA dalam desain CN 235 dan Indonesia juga membangun NC 212 dibawah lisensi CASA. Selanjutnya, terdapat beberapa peralatan dimana Indonesia mendapatkan lisensi antara lain Helicopter BO-105 (MBB, Jerman Barat), Super Puma NAS 332 (Aerospatiale-Perancis), N Bell-412 (Bell Helicopter), Rocket Sera D (Aerlikon, Swiss), FFAR-2,75 (F,Z-Belgia) dan SUT Torpedo (AED Telefunken-Jerman). PT PAL telah melakukan ofset, salah satunya dalam pembuatan Landing Platform Dock yang bekerjasama dengan Deowu International (Belanda). Pada tahun 2011, PT PINDAD bekerjasama dengan Busan Ltd (Korea Selatan) dalam pembuatan Armored Vehicle Tarantula. Pada tahun 2012, Indonesia bekerjasama dengan Korea Selatan dalam membangun kapal selam dan pesawat tempur generasi 4,5

12 Pasal 43 Ayat 5 huruf g UU No. 16 Tahun 2012.

(9)

9 IFX. PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) juga telah melakukan ofset sebagaimana diuraikan dalam tabel di bawah ini:13

No. Perusahaan Keterangan

1. F-16 General Dynamic - Kontrak ofset senilai US$ 17,700,000 (tujuh belas juta tujuh ratus ribu dolar Amerika Serikat);

- Ofset menekankan pada training, control tool, dan technical assitance senilai US$

13,800,000 (tiga belas juta delapan ratus ribu dollar Amerika Serikat);

- Material dan mesin berteknologi tinggi di sediakan oleh F-16 General Dynamic;

- 3.476 (tiga ribu empat ratus tujuh puluh enam) unit alat dibuat oleh PT. DI, yang terdiri atas FEAD LH, FEAD RH, Fuel Pylon, Weapon Pylon, Vertical Fin Skin, Wing Flaperon dan Main Landing Door.

2. Bea Rapier - Nilai kontrak £1,290,000 (satu juta dua ratus sembilan puluh ribu poundsterling);

13 Yuniorrita, Sezsy. 2009. Dalam Tesisnya yang berjudul “The Role of Offset Practices in the Enhancement of Indonesia Defence Industrial Capability: A Case Study of PT. Dirgantara Indonesia.”, hal 73-75

(10)

10 - Material disediakan oleh Bae System;

- Perkakas disediakan oleh PT. DI sebanyak 80 (delapan puluh) unit komponen yang terdiri dari Base Launcher, Base Distribution Box dan Caddle Assy.

3. Pratt & Whitney - Nilai kontrak US$ 4,900,000 (empat juta sembilan ratus ribu dollar Amerika Serikat);

- Material disediakan oleh Pratt & Whitney;

- PT. DI dapat melakukan reparasi dan overhaul engine ringan.

4. F-100 Fokker - Nilai kontrak US$ 47,500,000 (empat puluh tujuh juta lima ratus ribu dollar Amerika Serikat) dari tahun 1991-2006;

- Material disediakan oleh F-100 Fokker dimana PT. DI membeli dari Fokker Material;

- PT. DI membuat 4 (empat) komponen yaitu Speed Break, Pedestal, Lift Dumper dan Fairing.

5. Hawk Bae System 35% (tiga puluh lima persen) dari nilai ofset

(11)

11 diberikan dalam bentuk student sponsorship bagi para teknisi dan manager untuk masuk ke beberapa universitas yaitu Cranfield, Bristol dan Loughborough University serta Technical Assistance untuk Sertifikasi CN 235-110.

Gambaran di atas menunjukan bahwa praktek Ofset Pertahanan yang dilakukan masih terbatas pada pembuatan komponen yang bersifat pendukung, tanpa adanya alih teknologi komponen canggih karena komponen tersebut tidak secara langsung merupakan sistem senjata, walaupun dari sisi pengembangan pengetahuan, beberapa perusahaan telah memberikan transfer pengetahuan melalui pendidikan di berbagai universitas dan pelatihan akan penggunaan alat dan perawatan mesin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa praktek Ofset Pertahanan yang dilakukan selama ini belum memberikan kontribusi yang maksimal dalam membangun Industri Pertahanan khususnya dari segi pengembangan teknologi.

Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan ofset adalah kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi dari perusahaan yang dapat mengakibatkan ketidakjelasan pelaksanaan ofset dan keberlangsungan ofset. Sebagai contoh, PT. DI juga berhasil membangun N 250 namun proyek tersebut dibatalkan karena ratifikasi LOI antara Indonesia dan IMF pada tahun 1999, sehingga ofset yang dilakukan tidak dapat menambah kapabilitas dari PT. DI.

Uraian mengenai harapan akan terwujudnya kemandirian Industri Pertahanan yang dihadapkan dengan fakta bahwa Industri Pertahanan dalam negeri belum dapat

(12)

12 mewujudkan hal tersebut dan praktek Ofset Pertahanan yang belum maksimal, maka pertimbangan diperlukannya perjanjian yang secara spesifik mengatur mengenai bentuk dan pelaksanaan ofset seharusnya dipandang sebagai suatu kebutuhan. Keberadaan perjanjian ofset ini tentunya dapat berfungsi sebagai alat bukti dan alat ukur pelaksanaan, keberlangsungan dan indikator keberhasilan pelaksanaan ofset.

Eksistensi perjanjian ofset itu sendiri menjadi signifikan dengan melihat fakta bahwa biaya pembangunan kapabilitas Industri Pertahanan berdasarkan MEF tidaklah murah, sehingga biaya yang dikeluarkan tentunya perlu dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan kedepannya, karena kebutuhan peningkatan kapabilitas Industri Pertahanan dalam mencapai MEF, Indonesia berpotensi melakukan pengadaan alat utama sistem senjata diantaranya dengan Bell Helicopter Bell untuk jenis 412 EP sebanyak 7 (tujuh) unit, Rhenmenttal AG untuk 1004 Leopard 2A4. Tidak hanya itu, diperkirakan Indonesia akan mengadakan beberapa peralatan lain seperti IFV Marder, MLRS Astros II, Meriam Caesar 155 mm, ATGM N LAW, Helicopter Apache AH-64E, Hercules, Tanj BMP 3F, PKR Sigma, dan 3 Frigate Nakhoda Ragam Class.

Di Indonesia, instrumen hukum yang mengatur tentang Perjanjian adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Berdasarkan Ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut Prof. Subekti, S.H., perjanjian adalah peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang yang lain atau dimana dua orang itu

(13)

13 saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.14 Selanjutnya, berdasarkan Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata telah diatur bahwa:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Makna yang terkandung dalam Ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata di atas adalah perjanjian yang dibuat secara sah akan berlaku layaknya sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Intinya, agar suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat yang bahkan digambarkan seperti undang-undang harus dibuat secara sah.

Berdasarkan Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;

c. Mengenai suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai orang- orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.15 Syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana

14 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), Hal. 1.

15 Ibid. Hal 17.

(14)

14 dimaksud dalam Ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata inilah yang akan dijadikan sebagai dasar teori untuk merumuskan Ofset Pertahanan dalam perjanjian.

Berdasarkan segenap uraian di atas, maka hal yang menarik perhatian Penulis untuk mendapatkan kajian lebih lanjut dalam penulisan tesis ini adalah bagaimana bentuk dan pelaksanaan Ofset Pertahanan mengingat belum terdapat peraturan yang mengatur secara spesifik terkait hal tersebut dan bagaimana merumuskan Ofset Pertahanan dalam kerangka Perjanjian atau Kontrak dalam konteks keberlakuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian.

B. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan pada bagian latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk dan pelaksanaan Ofset Pertahanan?

2. Bagaimana merumuskan Ofset Pertahanan dalam kerangka Perjanjian dalam konteks keberlakuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian?

C. KEASLIAN PENELITIAN

Sepanjang pengetahuan dan hasil penelusuran Penulis, belum terdapat penelitian secara khusus terhadap definisi, bentuk dan pelaksanaan Ofset Pertahanan yang dikaitkan dengan konteks keberlakuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian.

Dengan kata lain, belum terdapat penelitian yang diarahkan pada materi Ofset Pertahanan di Indonesia khususnya dari sisi hukum.

(15)

15 Berdasarkan hasil penelusuran Penulis, terdapat 2 (dua) penelitian tesis yang berkaitan dengan materi Ofset Pertahanan yaitu sebagai berikut:

1. Penelitian Tesis yang dilakukan oleh Annisa I. Febrianti berjudul “Dampak Offset Pertahanan Terhadap Industri Pertahanan Indonesia. Studi Kasus: PT. Pindad.”

Universitas Pertahanan Indonesia. Tahun 2013.

Secara garis besar, tesis ini menyajikan analisis dampak ofset yang dilakukan Industri Pertahanan khususnya ofset yang dilaksanakan oleh PT Pindad. Dalam tesis ini, analisis dampak ofset dinilai berdasarkan 3 (tiga) indikator yaitu tenaga kerja, teknologi, dan ekspor-impor. Pelaksanaan ofset dilakukan pada tahun 1980 dengan FN Herstal berupa lisensi senjata FNC dan dengan Alvis Ltd pada perakitan Tank Scorpion pada tahun 2010. Di bawah ini adalah gambaran atas dampak ofset yang dilakukan oleh PT. Pindad yaitu:

MATERI FN HERSTAL ALVIS LTD

Akuisisi16/Pengadaan PT Pindad mendapatkan keseluruhan proses produksi seperti tenaga ahli untuk asistensi keseluruhan produksi, material dan komponen senjata, alat-alat

Dari pembelian 100 (seratus) tank Scorpion, PT Pindad mendapatkan kesempatan untuk merakit 10 (sepuluh) tank.

16 Akuisisi yang dimaksud adalah akuisisi di bidang pertahanan, penjelasan mengenai akuisisi pertahanan dapat dilihat dalam halaman 126. Untuk selanjutnya, setiap penggunaan istilah akuisisi dalam bagian-bagian selanjutnya mengacu pada makna atau pengertian akuisisi di bidang pertahanan.

(16)

16 produksi dan technical data

package.

Lapangan Pekerjaan Terdapat penambahan jumlah karyawan dari luar PT.

Pindad namun jumlahnya tidak signifikan.

Tenaga kerja berasal dari perusahaan sendiri sehingga pasca pengadaan, terbentuk unit kerja kendaraan tempur.

Keahlian atau kemampuan

karyawan

Adanya bimbingan dari tenaga ahli FN Herstal sehingga meningkatkan kemampuan karyawan divisi senjata.

Tenaga ahli didatangkan dari Alvis Ltd. bersama dengan tenaga ahli yang ditugaskan dari berbagai proyek kerja lain. Hal ini meningkatkan kemampuan karyawan khususnya tim perakit Tank Scorpion yang akhirnya dapat membuat prototype light tank SBS.

Transfer Teknologi Mampu menyerap transfer teknologi FNC serta menghasilkan SS1 dan SS2.

Teknologi yang diperoleh adalah perakitan dan pengelasan.

(17)

17 Ekspor Impor Dalam pembuatan FNC, tidak

ada kenaikan impor material bahkan terjadi penurunan karena dapat disediakan oleh dalam negeri. Ekspor meningkat karena produk FNC dan SS1 buatan PT.

Pindad.

Ekspor terkait Tank Scorpion belum dapat ditentukan karena barang yang akan dihasilkan yaitu SBS Light Tank masih

dalam tahap

penyempurnaan dan belum dipasarkan.

2. Penelitian Tesis yang dilakukan Sezsy Yuniorrita berjudul “The Role of Offset Practices in the Enhancement of Indonesia Defence Industrial Capability: A Case Study of PT. Dirgantara Indonesia.” Institut Teknologi Bandung. Tahun 2009.

Tesis ini berfokus pada peran ofset dalam perkembangan kapabilitas teknologi Industri Pertahanan di Indonesia, khususnya pada PT. Dirgantara Indonesia. Bentuk ofset yang digunakan selama ini adalah licensing dan joint venture untuk meningkatkan kemampuan teknologi. Pelaksanaan ofset yang dilakukan oleh PT.

Dirgantara Indonesia adalah lisensi dalam pembuatan fixed wing aircraft, joint production dalam pengembangan CN 235 dengan CASA, pembuatan (manufaktur) beberapa komponen peralatan yang dibeli, serta adanya beasiswa dan asistensi dalam mensertifikasi CN 235-110. Beberapa temuan dari penelitian tesis ini adalah:

a. Kurangnya kesinambungan dan konsistensi kebijakan Pemerintah dalam mendukung pelaksanaan ofset pada Industri Pertahanan pada setiap era

(18)

18 pemerintahan. Ofset juga sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik, misalnya PT. Dirgantara Indonesia berhasil membangun N250 namun proyek diberhentikan setelah adanya ratifikasi perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.

b. Kebijakan ofset seharusnya seiring dengan kebijakan akuisisi. Selain itu pemahaman akan ofset masih sangat terbatas sehingga menyulitkan dalam penerapannya.

c. Walaupun PT. DI hanya mendapatkan nilai tambah yang kecil dalam proses produksi tetapi pelaksanaan ofset tersebut membangun kepercayaan terhadap PT. Dirgantara Indonesia dimana sebagai contoh dampak dari terbangunnya kepercayaan ini adalah keberhasilan Indonesia dalam memenangkan kontrak Airbus.

d. PT. Dirgantara Indonesia masih sangat bergantung pada peralatan dari luar negeri (impor peralatan dan komponen).

e. Penelitian dan pengembangan teknologi belum menjadi prioritas bagi Industri di dalam negeri, padahal dalam mendapatkan alih teknologi diperlukan adanya penelitian dan pengembangan.

Berdasarkan kedua hasil penelitian tesis di atas, maka dapat dilihat bahwa penelitian lebih difokuskan pada pelaksanaan ofset yang telah dilakukan oleh PT.

Pindad dan PT. Dirgantara Indonesia serta dampak atau keuntungan dari pelaksanaan ofset dimaksud. Kedua penelitian tesis tersebut belum menggambarkan secara komprehensif lingkup definisi, bentuk dan pelaksanaan Ofset Pertahanan sesuai

(19)

19 dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertahanan di Indonesia dan keberlakuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan oleh Penulis dalam tesis ini merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggungjawabkan orisinalitasnya.

D. MANFAAT PENELITIAN

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perjanjian di Indonesia pada khususnya dimana hukum perjanjian di Indonesia yang menganut asas kebebasan berkontrak dapat menjadi alat untuk merumuskan pelaksanaan Ofset Pertahanan di Indonesia.

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan sumbangsih yang berharga bagi para pembacanya baik umum dan akademisi, para praktisi di bidang Industri Pertahanan dan para pelaku Industri Pertahanan di Indonesia.

E. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan dari penulisan tesis ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1. Tujuan umum dari penelitian ini adalah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan peraturan turunan dari UU No. 16 Tahun 2012 yang secara khusus mengatur bentuk dan pelaksanaan ofset agar hal tersebut dapat menjadi pedoman bagi para pelaku Industri Pertahanan dalam mewujudkan pengadaan alat utama sistem senjata yang tidak mengabaikan pengupayaan Ofset Pertahanan.

2. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(20)

20 a. Untuk mengetahui bentuk dan pelaksanaan Ofset Pertahanan.

b. Untuk mengetahui dan menganalisis perumusan Ofset Pertahanan dalam kerangka Perjanjian dalam konteks keberlakuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya Perjanjian.

Referensi

Dokumen terkait

Khusus untuk wilayah adat yang sekarang berada di wilayah administra f Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara, sebagian besar masyarakatnya mengakui ada 32 komunitas adat yang

Berdasarkan paparan tersebut dan dikaitkan dengan esensi teori pencegahan, dapat disimpulkan bahwa pidana denda dan sanksi tindakan merupakan bentuk sanksi yang

Menguji keakuratan hasil learning Metode Adaptive Neuro Fuzzy Inference System dengan parameter-parameter serta struktur yang telah dianalisa sebelumnya dan menarik

Djamil Padang yang ditentukan berdasarkan rumus simple random sampling menggunakan metode difusi cakram Kirby-Bauer dan dihitung zona bebas kuman terhadap 4 antibiotika generik

Melakukan koordinasi dan supervisi atas pelaksanaan pengawasan pengapalan, penjualan, dan pengangkutan/pengapalan (bagi yang sudah produksi) dan pemberian sanksi bagi semua pelaku

Properti Reguler dan Ekspresi Reguler Bentuk : Kuliah Metode : Diskusi 4 x 50’ Pra Kelas : Mhs mempelajari module learning Kelas : Diskusi Kelompok - Keaktifan dalam

Pemerintah juga mendukung pemberian kesempatan penampilan minat dan bakat anak disabilitas pada setiap acara terbuka di depan masyarakat seperti peringatan hari disabilitas

Hasil uji hipotesis menunjukkan, “ada pengaruh keterlibatan orangtua, dukungan teman sebaya, dukungan guru, dan religiusitas secara simultan, terhadap